Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS ANESTESIOLOGI

MENINGIOMA

Pembimbing:
dr. Husnu Raji’in, Sp.An
dr. Eka Gita Wahyudi, Sp.An
dr. Rosa Afriani, Sp.An

Oleh :
Wulladah Nur Jihan
201620401011142
Kelompok E27

SMF LAB RADIOLOGI RSUD JOMBANG


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kepada Allah Subhanahu wata’ala karena atas berkah
dan rahmat-Nya, laporan kasus Anestesiologi yang berjudul Meningioma dapat
saya selesaikan. Laporan kasus ini disusun sebagai bagian dari proses belajar
selama kepaniteraan klinik di bagian Anestesi dan saya menyadari bahwa laporan
kasus ini tidaklah sempurna. Untuk itu saya mohon maaf atas segala kesalahan
dalam pembuatan referat ini.
Saya berterima kasih kepada dokter pembimbing, dr. Husnu Raji’in, Sp.An.,
dr. Eka Gita Wahyudi, Sp.An., dan dr. Rosa Afriani, Sp.An atas bimbingan dan
bantuannya dalam penyusunan laporan kasus ini. Saya sangat menghargai segala
kritik dan saran sehingga laporan kasus ini bisa menjadi lebih baik dan dapat lebih
berguna bagi pihak-pihak yang membacanya di kemudian hari.

Jombang, Juni 2017

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB 1 LAPORAN KASUS.....................................................................................3
1.1 Identitas..............................................................................................................3
1.2 Anamnesis..........................................................................................................3
1.3 Pemeriksaan Fisik...............................................................................................3
1.4 Pemeriksaan Penunjang......................................................................................4
1.5 Diagnosis............................................................................................................4
1.6 Rencana Operasi dan Pembiusan........................................................................4
1.7 Laporan Anestesi................................................................................................5
1.8 Laporan Operasi.................................................................................................5
1.9 SOAP..................................................................................................................6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................7
2.1 Anestesi............................................................................................................10
2.2 General Anesthesia (GA)..................................................................................10
2.3 Intubasi Endotrakeal.........................................................................................13
2.4 Meningioma…..................................................................................................14
BAB 3 KESIMPULAN..........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................24

2
BAB 1
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas
Nama : Ny. L
Usia : 69 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Gudo-Jombang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan terakhir : SMA
Suku : Jawa
1.2 Anamnesis
Keluhan Utama : nyeri kepala
RPS : nyeri kepala bagian belakang, dirasakan sangat
sering, hampir setiap hari, sejak ± 1-2 tahun yang lalu, kadang disertai
pusing, nyeri kepala berkurang jika minum obat (panadol).
RPD : DM disangkal, HT +
RPK :-
RPSos :-
1.3 Pemeriksaan Fisik
KU: Compos Mentis
GCS: 456
TD: 130/70 mmHg
N: 100 x/menit
t: 36,9 °C
RR: 19 x/menit
K/L: a/i/c/d -/-/-/-, masssa(-)
Tho: I gerak napas simetris, retraksi(-)
P nyeri tekan(-), massa(-)
P sonor, redup jantung
A paru: ves/ves, Rh -/-, Wh-/-
cor : S1S2 tunggal, gallop(-), murmur(-)

3
Abd: I fatty
A BU(+) normal
P nyeri tekan(-), supel
P timpani, pekak hepar
Eks: HKM, CRT <2 detik
1.4 Pemeriksaan Penunjang
a. CT scan: hasil imaging  Meningioma conveksitas occipital D
b. Xray thorax: normal
c. EKG: hasil bacaan  HF RL cepat
d. Laboratorium:
Darah lengkap
Hb: 13,5
Leukosit: 9.500.000
Hematokrit: 38,5
Trombosit: 422.000
Eritrosit: 5jt
PT:
APTT:
Kimia darah
GDP: 124
GD2PP: 207
Kreatinin: 1,6
Ureum: 78,3
LDL kol: 60
TG: 190
Na: 141
K: 5,95
Cl: 113
1.5 Diagnosis
Meningioma Convexitas Occipitalis D
1.6 Rencana Operasi dan Pembiusan
Rencana Operasi: Craniotomy eksisi tumor et meningen occipital D

