Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS ANESTESIOLOGI

INVAGINASI ILEOCOLICA

Pembimbing:
dr. Husnu Raji’in, Sp.An
dr. Eka Gita Wahyudi, Sp.An

Oleh :
Eko Setyo Herwanto
201710401011034
Kelompok E28

SMF ANESTESI RSUD KABUPATEN JOMBANG


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kepada Allah Subhanahu wata’ala karena atas
berkah dan rahmat-Nya, laporan kasus Anestesiologi yang berjudul Invaginasi
Ileocolica dapat saya selesaikan. Laporan kasus ini disusun sebagai bagian dari
proses belajar selama kepaniteraan klinik di bagian Anestesi dan saya menyadari
bahwa laporan kasus ini tidaklah sempurna. Untuk itu saya mohon maaf atas
segala kesalahan dalam pembuatan referat ini.
Saya berterima kasih kepada dokter pembimbing, dr. Husnu Raji’in, Sp.An.,
dr. Eka Gita Wahyudi, Sp.An. atas bimbingan dan bantuannya dalam penyusunan
laporan kasus ini. Saya sangat menghargai segala kritik dan saran sehingga
laporan kasus ini bisa menjadi lebih baik dan dapat lebih berguna bagi pihak-
pihak yang membacanya di kemudian hari.

Jombang, Juli 2018

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR...................................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB 1 LAPORAN KASUS.....................................................................................3
1.1 Identitas..............................................................................................................3
1.2 Anamnesis..........................................................................................................3
1.3 Pemeriksaan Fisik..............................................................................................3
1.4 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................4
1.5 Diagnosis............................................................................................................4
1.6 Rencana Operasi dan Pembiusan.......................................................................4
1.7 Laporan Anestesi................................................................................................5
1.8 Laporan Operasi.................................................................................................5
1.9 SOAP..................................................................................................................6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................7
2.1 Anestesi............................................................................................................10
2.2 General Anesthesia (GA).................................................................................10
2.3 Intubasi Endotrakeal.........................................................................................13
2.4 Meningioma….................................................................................................14
BAB 3 KESIMPULAN..........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24

2
BAB 1
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas
Nama : Tn. S
Usia : 37 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Karangjati-Jombang
Pekerjaan : wiraswasta
Pendidikan terakhir : SMA
Suku : Jawa
1.2 Anamnesis
Keluhan Utama : tidak bisa BAB
RPS : pasien tidak bisa BAB sudah 3 hari, pasien juga
merasakan perutnya mules dan mulai sedikit membesar sejak pasien tidak
bisa BAB, akhir akhir ini pasien sering mengeluhkan sulit untuk buang air
besar. Mual (+), muntah (-). BAB konsistensi lunak, darah (-), demam (-).
RPD : DM -, HT -
RPK :-
RPSos : pasien merokok, alkoholic (-)
1.3 Pemeriksaan Fisik
KU: Compos Mentis
GCS: 456
TD: 120/70 mmHg
N: 90 x/menit
t: 36,8 °C
RR: 19 x/menit
K/L: a/i/c/d -/-/-/-, masssa(-)
Tho: I gerak napas simetris, retraksi(-)
P nyeri tekan(-), massa(-)
P sonor, redup jantung
A paru: ves/ves, Rh -/-, Wh-/-

3
cor : S1S2 tunggal, gallop(-), murmur(-)
Abd: I fatty
A BU(+) normal
P nyeri tekan(-), supel
P timpani, pekak hepar
Eks: HKM, CRT <2 detik
1.4 Pemeriksaan Penunjang
a. CT scan: hasil imaging  Invaginasi bowel susp. Colocolical,
limfadenopati, polip GB multipel
b. Xray thorax: Normal
c. EKG: hasil bacaan  Normal
d. Laboratorium:
Darah lengkap
Hb: 13,4
Leukosit: 7.610
Hematokrit: 38,6
Trombosit: 346.000
Eritrosit: 4,91jt
PT: 14
APTT: 32
Kimia darah
GDP: 98
GD2PP: 115
Kreatinin: 0,9
Ureum: 16,3
Albunim : 4,5
OT/PT: 12/15
Na: 141
K: 3,95
Cl: 113
1.5 Diagnosis
Susp. invaginasi colocolica

