SMF MATA
EDISI VII
2015
SMF MATA
BLEFARITIS
1. Pengertian (Definisi) Peradangan pada tepi kelopak mata
KONJUNGTIVITIS AKUT
EPISKLERITIS
1. Pengertian (Definisi) Peradangan Benign (jinak) pada jaringan episklera
KLASIFIKASI
- Episkleritis difusa (simple episcleritis)
- Episkleritis nodular
ETIOLOGI
- Idiopatik: paling sering
- Infeksi (herpes zoster virus)
- Lain-lain: tiroid, atopi, rosacea
2. Anamnesis 1. Mata merah akut
2. Nyeri ringan
3. Unilateral atau bilateral
4. Biasanya pada dewasa muda
5. Tidak didapatkan kotoran mata
6. Seringkali disertai riwayat keluhan serupa sebelumnya
3. Pemeriksaan Fisik 1. Visus normal
2. Episkleritis difusa: Injeksi silier interpalpebral sektoral
atau difus dengan kongesti maksimal pada kapsula
Tenon, yang biasanya menghilang sendiri setelah
beberapa hari
3. Episkleritis nodusa: Nodul dengan nyeri tekan pada
area fissura interpalpebral, pada pemeriksaan slit lamp
tampak permukaan sklera flat
4. Penetesan fenilefrin 10% akan menkonstriksi pembuluh
darah konjungtiva dan episklera sehingga
memudahkan evaluasi sklera dibawahnya
5. Jarang terjadi uveitis anterior dan keterlibatan kornea
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Episkleritis
6. Diagnosis Banding 1. Skleritis
2. Konjungtivitis
3. Iritis
7. Pemeriksaan Pemeriksaan pemberian ephineprine postif bila terjadi
Penunjang konstriksi pembuluh darah episklera.
8. Terapi 1. Ringan artificial tears
2. Sedang-berat steroid topikal
3. NSAID sistemik
9. Edukasi 1. KIE penderita kemungkinan rekurensi
2. Jika diberikan steroid topikal frekuensinya segera
dikurangi setelah klinis membaik
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis 1. Keluhan subyektif berkurang
2. Pelebaran pembuluh darah berkurang
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 8.
External Eye Disease. American Academy of
Ophthalmology. 2010 - 2011.
b. Kanski, J. Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach. Sixth Edition. Elsevier Saunders. 2007.
Pg 323-336
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
SKLERITIS
1. Pengertian (Definisi) Peradangan pada jaringan sklera
ETIOLOGI
Biasanya berhubungan dengan penyakit sistemik
Penyebab yang sering: penyakit jaringan ikat
(rheumatoid arthritis, SLE, Wegener granulomatois,
relapsing polikondritis, poliarteritis nodosa), herpes
zoster oftalmikus, sifilis, gout
KLASIFIKASI
1. Skleritis anterior
- Skleritis anterior non nekrotikans difus: inflamasi
menyebar pada segmen anterior
- Skleritis anterior non nekrotikans nodular: terdapat
nodul yang tidak dapat digerakkan
- Skleritis anterior nekrotikans dengan inflamasi: Nyeri
hebat, nekrosis sklera, berhubungan erat dengan
penyakit inflamasi isitemik
- Skleritis anterior nekrotikans tanpa inflamasi
(skleromalasia perforans): biasanya asimptomatik,
paling sering terjadi pada pasien rheumatoid arthritis
kronik.
2. Skleritis posterior: berawal dari posterior, atau kadang
merupakan kelanjutan dari skleritis anterior. Biasanya
tidak berhubungan dengan penyakit sistemik
PTERYGIUM
1. Pengertian (Definisi) Jaringan fibrovaskuler berbentuk segitiga dengan dasar
konjungtifa nasal dan atau ditemporal dan tumbuh
memasuki permukaan kornea, diduga akibat paparan dari
sinar UV, inflamasi, angin, debu dan iritan lainnya. Paparan
terhadap faktor tersebut diduga menyebabkan degenerasi
kolagen stromal konjungtiva disertai jaringan fibrovaskuler
subepitelial
2. Anamnesis a. Terdapat selaput putih yang terus tumbuh ke bagian
hitam bola mata secara perlahan
b. Kadang disertai mata merah
c. Rasa mengganjal
d. Gatal
e. Berair
f. Disertai penglihatan kabur jika selaput yang tumbuh
hampir menutupi seluruh permukaan hitam bola mata
g. Riwayat trauma mata
h. Riwayat iritasi atau infeksi mata sebelumnya
i. Riwayat pekerjaan faktor resiko (paparan sinar uv,
angin, debu, dll)
j. Timbul pertama kali atau berulang
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Oftalmologis:
a. Pemeriksaan permukaan depan bola mata dengan
flash light, loop, atau slit lamp
b. Ditemukan selaput putih atau jaringan fibrovaskular
berbentuk segitiga yang tumbuh dari tepi pertemuan
kelopak mata atas dan bawah menuju ke tengah bola
mata pada bagian hitam mata.
c. Dapat disertai injeksi konjungtiva atau injeksi
perikornea jika terjadi peradangan pada selaput,
sehingga jaringan fibrovaskular akan tampak berwarna
merah
d. Dapat disertai tanda-tanda yang didapat pada
sindroma mata kering
Karakteristik klinis
a) Berdasarkan klasifikasi gradasi klinis dari
Youngson:
I. Kepala jaringan pterygium pada limbus
II. Kepala jaringan pterygium di kornea berada
diantara limbus dan pertengahan jarak limbus ke
tepi pupil
III. Kepala jaringan pterygium di kornea berada di
antara pertengahan jarak limbus ke tepi pupil
dan tepi pupil
IV. Kepala jaringan pterygium telah melewati tepi
pupil
b) Kesan klinis:
- Meradang (Inflamed), jika terdapat 2 dari 3 tanda-
tanda :
1. Vaskularisasi, lebih dari 2 pembuluh darah yang
melebar
2. Stroma yang tebal, jika visualisasi pembuluh
darah episklera terputus di bawah stroma
3. Deposit partikel ; besi, bintik warna kecoklatan di
permukaan / di tepi jaringan pterygium
- Tidak meradang ( non-inflamed), jika hanya terdapat
salah satu dari tanda-tanda di atas
4. Kriteria Diagnosis a. Ditemukan selaput putih atau jaringan fibrovaskular
berbentuk segitiga yang tumbuh dari tepi pertemuan
kelopak mata atas dan bawah menuju ke tengah bola
mata pada bagian hitam mata pada pemeriksaan
oftalmologis.
b. Tentukan grade pterygium berdasarkan batas
pertumbuhan kepala jaringan pterygium
c. Disertai tanda-tanda peradangan atau tidak
5. Diagnosis Kerja OD / OS Pterygium grade I / II / III / IV
6. Diagnosis Banding a. Pseudo-pterygium
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi Grade 1
Tidak meradang : Observasi 3 bulan
Meradang : - Steroid / NSAID topikal
- Anjuran pencegahan paparan
sinar Ultra Violet
(UV) dan materi polutan lain
Gradasi 2
Tidak meradang:
- Observasi 3 bulan, jika progresif anjurkan
pengangkatan
- Anjuran pencegahan paparan sinar UV dan
materi polutan lainnya
Meradang :
1. Steroid / NSAID topikal
2. Anjuran pengangkatan
3. Anjuran pencegahan paparan sinar UV dan
materi polutan lainnya
Tindakan pembedahan :
Avulsi pterygium + cangkok jaringan konjungtifa–limbal
9. Edukasi 1. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) mengenai
prognosis visus
2. KIE mengenai prognosis penyakit
3. KIE mengenai kemungkinan tindakan selanjutnya
4. KIE mengenai kemugkinan residif atau berulang
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad visam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis a. Peradangan berkurang
b. Tidak terjadi residif setelah tindakan pembedahan
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology Staff, Basic and
Clinical Science and Course, Section 11 : Lens and
Cataract, Singapore, AAO, 2010.
b. American Academy of Ophthalmology Staff, Basic and
Clinical Science and Course, Section 4 : External
Disease and Cornea, Singapore, AAO, 2010
c. Kanski Jack J, Clinical Ophthalmology: A Systematic
Approach, China: Elsevier Inc, 2007.
d. Steinert, Roger F, et all, Cataract Surgery : Technique
Complications Management, 2nd Ed, USA, Elsevier
Science, 2004.