4
Rencana Pembiusan: General Anesthesia (GA) dengan intubasi
1.7 Laporan Anestesi
Nama: Ny. L
Usia: 69 tahun
Diagnosis: Meningioma Convexitas Occipitalis D
Pro op: Craniotomy eksisi tumor et meningen occipital D
PS ASA: III (DM, HT, Peningkatan TIK)
Asma: - HT: +
Alergi: - DM: - (disangkal)
B1: gerak napas simetris
Retraksi napas (-)
SpO2: 99%
B2: TD: 130/70 mmHg
N: 100 x/menit
t: 36,9 °C
RR: 19 x/menit
B3: GCS 456 kejang: - paralisis: -
B4: produksi urin: -(belum terpasang kateter)
B5: NGT(-)
Abdomen fatty, supel
B6: fraktur(-), dislokasi(-)
1.8 Laporan Operasi
Waktu operasi: 14 Juni 2017
Rencana anestesi: General Anesthesia (GA) dengan intubasi
Obat premedikasi: Midazolam, Pethidin
Induksi obat: sedative-propofol
analgetik-fentanyl
muscle relaxant-atracurium
Maintenance: O2 dan Isoflurane
Posisi: supine
Teknik induksi: preoksigenasi induksi IV  intubasi oral sleep apneu 
pasang ETT 7,0, mayo, NGT  fiksasi

5
Intraoperative
Waktu mulai 14.30
Waktu berakhir 19.45
Obat-obatan yang masuk:
 O2 0,8 lpm
 Fentanyl
 Propofol
 Miloz 4 mg
 Noveron
 Dexamethasone
 Manitol
 Inhalasi  Isoflurane
Cairan:
Masuk PZ:RL 2000:2500 cc, HES 500 cc, WB 1750 cc
Keluar urin 1000cc, S&I 2500cc
Post operasi
TD: 118/85 mmHg
N: 80
t: 36,5 °C
SpO2: 99%
1.9 SOAP
Jam 20.25 tanggal 14 Juni 2017
S: tensi sangat tinggi
B1: napas dibantu dengan jaction risk 10 lpm, terpasang ventilator mode
VCV VT: 40, fr: 14, PEEP: 6, FiO2: 30%
Kepala elevasi 30°
SpO2: 99%
B2: TD: 200/100 mmHg
N: 191 x/menit
t: 35,7 °C
RR: respirator
B3: GCS 111 kejang: - paralisis: -

6
B4: produksi urin: 1000 cc
B5: NGT(+), drain(+)
Abdomen fatty, supel
B6: fraktur(-), dislokasi(-)
Advice: pasang herbesser dosis terendah
Jam 6.05 tanggal 15 Juni 2017
S: jam 00.45 kejang sudah mendapat obat anti kejang
B1: napas dibantu dengan jaction risk 10 lpm, terpasang ventilator mode
VCV VT: 40, fr: 14, PEEP: 6, FiO2: 30%
Kepala elevasi 30°
SpO2: 99%
B2: TD: 140/80 mmHg
N: 147 x/menit
t: 38 °C
RR: respirator
B3: GCS 3X5 kejang: - paralisis: -
B4: produksi urin: 300 cc
B5: NGT(+) 350cc, drain(+) 25cc
Abdomen fatty, supel
B6: fraktur(-), dislokasi(-)
Advice: diet sonde 4x100cc
Jam 8.30 tanggal 15 Juni 2017
S: penurunan kesadaran
B1: napas dibantu dengan jaction risk 10 lpm, terpasang ventilator mode
VCV VT: 420, fr: 14, PEEP: 6, FiO2: 30%
Kepala elevasi 30°
SpO2: 99%
B2: TD: 70/50 mmHg
N: 50 x/menit
t: 40 °C
RR: respirator
B3: GCS 111 kejang: - paralisis: -

7
B4: produksi urin: 300 cc
B5: NGT(+) 350cc, drain(+) 25cc
Abdomen fatty, supel
B6: fraktur(-), dislokasi(-)
Advice: inj. Vascon 0,1 meq, dopamin 5 mg, ekstra HESS 500 cc dalam 1
jam
Jam 9.00 tanggal 15 Juni 2017  pasien meninggal

