Anda di halaman 1dari 149

PANDUAN LAYANAN KLINIS

SMF MATA

RSUD A.WAHB SJAHRANIE


SAMARINDA
KALIMANTAN TIMUR

EDISI VII
2015
SMF MATA

1. Dr. Syamsul Hidayat , SpM


2. Dr. Yulia Anita, SpM
3. Dr. Manfred Himawan, SpM
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma Fatmawati, MKes, SpM
I. PENYAKIT MATA LUAR

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

BLEFARITIS
1. Pengertian (Definisi) Peradangan pada tepi kelopak mata

2. Anamnesis 1. Gatal pada kelopak mata


2. Mata merah
3. Pemeriksaan Fisik 1. Krusta berminyak di kelopak mata, bulu mata, kulit
kepala
2. Kelopak mata kemerahan
3. Terasa panas dan gatal
4. Foreign body sensation
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Blefaritis
6. Diagnosis Banding Konungtivitis
7. Pemeriksaan Pemeriksaan silia secara mikroskopis untuk identifikasi
Penunjang adanya parasit

8. Terapi 1. Higiene palpebra : cuci silia dengan coal tar-based


shampoo
2. Cuci silia dengan wasbenzin (benzium petrolei) jika
demodex (+)
3. Kortikosteroid topikal
4. Antibiotik sistemik : doksisiklin blefaritis posterior
5. Antibiotik salep mata : bacitracin atau bacitracin-
polymyxin B  blefaritis Stafilokokus.
9. Edukasi Cuci silia dengan coal tar-based shampoo
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis 1. Keluhan hilang
2. Krusta dan silia bersih
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 8. External
Eye Disease. American Academy of Ophthalmology.
2010 - 2011. p. 71,217-219
2. Kanski, J. Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach. Seventh Edition. Elsevier Saunders. 2011.
Pg 128-132
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

KONJUNGTIVITIS AKUT

1. Pengertian (Definisi) Keradangan pada konjungtiva yang disebabkan bakteria,


virus, jamur, chlamidia,alergi atau iritasi dengan bahan-
bahan kimia.

2. Anamnesis 1. Mata merah


2. Ngeres, seperti ada pasir di dalam mata
3. Gatal
4. Panas
5. Kemeng di sekitar mata
6. Epifora
7. Bisa disertai gejala sistemik: demam, malaise, nyeri
telan
8. Durasi keluhan kurang dari 4 minggu

3. Pemeriksaan Fisik 1. Edema palpebra


2. Hiperemia konjungtiva : terutama di daerah fornix akan
semakin menghilang atau menipis ke arah limbus.
3. Epifora
4. Hipertrofi papiler
5. Folikel
6. Khemosis
7. Membran atau pseudomembran
8. Adenopati preaurikular
9. Sekret atau getah mata, dapat bersifat purulen,
mukopurulen, mukus, atau serous

4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang
5. Diagnosis Kerja Konjungtivitis akut
6. Diagnosis Banding - Blefaritis
- Keratokonjungtivitis
- Keratitis
- Uveitis
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi 1. KIE penderita bahwa konjungtivitis viral bersifat self-
limited
2. KIE penderita bahwa konjungtivitis virus sangat menular,
biasanya dalam 10-12 hari pertama selama mata masih
merah
3. Artificial tears tanpa pengawet 4-8 x 1 tetes
4. Kompres dingin
5. Jika didapatkan membran/pseudomembran, boleh
dilakukan pengelupasan.
6. Boleh diberikan steroid topikal untuk 1 minggu dan
selanjutnya diturunkan bertahap untuk kasus akut yang
berat atau terdapat membran/pseudomembran
7. Antibiotika topikal spektrum luas ditujukan untuk
mencegah infeksi sekunder

9. Edukasi 1. Penderita diminta untuk tidak menyentuh atau mengucek


mata, berjabat tangan, berbagi handuk
2. Rajin mencuci tangan

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis - Keluhan mata merah berkurang
- Kotoran mata berkurang
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic and
Clinical Science and Course. Section 8. External Eye
Disease. American Academy of Ophthalmology. 2010 -
2011. p. 71,217-219
b. Kanski, J. Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach. Seventh Edition. Elsevier Saunders. 2011. Pg
215-234
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

EPISKLERITIS
1. Pengertian (Definisi) Peradangan Benign (jinak) pada jaringan episklera
KLASIFIKASI
- Episkleritis difusa (simple episcleritis)
- Episkleritis nodular
ETIOLOGI
- Idiopatik: paling sering
- Infeksi (herpes zoster virus)
- Lain-lain: tiroid, atopi, rosacea
2. Anamnesis 1. Mata merah akut
2. Nyeri ringan
3. Unilateral atau bilateral
4. Biasanya pada dewasa muda
5. Tidak didapatkan kotoran mata
6. Seringkali disertai riwayat keluhan serupa sebelumnya
3. Pemeriksaan Fisik 1. Visus normal
2. Episkleritis difusa: Injeksi silier interpalpebral sektoral
atau difus dengan kongesti maksimal pada kapsula
Tenon, yang biasanya menghilang sendiri setelah
beberapa hari
3. Episkleritis nodusa: Nodul dengan nyeri tekan pada
area fissura interpalpebral, pada pemeriksaan slit lamp
tampak permukaan sklera flat
4. Penetesan fenilefrin 10% akan menkonstriksi pembuluh
darah konjungtiva dan episklera sehingga
memudahkan evaluasi sklera dibawahnya
5. Jarang terjadi uveitis anterior dan keterlibatan kornea
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Episkleritis
6. Diagnosis Banding 1. Skleritis
2. Konjungtivitis
3. Iritis
7. Pemeriksaan Pemeriksaan pemberian ephineprine  postif bila terjadi
Penunjang konstriksi pembuluh darah episklera.
8. Terapi 1. Ringan  artificial tears
2. Sedang-berat  steroid topikal
3. NSAID sistemik
9. Edukasi 1. KIE penderita kemungkinan rekurensi
2. Jika diberikan steroid topikal frekuensinya segera
dikurangi setelah klinis membaik
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis 1. Keluhan subyektif berkurang
2. Pelebaran pembuluh darah berkurang
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 8.
External Eye Disease. American Academy of
Ophthalmology. 2010 - 2011.
b. Kanski, J. Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach. Sixth Edition. Elsevier Saunders. 2007.
Pg 323-336
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

SKLERITIS
1. Pengertian (Definisi) Peradangan pada jaringan sklera
ETIOLOGI
 Biasanya berhubungan dengan penyakit sistemik
 Penyebab yang sering: penyakit jaringan ikat
(rheumatoid arthritis, SLE, Wegener granulomatois,
relapsing polikondritis, poliarteritis nodosa), herpes
zoster oftalmikus, sifilis, gout
KLASIFIKASI
1. Skleritis anterior
- Skleritis anterior non nekrotikans difus: inflamasi
menyebar pada segmen anterior
- Skleritis anterior non nekrotikans nodular: terdapat
nodul yang tidak dapat digerakkan
- Skleritis anterior nekrotikans dengan inflamasi: Nyeri
hebat, nekrosis sklera, berhubungan erat dengan
penyakit inflamasi isitemik
- Skleritis anterior nekrotikans tanpa inflamasi
(skleromalasia perforans): biasanya asimptomatik,
paling sering terjadi pada pasien rheumatoid arthritis
kronik.
2. Skleritis posterior: berawal dari posterior, atau kadang
merupakan kelanjutan dari skleritis anterior. Biasanya
tidak berhubungan dengan penyakit sistemik

2. Anamnesis 1. Gejala utama: nyeri berat dan terus-menerus yang


dapat menjalar ke daerah dahi, alis, atau rahang,
hingga bisa membangunkan pasien saat sedang tidur
2. Mata merah akut atau subakut
3. Penglihatan menurun
4. Seringkali disertai riwayat keluhan serupa sebelumnya
5. Skleromalasia perforans: gejala minimal
3. Pemeriksaan Fisik 1. Injeksi konjungtiva dan silier (pembuluh darah sklera
besar, dalam, tidak dapat digerakkan dengan aplikator
kapas dan tidak akan mengecil dengan penetesan
fenilefrin 10%)
2. Injeksi sklera dapat sektoral atau difus
3. Khas: sklera berwarna kebiruan (paling jelas terlihat
dengan inspeksi)
4. Penipisan sklera
5. Edema sklera
6. Bisa didapatkan nodul pada sklera
7. Kornea: keratitis perifer, defek pada limbal, keratolisis
8. Bisa disertai glaukoma, uveitis, katarak
9. Tanda lain skleritis posterior: ablasio retina aksudatif,
proptosis, restriksi gerak bola mata, hiperopia onset
cepat, perdarahan retina, lipatan koroid, ablasio koroid,
papiledema.
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Skleritis
6. Diagnosis Banding Episkleritis: sklera tidak terlibat, onset lebih akut, biasanya
penderita lebih muda, dan gejala lebih ringan.

7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan fisik lengkap (sendi, kulit, kardiovaskuler,


Penunjang dan sistem pernapasan) oleh internis atau
rheumatologis
2. Laboratorium: darah lengkap, ESR, asam urat, RA, GD
I/II, profil sifilis, ANA
3. Tes lain berdasarkan kecurigaan: PPD, foto thoraks
PA, foto rontgen sakroiliaca, USG mata, MRI, CT scan

8. Terapi a. Skleritis nodular dan difusa:


 NSAID oral (ibuprofen, naproxen, indometasin). Tiga
macam NSAID diberikan dahulu secara terpisah
sebelum menyatakan terapi gagal. Bila tidak ada
perbaikan, pertimbangkan pemberian steroid oral.
 Steroid sistemik: prednison 1 mg/kgBB selama 1
minggu, kemudian dosis diturunkan bertahap. Jika
tidak ada perbaikan, pertimbangkan pemberian
terapi imunosupresif.
 Terapi imunosupresif (siklofosfamid, metotreksat,
siklosporin, azathioprin): jika 1 macam obat tidak
efektif, tambahkan jenis obat lain. Dapat digunakan
bersamaan dengan steroid sistemik.
b. Skleritis nekrotikans:
 Steroid sistemik dan terapi imunosupresif
 Graft sklera dilakukan bila terdapat resiko terjadinya
perforasi
c. Skleritis posterior:
 Aspirin oral
 NSAID oral
 Steroid sistemik
 Terapi imunosupresif
d. Jika penyebabnya infeksi: Antibiotika topikal dan
sistemik golongan fluorokuinolon.
e. Steroid topikal tidak efektif pada skleritis.
f. Pemberian steroid subkonjungtiva dapat menyebabkan
terjadinya penipisan sklera dan perforasi, khususnya
pada skleritis nekrotikans.
9. Edukasi a. KIE penyebab penyakit
b. KIE cara pemakaian obat
c. KIE Komplikasi yang mungkin terjadi
d. KIE untuk kontrol sesuai anjuran dokter
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis 3. Keluhan subyektif berkurang
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 8. External
Eye Disease. American Academy of Ophthalmology.
2010 – 2011. Pg 110-116
2. Kanski, J. Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach. Sixth Edition. Elsevier Saunders. 2007.
Pg 323-336
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

PTERYGIUM
1. Pengertian (Definisi) Jaringan fibrovaskuler berbentuk segitiga dengan dasar
konjungtifa nasal dan atau ditemporal dan tumbuh
memasuki permukaan kornea, diduga akibat paparan dari
sinar UV, inflamasi, angin, debu dan iritan lainnya. Paparan
terhadap faktor tersebut diduga menyebabkan degenerasi
kolagen stromal konjungtiva disertai jaringan fibrovaskuler
subepitelial
2. Anamnesis a. Terdapat selaput putih yang terus tumbuh ke bagian
hitam bola mata secara perlahan
b. Kadang disertai mata merah
c. Rasa mengganjal
d. Gatal
e. Berair
f. Disertai penglihatan kabur jika selaput yang tumbuh
hampir menutupi seluruh permukaan hitam bola mata
g. Riwayat trauma mata
h. Riwayat iritasi atau infeksi mata sebelumnya
i. Riwayat pekerjaan  faktor resiko (paparan sinar uv,
angin, debu, dll)
j. Timbul pertama kali atau berulang
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Oftalmologis:
a. Pemeriksaan permukaan depan bola mata dengan
flash light, loop, atau slit lamp
b. Ditemukan selaput putih atau jaringan fibrovaskular
berbentuk segitiga yang tumbuh dari tepi pertemuan
kelopak mata atas dan bawah menuju ke tengah bola
mata pada bagian hitam mata.
c. Dapat disertai injeksi konjungtiva atau injeksi
perikornea jika terjadi peradangan pada selaput,
sehingga jaringan fibrovaskular akan tampak berwarna
merah
d. Dapat disertai tanda-tanda yang didapat pada
sindroma mata kering

