STEP 1
STEP 2
STEP 3
1. Pekerjaan (paparan sinar matahari terus menerus), riwayat kelainan kulit, usia,
jenis kelamin, trauma kulit, genetic, paparan bahan kimia, albino.
2. Radiasi UV → menembus stratum korneum → diabsorpsi oleh DNA →
terbentuk pirimidin → mutase PTCH → tidak efektif → perkembangan sel tidak
terkontrol → proliferasi → benjolan → telangiektasis.
3. Lapisan kulit terpapar UVB → proliferasi → merangsang telangiektasis →
benjolan.
4. Distribusi sinar UV paling banyak di wajah.
5. Karsinoma sel basal : nodul ulseratif, telangiektasis
Karsinoma sel skuamosa : tidak ada eritema
Melanoma maligna : macula besar, hitam
Penegakan diagnosis :
Anamnesis : lesi seperti tahi lalat, ukuran membesar
Pemeriksaan fisik : ulkus rodent, hiperpigmentasi
6. Kemoterapi untuk mencegah proliferasi, bedah eksisi standar, obat topical (5
fluorourasil).
STEP 4
1. Sinar matahari mengandung UVA dan UVB. UVB dapat mengganggu nutrisi
epidermis. UVB yang mudah masuk ke lapisan basal akan menyebabkan mutase
gen sehingga terjadi proliferasi dan terbentuk benjolan. Selain itu terdapat factor
resiko internal (umur lebih dari 50 tahun, pria, genetic, ras) maupun eksternal
(radiasi UV, trauma mekanis kulit), mutase gen P53 dan PTCH,
ketidakseimbangan tumor supresor gen dan protoonkogen.
2. Sudah jelas
3. Karsinoma → angiogenesis → inisiasi pembuatan pembuluh darah baru →
ANGPT 1 ANGPT 2 → integrin → membantu perlekatan.
4. Sudah jelas
5. Ulkus rodent : hitam, di tengahnya terdapat ulkus, melanoma : tidak simetris,
tidak ada ulkus
6. Operasi mikrografi, kuretase, cryosurgery, imunoterapi (interferon tipe 1, 5
fluorourasil), sun protector.
MINDMAP
FAKTOR
ETIOLOGI RESIKO PENEGAKAN
DIAGNOSIS
KEGANASAN PADA
TATALAKSANA
KULIT
MEKANISME
BCC JENIS
SARKOMA
SCC KAPOSI
MELANOMA
MALIGNA
STEP 5
REFLEKSI DIRI
STEP 6
Belajar mandiri
STEP 7
Kanker adalah penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak
terkendali. Sel kanker memiliki kemampuan untuk menyerang jaringan biologis
lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan
(invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan
yang tidak terkendali tersebut disebabkan adanya kerusakan DNA, menyebabkan
mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa buah mutasi
dibutuhkan untuk mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi tersebut
dapat diakibatkan oleh agen kimia maupun agen fisik yang disebut karsinogen.
Mutasi dapat terjadi secara spontan ataupun diwariskan (mutasi germline).
Kanker disebabkan adanya genom abnormal, terjadi karena adanya kerusakan
gen yang mengatur pertumbuhan diferensiasi sel. Gen yang mengatur
pertumbuhan dan diferensiasi sel disebut protooncogen dan tumor suppressor
genes, dan terdapat pada semua kromosom dengan jumlah yang banyak.
Protooncogen yang telah mengalami perubahan hingga dapat menimbulkan
kanker disebut onkogen. Suatu pertumbuhan normal diatur oleh kelompok gen,
yaitu growth promoting protooncogenes, growth inhibiting cancer supresor
genes (antioncogenes) dan gen yang berperan pada kematian sel terprogram
(apoptosis). Selain ketiga kelompok gen tersebut, terdapat juga kelompok gen
yang berperan pada DNA repair yang berpengaruh pada proliferasi sel.