8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi
Anestesia adalah suatu keadaan narkosis, analgesia, relaksasi dan hilangnya
refleks (Keat Sally,2013). Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-
"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum
berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Tujuan
Anestesi adalah untuk menghalau rasa sakit di bagian tubuh tertentu sebelum
melakukan tindakan bedah. Rasa takut dan nyeri harus diperhatikan betul pada pra
bedah.
2.2 General Anesthesia (GA)
General Anesthesia (GA) atau anestesia umum adalah tindakan
menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan
dapat pulih kembali (reversibel) yang disebabkan oleh obat-obat anestesi dan
disertai dengan hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh.. Anestesi umum adalah
bentuk anestesi yang paling sering digunakan atau dipraktekkan yang dapat
disesuaikan dengan jumlah terbesar pembedahan. Obat anestesi yang masuk ke
pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama
terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti
otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan
sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah
terjadinya kelebihan dosis. Menurut Guedel (1920), pembagian stadium anestesi
dibagi menjadi 4 (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu:
a. Stadium I

Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik


sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat
mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).

9
Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi
kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini
b. Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari
hilangnya kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali
teratur.

c. Stadium III

Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya


pernapasan sampai pernapasan spontan hilang. Stadium I I I dibagi
menjadi 4 plana yaitu:
1) Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis, refleks
cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada,
dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna. (tonus otot mulai
menurun).
2) Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume
tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi
di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot
sedang, dan refleks laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.

3) Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai


paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring
dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus
otot semakin menurun).
4) Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot
interkostalparalisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang,
refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik
sempuma (tonus otot sangat menurun).
d. Stadium IV

Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai


dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4.

10
pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut
jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan
pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang
dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara
lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital
seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat
dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali,
tanpa efek yang tidak diinginkan .Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-
sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot
yang cukup, cara pemberian mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak
mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak
toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas.
Indikasi anestesi umum adalah pada infant dan anak usia muda, orang
dewasa yang memilih anestesi umum, operasi dengan pembedahan yang luas
(ekstensif), pembedahan yang lama, pembedahan dimana anestesi lokal sulit untuk
digunakan, dan pasien dengan pengobatan antikoagulantia. Komponen trias
anestesi terdiri dari hipnotik-sedatif, analgesik dan muscle relaxant (pelumpuh
otot). Obat yang termasuk golongan hipnotik-sedatif adalah propofol, ketamin
halotan, enfluran, isofluran, dan sevofluran. Sedangkan yang termasuk golongan
analgesik adalah morfin, pethidin, barbituurat, atropin. Golongan obat yang
termasuk muscle relaxant adalah atracurium, vancuronium, dan recuronium.

Anestesi umum pembagian berdasarkan teknik pemberiannya dibedakan


menjadi tiga, yaitu:
- Inhalasi
Diberikan sebagai uap melalui saluran pernafasan. Dalam pemberian
inhalasi juga dibedakan menjadi 3 teknik. Tiga teknik tersebut adalah:
a. Sistem terbuka

11
Cairan terbang (eter, kloroform, trikloretilen) diteteskan tetes demi tetes
ke atas helai kain kasa dibawah suatu kap dari kawat yang menutupi
mulut dan hidung pasien
b. Sistem tertutup
Suatu mesin khusus menyalurkan suatu campuran gas dengan oksigen
ke dalam suatu kap dimana sejumlah CO2 dari ekshalasi dimasukkan
kembali.
c. Insuflasi
Gas atau uap ditiupkan kedalam mulut atau tenggorok dengan
perantaraan suatu mesin.
- Intravena
Biasanya pemberian obat melalui intravena diberikan bersamaan dengan
infus, secara perlahan dengan laju tetap.
- Intramuscular
Sering digunakan pada operasi anak – anak, atau pada operasi yang
sebentar dimana kondisi pasien sulit dikendalikan. Teknik ini sangat
populer dalam praktek anestesi, karena teknis mudah, relatif aman karena
kadar plasma tidak mendadak tinggi. Kerugiannya ialah absorbsi kadang-
kadang diluar perkiraan, menimbulkan nyeri yang jelas dibenci anak-anak
dan beberapa obat bersifat iritan.
2.3 Intubasi Endotrakeal
Intubasi endotrakeal adalah salah satu metode untuk penguasaan jalan napas
yang digunakan untuk memasukkan obat anestasi (induksi). Intubasi endotrakeal
dilakukan dengan memasang pipa ETT (Endotrachealtube), yang disesuaikan
ukuran nya berdasarkan usia nya. Intubasi juga dilakukan dengan memakai 2 cara,
yaitu spontan dan kontrol. Spontan yang berarti intubasi dilakukan tanpa
menggunakan muscle relaxant, sedangkan dengan kontrol dilakukan dengan
memakai muscle relaxant. Cara kontrol ini yang lebih sering digunakan dan lebih
aman.
Komplikasi yang bisa terjadi saat pemasangan intubasi endotrakeal adalah
aspirasi, trauma gigi geligi, laserasi bibir, gusi, laring, hipertensi, takikardi, spasme
bronchus. Setelah pemasangan endotrakeal, komplikasi yang bisa terjadi yaitu,

12
spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema glottis, dan infeksi laring, faring,
trachea.

