Anda di halaman 1dari 53

SKENARIO 2

BENJOLAN SEPERTI MUTIARA

Seorang laki-laki berusia 40 tahun dating ke poliklinik dengan keluhan benjolan di


daerah hidung sejak 2 bulan yang lalu. Benjolan dirasakan semakin membesar. Pasien
bekerja di perbaikan jalan raya yang sering bekerja pada siang hari. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan pernapasan 20x, suhu 37.1, nadi 84x, tekanan darah 120/80. Do
daerah hidung ditemukan nodul ulseratif dengan permukaan berlapis-lapis seperti
mutiara dan telangiektasis. Dokter memberikan obat dan edukasi terkait penyakit
pasien.

STEP 1

1. Nodul ulseratif : nodul yang mengalami ulserasi


2. Telangiektasis : dilatasi pembuluh darah kecil seperti cabang pohon

STEP 2

1. Apa factor resiko dari kasus tersebut?


2. Apa hubungan pekerjaan dengan keluhan pasien?
3. Bagaimana mekanisme munculnya benjolan dan telangiektasis?
4. Mengapa benjolan terjadi di hidung?
5. Bagaimana penegakan diagnosis kasus tersebut?
6. Bagaimana tatalaksana kasus tersebut?

STEP 3

1. Pekerjaan (paparan sinar matahari terus menerus), riwayat kelainan kulit, usia,
jenis kelamin, trauma kulit, genetic, paparan bahan kimia, albino.
2. Radiasi UV → menembus stratum korneum → diabsorpsi oleh DNA →
terbentuk pirimidin → mutase PTCH → tidak efektif → perkembangan sel tidak
terkontrol → proliferasi → benjolan → telangiektasis.
3. Lapisan kulit terpapar UVB → proliferasi → merangsang telangiektasis →
benjolan.
4. Distribusi sinar UV paling banyak di wajah.
5. Karsinoma sel basal : nodul ulseratif, telangiektasis
Karsinoma sel skuamosa : tidak ada eritema
Melanoma maligna : macula besar, hitam
Penegakan diagnosis :
Anamnesis : lesi seperti tahi lalat, ukuran membesar
Pemeriksaan fisik : ulkus rodent, hiperpigmentasi
6. Kemoterapi untuk mencegah proliferasi, bedah eksisi standar, obat topical (5
fluorourasil).

STEP 4

1. Sinar matahari mengandung UVA dan UVB. UVB dapat mengganggu nutrisi
epidermis. UVB yang mudah masuk ke lapisan basal akan menyebabkan mutase
gen sehingga terjadi proliferasi dan terbentuk benjolan. Selain itu terdapat factor
resiko internal (umur lebih dari 50 tahun, pria, genetic, ras) maupun eksternal
(radiasi UV, trauma mekanis kulit), mutase gen P53 dan PTCH,
ketidakseimbangan tumor supresor gen dan protoonkogen.
2. Sudah jelas
3. Karsinoma → angiogenesis → inisiasi pembuatan pembuluh darah baru →
ANGPT 1 ANGPT 2 → integrin → membantu perlekatan.
4. Sudah jelas
5. Ulkus rodent : hitam, di tengahnya terdapat ulkus, melanoma : tidak simetris,
tidak ada ulkus
6. Operasi mikrografi, kuretase, cryosurgery, imunoterapi (interferon tipe 1, 5
fluorourasil), sun protector.
MINDMAP

FAKTOR
ETIOLOGI RESIKO PENEGAKAN
DIAGNOSIS

KEGANASAN PADA
TATALAKSANA
KULIT
MEKANISME

BCC JENIS

SARKOMA
SCC KAPOSI
MELANOMA
MALIGNA

STEP 5

1. Bagaimana mekanisme terjadinya keganasan pada kulit?


2. Bagaimana hubungan imunosupresan dengan keganasan kulit?
3. Bagaimana pendekatan klinis dari BCC, SCC, Melanoma Maligna, Sarkoma
Kaposi?

REFLEKSI DIRI

Alhamdulillah PBL skenario 2 telah dilaksanakan dengan baik. Kami sudah


cukup paham dengan materi yang ada di scenario 2 ini. Namun masih ada beberapa
hal yang belum kami mengerti seperti funny looking lesions pada melanoma
maligna. Semoga untuk kedepannya kami bisa lebih baik lagi.

STEP 6

Belajar mandiri
STEP 7

1. Mekanisme Terjadinya Keganasan Pada Kulit

Kanker adalah penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak
terkendali. Sel kanker memiliki kemampuan untuk menyerang jaringan biologis
lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan
(invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan
yang tidak terkendali tersebut disebabkan adanya kerusakan DNA, menyebabkan
mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa buah mutasi
dibutuhkan untuk mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi tersebut
dapat diakibatkan oleh agen kimia maupun agen fisik yang disebut karsinogen.
Mutasi dapat terjadi secara spontan ataupun diwariskan (mutasi germline).
Kanker disebabkan adanya genom abnormal, terjadi karena adanya kerusakan
gen yang mengatur pertumbuhan diferensiasi sel. Gen yang mengatur
pertumbuhan dan diferensiasi sel disebut protooncogen dan tumor suppressor
genes, dan terdapat pada semua kromosom dengan jumlah yang banyak.
Protooncogen yang telah mengalami perubahan hingga dapat menimbulkan
kanker disebut onkogen. Suatu pertumbuhan normal diatur oleh kelompok gen,
yaitu growth promoting protooncogenes, growth inhibiting cancer supresor
genes (antioncogenes) dan gen yang berperan pada kematian sel terprogram
(apoptosis). Selain ketiga kelompok gen tersebut, terdapat juga kelompok gen
yang berperan pada DNA repair yang berpengaruh pada proliferasi sel.
Ketidakmampuan dalam memperbaiki DNA yang rusak menyebabkan terjadinya
mutasi pada genom dan menyebabkan terjadinya keganasan. Proses
karsinogenesis merupakan suatu proses multi tahapan dan terjadi baik secara
fenotip dan genetik. Pada tingkat molekuler, suatu progresi merupakan hasil dari
sekumpulan lesi genetic.4
Gambar 1.1. Skema sederhana dasar molekuler penyakit kanker.4
The six hallmark of cancer ( enam karakter sel kanker ) adalah kontek enam
perubahan mendasar dalam fisiologi sel yang secara bersama-sama menentukan
fenotipe keganasan :4
a) Growth signal autonomy: Sel normal memerlukan sinyal eksternal untuk
pertumbuhan dan pembelahannya, sedang sel kanker mampu memproduksi
growth factors dan growth factor receptors sendiri. Dalam proliferasinya sel
kanker tidak tergantung pada sinyal pertumbuhan normal. Mutasi yang
dimilikinya memungkinkan sel kanker untuk memperpendek growth factor
pathways.4
b) Evasion Growth inhibitory signal : Sel normal merespon sinyal
penghambatan pertumbuhan untuk mencapai homeostasis. Jadi ada waktu
tertentu bagi sel normal untuk proliferasi dan istirahat. Sel kanker tidak
mengenal dan tidak merespon sinyal penghambatan pertumbuhan, keadaan
ini banyak disebabkan adanya mutasi pada beberapa gen (protoonkogen)
pada sel kanker.4
c) Evasion of Apoptosis Signal : Pada sel normal kerusakan DNA akan
dikurangi jumlahnya dengan mekanisme apoptosis, bila ada kerusakan DNA
yang tidak bisa lagi direparasi. Sel kanker tidak memiliki kepekaan terhadap
sinyal apoptosis. Kegagalan sel kanker dalam merespon sinyal apoptosis
lebih disebabkan karena mutasinya gen-gen regulator apoptosis dan gen-gen
sinyal apoptosis.4
d) Unlimited replicative potential: Sel normal mengenal dan mampu
menghentikan pembelahan selnya bila sudah mencapai jumlah tertentu dan
mencapai pendewasaan. Penghitungan jumlah sel ini ditentukan oleh
pemendekan telomere pada kromosom yang akan berlangsung setiap ada
replikasi DNA. Sel kanker memiliki mekanisme tertentu untuk tetap menjaga
telomere yang panjang, hingga memungkinkan untuk tetap membelah diri.
Kecacatan dalam regulasi pemendekan telomere inilah yang memungkinkan
sel kanker memiliki unlimited replicative potential.
Gambar 2.2. Enam tanda utama kanker (The Hallmarks of Cancer, Cell). 4

e) Angiogenesis (formation of blood vessel): sel normal memiliki


ketergantungan terhadap pembuluh darah untuk mendapatkan suplai oksigen
dan nutrient yang diperlukan untuk hidup. Namun bentuk dan karakter
pembuluh darah sel normal lebih sederhana atau konstan sampai dengan sel
dewasa. Sel kanker mampu menginduksi angiogenesis, yaitu pertumbuhan
pembuluh darah baru di sekitar jaringan kanker. Pembentukan pembuluh
darah itu baru diperlukan untuk survival sel kanker dan ekspansi kebagian
lain dari tubuh (metastase). Kecacatan pada pengaturan keseimbangan
induser angiogenik dan inhibitornya dapat mengaktifkan angiogenic switch.4
f) Invasion and metastasis: Sel normal berpindah ke lokasi lain di dalam tubuh.
Perpindahan sel kanker dari lokasi primernya ke lokasi sekunder atau
tertiernya merupakan faktor utama adanya kematian yang disebabkan karena
kanker. Mutasi memungkinkan peningkatan aktivitas enzim enzim yang
terlibat invasi sel kanker (MMPs). Mutasi juga memungkinkan berkurangnya
atau hilangnya adhesi antar sel oleh molekul-molekul adhesi sel,
meningkatnya attachment, degradasi membran basal, serta migrasi sel
kanker. Peranan tumor suppressor genes (p53) pada karsinoma kulit adalah:

Gen tumor supresor p53 pada manusia adalah protein yang terdiri dari
asam amino 338 yang berfungsi sebagai faktor transkripsi dalam mengatur
proliferasi dan diferensiasi sel. p53 merupakan gen penghasil protein p53
yang dikenal sebagai “guardian of the genome”. Berbagai Faktor risiko
ekstrinsik yang berhubungan dengan mekanisme perkembangan karsinoma
sel terutama ketika terpajan pajanan sinar matahari usia, jenis kelamin dan
kemampuan kapasitas DNA repair. Dibuktikan sebelumnya ada hubungan
secara signifikan peningkatan usia, pengaruh pajanan sinar matahari dengan
ekspresi p53 yang abnormal.4

2. Hubungan Imunosupresan Dengan Keganasan Kulit


Mekanisme Kerja obat imunosupresan berdasarkan penghambatan/supresi
reaksi umum secara dini. Pada literatur, menunjukkan bahwa tempat kerja obat
imunosupresan dalam mengatasi Selain dengan obat, imunosupresi dapat juga
diperoleh dengan memanipulasi jumlah Ag dan Ab dalam tubuh. Penggunaan
imunosupresan bertujuan untuk mendapatkan toleransi spesifik (terarah), yaitu
toleransi terhadap suatu antigen tertentu saja. Alasan dikehendakinya suatu
toleransi spesifik, dan bukan umum, ialah karena toleransi umum dapat
membahayakan individunya; khusunya memudahkan timbulnya penyakit infeksi
berat. Tetapi sayangnya toleransi spesifik seringkali sulit dicapai. Perlu
dimengerti bahwa bila Ag masih terdapat dalam tubuh, reaksi imunologik akan
muncul kembali dengan penghentian pemberian imunosupresan.
Efek imunosupresi dapat dicapai dengan salah satu cara berikut:5
a. Menghambat proses fagositosis dan pengolahan Ag menjadi Ag imunogenik
oleh makrofag
b. Menghambat pengenalan Ag oleh sel limfoid imunokompeten
c. Merusak sel limfoid imunokompeten
d. Menekan diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten, sehingga tidak
terbentuk sel plasma penghasil Ab, atau sel T yang tersensitisasi untuk
respons imun selular
e. Menghentikan produksi Ab oleh sel plasma, serta melenyapkan sel T yang
tersensitisasi yang telah terbentuk. Beberapa imunosupresan mempengaruhi
berbagai reaksi respons imun, umpamanya reaksi inflamasi.

Secara praktis, di klinik penggunaan obat imunosupresan berdasarkan waktu


pemberiannya. Untuk itu respons imun dibagi dalam dua fase:5

1) Fase pertama adalah fase induksi, yang meliputi:5


i. Fase pengolahan Ag oleh makrofag, dan pengenalan Ag oleh limfosit
imunokompeten
ii. Fase proliferasi dan diferensiasi sel B dan sel T, masing-masing untuk
respons imun humoral dan selular.
2) Fase kedua: fase produksi, yaitu fase sintesis aktif Ab dan limfokin.
Berdasarkan fase-fase tersebut, imunosupresan dibagi dalam tiga kelas :5
i. Imunosupresan kelas I harus diberikan sebelum fase induksi, yaitu
sebelum terjadi perangsangan oleh Ag. Jadi kerjanya adalah merusak
limfosit imunokompeten (limfolitik). Contohnya: alkilator radiomimetic
dan kortikosteroid (sinar X juga bekerja pada fase ini). Jika diberikan
setelah terjadi perangsangan oleh Ag, biasanya tidak diperoleh efek
imunosupresif sehingga respons imun dapat berlanjut terus.5
ii. Imunosupresan kelas II adalah yang harus diberikan dalam fase induksi;
biasanya satu atau dua hari setelah perangsangan oleh Ag berlangsung.
Obat golongan ini bekerja menghambat proses diferensiasi dan
proliferasi sel imunokompeten, misalnya antimetabolit. Jika diberikan
sebelum adanya perangsangan oleh Ag, umumnya tidak memperlihatkan
efek imunosupresif; malahan sebaliknya, beberapa obat tersebut justru
dapat meningkatkan respons imun, umpamanya azatioprin dan
metotreksat. Bagaimana mekanisme terjadinya hal yang disebut
belakangan belum diketahui dengan pasti.5
iii. Imunosupresan kelas III memiliki sifat imunosupresan kelas I maupun
kelas II. Jadi golongan ini dapat menghasilkan imunosupresi bila
diberikan sebelum maupun sesudah adanya perangsangan oleh Ag.5
Pilahan imunosupresan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Kelas I Kelas II Kelas III

Klorambusil
Busulfan
Metotreksat
L-Melfalan
Azatioprin
D-Melfalan
6-Merkaptopurin (6-MP)
Glukokortikoid:
Sitarabin (ARA-C)
D. Prednison
5-Bromo-deoksiuridin (5-
Siklofosfamid
E. Prednisolon BUdR)
Prokarbazin
F. Glukokortikoid lainnya 5-Fluoro-deoksiuridin (5-
FUdR)
Mitomisin C
5-Fluorourasil (5-FU)
Kolkisin
Vinblastin (VBL)
Fitohemaglutinin
Vinkristin (VCR)
Sinar-X
Siklosporin*

Dari obat yang tertera dalam tabel tersebut hanya beberapa saja yang telah
lazim digunakan sebagai imunosupresan, yaitu:5
a. alkilator: siklofosfamid dan klorambusil
b. antimetabolit: aztioprin dan 6-merkaptopurin (analog purin), metotreksat
(analog folat)
c. kortikosteroid: prednisolon, prednison
d. siklosporin.
Obat yang digunakan sebagai imunosupresan sebagian besar termasuk
dalam golongan obat kelas II, contohnya azatioprin, 6-merkaptopurin,
klorambusil dan metotreksat. Efek utama obat kelompok ini ialah
menghancurkan sel yang sedang berproliferasi, maka tahap proliferasi dan
diferensiasi umumnya merupakan fase yang lebih sensitif daripada tahap
lainnya. Obat-obat ini paling efektif diberikan beberapa hari setelah
berlangsungnya stimulasi Ag yaitu pada periode dengan sensitivitas
maksimal. Imunosupresan kelas III yang telah banyak digunakan sampai kini
hanyalah sikolofosfamid. Efek imunosupresif dapat diperoleh bila diberikan
sebelum maupun sesudah berlangsungnya stimulasi Ag, tetapi efek ini terkuat
pada pemberian beberapa hari setelah stimulasi Ag berlangsung. Golongan
imunosupresan kelas I yang telah digunakan sampai kini hanyalah
glukokortikoid, khususnya prednisolon dan prednison.5
3. Pendekatan Klinis Dari BCC, SCC, Melanoma Maligna, Sarkoma Kaposi
A. Karsinoma Sel Basal
a. Pengertian
Karsinoma sel basal (KSB) atau basalioma merupakan neoplasma
yang berasal dari sel tanpa keratin dan terletak di stratum basalis
epidermis. KSB merupakan tumor maligna, bersifat invasif secara lokal,
agresif dan destruktif, tetapi jarang bermetastasis, sehingga angka
kematian rendah. Meskipun demikian, KSB memiliki angka morbiditas
yang tinggi2.