Karakteristik klinis
a) Berdasarkan klasifikasi  gradasi klinis dari
Youngson:
I. Kepala jaringan pterygium pada limbus
II. Kepala jaringan pterygium di kornea berada
diantara limbus dan pertengahan jarak limbus ke
tepi pupil
III. Kepala jaringan pterygium di kornea berada di
antara pertengahan jarak limbus ke tepi pupil
dan tepi pupil
IV. Kepala jaringan pterygium telah melewati tepi
pupil
b) Kesan klinis:
- Meradang (Inflamed), jika terdapat 2 dari 3 tanda-
tanda :
1. Vaskularisasi, lebih dari 2 pembuluh darah yang
melebar
2. Stroma yang tebal, jika visualisasi pembuluh
darah episklera terputus di bawah stroma
3. Deposit partikel ; besi, bintik warna kecoklatan di
permukaan / di tepi jaringan pterygium
- Tidak meradang ( non-inflamed), jika hanya terdapat
salah satu dari tanda-tanda di atas
4. Kriteria Diagnosis a. Ditemukan selaput putih atau jaringan fibrovaskular
berbentuk segitiga yang tumbuh dari tepi pertemuan
kelopak mata atas dan bawah menuju ke tengah bola
mata pada bagian hitam mata pada pemeriksaan
oftalmologis.
b. Tentukan grade pterygium berdasarkan batas
pertumbuhan kepala jaringan pterygium
c. Disertai tanda-tanda peradangan atau tidak
5. Diagnosis Kerja OD / OS Pterygium grade I / II / III / IV
6. Diagnosis Banding a. Pseudo-pterygium
7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi Grade 1
 Tidak meradang : Observasi 3 bulan
 Meradang : - Steroid / NSAID topikal
- Anjuran pencegahan paparan
sinar Ultra Violet
(UV) dan materi polutan lain
Gradasi 2
 Tidak meradang:
- Observasi 3 bulan, jika progresif  anjurkan
pengangkatan
- Anjuran pencegahan paparan sinar UV dan
materi polutan lainnya
 Meradang :
1. Steroid / NSAID topikal
2. Anjuran pengangkatan
3. Anjuran pencegahan paparan sinar UV dan
materi polutan lainnya

Tindakan pembedahan :
Avulsi pterygium + cangkok jaringan konjungtifa–limbal
9. Edukasi 1. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) mengenai
prognosis visus
2. KIE mengenai prognosis penyakit
3. KIE mengenai kemungkinan tindakan selanjutnya
4. KIE mengenai kemugkinan residif atau berulang
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad visam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis a. Peradangan berkurang
b. Tidak terjadi residif setelah tindakan pembedahan
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology Staff, Basic and
Clinical Science and Course, Section 11 : Lens and
Cataract, Singapore, AAO, 2010.
b. American Academy of Ophthalmology Staff, Basic and
Clinical Science and Course, Section 4 : External
Disease and Cornea, Singapore, AAO, 2010
c. Kanski Jack J, Clinical Ophthalmology: A Systematic
Approach, China: Elsevier Inc, 2007.
d. Steinert, Roger F, et all, Cataract Surgery : Technique
Complications Management, 2nd Ed, USA, Elsevier
Science, 2004.
e. Kurana AK, Comprehensive Ophthalmology, 4th ed,
India: New Age International(P) Limited Pub, 2007.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

SINDROMA MATA KERING


1. Pengertian (Definisi) SINONIM
- Dry eye syndrome (DES)
- Keratoconjunctivitis sicca (KCS)
- Lacrimal keratoconjunctivitis
- Dysfunctional Tear Sundrome (DTS)
BATASAN
SMK terjadi bila volume air mata tidak adekuat atau
terdapat penurunan fungsi sehingga lapisan air mata tidak
stabil dan terjadi kelainan permukaan bola mata
ETIOLOGI
- Idiopatik: biasanya pada wanita post menopause
- Penyakit jaringan ikat (Sjogren syndrome, RA, SLE,
dll)
- Sikatriks pada konjungtiva (Steven-Johnson
syndrome, trakoma, trauma kimia, dll)
- Obat-obatan (kontrasepsi oral, antihistamin, beta
blocker, atropin, dll)
- Defisiensi vitamin A
- Post LASIK
2. Anamnesis 1. Mata terasa kering
2. Sensasi terbakar
3. Sensasi adanya benda asing
4. Kadang disertai epifora
5. Dapat terjadi penurunan penglihatan ringan
6. Biasanya terjadi pada kedua mata, meskipun gejala
lebih berat/hanya terasa pada satu mata
7. Kronik
8. Faktor pencetus: asap, angin, panas, kelembaban
rendah, bekerja di depan komputer dalam waktu lama
9. Gejala lebih terasa setelah siang hari
10. Gejala tidak sesuai dengan tanda klinis yang
ditemukan (biasanya lebih berat)
3. Pemeriksaan Fisik a. Konjungtiva: keratinisasi ringan dan
hiperemia
b. Lapisan air mata:
 Tear meniscus pada margo palpebra inferior < 1 mm
atau tidak ada
 Debris mukous yang bergerak tiap kali berkedip
 Foam sepanjang margo palpebra
c. Kornea:
 Erosi epitel punctata pada daerah interpalpebra dan
kornea inferior
 Filamen dan plak mukous yang tercat dengan rose
bengal
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Sindroma Mata Kering
6. Diagnosis Banding Keratopati punctata superfisial
7. Pemeriksaan Pemeriksaan khusus:
Penunjang 1. Tear film break-up time (TBUT): <10 detik
2. Schirmer test: <10 mm setelah 5 menit tanpa anestesi
atau < 5 mm dengan anestesia
3. Ferning test: menilai kualitas lapisan musin (derajat III-
IV)
4. Pewarnaaan Fluoresin
5. Pewarnaan Rose Bengal
8. Terapi 1. Ringan: Artificial tears 4x1 tetes per hari
2. Sedang:
 Frekuensi pemakaian artifial tears ditingkatkan
hingga tiap jam (tanpa pengawet)
 Lubrikans salep atau gel mata 4x sehari
3. Berat:
 Sama dengan terapi dry eye sedang
 Jika terdapat filamen atau strand mukous,
dilepaskan denga forceps dan ditetesi asetilsistein
10%
 Steroid topikal potensi rendah (fluorometholon)
untuk eksaserbasi akut
 Serum tetes mata
 Siklosporin topikal: meningkatkan jumlah sel goblet
 Oklusi punctal
 Tarsorafi lateral bila semua terapi gagal
9. Edukasi a. KIE penyebab penyakit
b. KIE cara penggunaan obat.
c. KIE untuk kontrol sesuai anjuran dokter
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis Keluhan subyektif berkurang
b. Perbaikan hasil pemeriksaan khusus sindroma mata
kering
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic and
Clinical Science and Course. Section 8. External Eye
Disease. American Academy of Ophthalmology. 2010 -
2011. Pg 48-64
b. Kanski, J. Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach. Sixth Edition. Elsevier Saunders. 2007. Pg
205-215
II. KORNEA
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

KERATITIS BAKTERIAL

1. Pengertian (Definisi) Keradangan pada kornea akibat infeksi bakteri

2. Anamnesis 1. Mata merah


2. Nyeri sedang-berat
3. Fotofobia
4. Kabur
5. Terdapat kotoran mata (sekret)
3. Pemeriksaan Fisik 1. Palpebra: edema
2. Konjungtiva: hiperemia
3. Sekret mukopurulen
4. Kornea: defek epitel, infiltrat, edema stroma
5. BMD: bisa terbentuk hipopion (biasanya steril)
6. Bisa berlanjut menjadi ulkus kornea
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Keratitis Bakterial
6. Diagnosis Banding 1. Keratitis fungal
2. Keratitis Acanthamoeba
3. Infiltrat kornea steril
7. Pemeriksaan Pemeriksaan gram dan kultur dari hapusan kornea serta
Penunjang pemeriksaan KOH dari kerokan kornea. Indikasi
pemeriksaan gram dan kultur:
1. Keratitis berat atau mengancam penglihatan dengan
klinis mengarah ke bakterial sebelum diberikan
terapi
2. Infiltrat kornea luas dan mencapai stroma bagian
dalam
3. Kronis
4. Tidak berespon terhadap terapi antibiotika spektrum
luas
5. Gambaran klinis mengarah ke keratitis fungal atau
amoeba

8. Terapi a. Antibiotika topikal spektrum luas, jika telah terjadi


ulkus kornea diberikan antibiotika topikal dalam
bentuk fortified (frekuensi pemakaian disesuaikan
dengan kondisi klinis, bila berat diberikan tiap jam).
Frekuensi penggunaan dapat dikurangi bertahap
setelah 48 jam.
b. Sikloplegik
c. Pada keratitis yang mengancam penglihatan, bisa
dipertimbangkan pemberian steroid topikal setelah
diketahui organisme penyebab dan klinis membaik
dengan antibiotika
d. Jika telah terjadi ulkus bisa diberikan antibiotika oral
golongan fluoroquinolon (ciprofloxacin 2x750 mg
selama 7-10 hari)
e. Jika didapatkan peningkatan TIO diberikan obat-
obatan antiglaukoma
f. Bila terjadi descemetocele dilakukan Amniotic
Membrane Transplantation (AMT)
9. Edukasi a. KIE penyebab penyakit
b. KIE cara pemakaian obat
c. KIE Komplikasi yang mungkin terjadi
d. KIE untuk kontrol sesuai anjuran dokter
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis 4. Keluhan subyektif berkurang
5. Fluorescein test negatif
15. Kepustakaan 3. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 8. External
Eye Disease. American Academy of Ophthalmology.
2010 – 2011. Pg 110-116
4. Kanski, J. Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach. Sixth Edition. Elsevier Saunders. 2007.
Pg 262-269
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

KERATITIS FUNGAL
1. Pengertian (Definisi) Keradangan pada kornea akibat infeksi jamur
ORGANISME PENYEBAB
- Di daerah tropis: filamentous fungi (Aspergillus spp.,
Fusarium solani)  biasanya akibat trauma tumbuh-
tumbuhan, terjadi pada mata yang sebelumnya sehat
- Di daerah beriklim sedang: nonfilamentous fungi
(Candida spp.)  terjadi pada mata yang sebelumnya
sudah mengalami kelainan, misalnya dry eye, keratitis
herpes simpleks atau zoster, penggunaan steroid kronik
2. Anamnesis - Mata merah
- Nyeri hebat
- Fotofobia
- Epifora
- Sensasi benda asing
- Kabur
- Terdapat kotoran mata (sekret)
- Terdapat riwayat tidak membaik dengan terapi
antibiotika
3. Pemeriksaan Fisik a. Filamentous fungi: Infilltrat stromal berwarna putih
keabu-abuan dengan tepi seperti bulu (feathery
edge). Epitel diatas infiltrat biasanya mengalami
peninggian diatas permukaan kornea, atau terdapat
defek epitel dengan penipisan stroma (ulkus)
b. Nonfilamentous fungi: Infiltrat stroma berwarna putih
kekuningan, menyerupai ulkus bakteri
c. Bisa didapatkan lesi satelit di sekeliling infiltrat primer,
injeksi konjungtiva, sekret mukopurulen, reaksi BMD,
hipopion.
d. Bisa berlanjut menjadi ulkus kornea

4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang


5. Diagnosis Kerja Keratitis Fungal
6. Diagnosis Banding Keratitis bakterial

7. Pemeriksaan Pemeriksaan gram dan kultur dari hapusan kornea serta


Penunjang pemeriksaan KOH dari kerokan kornea

8. Terapi 1. Keratitis/ulkus diterapi sebagai keratitis bakterial


hingga terbukti sebagai keratitis fungal
2. Antifungi oral: fluconazole 200-400 mg dosis awal
kemudian diikuti 4x100-200 mg
3. Natamycin 5% topikal (untuk filamentous fungi)
selama 4-6 minggu
4. Amphoterisin B 0.15% topikal (untuk nonfilamentous
fungi) selama 4-6 minggu
5. Sikloplegik, sulfas atropin 1% 3x1 tetes
6. Jika didapatkan peningkatan TIO diberikan obat-
obatan antiglaukoma
7. Dapat dilakukan epithelial debridement untuk
meningkatkan penetrasi obat-obatan antifungal
8. Bila terjadi descemetocele dilakukan Amniotic
Membrane Transplantation (AMT)
9. Edukasi a. KIE penyebab penyakit
b. KIE cara pemakaian obat
c. KIE Komplikasi yang mungkin terjadi
d. KIE untuk kontrol sesuai anjuran dokter
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat 6. Keluhan subyektif berkurang
Rekomendasi 7. Fluorescein test negatif
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis a. Keluhan subyektif berkurang
b. Perbaikan defek epitel dan stromal
15. Kepustakaan 5. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 8. External
Eye Disease. American Academy of Ophthalmology.
2010 – 2011. Pg 165-167
6. Kanski, J. Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach. Sixth Edition. Elsevier Saunders. 2007.
Pg 260-261
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

KERATITIS NUMULARIS
1. Pengertian (Definisi) Keradangan kornea dengan gambaran infiltrat sub epitel
berbentuk bulatan seperti mata uang (coin lesion).