4
1.6 Rencana Operasi dan Pembiusan
Rencana Operasi: laparotomi eksplorasi
Rencana Pembiusan: General Anesthesia (GA) dengan intubasi
1.7 Laporan Anestesi
Nama: Ny. S
Usia: 37 tahun
Diagnosis: Invaginasi Ileocolica
Pro op: laparotomi eksplorasi
PS ASA: I (HT-, DM-)
Asma: - HT: +
Alergi: - DM: - (disangkal)
B1: gerak napas simetris
Retraksi napas (-)
SpO2: 99%
B2: TD: 120/70 mmHg
N: 90 x/menit
t: 36,8 °C
RR: 22 x/menit
B3: GCS 456 kejang: - paralisis: -
B4: produksi urin: -(belum terpasang kateter)
B5: NGT(-)
Abdomen fatty, supel
B6: fraktur(-), dislokasi(-)
1.8 Laporan Operasi
Waktu operasi: 26 Juni 2018
Rencana anestesi: General Anesthesia (GA) dengan intubasi
Obat premedikasi: Midazolam, Pethidin, granisetron
Induksi obat: sedative: propofol
Analgetik: fentanyl
muscle relaxant: atracurium
Maintenance: O2 dan Isoflurane
Posisi: supine

5
Teknik induksi: preoksigenasi induksi IV  intubasi oral sleep apneu
 pasang ETT 7,0, mayo, NGT  fiksasi
Intraoperative
Waktu mulai 11.20
Waktu berakhir 14.30
Obat-obatan yang masuk:
 O2 0,8 lpm
 Fentanyl
 Propofol
 Atracurium
 Midazolam 4 mg
 Dexamethasone
 Inhalasi  Isoflurane
Cairan:
Masuk PZ:RL 1500
Keluar urin 250cc, IFL 1200cc, perdarahan 50cc
Post operasi
TD: 120/80 mmHg
N: 80
t: 36,7 °C
SpO2: 99%
1.9 SOAP
No. Uraian (Skor Aldrette) Skor
1 Pergerakan anggota badan (Aktifitas) 1
2 Pernafasan 2
3 Sirkulasi 2
4 Warna kulit 2
5 Kesadaran 2
Total 9

Jam 15.30 tanggal 26 Juni 2018 recovery room


S: KU lemas, keluhan (-)

6
B1: Napas spontan, O2 nasal kanul 2lpm, SpO2: 99%
B2: TD: 120/80 mmHg
N: 86 x/menit
t: 36,5 °C
RR: 22
B3: GCS 456, kejang: -,
B4: produksi urin: 300 cc
B5: NGT(+), drain(+)
Abdomen luka bekas jahitan
B6: Paralisis (-), dislokasi (-)
Advice: Infus RL 1500cc/24jam
Jam 7.00 tanggal 27 Juni 2018
S: nyeri bekas operasi
B1: Napas spontan, SpO2: 98%
B2: TD: 120/70 mmHg
N: 90 x/menit
t: 36,7 °C
RR: 20
B3: GCS 456, kejang: -,
B4: produksi urin: 300 cc
B5: NGT(+), drain(+)
Abdomen luka bekas jahitan
B6: Paralisis (-), dislokasi (-)
Advice: Infus RL 1500cc/24jam
Jam 7.30 tanggal 28 Juni 2018
S: keluhan (-), nyeri luka op minimal
B1: Napas spontan, SpO2: 98%
B2: TD: 120/70 mmHg
N: 90 x/menit
t: 36,7 °C
RR: 20
B3: GCS 456, kejang: -,

7
B4: produksi urin: 300 cc
B5: NGT(+), drain(+)
Abdomen luka bekas jahitan
B6: Paralisis (-), dislokasi (-)
Advice: Infus RL 1500cc/24jam
Tanggal 29 Juni 2018  Pasien KRS

8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi
Anestesia adalah suatu keadaan narkosis, analgesia, relaksasi dan
hilangnya refleks (Keat Sally,2013). Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa
Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk
merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver
Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Tujuan Anestesi adalah untuk menghalau
rasa sakit di bagian tubuh tertentu sebelum melakukan tindakan bedah. Rasa
takut dan nyeri harus diperhatikan betul pada pra bedah.

