Anda di halaman 1dari 46

2015

Panduan
Praktis

R SUD Dr. So e to m o
Klinis
Divisi Retina

Penyusun

SMF Ilmu Kesehatan Mata


Prof. Dr. Gatut Suhendro, dr., SpM(K)

D e pt /S MF Il mu Keseh at an Mat a Moestidjab, dr., SpM(K)


Fa ku l t a s Ke d o k te r a n Un i ve rsi t a s Ai r la ngga
Wimbo Sasono, dr., SpM(K)
RSU D Dr. So eto m o
J l. Mayj e nd Pro f. D r. Mo e s topo No. 6- 8, Muh. Firmansjah, dr., SpM(K)
Sur a b aya 6 0235
Sauli Ari Widjaja , dr., SpM
T lp. 031 5 50 1 613
Fax. 031 5 01 6 4 5 4 Ima Yustiarini , dr., SpM
DAFTAR ISI PPK RETINA

1. Rhegmatogenous Retinal Detachment

2. Degeneration of Macula and Posterior Pole

3. Central Retinal Vein Occlusion

4. Central Serous Chorioretinopathy

5. Degenerative Myopia

6. Diabetic Retinopathy

7. Endophthalmitis

8. Hypertensive Retinopathy Background Retinopathy and Retinal Vascular

Changes

9. Retained (Old) Intraocular Foreign Body, Magnetic, in Posterior Segment.

Retained (Old) Intraocular Foreign Body, Non Magnetic, in Posterior Segment

10. Vitreous Hemorrhage

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


PANDUAN PRAKTIS KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN MATA
RSUD Dr. SOETOMO, SURABAYA

RHEGMATOGENOUS RETINAL DETACHMENT ( ICD 10 : H 33.0 )

Pengertian (Definisi) Separasi dari lapisan sensoris retina dari lapisan epitel pigmen retina
(RPE) yang disebabkan oleh robekan retina dan berakibat akumulasi
cairan subretina
Anamnesis 1. Gangguan lapang pandangan berbentuk seperti tirai, sifatnya
mendadak
2. Penurunan tajam penglihatan mendadak, terutama bila sudah
mengenai makula
3. Diawali floaters yang semakin bertambah banyak
4. Fotopsia yang bertambah sering
5. Ditanyakan riwayat pemakaian kacamata dengan minus sedang
sampai tinggi (≥ -3.00 D), riwayat trauma, riwayat keluarga, dan
riwayat retinal detachment atau degenerasi retina perifer pada fellow
eye
Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan visus terbaik (BCVA) dilakukan dengan snellen chart,
bila tidak bisa dengan hitung jari/ lambaian tangan/ lampu senter
2. Pemeriksaan tonometri dengan tonometer Schiotz dilakukan sebelum
dilatasi pupil
3. Pemeriksaan segmen anterior dilakukan pada kedua mata dengan
slitlamp biomicroscopy
4. Pemeriksaan gangguan lapang pandangan dikerjakan untuk
kelengkapan diagnosis, sebagai penunjang bila diperlukan, misalkan
didapatkan shallow retinal detachment
5. Dilatasi pupil dengan jalan pemberian tetes mata Tropicamide 0,5%
dan/ atau Phenylephrine 10%, dilakukan punctal occlusion pada
penderita dengan kelainan kardiovaskular
6. Pemeriksaan pada kedua mata dengan oftalmoskopi direk,
oftalmoskopi indirek dengan indentasi sklera dan atau Goldmann 3
mirror : dicari adakah degenerasi retina perifer, kelainan vitreus,
retina yang lepas memberikan gambaran retina yang konveks, warna
lebih pucat, konfigurasi pembuluh darah retina yang berkelok-kelok
serta retina bergoyang jika mata bergerak.
7. Melokalisir retina yang robek, dan mencari tipe robekan serta
apakah robekan tersebut tunggal atau multipel.
8. Retinal chart (gambar peta retina sesuai hasil pemeriksaan)
PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo
Kriteria Diagnosis 1. Penurunan visus mendadak, bila makula sudah terkena
2. Gangguan lapang pandangan mendadak
3. Floaters dan atau fotopsia
4. Riwayat miopia sedang-tinggi atau faktor resiko lain (diabetes
mellitus, trauma, riwayat operasi intraokuler/ LASIK)
5. Oftalmoskopi direk dan atau indirek : tampak retina yang lepas
berbentuk konveks, warna lebih pucat, konfigurasi pembuluh darah
retina yang berkelok-kelok serta retina bergoyang jika mata
bergerak
6. Goldmann Three Mirror: tampak lokalisasi & luasnya retina yang
lepas serta lokasi break/hole (tipe robekan tunggal/ multipel),
degenerasi retina perifer/kelainan vitreus
Diagnosis Kerja RHEGMATOGENOUS RETINAL DETACHMENT (H 33.0)

Diagnosis Banding 1. Posterior Vitreous Detachment


2. Degenerative Retinoschisis
3. Choroidal Detachment
4. ChoroidalTumor
5. Uveal Effusion Syndrome
Pemeriksaan No Pemeriksaan Rekomendasi GR Ref
Penunjang 1. Ultrasonografi Dilakukan pada kasus dengan IIA 6
kecurigaan retinal detachment
pada media keruh (ditemukan
katarak komplikata dan atau
obscura corpus vitreus seperti
pada perdarahan vitreus)
2. Foto Fundus Dilakukan untuk dokumentasi, IIA 8
data preoperatif
Terapi No Terapi Prosedur (ICD 9 CM) GR Ref
1. Laser Dilakukan pada break tanpa IIA 4
Fotokoagulasi retinal detachment yang
(14.54) ditemukan, dan sebagai preventif
pada fellow eye dengan anestesi
topikal, jika didapatkan
degenerasi retina perifer
terutama bila didapatkan
kelainan vitreus demikian juga
pada kasus dengan miopia
patologis pada kedua mata
dengan mata satunya riwayat
retinal detachment
2. Pneumatic Dilakukan dengan anestesi lokal IIA 2
Retinopexy yaitu dengan menginjeksikan
(14.75) expandable gas untuk menutup

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


robekan retina dan menempelkan
kembali retina tanpa
pemasangan Scleral Buckle,
dengan positioning penderita
setelah injeksi. Gas yang
digunakan dapat berupa SF6
atau C3F8.
3. Operasi Pemasangan segmental scleral IA 3
(Pemasangan buckle atau encircling; dapat
Scleral Buckle) disertai prosedur tambahan
(14.4) seperti drainage cairan subretina,
cryotherapy dan pneumatic
retinopexy, dapat dilakukan
dengan anestesi lokal dan
anestesi umum. Sebelumnya
disiapkan pemeriksaan
laboratorium darah lengkap,
pemeriksaan RFT, LFT, profil
lipid dan faal hemostasis.
Kemudian konsultasi dengan
departemen terkait bila
diperlukan, misalnya pada
spesialis jantung dan anestesi
4. Operasi Operasi mikro untuk IA 1
(Pars Plana mengevakuasi vitreus yang
Vitrectomy) patologis, menghilangkan tarikan
(14.72, 14.54, membran vitreoretina agar dapat
14.75) lebih mudah mendekati retina
untuk melakukan prosedur
internal drainage, endolaser,
pemberian tamponade atau
prosedur lainnya. Dilakukan
dengan anestesi lokal, anestesi
lokal dengan back up resusitasi
oleh tim anestesi reanimasi, atau
dengan anestesi umum.
Sebelumnya disiapkan
pemeriksaan laboratorium darah
lengkap, pemeriksaan RFT, LFT,
profil lipid dan faal hemostasis.
Kemudian konsultasi dengan
departemen terkait bila
diperlukan, misalnya pada
spesialis jantung dan anestesi.
Pada anestesi lokal dilakukan
PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo
persiapan sebagaimana
persiapan anestesi umum di
atas.
Pada saat penderita MRS mulai
diberikan antibiotika sistemik
profilaksis dan dilanjutkan
selama 5 hari, dapat
menggunakan golongan
ciprofloksasin oral/ cefotaxim i.v.
Kemudian pasca operasi,
diberikan antibiotika steroid
topikal (ditentukan jenisnya) dan
dosis pemberiannya. Bila
diperlukan dapat diberikan anti
nyeri. Bila didapatkan
peningkatan TIO dapat diberikan
antiglaukoma seperti timolol dan
atau acetazolamid oral dan KSR.
Pemberian NSAID topikal dan
atau dapat diberikan pada
keadaan edema palpebradan
atau konjungtiva.
Penderita yang telah dilakukan
rawat inap kurang lebih selama 1
minggu dapat melakukan rawat
jalan. Kecuali pada kasus
dengan penyerta atau komplikasi
yang membutuhkan perawatan
lebih lanjut.
Edukasi 1. Menjelaskan bahwa gangguan penglihatan yang terjadi adalah
akibat dari lepasnya lapisan saraf mata/ retina yang dapat
disebabkan oleh faktor resiko antara lain kelainan minus tinggi,
degenerasi retina perifer atau trauma.
2. Menjelaskan bahwa terapi dari penyakit ini adalah tindakan operatif
yang bertujuan untuk menempelkan kembali secara anatomis
lapisan saraf mata/retina yang lepas.
3. Menjelaskan bahwa prognosis visus setelah tindakan dapat
membaik terutama pada kasus dengan fresh retinal detachment dan
macula on.
Prognosis 1. Quo ad vitam : Dubois ad bonam
2. Quo ad visam dan Quo ad functionam : Dubia
Prognosis baik pada kasus fresh retinal detachment terutama yang
tidak mengenai makula, tidak didapatkan PVR dan segera dilakukan
repair

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


Prognosis buruk pada kasus longstanding retinal detachment dan
macular detachment disertai PVR berat
Penelaah Kritis 1. Prof. Dr. dr. Gatut Suhendro, SpM(KVR)
2. dr. Moestidjab, SpM(KVR)
3. dr. Wimbo Sasono, SpM(KVR)
4. dr. Muh. Firmansjah, SpM(K)
5. dr. Sauli Ari Widjaja, SpM
6. dr. Ima Yustiarini, SpM
7. dr. Ady Dwi Prakosa, SpM
Indikator Medis Anatomical reattachment retina
Perbaikan tajam penglihatan
Perbaikan lapang pandangan
Kepustakaan 1. Brazikitos, Periklis, et al., 2005. Primary Pars Plana Vitrectomy
Versus Scleral Buckle for The Treatment of Pseudophakic Retinal
Detachment. Volume 25. Pp 957-964.
2. Fabian ID, Kinori M, Efrati M, Alhalel A, Desatnik H, Hai OV, Katz G,
Platner E, Moisseiev J, 2013. Pneumatic Retinopexy for The Repair
of Primary Rhegmatogenous Retinal Detachment: A 10-year
retrospective analysis: JAMA Ophthalmology 131(2): 166-171
3. Falavarjani KG, Alemzadeh SH, Modarres M, Parvaresh MM,
Hashemi M, Naseripour M, Khanamiri HM, Askari S, 2015. Scleral
buckling surgery for rhegmatogenous retinal detachment with
subretinal proliferation: Eye 29: 509-514
4. Gratton I, Gazocchi M, Smonini F, Fattori CM, Citroni M, 2005.
Argon laser phoyocoagulation in the management of retinal
detachment and predisposing lesions: Laser in Surgery and
Medicine 4(4): 337-344
5. Regillo C.,et al., 2011-2012. Basic and clinical science course :
Retina and vitreous. San Fransisco: LEO- American Academy of
Ophthalmology section 12. pp 292-299
6. Shinar Z., Chan L., Orlynsky M., 2009. Use of Ocular Ultrasound for
the Evaluation of Retinal Detachment. The Journal of Medicine. Los
Angeles. Volume 40. pp 53-57
7. Tornambe P. E., Hilton G. F., 1989. Pneumatic Retinopexy. A
Multicenter Randomized Controlled Trial Comparing Pneumatic
Retinopexy and Scleral Buckling. The Retinal Detachment Study
Group. Europe PubMed Central. Pp 772-783.
8. Witmer MT, Kiss S, 2012. The Clinical Utility of Ultra-Wide-Field
Imaging: Reviem of Ophthalmology August 2012.
9. Yang S., Jiang T., 2013. Vitrectomy combined with silicone oil
tamponade in the treatment of severely traumatized eyes with no
visual acuity or light perception. Int J Ophthalmology 2013; 6(2) ;
198-203