2. Anamnesis - Mata merah


- Perasaan adanya benda asing
- Fotofobia
- Kekaburan terjadi apabila berada pada aksis visual
- Tidak terdapat riwayat konjungtivitis sebelumnya
- Semua umur
- Seringkali rnengenai satu mata, tapi beberapa kasus
dapat mengenai kedua mata.
3. Pemeriksaan Fisik - Injeksi perikorneal
- Infiltrat bulat di bawah epitel kornea baik di daerah
sentral atau perifer,
Epitel di atas lesi sering mengalami elevasi dan tampak
irregular. Ukuran infiltrat
tidak selalu sama dan terdapat kecenderungan bergabung
menjadi satu.
- Besar infiltrat bervariasi antara 0,5 - l,5 mm
- Tes fluoresin negatif
- Tes sensibilitas kornea baik (tidak menurun)
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis Kerja Keratitis Numularis
6. Diagnosis Banding 1. E.K.C (Epidemic Keratoconjungtivitis)
- Didahului konjungtivitis
- Infiltrat lebih tebal dibandingkan infiltrat pada keratitis
numularis
2 Varicella keratis
Ada tanda-tanda varicella sebelumnya dan lesi pada kornea
timbul setelah lesi di kulit menghilang

7. Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi - Keratitis numularis dapat sembuh sendiri. Lesi pada
kornea akan menghilang sampai 6 tahun dan
menimbulkan bekas tipis (nebula kornea).
- Kortikosteroid topikal (misal: dexamethasone)
diberikan 3-4 kali sehari akan mengurangi keiuhan
penderita, diberikan sampai 5-7 hari dan pemberian
dapat diulang sampai 4-6 minggu untuk mencegah
timbulnya keluhan berulang.
-
9. Edukasi -
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

KERATITIS HERPES SIMPLEKS

1. Pengertian (Definisi) Keradangan kornea akibat virus Herpes Simplex

2. Anamnesis 1. Mata merah


2. Fotofobia
3. Epifora (banyak keluar air mata)
4. Kekaburan terjadi apabila lesi berada di aksis visual
5. Biasanya unilateral
6. Bisa disertai vesikel pada kulit sekitar palpebra
7. Visus menurun bila lesi berada di kornea sentral.

3. Pemeriksaan Fisik Infeksi primer:


- Berupa keratis punctata difusa non spesifik
- Sering disertai konjungtivitis folikularis akut dan
pembentukan pseudomembran

Infeksi rekuren:
 Lesi kornea khas berbentuk dendrit tetapi bisa
berbentuk filamen, geografis, disiform maupun
punctata. Karakteristik lesi herpetik tipe dendritik :
tipis, linear, bercabang, terdapat terminal bulb di
ujung masing-masing cabang. Sedang yang tipe
geografik berbentuk amoeba-shaped. Pada tipe
disciformis, tampak keratitis stromal berbentuk disk
dengan epitel intak ( tidak ada nekrosis )
 Tes fluoresin : (+) pada lesi epitel
 Tes sensibilitas : menurun sampai negatif
 Neurotropic ulcer: ulkus steril dengan tepi epitel
yang halus pada area stroma kornea interpalpebral,
yang menetap atau memburuk setelah terapi
antiviral
Scar ( ghost dendritik )
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Keratitis Herpes Simplex
6. Diagnosis Banding a. Keratitis Herpes Zoster
Didahului oleh infeksi herpes zoster di organ tubuh lain,
misalnya zoster oftalmikus di dahi dan palpebra, herpes
zoster fasialis di pipi.
b. Erosi kornea rekuren
Erosi yang mengalami penyembuhan seringkali
berbentuk dendritiform
c. Keratitis acanthamoeba
Lesi pseudodendritik, terdapat riwayat penggunaan soft
contact lens
7. Pemeriksaan a. Sensibilitas kornea
penunjang b. Flourescein test
8. Terapi 1. Pemberian obat - obat antiviral :
- Acyclovir oral 5x200 mg selama 7-10 hari, valacyclovir,
famcyclovir
- Acyclovir salep mata 5-9 kali sehari selama 7-14 hari,
kemudian dosis diturunkan 4 kali sehari selama 4 hari
sebelum dihentikan
2. Antibiotika topikal jika terdapat lesi epitel
3. Sikloplegik, misalnya sulfas atropin 1% 3x1 tetes jika
terdapat fotofobia
4. Steroid topikal untuk lesi stromal
5. Transplantasi kornea: jika terdapat skar yang
mempengaruhi visus secara signifikan

9. Edukasi a. KIE penyebab penyakit


b. KIE pemakaian obat teratur.
c. KIE kontrol rutin sesuai anjuran.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis a. Keluhan subyektif berkurang
b. Pemeriksaan fluorescein test negatif
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic and
Clinical Science and Course. Section 8. External Eye
Disease. American Academy of Ophthalmology. 2010 –
2011. Pg 110-116
b. Kanski, J. Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach. Sixth Edition. Elsevier Saunders. 2007. Pg
262-269

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

ULKUS kORNEA (ICD 10 : H16.0)

1. Pengertian (Definisi) Defek (hilangnya lapisan) epitel kornea yang disertai


peradangan atau hilangnya lapisan stroma.
Agen penyebab:
1. Bakterial : Pseudomonas sp, Streptococcus sp,
Staphylococcus sp, Bacillus sp, Mycobacterium sp,
Neisseria sp.
2. Viral : Herpes simplex, Varicella zoster, Epstein-
Barr
3. Fungal : Aspergillus, Fusarium,Candida Albicans
4. Parasit : Acanthamoeba
Komplikasi:
1. Desmetocele
2. Perforasi (lubang) kornea
3. Hipopion (cairan nanah) pada bilik mata depan
4. Uveitis anterior
5. Glaukoma sekunder
6. Endofthalmitis
2. Anamnesis a. Penglihatan kabur
b. Nyeri
c. Fotofobia (silau bila terkena cahaya)
d. Mata berair (nrocoh)
e. Sekret
f. Demam bila agen penyebabnya virus
g. Riwayat trauma terkena tumbuhan
h. Riwayat pemakaian lensa kontak
3. Pemeriksaan Fisik a. Visus (tajam penglihatan) menurun
b. Spasme kelopak mata
c. Hiperemi konjungtiva
d. Hiperemi perikorneal, yaitu dilatasi pembuluh darah
siliar sekitar limbus.
e. Bercak putih-keabu-abuan yang disertai
penggaungan dari epitel sampai stroma kornea
f. Bilik mata depan keruh (flare) disebabkan tingginya
kadar albumin dalam aquoeus, disertai adanya
fibrin/membran.
g. Cells pada bilik mata depan merupakan tanda awal
inflamasi aktif
h. Dengan tes fluoresin didapatkan adanya defek pada
lapisan epithel kornea

Pemeriksaan tambahan:
1. Tes fluorescin
2. USG mata untuk mengevaluasi segmen posterior
mata
3. Tekanan intra okuler (TIO) digital
4. Kriteria Diagnosis 1. Mata merah
2. Nyeri
3. Fotofobia
4. Hiperemia konjungtiva dan perikorneal injeksi
5. Defek (penggaungan) kornea mulai epitel sampai
stroma
6. Tes fluorescin (+)
5. Diagnosis Kerja Ulkus Kornea
6. Diagnosis Banding 1. Trauma kimia asam/ basa
2. Neurotropik keratitis
3. Shield ulcer
4. Penyakit autoimun dan kolagen vaskuler
5. Mooren ulcer
6. Atopik keratokonjungtivitis
7. Keratitis toksik
8. Keratopati eksposure
7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan kerokan kornea:
1. Pewarnaan gram.
2. Pemeriksaan KOH: bila dicurigai penyebabnya
jamur
3. Kultur dan tes sensitifitas antibiotika.

8. 9. Terapi Terapi ulkus kornea tergantung dari penyebabnya:


1. Bakterial:
Pengobatan awal dengan antibiotika spektrum luas atau
sesuai hasil pewarnaan gram kerokan kornea diberikan
6 kali 1 tetes sampai perjam perhari sesuai dengan
klinis:
 Monoterapi golongan fluroquinolon:
 Levofloxacin 1,5%
 Gatifloxacin 0,3%,
 Moxifloxacin 0,5%
 Antibiotika fortified, diberikan selama 72 jam sampai
1 minggu, kemudian dilanjutkan dengan antibiotika
tetes mata yang kandungannya sama tanpa
fortifikasi:
 Gentamicin fortified
 Tobramicin fortified
 Dibekacin fortified.
 Antibiotik sistemik pada kasus keratitis gonococcus
atau pada kasus berat dengan komplikasi hipopion:
 Ciprofloxacin 2 x 750 mg
2. Virus:
 Herpes simpleks:
 acyclovir oral 5 x 400mg selama 7-10 hari
 Herpes zooster opthalmikus:
 aciclovir oral 5 x 800mg atau
 valacyclovir 2 x 1000 mg selama 7-10 hari
 Topikal acyclovir 0,3% salep mata 5 x 1 selama
1-2 minggu

3. Jamur, diberikan hingga 6 minggu:


- Topikal Natamicyn 5 % 6 x 1 tetes per hari
- Topikal Flukonazole 5% 6 x 1 tetes perhari
- Itrakonazole oral 100mg, minggu pertama 2x
100mg, selanjutnya 1x 100mg selama 4-6
minggu atau Flukonazole oral 200 mg,
minggu pertama 2 x 200mg, dilanjutkan 1 x
200mg sesuai klinis selama 4-6 minggu
4. Artifisial tears 8 kali 1 tetes perhari sampai dengan tiap
jam:
 HPMC
 Sodium hyaluronat 0,1%
5. Bila terdapat komplikasi glaukoma sekunder diberikan
obat-obatan antiglaukoma:
 Timolol 0,5% tetes mata 2 kali sehari atau
 Acetazolamid 250 mg oral 2-3 kali sehari.
6. Pembedahan diperlukan jika terdapat :
a. Desmetocele impending perforasi
b. Defek epitel luas
c. Perforasi kornea
Terapi pembedahan dapat berupa:
a. amniotic membrane transplant
b. pericard transplantasi.
c. Flap konjungtiva

9. Edukasi 1. KIE prognosa visus


2. KIE pemakaian obat secara teratur.
3. KIE komplikasi yang mungkin terjadi
10. Prognosis Ad visam : dubia ad bonam (bila letak ulkus tidak di
axis visual)
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens II
12. Tingkat B
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis 80% keluhan subyektif dan luas serta kedalaman ulkus
berkurang dalam waktu 4-6 minggu
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 9.
Intraocular Inflammation and Uveitis. American
Academy of Ophthalmology. 2011-2012. Pg 78-79,
118-132
2. Kanski, J. Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach. Seventh Edition. Elsevier Saunders.
2011. Pg 401-410
3. LeeMK, Lee HS, Kim MS. Korean Journal
Opthalmology : Two Cases of Corneal Ulcer due to
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus in High
Risk Groups. 2010. 24(4): p 240-244
4. Upadhyay MP, Karmacharya KC, Koirala S, Shah
SD, Shakya S, Shrestha JK, Bajracharya H, Gurung
HK, Whitcher JP. British Journal Opthalmology: The
Bhaktapur eye study: ocular trauma and antibiotic
prophylaxis for the prevention of corneal ulceration
in Nepal. 2001. 85: p 388-392
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHABSJAHRANIE
SAMARINDA

DEGENERASI/DISTROFI KORNEA
1. Pengertian Suatu kelompok gejala kekeruhan kornea yang
(Definisi) progresif, biasanya bilateral, pada umumnya
diturunkan secara genetik dan non inflamasi
2. Anamnesis 1. Riwayat persalinan
2. Riwayat trauma mata
3. Riwayat infeksi mata
4. Riwayat penyakit dalam keluarga
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik
1. Kesadaran
2. Tensi, nadi, pernafasan
3. Kelainan fisik (sindroma)
Pemeriksaan oftalmologis
1. Visus (tajam penglihatan)
2. Tekanan bola mata
3. Lokasi kelainan :
Degenerasi : dapat terjadi pada 1 mata / 2 mata
Distrofi : terjadi pada 2 mata
4. Kriteria Diagnosis  Anamnesa
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan oftalmologis: kornea tampak keruh
disertai edema mikrokistik atau bulla, erosi
kornea berulang. Kekeruhan kornea terutama
yang sentral akan mengganggu visual axis
sehingga terjadi penurunan tajam penglihatan.
Jika hal ini menetap dan terjadi pada anak-anak
dapat menyebabkan ambliopia
 Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Kerja Degenerasi atau Distrofi kornea


6. Diagnosis Banding Degenerasi kornea
Distrofi kornea
7. Pemeriksaan Tes placido disk
Penunjang
8. Terapi Keratoplasti tembus pada :
Anomali kongenital
Degenerasi kornea
Distrofi kornea
Pengobatan pasca operasi :
1. Antibiotik injeksi subkonjungtiva
2. Antibiotik + steroid tetes
3. Bandage contact lens
9. Edukasi KIE penyakit dan prognosa visus
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis Pemeriksaan oftalmologis dan pemeriksan penunjang
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology Staff,
Basic and Clinical Science and Course, Section 11 :
Lens and Cataract, Singapore, AAO, 2012.
2. American Academy of Ophthalmology Staff,
Basic and Clinical Science and Course, Section 4 :
External Disease and Cornea, Singapore, AAO,
2012.
3. Kanski Jack J, Clinical Ophthalmology: A
Systematic Approach, China: Elsevier Inc, 2007.
4. Steinert, Roger F, et all, Cataract Surgery :
Technique Complications Management, 2nd Ed,
USA, Elsevier Science, 2004.
5. Kurana AK, Comprehensive Ophthalmology, 4th
ed, India: New Age International (P) Limited Pub,
2007.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