Ketidakmampuan dalam memperbaiki DNA yang rusak menyebabkan terjadinya
mutasi pada genom dan menyebabkan terjadinya keganasan. Proses
karsinogenesis merupakan suatu proses multi tahapan dan terjadi baik secara
fenotip dan genetik. Pada tingkat molekuler, suatu progresi merupakan hasil dari
sekumpulan lesi genetic.4
Gambar 1.1. Skema sederhana dasar molekuler penyakit kanker.4
The six hallmark of cancer ( enam karakter sel kanker ) adalah kontek enam
perubahan mendasar dalam fisiologi sel yang secara bersama-sama menentukan
fenotipe keganasan :4
a) Growth signal autonomy: Sel normal memerlukan sinyal eksternal untuk
pertumbuhan dan pembelahannya, sedang sel kanker mampu memproduksi
growth factors dan growth factor receptors sendiri. Dalam proliferasinya sel
kanker tidak tergantung pada sinyal pertumbuhan normal. Mutasi yang
dimilikinya memungkinkan sel kanker untuk memperpendek growth factor
pathways.4
b) Evasion Growth inhibitory signal : Sel normal merespon sinyal
penghambatan pertumbuhan untuk mencapai homeostasis. Jadi ada waktu
tertentu bagi sel normal untuk proliferasi dan istirahat. Sel kanker tidak
mengenal dan tidak merespon sinyal penghambatan pertumbuhan, keadaan
ini banyak disebabkan adanya mutasi pada beberapa gen (protoonkogen)
pada sel kanker.4
c) Evasion of Apoptosis Signal : Pada sel normal kerusakan DNA akan
dikurangi jumlahnya dengan mekanisme apoptosis, bila ada kerusakan DNA
yang tidak bisa lagi direparasi. Sel kanker tidak memiliki kepekaan terhadap
sinyal apoptosis. Kegagalan sel kanker dalam merespon sinyal apoptosis
lebih disebabkan karena mutasinya gen-gen regulator apoptosis dan gen-gen
sinyal apoptosis.4
d) Unlimited replicative potential: Sel normal mengenal dan mampu
menghentikan pembelahan selnya bila sudah mencapai jumlah tertentu dan
mencapai pendewasaan. Penghitungan jumlah sel ini ditentukan oleh
pemendekan telomere pada kromosom yang akan berlangsung setiap ada
replikasi DNA. Sel kanker memiliki mekanisme tertentu untuk tetap menjaga
telomere yang panjang, hingga memungkinkan untuk tetap membelah diri.
Kecacatan dalam regulasi pemendekan telomere inilah yang memungkinkan
sel kanker memiliki unlimited replicative potential.
Gambar 2.2. Enam tanda utama kanker (The Hallmarks of Cancer, Cell). 4
Gen tumor supresor p53 pada manusia adalah protein yang terdiri dari
asam amino 338 yang berfungsi sebagai faktor transkripsi dalam mengatur
proliferasi dan diferensiasi sel. p53 merupakan gen penghasil protein p53
yang dikenal sebagai “guardian of the genome”. Berbagai Faktor risiko
ekstrinsik yang berhubungan dengan mekanisme perkembangan karsinoma
sel terutama ketika terpajan pajanan sinar matahari usia, jenis kelamin dan
kemampuan kapasitas DNA repair. Dibuktikan sebelumnya ada hubungan
secara signifikan peningkatan usia, pengaruh pajanan sinar matahari dengan
ekspresi p53 yang abnormal.4
Klorambusil
Busulfan
Metotreksat
L-Melfalan
Azatioprin
D-Melfalan
6-Merkaptopurin (6-MP)
Glukokortikoid:
Sitarabin (ARA-C)
D. Prednison
5-Bromo-deoksiuridin (5-
Siklofosfamid
E. Prednisolon BUdR)
Prokarbazin
F. Glukokortikoid lainnya 5-Fluoro-deoksiuridin (5-
FUdR)
Mitomisin C
5-Fluorourasil (5-FU)
Kolkisin
Vinblastin (VBL)
Fitohemaglutinin
Vinkristin (VCR)
Sinar-X
Siklosporin*
Dari obat yang tertera dalam tabel tersebut hanya beberapa saja yang telah
lazim digunakan sebagai imunosupresan, yaitu:5
a. alkilator: siklofosfamid dan klorambusil
b. antimetabolit: aztioprin dan 6-merkaptopurin (analog purin), metotreksat
(analog folat)
c. kortikosteroid: prednisolon, prednison
d. siklosporin.