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


Surabaya, 1 Januari 2016
Ketua SMFIlmuKesehatan Mata

Dr. Nurwasis, dr.,SpM (K)


NIP 195806191986111001

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


PANDUAN PRAKTIS KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN MATA
RSUD Dr. SOETOMO, SURABAYA

DEGENERATION OF MACULA AND POSTERIOR POLE ( ICD X : H35.3 )

Degenerasi dari lapisan pigmen epitel, membran Bruch dan


Pengertian (Definisi)
kapiler khoroid di daerah makula yang terjadi pada usia
lanjut.
1. Non-neovaskuler = dry type = noneksudatif
Tipe ini ditemukan sekitar 85-90% kasus. Terdapat
hilangnya granula melamin diganti lipofusin dan
penumpukan “recidual bodies” dan penumpukan basal
laminar deposit. Pada pemeriksaan fundus okuli tampak
drusen yang makin lama dapat bertambah banyak.
2. Neovaskuler = wet type = eksudatif
Tipe ini ditemukan sekitar 10-15% kasus. Perubahan
progresif terbentuknya neovaskulerisasi pada kapiler
khoroid sub makula.
Anamnesis 1. Keluhan awal berupa perubahan bentuk benda yang
dilihat (metamorphopsia)
2. Penurunan tajam penglihatan perlahan pada dry type
dan mendadak pada wet type, bisa sampai dengan
kebutaan
3. Usia lanjut (>65 tahun)
4. Ditanyakan faktor resiko merokok, alkohol, obesitas
dan riwayat penyakit seperti hipertensi, diabetes
mellitus dan penyakit kardiovaskuler
Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan visus terbaik (BCVA) dilakukan dengan
snellen chart, bila tidak bisa dengan hitung jari/
lambaian tangan/ senter
2. Pemeriksaan fungsi penglihatan sentral dengan
menggunakan Amsler Grid
3. Pemeriksaan segmen anterior dilakukan pada kedua
mata dengan slitlamp biomicroscopy
4. Pemeriksaan penglihatan warna dengan tes Ishihara
5. Pemeriksaan tonometri dengan tonometer Schiotz
dilakukan sebelum dilatasi pupil
6. Dilatasi pupil dengan jalan pemberian tetes mata
Tropicamide 0,5% dan/atau Phenylephrine 10%,

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


dilakukan punctal occlusion pada penderita dengan
kelainan kardiovaskular
7. Pemeriksaan pada kedua mata dengan oftalmoskopi
direk dan/atau indirek lensa 90D
Kriteria Diagnosis 1. Metamorphopsia pada stadium awal
2. Penurunan tajam penglihatan perlahan (dry type) atau
mendadak (wet type)
3. Usia >65 tahun
4. Didapatkan faktor resiko gaya hidup dan atau penyakit
5. Amsler Grid : skotoma sentral
6. Tes ishihara : gangguan penglihatan warna
7. Oftalmoskopi direk dan/atau indirek lensa 90D : dry type
menunjukkan gambaran drusen yang makin lama dapat
bertambah banyak. Pada wet type didapatkan
gambaran neovaskularisasi pada kapiler khoroid daerah
makula.
Diagnosis DEGENERATION OF MACULA AND POSTERIOR POLE
(H35.3)
Diagnosis Banding 1. Polypoidal Choroidal Vasculopathy
2. Central Serous Chorioretinopathy
3. Melanoma Khoroid
4. Korioretinitis dari berbagai penyebab
5. Degenerasi makula pada miopia tinggi
Pemeriksaan Penunjang 1. Fluorescein Angiography dilakukan pada kasus wet type
(terlihat jelas gambaran neovaskularisasi khoroid (Talks
J et al, 2007) (IA)
2. Foto fundus dilakukan untuk dokumentasi dan data
follow up (tampak penimbunan bahan koloid di daerah
makula yang berwarna putih kekuningan (dry type) dan
perdarahan subretina (wet type) (Jain S et al, 2006) (IA)
3. Optical Coherence Tomography dilakukan untuk melihat
penebalan makula sentral, cairan subretinal, cairan
intraretinal dan neovaskularisasi khoroidal (Talks J et al,
2007) (IA)
Terapi 1. Neurotropik (Mares et al. 2001) (IA)
2. Laser fotokoagulasi dilakukan pada wet type dengan lesi
ekstrafovea (>200µm dari fovea) (Atmaca L et al, 2011)
(IA)
3. Injeksi anti-VEGF intravitreal dilakukan pada wet type
dengan lesi subfovea, dan atau occult CNV, atau
penderita classic CNV yang gagal dengan terapi lain
(laser fotokoagulasi, PDT) (Tufail et al, 2010) (IA)

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


Edukasi 1. Menjelaskan bahwa penyakit ini adalah degeneratif
dengan perjalanan penyakit yang bervariasi
2. Menghindari faktor resiko (Stead et.al.,2008) (I A)
3. Regulasi faktor resiko penyakit yaitu hipertensi, diabetes
mellitus, kolesterol dan penyakit kardiovaskuler
4. Menjelaskan bahwa sel-sel makula tidak dapat
mengalami regenerasi sehingga harapan terapi adalah
maksimal penderita dapat bertahan pada tahap penyakit
yang sama
Prognosis 1. Quo ad vitam : Dubois ad bonam
2. Quo ad visam dan Quo ad functionam : Dubois ad
malam (wet type) dan Dubia (dry type). Prognosis
ditentukan berdasarkan hasil follow up (kecepatan
perburukan pada penyakit degeneratif)
Penelaah Kritis 1. Prof. Dr. dr. Gatut Suhendro, SpM(KVR)
2. dr. Moestidjab, SpM(KVR)
3. dr. Wimbo Sasono, SpM(KVR)
4. dr. Muh. Firmansjah, SpM
5. dr. Sauli Ari Widjaja, SpM
Indikator Medis 1. Pemeriksaan visus terbaik (BCVA) untuk mengevaluasi
perburukan tajam penglihatan (fungsi makula)
2. Optical Coherence Tomography dilakukan untuk
mengevaluasi tebal makula, adanya cairan subretinal,
cairan intraretinal dan adanya neovaskularisasi
khoroidal
Kepustakaan 1. Atmaca L, Idil A, Atmaca-Sonmez P, 2011. Laser
treatment in 341 patients with exudative age-related
macular degeneration: Int J Ophthalmol 4(1): 73-77
2. Jain S, Hamada S, Membrey WL, Chong V, 2006.
Screening for age-related macular degeneration using
nonstereo digital fundus photographs: Eye Journal
20(4): 471-5
3. Mares-Perlman JA, Fisher AI, Klein R, et al. 2001.
Lutein and zeaxanthin in the diet and serum and their
relation to age-related maculopathy in the third national
health and nutrition examination survey. Am J
Epidemiol;153:424-32.
4. McDonald HR, Williams GA, Scott IU, et al. 2007. Laser
scanning imaging for macular disease: a report by the
American Academy of Ophthalmology. Ophthalmology;
vol 114: pp 1221-1228.
5. Regillo C., et al., 2011-2012. Basic and clinical science
course : Retina and vitreous. San Francisco : LEO

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


American Academy of Ophthalmology section 12. pp
60-90
6. Stead LF, Bergson G, Lancaster T.2008. Physician
advice for smoking cessation. Cochrane Database Syst
Rev, Issue 2. Art. No. CD000165.
DOI:10.1002/14651858.CD000165.pub3.
7. Talks J, Zachariah K, Chatzinikolas K, 2007. Use of
Optical Coherence Tomography, Fluorescein
Angiography and Indocyanine Green Angiography in a
screening clinic for wet age-related macular
degeneration: British Journal of Ophthalmology 91(5):
600-601
8. Tufail A, Patel PJ, Egan C, et al.2010.Bevacizumab for
neovascular age related macular degeneration (ABC
Trial): multicentre randomised double masked study.
BMJ;340:c2459

Surabaya, 1 Januari 2016

Ketua SMF Ilmu Kesehatan Mata

Dr. Nurwasis, dr., SpM(K)


NIP 195806191986111001

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


PANDUAN PRAKTIS KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN MATA
RSUD Dr. SOETOMO, SURABAYA

CENTRAL RETINAL VEIN OCCLUSION ( ICD X : H 34.8 )


OTHER RETINAL VEIN OCCLUSIONS (CENTRAL, INCIPIENT, PARTIAL, TRIBUTARY)

Pengertian (Definisi) Keadaan yang menggambarkan adanya sumbatan yang


bersifat akut pada vena retina, baik pada vena retina
cabang ataupun vena retina sentral. Sumbatan bisa terjadi
pada persilangan arteri-vena retina.
1. Penurunan tajam penglihatan tergantung cabang yang
Anamnesis
terkena, umumnya unilateral tanpa disertai nyeri, yang
bersifat mendadak/ saat bangun tidur. 10% kasus
bilateral, terutama bila ada penyakit sistemik yang
mendasari (hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia)
2. Sering pada usia 65 tahun, namun dapat juga pada
semua usia.
Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan visus terbaik (BCVA) dilakukan dengan
snellen chart, bila tidak bisa dengan hitung jari/
lambaian tangan/ lampu senter
• Pada CRVO Non-iskemik tajam penglihatan berkisar
6/60 atau lebih baik.
• Pada CRVO Iskemik biasanya tajam penglihatan
lebih buruk (hitung jari atau lebih buruk)
2. Pemeriksaan tonometri dengan tonometer Schiotz
dilakukan sebelum dilatasi pupil
3. Pemeriksaan segmen anterior dilakukan pada kedua
mata dengan slitlamp biomicroscopy
• Defek aferen pupil yang meningkat sesuai
penurunan tajam penglihatan dan derajat
peningkatan iskemia.
• Rubeosis iridis terjadi pada 20% kasus 3-5 bulan
pasca sumbatan pada tipe iskemik
4. Dilatasi pupil dengan jalan pemberian tetes mata
Tropicamide 0,5% dan/ atau Phenylephrine 10%,
dilakukan punctal occlusion pada penderita dengan
kelainan kardiovaskular
• Dengan oftalmoskop tampak pelebaran vena retina
dan peningkatan tortuosity yang disertai perdarahan
retina dan edema pada keseluruhan vena
PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo
•Dapat disertai perdarahan pada makula (pada FFA/
OCT)
• Neovaskularisasi papilsaraf optik atau retina
beberapa bulan setelah sumbatan, pada tipe
iskemik
5. Pemeriksaan gangguan lapang pandangan dikerjakan
untuk kelengkapan diagnosis, sebagai penunjang bila
diperlukan.