RUPTUR KORNEA SPONTAN


1. Pengertian (Definisi) Keluarnya sebagian isi bola mata yang disebabkan oleh
ruptur kornea spontan

FAKTOR RESIKO
 Ulkus kornea impending perforans
 Panofthalmitis
 Glaukoma tidak terkontrol

2. Anamnesis  Keluar darah dan sekret


 Terasa nyeri hebat

3. Pemeriksaan Fisik  Keluar darah dan sekret


 Tampak prolaps sebagian isi bola mata (lensa,
vitreus, koroid)
 Ruptur kornea sebagian atau total
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Ruptur Kornea Spontan
6. Diagnosis Banding Trauma oculi perforans
7. Pemeriksaan a. Siedel test
Penunjang b.
8. Terapi  MRS
 Pemberian antibiotka intravena
 Pemberian analgesik oral atau intravena
 Operasi eviserasi (disertai atau tanpa Dermis Fat
Graft (DFG)) dengan general anastesia
9. Edukasi 1. KIE prognosis visus
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 9.
Intraocular Inflamation and Uveitis. American
Academy of Ophthalmology. 2008 - 2009. p. 293-
310.
2. Khurana AK. Disease of the Uveal Tract.
Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New Age
International (P) Limited publisher. India, 2007. p
150 – 154.
III. GLAUKOMA
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

POSNER-SCHLOSSMAN SYNDROME

1. Pengertian (Definisi) Posner-Schlossman Syndrome (PSS), disebut juga krisis


glaukomatosiklitis,merupakan penyakit yang ditandai
serangan akut, unilateral, rekuren dari peningkatan TIO
(Tekanan Intra Okuli) disertai inflamasi ringan di bilik
mata depan (COA)
2. Anamnesis  Nyeri ringan
 Kabur
 Halo sign (+)
 Unilateral
 Usia dewasa muda
Pemeriksaan Fisik  TIO tinggi (40-60mmHg)
 Conjunctival injeksi minimal
 Gonioskopi: open, PAS (-)
 Flare dan cell minimal
 Edema epitel kornea
 PCI (+)
 Iris hipokromia
 Pupil midmidriasis
 Kips (+) di endotel kornea dan trabekular meshwork
3. Kriteria Diagnosis  Unilateral
 Rekuren
 Peningkatan TIO dengan gonioskopi sudut terbuka
 Cell flare minimal dengan
 Mild anterior chamber reaction or fine white keratic
precipitates (KP) Kips (+) di endotel kornea dan
trabekular meshwork
 Gejala serangan berlangsung selama beberapa jam
hingga beberapa minggu
 TIO normal dan tidak ada tanda uveitis di antara
serangan
 Lapang pandang dan diskus optikus normal
4. Diagnosis Kerja Posner-Schlossman Syndrome
5. Diagnosis Banding  Inflamatori glaukoma sudut terbuka
 Glaukoma sudut tertutup akut
 Glaukoma pigmentari
 Neovaskular glaukoma
 Fuchs heterochromic iridocyclitis
6. Pemeriksaan  Perimetri
Penunjang
7. Terapi  Topikal beta blocker (timolol 0,5% 2x1)
 Topikal α 2 agonis (brimonidine 0,1% 2x1)
 Topikal CAI ( dorzolamide 2% 2x1)
 Topikal steroid jangka pendek
 Sistemik CAI (acetazolamide 2x250 mg)
 Parasintesa kamera okuli anterior bila IOP sangat
tinggi
 Sikloplegik agen (cyclopentolat 1 % 3x1) untuk
mengurangi nyeri
8. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
9. Tingkat Evidens I/II/III/IV
10. Tingkat Rekomendasi A/B/C
11. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
12. Indikator Medis
13. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology. 2011. Glaucoma.
p.111-112

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

GLAUKOMA AKUT PRIMER


1. Pengertian Kelainan mata akibat tekanan Intraokuler (TIO)
(Definisi) meningkat mendadak
2. Anamnesis - Penglihatan kabur
- Melihat warna pelangi di sekitar lampu atau lilin
- Sakit kepala terutama di sisi mata yang sakit
- Mual muntah
- Mata merah
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik (status generalis)
1. Kesadaran
2. Tensi, nadi, pernafasan
3. Kelainan fisik
Pemeriksaan oftalmologis
1. Tajam penlglihatan
2. Tekanan bola mata
3. Kelainan konjunctiva
4. Kelainan kornea
5. Keadaan iris
6. Pupil
4. Kriteria Diagnosis  Anamnesa
Pasien mengeluhkan penglihatan menurun
mendadak,
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan oftalmologis
- TIO tinggi
- Edema palpebra
- Mixed injeksi
- COA dangkal
- Gonioskopi: open, PAS (+)
- Edema epitel kornea
- Pupil midmidriasis
- Refleks pupil lambat atau hilang

5. Diagnosis Kerja Glaukoma Akut Primer


6. Diagnosis Banding  Glaukoma kronis
 Glaukoma intermiten
 Keratitis
7. Pemeriksaan 1. Gonioskopi
Penunjang 2. Funduskopi
3. Perimetri

8. Terapi  Turunkan TIO


- Bahan hiperosmotik (gliserin 1-2 cc/ kg BB +
air jeruk aa diminum sekaligus, atau infus
manitol 1-2 gram/ kg BB)
 Miotikum (pilokarpin 2%, 3-5 kali setiap 5 menit,
kemudian tiap 30 menit selama 2 jam, selanjutya
setiap jam sampai saat operasi)
 Carbonic Anidrase Inhibitor (asetazolamid : 4
x250 mg oral, dg loading dose 500 mg single dose)
 Operatif
- Iridektomi perifer
- Trabekulektomi

9. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad sanationam : dubia
Ad fumgsionam : dubia
10. Tingkat Evidens I
11. Tingkat A
Rekomendasi
12. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
13. Indikator Medis Pemeriksaan oftalmologis
14. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology Staff,
Basic and Clinical Science and Course, Section
11 : Glaucoma, Singapore, AAO, 2012.
2. American Academy of Ophthalmology Staff,
Basic and Clinical Science and Course, Section 4 :
Glaucoma, Singapore, AAO, 2012.
3. Kanski Jack J, Clinical Ophthalmology: A
Systematic Approach, China: Elsevier Inc, 2007.
4. Kurana AK, Comprehensive Ophthalmology, 4th
ed, India: New Age International (P) Limited Pub,
2007.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

GLAUKOMA KRONIK PRIMER


1. Pengertian (Definisi) Kelainan mata akibat tekanan Intraokuler (TIO)
dengan sudut bilik mata depan terbuka
2. Anamnesis - Penurunan tajam pennglihatan +/-
- Kadang-kadang sakit kepala

3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik (status generalis)


1. Kesadaran
2. Tensi, nadi, pernafasan
3. Kelainan fisik
Pemeriksaan oftalmologis
1. Tajam penlglihatan
2. Tekanan bola mata
3. Kelainan konjunctiva
4. Kelainan kornea
5. Keadaan iris
6. Pupil
7. Funduskopi
4. Kriteria Diagnosis  Anamnesa
Pasien mengeluhkan bila berjalan sering
tersandung, kadang-sering pusing
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan oftalmologis
- TIO > 21 mmHg
- Segmen anterior tenang
- Gonioskopi terbuka
- COA dalam
- Funduskopi : papil glaukomatosa
- Perimetri : lapangan pandang menurun

5. Diagnosis Kerja Glaukoma Kronik Primer


6. Diagnosis Banding  Glaukoma intermiten
 Posnerr Schlosman syndrome
 Kelainan retina
7. Pemeriksaan 1. Gonioskopi
Penunjang 2. Funduskopi
3. Perimetri

8. Terapi  Turunkan TIO dengan obat-obatan


- Timolol
- Asetazolamid
- Prostaglandin analog
9. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia
Ad fumgsionam : dubia ad malam
10. Tingkat Evidens I
11. Tingkat A
Rekomendasi
12. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
13. Indikator Medis Pemeriksaan oftalmologis
14. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology Staff,
Basic and Clinical Science and Course, Section
11 : Lens and Cataract, Singapore, AAO, 2012.
2. American Academy of Ophthalmology Staff,
Basic and Clinical Science and Course, Section 4 :
External Disease and Cornea, Singapore, AAO,
2012.
3. Kanski Jack J, Clinical Ophthalmology: A
Systematic Approach, China: Elsevier Inc, 2007.
4. Steinert, Roger F, et all, Cataract Surgery :
Technique Complications Management, 2nd Ed,
USA, Elsevier Science, 2004.
5. Kurana AK, Comprehensive Ophthalmology, 4th
ed, India: New Age International (P) Limited Pub,
2007.

IV. LENSA
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

KATARAK
15. Pengertian Katarak adalah kekeruhan pada lensa atau kapsul
(Definisi) lensa
16. Anamnesis a. Keluhan utama : penglihatan kabur perlahan-
lahan, lihat jauh/dekat
b. Riwayat penyakit sekarang :
- Silau pada siang hari atau kena sinar lampu
mobil
- Jalan menabrak-nabrak
- Pakai alat bantu baca
c. Riwayat penyakit dahulu :
- Penyakit mata merah
- Hipertensi, diabetes
- Trauma mata
- Riwayat pemakaian obat sistemik dan obat
topikal
17. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik (status generalis)
4. Kesadaran
5. Tensi, nadi, pernafasan
6. Kelainan fisik
Pemeriksaan oftalmologis
8. Tajam penglihatan
9. Tekanan bola mata
10. Kelainan kornea
11. Keadaan iris
12. Refleks pupil
13. Kejernihan lensa/Shadow tes
14. Letak lensa normal/luksasi/subluksasi
15. Keadaan vitreus
16. Papil N II, c/d ratio
17. Retina, refleks makula
18. Kriteria Diagnosis  Anamnesa
Pasien mengeluhkan penglihatan menurun,
penglihatan seperti berkabut, silau saat melihat
cahaya terang seperti sorot lampu kendaraan,
matahari
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan oftalmologis
Kekeruhan lensa berdasarkan klasifikasi Buratto,
yaitu:
Buratto grade I :
Umur < 50 tahun
Visus < 6/12
Nukleus lunak
Lensa tampak sedikit keruh dengan warna agak
keputihan
Reflex fundus +
Buratto grade II :
Visus 6/12 – 6/30
Nukleus kekerasan ringan, tampak sedikit mulai
berwarna kekuningan
Gambaran seperti katarak subcapsular posterior
Reflex fundus +
Buratto grade III :
Visus 6/30 – 3/60
Nukleus kekerasan medium, tampak berwarna
kekuningan
Korteks abu-abu
Buratto grade IV :
Umur > 65 tahun
Visus 3/60 – 1/60
Nukleus keras kuning kecoklatan
Reflex fundus -
Buratto grade V :
Umur > 65 tahun
Visus < 1/60
Nukleus sangat keras, warna kecoklatan sampai
kehitaman (Brunescent Cataract atau Black
Cataract)
 Pemeriksaan penunjang
19. Diagnosis Kerja Katarak Buratto grade I/II/III/IV/V OD atau OS
20. Diagnosis Banding  Glaukoma kronis
 Degenerasi /distrofi kornea
 Retinopati
 Neuritis optik/papil atrofi
21. Pemeriksaan 4. USG
Penunjang 5. Keratometri
6. Retinometri
7. Biometri
8. Tes anel
9. Laboratorium sesuai kebutuhan
22. Terapi Penderita dirawat/tidak dirawat sesuai kebutuhan
A. Teknik operasi
1. Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsuler
2. Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsuler + IOL
3. Fakoemulsifikasi + IOL
B. Anestesi
1. Topikal : Tetrakain 0.5 % tetes mata,
lidocain tetes
2. Peribulber : Lidokain inj.: Markain inj. =
1:1
3. Retrobulber : idem
4. Umum
C. Pengobatan pasca bedah
1. Antibiotik subkonjungtiva injeksi + steroid
bila perlu
2. Antibiotik topikal + steroid tetes mata
3. Tutup mata pelindung
23. Edukasi KIE terjadinya komplikasi post operasi katarak,
yaitu :
1. Endoftalmitis
2. Edema kornea
3. Distorsi atau terbukanya luka operasi
4. COA dangkal
5. Glaukoma
6. Uveitis
7. Dislokasi IOL
8. Perdarahan segmen anterior/posterior
9. Ablasio retina
10. Cystoid macular edema
11. Sisa massa lensa
12. Ruptur kapsul posterior
13. Prolaps vitreus
14. Astigmatisme kornea
24. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
25. Tingkat Evidens I
26. Tingkat A
Rekomendasi
27. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
28. Indikator Medis Pemeriksaan oftalmologis
29. Kepustakaan 6. American Academy of Ophthalmology Staff,
Basic and Clinical Science and Course, Section
11 : Lens and Cataract, Singapore, AAO, 2012.
7. American Academy of Ophthalmology Staff,
Basic and Clinical Science and Course, Section 4 :
External Disease and Cornea, Singapore, AAO,
2012.
8. Kanski Jack J, Clinical Ophthalmology: A
Systematic Approach, China: Elsevier Inc, 2007.
9. Steinert, Roger F, et all, Cataract Surgery :
Technique Complications Management, 2nd Ed,
USA, Elsevier Science, 2004.
10. Kurana AK, Comprehensive Ophthalmology,
4th ed, India: New Age International (P) Limited
Pub, 2007.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE

SAMARINDA

Katarak Kongenital

1. Pengertian Kekeruhan pada lensa yang terjadi sebelum perkembangan refleks fiksasi
( Definisi) (sebelum usia < 6 bulan), dapat bilateral maupun unilateral.