b. Etiologi
Patogenesis KSB melibatkan pajanan sinar ultraviolet (UV), terutama
ultraviolet B (UVB), yang akan menginduksi mutasi gen supresor tumor.
Pajanan ini bergantung pada waktu, pola dan jumlah radiasi UV, tetapi
hingga kini masih belum dapat dijelaskan dengan tepat hubungan antara
risiko KSB dengan pajanan UV. Faktor-faktor fisis dapat mempengaruhi
kemampuan merespons radiasi UV, misalnya warna kulit, rambut, dan
mata. Meskipun sebagian besar kasus KSB berlokasi di area yang sering
terpajan sinar matahari, tetapi beberapa kasus KSB juga terjadi di area
tubuh yang tidak terpajan sinar matahari. Hal ini dapat menjelaskan faktor
risiko lain dalam patogenesis KSB, Karsinogen kimiawi misalnya arsen,
produk coal tar, psoralen, radiasi terionisasi, serbuk fibreglass dan bahan
dry-cleaning dapat meningkatkan risiko kanker kulit nonmelanoma. Hal
ini ditentukan oleh potensi karsinogen, lama pajanan dan kelengkapan
alat pelindung yang digunakan oleh para pekerja di bidang industri.
Merokok juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian
KSB2.

c. Patofisiologi
Pada kasus KSB familial dan sporadis terdapat aktivasi hedgehog (HH)
signal pathway yang tidak sesuai. Awalnya HH signal pathway
diidentifikasi sebagai determinan segment polarity lalat buah Drosophila
melanogaster. Jalur ini berperan penting dalam perkembangan vertebrata.
Protein sonic HH (SHH) yang disekresi akan berikatan dengan tumor-
suppressor protein patched homologue 1 (PTCH1), sehingga akan
menggagalkan supresi sinyal intraselular yang diperantarai interaksi
PTCH-1 dengan protein transmembran lain, yaitu G-protein-coupled
receptor smoothened (SMO). Target selanjutnya dari SMO adalah famili
GLI faktor transkripsi Saat tidak ada PTCH1, maka SMO menjadi aktif,
dan menyebabkan aktivasi gen target yang terus menerus. Perubahan lain
pada jaras HH yang terlibat dalam perkembangan penyakit ini termasuk
mutasi peningkatan fungsi SHH, SMO, dan GLI. Pada kurang lebih 50%
kasus KSB sporadik ditemukan mutasi gen supresor tumor p53. Beberapa
mutasi terjadi pada sekuens dipirimidin, yang menandakan mutasi ini
disebabkan pajanan radiasi UVB. β-katenin nuklear berhubungan dengan
peningkatan proliferasi sel tumor2.

Gambar 1.1 Patogenesis Molekuler KSB2

d. Clinical Presentation
Berdasarkan manifestasi klinis, KSB dibagi menjadi beberapa subtipe
nodular, pigmentasi, superfisial, morfeaformis, dan tipe FOP. Predileksi
lesi KSB di area yang terpajan sinar matahari seperti pada wajah dan
leher.1,4 tetapi dapat juga ditemukan di bagian tubuh lain. Pada pasien
yang didiagnosis KSB dengan lesi di daerah kepala dan leher, lokasi yang
paling banyak ditemukan adalah di hidung dan pipi (37%), telinga (26%),
bibir (18%), mata (12%), serta kulit kepala berambut (8%). Lesi KSB
dapat berupa papul atau nodul translusen, dengan atau tanpa disertai
ulserasi, dan sering disertai telangietasis serta tepi lesi yang membulat
(rolled border) Gambaran lesi tersebut merupakan tanda khas pada KSB
subtipe nodular, yang merupakan subtipe KSB terbanyak1.

Gambar 1.2 KSB tipe nodular1

Sel tumor yang berpigmen akan berkumpul di epidermis dan dermis


yang sehingga memberikan gambaran blue-gray ovoid nest, multiple
blue-gray dots/globules, maple leaf-like areas, atau spoke-wheel area
pada pemeriksaan dermoskopi.Sel tumor membutuhkan nutrisi yang lebih
banyak sehingga timbul neovaskularisasi, pada dermoskopi membentuk
gambaran khas berupa pembuluh darah melebar seperti arborizing vessel
dan atau superfisial fine telangiectasis. Lesi tumor mudah rapuh sehingga
mudah erosi dan ulserasi, sehingga pada gambaran dermoskopi dapat
ditemukan gambaran ulserasi dan atau multiple small erosions.
Penegakan diagnosis KSB pada pemeriksaan dermoskopi harus
memenuhi dua syarat yaitu tidak ditemukan gambaran dermoskopi berupa
pigment network dan terdapat minimal satu karakteristik gambaran
dermoskopi yang ditemukan pada KSB. Pigment network merupakan
gambaran dermoskopi berbentuk seperti sarang lebah yang dikenal
dengan honeycomb-like yang terdiri dari garis berpigmen (pigmented
lines) dan lubang-lubang hipopigmentasi (hypopigmented holes).
Karakteristik gambaran dermoskopi yang ditemukan pada KSB dapat
berupa arborizing vessel dan atau superfisial fine telangiectasis, ulserasi
dan atau multiple small erosions, blue-gray ovoid nest, multiple blue-
gray dots/globules, maple leaf-like areas, atau spoke-wheel area1.

Arborizing vessels adalah salah satu karakteristik gambaran


dermoskopi KSB yang mirip seperti ranting pohon. Gambaran ini berupa
pembuluh darah dengan diameter yang besar, berwarna merah terang,
bercabang, tidak teratur, di atas permukaan tumor. Gambaran tersebut
merupakan pelebaran pembuluh darah di dermis akibat peningkatan
volume vaskularisasi atau neo-vaskularisasi untuk nutrisi sel tumor1.

Gambar 1.1 Arborizing vessels1


Gambar 1.2 Superfisial fine telangiectasis1

Gambar 1.3 Blue-gray ovoid nest1

Gambar 1.3 Ulserasi1


Gambar 1.4 Multipel blue-gray dots/globules1

Superfisial fine telangiectasis merupakan gambaran dermoskopi


berupa garis lurus, pendek, berwarna merah muda, tanpa cabang, yang
merupakan pembuluh darah yang pendek, halus, lurus1.

Ulserasi atau multiple small erosion pada gambaran dermoskopi


berupa gambaran yang tidak berstruktur (berwarna putih), gambaran lesi
dapat soliter atau multipel di atas area yang berwarna merah atau merah
kehitaman. Gambaran tersebut dikarenakan hilangnya lapisan epidermis,
sering pula ditutupi oleh krusta hemoragik1.

Blue-gray ovoid nest merupakan gambaran berbentuk bulat seperti


telur yang berkonfluens, lebih besar dari globules, berbatas tegas,
berwarna biru keabu-abuan. Gambaran tersebut terbentuk akibat sel
tumor yang berpigmen berkumpul di lapisan dermis1.

Multipel blue-gray dots/globules adalah gambaran berbentuk lonjong


atau bulat, berbatas tegas, ukurannya lebih kecil dari ovoid nest.
Gambaran dots berukuran kurang dari 0,1 mm, sedangkan globules
berukuran lebih dari 0,1 mm. Gambaran tersebut terbentuk akibat
kumpulan sel tumor berpigmentasi yang berlokasi di dermis.
Maple leaf-like areas adalah gambaran berbentuk daun, berwarna
cokelat transparan sampai biru keabuan dan berkumpul di daerah perifer
lesi. Gambaran ini terbentuk akibat sel-sel tumor berpigmen yang
bergabung, banyak ditemukan di lapisan epidermis, tetapi kadang-kadang
juga ditemukan di lapisan dermis1.

Spoke wheel areas merupakan gambaran berbentuk jari-jari roda


berbatas tegas, dengan warna yang bervariasi seperti cokelat, hitam, biru,
dan abu-abu. Pada tengah spoke wheel area warna terlihat lebih gelap
(axis sentral). Gambaran tersebut merupakan kumpulan sel tumor yang
sering ditemukan pada lapisan epidemis1.

Gambar 1.5 Maple leaf-like areas1 Gambar 1.6 Spoke wheel areas1

Pada setiap subtipe KSB dapat ditemukan gambaran dermoskopi yang


khas. Oleh karena itu dermoskopi dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis subtipe KSB.

1) KSB subtipe Nodular


Karsinoma sel basal tipe nodular merupakan tipe yang paling sering
ditemukan,4 sekitar 50-80% kasus KSB. Manisfestasi klinis berupa papul
dan nodul transparan, atau nodul dengan ulserasi disertai tepi lesi bulat
dan telangiektasis. Lesi ini berwarna Lesi ini dapat didiagnosis banding
dengan nevus dermal yang traumatik. Gambaran klinis subtipe nodularis
berupa nodul transulen, disertai ulserasi. Pada gambaran dermoskopi pada
lesi tersebut ditemukan arborizing vessel. Gambaran dermoskopi
menunjukkan suatu KSB karena tidak ditemukan adanya pigment network
yang dapat ditemukan pada nevus dermal. Arborizing vessel ditemukan
pada 75% kasus KSB tipe nodular19 dan pada penelitian lain ditemukan
pada 52,4% kasus.13 Sehingga arborizing vessel merupakan suatu tanda
khas subtipe nodular. Pada 30% kasus ditemukan adanya telangiektasi,
serta 6% kasus ditemukan ulserasi. Gambaran maple leaf like area dan
spoke wheel area tidak ditemukan pada subtipe ini1.