Kriteria Diagnosis 1. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut di atas


Penurunan penglihatan unilateral mendadak tanpa
rasa nyeri
2. Pemeriksaan segmen anterior didapatkan RAPD positif
3. Pemeriksaan segmen posterior didapatkan pelebaran
vena retina dan peningkatan tortuosity yang disertai
perdarahan retina dan edema pada keseluruhan vena.
Diagnosis RETINAL VEIN OCCLUSIONS (Central, Partial, Tributary)
(H 34.8)
1. Ocular ischemic syndrome
Diagnosis Banding
2. Retinopati diabetik
3. Sindroma hiperviskositas
4. Edema papil
5. Vaskulitis retina
1. OCT dilakukan untuk evaluasi adanya edema makula,
Pemeriksaan Penunjang
dipilih karena non invasif (Martinet V et al, 2012) (II A)
2. Fluorescein Angiography : untuk membedakan tipe
iskemik dan non iskemik, dan untuk mendeteksi
adanya edema makula. Pada tipe iskemik didapatkan
daerah non perfusi yang cukup luas (Tsui et al, 2011)
(III A)
3. Elektroretinografi : gambaran amplitudo a-wave yang
normal, tetapi diikuti dengan hilangnya amplitudo b-
wave pada kasus dengan iskemi (Ogino K et al, 2011)
Tidak dilakukan disini karena tidak memiliki alat ini (II
A)
1. Obat-obatan fibrinolitik sistemik (Squizzato et al.2010)
Terapi
(I A)
2. Laser fotokoagulasi dilakukan pada kasus CRVO yang
pada perjalanannya didapatkan NVI (The Central Vein
Occlusion Study Group N Report, 1995; Karen S et al,
2014) (I A)
3. Anti-VEGF intravitreal yang diikuti fotokoagulasi pan
retinal bila didapatkan daerah iskemik luas dan edema
makula (Iturralde et al,2006) (I A)

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


1. Menjelaskan bahwa prognosis visual sangat
Edukasi
tergantung pada cabang vena yang tersumbat dan
adanya edema makula. Pada edema makula kronik,
kerusakannya bersifat permanen, sedangkan pada
edema makula yang akut masih reversible.
2. Menjelaskan pentingnya evaluasi sistemik misalnya
hipertensi, diabetes mellitus, sindrom hiperviskositas
darah, hiperlipidemia, dan proses inflamasi atau infeksi
yang merupakan faktor resiko penyakit tersebut.
Prognosis 1. Quo ad vitam : Dubois ad bonam
2. Quo ad visam dan Quo ad functionam : Dubia
Prognosis baik pada kasus noniskemik/ iskemik ringan
tanpa disertai edema makula
Prognosis buruk pada kasus iskemik yang luas dan disertai
edema makula berat
Penelaah Kritis 1. Prof. Dr. dr. Gatut Suhendro, SpM(KVR)
2. dr. Moestidjab, SpM(KVR)
3. dr. Wimbo Sasono, SpM(KVR)
4. dr. Muh. Firmansjah, SpM
5. dr. Sauli Ari Widjaja, SpM
Indikator Medis Edema makula membaik, tidak timbul neovakularisasi iris
pada perjalanannya
Kepustakaan 1. Iturralde D, Spaide RF, Meyerle CB, et al. 2006.
Intravitreal bevacizumab treatment of macular edema
in central retinal ven occlusion: a short term study.
Retina. Vol 26, pp 279-284.
2. Karen S, Loewenstein A, Coscas G, 2014.
Pathogenesis, prevention, diagnosis and management
of retinal vein occlusion: World J Ophthalmol 4(4): 92-
112
3. Manayath G., Narendran V., Bevacizumab therapy for
macular edema in central retinal vein occlusion : Long
term result. Oman Journal of Ophthalmology, 2009
May-Aug ; 2(2): 73-78
4. Martinet V, Guigui B, Glacet-Bernard A, Zourdani A,
Coscas G, Soubrane G, Souied EH, 2012. Macular
edema in central retinal vein occlusion: correlation
between optical coherence tomography, angigraphy
and visual acuity: Int Ophthalmol 32(4): 369-77
5. Morrell AJ,Thompson DA, Gibson JM, Kritzinger EE,
Drasdo N. 1991. Electroretinography as a prognostic
indicator or neovascularisationin CRVO. Eye. Vol 5, pp
362–368.

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


6. Ogino K, Tsujikawa A, Nakamura H, Miyamoto K,
Murakami T, Muraoka Y, Kurashige Y, Nagahisa Y,
2011. Focal Macular Electroretinogram in Macular
Edema Secondary to Central Vein Occlusion:
Investigative Ophthalmology & Visual Science
52:3514-3520
7. Regillo C.,et al., 2011-2012. Basic and clinical science
course : Retina and vitreous. San Fransisco: LEO-
American Academy of Ophthalmology section 12.
pp150-154
8. Squizzato A, Manfredi E, Bozzato S, Dentali F, Ageno
W. 2010. Antithrombotic and fibrinolytic drugs for
retinal vein occlusion: a systematic review and a call
for action.Thromb Haemost. Vol 103(2):271.
9. The Central Vein Occlusion Study Group N Report.
1995. A Randomized clinical trial of early panretinal
photocoagulation for ischemic central vein occlusion.
Ophthalmology. Vol 102, pp 1434-1444.
10. Tsui I, Kaines A, Havunjian MA, Hubschman S, et al.
2011. Ischemic index and neovascularization in central
retinal vein occlusion. Retina. Vol 31, pp 105-110.

Surabaya, 1 Januari 2016

Ketua SMF Ilmu Kesehatan Mata

Dr. Nurwasis, dr., SpM(K)


NIP 195806191986111001

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


PANDUAN PRAKTIS KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN MATA
RSUD Dr.SOETOMO, SURABAYA

CENTRAL SEROUS CHORIORETINOPATHY ( ICD X : H 35.71 )

Pengertian (Definisi) Kelainan idiopatik pada makula yang ditandai dengan


adanya ablasi serosa dari neuroepitelium retina sensoris
yang mengakibatkan akumulasi cairan subretina tanpa
disertai perdarahan subretina maupun eksudat.
Anamnesis 1. Keluhan kabur mendadak dan buram/redup, mikropsia,
metamorpopsia, skotoma parasentral, atau
diskromatopsia.
2. Banyak terjadi pada laki-laki usia 25-55 tahun.
3. Faktor resiko stress, kepribadian tipa A, hipokondria,
histeria, neurosis konvensional (hal-hal yang dapat
menyebabkan peningkatan kortisol endogen),
hormonal, kehamilan dan pengguna kortikosteroid.
Pemeriksaan Fisik 6. Pemeriksaan visus terbaik (BCVA) dilakukan dengan
snellen chart, bila tidak bisa dengan hitung jari/
lambaian tangan/ senter.
7. Pemeriksaan fungsi penglihatan sentral dengan
menggunakan Amsler Grid
8. Pemeriksaan segmen anterior dilakukan pada kedua
mata dengan slitlamp biomicroscopy
9. Pemeriksaan penglihatan warna dengan tes Ishihara
10. Pemeriksaan tonometri dengan tonometer Schiotz
dilakukan sebelum dilatasi pupil
11. Dilatasi pupil dengan jalan pemberian tetes mata
Tropicamide 0,5% dan/atau Phenylephrine 10%,
dilakukan punctal occlusion pada penderita dengan
kelainan kardiovaskular
12. Pemeriksaan kedua mata dengan oftalmoskop direk
dan/atau indirek lensa 90D
Kriteria Diagnosis 1. Keluhan kabur mendadak dan buram/redup,
mikropsia, metamorpopsia, skotoma parasentral, atau
diskromatopsia
2. Laki-laki usia 25-55 tahun dengan adanya faktor resiko
3. Visus bervariasi dari 20/20 hingga 20/200 yang
membaik dengan lensa positif.

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


4. Amsler Grid : mikropsia, metamorpopsia, skotoma
parasentral
5. Tes Ishihara : penurunan penglihatan warna
6. Ophthalmoskopi direk/indirek menunjukkan area
makula retina yang menonjol dan berbatas jelas
disertai penurunan refleks fovea
Diagnosis CENTRAL SEROUS CHORIORETINOPATHY (H35.71)

Diagnosis Banding 1. Neovaskularisasi khoroid pada degenerasi makula


2. Cystoid macular edema
3. Ablasi makula akibat ablasi retina/macular hole
4. Idiopatik polypoidal choroidal vasculopathy (PCV)
5. Abnormalitas RPE multifokal
6. Ablasi epitel pigmen
7. Inflamasi khoroid
8. Defek optic disc pit
Pemeriksaan Penunjang 1. Optical Coherence Tomography menunjukkan adanya
akumulasi cairan subretina. (Ahlers et al, 2009) (IIA)
2. Fluorescein Angiography didapatkan kebocoran ke
dalam cairan subretina atau retina subsensoris yang
ditunjukkan adanya hiperfluoresensi, yang bersifat
akumulasi (pooling). DIlakukan apabila akan dilakukan
tindakan laser fotokoagulasi (Siddiqui, 2008) (IIA)
3. Indocyanine Green (ICG) berguna untuk membedakan
dengan diagnosis banding CSCR. Tidak dilakukan di
sini karena tidak ada alat.(Chen et al, 1999) (IIA)
Terapi 4. Observasi 3-4 bulan pada kasus CSCR unilateral
episode pertama (Regillo C et a., 2011-2012) (IIA)
5. Laser fotokoagulasi dipertimbangkan pada kasus
(Elias A et al, 2011) (IA):
a. Ablasi serosa yang tidak membaik dalam 3-4 bulan
b. CSCR yang terjadi pada mata dengan defisit visual
akibat serangan CSCR sebelumnya,
c. Defisit visual permanen akibat episode CSCR
sebelumnya pada mata jiran.
d. CSCR kronis 3-4 bulan
e. Indikasi sosial atau pekerjaan menuntut restorasi
visus cepat atau stereopsis.
Edukasi 1. Menjelaskan bahwa prognosis visus biasanya baik,
kecuali pada kasus kronis dan rekuren.
2. Menjelaskan bahwa pada sebagian besar kasus cairan
akan terserap sendiri dalam waktu 3-4 bulan, namun
beberapa kasus mengalami keluhan yang menetap.