2. Anamnesis 1. Onset terjadinya


2. Riwayat Kehamilan
3. Riwayat Kelahiran
4. Riwayat Keluarga
5. Riwayat mata kucing

3. Pemeriksaan fisik 1. Tes red refleks


2. Slit lamp: lensa keruh
3. Funduskopi
4. USG

4. Kriteria diagnosis 1. Leukokoria, Kekeruhan pada lensa yang tampak


sebelum usia < 6 bulan.

5. Diagnosis Kerja Katarak Kongenital


6. Diagnosis Banding 1. Retinoblastoma
2. ROP
3. PHPV (persistent hiperplastic primary vitreus)

7. Pemeriksaan 1. Uji TORCH


Penunjang 2. Uji VDRL
3. Darah Lengkap
4. Pemeriksaan kalsium, fosfor, galaktokinase sel darah merah
8. Terapi 1. ECCE dengan IOL
2. ECCE tanpa IOL
9. Edukasi 2. KIE Komplikasi dapat terjadi strabismus dan atau amblyopia
3. KIE prognosis dan penyakit
10. Prognosis  Ad vitam : dubia
 Ad sanationam : dubia
 Ad fungsionam : dubia
11. Tingkat Evidens I / II / III / IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophtalmology Staff, Basic and Clinical
Science and Course: Pediatric Ophtalmology and Strabismus,
AAO,2011-2012
2. Kanski Jack J, Clinical Ophtalmology : A Systemic Approach,
China : Elsevier Inc,2010
V. UVEA
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

UVEITIS ANTERIOR
1. Pengertian (Definisi) Radang pada jaringan iris (iritis), bagian anterior badan
siliar (siklitis anterior) atau kedua struktur (iridosiklitis).
2. Anamnesis a. Mata merah
b. Nyeri
c. Fotofobia (silau bila terkena cahaya)
d. Mata berair (nrocoh)
e. Penglihatan kabur
3. Pemeriksaan Fisik a. Kelopak mata spasme atau disertai edema ringan
b. Hiperemi konjunctiva
c. Hiperemi perikorneal, yaitu dilatasi pembuluh darah
siliar sekitar limbus.
d. Keratik presipitat (KPs) yaitu fine KPs dan stellate
ditemukan pada uveitis bagian inferior. Macam KPs
yaitu fine KPs dan stellate ditemukan pada uveitus
non granulomatous, sedangkan bentuk mutton fat
dan polymorphous terdapat pada uveitis
granulomatous.
e. Bilik mata depan keruh (flare) disebabkan tingginya
kadar albumin dalam aqueous, disertai adanya
fibrin/membran.
f. Iris edema dan warna menjadi pucat, pada uveitis
granulomatous bisa didapatkan nodul pada tepi
pupil (Koeppe’s nodule), di anterior stroma iris
(Busaca’s nodule), pada iris angle (Berlin nodule),
atrofi iris pada iridosiklitis kronik disebabkan
iskemia, perubahan warna (heterokromia)
g. Sinekia, baik anterior maupun posterior, sinekia
hingga mencapai 360 (seklusio pupil)
h. Pupil miosis disebabkan spasme refleks spinchter
atau distensi pembuluh darah iris, bentuk irreguler,
reflek lambat sampai negatif.
i. Pada kondisi lanjut dapat terjadi hifema, hipopion,
dan neovaskularisasi pada stroma iris atau pada
sudut COA yang dapat menyebabkan terjadinya
glaukoma neuvaskular.
j. Anterior chamber cells merupakan tanda awal
inflamasi aktif.
4. Kriteria Diagnosis Anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Uveitis Anterior
6. Diagnosis Banding 9. Keratouveitis: didapatkan infiltrat pada kornea
10. Sclerouveitis: uveitis sekunder akibat skleritis,
disertai nyeri hebat
11. Drug-induced uveitis: rifabutin, cidofovir, sulfonamid,
pamidronate
12. Uveitis intermediate dengan spillover ke BMD:
disertai floaters yang signifikan dan pada
pemeriksaan funduskopi didapatkan gambaran
uveitis intermediate
13. Posner-Schlossman syndrome: episode
peningkatan TIO berulang dengan inflamasi minimal
14. Tumor intraokuli: retinoblastoma, limfoma intraokuli,
metastase

7. Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang pada mata:


Penunjang a. USG B-scan pada pasien dengan seklusio pupil
untuk menilai segmen posterior.
b. Anterior chamber paracentesis untuk mengetahui
penyebab secara pasti bila fasilitas PCR
(Polymerase Chain Reaction) tersedia.
c. OCT (Ocular Coherence Tomography) untuk menilai
komplikasi CME (Cystoid Macular Edema)

Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan pada kasus:


1. Penderita dengan serangan uveitis pertama kali
dengan derajat ringan, unilateral, nongranulomatous
dengan riwayat dan pemeriksaan yang tidak
mengarah pada penyakit sistemik
2. Uveitis dengan penyebab sistemik yang sudah
terdiagnosa (seperti sarcoidosis) atau akibat
penggunaan obat-obatan
3. Tanda klinis yang khas pada penyakit tertentu
(misalnya herpetic keratouveitis).

Pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap


pengobatan non spesifik, kasus yang rekurens (berulang),
berat, bilateral atau granulomatous, dilakukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut:
1. Pemeriksaan penunjang inti: darah lengkap, ESR,
foto rontgen thoraks PA untuk menyingkirkan
kemungkinan tuberkulosis dan sarkoidosis
2. Profil sifilis: VDRL, FTA-ABS
3. Mantoux test, PPD (positive protein derivate of
tuberculin)
4. Pada kasus dengan arthritis penderita muda,
dilakukan tes ANA
5. Pemeriksaan HLA-B27 untuk mencari penyebab
autoimun bila fasilitas tersedia.

Konsultasi untuk mencari kemungkinan adanya penyakit


sistemik.
i. Penyakit dalam: diabetes mellitus,
rheumatik, dll.
ii. Penyakit paru: tuberkulosis.
iii. THT: sinusitis, dll.
iv. Gigi: abses atau karies gigi.

4. Terapi 1. Steroid topikal


- Prednisolone acetate 1% (4 kali 1 tetes, hingga
tiap jam per hari) tergantung dari derajat
keparahannya. Tappering steroid topikal pada
pemberian lebih dari 4-6 minggu dilakukan
berdasarkan respon terhadap pengobatan.
2. Sikloplegik  menyebabkan paresis musculus
siliaris dari iris, menjaga pupil tetap mobie sehingga
mencegah pembentukan sinekia.
- Sulfas atropin 1% sehari 3 kali tetes jika baru
terdapat sinekia posterior untuk melepaskan
sinekia.
3. Apabila tidak ada perbaikan dengan pemberian
topikal steroid secara maksimal, atau bila uveitis
bilateral dan berat, pikirkan untuk pemberian steroid
sistemik dosis antiinflamasi (metilprednisolon oral
3x8 mg) atau dosis imunosupresif
(prednisone/metilprednisolon oral 1-2mg/kgBB/hari,
di tappering setiap 1-2 minggu). Apabila
penggunaan terapi kortikosteroid diperlukan lebih
dari 3 bulan, dapat dipikirkan pemberian agen
imunomodulator
4. Non steroid anti inflamatory drug
- indomethacin
- flubiprofen
- diclofenac sodium
Penggunaan NSAID secara tunggal belum diketahui
pasti manfaatnya dalam pengobatan inflamasi
intraokular akut.
5. Immunosuppresive agents
Digunakan pada kasus resisten steroid sebagai
streoid-sparing agents. Biasanya tidak digunakan
pada uveitis anterior akut kecuali pada beberapa
kasus seperti JIA – associated iridocyclitis dan
Behcet’s disease
- methotrexate: diberikan dengan dosis
mingguan, biasanya dimulai dengan 7.5-10.0
mg/minggu dan secara perlahan dinaikkan
menjadi dosis maintenance 15-25 mg/minggu
 drug of choice pada anak-anak.
- Azathioprine: dosis 2 mg/kg/hari
6. Bila terdapat komplikasi glaukoma sekunder
diberikan obat-obatan antiglaukoma, seperti Timolol
0,5% jika tidak ada kontraindikasi, namun tidak
boleh diberikan pilokarpin dan golongan
prostaglandin analog.
7. Konsultasi dan koordinasi pengobatan dengan
Rheumatologis/Internist mungkin diperlukan pada
pasien dengan gangguan sistemik.

Pengobatan komplikasi:
1. Ekstraksi katarak bila terjadi katarak komplikata
dimana uneitis harus dalam keadaan tenang (uveitis
sanata) tanpa pengobatan selama 3 bulan.
2. Uveitic glaukoma
- terapi dengan antiglaukoma topikal atau sistemik
- jika terapi dengan medikasi antiglaukoma tidak
dapat mengontrol TIO dan telah terdapat kerusakan
nervus optikus atau lapang pandangan maka
diperlukan intervensi pembedahan
3. Cystoid macular edema
- NSAIDs topikal
- Injeksi steroid subtenon posterior
- Injeksi steroid intrevitreal pada CME kronik
3. Edukasi 4. KIE kemungkinan penyebab dari penyakit lain.
5. KIE pemakaian obat secara teratur.
6. KIE penyakit tidak mengncam penglihatan.
4. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
5. Tingkat Evidens I/II/III/IV
6. Tingkat Rekomendasi
7. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
8. Indikator Medis 1. Perbaikan visus
2. Keluhan mata merah berkurang
9. Kepustakaan 5. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 9.
Intraocular Inflammation and Uveitis. American
Academy of Ophthalmology. 2011-2012. Pg 78-79,
118-132
6. Kanski, J. Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach. Seventh Edition. Elsevier Saunders.
2011. Pg 401-410
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

UVEITIS INTERMEDIATE

1. Pengertian (Definisi) Radang uvea bagian tengah (intermediate) yang meliputi


vitreous anterior, badan siliar (cilliary body), dan retina
perifer.
Penyebab pasti dari radang uvea bagian intermediate ini
belum dapat dipastikan.
Menurut Standardization of Uveitis Nomenclature (SUN)
working group’s uveitis intermediate berhubungan dengan
penyakit infeksi (misal Lyme disease) atau penyakit sistemik
(misal sarcoidosis).
Pars planitis merupakan subset dari uveitis intermediate
dimana terdapat snow bank atau snowball formation yang
tanpa disertai adanya penyakit infeksi atau penyakit
sistemik.