2.2 General Anesthesia (GA)


General Anesthesia (GA) atau anestesia umum adalah tindakan
menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan
dapat pulih kembali (reversibel) yang disebabkan oleh obat-obat anestesi dan
disertai dengan hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh.. Anestesi umum adalah
bentuk anestesi yang paling sering digunakan atau dipraktekkan yang dapat
disesuaikan dengan jumlah terbesar pembedahan. Obat anestesi yang masuk
ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan. Yang
pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh
darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa
sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui
stadium anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan
mencegah terjadinya kelebihan dosis. Menurut Guedel (1920), pembagian
stadium anestesi dibagi menjadi 4 (stadium III dibagi menjadi 4 plana),
yaitu:
a. Stadium IStadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat
mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).

9
Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi
kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini
b. Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari
hilangnya kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali
teratur.
c. Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium I I I dibagi menjadi 4 plana yaitu:
- Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis, refleks
cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan
belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna. (tonus otot mulai
menurun).
- Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks
laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.
- Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring
dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus
otot semakin menurun).
- Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot
interkostalparalisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang,
refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik
sempuma (tonus otot sangat menurun).
d. Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai
dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4.
pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut
jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan
pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan
buatan.

10
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada
beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi
yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal
antara lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap
organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil,
cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat
kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan .Obat anestesi umum yang ideal
mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai daya
analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mulai kerja obat yang
cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut
harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas.
Indikasi anestesi umum adalah pada infant dan anak usia muda, orang
dewasa yang memilih anestesi umum, operasi dengan pembedahan yang luas
(ekstensif), pembedahan yang lama, pembedahan dimana anestesi lokal sulit
untuk digunakan, dan pasien dengan pengobatan antikoagulantia. Komponen trias
anestesi terdiri dari hipnotik-sedatif, analgesik dan muscle relaxant (pelumpuh
otot). Obat yang termasuk golongan hipnotik-sedatif adalah propofol, ketamin
halotan, enfluran, isofluran, dan sevofluran. Sedangkan yang termasuk golongan
analgesik adalah morfin, pethidin, barbituurat, atropin. Golongan obat yang
termasuk muscle relaxant adalah atracurium, vancuronium, dan recuronium.
Anestesi umum pembagian berdasarkan teknik pemberiannya dibedakan
menjadi tiga, yaitu:
- Inhalasi
Diberikan sebagai uap melalui saluran pernafasan. Dalam pemberian
inhalasi juga dibedakan menjadi 3 teknik. Tiga teknik tersebut adalah:
a. Sistem terbuka
Cairan terbang (eter, kloroform, trikloretilen) diteteskan tetes demi
tetes ke atas helai kain kasa dibawah suatu kap dari kawat yang
menutupi mulut dan hidung pasien
b. Sistem tertutup

11
Suatu mesin khusus menyalurkan suatu campuran gas dengan oksigen
ke dalam suatu kap dimana sejumlah CO2 dari ekshalasi dimasukkan
kembali.
c. Insuflasi
Gas atau uap ditiupkan kedalam mulut atau tenggorok dengan
perantaraan suatu mesin.
- Intravena
Biasanya pemberian obat melalui intravena diberikan bersamaan dengan
infus, secara perlahan dengan laju tetap.
- Intramuscular
Sering digunakan pada operasi anak – anak, atau pada operasi yang
sebentar dimana kondisi pasien sulit dikendalikan. Teknik ini sangat
populer dalam praktek anestesi, karena teknis mudah, relatif aman karena
kadar plasma tidak mendadak tinggi. Kerugiannya ialah absorbsi kadang-
kadang diluar perkiraan, menimbulkan nyeri yang jelas dibenci anak-
anak dan beberapa obat bersifat iritan.

2.3 Intubasi Endotrakeal


Intubasi endotrakeal adalah salah satu metode untuk penguasaan jalan
napas yang digunakan untuk memasukkan obat anestasi (induksi). Intubasi
endotrakeal dilakukan dengan memasang pipa ETT (Endotrachealtube), yang
disesuaikan ukuran nya berdasarkan usia nya. Intubasi juga dilakukan dengan
memakai 2 cara, yaitu spontan dan kontrol. Spontan yang berarti intubasi
dilakukan tanpa menggunakan muscle relaxant, sedangkan dengan kontrol
dilakukan dengan memakai muscle relaxant. Cara kontrol ini yang lebih sering
digunakan dan lebih aman.
Komplikasi yang bisa terjadi saat pemasangan intubasi endotrakeal adalah
aspirasi, trauma gigi geligi, laserasi bibir, gusi, laring, hipertensi, takikardi,
spasme bronchus. Setelah pemasangan endotrakeal, komplikasi yang bisa
terjadi yaitu, spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema glottis, dan
infeksi laring, faring, trachea.