Gambar 1.1 KSB tipe nodular

A .Gambaran klinis tipe nodular: nodul translusen

B. Gambaran dermoskopi memerlihatkan aborizing vessels (tanda bulat)1

2) KSB subtipe Superfisial


Manisfestasi klinis KSB tipe superfisial ditandai dengan lesi berupa
makula eritema atau plak eritema berskuama. Lesi ini mempunyai ukuran
bervariasi dari beberapa milimeter sampai sentimeter. Sebanyak 76,6%
kasus KSB subtipe superfisial bermanifestasi sebagai suatu lesi datar dan
hanya 23,4% sebagai suatu lesi menimbul. Gambaran klinis yang
menyerupai KSB tipe superfisial antara lain, dermatofitosis, keratosis
likenoid, dan psoriasis. Predileksi pada batang tubuh dan bahu, Subtipe
superfisial memiliki gambaran dermoskopi terbanyak berupa superfisial
fine telangiectasis dan multipel small erosions1.

Gambar 1.2 KSB tipe superficial

A. Gambaran klinis tipe superficial

B. Gambaran dermoskopi superfisial fine telangiectasis (tanda bulat) dan


multipel small erosions (tanda panah)1

3) KSB subtipe Pigmentasi

KSB tipe pigmentasi merupakan subtipe KSB yang jarang


dibandingkan subtipe KSB lainnya, yang mempunyai gambaran klinis
serupa dengan subtipe nodular, superfisial, atau morfeaformis dengan
pigmentasi. Predileksi tersering pada wajah dan leher Gambaran
dermoskopi lesi subtipe ini berupa gambaran adanya suatu kumpulan
melanin seperti blue-gray ovoid nests, leaf- like area, spoke wheel area,
Lesi KSB tipe pigmentasi dapat didiagnosis banding dengan lesi
berpigmen lainnya seperti melanoma maligna dan keratosis seboroik
berpigmen. Kriteria Menzies dapat digunakan untuk membedakan lesi
KSB tipe pigmentasi dengan suatu lesi melanoma maligna. Berdasarkan
kriteria tersebut, jika tidak ditemukan dua gambaran negatif yaitu lesi
simetris dan warna homogen (satu warna), serta terdapat sekurang-
kurangnya satu gambaran positif seperti blue-white veil, pseudopods,
radial streaming, dan multiple colour dapat didiagnosis sebagai
melanoma maligna. Sedangkan pada KSB subtipe pigmentasi, kritera
Menzies tidak ditemukan. Pada keratosis seboroik dapat ditemukan
comedo-like opening, multiple milia-like cyst, atau gambaran brain-like
fissure1.

Gambar 1.3 KSB subtipe pigmentasi yang menyerupai subtipe nodular

A. Gambaran klinis subtipe superfisial

B. Gambaran dermoskopi blue-gray avoid nest (tanda panah) dan superfisial

fine telangictasis (tanda bulat)1


Gambar 1.4 KSB subtipe pigmentasi yang menyerupai subtipe superfisial

A. Gambaran klinis KSB pigmentasi

B. Gambaran demoskopi spoke wheel areas (tanda kotak), multipel small


erosions (tanda panah)1

Gambar 1.5 KSB subtipe pigmentasi yang menyerupai subtipe superfisial

A. Gambaran klinis KSB pigmentasi (superfisial)

B. Gambaran dermoskopi meaple leaf-like areas (tanda panah) dan

superfisial fine telangictasis (tanda bulat)1


4) KSB subtipe Morfeaformis
Karsinoma sel basal subtipe ini dikenal juga dengan
sklerodermaformis. Lesi ini dapat berupa plak atrofi, berwarna kuning
kepuihan, menyerupai jaringan parut,12 atau lesi kecil pada morfea.
Insidensinya jarang, yaitu sekitar 1-5% dari seluruh subtipe KSB. lesi
kulitnya berupa batas yang tidak jelas, yang jarang menimbulkan
ulserasi.3 Jika terdapat lesi jaringan parut tanpa didahului oleh trauma
atau terdapat jaringan parut atipikal pada kulit yang telah diobati
sebelumnya, dapat kita curigai suatu KSB tipe morfeaformis. Pada
pemeriksaan dermoskopi dapat ditemukan gambaran berupa superfisial
fine telangiectasis13 dengan latar belakang warna putih menunjukkan
suatu jaringan parut1.

Gambar 1.6 KSB tipe morfeaformis

A. Gambaran klinis KSB tipe morfeaformis

B. Gambaran dermoskopi superfisial fine telangiectasis (tanda bulat)1

5) KSB subtipe Fibroepitelioma of Pinkus

Fibroepitelioma of pinkus merupakan subtipe KSB yang menyerupai


tumor jinak. Subtipe KSB ini jarang ditemukan, Herman Pinkus
merupakan orang yang pertama kali menemukan KSB subtipe ini.34
Gambaran klinis subtipe ini berupa lesi soliter, tetapi kadang-kadang
dapat berupa lesi multipel, berbentuk papula4 atau plak yang berbatas
tegas.Lesi ini berwarna merah muda, atau cokelat muda menyerupai
warna daging, Pada KSB subtipe FOP kadang-kadang lesi dapat
bertangkai (pedunculated), polypoid, dengan atau tanpa disertai ulserasi,
sehingga lesi ini dapat didiagnosis banding dengan dengan tumor jinak
seperti skin tag dan keratosis seboroik.Predileksi lesi ini di daerah
lumbal-sakral, tetapi dapat juga pada daerah ekremitas dan genitalia. hasil
pemeriksaan dermoskopi berupa gambaran aborizing vessels sebanyak
100% dan white streaks area 90% yang mendukung gambaran KSB tipe
FOB. Pada penetilian tersebut hasil pemeriksaan dermoskopi ini sesuai
dengan pemeriksaan histopatologis yaitu KSB subtipe FOP. White streaks
area merupakan gambaran khas pada KSB subtipe FOP, yaitu berupa
gambaran berwarna putih yang merupakan area fibrosis. Hal tersebut
membuktikan bahwa pemeriksaan dermoskopi sangat membantu dalam
penegakan diagnosis KSB subtipe FOP1.

Gambar 16. KSB tipe fibroepitelioma of pinkus (FOP)

A. Gambaran klinis KSB subtipe FOP

B. Gambaran dermoskopi ditemukan aborizing vessel (tanda panah) dan


white streaks area (tanda bulat)1
B. Karsinoma Sel Skuamosa
a. Definisi
Suatu bentuk karsinoma sel skuamosa yang terbatas pada epidermis
dan belum menyusup ke jaringan bawah (dermis). Kulit yang terkena
tampak coklat-merah dan bersisik terkadang menyerupai bercak pada
dermatitis atau infeksi jamur.6
b. Etiologi6
i. Sinar matahari
ii. Sinar radiasi
iii. Panas kronik
iv. Granuloma kronik
v. Ulkus dan radang kronik
vi. Bahan karsinogen : (arsen dan hidrokarbon polisiklik aromatik, virus
HPV)
c. Gejala Klinik6
i. Plak dan tumor teraba padat, verukosa, atau berbenjol – benjol dan
berbentuk ulkus
ii. Tepi tumor tidak jelas
iii. Lokasi tumor tergantung penyebab. Misalnya bila disebabkan oleh
sinar matahari, maka lesi banyak pada wajah &lengan bawah
d. Pemeriksaan Penunjang
Sel squamosa, pengangkatan melalui pembedahan adalah semua yang
diindikasikan dan tidak membutuhkan pemeri ksaan diagnosa lenjutan.
Untuk yang dalam pemeriksaan mungkn diindikasikan untuk menemukan
adanya metastase penyakit.ini meliputi pemeriksaan darah,pemeriksaan
sinar-x, dan atau skar CT.6
e. Penatalaksanaan
Pencegahan terhadap karsinoma sel skuamosa dapat dilakukan dengan
melindungi kulit dari pajanan sinar matahari, termasuk menghindari
matahari tengah hari, pemakaian topi, baju pelindung , dan tabir surya
berspektrum luas. Karsinoma sel skuamosa dieksisi secara bedah dan
terapi radiasi. Kemoterapi dan terapi imun dapat dilakukan selain
pembedahan terkadang pada karsinoma sel skuamosa.6