Obat yang digunakan sebagai imunosupresan sebagian besar termasuk
dalam golongan obat kelas II, contohnya azatioprin, 6-merkaptopurin,
klorambusil dan metotreksat. Efek utama obat kelompok ini ialah
menghancurkan sel yang sedang berproliferasi, maka tahap proliferasi dan
diferensiasi umumnya merupakan fase yang lebih sensitif daripada tahap
lainnya. Obat-obat ini paling efektif diberikan beberapa hari setelah
berlangsungnya stimulasi Ag yaitu pada periode dengan sensitivitas
maksimal. Imunosupresan kelas III yang telah banyak digunakan sampai kini
hanyalah sikolofosfamid. Efek imunosupresif dapat diperoleh bila diberikan
sebelum maupun sesudah berlangsungnya stimulasi Ag, tetapi efek ini terkuat
pada pemberian beberapa hari setelah stimulasi Ag berlangsung. Golongan
imunosupresan kelas I yang telah digunakan sampai kini hanyalah
glukokortikoid, khususnya prednisolon dan prednison.5
3. Pendekatan Klinis Dari BCC, SCC, Melanoma Maligna, Sarkoma Kaposi
A. Karsinoma Sel Basal
a. Pengertian
Karsinoma sel basal (KSB) atau basalioma merupakan neoplasma
yang berasal dari sel tanpa keratin dan terletak di stratum basalis
epidermis. KSB merupakan tumor maligna, bersifat invasif secara lokal,
agresif dan destruktif, tetapi jarang bermetastasis, sehingga angka
kematian rendah. Meskipun demikian, KSB memiliki angka morbiditas
yang tinggi2.
b. Etiologi
Patogenesis KSB melibatkan pajanan sinar ultraviolet (UV), terutama
ultraviolet B (UVB), yang akan menginduksi mutasi gen supresor tumor.
Pajanan ini bergantung pada waktu, pola dan jumlah radiasi UV, tetapi
hingga kini masih belum dapat dijelaskan dengan tepat hubungan antara
risiko KSB dengan pajanan UV. Faktor-faktor fisis dapat mempengaruhi
kemampuan merespons radiasi UV, misalnya warna kulit, rambut, dan
mata. Meskipun sebagian besar kasus KSB berlokasi di area yang sering
terpajan sinar matahari, tetapi beberapa kasus KSB juga terjadi di area
tubuh yang tidak terpajan sinar matahari. Hal ini dapat menjelaskan faktor
risiko lain dalam patogenesis KSB, Karsinogen kimiawi misalnya arsen,
produk coal tar, psoralen, radiasi terionisasi, serbuk fibreglass dan bahan
dry-cleaning dapat meningkatkan risiko kanker kulit nonmelanoma. Hal
ini ditentukan oleh potensi karsinogen, lama pajanan dan kelengkapan
alat pelindung yang digunakan oleh para pekerja di bidang industri.
Merokok juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian
KSB2.
c. Patofisiologi
Pada kasus KSB familial dan sporadis terdapat aktivasi hedgehog (HH)
signal pathway yang tidak sesuai. Awalnya HH signal pathway
diidentifikasi sebagai determinan segment polarity lalat buah Drosophila
melanogaster. Jalur ini berperan penting dalam perkembangan vertebrata.
Protein sonic HH (SHH) yang disekresi akan berikatan dengan tumor-
suppressor protein patched homologue 1 (PTCH1), sehingga akan
menggagalkan supresi sinyal intraselular yang diperantarai interaksi
PTCH-1 dengan protein transmembran lain, yaitu G-protein-coupled
receptor smoothened (SMO). Target selanjutnya dari SMO adalah famili
GLI faktor transkripsi Saat tidak ada PTCH1, maka SMO menjadi aktif,
dan menyebabkan aktivasi gen target yang terus menerus. Perubahan lain
pada jaras HH yang terlibat dalam perkembangan penyakit ini termasuk
mutasi peningkatan fungsi SHH, SMO, dan GLI. Pada kurang lebih 50%
kasus KSB sporadik ditemukan mutasi gen supresor tumor p53. Beberapa
mutasi terjadi pada sekuens dipirimidin, yang menandakan mutasi ini
disebabkan pajanan radiasi UVB. β-katenin nuklear berhubungan dengan
peningkatan proliferasi sel tumor2.
d. Clinical Presentation
Berdasarkan manifestasi klinis, KSB dibagi menjadi beberapa subtipe
nodular, pigmentasi, superfisial, morfeaformis, dan tipe FOP. Predileksi
lesi KSB di area yang terpajan sinar matahari seperti pada wajah dan
leher.1,4 tetapi dapat juga ditemukan di bagian tubuh lain. Pada pasien
yang didiagnosis KSB dengan lesi di daerah kepala dan leher, lokasi yang
paling banyak ditemukan adalah di hidung dan pipi (37%), telinga (26%),
bibir (18%), mata (12%), serta kulit kepala berambut (8%). Lesi KSB
dapat berupa papul atau nodul translusen, dengan atau tanpa disertai
ulserasi, dan sering disertai telangietasis serta tepi lesi yang membulat
(rolled border) Gambaran lesi tersebut merupakan tanda khas pada KSB
subtipe nodular, yang merupakan subtipe KSB terbanyak1.