e. Kurana AK, Comprehensive Ophthalmology, 4th ed,
India: New Age International(P) Limited Pub, 2007.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
KERATITIS BAKTERIAL
KERATITIS FUNGAL
1. Pengertian (Definisi) Keradangan pada kornea akibat infeksi jamur
ORGANISME PENYEBAB
- Di daerah tropis: filamentous fungi (Aspergillus spp.,
Fusarium solani) biasanya akibat trauma tumbuh-
tumbuhan, terjadi pada mata yang sebelumnya sehat
- Di daerah beriklim sedang: nonfilamentous fungi
(Candida spp.) terjadi pada mata yang sebelumnya
sudah mengalami kelainan, misalnya dry eye, keratitis
herpes simpleks atau zoster, penggunaan steroid kronik
2. Anamnesis - Mata merah
- Nyeri hebat
- Fotofobia
- Epifora
- Sensasi benda asing
- Kabur
- Terdapat kotoran mata (sekret)
- Terdapat riwayat tidak membaik dengan terapi
antibiotika
3. Pemeriksaan Fisik a. Filamentous fungi: Infilltrat stromal berwarna putih
keabu-abuan dengan tepi seperti bulu (feathery
edge). Epitel diatas infiltrat biasanya mengalami
peninggian diatas permukaan kornea, atau terdapat
defek epitel dengan penipisan stroma (ulkus)
b. Nonfilamentous fungi: Infiltrat stroma berwarna putih
kekuningan, menyerupai ulkus bakteri
c. Bisa didapatkan lesi satelit di sekeliling infiltrat primer,
injeksi konjungtiva, sekret mukopurulen, reaksi BMD,
hipopion.
d. Bisa berlanjut menjadi ulkus kornea
KERATITIS NUMULARIS
1. Pengertian (Definisi) Keradangan kornea dengan gambaran infiltrat sub epitel
berbentuk bulatan seperti mata uang (coin lesion).
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi - Keratitis numularis dapat sembuh sendiri. Lesi pada
kornea akan menghilang sampai 6 tahun dan
menimbulkan bekas tipis (nebula kornea).
- Kortikosteroid topikal (misal: dexamethasone)
diberikan 3-4 kali sehari akan mengurangi keiuhan
penderita, diberikan sampai 5-7 hari dan pemberian
dapat diulang sampai 4-6 minggu untuk mencegah
timbulnya keluhan berulang.
-
9. Edukasi -
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
Infeksi rekuren:
Lesi kornea khas berbentuk dendrit tetapi bisa
berbentuk filamen, geografis, disiform maupun
punctata. Karakteristik lesi herpetik tipe dendritik :
tipis, linear, bercabang, terdapat terminal bulb di
ujung masing-masing cabang. Sedang yang tipe
geografik berbentuk amoeba-shaped. Pada tipe
disciformis, tampak keratitis stromal berbentuk disk
dengan epitel intak ( tidak ada nekrosis )
Tes fluoresin : (+) pada lesi epitel
Tes sensibilitas : menurun sampai negatif
Neurotropic ulcer: ulkus steril dengan tepi epitel
yang halus pada area stroma kornea interpalpebral,
yang menetap atau memburuk setelah terapi
antiviral
Scar ( ghost dendritik )
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Keratitis Herpes Simplex
6. Diagnosis Banding a. Keratitis Herpes Zoster
Didahului oleh infeksi herpes zoster di organ tubuh lain,
misalnya zoster oftalmikus di dahi dan palpebra, herpes
zoster fasialis di pipi.
b. Erosi kornea rekuren
Erosi yang mengalami penyembuhan seringkali
berbentuk dendritiform
c. Keratitis acanthamoeba
Lesi pseudodendritik, terdapat riwayat penggunaan soft
contact lens
7. Pemeriksaan a. Sensibilitas kornea
penunjang b. Flourescein test
8. Terapi 1. Pemberian obat - obat antiviral :
- Acyclovir oral 5x200 mg selama 7-10 hari, valacyclovir,
famcyclovir
- Acyclovir salep mata 5-9 kali sehari selama 7-14 hari,
kemudian dosis diturunkan 4 kali sehari selama 4 hari
sebelum dihentikan
2. Antibiotika topikal jika terdapat lesi epitel
3. Sikloplegik, misalnya sulfas atropin 1% 3x1 tetes jika
terdapat fotofobia
4. Steroid topikal untuk lesi stromal
5. Transplantasi kornea: jika terdapat skar yang
mempengaruhi visus secara signifikan
Pemeriksaan tambahan:
1. Tes fluorescin
2. USG mata untuk mengevaluasi segmen posterior
mata
3. Tekanan intra okuler (TIO) digital
4. Kriteria Diagnosis 1. Mata merah
2. Nyeri
3. Fotofobia
4. Hiperemia konjungtiva dan perikorneal injeksi
5. Defek (penggaungan) kornea mulai epitel sampai
stroma
6. Tes fluorescin (+)
5. Diagnosis Kerja Ulkus Kornea
6. Diagnosis Banding 1. Trauma kimia asam/ basa
2. Neurotropik keratitis
3. Shield ulcer
4. Penyakit autoimun dan kolagen vaskuler
5. Mooren ulcer
6. Atopik keratokonjungtivitis
7. Keratitis toksik
8. Keratopati eksposure
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan kerokan kornea:
1. Pewarnaan gram.
2. Pemeriksaan KOH: bila dicurigai penyebabnya
jamur
3. Kultur dan tes sensitifitas antibiotika.
DEGENERASI/DISTROFI KORNEA
1. Pengertian Suatu kelompok gejala kekeruhan kornea yang
(Definisi) progresif, biasanya bilateral, pada umumnya
diturunkan secara genetik dan non inflamasi
2. Anamnesis 1. Riwayat persalinan
2. Riwayat trauma mata
3. Riwayat infeksi mata
4. Riwayat penyakit dalam keluarga
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik
1. Kesadaran
2. Tensi, nadi, pernafasan
3. Kelainan fisik (sindroma)
Pemeriksaan oftalmologis
1. Visus (tajam penglihatan)
2. Tekanan bola mata
3. Lokasi kelainan :
Degenerasi : dapat terjadi pada 1 mata / 2 mata
Distrofi : terjadi pada 2 mata
4. Kriteria Diagnosis Anamnesa
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan oftalmologis: kornea tampak keruh
disertai edema mikrokistik atau bulla, erosi
kornea berulang. Kekeruhan kornea terutama
yang sentral akan mengganggu visual axis
sehingga terjadi penurunan tajam penglihatan.