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


3. Menjelaskan bahwa angka kekambuhan pada penyakit
ini cukup besar.
Prognosis Quo ad vitam : Dubois ad bonam
Quo ad visam dan Quo ad functionam : Dubois ad bonam
Penelaah Kritis 6. Prof. Dr. dr. Gatut Suhendro, SpM(KVR)
7. dr. Moestidjab, SpM(KVR)
8. dr. Wimbo Sasono, SpM(KVR)
9. dr. Muh. Firmansjah, SpM
10. dr. Sauli Ari Widjaja, SpM
Indikator Medis Optical Coherence Tomography dan Fluorescein
Angiography untuk mengevaluasi akumulasi cairan
subretina.
Kepustakaan 1. Ahlers C, Geitzenauer W, Stock G, Golbaz I, et al.
2009.Alterations of intraretinal layers in acute central
serous chorioretinopathy. Acta Ophthalmol. vol87, pp
511–516.
2. Chen SJ ; Lee AF ; Lee FL ; Liu JH . 1999.
Indocyanine green angiography of central serous
chorioretinopathy. Chinese Medical Journal. Vol. 62
(9), pp. 605-613.
3. Elias A, Gopalakhrishnan M, Nair D, Bhat S, Gudapati
R, Anantharaman G, 2011. A Ten Year Study of
Central Cerous Chorioretinopathy: Recurrence Rate
and Factors Affecting Recurrence: Kerala Journal of
Ophtrhalmology 23(4): 352-357
4. Regillo C., et al., 2011-2012. Basic and clinical science
course : Retina and vitreous. San Francisco : LEO
American Academy of Ophthalmology section 12. pp
55-59.
5. Siddiqui SJ, Shah SIA, Pechuho MA, Abbasi SA,et al.
2008. Pattern of Central Serous Chorioretinopathy
(CSCR) on Fundus Fluorescein Angiography. Pak J
Ophthalmol, Vol. 24 No. 4, pp 171-175.
6. Taban M., Boyer DS., Chronic Central Serous
Chorioretinopathy: photodynamic therapy. Am J
Ophthalmology. 2004; 137(6):1073-1080.

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


Surabaya, 1 Januari 2016

Ketua SMF Ilmu Kesehatan Mata

Dr. Nurwasis, dr., SpM(K)


NIP 195806191986111001

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


PANDUAN PRAKTIS KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN MATA
RSUD Dr. SOETOMO, SURABAYA

DEGENERATIVE MYOPIA ( ICD X : H 44.2 )

Pengertian (Definisi) Miopia tinggi adalah miopia dengan spherical equivalent


lebih dari -6.00 D atau axial length lebih dari 26,5 mm.
Sedangkan myopia patologis lebih dari -8.00 D atau axial
length lebih dari 32,5 mm, disertai gambaran retina dan
koroid patologis di posterior pole.
Anamnesis 1. Riwayat pemakaian kacamata dengan minus tinggi
(lebih dari -6.00 D)
2. Floaters
Pemeriksaan Fisik 13. Pemeriksaan visus terbaik (BCVA) dilakukan dengan
snellen chart, bila tidak bisa dengan hitung jari/
lambaian tangan/ senter.
14. Pemeriksaan segmen anterior dilakukan pada kedua
mata dengan slitlamp biomicroscopy
15. Pemeriksaan tonometri dengan tonometer Schiotz
dilakukan sebelum dilatasi pupil
16. Dilatasi pupil dengan jalan pemberian tetes mata
Tropicamide 0,5% dan/atau Phenylephrine 10%,
dilakukan punctal occlusion pada penderita dengan
kelainan kardiovaskular
17. Pemeriksaan pada kedua mata dengan oftalmoskopi
direk dan indirek dengan indentasi sklera dan/ atau
Goldmann 3 mirror dicari,adakah kelainan papil saraf
optic, kelainan retina dan vitreus, degenerasi retina
perifer, degenerasi koroid dan RPE, neovaskuler,
stafiloma posterior.
Kriteria Diagnosis 4. Riwayat high myopia
5. Tajam penglihatan dengan koreksi terbaik -6.00 D atau
lebih, kadang disertai anisometropia
6. Oftalmoskopi direk/indirek dan/atau Goldmann Three
Mirror : didapatkan gambaran tilting pada papil saraf
optik, Lacquer cracks, atrofi khorioretinal, Forster
Fuchs spot, posterior staphyloma, degenerasi retina
perifer dan neovaskularisasi khoroid submakula, atrofi

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


RPE dan khoroid.

Diagnosis DEGENERATIVE MYOPIA (H 44.2)

6. AMD wet type (MMD)


Diagnosis Banding
7. Angioid streaks
Pemeriksaan Penunjang 1. Ultrasonografi dan biometri : didapatkan pemanjangan
axial length >26,5 mm dan posterior staphyloma.
(Quan V. Hoang et al, 2012)(I A)
2. Fluorescein Angiography : Lacquer cracks yaitu ruptur
spontan dari lapisan elastis membran Bruch yang
tampak sebagai lesi putih kekuningan yang biasanya
berada di pole posterior dengan bentuk linear atau
stelata. Pada evaluasi vaskular didapatkan area non
perfusi dan/atau myopic CNV (Kaneko Y et al,
2014)(IA)
1. Laser fotokoagulasi (pada lesi di retina perifer atau lesi
Terapi
ekstrafoveal) (Wilkinson, 2005)(I A)
2. Anti VEGF (pada perdarahan/ CNV submakula) (Lai et
al, 2012)(I A)
1. Menjelaskan bahwa kelainan ini merupakan kelainan
Edukasi
bawaan atau herediter yang bersifat permanen.
2. Menjelaskan bahwa kelainan pada mata pasien
merupakan faktor resiko terjadinya ablasi retina
sehingga bila ada keluhan lebih lanjut diharapkan
pasien dapat segera berkonsultasi pada sarana
kesehatan atau dokter mata terdekat.
Prognosis Quo ad vitam : Dubois ad bonam
Quo ad visam dan Quo ad functionam : Dubia
Prognosis baik pada kasus degenerasi myopia yang tidak
mempengaruhi daerah makula, dan tidak didapatkan
CNV atau staphyloma posterior
Prognosis buruk pada kasus degenerasi myopia dengan
CNV
Penelaah Kritis 1. Prof. Dr. dr. Gatut Suhendro, SpM(KVR)
2. dr. Moestidjab, SpM(KVR)
3. dr. Wimbo Sasono, SpM(KVR)
4. dr. Muh. Firmansjah, SpM
5. dr. Sauli Ari Widjaja, SpM
Indikator Medis Goldmann Three Mirror untuk mengetahui adanya
degenerasi retina perifer
Ultrasonografi untuk melihat axial length dan staphyloma
posterior
PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo
1. Ehlers J.P.,Shah C.P., 2008. The Wills eye Manual :
Kepustakaan
Office and emergency room, diagnosis and treatment
of eye disease. 5th edition. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins. pp 290, 300 – 30
2. Kaneko Y, Moriyama M, Hirahara S, Ogura Y, Ohno-
Matsui K, 2014. Areas of Nonperfusion in Peripheral
Retina of Eyes With Pathologic Myopia Detected by
Ultra-Widefield Fluorescein Angiography. Invest.
Ophthalmol. Vis. Sci; 55(3):1432-1439
3. Lai TYY, Luk FOJ, Lee GKY, Lam DSC. 2012. Long
term outcome of intravitreal anti-vascular endothelial
growth factor therapy with bevacizumab or
ranibizumab as primary treatment for subfoveal myopic
choroidal neovascularization. Eye, vol 26 (7).
4. Quan V. Hoang, Ronald H. Silverman, Raksha Urs,
Stanley Chang, 2012. Utility of B-Scan
Ultrasonography to Assess Posterior Dtaphyloma in
Pathologic Myopia Patients. Invest. Ophthalmol. Vis.
Sci; 53(14):2669
5. Wilkinson CP. 2005. Interventions for asymptomatic
retinal breaks and lattice degeneration for preventing
retinal detachment. Cochrane Database System Rev,
Issue 1. Art.No.:CD003170.
DOI:10.1002/14651858.CD003170.pub2
6. Wong TY, Ohno-Matsui K, Leveziel N, Holz FG, Lai
TY, Yu HG, Lanzetta P, Chen Y, Tufail A, 2014.
Review: Myopic choroidal neovascularisation: current
concepts and uodate on clinical management. Br J
Ophthalmol doi:10.1136/bjophthalmol-2014-305131

Surabaya, 1 Januari 2016

Ketua SMF Ilmu Kesehatan Mata

Dr. Nurwasis, dr., SpM(K)


NIP 195806191986111001
PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo
PANDUAN PRAKTIS KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN MATA
RSUD Dr. SOETOMO, SURABAYA

DIABETIC RETINOPATHY ( ICD 10 : H 36.0 )

Pengertian (Definisi) Kelainan retina dan sistem vaskuler yang diakibatkan Diabetes Melitus.

Anamnesis 1. Riwayat diabetes lebih dari 5 tahun


2. Tidak selalu ada keluhan penurunan visus. Dapat merupakan
rujukan dari sejawat dokter penyakit dalam.
3. Penurunan visus terjadi bila terdapa iskemia makula, edema makula
dan/atau retinopati diabetik proliferatif (perdarahan vitreus,
perdarahan pada daerah makula, ablasi retina)
4. Kontrol gula darah (GDP, 2 jam PP dan HbA1C)
5. Riwayat pengobatan (OAD dan/atau insulin)
6. Riwayat penyakit penyerta (hipertensi, dislipidemia) dan faktor
resiko (obesitas, merokok)
Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan visus terbaik (BCVA) dilakukan dengan snellen chart
pada jarak 5 m, bila tidak bisa melihat huruf yang teratas, maka
penderita diminta maju ke jarak 4 m, 3 m, 2 m atau 1 m sampai
penderita bisa melihat huruf pada snellen chart. Jika tidak bisa,
dilakukan pemeriksaan dengan lambaian tangan/ persepsi cahaya
dengan senter.
2. Pemeriksaan segmen anterior dilakukan pada kedua mata sesuai
dengan panduan pemeriksaan slitlamp biomicroscopy
3. Pemeriksaan tonometri dengan tonometer Schiotz dilakukan
sebelum dilatasi pupil
4. Dilatasi pupil dengan jalan pemberian tetes mata Tropicamide 0,5%
dan/atau Phenylephrine 10%, dilakukan punctal occlusion pada
penderita dengan kelainan kardiovaskular
5. Pemeriksaan kedua mata sesuai dengan panduan pemeriksaan
oftalmoskop direk dan/atau indirek
a. Pada retinopati diabetik nonproliferatif : didapatkan adanya
mikroaneurisma, perdarahan retina, eksudat lunak atau keras.
b. Pada retinopati diabetik proliferatif : didapatkan
neovaskularisasi, perdarahan di subhialoid jaringan ikat vitreo-
retinal sampai ablasio retina traksional.
c. Edema makula