Gambar 1.5 Maple leaf-like areas1 Gambar 1.6 Spoke wheel areas1
Selain 4 tipe tersebut terdapat juga salah satu tipe yaitu Non
pigmentasi hanya sebanyak <5% dari jumlah kasus melanoma di
Amerika Serikat.. Tipe ini tidak berpigmen dan secara klinis tampak
pink atau gambaran kemerahan.Variasinya yaitu Desmoplastic/
neurotropic melanoma, mucosal (lentigenous melanoma), malignant
blue nevus. 4
iii. Tingkat III : Sel melanoma mengisi papila dermis dan meluas
sampai taut dermis papiler dan retikuler.
iv. Tingkat IV : Invasi sel melanoma sampai dengan lapisan
retikularis
dermis.
v. Tingkat V : Invasi sel melanoma sampai dengan jaringa
subkutan.
a) Stage 0
Melanoma in situ, yang berarti hanya melibatkan lapisan epidermis
dan belum menyebar ke dermis. Dalam klasifikasi menurut Clark
tingkat I.
b) Stage 1
Melanoma memiliki ketebalan kurang dari 1 mm atausekitar 1/25
inch. Dalam klasifikasi Clark, sesuai dengan tingkat II atau III.
c) Satge I-II
Melanoma memiliki ketebalan antara 1-4 mm atau menurut
klasifikasi Clark sesuai dengan tingkat IV dengan ketebalan
berapapun. Tingkat ini masih terlokalisasi di kulit dan belum
ditemukan penyebaran pada kelenjar limfe atau organ lain yang jauh.
d) Stage III: melanoma sangat tebal, lebih dari 4 mm, atau jika dalam
klasifikasi Clark, sesuai dengan tingkat V dan atau nodul melanoma
ditemukan dalam 2 cm dari tumor utama. Atau melanoma telah
menyebar ke kelenjar limfe terdekat, tapi masih belum ada penyebaran
jauh.
e) Stage IV
Melanoma telah menyebar luas disamping ke region sekitarnya, seperti
ke paru-paru, hati, otak, dll.
g. Patogenesis
Patofisiologi terjadinya melanoma maligna belum diketahui dengan
jelas. Diperkirakan terjadinya perubahan melanosit normal menjadi sel
melanoma (melanomagenesis) melibatkan proses rumit yang secara
progresif mengakibatkan mutasi genetik melalui percepatan terhadap
proliferasi, diferensiasi dan kematian serta pengaruh efek karsinogenik
radiasi ultraviolet. Primary cutaneous melanoma dapat timbul dalam
bentuk prekursor, yakni nevi mealnotik ( Tipe umum, kongeenital,
atipikal/displastik), walaupun dipercaya bahwa lebih dari 60% kasus
adalah arise de novo ( tidak tumbuh dari lesi pigmen yang telah ada.)
Perkembangan dari melanoma adalah multifaktor, dimana banyak hal
yang berhubungan dengan perkembangan dan pertumbuhannya, dan
tampaknya berhubungan dengan faktor resiko yang multipel pula;
termasuk eksposur sinar matahari berlebih, moles yang tumbuh, riwayat
keluarga akan melanoma, mole yang berubah-ubah dan tidak sembuh, dan
yang terpenting usia yang lanjut.4
h. Komplikasi
Metastasis dapat terjadi pada local (di dalam atau sekitar lesi primer),
pada limfonodi, atau pada:4
1) Kulit yang jauh dari lesi primer
2) Limfonodi yang jauh
3) Organ-organ dalam
4) Tulang
5) CNS.
i. Prognosis
Prognosis melanoma tidak ditentukan oleh satu macam faktor saja,
namun multifaktor dan utamanya bergantung pada:4
(1) ketebalan tumor,
(2) ada tidaknya ulserasi secara histologi, dan
(3) adanya metastase pada kelenjar limfe.