Jika hal ini menetap dan terjadi pada anak-anak
dapat menyebabkan ambliopia
Pemeriksaan penunjang
FAKTOR RESIKO
Ulkus kornea impending perforans
Panofthalmitis
Glaukoma tidak terkontrol
POSNER-SCHLOSSMAN SYNDROME
IV. LENSA
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
KATARAK
15. Pengertian Katarak adalah kekeruhan pada lensa atau kapsul
(Definisi) lensa
16. Anamnesis a. Keluhan utama : penglihatan kabur perlahan-
lahan, lihat jauh/dekat
b. Riwayat penyakit sekarang :
- Silau pada siang hari atau kena sinar lampu
mobil
- Jalan menabrak-nabrak
- Pakai alat bantu baca
c. Riwayat penyakit dahulu :
- Penyakit mata merah
- Hipertensi, diabetes
- Trauma mata
- Riwayat pemakaian obat sistemik dan obat
topikal
17. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik (status generalis)
4. Kesadaran
5. Tensi, nadi, pernafasan
6. Kelainan fisik
Pemeriksaan oftalmologis
8. Tajam penglihatan
9. Tekanan bola mata
10. Kelainan kornea
11. Keadaan iris
12. Refleks pupil
13. Kejernihan lensa/Shadow tes
14. Letak lensa normal/luksasi/subluksasi
15. Keadaan vitreus
16. Papil N II, c/d ratio
17. Retina, refleks makula
18. Kriteria Diagnosis Anamnesa
Pasien mengeluhkan penglihatan menurun,
penglihatan seperti berkabut, silau saat melihat
cahaya terang seperti sorot lampu kendaraan,
matahari
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan oftalmologis
Kekeruhan lensa berdasarkan klasifikasi Buratto,
yaitu:
Buratto grade I :
Umur < 50 tahun
Visus < 6/12
Nukleus lunak
Lensa tampak sedikit keruh dengan warna agak
keputihan
Reflex fundus +
Buratto grade II :
Visus 6/12 – 6/30
Nukleus kekerasan ringan, tampak sedikit mulai
berwarna kekuningan
Gambaran seperti katarak subcapsular posterior
Reflex fundus +
Buratto grade III :
Visus 6/30 – 3/60
Nukleus kekerasan medium, tampak berwarna
kekuningan
Korteks abu-abu
Buratto grade IV :
Umur > 65 tahun
Visus 3/60 – 1/60
Nukleus keras kuning kecoklatan
Reflex fundus -
Buratto grade V :
Umur > 65 tahun
Visus < 1/60
Nukleus sangat keras, warna kecoklatan sampai
kehitaman (Brunescent Cataract atau Black
Cataract)
Pemeriksaan penunjang
19. Diagnosis Kerja Katarak Buratto grade I/II/III/IV/V OD atau OS
20. Diagnosis Banding Glaukoma kronis
Degenerasi /distrofi kornea
Retinopati
Neuritis optik/papil atrofi
21. Pemeriksaan 4. USG
Penunjang 5. Keratometri
6. Retinometri
7. Biometri
8. Tes anel
9. Laboratorium sesuai kebutuhan
22. Terapi Penderita dirawat/tidak dirawat sesuai kebutuhan
A. Teknik operasi
1. Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsuler
2. Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsuler + IOL
3. Fakoemulsifikasi + IOL
B. Anestesi
1. Topikal : Tetrakain 0.5 % tetes mata,
lidocain tetes
2. Peribulber : Lidokain inj.: Markain inj. =
1:1
3. Retrobulber : idem
4. Umum
C. Pengobatan pasca bedah
1. Antibiotik subkonjungtiva injeksi + steroid
bila perlu
2. Antibiotik topikal + steroid tetes mata
3. Tutup mata pelindung
23. Edukasi KIE terjadinya komplikasi post operasi katarak,
yaitu :
1. Endoftalmitis
2. Edema kornea
3. Distorsi atau terbukanya luka operasi
4. COA dangkal
5. Glaukoma
6. Uveitis
7. Dislokasi IOL
8. Perdarahan segmen anterior/posterior
9. Ablasio retina
10. Cystoid macular edema
11. Sisa massa lensa
12. Ruptur kapsul posterior
13. Prolaps vitreus
14. Astigmatisme kornea
24. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
25. Tingkat Evidens I
26. Tingkat A
Rekomendasi
27. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
28. Indikator Medis Pemeriksaan oftalmologis
29. Kepustakaan 6. American Academy of Ophthalmology Staff,
Basic and Clinical Science and Course, Section
11 : Lens and Cataract, Singapore, AAO, 2012.
7. American Academy of Ophthalmology Staff,
Basic and Clinical Science and Course, Section 4 :
External Disease and Cornea, Singapore, AAO,
2012.
8. Kanski Jack J, Clinical Ophthalmology: A
Systematic Approach, China: Elsevier Inc, 2007.
9. Steinert, Roger F, et all, Cataract Surgery :
Technique Complications Management, 2nd Ed,
USA, Elsevier Science, 2004.
10. Kurana AK, Comprehensive Ophthalmology,
4th ed, India: New Age International (P) Limited
Pub, 2007.
SAMARINDA
Katarak Kongenital
1. Pengertian Kekeruhan pada lensa yang terjadi sebelum perkembangan refleks fiksasi
( Definisi) (sebelum usia < 6 bulan), dapat bilateral maupun unilateral.
UVEITIS ANTERIOR
1. Pengertian (Definisi) Radang pada jaringan iris (iritis), bagian anterior badan
siliar (siklitis anterior) atau kedua struktur (iridosiklitis).
2. Anamnesis a. Mata merah
b. Nyeri
c. Fotofobia (silau bila terkena cahaya)
d. Mata berair (nrocoh)
e. Penglihatan kabur
3. Pemeriksaan Fisik a. Kelopak mata spasme atau disertai edema ringan
b. Hiperemi konjunctiva
c. Hiperemi perikorneal, yaitu dilatasi pembuluh darah
siliar sekitar limbus.
d. Keratik presipitat (KPs) yaitu fine KPs dan stellate
ditemukan pada uveitis bagian inferior. Macam KPs
yaitu fine KPs dan stellate ditemukan pada uveitus
non granulomatous, sedangkan bentuk mutton fat
dan polymorphous terdapat pada uveitis
granulomatous.
e. Bilik mata depan keruh (flare) disebabkan tingginya
kadar albumin dalam aqueous, disertai adanya
fibrin/membran.
f. Iris edema dan warna menjadi pucat, pada uveitis
granulomatous bisa didapatkan nodul pada tepi
pupil (Koeppe’s nodule), di anterior stroma iris
(Busaca’s nodule), pada iris angle (Berlin nodule),
atrofi iris pada iridosiklitis kronik disebabkan
iskemia, perubahan warna (heterokromia)
g. Sinekia, baik anterior maupun posterior, sinekia
hingga mencapai 360 (seklusio pupil)
h. Pupil miosis disebabkan spasme refleks spinchter
atau distensi pembuluh darah iris, bentuk irreguler,
reflek lambat sampai negatif.
i. Pada kondisi lanjut dapat terjadi hifema, hipopion,
dan neovaskularisasi pada stroma iris atau pada
sudut COA yang dapat menyebabkan terjadinya
glaukoma neuvaskular.
j. Anterior chamber cells merupakan tanda awal
inflamasi aktif.
4. Kriteria Diagnosis Anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Uveitis Anterior
6. Diagnosis Banding 9. Keratouveitis: didapatkan infiltrat pada kornea
10. Sclerouveitis: uveitis sekunder akibat skleritis,
disertai nyeri hebat
11. Drug-induced uveitis: rifabutin, cidofovir, sulfonamid,
pamidronate
12. Uveitis intermediate dengan spillover ke BMD:
disertai floaters yang signifikan dan pada
pemeriksaan funduskopi didapatkan gambaran
uveitis intermediate
13. Posner-Schlossman syndrome: episode
peningkatan TIO berulang dengan inflamasi minimal
14. Tumor intraokuli: retinoblastoma, limfoma intraokuli,
metastase
Pengobatan komplikasi:
1. Ekstraksi katarak bila terjadi katarak komplikata
dimana uneitis harus dalam keadaan tenang (uveitis
sanata) tanpa pengobatan selama 3 bulan.
2. Uveitic glaukoma
- terapi dengan antiglaukoma topikal atau sistemik
- jika terapi dengan medikasi antiglaukoma tidak
dapat mengontrol TIO dan telah terdapat kerusakan
nervus optikus atau lapang pandangan maka
diperlukan intervensi pembedahan
3. Cystoid macular edema
- NSAIDs topikal
- Injeksi steroid subtenon posterior
- Injeksi steroid intrevitreal pada CME kronik
3. Edukasi 4. KIE kemungkinan penyebab dari penyakit lain.
5. KIE pemakaian obat secara teratur.
6. KIE penyakit tidak mengncam penglihatan.
4. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
5. Tingkat Evidens I/II/III/IV
6. Tingkat Rekomendasi
7. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
8. Indikator Medis 1. Perbaikan visus
2. Keluhan mata merah berkurang
9. Kepustakaan 5. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 9.
Intraocular Inflammation and Uveitis. American
Academy of Ophthalmology. 2011-2012. Pg 78-79,
118-132
6. Kanski, J. Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach. Seventh Edition. Elsevier Saunders.
2011. Pg 401-410
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
UVEITIS INTERMEDIATE
UVEITIS POSTERIOR
1. Pengertian (Definisi) Radang uvea bagian posterior yang biasanya disertai
dengan keradangan jaringan disekitarnya, dengan lokasi
primer infeksi terdapat pada retina dan choroid. Dapat
berupa: fokal, multifokal atau difus choroiditis; chorioretinitis;
retinochoroiditis; retinitis; neuroretinitis.
Radang uvea bagian posterior ini dapat berdiri sendiri,
tetapi dapat bersamaan dengan uveitis anterior dan
intermediate yang sering disebut sebagai panuveitis.
PANUVEITIS
1. Pengertian (Definisi) Radang pada semua bagian uvea yaitu iris, badan siliar dan
koroid.
IUSG (International Uveitis Study Group) 2008
mengklasifikasikan menjadi: infeksiosa, non-infeksiosa, dan
masquerade.