2.4 Invaginasi
a. Latar belakang

12
Invaginasi adalah suatu keadaan gawat darurat akut dibidang ilmu
bedah dimana suatu segmen usus masuk kedalam lumen usus ba gia n
distalnya sehingga dapat menimbulkan gejala obstruksi dan pada fase
lanjut apabila tidak segera dilakukan reposisi dapat menyebabkan
strangulasi usus yang berujung pada perforasi dan peritonitis. Perjalanan
penyakit ini bersifat progresiv. Insiden 70% terjadi pada usia < 1 tahun
tersering usia 6-7 bulan, anak laki-laki lebih sering dibandingkan anak
perempuan (De Jong, 2005).

b. Etiologi
Etiologi ±90-95 % invaginasi pada anak < 1 tahun tak dijumpai
adanya kelainan pada ususnya yang dikenal dengan istilah infantile
idiopathic intussusception. Diduga karena penebalan dinding usus,
terutama ileum terminal akibat hiperplasi jaringan limfoid submukosa oleh
peradangan virus yaitu adeno virus dan reovirus. Penyebab lain pada anak
> 2 tahun adalah diver tikel meckeli, polyposus neoplasma (leimioma dan
leiomiosarkoma), haemangioma, dan lymphoma. Namun dapat juga
dijumpai kasus inva ginasi setelah dilakukan tindakan laparotomi yang
dikenal dengan istilah post operative intussuseption. Faktor-faktor yang
dihubungkan dengan terjadinya invaginasi adalah: 1) Perubahan diet
makanan, 2) Enteritis akut, dan 3) Perubahan musim (Stead et al, 2003)
c. Patofosiologi
Suatu segmen usus berikut mesenterium atau mesokolon masuk ke
lumen usus bagian distal oleh suatu sebab. Proses selanjutnya adalah
proses obstruksi usus strangulasi berupa rasa sakit dan perdarahan peranal.
Sakit mula-mula hilang timbul kemudianmenetap dan sering disertai
rangsangan munta h. Darah yang keluar peranal merupakan darah segar
yang bercampur lendir. Proses obstruksi usus sebenarnya sudah terjadi
sejak invaginasi, tetapi penampilan klinik obstruksi memerlukan waktu,
umumnya setelah 10-12 jam sampai menjelang 24 jam (Stead et al, 2003).

d. Diagnosis
Penemua n klinis tergantung dari lamanya invaginasi terjadi.
Umumnya bayi dalam keadaan sehat dan gizi baik. Mungkin beberapa hari

13
sebelumnya menderita radangsaluran nafas atau diare. Bayi tiba-tiba
menangis seperti menahan sakit untuk beberapa menit kemudian
diam,main-main atau tidur kembali. Sering disertai muntah berupa
minuman/makanan yang masuk.
Gejala klinis dari invaginasi adalah TRIAS gejala yang terdiri dari:
1) Nyeri perut yang bersifat kolik, 2) Muntah, dan 3) Berak lendir darah
(red currant jelly= selai kismis merah). Adapula yang menyebutkan bahwa
TRIAS gejala tersebut adalah: 1) Nyeri perut yang bersifat kolik, 2)
Teraba massa tumor diperut seperti sosis (sausage’s sign), dan 3) Berak
lendir darah. Sekum yang teraba kosong disebut dengan “dance’s sign”.
Pada colok dubur (rectal toucher) dapat ditemukan sebagai berikut:
1) Tonus sfingter ani melemah, 2) Mungkin invaginat dapat diraba berupa
massa seperti portio/pseudo portio (portio like appearance ), dan 3) Bila
jari di tarik, maka akan keluar darah bercampur lendir ( Currant jelly
stool’s). Foto polos abdomen 3 posisi akan ditemukan tanda-tanda
obstruksi dengan gambar “ air-fluid levels” dan distribusi udara dalam
usus tidak merata (gambar 1).

Gambar 1. Foto polos abdomen. Tampak air-fluid levels pada usus.