j. Penatalaksanaan
i. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi utama dari melanoma maligna, yang
hampir 100% efektif pada masa-masa awal tumor. Pembedahan ini,
dilakukan dengan cara eksisi luas. Termasuk dalam penatalaksanaan
pembedahan melanoma maligna ini adalah Elective Lymphonode
dissection (ELND), yaitu deseksi kelenjar limfonodi tanpa dilakukan
biopsi sebelumnya. Diseksi ini dilakukan untuk tumor dengan
kedalaman 1-4 mm dan tidak pada melanoma stage I. Hal ini
disebabkan karena sebanyak 40% kasus pada pasien melanoma dengan
ketebalan 1-4 mm memiliki kelainan limfe yang tidak tampak dan
sebanyak 10% kasus dengan metastase jauh. Sedangkan pasien dengan
lesi lebih besar dari 4 mm, hampir 70% kasus dengan metastase jauh
dan 60% memiliki kelainan limfe yang tersembunyi. Namun pada
kenyataannya tindakan tersebut tidak memperbaiki survival rate dan
hingga sekarang masih dalam perdebatan. Pada penelitian yang
dilakukan WHO, angka metastasis sekitar 48% pada penderita yang
dilakukan ELND. Sedangkan pada penelitian lain yang dilakukan oleh
The International Group Melanoma Surgical trial menunjukkan
adanya perbaikan survival rate pada pasien dengan usia kurang dari 60
tahun dengan ketebalan tumor antara 1-4 mm. 4
Sentinel Lymph Node Dissection merupakan bentuk
penatalaksanaan pembedahan yang lain. Pada pembedahan ini, diseksi
dilakukan pada kelenjar limfe yang merupakan tempat utama
melanoma untuk drainase. Adanya diseksi ini dikatakan dapat
mengidentifikasi mereka yang mempunyai resiko tinggi metastase dan
mereka yang mungkin mendapatkan keuntungan dengan diseksi
lengkap kelenjar limfe atau dengan terapi adjuvan. 4
ii. Terapi Adjuvant
Karena pengobatan definitive dari melanoma kulit adalah dengan
pembedahan, maka terapi medikamentosa diberikan sebagai terapi
tambahan dan penatalaksanaan pada pasien melanoma stadium lanjut.
Pasien yang memiliki melanoma dengan tebal lebih dari 4 mm atau
metastase ke limfonodi dengan pemberian terapi adjuvant dapat
meningkatkan angka ketahanan hidup. Studi di berbagai center
kesehatan menunjukkan pemberian interferon alpha 2b (IFN)
menambah lamanya ketahanan hidup dan ketahanan terhadap
terjadinya rekurensi Melanoma, sehingga oleh Food and Drug
Administration (FDA) mengajurkan IFN sebagai terapi tambahan
setelah eksisi pada pasien dengan resiko recurrent. IFN γ dilaporkan
tidak efektif pada fase I atau II dari melanoma yang bermetastase,
namun potensi IFN γ yang merupakan mediator pembunuh alami
Limfosit T sitotoksik, sebuah pengaktivasi makrofag, dn HLA klas II
ekspresi antigen, merupakan hal yang tak dapat diabaikan. Interleukin-
2 (IL-2) pada penelitian terakhir, dalam dosis tinggi baik diberikan
sendiri maupun dengan kombinasi bersama sel lymphokine activated
killer menghasilkan respon pada pasien sebesar 15% sampai 20%,
dengan respon lengkap sebesar 4-6%.4
Terapi adjuvan lain selain IFN yaitu Kemoterapi dengan macamnya
yaitu:4
1) Dacarbazine (DTIC), baik diberikan sendiri maupun kombinasi
bersama Carmustine (BCNU) dan Cisplastin.
2) Cisplastin, vinblastin, dan DTIC
3) Temozolomide merupakan obat baru yang mekanisme kerjanya
mirip DTIC, tetapi bisa diberikan per oral.
4) Melphalan juga dapat diberikan pada melanoma dengan prosedur
tertentu.
Terapi-terapi adjuvan yang lainnya diantaranya yaitu dengan
biokemoterapi, yaitu merupakan kombinasi terapi antara kemoterapi
4
dan imunoterapi, imunoterapi sendiri dan gen terapi.