2. Anamnesis - Penurunan penglihatan tanpa rasa nyeri


- Floaters
3. Pemeriksaan Fisik - Segmen anterior biasanya tenang atau minimal
(KP’s atau flare cell minimal)
- Sinekia posterior dapat terjadi atau tidak
- Vitritis merupakan gambaran khas pada uveitis
intermediate (kekeruhan vitreous dari trace ke 4+)
- Vitreous snowball
- Snowbank’s formation
- Perubahan retina (misal tortuositi arteri dan vena,
sheating vena perifer, neovaskularisasi dan retinal
detachment)

4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang


5. Diagnosis Kerja Uveitis Intermediate
6. Diagnosis Banding - Multiple sclerosis
- Sarcoidosis
- Intraokular limfoma
- Sifilis
- Tuberkulosis

7. Pemeriksaan - Pemeriksaan penunjang:


Penunjang 1. FFA: dapat menunjukkan adanya CME dan
perivaskulitis
2. USG: dapat menunjukkan kekeruhan vitreus,
retinal detachment
3. OCT: dapat menunjukkan CME
4. UBM (Ultrasound Biomicroscopy): dapat
menunjukkan cyclitic membrane
- Pemeriksaan laboratorium:
Untuk mendiagnosis kelainan sistemik. Tes yang
dilakukan tergantung pada kecurigaan kita.
1. Tes darah: darah lengkap, LED
2. Serum ACE, lysozime, kalsium, inorganic
phosphorus sarcoidosis, lyme disease
3. Foto thoraks PA / HRCT chest  TB,
sarcoidosis
4. Mantoux tes / quantiferon TB gold
5. MRI otak  multiple sclerosis

8. Terapi  Observasi : - bila kasus ringan


- visus 6/12
- tidak ada CME
 Terapi : - pada kasus yang sedang sampai berat
- dengan CME
o Menggunakan Modified Four-Step Kaplan
Approach
 Langkah 1: Injeksi posterior subtenon
dengan kortikosteroid ( Triamcinolone
acetonide 40 mg) dapat diulang setiap empat
minggu, tiga sampai empat kali.
 Langkah 2 : Bila terapi local tidak efektif atau
terdapat gejala yang berat pada kedua mata
maka diperlukan oral kortikosteroid
(Prednisolon 1-1,5 mg/kgBB/hari)
 Langkah 3 : Sistemik imunomodulator ,
diindikasikan pada bilateral disease, atau bila
dengan kortikosteroid gagal, atau
kontraindikasi kortikosteroid (dengan
azathioprine, methotrexate, mycophenolate
mofetil)
 Langkah 4 : dengan Cryotherapy atau
Vitrectomy bila terapi oral gagal atau terjadi
rekurensi inflamasi saat penggunaan
kortikosteroid

9. Edukasi a. KIE untuk evaluasi rutin.


b. KIE pemakaian obat dosis tinggi harus dalam
pantauan dokter
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan 7. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 9.
Intraocular Inflammation and Uveitis. American
Academy of Ophthalmology. 2011-2012. Pg 79-82,
118-132
8. Kanski, J. Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach. Seventh Edition. Elsevier Saunders.
2011. Pg 413-421
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

UVEITIS POSTERIOR
1. Pengertian (Definisi) Radang uvea bagian posterior yang biasanya disertai
dengan keradangan jaringan disekitarnya, dengan lokasi
primer infeksi terdapat pada retina dan choroid. Dapat
berupa: fokal, multifokal atau difus choroiditis; chorioretinitis;
retinochoroiditis; retinitis; neuroretinitis.
Radang uvea bagian posterior ini dapat berdiri sendiri,
tetapi dapat bersamaan dengan uveitis anterior dan
intermediate yang sering disebut sebagai panuveitis.

Berdasarkan etiologi, uveitis posterior dibagi menjadi


infeksiosa dan non infeksiosa
1. Infeksiosa
- Toxoplasmosis
- Toxocariasis
- Tuberculosis (TB)
- Syphilis
- Bartonella
- Viral (herpes simplek, V.Zooster, CMV, HIV)
2. Non-infeksiosa
- Acute posterior multifocal placoid pigment
epitheliopathy (APMPPE)
- Multiple evanescent white dot syndrome
(MEWDS)
- Geographic helicoid peripapillary choroidopathy
(GHPC)
- Multifocal Choroiditis (MFC)
- Punctate inner choroidopathy (PIC)
- Birdshot choroidopathy
- Sarcoidosis
2. Anamnesis - Kabur tanpa rasa nyeri
- Hilangnya penglihatan yang cukup signifikan
- Penurunan penglihatan tanpa rasa nyeri
- Floaters
- Fotopsia
- Metamorfopsia
- Skotoma
- Nyctalopia, atau kombinasi dari gejala-gejala di
atas.
Riwayat:
- kontak dengan hewan peliharaan (toxoplasma,
toxocara)
- Ulserasi oral dan genital (penyakit Behcet)
- Demam, penurunan berat badan, batuk (TBC)
- Riwayat seks bebas tanpa pelindung
- Kondisi imunosupresif (pengguna obat-obatan
seperti kortikosteroid, obat imunosupresif lain) dan
transplantasi organ
- Riwayat penyakit sistemik (diabetes, hipertensi)

3. Pemeriksaan Fisik Pada dilated fundus examination :


- Sel-sel radang (infiltrat) pada retina dan choroid
- Inflammatory sheathing pada arteri dan vena
- Perivascular inflammatory cuffing
- Hipertrofi atau atrofi Retina Pigmen Epithelial (RPE)
- Atrofi atau edema retina, choroid atau papil nervus
optikus
- Fibrosis pre atau subretina
- Exudative, tractional atau rhegmatogenous retinal
detachment
- Neovaskularisasi pada retina atau choroid
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Uveitis Posterior
6. Diagnosis Banding - Panuveitis
- Uveitis/endoftalmitis post operatif atau post trauma
- Masquerade syndromes
7. Pemeriksaan a. Foto fundus
Penunjang b. FFA: dapat menunjukkan adanya CME, koroiditis,
serous retinal detachment, dan neovaskularisasi
koroid
c. USG: dapat menunjukkan kekeruhan vitreus,
ketebalan koroid, retinal detachment
d. OCT: dapat menunjukkan adanya CME,
neovaskularisasi koroid
e. Pemeriksaan laboratorium: untuk mendiagnosis
underlying disease spesifik, dilakukan tergantung
pada kecurigaan kita. Full blood counts, ESR
(Erythrocyte sedimentation rate), kultur darah, tes
reumatologik (ANA, rheumatoid factor), serum
angiotensin converting enzyme, serologi penyakit
infeksius (profil Syphillis, TORCH, Tuberculosis),
HLA typing, untuk melihat faktor genetik (HLA-B27,
HLA-B29 (birdshot chorioretinopathy), HLA-B51
(Behcet), urine lengkap)
f. Foto thoraks PA
g. Mantoux test
h. MRI

8. Terapi  Sikloplegia dan kortikosteroid topikal seperti


pemberian pada uveitis anterior
 Periokuler  Posterior subtenon steroid: jika
didapatkan lesi yang melibatkan makula
- Long acting: Methylprednisolone acetat (40-80
mg) atau Triamcinolone acetonic 40 mg.
- Short acting: Betamethasone 4 mg/cc/hari atau
Dexamethasone 4 mg/cc/hari
 Sistemik:
Kortikosteroid  Prednisone dosis awal 1-2
mg/kgBB diturunkan bertahap bila sudah ada
respons. Atau pada kasus berat, diberikan steroid
intravena dosis tinggi (high pulse)
methylprednisolone (1 gr/hari, intravena selama 1
jam), dilanjutkan pemberian prednison oral 1-1,5
mg/kgBB/hari.
 Pada infeksius uveitis: terapi antimikrobial spesifik
kausatif pemberian steroid diberikan setelah  48-72
jam pemberian antibiotik.
 Agen Imunomodulator  diberikan dengan indikasi:
- Inflamasi intraokuler yang mengancam
penglihatan
- Proses perjalanan penyakit yang reversibel
- Respon yang inadekuat terhadap terapi
kortikosteroid
- Kontraindikasi terhadap pemberian
kortokosteroid akibat kondisi sistemik atau efek
samping yang tidak dapat ditoleransi.
1. Methotrexate: dimulai dosis oral 7,5-10,0
mg/minggu, secara bertahap dinaikkan
sampai dosis maintenance 15-20
mg/minggu. Tambahkan suplemen asam
folat 1 mg/hari diperlukan. Evaluasi: LFT.
2. Azathioprine: 1-3 mg/kgBB/hari per oral
(dosis maksimal: 2,5-4 mg/kgBB/hari).
Evaluasi: DL, diff count, LFT.
3. MMF: 1-3 g/hari per oral: 2x1000 mg (1 bulan
I)  2x500 mg (bulan berikutnya). Evaluasi:
DL, diff count, LFT, RFT, SE.
4. Cyclosporin: 2,5-5 mg/kgBB/hari (dosis awal
2,5 mg/kgBB/hari), evaluasi: TD, LFT, RFT.

9. Edukasi a. KIE kemungkinan komplikasi yang mungkin dapat


terjadi:
- Glaukoma sekunder
- Katarak komplikata
- Perdarahan vitreus
- Edema makula cystoid
- Retinal detachment
- Oklusi Vaskular
- CNVM
- Optik atrofi
b. KIE prognosis visus
c. KIE pengobatan penyakit sistemik penyebab
panuveitis
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology Staff.
Basic and Clinical Science and Course.
Section 9. Intraocular Inflammation and
Uveitis. American Academy of
Ophthalmology. 2011-2012. Pg 82,140-171.
b. Kanski, J. Clinical Ophthalmology A
Systematic Approach. Seventh Edition.
Elsevier Saunders. 2011. Pg 415-422

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

PANUVEITIS
1. Pengertian (Definisi) Radang pada semua bagian uvea yaitu iris, badan siliar dan
koroid.
IUSG (International Uveitis Study Group) 2008
mengklasifikasikan menjadi: infeksiosa, non-infeksiosa, dan
masquerade.
2. Anamnesis a. Dimness vision
b. Nyeri, kemerahan, dan fotofobia
c. Sympathetic ophthalmia (penetrating trauma,
intreaocular surgery)
d. Vogt-Koyanagi-Harada’s disease (headace,
meningism, hearing loss, alopecia, vitiligo, poliosis)
e. Sarchoidosis (erythema nodusum, limfadenopati,
gangguan respirasi)
f. Behcet’s disease (oral, genital ulcer)
3. Pemeriksaan Fisik a. KP’s
b. Aqueous flare, cells
c. Iris nodul
d. Sinekia
e. Vitreous cells
f. Optic nerve (papillitis, papiloedema)
g. Secondary retinal detachment
h. Retinal, choroidal, retinochoroidal lesion
i. Dalen Fuch’s nodule (sympathetic
ophthalmia)
j. Retinal vasculitis (Behcet’s disease,
sarcoidosis)
k. Sunset glow fundus (VKH disease)
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Panuveitis
6. Diagnosis Banding a. Endogenous endophthalmitis (riwayat infus intravena,
kondisi imunocompromised, AIDS)
b. Masquerade syndrome (usia tua)
7. Pemeriksaan a. Ultrasound Biomicroscopy (UBM)  menilai badan
Penunjang siliar
b. FFA  dapat menunjukkan adanya CME, koroiditis,
serous retinal detachment, dan neovaskularisasi
koroid)
c. USG  dapat menunjukkan kekeruhan vitreous,
retinal detachment, ketebalan koroid (VKH dan
sympathetic ophthalmia)
d. Indocyanine green angiography (ICGA)  dapat
menunjukkan koroidal vaskulitis pada uveitis
posterior.
e. OCT (Ocular Coherence Tomography)
f. Pemeriksaan laboratorium: untuk mendiagnosis
underlying disease spesifik, dilakukan tergantung
pada kecurigaan kita.
i. Full blood counts
ii. ESR (Erythrocyte sedimentation rate)
iii. Kultur darah
iv. Tes reumatologik (ANA  juvenile rheumatoid
arthritis, rheumatoid factor, anti neuthrophil
cytoplasmic antibody (Vaskulitis))
v. Serum angiotensin converting enzyme 
sarcoidosis
vi. Serologi penyakit infeksius (profil Syphilis (VDRL-
TPHA), Ab anti-TORCH, Tuberculosis)
8. Terapi a. Jika etiologinya adalah agen infeksius  dengan
antimicrobial spesiik (antibiotik, antiparasit atau
antiviral)
b. Terapi utama pada uveitis non-infeksiosa 
antiinflamasi
c. Kortikosteroid:
 Topikal: pada beberapa kasus dibutuhkan steroid
topical yang sering dan mydriatic-cyclopegic agent
(Prednisolone acetate ed/ 1 jam)
 Depot steroid periokular:
- Long acting: Methylprednisolone acetate (40-80
mg) atau Triamcinolone acetonic 40 mg.
- Short acting: Betamethasone 4 mg/cc/hari atau
Dexamethasone 4 mg/cc/hari.
 Sistemik
i. diperlukan tergantung derajat keparahan
penyakit  prednisone oral mulai dosis
1mg/kgBB/hari
ii. saat inflamasi berkurang  tapering 5-10
mg/minggu  2-4 minggu
iii. saat mata telah tenang  dosis dipertahankan
2,5-10 mg/hari
iv. dosis rendah kortikosteroid dalam waktu lama
diperlukan sebagai maintenance therapy 
VKH & SO
v. kasus vision threatening inflammation: I.V.
metilpredinisolon 1 gr/hari dosis tinggi (high
pulse) selama 3 hari, dilanjutkan prednisone
oral 1-5 mg/kgBB/hari.
d. Terapi suportif: siklopegik  atropine digunakan pada
serangan akut, homatropin untuk mempertahankan
dilatasi pupil.
e. Agen imunosupresif  diberikan dengan indikasi :
i. Panuveitis berat dengan inflamasi intreokuler
yang mengancam penglihatan
ii. Proses perjalanan penykit yang reversible
iii. Respon yang inadekuat terhadap terapi
kortikosteroid
iv. Kontraindikasi terhadap pemberian
kortikosteroid akibat kondisi sistemik atau efek
samping yang tidak dapat ditoleransi.
Golongan:
v. Antimetabolit: azathioprine, methotrexate,
mycophenolate mofetil
vi. T-cell inhibitor: cyclosporine dan
tacrolimus
vii. Alkylating agents: cyclosphosphamide
dan chlorambucil
(1) Methotrexate: dimulai dosis oral 7,5-
10,0 mg/minggu, secara bertahap
dinaikkan sampai dosis maintenance
15-20 mg/minggu. Tambahkan
suplemen asam folat 1 mg/hari
diperlukan. Evaluasi: LFT.
(2) Azathioprine: 1-3 mg/kgBB/hari per oral
(dosis maksimal: 2,5-4 mg/kgBB/hari).
Evaluasi: DL, diff count, LFT.
(3) MMF: 1-3 gr/hari per oral: 2x1000 mg
(1 bulan I)  2x500 mg (bulan
berikutnya). Evaluasi: DL, diff count,
LFT, RFT, SE.
(4) Cyclosporin: 2,5-5 mg/kgBB/hari (dosis
awal 2,5 mg/kgBB/hari). Evaluasi: TD,
LFT, RFT.
viii. Pada Behcet disease, agen
imunosupresif (cyclosporine,
azathioprine) lebih dianjurkan
daripada steroid oral.
ix. Pada VKH dan SO dibutuhkan
pemberian steroid sistemik dengan
tapered dose atau agen
imunosupresif minimal selama 9
bulan, bahkan 1 tahun atau lebih.