Pemeriksaan barium enema digunakan untuk tujuan diagnostik dan


terapi, dimana akan terlihat gambaran “cupping” dan “coilspring” (gambar
2). Untuk tujuan terapi, barium enema dikerjakan dengan tekanan

14
hidrostatik untuk mendorong usus yang masuk ke arah proksimal, teknik
ini dapat dikerjakan bila belum ada tanda-tanda obstruksi usus yang jelas,
seperti muntah-muntah hebat, perut distensi, dan dehidrasi berat.
Peritonitis merupakan kontra indikasi dilakukan reposisi dengan
barium enema. Reposisi berhasil bila setelah rectal tube ditarik dari anus
maka barium keluar dengan disertai massa feses dan udara (menyemprot);
pada fluoroskopi terlihat ada reflux barium kedalam lumen ileum dan
massa tumor hilang.

Gambar 2. Foto barium enema. Tampak Cupping dan Coilspring


pada usus.

Reposisi manual dapat dilakukan dengan cara milking yaitu


gerakan seperti memerah susu dengan tujuan untuk mengeluarkan
invaginat. Reseksi usus dilakukan bila telah ter ja di perforasi atau
ganggren pada invaginat, kemudian dilakukan anastomosis bila
memungkinkan, bila tidak mungkin dilakukan “eksteriorisasi” atau
ileostomi (Stead et al, 2003).

e. Penatalaksanaan
Perbaikan keadaan umum dikerjakan sebelum melakukan tindakan
pembedahan. Pasien baru boleh dioperasi apabila sudah yakin bahwa
perfusi jaringan telah baik. Pasang sonde lambung (NGT) untuk tujuan

15
dekompresi dan mencegah aspirasi. Rehidrasi cairan elektrolit dan atasi
asidosis bila ada. Berikan antibiotika profilaksis dan obat sedativa, muscle
relaxan, dan atau analgetika bila diperlukan.
Tindakan yang dikerjakan oleh ahli bedah terga ntung pada temuan
intra -operasi. Invaginasi sering ditemukan di daerah sekum, pada suatu
segmen ileum terminal yang berkaliber kecil menyusup masuk kedalam
sekum yang berkaliber lebih besar. Jenis invaginasi dapat berupa (gambar
3): 1) Invaginasi ileo-colica, 2) Invaginasi ileo-caecal, dan 3) Invaginasi
ileo-ileal. Angka kekambuhan mencapai 5% bila dilakukan reduksi
hidrostatik dan 2% bila dilakukan pembedahan (De Jong, 2005).

Gambar 3. Macam invaginasi: A. Ileo-colica, B. Ileo-ileal, dan C.


Ileo-caecal.

16
BAB 3
KESIMPULAN

Invaginasi adalah suatu keadaan gawat darurat akut dibidang ilmu bedah
dimana suatu segmen usus masuk kedalam lumen usus bagian distalnya sehingga
dapat menimbulkan gejala obstruksi dan pada fase lanjut apabila tidak segera
dilakukan reposisi dapat menyebabkan strangulasi usus yang berujung pada
perforasi dan peritonitis. Perjalanan penyakit ini bersifat progresiv. Insiden 70%
terjadi pada usia < 1 tahun tersering usia 6-7 bulan, anak laki-laki lebih sering
dibandingkan anak perempuan. Pada kasus invaginasi ini penatalaksanaan yang
dilakukan adalah laparotomi eksplorasi, tentu dengan pemilihan anestesi yaitu
General Anesthesia (GA). Alasan pemilihan anestesi ini dikarenakan operasi yang
berlangsung akan memakan waktu lama, dan resiko pasien dalan kondisi tidak
stabil cukup tinggi, karena pembedahan intraabdominal memiliki risiko
kehilangan cairan yang cukup banyak.

17
DAFTAR PUSTAKA

Harahap, AR, 2016, Hubungan antara Ki-67 Labeling Index terhadap Prognosis
pada Meningioma, Thesis Ilmu Bedah Saraf, Medan: FK USU.
https://fkuwks2012c.files.wordpress.com/2015/09/anestesi-general-uwk-paling-
baru.pdf, diakses pada tanggal 30 Juni 2017.
Indharty, RS, 2016, Meningioma Konveksitas, Jurnal Universitas Sumatera Utara,
Medan: FK USU.
Latief, A. Said, dkk., 2009, Anestesiology, Jakarta: FKUI.
Warnick, Ronald, 2016, https://www.mayfieldclinic.com/PDF/PE-Meni.pdf,
Mayfield Clinic University of Cincinnati Department of Neurosurgery,
Ohio, diakses diakses pada tanggal 30 Juni 2017

18

Anda mungkin juga menyukai