2.4 Meningioma
Meningioma merupakan istilah yang pertama kali dipopulerkan oleh Harvey
Cushing pada tahun 1922. Meningioma merupakan tumor jinak ekstra-aksial atau
tumor yang terjadi di luar jaringan parenkim otak yaitu berasal dari meninges otak.
Meningioma tumbuh dari sel-sel arachnoid cap dengan pertumbuhan yang lambat.
Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial yang paling sering
dijumpai. Meningioma diperkirakan sekitar 15-30% dari seluruh tumor primer
intrakranial pada orang dewasa. Prevalensi meningioma berdasarkan konfirmasi
pemeriksaan histopatologi diperkirakan sekitar 97,5 penderita per 100.000 jiwa di
Amerika Serikat. Prevalensi ini diperkirakan lebih rendah dari yang sebenarnya
karena tidak semua meningioma ditangani secara pembedahan
Beberapa hal yang memengaruhi insiden adalah usia, jenis kelamin dan ras.
Insiden terjadinya meningioma meningkat dengan pertambahan usia dan mencapai
puncak pada usia di atas 60 tahun. Insiden meningioma pada anakanak sekitar 4%
dari seluruh kejadian tumor intrakranial. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
insiden meningioma pada ras hitam Non-hispanics sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan ras putih Non-Hispanics dan Hispanics. Jenis kelamin juga
mempengaruhi prevalensi dari meningioma, yaitu dua kali lebih tinggi pada wanita
dibandingkan dengan pria.
Meningioma dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi tumor, pola
pertumbuhan dan histopatologi. Berdasarkan lokasi tumor dan urutan paling sering
adalah konveksitas, parasagital, tuberkulum sella, falks, sphenoid rigde,
cerebellopontine angle, frontal base, petroclival, fosa posterior, tentorium, middle
fossa, intraventricular dan foramen magnum. Meningioma juga dapat timbul secara
ekstrakranial walaupun sangat jarang, yaitu pada medula spinalis, orbita , cavum
nasi, glandula parotis, mediastinum dan paru-paru.
Pola pertumbuhan meningioma terbagi dalam bentuk massa (en masse) dan
pertumbuhan memanjang seperti karpet (en plaque). Bentuk en masse adalah
meningioma globular klasik sedangkan bentuk en plaque adalah tumor dengan

13
adanya abnormalitas tulang dan perlekatan dura yang luas. Pembagian meningioma
secara histopatologi berdasarkan WHO 2007 terdiri dari 3 grading dengan resiko
rekuren yang meningkat seiring dengan pertambahan grading (Fischer & Bronkikel,
2012).
Beberapa subtipe meningioma antara lain:
Grade I:
− Meningothelial meningioma
− Fibrous (fibroblastic) meningioma
− Transitional (mixed) meningioma
− Psammomatous meningioma
− Angiomatous meningioma
− Mycrocystic meningioma
− Lymphoplasmacyte-rich meningioma
− Metaplastic meningioma
− Secretory meningioma
Grade II:
− Atypical meningioma
− Clear cell meningioma
− Chordoid meningioma
Grade III:
− Rhabdoid meningioma
− Papillary meningioma
− Anaplastic (malignant) meningioma
Faktor-faktor risiko yang menyebabkan terjadinya meningioma adalah:
a. Radiasi Ionisasi
Radiasi ionisasi merupakan salah satu faktor resiko yang telah terbukti
menyebabkan tumor otak. Penelitian-penelitian yang mendukung
hubungan antara paparan radiasi dan meningioma sejak bertahun-tahun
telah banyak jumlahnya. Proses neoplastik dan perkembangan tumor
akibat paparan radiasi disebabkan oleh perubahan produksi base-pair
dan kerusakan DNA yang belum diperbaiki sebelum replikasi DNA.
Penelitian pada orang yang selamat dari bom atom di Hiroshima dan