9. Edukasi a. KIE prognosis visus baik jika pengobatan dimulai


secara dini dan dosis memadai.
b. KIE untuk evaluasi berkala, karena rekuren cukup
tinggi.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 9.
Intraocular Inflammation and Uveitis. American
Academy of Ophthalmology. 2011-2012. Pg 82-83,
172-196
b. Kanski, J. Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach. Seventh Edition. Elsevier Saunders. 2011.
Pg 422-436
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

ENDOFTALMITIS
1. Pengertian (Definisi) Endoftalmitis adalah keradangan dalam bola mata, terutama
pada badan kaca dan bilik mata depan.

KLASIFIKASI DAN ANGKA KEJADIAN


Endoftalmitis infeksius:
1. post operasi (0,07-0,12%)
2. post trauma (2,4-8,0%),
3. post operasi dengan bleb (0,2-9,6%)

2. Anamnesis Penurunan penglihatan mendadak disertai nyeri hebat. Mata


merah, bisa disertai keluarnya kotoran mata. Terdapat riwayat
operasi mata, trauma, atau infeksi sistemik.
3. Pemeriksaan Fisik Secara umum:
l. Visus menurun
2. Edema palpebra
3. Konjungtiva: hiperemia, kemosis
4. Kornea: edema, melting
5. Bilik mata depan : hipopion, fibrin, reaksi keradangan hebat
6. Vitreus: keruh, sel (+)
7.Dapat disertai peningkatan TIO

Karakteristik klinis berdasarkan klasifikasi:


1. Endoftalmitis tipe ringan (lambat)
- Nyeri ringan
- Visus >3/60
- Biasanya terjadi hari ke - 14 post operasi
- Kultur sering positif mengandung Staphylococcus
epidermidis, bila negatif harus waspada: infeksi lain,
bahan racun atau iritasi

2. Endoftalmitis akut tipe berat (cepat)


- 1-4 hari post operasi
- Visus < 3/60
- Nyeri (keluhan jelas)
- Kuman penyebab : Staphylococcus aureus, gram (-)
Serratia, Proteus, Pseudomonas

3. Endoftalmitis kronis
- Onset dan tanda-tanda sangat bervariasi
- Visus baik
- Nyeri minimal
- Hipopion sangat jarang
- Kuman penyebab yang tersering:
 6 minggu post op : P.acnes (radang
nongranulomatous)
 3 bulan post op: Candida albicans
 3 bulan-2 tahun post op : P. Acnes dengan tanda-
tanda radang granulomatous, KP dan hipopion
ringan.
- Dapat juga oleh karena tindakan Nd.Yag laser
kapsulotomi
4. Endoftalmitis endogen
- Disebabkan karena septikemia: misalnya pada penyakit
kronis, penyakit imunosupresif dll.
- bersifat akut
- nyeri
- visus menurun
- terdapat hipopion
- vitritis
- kadang-kadang terjadi bersamaan pada kedua mata
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Endoftalmitis
6. Diagnosis Banding Uveitis kronik post operatif

7. Pemeriksaan - USG
Penunjang - Gram dan kultur dari sampel aqueous dan/vitreus
- Kultur darah pada endoftalmitis endogen

8. Terapi  MRS
 Injeksi intravitreal antibiotika (Vancomycin/Ceftazidime)
dan aqueous/vitreus tap untuk pemeriksaan gram, kultur
dan sensitivitas antibiotika.
 Antibiotika intravena (Ciprofloxacin 2x200
mg) selama 5 hari
 Kortikosteroid sistemik (Prednison 1-1.5
mg/kgBB/hari) dosis diturunkan bertahap tiap minggu
 Ranitidin 2x150 mg selama pemberian
prednison ≥ 10mg/hr
 Kalsium 2x1 tab selama pemberian
prednison ≥ 10mg/hr
 Antibiotika topikal per jam:
- Gol. Amino glikosida fortified (Dibekacin /
Tobramycin / Gentamycin), atau
- Gol. Quinolon monoteraphy
 Steroid topikal (dexametason/prednisolon
asetat/ betametason) tiap jam bila kornea intak
 Sulfas atropin 1 % 3x1 tts/hari
 Articial tears topikal tiap jam
 Dirujuk untuk vitrektomi posterior bila visus <1/300 (akut
post operatif)
Sensitivitas antibiotika:
 Gram(+)  Vancomycine
 Gram(-)  Aminoglikosida: Gentamycine, tobramycine,
amikacin (ketiga obat ini toksik untuk retina),
Sefalosporin, Flouroquinolon oral dikenal mempunyai
penetrasi yang baik intra-okuler, dan mempunyai
potensi yang baik untuk bakteri (kecuali untuk
Streptococcus dan bakteri gram (+) hanya mempunyai
potensi terbatas ).

Medications Used in Exogenous Endophthalmitis


Topical Subconjunc Intravitreal Systemic
tival
Antibiotic
Gentamycin 9 mg/mL 20 mg/0,5 0,1 mg/mL 1 mg/kg IV
mL q8hr
Vancomycin 50 mg/mL 25 mg/0,5 1 mg/0,1 mL 1 g IV
mL q12hr
Amikacin - - 0,4 mg/0,1 mL -
Clindamycin - - 1 mg/0,1 mL -
Chloramphen - - 1 mg/0,1 mL -
icol
Ceftazidime - 50 mg/0,5 2-2,25 mg/0,1 1-2 q IV
mL mL q8hr
Levoquin - - - 400 mg PO
daily
Antifungal
Amphotericin - - 5µg/0,1 mL Up to 1
B mg/kg IV
daily
Voriconazole - - 0.05-0,1 200 mg PO
mg/0,1 mL bid
Ketoconazole - - - 400 mg PO
daily
Fluconazole - - - 200 mg PO
daily
Itraconazole - - - 100-200
mg PO
daily
Corticosteroi
ds
Prednisone Every 1-2 - - -
acetate 1% hours
drops
Dexamethas Every 1-2 - - -
one 0,1% hours
drops
Dexamethas - 0,5 mL (2 0,1 mL (0,4 -
one Injection mg) mg)
4 mg/mL
Prednisone - - - 0,5-1
tablets mg/kg/day
PO
9. Edukasi 5. KIE prognosis visus
6. KIE prognosis penyakit
7. KIE kemungkinan tindakan selanjutnya
8. KIE untuk menjaga mata yang sehat
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad visam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis Inflamasi intraokuli mereda setelah 5 hari perawatan
15. Kepustakaan 7. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic and
Clinical Science and Course. Section 8. External Eye
Disease. American Academy of Ophthalmology. 2010 –
2011. Pg 269-280
8. Kanski, J. Clinical Ophthalmology A Systematic
Approach. Sixth Edition. Elsevier Saunders. 2007. Pg
262-269

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

PANOFTHALMITIS
1. Pengertian (Definisi) Peradangan supuratif seluruh bola mata termasuk sklera
dan kapsul Tenon sehingga bola mata merupakan rongga
abses. Infeksi kedalam bola mata dapat melalui peredaran
darah (endogen) atau perforasi bola mata (eksogen), dan
akibat tukak kornea perforasi.

FAKTOR RESIKO
Beberapa hal yang dapat dapat menyebabkan panoftalmitis
adalah masuknya organisme piogenik kedalam mata
melalui luka kornea, akibat operasi atau mengikuti perforasi
suatu ulkus kornea. Sebagian kecil, kemungkinan akibat
metastasis alamiah dan terjadi dalam kondisi seperti
piaemia, meningitis atau septikemia purpural.

ORGANISME PENYEBAB
 Bakteri
Pneumococcus adalah organisme yang paling
sering menyebabkan panoftalmitis, Streptococcus,
Staphylococcus dan E.coli,
 Jamur
Candida albicans, Histoplasma, Cryptococcus, dll,
 Parasit
Toxoplasma gondii, Toxocara canis, dll,
 Virus
CytoMegaloVirus, Human Immunodeficiency Virus,
dl.

2. Anamnesis  Demam, sakit kepala, mual dan muntah


 Penurunan tajam penglihatan
 Sekret purulen
 Rasa nyeri
 Kelopak mata bengkak atau edema
 Mata berair
3. Pemeriksaan Fisik a. Visus menurun
b. Edema palpebra
c. Konjungtiva: hiperemia dengan injeksi siliar hebat
dan kemosis
d. Kornea: keruh, melting
e. Bilik mata depan : hipopion, fibrin, reaksi
keradangan hebat
f. Pupil mengecil dan menetap
g. Vitreus: keruh, sel (+)
h. Dapat disertai peningkatan TIO
i. Proptosis derajat sedang
j. Hambatan gerakan bola mata dan nyeri
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Panoftalmitis
6. Diagnosis Banding - Endoftalmitis

7. Pemeriksaan - USG
Penunjang - Gram dan kultur dari sampel pus
- Kultur darah (atas indikasi)
- Laboratorium (darah lengkap)

8. Terapi  MRS
 Antibiotika topikal fortified/jam (vancomycin,
tobramycin, dibekacin, gentamycin)
 Steroid topikal/jam
 Sulfas atropin 1% ed 3x1 tetes
 Antibiotika oral (golongan fluoroquinolon, misalnya
ciprofloksasin 2x750mg)
 Boleh dipertimbangkan pemberian antibiotika
intravena (golongan fluoroquinolon)
 Steroid sistemik dosis imunosupresan bila tidak ada
kontraindikasi
 Bila terjadi peningkatan TIO, dapat diberikan obat-
obatan penurun TIO seperti acetazolamid, β-
blocker.
Sensitivitas antibiotika:
 Gram(+)  Vancomycine
 Gram(-)  Aminoglikosida: Gentamycine,
tobramycine, amikacin (ketiga obat ini toksik untuk
retina), Sefalosporin, Flouroquinolon oral dikenal
mempunyai penetrasi yang baik intra-okuler, dan
mempunyai potensi yang baik untuk bakteri (kecuali
untuk Streptococcus dan bakteri gram (+) hanya
mempunyai potensi terbatas).

9. Edukasi 9. KIE prognosis visus


10. KIE prognosis penyakit
11. KIE kemungkinan tindakan selanjutnya
12. KIE untuk menjaga mata yang sehat
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 9.
Intraocular Inflamation and Uveitis. American
Academy of Ophthalmology. 2008 - 2009. p. 293-
310.
2. Khurana AK. Disease of the Uveal Tract.
Comprehensive Ophthalmology. 4th ed. New Age
International (P) Limited publisher. India, 2007. p
150 – 154.
3. Crick, Ronald B. Practical Guide to Disease of the
Eyes and Their management. A Text Book of
Clinical Ophthalmology 3rd. 2003. World Scientific
New Jersey, London. 2003. P 340.
4. Lang. GK. Vitritis and Endophthalmitis.
Ophthalmology, A Short Text Book. Thieme. 2000.
P :290-292.
VI. REFRAKSI
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

HIPERMETROPIA

1. Pengertian Kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang masuk ke


(Definisi) mata dalam keadaan tidak berakomodasi akan
dibiaskan membentuk bayangan di belakang retina
2. Anamnesis 1.Penglihatan jauh kabur, terutama pada
hipermetropia 3 Dioptri atau lebih, hipermetropia
pada orang tua dimana amplitude akomodasi menurun
3. 2. Penglihatan dekat kabur lebih awal, terutama
bila lelah, tulisan kurang jelas atau penerangan
kurang
4. 3. Sakit kepala terutama daerah frontal dan
makin kuat pada penggunaan mata yang lama dan
membaca dekat
5. 4. Penglihatan tidak enak ( asthenopia
akomodatif / eye strain ), terutama bila melihat pada
jarak yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas
pada jangka waktu yang lama misalsaat menonton TV
dll
5. Mata sensitive terhadap sinar
6.Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan
pseudomiopia
7. Perasaan mata seperti juling, karena akomodasi
yang berlebihan akan diikuti konvergensi yang
berlebihan

6. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan subjektif tajam penglihatan dengan