2. Anamnesis a. Dimness vision
b. Nyeri, kemerahan, dan fotofobia
c. Sympathetic ophthalmia (penetrating trauma,
intreaocular surgery)
d. Vogt-Koyanagi-Harada’s disease (headace,
meningism, hearing loss, alopecia, vitiligo, poliosis)
e. Sarchoidosis (erythema nodusum, limfadenopati,
gangguan respirasi)
f. Behcet’s disease (oral, genital ulcer)
3. Pemeriksaan Fisik a. KP’s
b. Aqueous flare, cells
c. Iris nodul
d. Sinekia
e. Vitreous cells
f. Optic nerve (papillitis, papiloedema)
g. Secondary retinal detachment
h. Retinal, choroidal, retinochoroidal lesion
i. Dalen Fuch’s nodule (sympathetic
ophthalmia)
j. Retinal vasculitis (Behcet’s disease,
sarcoidosis)
k. Sunset glow fundus (VKH disease)
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Panuveitis
6. Diagnosis Banding a. Endogenous endophthalmitis (riwayat infus intravena,
kondisi imunocompromised, AIDS)
b. Masquerade syndrome (usia tua)
7. Pemeriksaan a. Ultrasound Biomicroscopy (UBM) menilai badan
Penunjang siliar
b. FFA dapat menunjukkan adanya CME, koroiditis,
serous retinal detachment, dan neovaskularisasi
koroid)
c. USG dapat menunjukkan kekeruhan vitreous,
retinal detachment, ketebalan koroid (VKH dan
sympathetic ophthalmia)
d. Indocyanine green angiography (ICGA) dapat
menunjukkan koroidal vaskulitis pada uveitis
posterior.
e. OCT (Ocular Coherence Tomography)
f. Pemeriksaan laboratorium: untuk mendiagnosis
underlying disease spesifik, dilakukan tergantung
pada kecurigaan kita.
i. Full blood counts
ii. ESR (Erythrocyte sedimentation rate)
iii. Kultur darah
iv. Tes reumatologik (ANA juvenile rheumatoid
arthritis, rheumatoid factor, anti neuthrophil
cytoplasmic antibody (Vaskulitis))
v. Serum angiotensin converting enzyme
sarcoidosis
vi. Serologi penyakit infeksius (profil Syphilis (VDRL-
TPHA), Ab anti-TORCH, Tuberculosis)
8. Terapi a. Jika etiologinya adalah agen infeksius dengan
antimicrobial spesiik (antibiotik, antiparasit atau
antiviral)
b. Terapi utama pada uveitis non-infeksiosa
antiinflamasi
c. Kortikosteroid:
Topikal: pada beberapa kasus dibutuhkan steroid
topical yang sering dan mydriatic-cyclopegic agent
(Prednisolone acetate ed/ 1 jam)
Depot steroid periokular:
- Long acting: Methylprednisolone acetate (40-80
mg) atau Triamcinolone acetonic 40 mg.
- Short acting: Betamethasone 4 mg/cc/hari atau
Dexamethasone 4 mg/cc/hari.
Sistemik
i. diperlukan tergantung derajat keparahan
penyakit prednisone oral mulai dosis
1mg/kgBB/hari
ii. saat inflamasi berkurang tapering 5-10
mg/minggu 2-4 minggu
iii. saat mata telah tenang dosis dipertahankan
2,5-10 mg/hari
iv. dosis rendah kortikosteroid dalam waktu lama
diperlukan sebagai maintenance therapy
VKH & SO
v. kasus vision threatening inflammation: I.V.
metilpredinisolon 1 gr/hari dosis tinggi (high
pulse) selama 3 hari, dilanjutkan prednisone
oral 1-5 mg/kgBB/hari.
d. Terapi suportif: siklopegik atropine digunakan pada
serangan akut, homatropin untuk mempertahankan
dilatasi pupil.
e. Agen imunosupresif diberikan dengan indikasi :
i. Panuveitis berat dengan inflamasi intreokuler
yang mengancam penglihatan
ii. Proses perjalanan penykit yang reversible
iii. Respon yang inadekuat terhadap terapi
kortikosteroid
iv. Kontraindikasi terhadap pemberian
kortikosteroid akibat kondisi sistemik atau efek
samping yang tidak dapat ditoleransi.
Golongan:
v. Antimetabolit: azathioprine, methotrexate,
mycophenolate mofetil
vi. T-cell inhibitor: cyclosporine dan
tacrolimus
vii. Alkylating agents: cyclosphosphamide
dan chlorambucil
(1) Methotrexate: dimulai dosis oral 7,5-
10,0 mg/minggu, secara bertahap
dinaikkan sampai dosis maintenance
15-20 mg/minggu. Tambahkan
suplemen asam folat 1 mg/hari
diperlukan. Evaluasi: LFT.
(2) Azathioprine: 1-3 mg/kgBB/hari per oral
(dosis maksimal: 2,5-4 mg/kgBB/hari).
Evaluasi: DL, diff count, LFT.
(3) MMF: 1-3 gr/hari per oral: 2x1000 mg
(1 bulan I) 2x500 mg (bulan
berikutnya). Evaluasi: DL, diff count,
LFT, RFT, SE.
(4) Cyclosporin: 2,5-5 mg/kgBB/hari (dosis
awal 2,5 mg/kgBB/hari). Evaluasi: TD,
LFT, RFT.
viii. Pada Behcet disease, agen
imunosupresif (cyclosporine,
azathioprine) lebih dianjurkan
daripada steroid oral.
ix. Pada VKH dan SO dibutuhkan
pemberian steroid sistemik dengan
tapered dose atau agen
imunosupresif minimal selama 9
bulan, bahkan 1 tahun atau lebih.
ENDOFTALMITIS
1. Pengertian (Definisi) Endoftalmitis adalah keradangan dalam bola mata, terutama
pada badan kaca dan bilik mata depan.
3. Endoftalmitis kronis
- Onset dan tanda-tanda sangat bervariasi
- Visus baik
- Nyeri minimal
- Hipopion sangat jarang
- Kuman penyebab yang tersering:
6 minggu post op : P.acnes (radang
nongranulomatous)
3 bulan post op: Candida albicans
3 bulan-2 tahun post op : P. Acnes dengan tanda-
tanda radang granulomatous, KP dan hipopion
ringan.
- Dapat juga oleh karena tindakan Nd.Yag laser
kapsulotomi
4. Endoftalmitis endogen
- Disebabkan karena septikemia: misalnya pada penyakit
kronis, penyakit imunosupresif dll.
- bersifat akut
- nyeri
- visus menurun
- terdapat hipopion
- vitritis
- kadang-kadang terjadi bersamaan pada kedua mata
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Endoftalmitis
6. Diagnosis Banding Uveitis kronik post operatif
7. Pemeriksaan - USG
Penunjang - Gram dan kultur dari sampel aqueous dan/vitreus
- Kultur darah pada endoftalmitis endogen
8. Terapi MRS
Injeksi intravitreal antibiotika (Vancomycin/Ceftazidime)
dan aqueous/vitreus tap untuk pemeriksaan gram, kultur
dan sensitivitas antibiotika.
Antibiotika intravena (Ciprofloxacin 2x200
mg) selama 5 hari
Kortikosteroid sistemik (Prednison 1-1.5
mg/kgBB/hari) dosis diturunkan bertahap tiap minggu
Ranitidin 2x150 mg selama pemberian
prednison ≥ 10mg/hr
Kalsium 2x1 tab selama pemberian
prednison ≥ 10mg/hr
Antibiotika topikal per jam:
- Gol. Amino glikosida fortified (Dibekacin /
Tobramycin / Gentamycin), atau
- Gol. Quinolon monoteraphy
Steroid topikal (dexametason/prednisolon
asetat/ betametason) tiap jam bila kornea intak
Sulfas atropin 1 % 3x1 tts/hari
Articial tears topikal tiap jam
Dirujuk untuk vitrektomi posterior bila visus <1/300 (akut
post operatif)
Sensitivitas antibiotika:
Gram(+) Vancomycine
Gram(-) Aminoglikosida: Gentamycine, tobramycine,
amikacin (ketiga obat ini toksik untuk retina),
Sefalosporin, Flouroquinolon oral dikenal mempunyai
penetrasi yang baik intra-okuler, dan mempunyai
potensi yang baik untuk bakteri (kecuali untuk
Streptococcus dan bakteri gram (+) hanya mempunyai
potensi terbatas ).