14
Nagasaki menemukan bahwa terjadi peningkatan insiden meningioma
yang signifikan.
Pengobatan dengan menggunakan paparan radiasi juga meningkatkan
resiko terjadinya meningioma. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
terapi radiasi untuk leukemia limfoblastik dan tinea kapitis
memperlihatkan adanya peningkatan resiko terjadinya meningioma
terutama dosis radiasi melebihi 30 Gy. Selain itu, paparan radiasi untuk
kepentingan diagnosis juga meningkatkan resiko terjadinya
meningioma. Salah satunya adalah penelitian Claus et al (2012) yang
membuktikan adanya peningkatan resiko yang signifikan terjadinya
meningioma setelah mendapatkan dental X-ray lebih dari enam kali
antara usia 15 hingga 40 tahun.
Beberapa ciri-ciri untuk membedakan meningioma spontan dengan
akibat paparan radiasi adalah usia muda saat didiagnosis, periode latensi
yang pendek, lesi multipel, rekurensi yang relatif tinggi, dan
kecenderungan meningioma jenis atipikal dan anaplastik
b. Radiasi Telepon Genggam
Radiasi yang dihasilkan oleh telepon genggam adalah energi
radiofrequency (RF) yang tidak menyebabkan ionisasi molekul dan
atom. Energi RF berpotensi menimbulkan panas dan menyebabkan
kerusakan jaringan, namun pengaruhnya terhadap kesehatan masih
belum diketahui secara pasti. Penelitian metaanalisis yang dilakukan
oleh Lahkola et al (2005) menemukan bahwa tidak terdapat hubungan
antara penggunaan insiden meningioma. Penelitian metaanalisis lain
yang lebih besar yaitu penelitian INTERPHONE yang dilakukan pada
13 negara juga memberikan laporan bahwa tidak dijumpai hubungan
antara penggunaan telepon genggam dan insiden meningioma.
c. Cedera Kepala
Sejak masa Harvey Cushing, cedera kepala merupakan salah satu resiko
terjadinya meningioma, meskipun hasil peneltian-penelitian tidak
konsisten. Penelitian kohort pada penderita cedera kepala dan fraktur
tulang kepala menunjukkan adanya hubungan dengan terjadinya

15
meningioma secara signifikan. Penelitian ole Phillips et al (2002) juga
menemukan hasil bahwa adanya hubungan antara cedera kepala dengan
resiko terjadinya meningioma, terutam riwayat cedera pada usia 10
hingga 19 tahun. Resiko meningioma berdasarkan banyaknya kejadian
cedera kepala dan bukan dari tingkat keparahannya.
d. Genetik
Umumnya meningioma merupakan tumor sporadik yaitu tumor yang
timbul pada pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan
penderita tumor otak jenis apapun. Sindroma genetik turunan yang
memicu perkembangan meningioma hanya beberapa dan jarang.
Meningioma sering dijumpai pada penderita dengan Neurofibromatosis
type 2 (NF2), yaitu Kelainan gen autosomal dominan yang jarang dan
disebabkan oleh mutasi germline pada kromosom 22q12 (insiden di US:
1 per 30.000-40.000 jiwa). Selain itu, pada meningioma sporadik
dijumpai hilangnya kromosom, seperti 1p, 6q, 10, 14q dan 18q atau
tambahan kromosom seperti 1q, 9q, 12q, 15q, 17q dan 20q.
Penelitian lain mengenai hubungan antara kelainan genetik spesifik
dengan resiko terjadinya meningioma termasuk pada perbaikkan DNA,
regulasi siklus sel, detoksifikasi dan jalur metabolisme hormon.
Penelitian terbaru fokus pada variasi gen CYP450 dan GST, yaitu gen
yang terlibat dalam metabolisme dan detoksifikasi karsinogen endogen
dan eksogen. Namun belum dijumpai hubungan yang signifikan antara
resiko terjadinya meningioma dan variasi gen GST atau CYP450.
Penelitian lain yang berfokus pada gen supresor tumor TP53 juga tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan.
e. Hormon Predominan
Meningioma pada wanita dibandingkan dengan laki-laki memberi
dugaan adanya pengaruh ekspresi hormon seks. Terdapat laporan
adanya pengaruh ukuran tumor dengan kehamilan, siklus menstruasi,
dan menopause. Penelitian-penelitian pada pengguna hormon eksogen
seperti kontrasepsi oral dan terapi hormon pengganti dengan resiko
timbulnya meningioma memberikan hasil yang kontroversial.