Gambar 1.1 Karsinoma Sel Skuamosa.6


C. Melanoma Maligna
a. Definisi

Melanoma maligna atau biasa juga disebut sebagai melanoma adalah


keganasan yang terjadi pada melanosit, sel penghasil melanin, yang
biasanya berlokasi di kulit tetapi juga ditemukan di mata, telinga, traktus
GI, leptomeninges, dan oral dan membran mukus genitalia. Karena
sebagian besar sel melanoma masih menghasilakn melanin, maka
melanoma seringkali berwarna coklat atau hitam.4
b. Etiologi
Penyebab yang pasti tidak diketahui. Dapat timbul dari kulit normal
(de novo) atau berasal dari nevus pigmentosus (nevus junctional),
Hutchinson’s melanotic freckle, giant pigmented nevus, nevus biru.
Penyebab terjadinya kanker kulit ini ada dua, yaitu penyebab dari dalam
tubuh maupun dari luar tubuh. Banyak factor yang diduga berperan dalam
timbulnya melanoma maligna diantaranya factor genetik (ada sejak lahir),
sinar matahari (Sering kali melanoma maligna dikaitkan dengan
penyebab kulit terhadap cahaya matahari. Contohnya, golongan lelaki
tumor melanoma biasanya tumbuh pada bagian belakang begitupun
dengan wanita, tumor tumbuh pada belakang dan juga kaki), penyebab
karsinogen, faktor fenotip (mata biru, rambut pirang, kulit terang seperti
contohnya pada orang yang berkulit cerah pada masa yang sama,
seseorang yang berkulit cerah dan kurang berpigmen mempunyai risiko
yang tinggi mendapat tumor melanoma maligna. Pada umumnya,
melanoma berlaku pada orang tua, tetapi pada remaja pun turut dijumpai),
dan adanya precursor potensial terhadap melanoma. Faktor risiko yang
lain yang termasuk yaitu Sindrom Mole Atipikal, Melanosit Nevi Besar
Kogenital. Lentigo maligna dan sejarah riwayat keluarga melanoma
maligna yang positif.4
c. Faktor Resiko
Identifikasi faktor resiko terhadap melanoma maligna adalah penting
untuk usaha pencegahan dan deteksi dini yang dilakukan. Faktor resiko
melanoma maligna diantaranya yaitu:4
1. Tahi lalat (Nevus)
Tahi lalat atau dalam bahasa kedokterannya disebut juga sebagai
nevus merupakan salah satu tumor jinak pada melanosit. Nevus
tersebut dapat timbul sejak lahir atau saat masa kanak-kanak, bisa juga
saat remaja. Salah satu tipe nevus yang dapat berubah menjadi
melanoma yaitu dysplastic nevus atau tahi lalat atipik. Nevus
displastik sedikit seperti nevus normal biasa, namun juga terlihat
seperti melanoma. Nevus displastik ini seringkali merupakan faktor
keluarga. Jika seseorang memiliki seorang anggota keluarga yang
mempunyai displastik nevus maka sekitar 50% kemungkinan nevus
tersebut akan berkembang. Resiko melanoma sekitar 6% sampai
dengan 10% pada mereka yang memiliki nevus displastik, tergantung
pada usia, faktor keluarga, jumlah nevus displastik dan faktor-faktor
lainnya. Sedangkan pada mereka yang memiliki nevus melanotik sejak
lahir, resiko berkembangnya melanoma yaitu sekitar 6%. Pada studi
case-control , individu yang memiliki nevus yang dianggap dysplasia
nevi apabila memenuhi 2 kriteria yaitu :4

i. Diameter sekurang-kurangnya 5mm dengan tekstur yang datar


(baik seluruhnya maupun sebagian).4
ii. Dua dari kriteria berikut : warna yang bervariasi, asimetris atau
batas yang tidak jelas. 4
Adanya tahi lalat yang berubah, jumlahnya yang banyak (lebih dari
100 buah) dan adanya tahi lalat yang sangat besar dengan diameter
>20 cm pada orang dewasa menambah faktor resiko. 4
2. Faktor Keluarga
Resiko akan menjadi lebih besar pada mereka yang memiliki
keluarga yang didiagnosa melanoma pada hubungan keluarga primer,
seperti ayah, ibu, kakak, adek atau anak. Sekitar 10% seseorang
dengan melanoma memiliki sejarah keluarga yang menderita penyakit
4
yang sama.
3. Fenotip
Fenotip yaitu ekspresi gen pada diri seseorang. Dan yang dimaksud
dalam hal ini yaitu ekspresi gen seseorang terhadap kulit yang terang,
berbintik-bintik, warna mata hijau atau biru, rambut merah atau pirang,
dan lain sebagainya. Resiko terhadap orang kulit putih 20 kali lebih
tinggi bila dibanding dengan seorang Afrika Amerika. Hal ini
disebabkan karena efek protektif oleh pigmen kulit. Namun bukan
berarti orang kulit hitam terbebas sama sekali dari resiko melanoma,
hanya saja tempat predileksi yang berbeda. Emedicine menyatakan
bahwa seorang Hispanik dan Afrika Amerika, melanoma lebih sering
ditemukan di daerah akral. 4
4. Supresi Sistem Imun
Orang yang telah diterapi dengan obat-obatan imun supresor,
seperti pada pasien-pasien transplantasi, akan meningkatkan resiko
terkena melanoma. 4
5. Pajanan Terhadap Radiasi Sinar UV yang Berlebihan
Sumber utama Radiasi Sinar UV adalah matahari. Sedangkan
sumber yang lain yaitu pada lampu-lampu yang biasanya dipakai di
salon-salon kecantikan untuk menggelapkan kulit. Orang dengan
pajanan sinar ultraviolet yang berlebihan memiliki resiko yang lebih
besar dibandingkan dengan yang tidak. Hal ini dikaitkan juga dengan
faktor lingkungan, yaitu tinggal dilokasi dekat dengan garis ekuator,
orang yang memiliki kebiasaan rekreasi outdoor atau orang yang
memiliki pekerjaan yang mengharuskannya terpajan sinar matahari
lebih banyak, seperti pelaut, petani, dll., Namun, pajanan terhadap
sinar ultraviolet yang intermitten namun sangat kuat lebih sering
memiliki korelasi yang kuat dengan terjadinya melanoma jika
dibandingkan dengan pajanan kronik namun dalam level rendah,
meskipun jumlah total dosis sinar ultraviolet sama.4
6. Usia
Sekitar setengah dari kejadian melanoma, terdapat pada orang-
orang pada usia lebih dari 50 tahun. Orang yang pernah terkena
melanoma akan memiliki resiko lebih tinggi untuk terkena melanoma
kembali atau residif.4
d. Epidemiologi
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia. Korelasi insiden melanoma
biasanya berlawanan dengan garis lintang, yaitu insidennya lebih tinggi
pada daerah yang dekat ekuator dan lebih rendah secara progresif pada
daerah yang lebih dekat kutub. Penyakit ini jarang dijumpai sebelum
pubertas, tetapi dapat mengenai semua usia. Insiden tertinggi pada usia
35-55 tahun. Dapat mengenai pria dan wanita dengan frekuensi yang
sama, namun morbiditasnya lebih tinggi pada pria.4
e. Manifestasi Klinis
Bentuk dini sangat sulit dibedakan dengan tumor lainnya. Karena
melanoma maligna merupakan penyakit yang fatal bila telah metastasis
jauh, maka kemampuan untuk mengenali keganasan dini perlu
diperdalam. Lokalisasi dilaporkan terbanyak di ekstremitas bawah,
kemudian didaerah badan, kepala/leher, ektremitas atas, kuku. Kunci
penyembuhan melanoma maligna adalah penemuan dini, sehingga
diagnosis melanoma harus ditingkatkan bila penderita melaporkan adanya
lesi berpigmen baru atau adanya tahi lalat yang berubah, seperti:4
1. Perubahan dalam warna.
2. Perubahan dalam ukuran (terutama pertumbuhan yang cepat)
3. Timbulnya gejala (gatal, rasa terbakar, atau rasa sakit)
4. terjadi peninggian pada lesi yang sebelumnya datar
5. perubahan pada permukaan atau perubahan pada konsistensi lesi
berpigmen
6. berkembangnya lesi satelit

Secara Klinis, melanoma maligna ada 4 macam tipe, yaitu:4

i. Superficial Spreading Melanoma


Merupakan tipe melanoma yang sering terjadi di Amerika
Serikat, yaitu sekitar 70% dari kasus yang didiagnosa sebagai
melanoma. Dapat terjadi pada semua umur namun lebih sering pada
usia 30-50 tahun, sering pada wanita dibanding pria dan merupakan
penyebab kematian akibat kanker tertinggi pada dewasa muda. 4
Pada stadium awal, tipe ini bisa berupa bintik yang datar yang
kemudian pigmentasi dari lesi mungkin menjadi lebih gelap atau
mungkin abu-abu, batasnya tidak tegas, dan terdapat area inflamasi
pada lesi. Area di sekitar lesi dapat menjadi gatal. Kadang-kadang
pigmentasi lesi berkurang sebagai reaksi imun seseorang untuk
menghancurkannya. Tipe ini berkembang sangat cepat. Diameter
pada umumnya lebih dari 6mm. Lokasi pada wanita di tungkai
bawah, sedangkan laki-laki di badan dan leher. 4
Gambar 3.1 Superficial Spreading Melanoma.4