PANOFTHALMITIS
1. Pengertian (Definisi) Peradangan supuratif seluruh bola mata termasuk sklera
dan kapsul Tenon sehingga bola mata merupakan rongga
abses. Infeksi kedalam bola mata dapat melalui peredaran
darah (endogen) atau perforasi bola mata (eksogen), dan
akibat tukak kornea perforasi.
FAKTOR RESIKO
Beberapa hal yang dapat dapat menyebabkan panoftalmitis
adalah masuknya organisme piogenik kedalam mata
melalui luka kornea, akibat operasi atau mengikuti perforasi
suatu ulkus kornea. Sebagian kecil, kemungkinan akibat
metastasis alamiah dan terjadi dalam kondisi seperti
piaemia, meningitis atau septikemia purpural.
ORGANISME PENYEBAB
Bakteri
Pneumococcus adalah organisme yang paling
sering menyebabkan panoftalmitis, Streptococcus,
Staphylococcus dan E.coli,
Jamur
Candida albicans, Histoplasma, Cryptococcus, dll,
Parasit
Toxoplasma gondii, Toxocara canis, dll,
Virus
CytoMegaloVirus, Human Immunodeficiency Virus,
dl.
7. Pemeriksaan - USG
Penunjang - Gram dan kultur dari sampel pus
- Kultur darah (atas indikasi)
- Laboratorium (darah lengkap)
8. Terapi MRS
Antibiotika topikal fortified/jam (vancomycin,
tobramycin, dibekacin, gentamycin)
Steroid topikal/jam
Sulfas atropin 1% ed 3x1 tetes
Antibiotika oral (golongan fluoroquinolon, misalnya
ciprofloksasin 2x750mg)
Boleh dipertimbangkan pemberian antibiotika
intravena (golongan fluoroquinolon)
Steroid sistemik dosis imunosupresan bila tidak ada
kontraindikasi
Bila terjadi peningkatan TIO, dapat diberikan obat-
obatan penurun TIO seperti acetazolamid, β-
blocker.
Sensitivitas antibiotika:
Gram(+) Vancomycine
Gram(-) Aminoglikosida: Gentamycine,
tobramycine, amikacin (ketiga obat ini toksik untuk
retina), Sefalosporin, Flouroquinolon oral dikenal
mempunyai penetrasi yang baik intra-okuler, dan
mempunyai potensi yang baik untuk bakteri (kecuali
untuk Streptococcus dan bakteri gram (+) hanya
mempunyai potensi terbatas).
HIPERMETROPIA
sekali
13. Prognosis Advitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
14. Tingkat Evidens I/II/III/IV
15. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
16. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
17. Indikator Medis a. Visus bisa sampai 5/5
b. Keluhan kabur, silau,mata lelah
berkurang
18. Kepustakaan a. Atebara NH, Asbell PA, Azar DT. 2010. Basic
Clinical Science Course : Clinical Optics. San
Fransisco : American Academy of Ophthalmology.
P. 121-142
b. Ehlers JP, Shah CP, Gregory L. 2008. Wills Eye
Manual,The: Office and Emergency Room Diagnosis
and Treatment of Eye Disease. Lippincott :
Williams & Wilkins
c. Kanski, jack J. 2007. Clinical Ophthalmology : A
Systematic Approach. Philadelphia : Elsevier
MIOPIA
8. Terapi 2. Kacamata
Koreksi dengan lensa sferis negatip
terkecil/terlemah yang menghasilkan
tajam penglihatan terbaik
2. Lensa kontak :
Untuk :Anisometropia, Miopia tinggi
3. Bedah refraktif
- Bedah refraktif kornea :
tindakan untuk merubah
kurvatura permukaan
anterior kornea ( excimer
laser, Lasik )
- Bedah refraktif lensa :
tindakan eksraksi lensa yang
masih jernih, diikuti dengan
implantasi lensa intraokuler.
9. Edukasi a. Selalu memakai kacamata
b. Kontrol mata 1 tahun sekali
(dewasa)
c. Jika usia < 18 tahun, kontrol 6 bulan
sekali
ASTIGMATISM
penerangan kurang
penderita muda
2. Astigmatism irregular
tidak beraturan
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang
5. Diagnosis Kerja Astigmatisme
6. Diagnosis Banding Hipermetrop, miopia, dan kelainan organic
7. Pemeriksaan a. Pemeriksaan autorefraktometer
lensa sferis
bulansekali
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis a. Visus bisa sampai 5/5
berkurang
15. Kepustakaan a. Atebara NH, Asbell PA, Azar DT. 2010. Basic
Clinical Science Course : Clinical Optics. San
Fransisco : American Academy of
Ophthalmology. P. 121-142
b. Ehlers JP, Shah CP, Gregory L. 2008. Wills Eye
Manual,The: Office and Emergency Room
Diagnosis and Treatment of Eye Disease.
Lippincott : Williams & Wilkins
c. Kanski, jack J. 2007. Clinical Ophthalmology : A
Systematic Approach. Philadelphia : Elsevier
PRESBIOPI
kecil.
3. Pemeriksaan Fisik a. Terjadi peningkatan daya refraksi mata karena adanya
berbagaicara :
15. Kepustakaan a. Atebara NH, Asbell PA, Azar DT. 2010. Basic Clinical
Science Course : Clinical Optics. San Fransisco :
American Academy of Ophthalmology. P. 121-142
b. Ehlers JP, Shah CP, Gregory L. 2008. Wills Eye
Manual,The: Office and Emergency Room Diagnosis and
Treatment of Eye Disease. Lippincott : Williams &
Wilkins
c. Kanski, jack J. 2007. Clinical Ophthalmology : A
Systematic Approach. Philadelphia : Elsevier
VII. RETINA
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
RETINOPATHY HIPERTENSI
RETINOPATHY DIABETIK
1. Pengertian (Definisi) Penurunan tajam penglihatan pada satu atau kedua mata
pada usia dia atas 50 tahun akibat kerusakan lapisan luar
retina, RPE, membrane Bruch dan Khoriokapillaris yang
dapat neovascular atau non neovascular
2. Anamnesis Penurunan visus berlahan-lahan kadang mendadak
Metamorfopsia
Skotoma sentral
Choroidal neovascularization (CN)
Riwayat penyakit
Faktor resiko
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan mata dasar
4. Kriteria Diagnosis 1.Non neovascular :
Drusen :
-RPE detachment
-Atrofi geografik : retina tipis sehinngga
khoriokapillaris tampak jelas. Kadang-kadang
khoriokapillaris juga megalami atrofi dengan
gambaran depigmentasi luas.
-Atrofi non geografik : daerah depigmentasi tidak
rata
-Hiperpigmentasi makula
2.Neovascular :
-Perdarahan sub retina
-Ablasi retina eksudatif
-RPE detachment
-Sikatriks fibrovaskular disciform
-Perdarahan vitreus
5. Diagnosis Kerja ARMD
6. Diagnosis Banding a. CSME
b. Macular hole/ pseudohole
c. AMD
7. Pemeriksaan FFA
Tes amsler grid
Penunjang
Kampimetri
Retinometri
Foto fundus
OCT
8. Terapi a. Roborantia : vitamin E, beta karoten, vitamin C 500 mg
b. Kacamata pelindung terhadap matahari
c. Fotokoagulasi laser dengan argon laser atau laser diode
dengan laser indirect ophthalmoscopy
d. Operasi sub macula : vitrektomi dengan mengeluarkan
darah di sub makula
4. Edukasi a. Prognosa visus
b. Tindakan yang akan dilakukan
5. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
6. Tingkat Evidens I/II/III/IV
7. Tingkat Rekomendasi A/B/C
8. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
1. Pengertian (Definisi) Suatu lubang yang terjadi di macula di mana lapisan retina
lepas akibat tarikan vitreus retina secara tangensial di
daerah itu.