Dalam kepustakaan lain disebutkan juga adanya terapi radiasi pada
melanoma yang merupakan terapi paliatif. Radioterapi sering
digunakan setelah pembedahan pada pasien dengan lokal atau regional
melanoma atau untuk pasien dengan unresectable dengan metastasis
jauh. Terapi ini dapat mengurangi recurence lokal tetapi tidak
memperbaiki prolong survival. Radioimunoterapi pada metastase
melanoma masih dalam penelitian, pada penelitian yang dilakukan
National Cancer Institute (NCI) terapi ini menunjukkan kesuksesan.
Terapi ini dengan memberikan auotologous lymphocytes yang
kemudian mengkode T cell receptors (TCRs) pada lymphosit pasien,
kemudian telah terbentuk manipulasi lymphosit yang melekat pada
molekul di permukaan sel melanoma yangf kemudian membunuh sel
melanoma tersebut. 4
k. Pencegahan
Pada prinsipnya, pencegahan dilakukan dengan cara menghindari
pajanan sinar matahari secara intens. Sehingga pencegahan dapat
dilakukan dengan jalan:4
a. Membatasi pajanan sinar Ultraviolet terhadap kulit. Hal ini bisa
dilakukan dengan jalan mencari tempat yang teduh jika berada di
luar gedung, memakai baju panjang untuk mengurangi banyaknya
kulit yang terpajan matahari, dan menggunakan lotion sunscreen
dengan SPF 15 atau lebih pada kulit yang terpajan sinar matahari,
serta menggunakan kacamata hitam untuk perlindungan mata.
b. Menghindari sumber-sumber sinar UV lainnya, seperti tempat tidur
yang digunakan untuk mencoklatkan kulit di salon-salon
kecantikan.
D. Sasbel Sarkoma Kaposi
a. Definisi
Sarkoma kaposi (SK) adalah kanker yang berkembang dari sel-sel
yang melapisi pembuluhkelenjar getah bening atau pembuluh darah.
Sarkoma kaposi seringkali muncul sebagai tumor pada kulit atau pada
permukaan mukosa. Sarkoma Kaposi berhubungan dengan infeksi virus
herpes yang dapat menyebar secara vertikal dan seksual. Seseorang yang
terinfeksi HIV mempunyai risiko 100 hingga 300 kali lebih sering terkena
SK dibandingkan populasi dengan HIV negatif. Sarkoma kaposi adalah
kanker yang berkembang dari sel-sel yang melapisi kelenjar getah bening
atau pembuluh darah. Sarkoma Kaposi seringkali muncul sebagai tumor
pada kulit atau pada permukaan mukosa, seperti di dalam mulut. Pada
populasi dengan HIV negatif, SK jarang didapatkan. Seseorang yang
terinfeksi HIV mempunyai risiko 100 hingga 300 kali lebih sering terkena
SK dibandingkan populasi dengan HIV negatif. Seseorang dengan HIV
positif tanpa adanya HHV-8 tidak akan berkembang menjadi SK.
Sebaliknya, pada orang dengan HIV negatif yang terinfeksi HHV-8, bisa
berkembang menjadi SK, seperti pada pada SK tipe klasik.3
Pemeriksaan fisik meliputi tanda-tanda vital, berat badan dan tanda-
tanda yang mengarah kepada infeksi oportunistik sesuai dengan stadium
klinis HIV. Pada awal tahun 1980-an, prevalensi SK mulai meningkat
drastis dan menjadi keganasan paling banyak pada pasien dengan
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS), terutama pada laki-laki
homoseksual.
b. Epidemilogi
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa penularan seksual
menjadi faktor yang bertanggung jawab terhadap SK. Kejadian terakhir
menunjukkan bahwa SK berhubungan dengan infeksi virus herpes yang
dapat menyebar secara vertikal dan seksual. Sebuah temuan baru
mengarah pada pertumbuhan, isolasi, dan karakterisasi dari sebuah virus
herpes manusia baru yang sekarang dikenal dengan Kaposi’s sarcoma-
associated herpes virus (KSHV) atau Human herpes virus type 8 (HHV-
8) dari lesi SK. DNA dari HHV-8 ini ditemukan pada hampir semua
specimen SK tipe klasik, SK endemik, dan SK iatrogenik, seperti halnya
pada SK epidemik. Saat ini dipercaya bahwa HHV-8 diperlukan, namun
tidak cukup untuk menyebabkan SK dan bahwa faktor-faktor lain seperti
imunosupresi juga ikut berperan. SK epidemik atau SK-AIDS merupakan
keganasan terkait AIDS terbanyak yang ditemukan. Lesi awal SK-AIDS
tampak sebagai makula keunguan berbentuk oval kecil yang berkembang
cepat menjadi plak dan nodul kecil, yang seringkali timbul di banyak
tempat dan memiliki kecenderungan mengalami progresi yang cepat. Lesi
awal SK-AIDS seringkali muncul di bagian wajah, terutama pada hidung,
kelopak mata, telinga, dan punggung, dan lesinya mengikuti arah garis
kulit dan lesi pada palatum yang merupakan tanda khas SK terkait AIDS.3
c. Gambaran Histopatologi
Gambaran histopatologis SK tergantung pada stadium perkembangan
SK, yaitu dimulai dengan stadium makula, plak, dan terakhir adalah
stadium nodular. Sarkoma kaposi stadium makula, merupakan fase awal
dari perkembangan SK kutaneus. Kesan pertama yang tampak adalah
“busy dermis” atau mungkin bentukan inflamasi dermatosis ringan.