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda sesuai dengan kriteria di
bawah ini :
• Retinopati Diabetik Nonproliferatif
a. Very Mild : Mikroaneurisma tanpa kelainan vaskuler lain
b. Mild : Mikroaneurisma, perdarahan retina, eksudat, cotton
wol spot dan IRMA-
c. Moderate :
• Perdarahan retina berat di 1-3 kuadran atau IRMA ringan
• Venous beading yang signifikan terbatas pada 1 kuadran
• Cotton wool spot
d. Severe :
• Perdarahan intraretinal difus dan mikroaneurisma pada 4
kuadran
• Venous beading pada 2 kuadran
• IRMA pada 1 kuadran
e. Very Severe : 2 atau lebih kriteria severe
• Retinopati Diabetik Preproliferatif dengan atau tanpa edema
makula
• Retinopati Diabetik Proliferatif dengan atau tanpa edema
makula
• Klasifikasi lain Diabetik Proliferatif :
1. Mild moderate :
• New vessel on the disc (NVD) atau
• New vessel Elsewhere (NVE)
2. High Risk :
• NVD > ½ disc area
• NVD disertai perdarahan intraretinal atau perdarahan
vitreus
• NVE > ½ disc area dengan perdarahan intraretinal atau
perdarahan vitreus
3. Advanced Diabetic Eye Disease
Diagnosis Kerja DIABETIC RETINOPATHY (H 36.0)

Diagnosis Banding 1. Mikroaneurisma dan perdarahan akibat retinopati hipertensi, oklusi


vena retina
2. Perdarahan vitreus dan neovaskularisasi akibat kelainan vitreoretina
yang lain
Pemeriksaan No Pemeriksaan Rekomendasi GR Ref
Penunjang
1. Foto Fundus Untuk mengetahui gambaran IA 4
segmen posterior dimana

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


Fluorescein Angiography tidak
bisa dilakukan seperti pada
penderita dengan gangguan
fungsi ginjal (nefropati)

2. Fluorescein untuk mengetahui adanya IA 10


Angiography mikroaneurisma yang berdifusi
(FFA) atau tidak berdifusi, daerah
hipoksia atau iskemi, adanya
neovaskularisasi di retina, di papil
maupun di vitreus dan melihat
dengan pasti adanya edema di
makula atau di retina, serta Intra
Retina Micro Angiopathy (IRMA).
Dapat digunakan untuk
membedakan antara edema
makula tipe difus atau fokal.
Diutamakan pada kasus
moderate NPDR dengan edema
makula yang akan dilakukan
fotokoagulasi laser fokal/ grid

3. Optical Untuk mengetahui kuantitas dari IA 3


Coherence edema makula, abnormalitas
Tomography vitreoretina interface (VMT).
(OCT) Dilakukan pada kasus dengan
NPDR/ PDR dengan CSME

4. Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium darah IIA 1


laboratorium lengkap, GDP, 2 jam PP, HbA1C,
RFT, LFT, dan profil lipid

5. Pemeriksaan Jika diperlukan untuk persiapan IIA 1


foto polos vitrektomi baik dengan anestesi
dada lokal maupun anestesi umum)

Terapi No Terapi Prosedur (ICD 9 CM) GR Ref


1. Medika Regulasi gula darah dan penyakit IA 8
mentosa penyerta oleh Departemen terkait
2. Konservatif Follow up rutin sesuai jadwal IIA 7
(Follow-up) yang ditentukan pada kasus very
mild-severe NPDR tanpa edema
makula
3. Laser • Laser fokal untuk daerah IA 6
fotokoagulasi dengan mikroaneurisma yang
(14.24) mengalami kebocoran di daerah
makula pada kasus diabetic
macular edema

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


• Laser grid untuk daerah makula
yang mengalami kebocoran
difus atau non perfusi pada
kasus diabetic macular edema
• Laser fotokoagulasi panretinal
(PRP) pada pasien dengan
retinopati diabetik proliferatif
tanpa jaringan fibrovaskular
luas, traksi vitreo retina dan
ablasio retina.
4. Injeksi Dilakukan pada kasus diabetic IA 5
Triamcinolon macular edema (tidak selalu
intravitreal dilakukan, sebagai terapi
(14.75) tambahan setelah laser fokal dan
grid)
5. Injeksi anti- Dilakukan pada kasus diabetic IA 2
VEGF macular edema (tidak selalu
(Ranibizumab dilakukan, sebagai terapi
/Bevacizumb/ tambahan sebelum/setelah laser
Aflibercept) fokal dan grid) dan dapat sebagai
(14.75) terapi sebelum dilakukan
vitrektomi untuk meminimalisasi
perdarahan
6. Operasi Vitrektomi pars plana (dengan IA 9
(Vitrektomi kombinasi laser fotokoagulasi,
pars plana) anti VEGF dan tamponade silicon
(14.72) oil) pada retinopati diabetik
proliferatif dengan jaringan
fibrovaskular luas, traksi
vitreoretina dan ablasio retina.
Terapi pasca operasi sesuai
dengan Panduan Praktis Klinis
Tindakan Vitrektomi
Edukasi 1. Penjelasan kepada penderita bahwa visus sangat tergantung pada
regulasi kadar gula darah yang baik (HbA1C)
2. Penjelasan bahwa lebih awal pengobatan akan menjadikan
prognosis lebih baik karena kerusakan retina dan/atau makula
bersifat permanen (tidak ada masa regenerasi)
3. Penjelasan waktu follow up sesuai dengan derajat keparahan
penyakit :
Very Mild : 12 bulan
Mild : 6-12 bulan

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


Moderate : 6 bulan
Severe : 4 bulan
Very Severe : 2-3 bulan
Retinopati Diabetik Proliferatif : 2-3 bulan
Prognosis Quo ad vitam : Dubois ad bonam
Quo ad visam dan Quo ad functionam : Dubia

Prognosis baik pada kasus DM terkontrol baik dengan retinopati


diabetik ringan tanpa disertai edema makula
Prognosis buruk pada kasus DM tidak terkontrol dengan durasi lebih
dari 5 tahun, didapatkan PDR dengan edema makula
Penelaah Kritis 1. Prof. Dr. dr. Gatut Suhendro, SpM(KVR)
2. dr. Moestidjab, SpM(KVR)
3. dr. Wimbo Sasono, SpM(KVR)
4. dr. Muh. Firmansjah, SpM(K)
5. dr. Sauli Ari Widjaja, SpM
6. dr. Ima Yustiarini, SpM
7. dr. Ady Dwi Prakosa, SpM
Indikator Medis OCT atau Fluorescein Angiography untuk mengevaluasi adanya area
nonperfusi dan edema makula
1. Al-Amer RM, Khader Y, Malas S, Abu-Yaghi N, Al-Bdour M, Ajlouni
Kepustakaan
K, 2008. Prevalence and Risk Factors of Diabetic Retinopathy
among Jordanian Patients with Type 2 Diabetes: Digital Journal of
Ophthalmology 14(2)
2. Chun DW, Heier JS, Topping TM, Duker JS, Bankert JM. A Pilot
Study of Multiple Intravitreal Injections of Ranibizumab in Patients
with Center-involving Clinically Significant Diabetic Macular Edema.
2006. Ophthalmology., vol 113, pp 1706-1712.
3. Goebel, Winfried MD, Kretzchmar-Gross, Tatjana MD, 2002. Retinal
Thickness in Diabetic Retinopathy : A study Using Optical
Coherence Tomography (OCT): The Journal of Retinal And
Vitreous Diseases 22(6): 759-767
4. J-Y Ku J, Landers J, Henderson T, Craig JE, 2013. The reliability of
single-field fundus photography in screening for diabetic
retinopathy: The Central Australian Ocular Health Study: The
Medical Journal of Australia 198(2): 93-96
5. Lopez F, Gomez UF, Rodrigiez-Cid MJ, Arias L, 2012. Clinical
Study. Triamcinolone and Bevacizumab as Adjunctive Therapies to
Panretinal Photocoagulation for Proliverative Diabetic Retinopathy:
ISRN Ophthalmology, Article ID 267643
6. Praidou A, Androudi S, Brazitikos P, Karakiulakis G,
Papakonstantinou E, Tsinopoulus I, Dimitrakos S, 2014. Clinical
Study. Diabetic Retinopathy Treated with Laser Photocoagulation

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


and the Indirect Effect on Glycaemic Control: Journal of Diabetes
Research. Article ID 158251
7. Regillo C., et al., 2011-2012. Basic and clinical science course :
Retina and vitreous. San Francisco : LEO American Academy of
Ophthalmology section 12. pp 109-132
8. The ACCORD Study Group and ACCORD Eye Study Group, 2010.
Effects of Medical Therapies on Retinopathy Progression in Type 2
Diabetes: The New England Journal of Medicine 363: 233-244
9. The Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study Research Group, 2015.
Early Vitrectomy for Severe Proliverative Diabetic Retinopathy in
Eyes with Useful Vision. Clinical Application of Result of A
Randomized Trial_Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study Report 4.
DOI: http://dx.doi.org/10.1016/SO161-6420(88)33014-9
10. Wessel MM, Nair N, Aaker GD, Ehrlich JR, D’Amico DJ, Kiss S,
2011. Peripheral retinal ischaemia, as evaluated by ultra-widefield
fluorescein angiography, is associated with diabetic macular
oedema: British Journal of Ophthalmology
doi:10.1136/bjophthalmol-2011-300774

Surabaya, 1 Januari 2016


Ketua SMFIlmuKesehatan Mata

Dr. Nurwasis, dr.,SpM (K)


NIP 195806191986111001

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


PANDUAN PRAKTIS KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN MATA
RSUD Dr. SOETOMO, SURABAYA

ENDOPHTHALMITIS ( ICD X : H.44.0 )

Pengertian (Definisi) Endoftalmitis adalah keradangan dalam bola mata,


disertai terjadinya pus abses pada badan kaca. Faktor
eksogen yang menyebabkan adalah bakteri.
Anamnesis 1. Tergantung tingkat keparahan penyakit
2. Tajam penglihatan menurun
3. Nyeri yang bersifat akut,
4. Dapat disertai febris dan infeksi sistemik lainnya
5. Riwayat operasi mata sebelumnya
6. Riwayat trauma penetrasi
7. Riwayat infeksi mata sebelumnya misalnya diawali
ulkus kornea
Pemeriksaan Fisik 23. Pemeriksaan visus terbaik (BCVA) dilakukan dengan
snellen chart, bila tidak bisa dengan hitung jari/
lambaian tangan/ lampu senter
Visus menurun sampai dengan light perception (LP-)
24. Pemeriksaan segmen anterior dilakukan pada kedua
mata dengan slitlamp biomicroscopy
Dapat ditemukan : edema palpebra, hiperemi
konjungtiva tipe campuran, kemosis konjungtiva,
edema kornea, dapat diawali dengan ulkus kornea
atau abses kornea, reaksi bilik mata depan berupa
hipopion
25. Bila visual aksis relatif jernih, dapat dilakukan dilatasi
pupil dengan jalan pemberian tetes mata Tropicamide
0,5% dan/ atau Phenylephrine 10%, dilakukan punctal
occlusion pada penderita dengan kelainan
kardiovaskular.
Pemeriksaan pada kedua mata dengan oftalmoskopi
direk/ oftalmoskopi indirek. Dilihat adanya tanda
inflamasi/ infeksi segmen posterior (vitritis, vaskulitis,
korioretinitis, neuritis optik)
Kriteria Diagnosis 1. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tersebut di
atas