2. Anamnesis Penurunan visus
Metamorfopsia
Skotoma sentral
Riwayat penyakit
Faktor resiko
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan mata dasar dan funduscopy
4. Kriteria Diagnosis 1. Stadium 1
-Hilangnnya cekungan fovea
-Stadium impending macular hole (IMH): bercak atau
cekungan kuning
2.Stadium 2
lubang setebal seluruh tebal retina di tengah atau
dipingggir lubang, dengan diameter lebih kecil dari 400
μm
3.Stadium 3
Luang melebar dengan diameter lebih dari 400 μm
korteks posterior vitreus masih melekat (partial vitreus
detachment atau PVD)
4.Stadium 4
Seluruh korteks vitreus terlepas, sseluruh tebal retina di
macula berlubang dengan diameter lebih dari 400 μm
5. Diagnosis Kerja IMH
6. Diagnosis Banding a. Pseudohole
b. ARMD
7. Pemeriksaan OCT
Retinometri
Penunjang
FFA
Test amsler grid
Kampimetri
8. Terapi 1.Pada IMH dengan ablasi retina makkula :
pneumoretinopexy dengan bius lokal
2.Pada IMH 2,3 : visus 6/30 vitrektomi +gas. Penderita
telungkup
3.Pada IMH 4 : visus kurang dari 6/50, skotoma sentral,
fotokoagulasi laser di sekitar lubang.
18. Edukasi a. Prognosa visus
b. Tindakan yang akan dilakukan
19. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
20.Tingkat Evidens I/II/III/IV
21. Tingkat Rekomendasi A/B/C
22. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
23.Indikator Medis IMH yang terkontrol
24.Kepustakaan a) American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 8.
VitreoRetina. American Academy of Ophthalmology.
2011.
b) Staff Ilmu Kesehatan Mata. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Mata. Ilmu Kesehatan
Universitas Brawijaya. 2011
RETINAL DETACHMENT
TRAUMA TAJAM/TUMPUL
1. Pengertian (Definisi) Trauma pada bola mata yang dapat berupa penetrasi
atau perforasi bola mata oleh benda tajam ataupun
trauma tumpul dengan bola mata yang intak.
2. Anamnesis 1. Riwayat trauma
2. Riwayat neurologis
3. Trauma kepala/leher
4. Kehilangan kesadaran
5. Penurunan status mental
6. Riwayat makan minum
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik (status generalis)
1. Kesadaran
2. Tensi, nadi, pernafasan
3. Kelainan fisik
Pemeriksaan oftalmologis
1. Visus (tajam penglihatan)
2. Kemungkinan ruptur kornea/korneosklera
dengan atau tanpa prolaps iris atau prolaps
badan kaca
3. Kemungkinan ruptur sklera dengan atau tanpa
prolaps badan kaca atau prolaps koroid
4. Kemungkinan penurunan tekanan intraokular
5. Kemungkinan hifema
6. Kemungkinan fraktur dinding–dinding orbita
7. Kemungkinan benda asing intra atau
ekstraokular
8. Kemungkinan katarak traumatika
9. Kemungkinan perdarahan badan kaca
10. Kemungkinan ablasio retina
4. Kriteria Diagnosis Anamnesa :
Trauma tumpul :
Pasien dapat mengeluh nyeri, kabur secara
mendadak, disertai tanda edema dan abrasi
kornea, robekan pada membran descemet, hifema,
miosis, iridodialisis, kerusakan pada sphingter iris
dapat menyebabkan midriasis, katarak, subluksasi
dan dislokasi lensa, prolaps struktur intraokular,
perdarahan vitreous, ablasi retina, dan optik
neuropati.
Trauma tajam :
Pasien mengeluh kabur, nyeri, mata merah atau
berdarah, disertai tanda robekan pada konjungtiva
atau kornea dan sklera, tekanan bola mata
menurun, bilik mata dangkal, dan prolaps struktur
intraokular.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan oftalmologis
Pemeriksaan penunjang
Tinda
Gradasi I Gradasi II Gradasi III Gradasi IV
kan
a Re- Re- Bandage lens Bandage lens
epithelisasi epithelisasi Auto serum Auto serum tiap
sempurna (+) 6x jam
(+) Bandage lens
diteruskan
b (AB +) Kortikosteroi Dexamethaso Dexamethason
Steroid d tetes n/ Prednison Prednison
tetes tapp. tapp.off di tapp.off / dihentikan,
Off Na-EDTA dihentikan, ganti dengan:
tetes tapp. diganti -NSAID tetes
off dengan: tiap hari
NSAID(Indo Na-EDTA tiap
methasin/Dicl 30 menit
ofenac) tetes Auto serum tiap
6x tiap jam jam
Na-EDTA tiap
jam
Autoserum 6x
c AB Tetrasiklin Tetrasiklin Tetrasiklin
(+Steroid) salep 2x salep 2x salep 4x
tetes Doxysiklin Doxysiklin Doxysiklin
tapp.off 2x100mg 2x100mg 2x100mg
d - Peningkatan Peningkatan Timolol 0.5% 2x
TIO(-): TIO(-): Asetazolamide
Timolol Timolol, + ion kalium
dihentikan Asetazolamid diteruskan
e + ion kalium
dihentikan
e Uveitis (-) : Uveitis (-) : Sulfas Sulfas Atropin
SA SA dihentikan Atropin 1 % 1 % 3x
dihentikan Vitamin C 2x 3x Vitamin C
2000mg Vitamin C 4x2000mg
4x2000mg Vitamin A dan E
Retinoic acid
salep 2x
f - - Jaringan Jaringan
nekrotik (+): nekrotik (+):
eksisi eksisi
Ulserasi Ulserasi stroma
stroma (+): (+):graft
graft mukosa bibir /
Konjungtiva/ amnion + stem
mukosa bibir sel
Fs.kelopak (+) limbus/sklera/
: tarsoraphy fasia lata
/keratoplasti
1. Pengertian Keluhan penglihatan ganda yang dapat terjadi pada saat melihat
dengan satu mata atau kedua mata.
(Definisi)
2. Anamnesis a. Penglihatan ganda pada satu mata / kedua mata.
b. Dapat didahului dengan adanya riwayat trauma pada
kepala/orbita , kencing manis, hipertensi, stroke,
hipertiroid dan lain – lain.
c. Sakit kepala
d. Mual, muntah
e. Tinnitus, epistaxis
f. Proptosis
g. Ptosis
3. Pemeriksaan Fisik a. Visus biasanya normal
b. Kedudukan bola mata asimetris
c. Pergerakan bola mata terhambat
d. Proptosis
e. Ptosis
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Diplopia
6. Diagnosis Banding 1. Papil edema yaitu keadaan edema papil bilateral yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan intra kranial
2. Myastenia gravis yaitu parese otot ekstra okuler yang
disebabkan oleh gangguan pada neuro-muscular junction
3. Graves orbitopathy yaitu suatu keadaan dimana terjadi
pembesaran otot-otot ekstraokuler serta proliferasi
jaringan orbita yang disebabkan oleh hipertiroid atau
tanpa hipertiroid
4. Parese N III, IV,VI yang disebabkan oleh diabetes
melitus
5. Fraktur orbita.
6. Pemeriksaan 1. Diplopia chart
2. Laboratorium : Gula darah,T3,T4,TSH
Penunjang
3. Foto polos orbita
4. CT Scan orbita
5. CT Scan kepala
7. Terapi 1. Penderita tidak dirawat.
2. Bila penyebabnya gangguan sistemik , penderita dapat
dikonsulkan ke bagian lain seperti ke bagian penyakit
dalam untuk mencari etiologinya, apakah terdapat
diabetes mellitus, hipertensi, dan lain-lain.
8. Edukasi 1. Mengurangi faktor resiko (lifestyle)
2. Jika pusing dapat ditutup salah satu mata
1. Pengertian (Definisi) Suatu keadaan kelainan kedudukan bola mata dan adneksa yang
dihubungkan dengan kelainan kelenjar tiroid.Biasanya ditandai
dengan diplopia, ophthalmoplegia dan pembesaran otot
ekstraokuler.