Gambaran histologis Superficial Spreading Melanoma, pada


epidermis didapatkan melanosit berbentuk epiteloid, dapat tersusun
sendiri – sendiri atau berkelompok, pada umumnya sel – sel
tersebut tidak tampak pleomorfik. Pada dermis terlihat sarang –
sarang tumor yang padat dan dengan melanosit berbentuk epiteloid
yang besar serta berkromatin yang atipik, di dalam sel – sel tersebut
terdapat butir – butir kromatin, kadang – kadang dapat di temukan
melanosit berbentuk kumparan dan sel – sel radang.4

Gambar 3.2 Histologi Superficial Spreading Melanoma.4


ii. Nodular Melanoma
Merupakan tipe melanoma yang paling agresif. Pertumbuhannya
sangat cepat dan berlangsung dalam waktu mingguan sampai
bulanan. Sebanyak 15%-30% kasus melanoma yang terdiagnosa
sebagai melanoma merupakan nodular melanoma. Dapat terjadi
pada semua umur, namun lebih sering pada individu berusia 60
tahun ke atas. Tempat predileksinya adalah tungkai dan tubuh.
Melanoma ini bermanifestasi sebagai papul coklat kemerahan atau
biru hingga kehitaman, atau nodul berbentuk kubah, atau setengah
bola (dome shaped) atau polopoid dan aksofitik yang dapat timbul
dengan ulserasi dan berdarah dengan trauma minor, timbul lesi
satelit. Secara klinik bisa berbentuk amelanotik atau tidak
berpigmen. Fase perkembangannya tidak dapat dilihat dengan
mudah, dan sulit di identifikasi dengan deteksi ABCDE.4

Gambar 3.3 Nodular melanoma.4


Gambaran histologis Nodular melanoma pada epidermis didapatkan
melanosit berbentuk epiteloid, dan kumparan atau campuran, dapat
ditemukan pada daerah dermo – epidermal. Gambaran dermis
terlihat sel – sel melanoma menginvasi ke lapisan retikuler dermis,
pembuluh darah dan subcutis.4

Gambar 3.4 . Histologi Nodular Melanoma.4

iii. Lentigo Maligna Melanoma


Sebanyak 4-10 % kasus melanoma merupakan tipe Lentigo
Maligna melanoma. Terjadi pada kulit yang rusak akibat terpapar
sinar matahari pada usia pertengahan dan lebih tua, khususnya pada
wajah, leher dan lengan. Melanoma tipe ini pada tahap dini
terdiagnosa sebagai bercak akibat umur atau terpapar matahari.
Karena mudah sekali terjadi salah diagnosa maka tipe ini dapat
tidak terdeteksi selama bertahun-tahun dan cukup berbahaya.
Pertumbuhan tipe ini sangat lambat yaitu sekitar 5-20 tahun. Pada
tahap in situ lesinya luas (>3cm) dan telah ada selama bertahun-
tahun. Karakteristik invasinya ke kulit berupa macula
hiperpigmentasi coklat tua sampai hitam atau timbul nodul yang
biru kehitaman. Pada permukaan dijumpai bercak-bercak warna
gelap (warna biru) tersebar tidak teratur, dapat menjadi nodul biru
kehitaman invasive agak hiperkeratonik. 4

Gambar 3.5 Lentigo melanoma.4

Pada epidermis di dapatkan Melanositik atipik sepanjang


membrane basalis, berbentuk pleomorfik dengan inti yang atipik.
Sel – sel yang di jumpai berbentuk kumparan. Sedangkan pada
dermisnya terdapat Infiltrasi limfosit dan makrofag yang
mengandung melanin.

Gambar 3.6 Histologi Lentigo melanoma.4


iv. Acral Lentigineous Melanoma
Tipe ini paling sering menyerang kulit hitam dan Asia yaitu
sebanyak 29-72% dari kasus melanoma dan karena sering terlambat
terdiagnosis maka prognosisnya buruk. Sering disebut sebagai
”hidden melanoma” karena lesi ini terdapat pada daerah yang sukar
untuk dilihat atau sering diabaikan, yaitu terdapat pada telapak
tangan, telapak kaki, tumit, ibu jari tangan, atau dibawah kuku.
Melanoma subungual bisa terlihat sebagai diskolorasi difus dari
kuku atau pita longitudinal berpigmen di dasar kuku. Melanoma ini
memiliki bentukan yang sama dengan benign junctional melanotic
nevus. Pigmen akan berkembang dari arah proksimal menuju ke
arah laterla kuku yang disebut sebagai tanda Hutchinson, sebuah
tanda yang khusus untuk melanoma akral. Pada permukaan timbul
papul, nodul, ulcerasi, kadang-kadang lesi tidak mengandung
pigmen.4
Gambar 3.7 Acral Lentigous Melanoma.4
Gambaran yang paling khas paling baik di lihat pada daerah
macula berpigmen. Tampak adanya gambaran proliferasi melanosit
atipikal sepanjang lapisan basal.4

Gambar 3.8 Histologi Acral lentiginous melanoma.4

Selain 4 tipe tersebut terdapat juga salah satu tipe yaitu Non
pigmentasi hanya sebanyak <5% dari jumlah kasus melanoma di
Amerika Serikat.. Tipe ini tidak berpigmen dan secara klinis tampak
pink atau gambaran kemerahan.Variasinya yaitu Desmoplastic/
neurotropic melanoma, mucosal (lentigenous melanoma), malignant
blue nevus. 4

Gambar 3.9 Melanoma amelanotik.4


f. Penegakan Diagnosis
Penyakit kanker kulit berbeda dengan penyakit lain, penyakit kanker
kulit atau penyakit kulit dapat dilihat langsung dengan mata pemeriksa.
Metode pemeriksaannya dapat dilakukan dengan cara melakukan
anamnesis riwayat penyakit. Dan dengan cara melakukan penyayatan
mole yang kemudian diamati dibawah Mikroskop. Dari penyayatan mole
tersebut dapat diketahui jenis kanker yang diidap dan tahap kanker
tersebut. Dan dapat juga dilakukan diangnosis dengan laser. Dapat
menangkap gambar tiga dimensi dari perubahan kimia dan struktur yang
telah berlangsung dibawah permukaan kulit manusia. Melihat kelainan
kulit yang menonjol pada ukurannya lebih besar dari 2,5 cm.4

Klasifikasi menurut kedalaman (ketebalan) Tumor menurut Breslow:4

i. Golongan I : Kedalaman (ketebalan) tumor <0,76 mm


ii. Golongan II : Kedalaman (ketebalan) tumor 0,76-1,5 mm
iii. Golongan III : Kedalaman (ketebalan) tumor >1,5 mm

Klasifikasi yang lain yaitu klasifikasi tingkat invasi menurut Clark:4

i. Tingkat I : sel melanoma terletak di atas membrane basalis


epidermis

(melanoma in situ/ intra epidermal)

ii. Tingkat II : invasi sel melanoma samapi dengan lapisan papilaris

dermis (dermis superfisial), tetapi tidak mengisi papila dermis

iii. Tingkat III : Sel melanoma mengisi papila dermis dan meluas
sampai taut dermis papiler dan retikuler.
iv. Tingkat IV : Invasi sel melanoma sampai dengan lapisan
retikularis
dermis.
v. Tingkat V : Invasi sel melanoma sampai dengan jaringa
subkutan.

Sedangkan National Comprehensive Cancer Network menggunakan


klasifikasi yang merupakan variasi dari sistem TNM.4

a) Stage 0
Melanoma in situ, yang berarti hanya melibatkan lapisan epidermis
dan belum menyebar ke dermis. Dalam klasifikasi menurut Clark
tingkat I.
b) Stage 1
Melanoma memiliki ketebalan kurang dari 1 mm atausekitar 1/25
inch. Dalam klasifikasi Clark, sesuai dengan tingkat II atau III.
c) Satge I-II
Melanoma memiliki ketebalan antara 1-4 mm atau menurut
klasifikasi Clark sesuai dengan tingkat IV dengan ketebalan
berapapun. Tingkat ini masih terlokalisasi di kulit dan belum
ditemukan penyebaran pada kelenjar limfe atau organ lain yang jauh.
d) Stage III: melanoma sangat tebal, lebih dari 4 mm, atau jika dalam
klasifikasi Clark, sesuai dengan tingkat V dan atau nodul melanoma
ditemukan dalam 2 cm dari tumor utama. Atau melanoma telah
menyebar ke kelenjar limfe terdekat, tapi masih belum ada penyebaran
jauh.
e) Stage IV
Melanoma telah menyebar luas disamping ke region sekitarnya, seperti
ke paru-paru, hati, otak, dll.