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


2. Kultur yang diambil dari aspirasi badan kaca (vitreous
tap) dan bilik mata depan dan tes sensitivitas antibiotik
3. Hasil USG yang mendukung adanya endoftalmitis
Diagnosis ENDOPTHALMITIS (H.44.0)

Diagnosis Banding Keradangan segmen posterior yang disebabkan oleh


proses autoimun/ imunologis
Pemeriksaan Penunjang 8. Vitreous tap aspirasi badan kaca dan bilik mata depan.
Vitreous tap dapat dilakukan sebelum dilakukan
vitrektomi (Damato EM et al, 2012) (IIA)
9. Kultur (Schimel et al.,2013) (IIA)
10. Tes sensitifitas antibiotik (Schimel et al.,2013) (IIA)
11. USG pada endoftalmitis dapat bervariasi dari
kekeruhan rongga vitreus ringan sampai berat dapat
disertai gambaran retinal detachment dan penebalan
komplek retina koroid sklera (Kohanim et al, 2012)
(IIA)
Terapi 12. Pada saat penderita MRS mulai diberikan
antibiotika sistemik profilaksis dan dilanjutkan selama 5
hari, dapat menggunakan golongan ciprofloksasin
orall/ cefotaxim i.v.( The Endophthalmitis Vitrectomy
Study Group, 1995) (IA)
13. Terapi endoftalmitis sangat tergantung pada tipe
lambat/cepat, derajat keradangan dan luasnya
keradangan.
14. Pada kondisi ringan-sedang, pada kasus dengan
visus LP (+) dilakukan vitrektomi dan pemberian
antibiotik intra vitreal memberikan hasil yang lebih baik
daripada biopsi. (Endophthalmitis Vitrectomy Study
Group,1995) (IA)
15. Vitrektomi dilakukan dengan GA dengan persiapan
laboratorium lengkap, faal hemostasis, foto thorak dan
konsul jantung serta anestesi.(Das T et al, 2012) (IA)
16. Jenis antibiotika yang dipakai :(seusai hasil kultur
dan sensitivitas kuman) (Regillo C et al, 2011-2012)
(IIA)
• Gram (+)
Vancomycin
• Gram (-)
Aminoglikosida : gentamycin, tobramycin, amikacin
(ketiga obat ini toksik untuk retina), sefalosporin
Flouroquinolon oral dikenal mempunyai penetrasi yang
baik intraokular dan mempunyai potensi untuk bakteri

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


(kecuali untuk streptococcus dan bakteri gram (+)
hanya mempunyai potensi terbatas)
17. Cara pemberian : (Regillo C et al, 2011-2012) (IIA)
a. Topikal
b. Subkonjungtiva/subtenon:
Vancomycine/Cephalosporine
c. Intra-Okuler/Intravitreus:
Vancomycine, amikacin, amphoterisin-B
d. Pada kasus Candida :
Oral fluconazol dan topikal flucitocyn
18. Dosis (Regillo C et al, 2011-2012) (IIA)
Nama Sub- Intra- Intra-
Konj Venous Vitroeus
25 mg 6 mg/kgBB 0.4 mg
Amikacin
tiap 12 jam
100 mg 1 g/6-8 jam 2 mg
Cephazolin
25 mg 1 g/12 jam 1 mg
Vancomycin
20 mg 70-100 0.1-0.2 mg
Gentamycin
mg/8 jam
1-2 mg (tergantung 0.005-
Amphoterisin
tipe kasus) 0.010 mg
B
19. Eviserasi harus dipertimbangkan bila dikhawatirkan
atau ditemukan tanda-tanda akan terjadi penyebaran
bakteri ke sistemik atau encephalitis. Dan juga
apabila kerusakan segmen posterior sudah terlalu
parah sehingga tidak mungkin dilakukan perbaikan.
(Tsai YY & Tseng SH, 2001) (IA)
20. Kemudian pasca operasi, diberikan antibiotika
sistemik sampai 7 hari melanjutkan antibiotika
profilaksis, antibiotika steroid topikal (ditentukan
jenisnya) dan dosis pemberiannya. Bila diperlukan
dapat diberikan anti nyeri.
Edukasi 7. Menjelaskan kepada penderita penyebab penyakitnya,
disebabkan oleh bakteri/ jamur karena benda kotor
yang masuk ke mata (akibat luka tembus).
8. Menjelaskan bahwa terapi yang diberikan bertujuan
untuk menyembuhkan proses infeksi dan mencegah
penyebaran infeksinya.
9. Menjelaskan terapi yang diberikan dapat berupa terapi
medikamentosa dan atau tindakan terapi pembedahan
(vitrektomi).
10. Menjelaskan bahwa prognosis penglihatan setelah
terapi tergantung kondisi sebelum dilakukan
PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo
pembedahan (vitrektomi).
Prognosis 1. Quo ad vitam : Dubois ad bonam
2. Quo ad visam dan Quo ad functionam : Dubois ad
malam
Prognosis baik pada kasus endoftalmitis derajat ringan
yang dilakukan terapi segera
Prognosis buruk pada kasus endoftalmitis derajat berat
dengan kerusakan segmen posterior yang parah
Penelaah Kritis 16. Prof. Dr. dr. Gatut Suhendro, SpM(KVR)
17. dr. Moestidjab, SpM(KVR)
18. dr. Wimbo Sasono, SpM(KVR)
19. dr. Muh. Firmansjah, SpM
20. dr. Sauli Ari Widjaja, SpM
Indikator Medis Reaksi keradangan segmen anterior dan posterior

Kepustakaan 17. Damato EM, Angi M, Romano MR, Semeraro F,


Costagliola C, 2012. Vitreous Analysis in the
Management of Uveitis: Hindawi Journal Article ID
863418, 7 pages
18. Das T, Sharma S, Baine PK, Kenchappa P, 2012.
Endophthalmitis Vitrectomy Study : Application and
Relevance : jp journals-10020-1026
19. Ehlers J.P., Shah C.P., 2008. The Wills eye manual :
Office and emergency room, diagnosis and treatment
of eye disease. 5th edition. Philadelphia : Lipincot
Williams & Wilkins. pp 90. 300-302.
20. Endophthalmitis Vitrectomy Study Group. 1995.
Results of the Endophthalmitis Vitrectomy Study: a
randomized trial of immediate vitrectomy and of
intravenous antibiotics for the treatment of
postoperative bacterial endophthalmitis. Arch
Ophthalmol, vol 113, pp 1479-1496.
21. Flynn,Jr. HW., 2010. Recognition, treatment and
prevention of endophthalmitis. Bascom Palmer Eye
Institute University of Miami School of Medicine.
22. Kanski J.J., 2007. Clinical Ophthalmology, a
systematic approach. 6th edition. Philadelphia :
Butterworth Heinemann Elsevier Ltd. pp: 175-177.
23. Kohanim S, Daniels AB, Huynh N, Eliott D, Chodosh
J. 2012.Utility of ocular ultrasonography in diagnosing
infectious endophthalmitis in patients with media
opacities. Semin Ophthalmol. Vol 27(5-6): pp 242-
245.
24. Regillo C., et al., 2011-2012. Basic and clinical
PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo
science course : Retina and vitreous. San Francisco :
LEO American Academy of Ophthalmology section
12. pp 269-373.
25. Schimel AM ; Miller D ; Flynn HW Jr. 2013.
Endophthalmitis isolates and antibiotic
susceptibilities: a 10-year review of culture-proven
cases.American Journal Of Ophthalmology. Vol. 156
(1), pp. 50-52.e1.
26. The Endophthalmitis Vitrectomy Study Group, 1995.
Result of the Endophthalmitis Vitrectomy Study. A
randomized trial of immediate vitrectomy and of
intravenous antibiotics for the treatment of
postoperative bacterial endophthalmitis: Arch
Ophthalmol 113(12): 1479-96
27. Tsai YY, Tseng SH, 2001. Risk factors in
endophthalmitis leading to evisceration or
enucleation: Ophthalmic Surg Lasers 32(3): 206-12

Surabaya, 1 Januari 2016

Ketua SMF Ilmu Kesehatan Mata

Dr. Nurwasis, dr., SpM(K)


NIP 195806191986111001

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


PANDUAN PRAKTIS KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN MATA
RSUD Dr. SOETOMO, SURABAYA

HYPERTENSIVE RETINOPATHY
BACKGROUND RETINOPATHY AND RETINAL VASCULAR CHANGES
ICD X : H 35.0
Pengertian (Definisi) Gambaran fundus mata akibat hipertensi yang mengenai
sistem vaskuler, retina, kapiler, khoroid dan saraf optik.
Anamnesis 1. Umumnya tidak ada keluhan penurunan visus dari
penderita biasanya diketahui secara kebetulan pada
pemeriksaan funduskopi atau rujukan dari sejawat
dokter kardiovaskuler.
2. Penurunan visus terjadi karena oklusi arteri/vena yang
mengenai makula atau terjadinya edema makula.
3. Hipertensi Khoroidopati : Berhubungan dengan episode
akut hipertensi misalnya preeclampsia, eclampsia,
pheochromocytoma atau renal hypertension dan pada
usia muda.
4. Riwayat Hipertensi (terkontrol obat, lama menderita)
dan faktor resiko (merokok, dislipidemia)
Pemeriksaan Fisik 26. Pemeriksaan visus terbaik (BCVA) dilakukan dengan
snellen chart, bila tidak bisa dengan hitung jari/ lambaian
tangan/ senter.
27. Pemeriksaan segmen anterior dilakukan pada kedua
mata dengan slitlamp biomicroscopy
28. Pemeriksaan tonometri dengan tonometer Schiotz
dilakukan sebelum dilatasi pupil
29. Dilatasi pupil dengan jalan pemberian tetes mata
Tropicamide 0,5% dan/atau Phenylephrine 10%,
dilakukan punctal occlusion pada penderita dengan
kelainan kardiovaskular
30. Pemeriksaan kedua mata dengan oftalmoskop direk
dan/atau indirek dicari :
1. Fase akut : angiospasme, focal intraretinal
periarteriolar transudates (FIPTs) yang tampak lebih
kecil dan dalam dari cotton-wool spots.
2. Fase kronis : sklerosis vaskuler ,oklusi
mikrovaskuler, mikroaneurisma, intraretinal
microvascular abnormalities (IRMAs), blot