16
Penelitian-penelitian pada paparan hormon endogen memperlihatkan
bahwa resiko meningioma berhubungan dengan status menopause,
paritas, dan usia pertama saat menstruasi, tetapi masih menjadi
kontroversi
f. Mitosis pada meningioma
Mitosis pada meningioma diperkirakan distimulus oleh beberapa jenis
protein growth factors. Beberapa jenis growth factors yang berpengaruh
reseptor Epidermal Growth Factor (EGF), Granulin, Platelet Derived
Growth Factor (PDGF), Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF),
Insulin Growth Factor (IGF), Fibroblast Growth factor (FGF), hormon
progesteron dan estrogen. Hormon EGF adalah hormon polipeptida
yang bekerja melalui aktivasi reseptor EGF dan stimulus proliferasi
yang bervariasi baik secara in vivo dan in vitro. Reseptor EGF
merupakan glikoprotein yang terletak ekstraselular. Reseptor ini
diperkirakan memiliki peranan dalam regulasi pembelahan sel dan
pertumbuhan tumor. Ekspresi berlebihan dari reseptor EGF telah
terbukti menstimulasi angiogenesis, proliferasi metastase, dan
kelangsungan hidup sel.
Peptida lain yang diperkirakan berperan dalam perbaikan jaringan dan
tumorigenesis adalah granulin. Granulin merupakan suatu peptida dari
leukosit yang berfungsi dalam mediasi siklus progresi dan kematian sel
epitel dan mesenkim. Pada penelitian Choong ditemukan bahwa kadar
granulin berhubungan dengan ukuran tumor dan perkembagan edema
peritumoral dari meningioma intrakranial. Penemuan ini menunjukkan
bahwa adanya kemungkinan granulin mempengaruhi pertumbuhan
meningioma seperti pada glioma .
Peptida lain yang mempengaruhi pertumbuhan sel adalah FGF yaitu
berperan dalam proliferasi sel, apoptosis dan angiogenesis. Mekanisme
pemicu mitosis dari FGF adalah aktivasi dari beberapa kaskade
cytoplasmic serine/ threonine kinase termasuk kaskade p44/42
MAPK/ERK dan jaras PI3K-AktPRAS40-mTOR dan STAT3..
Mekanisme ini mempengaruhi proliferasi sel dan apoptosis dari banyak

17
tumor ganas solid termasuk meningioma. Namun ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk menentukan kegunaan kemoterapi terhadap
reseptor ini dan regulasinya dalam pertumbuhan meningioma
Pemeriksaan penunjang radiologi pada meningioma dapat berupa foto xray,
CT-scan kepala baik dengan maupun tanpa kontras dan MRI. Pada foto x-ray dapat
ditemukan gambaran khas, yaitu hiperostosis, peningkatan vaskularisasi dan
kalsifikasi. Pada CT-scan tanpa kontras, meningioma akan memberikan gambaran
isodense hingga sedikit hyperdense dan kalsifikasi. Sedangkan CT-scan dengan
kontras akan memberikan gambaran massa yang menyangat kontras dengan kuat
dan homogen. Gambaran hiperostosis, edema peritumoral dan nekrosis sentral
dapat dijumpai pada pencitraan CT-scan kepala. Gambaran khas pada CT-scan
kepala adalah adanya dural tail yaitu duramater yang melekat pada tulang.
Pada MRI dengan T1W1 umumnya memberikan gambaran isointense
sedangkan beberapa lainnya memberikan gambaran hypointense dibandingkan
dengan gray matter. Pada T2W1, meningioma juga umumnya menunjukkan
gambaran isointense dengan beberapa yang hyperintense karena kandungan airnya
yang tinggi terutama pada jenis meningothelial, yang hipervaskular, dan yang
agresif.
Penatalaksanaan pada meningioma dapat berupa embolisasi, pembedahan,
radiosurgery, dan radiasi. Terdapat dua tujuan utama dari pembedahan yaitu paliatif
dan reseksi tumor. Pembedahan merupakan terapi utama pada penatalaksanaan
semua jenis meningioma. Tujuan dari reseksi meningioma adalah menentukan
diagnosis definitif, mengurangi efek massa, dan meringankan gejala-gejala.
Reseksi harus dilakukan sebersih mungkin agar memberikan hasil yang lebih baik.
Sebaiknya reseksi yang dilakukan meliputi jaringan tumor, batas duramater sekitar
tumor, dan tulang kranium apabila terlibat. Reseksi tumor pada skull base sering
kali subtotal karena lokasi dan perlekatan dengan pembuluh darah.
Angiografi preoperatif dapat menggambarkan suplai pembuluh darah
terhadap tumor dan memperlihatkan pembungkusan pembuluh darah. Selain itu,
angiografi dapat memfasilitasi embolisasi preoperatif. Beberapa jenis meningioma
terutama malignan umumnya memiliki vaskularisasi yang tinggi, sehingga
embolisasi preoperatif mempermudah tindakan reseksi tumor. Hal ini disebabkan