2. Anamnesis a. Terdapat penonjolan pada satu atau kedua mata ,
disertai dengan pandangan kabur.
b. Dapat disertai dengan keluhan sistemik seperti jantung
berdebar, tremor, berkeringat terus
c. Mendengar denyutan pembuluh darah
d. Sakit kepala
3. Pemeriksaan Fisik a. Biasanya terdapat penurunan visus
b. Kedudukan bola mata asimetris
c. Pergerakan bola mata terhambat
d. Proptosis
e. Ptosis
f. Pada kelopak mata tampak : Lid retraction, Lid lag,
Lagophthalmos
g. Exophthalmos
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Graves Ophthalmopathy/ Thyroid Ophthalmopathy
6. Diagnosis Banding a. A-V shunt yaitu keadaan dimana terjadi penonjolan bola
mata disertai denyutan yang
disebabkan oleh hubungan langsung antara arteri carotis
interna dengan sinus cavernosus
b. Glioma n. optikus
c. Meningioma
7. Pemeriksaan a. Diplopia chart
b. Cek Lab : Gula darah,T3,T4,TSH
Penunjang
c. Foto polos orbita
d. CT Scan orbita
e. CT Scan kepala
f. Test Perimetri
8. Terapi Pengobatan graves optalmopathy ditentukan oleh keadaan yang
ditemukan pada penderitanya, yaitu :
a. Bila terdapat lagopthalmos, penderita dapat diberi
artificial tears
b. Bila terdapat proptosis berat, tanda-tanda kongestif,
diplopia akut akut atau tanda kompresi n opticus
penderita dapat diberi kortikosteroid sistemik oral
(dosis imunosupresan) yaitu 1-1,5 mg/kg BB/hari
prednisone
c. Bila diperlukan, Tarsorrhaphy dilakukan jika terdapat
kekeringan pada kornea.
9. Edukasi a. Terapi dan kontrol rutin ke bagian Ilmu Penyakit Dalam
untuk penyakit thyroid
b. Jika terdapat diplopia, dapat ditutup salah satu mata
c. Apabila mendapat terapi steroid dosis imunosupresan
di-KIE keteraturan minum obat untuk mencegah
terjadinya rebound phenomenon
10. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fumgsionam : dubia
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis Visus, hertel, gerak bola mata, status deviasi, tes ishihara, tes
kontras sensitivitas, gambaran funduskopi, perimetri
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology Staff, Basic and
Clinical Science and Course, Section 5 : Neuro
Ophthalmology , Singapore, AAO, 2010 : hal 331- 334
b. Tsai Jc, Denniston AKO, Murray P, Huang JJ, Aldad TS.
Oxford American Handbook of Ophthalmology. Oxford
University Press.USA. 2011. Hal : 475 – 477.
c. Ehlers JP, Shah CP. The Wills Eye Manual. 5th edition.
Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2010. Hal : 146-149.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
NEURITIS RETROBULBER
PAPIL EDEMA
1. Pengertian (Definisi) Kerusakan saraf optic akibat trauma pada kepala, mata atau
bola mata. Dapat terjadi secara langsung avulsi saraf optic atau
akibat laserasi oleh pecahan tulang atau benda asing. Serta
penekanan pada saraf optik akibat perdarahan intraorbita.
Secara tidak langsung akibat trauma ringan pada bagian depan
kepala, yang berhubungan dengan penekanan pada saraf optik
dan gangguan vaskularisasi pada intrakanalikular.
2. Anamnesis Penurunan tajam penglihatan mendadak dan sering berat (24%-
86% pasien dengan tajam penglihatan tidak ada persepsi
cahaya) pada satu mata atau kedua mata setelah trauma mata,
tulang orbita, kepala.
3. Pemeriksaan Fisik a. Visus turun mendadak
b. Segmen anterior : didapatkan adanya jejas/scar akibat
trauma.
c. RAPD hampir selalu positif
d. Funduskopi : pada umumnya normal pada fase awal dan
akan menjadi atrofi dalam waktu 4-8 minggu
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Traumatik Optik Neuropati (TON)
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan a. Laboratorium : darah rutin
b. Hertel exopthalmometer
Penunjang
c. MRI atau CT scan kepala-orbita untuk melihat kelaian
pada tulang orbita, trauma kepala dan adanya hematoma.
8. Terapi a. Jika ada persepsi cahaya, kasus akut (apabila tidak ada
kontraindikasi) dilakukan pemberian sesegera mungkin
Megadose intravena metil prednisolon; 1 gr / hari (30
mg/KgBB loading dose). Jika fungsi penglihatan setelah
terapi kortikosteroid terdapat perbaikan, konversi ke
oral terapi setelah 48 jam pemberian intravena untuk
menjaga perbaikan tajam penglihatan.
b. Jika tidak ada persepsi cahaya, berikan terapi
medikamentosa setelah 12-48 jam, atau dilakukan
tappering cepat apabila tidak didapatkan perbaikan
tajam penglihatan
c. Neuroprotektif
d. Transkranial atau trans-ethmoidal dekompresi kanal
optik
9. Edukasi a. KIE prognosa visus
b. Keteraturan minum obat untuk mencegah terjadinya
rebound phenomenon
10. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis Visus, tes ishihara, tes kontras sensitivitas, gambaran
funduskopi, perimetri
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology. Basic and Science
Course 5th section. Neuro-Ophthalmology. San
Francisco. American Academy of Ophthalmology. 2010-
2011. Hal: 153 – 155.
b. Tsai JC, Denniston AKO, Murray P, Huang JJ, Aldad TS.
Oxford American Handbook of Ophthalmology. Oxford
University Press. USA. 2011. Hal : 93.
c. Ehlers JP, Shah CP. The Wills Eye Manual. 5th edition.
Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2010. Hal : 34 - 36
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
1. Pengertian (Definisi) Kondisi akut optik neuropati akibat terpapar zat toksik atau
defisiensi zat nutrisi dengan karakteristik hilangnya
penglihatan sentral yang simetris, bilateral tanpa disertai nyeri
dan berlangsung progresif.
2. Anamnesis a. Penurunan tajam penglihatan yang berat dan mendadak
pada kedua mata tanpa disertai rasa nyeri.
b. Kondisi sistemik terkait alkoholisme atau nutrisi yang
buruk.
c. Riwayat minum alkohol, banyaknya, jenis minumannya,
campurannya dan lamanya.
d. Riwayat lamanya merokok.
e. Konsumsi obat-obatan (obat TBC, jantung, malaria,
chloramphenicol, disulfiram).
f. Riwayat keganasan dan konsumsi obat-obatnya.
g. Riwayat operasi pemotongan usus halus.
X. ORBITA / ONKOLOGI
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
Retinoblastoma
1. Pengertian Merupakan tumor ganas primer intraokular yang berasal dari sel-sel
( Definisi) germinal retina yang biasa dijumpai pada anak-anak dibawah usia 5
tahun
2. Anamnesis 1. Pedigree
2. Riwayat retinoblastoma (gejala dan tanda)
3. Riwayat kehamilan ibu penderita
4. Riwayat kelahiran (aterm atau preterm)
5. Riwayat Rubella
6. Riwayat trauma pada mata sebelumnya
7. Pemakaian oksigen yang berlebihan
8. Riwayat penyakit sebelumnya
9. Riwayat penyakit sekarang
10.Riwayat pengobatan sebelumnya
11.Riwayat sering kontak dengan binatang peliharaan
12.Riwayat keluarga menderita tumor ganas pada mata
3. Pemeriksaan fisik 1. Leukokoria (refleks pupil putih)
2. Strabismus
3. Glaukoma sekunder
4. Invasi tumor ke segmen anterior dapat menyebabkan mata
merah oleh karena tumor induced uveitis dan nodul iris yang
mungkin berhubungan dengan pseudo-hipopion
5. Inflamasi orbita yang menyerupai selulitis orbita atau preseptal
yang dapat disertai dengan tumor nekrosis
6. Invasi ke orbita dengan proptosis dan dapat pula invasi ke tulang
7. Metastasis ke pembuluh limfe regional dan otak
8. Funduskopi :
Tumor intraretinal : homogen, lesi putih bentuk kubah yang
menjadi ireguler, sering disertai kalsifikasi putih
Tumor endofitik : masuk ke vitreous sebagai massa putih
Tumor exofitik : tumor subretina, massa putih multilobul dengan
dasar ablasio retina
4. Kriteria diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan klinis
3. Sarana Penunjang
4. Diagnosis pasti : biopsi dan pemeriksaan histopatologi