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


haemorrhage, hard eksudat, venous beading dan
neovaskularisasi (2 terakhir merupakan tanda
iskemia).
a. Vaskulopati dan Retinopati
Tekanan sistolik yang tinggi dan persisten akan
menyebabkan disfungsi endotel permanen dan
manifestasinya berupa sklerotik vaskuler yang
tampak sebagai fenomena AV crossing,
perubahan perbandingan A:V dan arteriole light
reflex yang bersifat irreversible. Retinopati terjadi
karena dekompensasi sistem vaskuler dan
bersifat reversible.
b. Khoroidopati
Terjadi pada penderita usia muda, akut dan
tekanan sistolik yang tinggi misalnya eklamsi -
preeklamsi, feokromositoma. Zona nonperfusi
luas yang mengenai kapiler khoroid akan
menyebabkan eksudasi masuk keruangan sub
retina (separasi retina).
c. Neuropati saraf optik
Edema papil saraf optik, perdarahan retina
superfisial sekitarnya, menunjukkan ensefalopati
hipertensi. Keadaan ini bisa terjadi pada tekanan
sistolik yang tinggi pada keadaan akut maupun
kronis
Kriteria Diagnosis Klasifikasi berdasarkan Keith-Wagener Barker (1939)
7. Kelainan vaskuler belum ada. Hipertropi dinding dengan
penyempitan lumen ringan.
8. Perubahan refleks aksial arteriol (copper wire & silver
wire)
9. Kelompok II disertai arteriospasme. Edema retina,
eksudat, perdarahan flame shaped, eksudat sekitar
makula (star shaped figure).
10. Kelompok III + edema papil saraf optik.
Klasifikasi berdasarkan Modified Scheie Classification of
Hypertensive Retinopathy:
Grade 0 No changes
Grade 1 Barely detectable arterial narrowing
Grade 2 Obvious arterial narrowing with focal irregularities
Grade 3 Grade 2 plus retinal haemorrhage and/or exudates
Grade 4 Grade 3 plus disc swelling
Hipertensi Khoroidopati:
• Elschnig spot : koriokapiler nonperfusi berbentuk lobuler
yang akan menimbulkan gambaran hiperpigmentasi

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


lobuler yang dibatasi area hipopigmentasi
• Siegrist streaks : konfigurasi linier hiperpigmentasi yang
mengikuti garis meridional arteri khoroidal.
• Exudative retinal detachment (bullous dan bilateral)
Diagnosis BACKGROUND RETINOPATHY AND RETINAL
VASCULAR CHANGES (H 35.0)
Diagnosis Banding Retinopati diabetik tipe non proliferatif

Pemeriksaan Penunjang 4. Fluorescein Angiography(FA) : pada hipertensi


khoroidopati menunjukkan hipoperfusi khoroidal fokal
pada fase awal dan area yang menunjukkan kebocoran
kontras multipel pada fase akhir. (Pache et al, 2002) (IA)
5. Optical Coherence Tomography (OCT) : untuk
mengetahui kuantitas edema makula (Suzuki M et al,
2005) (IIA)
Terapi 21. Regulasi tekanan darah (Jeppesen et al, 2007) (IIA)
22. Laser fotokoagulasi (bila sudah terjadi komplikasi oklusi
pembuluh darah) misalkan pada CRVO atau BRVO
yang telah timbul NVI (Wiedemann P&Rehak M, 2012)
(IA)
23. Anti-VEGF (bila sudah terjadi edema makula, misalkan
akibat oklusi vaskuler ) (Moschos et al, 2008) (IA)
Edukasi 3. Menjelaskan bahwa mengatasi penyebab primer adalah
paling penting, diagnosis dini dan terapi yang tepat
secara teratur dan berkelanjutan.
4. Menjelaskan bahwa retinopati hipertensi tidak
memerlukan pengobatan khusus di bidang mata dan
tidak menyebabkan penurunan visus, kecuali terjadi
komplikasi berupa oklusi vaskular
5. Menjelaskan faktor yang memperberat penyakit yang
tidak bisa dihindari yaitu usia dan durasi dari hipertensi,
dan menghindari faktor yang memperberat penyakitnya
yang bisa dihindari yaitu dislipidemia dan merokok
6. Menjelaskan komplikasi yang mungkin terjadi yaitu
sumbatan pada pembuluh darah di dalam mata yang
dapat menimbulkan perdarahan di dalam bola mata
7. Menjelaskan prognosis yang terjadi tergantung dari
penyebabnya. Bersifat reversible pada background
retinopathy (seperti eclampsia, pre- eclampsia) dan
irreversible pada vaskulopati sklerotik akibat perubahan
endotel vaskuler yang bersifat permanen
Prognosis Quo ad vitam : Dubois ad bonam
Quo ad visam dan Quo ad functionam : Dubois ad bonam

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


Penelaah Kritis 6. Prof. Dr. dr. Gatut Suhendro, SpM(KVR)
7. dr. Moestidjab, SpM(KVR)
8. dr. Wimbo Sasono, SpM(KVR)
9. dr. Muh. Firmansjah, SpM
10. dr. Sauli Ari Widjaja, SpM
Indikator Medis Pemeriksaan oftalmoskopi direk/indirek (evaluasi vascular
changes)
OCT (terdapat perbaikan edema makula)
1. Jeppesen P, Sanye-Hajari J, Bek T. Increased Blood
Kepustakaan
Pressure Induces a Diameter Response of Retinal
Arterioles that Increases with Decreasing Arteriolar
Diameter.Invest Ophthalmol Vis Sci. 2007; 48:328 –331
DOI:10.1167/iovs.06-0360.
2. Moschos MM, Moschos M. 2008. Intraocular
bevacizumab for macular edema due to CRVO.
Advances In Ophthalmology; Vol. 116 (2): 147-52.
3. Pache M, Kube T, Wolf S, Kutschbach P. 2002. Do
angiographic data support a detailed classification of
hypertensive fundus changes?.J Hum Hypertens. Vol
16(6): 405-10.
4. Regillo C.,et al., 2011-2012. Basic and clinical science
course: Retina and vitreous. San Fransisco: LEO-
American Academy of Ophthalmology section 12.pp
107–109
5. Suzuki M, Minamoto A, Yamane K, Uka J, Aoki S,
Mishima HK, 2005. Malignant hypertensive retinopathy
studied with optical coherence tomography: PubMed
Retina 25(3): 383-4
6. Wiedeman P, Rehak M, 2012. Combination of
Ranibizumab and laser photocoagulation in CRVO: Acta
Ophthalmologica 90(s249)

Surabaya, 1 Januari 2016

Ketua SMF Ilmu Kesehatan Mata

Dr. Nurwasis, dr., SpM(K)


NIP 195806191986111001
PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo
PANDUAN PRAKTIS KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN MATA
RSUD Dr. SOETOMO, SURABAYA

RETAINED (OLD) INTRAOCULAR FOREIGN BODY, MAGNETIC, IN POSTERIOR SEGMENT (ICD X: H 44.6)
RETAINED (OLD) INTRAOCULAR FOREIGN BODY, NON MAGNETIC, IN POSTERIOR SEGMENT (H 44.7)

Pengertian (Definisi) Benda asing yang terdapat di segmen posterior okuli


dengan trauma penetrasi.
Anamnesis 1. Adanya riwayat trauma dengan benda asing yang
masuk kedalam bola mata dengan kecepatan tinggi.
2. Nyeri, turunnya tajam penglihatan mendadak
Pemeriksaan Fisik 31. Pemeriksaan visus terbaik (BCVA) dilakukan dengan
snellen chart, bila tidak bisa dengan hitung jari/
lambaian tangan/ lampu senter
32. Pemeriksaan tonometri dengan palpasi atau dengan
tonometer jika memungkinkan
33. Pemeriksaan segmen anterior dilakukan pada kedua
mata dengan slitlamp biomicroscopy.
Segmen anterior : Tampak robekan luka masuk, dapat
disertai edema palpebra, hiperemia konjungtiva dan
perdarahan subkonjungtiv, laserasi kornea/ laserasi
sklera, bisa timbul hipopion, pupil tidak bulat/ timbul
sinekia, katarak traumatika
34. Dilatasi pupil dengan jalan pemberian tetes mata
Tropicamide 0,5% dan/ atau Phenylephrine 10%,
dilakukan punctal occlusion pada penderita dengan
kelainan kardiovaskular
35. Pemeriksaan pada kedua mata dengan oftalmoskopi
direk, oftalmoskopi indirek
Segmen posterior : obscura corpus vitreous ringan
sampai berat
Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis adanya riwayat trauma dengan benda asing
yang masuk kedalam bola mata dengan kecepatan
tinggi. Anamnesis sangat penting untuk menentukan
jenis benda asing yang masuk. Bisa logam (magnetik/
non magnetik) atau non logam
2. Nyeri, turunnya tajam penglihatan mendadak
3. Pemeriksaan fisik didapatkan penurunan visus yang
bervariasi hingga Light Perception –

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


4. Segmen anterior : Tampak robekan luka masuk, dapat
disertai edema palpebra, hiperemia konjungtiva dan
perdarahan subkonjungtiv, laserasi kornea/ laserasi
sklera, bisa timbul hipopion, pupil tidak bulat/ timbul
sinekia, katarak traumatika
Segmen posterior : obscura corpus vitreous ringan
sampai berat
5. Dilakukan foto skull orbita didapatkan gambaran benda
asing
Diagnosis RETAINED (OLD) INTRAOCULAR FOREIGN BODY, MAGNETIC, IN
POSTERIOR SEGMENT (H44.6)
RETAINED (OLD) INTRAOCULAR FOREIGN BODY, NON
MAGNETIC, IN POSTERIOR SEGMENT (H44.7)

Diagnosis Banding 8. Endofthalmitis dengan ditemukan robekan luka masuk


9. Uveitis dengan ditemukan robekan luka masuk
Pemeriksaan Penunjang 6. Skull X-Ray (frontal dan lateral) : modalitas skrining di
unit gawat darurat, melihat ada/tidaknya benda asing
intraokuli serta ukuran dan jumlahnya.
(Nair et al, 2007) (IA)
7. CT-Scan : Merupakan gold standard untuk deteksi
lokasi dengan lebih spesifik dan karakter benda asing
baik metalik ataupun nonmetalik (Nair et al, 2007) (IA)
Dilakukan bila kondisi foto skull belum jelas. dapat juga
dilakukan pada kasus dengan double perforasi dan
benda asing ekstraokuler.
8. MRI (IOFB yang non-magnetik, kontraindikasi untuk
kecurigaan metalik) (Wheatcroft S & Benjamin L. 1996 -
IIA), (Nair et al., 2007 – IA)
Dilakukan atas indikasi kecurigaan benda asing
nonmagnetik yang tidak tampak dengan CT scan.
9. Ultrasonografi : untuk melihat benda asing yang
radioopaque dan metalik, kerusakan struktur intraokuli
yang ditimbulkan. Dilakukan untuk melihat lebih spesifik
IOFB di segmen posterior (Farfardin M et al.,2008) (IIA)
Terapi 1. Pada saat penderita MRS mulai diberikan antibiotika
sistemik profilaksis dan dilanjutkan selama 5 hari, dapat
menggunakan golongan ciprofloksasin oral/ cefotaxim
i.v.
2. Kultur vitreus jika dicurigai terjadi infeksi/ endoftalmitis
(Rathod R, 2011) (IA)
3. Intravitreal antibiotik (Rathod R, 2011) (IA)
4. Vitrektomi Pars Plana dan ekstraksi IOFB (untuk IOFB
yang reaktif) (Camacho&Mejía,1991 - IIA), (Rathod R,
2011 - IA)