Tabel 1.1 Klasifikasi TNM Melanoma.4


Tabel 1.2 Staging Melanoma.4

g. Patogenesis
Patofisiologi terjadinya melanoma maligna belum diketahui dengan
jelas. Diperkirakan terjadinya perubahan melanosit normal menjadi sel
melanoma (melanomagenesis) melibatkan proses rumit yang secara
progresif mengakibatkan mutasi genetik melalui percepatan terhadap
proliferasi, diferensiasi dan kematian serta pengaruh efek karsinogenik
radiasi ultraviolet. Primary cutaneous melanoma dapat timbul dalam
bentuk prekursor, yakni nevi mealnotik ( Tipe umum, kongeenital,
atipikal/displastik), walaupun dipercaya bahwa lebih dari 60% kasus
adalah arise de novo ( tidak tumbuh dari lesi pigmen yang telah ada.)
Perkembangan dari melanoma adalah multifaktor, dimana banyak hal
yang berhubungan dengan perkembangan dan pertumbuhannya, dan
tampaknya berhubungan dengan faktor resiko yang multipel pula;
termasuk eksposur sinar matahari berlebih, moles yang tumbuh, riwayat
keluarga akan melanoma, mole yang berubah-ubah dan tidak sembuh, dan
yang terpenting usia yang lanjut.4

Gambar 3.12 Patogenesis Melanoma Maligna.4

Biasanya, sel kulit di dalam epidermis membagi dengan teratur dan


terkawal. Sel baru lazimnya menolak sel lama ke permukaan luar kulit di
mana sel lama ini akan mati. Proses ini dikawal oleh DNA. Kanker kulit
berlaku karena terdapat gangguan pada proses ini di mana sel membagi
dan membentuk pertumbuhan yang besar.4

h. Komplikasi
Metastasis dapat terjadi pada local (di dalam atau sekitar lesi primer),
pada limfonodi, atau pada:4
1) Kulit yang jauh dari lesi primer
2) Limfonodi yang jauh
3) Organ-organ dalam
4) Tulang
5) CNS.
i. Prognosis
Prognosis melanoma tidak ditentukan oleh satu macam faktor saja,
namun multifaktor dan utamanya bergantung pada:4
(1) ketebalan tumor,
(2) ada tidaknya ulserasi secara histologi, dan
(3) adanya metastase pada kelenjar limfe.
j. Penatalaksanaan

i. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi utama dari melanoma maligna, yang
hampir 100% efektif pada masa-masa awal tumor. Pembedahan ini,
dilakukan dengan cara eksisi luas. Termasuk dalam penatalaksanaan
pembedahan melanoma maligna ini adalah Elective Lymphonode
dissection (ELND), yaitu deseksi kelenjar limfonodi tanpa dilakukan
biopsi sebelumnya. Diseksi ini dilakukan untuk tumor dengan
kedalaman 1-4 mm dan tidak pada melanoma stage I. Hal ini
disebabkan karena sebanyak 40% kasus pada pasien melanoma dengan
ketebalan 1-4 mm memiliki kelainan limfe yang tidak tampak dan
sebanyak 10% kasus dengan metastase jauh. Sedangkan pasien dengan
lesi lebih besar dari 4 mm, hampir 70% kasus dengan metastase jauh
dan 60% memiliki kelainan limfe yang tersembunyi. Namun pada
kenyataannya tindakan tersebut tidak memperbaiki survival rate dan
hingga sekarang masih dalam perdebatan. Pada penelitian yang
dilakukan WHO, angka metastasis sekitar 48% pada penderita yang
dilakukan ELND. Sedangkan pada penelitian lain yang dilakukan oleh
The International Group Melanoma Surgical trial menunjukkan
adanya perbaikan survival rate pada pasien dengan usia kurang dari 60
tahun dengan ketebalan tumor antara 1-4 mm. 4
Sentinel Lymph Node Dissection merupakan bentuk
penatalaksanaan pembedahan yang lain. Pada pembedahan ini, diseksi
dilakukan pada kelenjar limfe yang merupakan tempat utama
melanoma untuk drainase. Adanya diseksi ini dikatakan dapat
mengidentifikasi mereka yang mempunyai resiko tinggi metastase dan
mereka yang mungkin mendapatkan keuntungan dengan diseksi
lengkap kelenjar limfe atau dengan terapi adjuvan. 4
ii. Terapi Adjuvant
Karena pengobatan definitive dari melanoma kulit adalah dengan
pembedahan, maka terapi medikamentosa diberikan sebagai terapi
tambahan dan penatalaksanaan pada pasien melanoma stadium lanjut.
Pasien yang memiliki melanoma dengan tebal lebih dari 4 mm atau
metastase ke limfonodi dengan pemberian terapi adjuvant dapat
meningkatkan angka ketahanan hidup. Studi di berbagai center
kesehatan menunjukkan pemberian interferon alpha 2b (IFN)
menambah lamanya ketahanan hidup dan ketahanan terhadap
terjadinya rekurensi Melanoma, sehingga oleh Food and Drug
Administration (FDA) mengajurkan IFN sebagai terapi tambahan
setelah eksisi pada pasien dengan resiko recurrent. IFN γ dilaporkan
tidak efektif pada fase I atau II dari melanoma yang bermetastase,
namun potensi IFN γ yang merupakan mediator pembunuh alami
Limfosit T sitotoksik, sebuah pengaktivasi makrofag, dn HLA klas II
ekspresi antigen, merupakan hal yang tak dapat diabaikan. Interleukin-
2 (IL-2) pada penelitian terakhir, dalam dosis tinggi baik diberikan
sendiri maupun dengan kombinasi bersama sel lymphokine activated
killer menghasilkan respon pada pasien sebesar 15% sampai 20%,
dengan respon lengkap sebesar 4-6%.4
Terapi adjuvan lain selain IFN yaitu Kemoterapi dengan macamnya
yaitu:4
1) Dacarbazine (DTIC), baik diberikan sendiri maupun kombinasi
bersama Carmustine (BCNU) dan Cisplastin.
2) Cisplastin, vinblastin, dan DTIC
3) Temozolomide merupakan obat baru yang mekanisme kerjanya
mirip DTIC, tetapi bisa diberikan per oral.
4) Melphalan juga dapat diberikan pada melanoma dengan prosedur
tertentu.
Terapi-terapi adjuvan yang lainnya diantaranya yaitu dengan
biokemoterapi, yaitu merupakan kombinasi terapi antara kemoterapi
4
dan imunoterapi, imunoterapi sendiri dan gen terapi.
Dalam kepustakaan lain disebutkan juga adanya terapi radiasi pada
melanoma yang merupakan terapi paliatif. Radioterapi sering
digunakan setelah pembedahan pada pasien dengan lokal atau regional
melanoma atau untuk pasien dengan unresectable dengan metastasis
jauh. Terapi ini dapat mengurangi recurence lokal tetapi tidak
memperbaiki prolong survival. Radioimunoterapi pada metastase
melanoma masih dalam penelitian, pada penelitian yang dilakukan
National Cancer Institute (NCI) terapi ini menunjukkan kesuksesan.
Terapi ini dengan memberikan auotologous lymphocytes yang
kemudian mengkode T cell receptors (TCRs) pada lymphosit pasien,
kemudian telah terbentuk manipulasi lymphosit yang melekat pada
molekul di permukaan sel melanoma yangf kemudian membunuh sel
melanoma tersebut. 4
k. Pencegahan
Pada prinsipnya, pencegahan dilakukan dengan cara menghindari
pajanan sinar matahari secara intens. Sehingga pencegahan dapat
dilakukan dengan jalan:4
a. Membatasi pajanan sinar Ultraviolet terhadap kulit. Hal ini bisa
dilakukan dengan jalan mencari tempat yang teduh jika berada di
luar gedung, memakai baju panjang untuk mengurangi banyaknya
kulit yang terpajan matahari, dan menggunakan lotion sunscreen
dengan SPF 15 atau lebih pada kulit yang terpajan sinar matahari,
serta menggunakan kacamata hitam untuk perlindungan mata.
b. Menghindari sumber-sumber sinar UV lainnya, seperti tempat tidur
yang digunakan untuk mencoklatkan kulit di salon-salon
kecantikan.
D. Sasbel Sarkoma Kaposi
a. Definisi
Sarkoma kaposi (SK) adalah kanker yang berkembang dari sel-sel
yang melapisi pembuluhkelenjar getah bening atau pembuluh darah.
Sarkoma kaposi seringkali muncul sebagai tumor pada kulit atau pada
permukaan mukosa. Sarkoma Kaposi berhubungan dengan infeksi virus
herpes yang dapat menyebar secara vertikal dan seksual. Seseorang yang
terinfeksi HIV mempunyai risiko 100 hingga 300 kali lebih sering terkena
SK dibandingkan populasi dengan HIV negatif. Sarkoma kaposi adalah
kanker yang berkembang dari sel-sel yang melapisi kelenjar getah bening
atau pembuluh darah. Sarkoma Kaposi seringkali muncul sebagai tumor
pada kulit atau pada permukaan mukosa, seperti di dalam mulut. Pada
populasi dengan HIV negatif, SK jarang didapatkan. Seseorang yang
terinfeksi HIV mempunyai risiko 100 hingga 300 kali lebih sering terkena
SK dibandingkan populasi dengan HIV negatif. Seseorang dengan HIV
positif tanpa adanya HHV-8 tidak akan berkembang menjadi SK.
Sebaliknya, pada orang dengan HIV negatif yang terinfeksi HHV-8, bisa
berkembang menjadi SK, seperti pada pada SK tipe klasik.3
Pemeriksaan fisik meliputi tanda-tanda vital, berat badan dan tanda-
tanda yang mengarah kepada infeksi oportunistik sesuai dengan stadium
klinis HIV. Pada awal tahun 1980-an, prevalensi SK mulai meningkat
drastis dan menjadi keganasan paling banyak pada pasien dengan
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS), terutama pada laki-laki
homoseksual.
b. Epidemilogi
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa penularan seksual
menjadi faktor yang bertanggung jawab terhadap SK. Kejadian terakhir
menunjukkan bahwa SK berhubungan dengan infeksi virus herpes yang
dapat menyebar secara vertikal dan seksual. Sebuah temuan baru
mengarah pada pertumbuhan, isolasi, dan karakterisasi dari sebuah virus
herpes manusia baru yang sekarang dikenal dengan Kaposi’s sarcoma-
associated herpes virus (KSHV) atau Human herpes virus type 8 (HHV-
8) dari lesi SK. DNA dari HHV-8 ini ditemukan pada hampir semua
specimen SK tipe klasik, SK endemik, dan SK iatrogenik, seperti halnya
pada SK epidemik. Saat ini dipercaya bahwa HHV-8 diperlukan, namun
tidak cukup untuk menyebabkan SK dan bahwa faktor-faktor lain seperti
imunosupresi juga ikut berperan. SK epidemik atau SK-AIDS merupakan
keganasan terkait AIDS terbanyak yang ditemukan. Lesi awal SK-AIDS
tampak sebagai makula keunguan berbentuk oval kecil yang berkembang
cepat menjadi plak dan nodul kecil, yang seringkali timbul di banyak
tempat dan memiliki kecenderungan mengalami progresi yang cepat. Lesi
awal SK-AIDS seringkali muncul di bagian wajah, terutama pada hidung,
kelopak mata, telinga, dan punggung, dan lesinya mengikuti arah garis
kulit dan lesi pada palatum yang merupakan tanda khas SK terkait AIDS.3
c. Gambaran Histopatologi
Gambaran histopatologis SK tergantung pada stadium perkembangan
SK, yaitu dimulai dengan stadium makula, plak, dan terakhir adalah
stadium nodular. Sarkoma kaposi stadium makula, merupakan fase awal
dari perkembangan SK kutaneus. Kesan pertama yang tampak adalah
“busy dermis” atau mungkin bentukan inflamasi dermatosis ringan.
Sarkoma kaposi nodular menunjukkan ekspansi dermal yang relatif
terbatas, berbagai proliferasi selular dari sel spindle neoplastik berbentuk
lembaran Stadium plak ditandai dengan infiltrat vaskular dermal yang
lebih difus. Banyak saluran vaskular yang terpotong berisi eritrosit
mengisi dermis yang terlibat, dan didapatkan tanda sel inflamasi kronis
dengan kelompok yang banyak mengandung sel plasma bercampur
dengan siderophage dan pigmen hemosiderin bebas.3
Kontrol optimal terhadap infeksi HIV dengan terapi anti-retroviral
(ARV) merupakan komponen kunci terapi SK yang berkaitan dengan
HIV. Terapi SK dengan kondisi lesi tidak luas (lesi <25), tanpa edema di
proksimal dan tanpa keterlibatan mukosa lebih dianjurkan dengan
pemberian HAART saja. Menurut Guidelines for the Use of
Antiretroviral Agents in HIV1-Infected Adults and Adolescents ART
(Antiretroviral Therapy), terapi ART dimulai pada kondisi CD4 <200
cell/uL.3
d. Contoh Kasus
a. Anamnesis
Seorang pasien laki-laki 27 tahun dirawat di bangsal Ilmu Penyakit
Dalam RSUP M Djamil Padang dengan keluhan utama lemah letih
lesu meningkat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Bentolbentol berwarna merah keunguan di dada, perut, punggung dan
belakang telinga sejak 3 bulan yang lalu, demam sejak 3 bulan yang
lalu, sering berkeringat pada malam hari, batuk sejak 3 bulan yang
lalu, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan drastis, bercak
keputihan pada lidah dan mulut, dan pucat. Pasien belum menikah dan
bekerja sebagai pelayan rumah makan di Jakarta selama 5 tahun.
Riwayat seks bebas dengan wanita tuna Susila mulai umur 22 tahun,
sering berganti pasangan dan terakhir seks bebas 6 bulan yang lalu.3
b. Pemeriksaan Fisik
Vital sign pasien saat dirawat dalam batas normal kecuali suhu
37,8o C. Pada pemeriksaan mata didapatkan konjungtiva anemis, dan
pada mata kanan terdapat massa batas tegas berwarna merah
kecoklatan di forniks posterior. Pada pemeriksaan kulit terdapat plak
dan nodul berwarna merah keunguan di perut, dada, punggung dan
belakang telinga dengan ukuran ratarata 2x1x0,5 cm. Pada
pemeriksaan paru didapatkan suara nafas bronkovesikuler dan ronki
basah halus nyaring di kedua lapangan paru.3