Sarkoma kaposi nodular menunjukkan ekspansi dermal yang relatif
terbatas, berbagai proliferasi selular dari sel spindle neoplastik berbentuk
lembaran Stadium plak ditandai dengan infiltrat vaskular dermal yang
lebih difus. Banyak saluran vaskular yang terpotong berisi eritrosit
mengisi dermis yang terlibat, dan didapatkan tanda sel inflamasi kronis
dengan kelompok yang banyak mengandung sel plasma bercampur
dengan siderophage dan pigmen hemosiderin bebas.3
Kontrol optimal terhadap infeksi HIV dengan terapi anti-retroviral
(ARV) merupakan komponen kunci terapi SK yang berkaitan dengan
HIV. Terapi SK dengan kondisi lesi tidak luas (lesi <25), tanpa edema di
proksimal dan tanpa keterlibatan mukosa lebih dianjurkan dengan
pemberian HAART saja. Menurut Guidelines for the Use of
Antiretroviral Agents in HIV1-Infected Adults and Adolescents ART
(Antiretroviral Therapy), terapi ART dimulai pada kondisi CD4 <200
cell/uL.3
d. Contoh Kasus
a. Anamnesis
Seorang pasien laki-laki 27 tahun dirawat di bangsal Ilmu Penyakit
Dalam RSUP M Djamil Padang dengan keluhan utama lemah letih
lesu meningkat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Bentolbentol berwarna merah keunguan di dada, perut, punggung dan
belakang telinga sejak 3 bulan yang lalu, demam sejak 3 bulan yang
lalu, sering berkeringat pada malam hari, batuk sejak 3 bulan yang
lalu, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan drastis, bercak
keputihan pada lidah dan mulut, dan pucat. Pasien belum menikah dan
bekerja sebagai pelayan rumah makan di Jakarta selama 5 tahun.
Riwayat seks bebas dengan wanita tuna Susila mulai umur 22 tahun,
sering berganti pasangan dan terakhir seks bebas 6 bulan yang lalu.3
b. Pemeriksaan Fisik
Vital sign pasien saat dirawat dalam batas normal kecuali suhu
37,8o C. Pada pemeriksaan mata didapatkan konjungtiva anemis, dan
pada mata kanan terdapat massa batas tegas berwarna merah
kecoklatan di forniks posterior. Pada pemeriksaan kulit terdapat plak
dan nodul berwarna merah keunguan di perut, dada, punggung dan
belakang telinga dengan ukuran ratarata 2x1x0,5 cm. Pada
pemeriksaan paru didapatkan suara nafas bronkovesikuler dan ronki
basah halus nyaring di kedua lapangan paru.3
d. Tatalaksana
Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan kesan TB paru. Hasil
pemeriksaan rapid test HIV didapatkan positif, HbsAg negatif dan anti
HCV negatif, BTA I, II dan III negatif dan gene xpert negatif. Hasil CD4
49 sel u/L. Hasil biopsi kulit didapatkan kesan sarkoma kaposi. Pasien
ditatalaksana dengan pemberian OAT kategori I yaitu isoniazid 1x300
mg, rifampisin 1x450 mg, pirazinamid 1x1000 mg. etambutol 1x750 mg
dan B6 1x1 tablet, ARV 2 minggu setelah OAT, anti jamur yaitu
fluconazole 1x150 mg, kotrimoksazol 1x960 mg dan kloramfenikol eye
drop 3x1 tetes.3
DAFTAR PUSTAKA