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


Operasi mikro untuk mengeluarkan vitreus dan ektraksi
IOFB . Dilakukan dengan anestesi umum. Sebelumnya
disiapkan pemeriksaan laboratorium darah lengkap,
pemeriksaan RFT, LFT, Lipid profile dan faal
hemostasis. Kemudian konsultasi dengan departemen
terkait bila diperlukan, misalkan pada spesialis jantung
dan anestesi.
Kemudian pasca operasi, diberikan antibiotika sistemik
sampai 7 hari melanjutkan antibiotika profilaksis,
antibiotika steroid topikal (ditentukan jenisnya) dan
dosis pemberiannya. Bila diperlukan dapat diberikan
anti nyeri.
Edukasi 8. Menjelaskan bahwa benda asing yang terdapat
didalam mata dikeluarkan dengan operasi vitrektomi.
9. Tujuan operasi adalah untuk mengambil benda asing
dan mencegah komplikasi lebih lanjut yaitu infeksi/
endoftalmitis
10. Prognosis penglihatan tergantung pada jenis IOFB,
besar luka, kerusakan yang ditimbulkan, keterlambatan
penatalaksanaan
11. Fungsi penglihatan tergantung fungsi makula
Prognosis 1. Quo ad vitam : Dubois ad bonam
2. Quo ad visam dan Quo ad functionam : Dubois ad
malam
Prognosis buruk pada kasus luka >10mm, IOFB besar,
katarak traumatika, perdarahan vitreus dengan
endoftalmitis, kerusakan retina berat dan intraretinal
IOFB
Penelaah Kritis 21. Prof. Dr. dr. Gatut Suhendro, SpM(KVR)
22. dr. Moestidjab, SpM(KVR)
23. dr. Wimbo Sasono, SpM(KVR)
24. dr. Muh. Firmansjah, SpM
25. dr. Sauli Ari Widjaja, SpM
Indikator Medis • Tidak didapatkan lagi benda asing atau serpihan benda
asing
• Perbaikan anatomis
• Tanda inflamasi membaik
Kepustakaan 1. Bai HQ, L Yao, XX Meng, YX Wang and DB Wang.
Visual outcome following intraocular foreign bodies: a
retrospective review of 5-year clinical experience.
European Journal of Ophthalmology 2010; Epub
ahead of print.
2. Ehlers J.P.,Shah C.P., 2008. The Wills eye Manual :
PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo
Office and emergency room, diagnosis and treatment
of eye disease. 5th edition. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins. pp 41-42
3. Farfardin M, Mehryar M, Karanjam M, Ashraf H,
Mehdizadeh M, Rahimi M, Hosseini H, Siyoofi S,
Mosallaei M, 2008. The Accuracy of Ocular
Sonography in Detectin and Measurement od
Intraocular Foreign Bodies: Iranian Journal of
Ophthalmology 20(4): 20-23
4. Kuhn F.,Mester V.,Morris R. 2002. Ocular Trauma
Principles and Practice. New York: Thieme. pp235-263
5. Nair et al., 2007. Identifying Intraocular Foreign Body.
Eyenet
6. Napora KJ, I Obuchowska, A Sidorowicz and Z Mariak.
Intraocular and intraorbital foreign bodies
characteristics in patients with penetrating ocular
injury. KlinikiOczna 2009; 111.10:307-12
7. Rathod R, et al., 2011. An update on the management
of intraocular foreign bodies. Retinal Physician, Issue :
April 2011
8. Wheatcroft S & Benjamin L. 1996. Magnetic
resonance imaging and the dangers of orbital foreign
bodies. Br J Ophthalmol. Vol 80(12),pp 1116.

Surabaya, 1 Januari 2016

Ketua SMF Ilmu Kesehatan Mata

Dr. Nurwasis, dr., SpM(K)


NIP 195806191986111001

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


PANDUAN PRAKTIS KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN MATA
RSUD Dr. SOETOMO, SURABAYA

VITREOUS HEMORRHAGE ( ICD X : H 43.1 )

Pengertian (Definisi) Adanya darah pada rongga vitreus. Perdarahan dapat


berasal dari kerusakan pembuluh darah retina atau koroid
dan dapat juga disebabkan oleh robekan pada retina.
Perdarahan dapat terjadi pada vitreus (intragel) atau di
belakang vitreus yang terlepas dari permukaan retina
(retrohyaloid). Penyebab terbanyak adalah retinopati
diabetik (39-54%).
Anamnesis 1. Visus yang bervariasi tergantung berat ringannya
perdarahan, mulai dari 5/5 dengan keluhan floaters
hingga lambaian tangan (1/300)
2. Riwayat : Diabetes Melitus / Diabetic Retinopathy,
Hipertensi dan terjadi komplikasi BRVO/CRVO, AMD
atau Trauma
Pemeriksaan Fisik 36. Tergantung tingkat keparahannya. Visus dapat
bervariasi dari 20/20 hingga LP+. Pemeriksaan visus
terbaik (BCVA) dilakukan dengan snellen chart, bila
tidak bisa dengan hitung jari/ lambaian tangan/ lampu
senter
37. Pemeriksaan tonometri dengan tonometer Schiotz
dilakukan sebelum dilatasi pupil
38. Dilatasi pupil dengan jalan pemberian tetes mata
Tropicamide 0,5% dan/ atau Phenylephrine 10%,
dilakukan punctal occlusion pada penderita dengan
kelainan kardiovaskular
39. Oftalmoskop direk/indirek : pemeriksaan refleks fundus
dapat menggunakan oftalmoskop direk atau slitlamp
biomicroscopy: tampak kekeruhan di belakang lensa
pada waktu bola mata digerakkan dengan pupil
midriasis. Kadang segmen posterior sudah tidak terlihat
oleh karena adanya perdarahan yang masif. Tampak
gambaran boat-shaped appearance pada perdarahan
subhyaloid.
Kriteria Diagnosis 1. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti yang

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo


tersebut di atas, penurunan visus mendadak yang
bervariasi tergantung berat ringannya perdarahan.
2. Pemeriksaan refleks fundus: tampak kekeruhan cairan
vitreus di belakang lensa pada waktu bola mata
digerakkan dengan pupil midriasis.
3. Pemeriksaan direk/ indirek oftalmoskopi : Perdarahan di
vitreus
4. Apabila tidak didapatkan riwayat Diabetes Mellitus,
hipertensi dan trauma, dicari faktor penyebab lain yaitu :
retinal tear dan rhegmatogenous retinal detachment,
posterior vitreous detachment dan infeksi segmen
posterior
Diagnosis VITREOUS HEMORRHAGE (H43.1)

Diagnosis Banding 10. Retinal detachment dengan kekeruhan rongga vitreus


11. Kekeruhan vitreus karena sebab lain, bukan karena
perdarahan diantaranya Eales’ disease, pars planitis,
sarcoidosis dan inflamasi segmen posterior
Pemeriksaan Penunjang Bila kekeruhan rongga vitreus berat, pada USG okular
didapatkan gambaran obscura corpus vitreus dengan
echogenic lession dengan A spike rendah, merata dan
mobilitas tinggi pada real time USG. (Rabinowitz et al,
2004) (IIA)
Perlu diwaspadai pada rhegmatogenous retinal
detachment stadium awal, USG tidak mendukung
(misalkan pada break yang yang tepat pada pembuluh
darah sehingga menyebabkan perdarahan vitreus ringan)
Terapi 24. Tirah baring dengan posisi head up
25. Medikamentosa (anti fibrinolitik) (Ramezani AR et al,
2005) (IA)
26. Vitrektomi (Ratnarajan et al, 2011) (II A)
Vitrektomi dilakukan, tergantung pemeriksaan USG
atau pemeriksaan lain yang mendukung, terutama
dengan kecurigaan retinal detachment dan pada kasus
dimana tidak didapatkan respon terapi medikamentosa
setelah 6 bulan.
Dilakukan dengan anestesi lokal, anestesi lokal
dengan back up resusitasi oleh tim anestesi reanimasi
atau dengan anestesi umum. Sebelumnya disiapkan
pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan
RFT, LFT, profil lipid dan faal hemostasis. Kemudian
konsultasi dengan departemen terkait bila diperlukan,
misalkan pada spesialis jantung dan anestesi. Pada
anestesi lokal dilakukan persiapan sebagaimana
PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo
persiapan anestesi umum di atas

Edukasi 12. Menjelaskan bahwa perdarahan yang terjadi dapat


disebabkan oleh penyakit yang mendasari misalnya
hipertensi dan diabetes mellitus, selain itu dapat
disebabkan oleh trauma, robekan pada retina maupun
infeksi pada bagian belakang mata.
13. Menjelaskan pentingnya mengatasi penyakit yang
mendasari.
14. Menjelaskan bahwa pada kasus yang diketahui
penyebabnya tindakan operatif dapat ditunda selama
3-6 bulan dan dilakukan terapi medikamentosa.
15. Menjelaskan bahwa pada kasus yang tidak diketahui
penyebabnya tindakan operatif harus segera dilakukan
sebelum katarak terjadi (merujuk pada hasil USG).
16. Menjelaskan bahwa bila dengan terapi medikamentosa
perdarahan bisa diatasi, harus diwaspadai
kemungkinan terjadinya perdarahan ulang dan bila
primer suatu AMD, visual field akan membaik tetapi
visus sentral tetap jelek.
Prognosis 1. Quo ad vitam : Dubois ad bonam
2. Quo ad visam dan Quo ad functionam : Dubia
Prognosis baik pada kasus vitreous hemmorhage akibat
BRVO tanpa disertai edema makula
Prognosis buruk pada kasus vitreous hemorrhage yang
disebabkan PDR dan telah didapatkan tractional RD, AMD
wet type
Penelaah Kritis 11. Prof. Dr. dr. Gatut Suhendro, SpM(KVR)
12. dr. Moestidjab, SpM(KVR)
13. dr. Wimbo Sasono, SpM(KVR)
14. dr. Muh. Firmansjah, SpM
15. dr. Sauli Ari Widjaja, SpM
Indikator Medis Perdarahan vitreus membaik/ terjadi perdarahan ulang
(dapat dievaluasi dengan oftalmoskopi direk/ indirek/ USG)
Kepustakaan 9. Ehlers J.P.,Shah C.P., 2008. The Wills eye Manual :
Office and emergency room, diagnosis and treatment
of eye disease. 5th edition. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins. pp 301 – 304
10. Rabinowitz R, Yagev R, Shoham A, Lifshitz T. 2004.
Comparison between clinical and ultrasound findings in
patients with vitreous hemorrhage. Eye, vol 18, pp
253–256.
11. Ramezani AR, Ahmadieh H, Golestan B, 2005. Effect
PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo
of tranexamic acid on early post vitrectomy diabetic
hemorrhage, a randomised clinical trial: Br J
Ophthalmol 89(8): 1041-1044
12. Ratnarajan G ; Mellington F ; Saldanha M ; de Silva
SR., Benjamin L. 2011. Long-term visual and
retinopathy outcomes in a predominately type 2
diabetic patient population undergoing early vitrectomy
and endolaser for severe vitreous haemorrhage.Eye.
Vol. 25 (6), pp. 704-708
13. Rishi P., Gupta A., Adolescents in India. 2013.
Vitreous Hemorrhage in Children and AdJ AAPOS
2013; 17: 64-69)

Surabaya, 1 Januari 2016

Ketua SMF Ilmu Kesehatan Mata

Dr. Nurwasis, dr., SpM(K)


NIP 195806191986111001

PPK SMF I.K. Mata RSUD Dr Soetomo

Anda mungkin juga menyukai