18
oleh berkurangnya darah yang hilang secara signifikan saat reseksi. Embolisasi
preoperatif dilakukan pada tumor yang berukuran kurang dari 6 cm dan dengan
pertimbangan keuntungan dibandingkan dengan resiko dari embolisasi.
Walaupun meningioma merupakan tumor yang tumbuh lambat dan
memiliki tingkat mitosis yang rendah, radioterapi memberikan manfaat secara
klinis yang telah dilaporkan pada banyak serial kasus yaitu baik regresi ataupun
berhentinya pertumbuhan tumor. Manfaat radioterapi masih menjadi perdebatan,
Radioterapi disarankan sebagai terapi adjuvan pada reseksi inkomplit, tumor
rekuren dan atau grade tinggi, serta sebagai terapi utama pada beberapa kasus
seperti meningioma saraf optik dan beberapa tumor yang tidak dapat direseksi.
Modalitas lain pada terapi meningioma adalah stereostatic radiosurgery.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stereostatic radiosurgery memberikan
hasil yang efektif dalam mengontrol pertumbuhan tumor secara lokal dengan resiko
komplikasi yang kecil. Stereostatic radiosurgery umumnya dilakukan pada tumor
jinak berukuran kecil atau yang tidak dapat dioperasi dan pada tumor residual atau
rekuren setelah operasi. Terapi ini disarankan pada meningioma berukuran dibawah
3 cm yang melibatkan skull base dan sinus kavernosus dengan tujuan mencegah
progresi tumor.

19
BAB 3
KESIMPULAN

Meningioma merupakan tumor jinak yang terjadi di meningen (selaput


otak). Prevalensi terbanyak meningioma ini terjadi pada wanita dibanding pria,
karena diketahui faktor hormon dominan yang mempengaruhi tumbuhnya sel
tumor. Pada pasien Ny. L, meningioma yang terjadi berbentuk conveks dan terletak
di bagian occipital kanan. Hal ini sangat beresiko terhadap prognosis pasien karna
letak tumor berada di occipital dan mendekati bagian batang otak. Maka sangat
rentan menimbulkan prognosis yang buruk bila ada penekaanan, yaitu sampai pada
kematian. Pada kasus meningioma ini tatalaksana yang dilakukan adalah reseksi
tumor, tentu dengan pemilihan anestesi, yaitu General Anesthesia (GA). Alasan
pemilihan anestesi ini dikarenakan operasi yang berlangsung akan memakan waktu
lama, dan resiko pasien dalan kondisi tidak stabil sangatlah tinggi, yatu dengan
melihat score ASA III dengan resiko peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial).

20
DAFTAR PUSTAKA

Harahap, AR, 2016, Hubungan antara Ki-67 Labeling Index terhadap Prognosis
pada Meningioma, Thesis Ilmu Bedah Saraf, Medan: FK USU.
https://fkuwks2012c.files.wordpress.com/2015/09/anestesi-general-uwk-paling-
baru.pdf, diakses pada tanggal 30 Juni 2017.
Indharty, RS, 2016, Meningioma Konveksitas, Jurnal Universitas Sumatera Utara,
Medan: FK USU.
Latief, A. Said, dkk., 2009, Anestesiology, Jakarta: FKUI.
Warnick, Ronald, 2016, https://www.mayfieldclinic.com/PDF/PE-Meni.pdf,
Mayfield Clinic University of Cincinnati Department of Neurosurgery,
Ohio, diakses diakses pada tanggal 30 Juni 2017

21

Anda mungkin juga menyukai