Gambar 1. Sarkoma Kaposi pada punggung.3


Gambar 1. Sarkoma Kaposi pada mata.3

Gambar 1. Sarkoma Kaposi pada perut.3

Gambar 1. Sarkoma Kaposi di belakang telinga.3


c. Pemeriksaan Penunjang
Dari hasil laboratorium didapatkan Hb 8,6 gr/dl, leukosit 3920/mm3,
hematokrit 30% dan trombosit 189.000/mm3, LED 115 mm. Pasien
ditegakkan dengan diagnosa kerja primer HIV-AIDS dengan TB paru,
sarkoma kaposi dan candidiasis oral dan diagnosa sekunder anemia
ringan mikrositik hipokrom ec penyakit kronis. Paien direncanakan untuk
dilakukan pemeriksaan rontgen thorax, rapid test HIV, HbsAg, anti HCV,
CD4, BTA I, II, III, gene xpert dan biopsi kulit.3

Gambar 1. Rontgen Thorax.3

d. Tatalaksana
Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan kesan TB paru. Hasil
pemeriksaan rapid test HIV didapatkan positif, HbsAg negatif dan anti
HCV negatif, BTA I, II dan III negatif dan gene xpert negatif. Hasil CD4
49 sel u/L. Hasil biopsi kulit didapatkan kesan sarkoma kaposi. Pasien
ditatalaksana dengan pemberian OAT kategori I yaitu isoniazid 1x300
mg, rifampisin 1x450 mg, pirazinamid 1x1000 mg. etambutol 1x750 mg
dan B6 1x1 tablet, ARV 2 minggu setelah OAT, anti jamur yaitu
fluconazole 1x150 mg, kotrimoksazol 1x960 mg dan kloramfenikol eye
drop 3x1 tetes.3
DAFTAR PUSTAKA

1. Miryana,Windy ,Novianti Rizky Reza, Imam Sarwono,& M Cholis.


Gambaran Histopatologi Karsinoma Sel Basal. [Tinjauan Pustaka]. MDVI
Vol. 40 No.3 Tahun 2013:138-144. Diakses dari
http://www.perdoski.or.id/doc/mdvi/fulltext/28/179/138-144.pdf pada 12 Juli
2019
2. Fakhrosa, Irma, Eva, K Sutedja, Jono H Agusni, Vina Feriza, & Nia A
Saraswati. Manifestasi Klinis dan Gambaran Dermoskopi pada Karsinoma Sel
Basal. [Tinjauan Pustaka]. Syifa’ MEDIKA, Vol.8 (No.2), Maret 2018.
Diakses pada 12 Juli 2019
3. Sumber: Ersha RF, Ahmad A. Human Immunodeficiency Virus – Acquired
Immunodeficiency Syndrome dengan Sarkoma Kaposi. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2018; 7(Supplement 3)
4. M., Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta:FKUI;2011
5. Janet L, Stringer, 2006, Konsep dasar farmakologi Edisi III, EGC, Jakarta
6. Djuanda A, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 6, Jakarta: FKUI;
2013

Anda mungkin juga menyukai