5. Diagnosis Kerja Retinoblastoma
6. Diagnosis Banding 1. Persistent Hyperplastic Primary Vitreous (PHPV)
2. Penyakit Coats
3. Retinopathy of Prematurity (ROP)
4. Toxocariasis (toxocara granuloma)
5. Koloboma
6. Retinal Dysplasia
7. Perdarahan vitreous
7. Pemeriksaan 1. USG
Penunjang 2. CT Scan
3. MRI
4. Foto polos orbita
5. Pemeriksaan Patologi Anatomi (PA)
6. Pemeriksaan pungsi sumsum tulang (BMP) dan Pungsi lumbal
(LP)
8. Terapi Pengobatan/tindakan pada retinoblastoma tergantung stadiumnya
1. Bila hasil pemeriksaan rutin dan penunjang tumor masih terbatas
intraokuler, maka tergantung besar dan lokasi tumor, dapat
diberikan salah satu atau kombinasi dari jenis-jenis pengobatan
dibawah ini :
Fotokoagulasi laser
Radioterapi
Krioterapi
Kemoterapi
Enukleasi (pada stadium 4 dan 5)—bila hasil pemeriksaan
PA menunjukkan :
Tepi sayatan N II bebas tumor, sklera bebas
tumor
Sklera sudah terkena atau tepi sayatan N II tidak
bebas tumor
2. Bila hasil pemeriksaan rutin dan penunjang menunjukkan tumor
sudah meluas ke ekstraokuler :
Tanpa destruksi dinding orbita, tanpa metastasis—
eksenterasi orbita dilanjutkan radioterapi dan
kemoterapi
Bila terdapat destruksi dinding orbita dengan atau tanpa
metastasis jauh—radioterapi dan kemoterapi
9. Edukasi 1. KIE visus
2. KIE prognosis sesuai stadium
10. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia
Tergantung pada beberapa faktor (indikator) prognostik yaitu
faktor histologis dan faktor klinis
Faktor prognostik secara histologi adalah ada tidaknya invasi sel
tumor dan diferensiasi sel tumor. Adanya invasi sel tumor ke
koroid, nervus optikus dan orbita merupakan prognosa jelek
terhadap kehidupan, sedangkan secara diferensiasi sel tumor
didapatkan angka mortalitas lebih rendah apabila semakin
banyak gambaran rosettes dibandingkan dengan highly
undefferentiated tumor
Adapaun faktor resiko secara klinis antara lain kecepatan dan
ketepatan diagnosis, riwayat operasi intraokuler sebelumnya dan
penggunaan terapi tambahan external beam radiotherapy
11. Tingkat Evidens I / II / III / IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophtalmology Staff. Ophtalmic Pathology
and Intraocular Tumor. Basic Clinical Science Course. The
Foundation of American Academy of Ophtalmology 2011-
2012.p.117-47,p.251-66
2. Kanski JJ, Clinical Ophtalmology. Butterworth-Heinemann:
International Editions;2011;p.334-341
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
MELANOMA MALIGNA
MENINGIOMA – GLIOMA
1. Pengertian (Definisi) Tumor pada jaringan neural. Pada umumnya terjadi pada
anak anak sampai usia pertengahan. Meningioma berasal
dari greater wing tulang sphenoid dapat berupa massa di
fossa temporal. Glioma 25-50% berhubungan dengan
neurofibromatosis. Proses intrakranial dapat disertai
kompresi pada saraf optik.
2. Anamnesis a. Mata menonjol
b. proses perlahan
c. tidak nyeri
d. dapat disertai penurunan ketajaman penglihatan
3. Pemeriksaan Fisik a. Proptosis
b. unilateral
c. optic disc edema
d. RAPD +
e. dapat ditemukan optik atropi
f. dapat ditemukan strabismus
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis riwayat sebelumnya; riwayat
penggunaan kontrasepsi hormonal jangka waktu
lama
b. Posisi bola mata dengan pemeriksaan hertel
eksoftalmometer didapatkan proptosis
c. pergerakan bola mata dapat terhambat
d. dapat disertai lagoftalmus
e. pemeriksaan visus ↓
5. Diagnosis Kerja Proptosis e.c Meningioma/ Glioma
6. Diagnosis Banding a. Meningioma
b. Glioma
c. Osteoma
7. Pemeriksaan Pemeriksaan Radiologis (foto polos kepala/CT Scan/MRI)
Penunjang
8. Terapi 1. Tumor terbatas intra orbita
a. Usia ≤ 50 tahun, visus ≥ 1/60, dilakukan tindakan :
Observasi
Follow up visus dan lapang pandang setiap
bulan
Bila visus menurun lebih dari 2 baris Snellen
chart, atau lapang pandang memburuk progesif :
double enukleasi (enukleasi + ekstirpasi tumor)
b. Usia ≤ 50 tahun, visus < 1/60, dilakukan tindakan
double enukleasi
c. Usia > 50 tahun, visus ≥ 1/60 : observasi
d. Usia > 50 tahun, visus < 1/60 : observasi
2. Tumor meluas ekstraorbita
Ekstirpasi tumor, dimungkinkan operasi bersama
dengan bagian bedah saraf, onkologi, atau THT
Dilanjutkan dengan radioterapi
9. Edukasi KIE tentang penyakit, prognosis visus, resiko komplikasi
paska tindakan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
6. Indikator a. Proptosis berkurang
Medis b. Pendesakan Nervus Optikus berkurang
7. Kepustakaa a. American Academy of Ophthalmology staff. Orbit,
n Eyelids and Lacrimal System. Basic and Clinical
Course. Section 7. San Fransisco: American
Academy of Ophthalmology; 2011-2012.
b. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology : A Systematis
Approach. 7th Edition. Elsevier 2011.
PSEUDOTUMOR
Retinopathy of Prematurity
Glaukoma Kongenital
1. Pengertian Glaukoma kongenital adalah glaukoma pada anak yang disebabkan oleh
( Definisi) gangguan perkembangan (maldevelopment) dari anyaman trabekular
tanpa disertai kelainan perkembangan okuler lainnya atau penyakit yang
dapat meningkatkan tekanan intraokuler (TIO)
2. Anamnesis 1. Mata berair (nrocoh)
2. Silau atau hipersensitif terhadap cahaya (fotofobia)
3. Mata merah +/-
4. Penglihatan menurun
3. Pemeriksaan fisik 1. Blefarospasme
2. Pemeriksaan visus
3. Inspeksi kornea
4. Pengukuran tekanan intraokuler
5. Pemeriksaan nervus optikus
4. Kriteria diagnosis 1. Peningkatan TIO pada bayi dan anak
2. Buftalmos
3. Peningkatan diameter kornea
4. Kekeruhan kornea
5. Penurunan visus
6. Cupping diskus optikus
5. Diagnosis Kerja Glaukoma kongenital
6. Diagnosis Banding 1. Edema dan kekeruhan kornea : trauma saat persalinan, sklerokornea,
distrofi kornea, anomali Peter, keratitis
2. Pembesaran kornea : miopia aksial, megalokornea herediter,
keratoglobus
3. Epifora dan mata merah : konjungtivitis, abrasi/ defek epitel kornea,
obstruksi duktus nasolakrimalis kongenital, inflamasi okuler
(uveitis,trauma)
4. Fotofobia : keratitis, aniridia, iritis
5. Cupping nervus optikus : atrofi nervus optikus, malformasi nervus
optikus, hipoplasia nervus optikus, koloboma nervus optikus
6. Semua glaukoma lainnya dengan kelainan perkembangan akular dan
sistemik : aniridia, kelainan perkembangan segmen anterior,
sindroma Sturge-Weber, neurofibromatosis dan sindrom Lowe
7. Pemeriksaan 1. Perimetri
Penunjang 2. Gonioskopi
3. A-scan USG
8. Terapi 1. Operasi : merupakan terapi yang utama. Beberapa jenis operasi
yang dapat dilakukan antara lain yaitu : Goniotomi,
Trabekolotomi, Trabekulektomi, Glaukoma implan,
siklodestruktif
2. Medikamentosa : Beta blockers, Carbonic anhydrase inhibitor,
prostaglandin agonis, parasimpatomimetik, simpatomimetik
(adrenergik agonis dan alfa adrenergik agonis)
9. Edukasi 1. KIE Resiko kebutaan pada glaukoma yang tidak terkontrol
dengan terapi
2. KIE Kerusakan nervus optikus
3. KIE Kerusakan pada kornea
4. KIE Gangguan refraksi yang tidak dapat dikoreksi
5. KIE Ambliopia
10. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia
11. Tingkat Evidens I / II / III / IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophtalmology Staff, Basic and Clinical
Science and Course: Pediatric Ophtalmology and Strabismus,
AAO,2011-2012 :hal 233-8
2. Stamper, Robert L, Marc F Lieberman, Michael V Drake, Becker-
Shaffer’s. Diagnosis and Therapy of The Glaucomas, China,
Elsevier Inc,2009 : hal 295-311
3. Kanski Jack J, Clinical Ophtalmology : A Systemic Approach, China
: Elsevier Inc,2010: hal 417-20
Oftalmia Neonatorum
STRABISMUS