Fisik kartu Snellen / E-chard / Allen-chard
2.Pemeriksaan objektif tajam penglihatan baik dengan
Autorefraktometer maupun dengan Streak
Retinoskopi
3. Pada anak-anak dan dewasa <25 tahun, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan dengan sikloplegik

7. Kriteria Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


Diagnosis penunjang

8. Diagnosis Kerja Hipermetropia


9. Diagnosis Banding Kelainan refraksi lain (Miopia dan Astigmatisme) dan
kelainan organik

10. Pemeriksaan Pemeriksaan tajam penglihatan dengan melemahkan


Penunjang otot mata (sikloplegik)
11. Terapi 1. Kacamata
Koreksi dengan lensa sferis positif
terbesar/terkuat yang menghasilkan tajam
penglihatan terbaik
2. Lensa kontak
Untuk : Anisometropia, Hipermetrop tinggi (sesuai
indikasi)
3. Bedah refraktif
Bedah refraktif kornea : tindakan untuk merubah
kurvatura permukaan anterior kornea ( excimer
laser, Lasik ).
12. Edukasi a. Selalu memakai kacamata

b. Kontrol mata 1 tahun sekali (dewasa)

c. Jika usia < 18 tahun, kontrol 6 bulan

sekali
13. Prognosis Advitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
14. Tingkat Evidens I/II/III/IV
15. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
16. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
17. Indikator Medis a. Visus bisa sampai 5/5
b. Keluhan kabur, silau,mata lelah
berkurang

18. Kepustakaan a. Atebara NH, Asbell PA, Azar DT. 2010. Basic
Clinical Science Course : Clinical Optics. San
Fransisco : American Academy of Ophthalmology.
P. 121-142
b. Ehlers JP, Shah CP, Gregory L. 2008. Wills Eye
Manual,The: Office and Emergency Room Diagnosis
and Treatment of Eye Disease. Lippincott :
Williams & Wilkins
c. Kanski, jack J. 2007. Clinical Ophthalmology : A
Systematic Approach. Philadelphia : Elsevier

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

MIOPIA

1. Pengertian (Definisi) Kelainan refraksi dimana sinar sejajar


yang masuk ke mata dalam keadaan tidak
berakomodasi , dibiaskan membentuk
bayangan di depan retina
2. Anamnesis 1.Kabur melihat jauh
2.Sakit kepala ( jarang )
3.Cenderung memicingkan mata saat
melihat jauh
4. Biasanya suka membaca
3. Pemeriksaan Fisik 1.Pemeriksaan subjektif tajam penglihatan
dengan kartu Snellen / E-chard / Allen-
chard
2. Pemeriksaan objektif tajam penglihatan
baik dengan Autorefraktometer maupun
dengan Streak Retinoskopi
3. Pada anak-anak dan dewasa < 25 tahun,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan dengan
sikloplegik
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Kerja Miopia

6. Diagnosis Banding Kelainan refraksi lain (Hipermetrop dan


Astigmatisme) dan kelainan organik

7. Pemeriksaan Pemeriksaan tajam penglihatan dengan


Penunjang melemahkan otot mata (sikloplegik)

8. Terapi 2. Kacamata
Koreksi dengan lensa sferis negatip
terkecil/terlemah yang menghasilkan
tajam penglihatan terbaik
2. Lensa kontak :
Untuk :Anisometropia, Miopia tinggi
3. Bedah refraktif
- Bedah refraktif kornea :
tindakan untuk merubah
kurvatura permukaan
anterior kornea ( excimer
laser, Lasik )
- Bedah refraktif lensa :
tindakan eksraksi lensa yang
masih jernih, diikuti dengan
implantasi lensa intraokuler.
9. Edukasi a. Selalu memakai kacamata
b. Kontrol mata 1 tahun sekali
(dewasa)
c. Jika usia < 18 tahun, kontrol 6 bulan
sekali

10. Prognosis Ad vitam: dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis 1.Tidak ada keluhan kabur
2.Tidak ada keluhan sakit kepala/pusing
15. Kepustakaan a. Atebara NH, Asbell PA, Azar DT. 2010.
Basic Clinical Science Course : Clinical
Optics. San Fransisco : American
Academy of Ophthalmology. P. 121-142
b. Ehlers JP, Shah CP, Gregory L. 2008.
Wills Eye Manual,The: Office and
Emergency Room Diagnosis and
Treatment of Eye Disease. Lippincott :
Williams & Wilkins
c. Kanski, jack J. 2007. Clinical
Ophthalmology : A Systematic
Approach. Philadelphia : Elsevier

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

ASTIGMATISM

1. Pengertian (Definisi) Kelainan refraksi dimana pembiasan pada meridian

yang berbeda jatuh pada titik focus yang berbeda.

Dalam keadaan tanpa akomodasi, sinar sejajar yang

masuk mata difokuskan pada lebih dari 1 titik


2. Anamnesis a. Kabur melihat jauh atau dekat

b. Sakit kepala ( jarang )

c. Silau Mata sensitive terhadap sinar

d. Mata Lelah bila tulisan kurang jelas atau

penerangan kurang

3. Pemeriksaan Fisik 1. Astigmatism regular

a. Astigmatism With The Rule : dimana

meridian vertikal mempunyai daya bias

terkuat. Bentuk ini lebih sering pada

penderita muda

b. Astigmatism Against The Rule : dimana

meridian horizontal mempunyai daya bias

terkuat. Bentuk ini lebih sering pada

penderita yang lebih tua

2. Astigmatism irregular

Pada bentuk ini didapatkan titik fokus yang

tidak beraturan
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang
5. Diagnosis Kerja Astigmatisme
6. Diagnosis Banding Hipermetrop, miopia, dan kelainan organic
7. Pemeriksaan a. Pemeriksaan autorefraktometer

Penunjang b. Permeriksaan streak retinoscopy


8. Terapi 1. Kacamata,diberikan sesuai kelainan yang

didapatkan yaitu dikoreksi dengan lensa silinder

negatip atau positip dengan atau tanpa kombinasi

lensa sferis

2. Lensa kontak lunak torik

3. Astigmatism ireguler, bila ringan bisa dikoreksi

dengan lensa kontak keras, tapi bila berat bisa

dilakukan transplantasi kornea.

9. Edukasi a. Selalu memakai kacamata

b. Kontrol mata 1 tahun sekali (dewasa)

c. Jikausia< 18 tahun, kontrol 6

bulansekali

10. Prognosis Advitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Adfumgsionam : dubia ad bonam


11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C

Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis a. Visus bisa sampai 5/5

b. Keluhan kabur, silau,mata lelah

berkurang
15. Kepustakaan a. Atebara NH, Asbell PA, Azar DT. 2010. Basic
Clinical Science Course : Clinical Optics. San
Fransisco : American Academy of
Ophthalmology. P. 121-142
b. Ehlers JP, Shah CP, Gregory L. 2008. Wills Eye
Manual,The: Office and Emergency Room
Diagnosis and Treatment of Eye Disease.
Lippincott : Williams & Wilkins
c. Kanski, jack J. 2007. Clinical Ophthalmology : A
Systematic Approach. Philadelphia : Elsevier

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

PRESBIOPI

1. Pengertian (Definisi) Gangguan penglihatan dekat yang disebabkan makin

berkurangnya kemampuan akomodasi mata sesuai dengan

makin meningkatnya usia


2. Anamnesis a. Usia tua> 40 tahun

b. Kesulitan pada waktu membaca dekat dengan cetakan

kecil.
3. Pemeriksaan Fisik a. Terjadi peningkatan daya refraksi mata karena adanya

perubahan keseimbangan antara elastisitas matriks lensa

dan kapsul lensa sehingga lensa sulit menjadi cembung

b. Dengan meningkatnya usia, maka lensa menjadi lebih

keras ( sklerosis ) dan kehilangan elastisitasnya untuk

menjadi cembung, dengan demikian kemampuan melihat

dekat makin kurang.

4. Kriteria Diagnosis Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Kerja Presbiopia


6. Diagnosis Banding Kelainan refraksi lain (miopia, hipermetrop, astigmatisme)

dan kelainan organic


7. PemeriksaanPenunjan a. Pemeriksaan autorefraktometer

g b. Permeriksaan streak retinoscopy

8. Terapi Diberikan penambahan lensa sferis positip sesuai pedoman

umur yaitu umur 40 tahun ( umur rata-rata ) diberikan

tambahan lensa sferis + 1.00 D dan setiap 5 tahun

diatasnya ditambahkan lagi lensa sferis +0.50 D

Lensa sferis (+) yang ditambahkan dapat diberikan dengan

berbagaicara :

1. Kacamata baca untuk melihat dekat aja

2. Kacamata bifokal untuk melihat jauh dan dekat

3. Kacamata progressive dimana tidak ada batas bagian

lensa untuk melihat jauh dan dekat.


9. Edukasi a. Selalu memakai kacamata

b. Kontrol mata 1 tahun sekali

10. Prognosis Advitam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam


11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat Rekomendasi A/B/C
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. IndikatorMedis Bisa membaca jarak dekat dengan huruf yang kecil

15. Kepustakaan a. Atebara NH, Asbell PA, Azar DT. 2010. Basic Clinical
Science Course : Clinical Optics. San Fransisco :
American Academy of Ophthalmology. P. 121-142
b. Ehlers JP, Shah CP, Gregory L. 2008. Wills Eye
Manual,The: Office and Emergency Room Diagnosis and
Treatment of Eye Disease. Lippincott : Williams &
Wilkins
c. Kanski, jack J. 2007. Clinical Ophthalmology : A
Systematic Approach. Philadelphia : Elsevier
VII. RETINA
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

CENTRAL SEROUS RETINOPATHY (CSR)


1. Pengertian (Definisi) Central Serous Retinopathy adalah terangkatnya
lapisan sensoris retina oleh cairan dinding subretina
akiat gangguan fungsi RPE

2. Anamnesis a. Keluhan melihat bayangan gelap,


b. Pandangan kabur
c. Metamorfopsia (tulisan berubah bentuk)

3. Pemeriksaan Fisik a. Visus


b. Pemeriksaan oftalmoskop indirek

4. Kriteria Diagnosis a. Pada funduskopi didapatkan macula edema


berbentuk dome shape
b. Pada keadaan lanjut retina yellow deposit
c. Kadang-kadang berupa RPE detachment
5. Diagnosis Kerja Central serous retinopathy (CSR)
6. Diagnosis Banding a. ………………………………………………………………………………………………….
b. ………………………………………………………………………………………………….
c. …………………………………………………………………………………………………
7. Pemeriksaan a. Tes Ishihara
Penunjang b. Tes Amsler Grid
c. Pemeriksaan OCT
d. Pemeriksaan FFA

8. Terapi a. pada penderita yang mengalami pertama kali


diberi roborantia, tranqilizer, anti anxiety,
NSAID
b. Terapi fotokoagulasi laser

9. Edukasi a. Penderita yang mengalami serangan pertama


kali control dan di awasi selama 3-4 bulan
dengan pemeriksaan tiap 2 minggu
b. Pasca laser, penderita control setelah 2
minggu dan 4 minggu sampai keadaan pulih

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology. Basic
and Science Course. Section 12 : Retina and
Vitreous. San Francisco. California. 2010-2011.
b. Kanski J. Clinical Ophthalmology, A Systemic
Approach. International 7th ed. Butterworth-
Heinemann. London. 2011.
c. Ryan S J. Retina. Vol. I,II,III. Mosby. 2006.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
2013 – 2015

VITREOUS HAEMORRHAGE (VH)

1. Pengertian Vitreous Haemorhage adalah perdarahan vitreus


(Definisi) akibat trauma maupun perdarahan akibat penyakit
retina maupun penyakit sistemik

2. Anamnesis 1. Penglihatan mendadak kabur

3. Pemeriksaan Fisik 1. Visus


2. Pemeriksaan oftalmoskop indirek

4. Kriteria Diagnosis 1. Vitreus keruh, dengan atau tanpa sel-sel darah


merah

5. Diagnosis Kerja Vitreous Haemorrhage


6. Diagnosis Banding 1. ………………………………………………………………………………………………….
2. ………………………………………………………………………………………………….
3. …………………………………………………………………………………………………
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan USG mata
Penunjang
8. Terapi 1. Bedrest dengan bantal tinggi
2. Vitamin C 500 mg/hari
3. tranexamic acid 3x500mg
4. Pada VH dengan ablasi retina baru
vitrektomi dengan SB dengan gas.
Pada VH dengan ablasi retina lama dengan
PVR. Pada ablasi retina dengan TRD  ERG.
Bila negative  observasi. Bila ada gelombang
 vitrektomi, SB dengan gas atau silicon
Oil
5. Pada VH dengan PDR
Penatalakasanaan medis terhadap DM
Vitrektomi dini (1-2 bulan) dengan endolaser
bila ada ancaman TRD atau bila perdarahan
tidak berkurang dalam 2 bulan.
6. Pada VH yang menjernih : fotokoagulasi laser
pararetinal (PRP), pda PDR, Eales disease,
CRVO, BRVO, retinal tear.
7. Fotokoagulasi pada VH pada ARMD
neovaskular
8. VH tanpa kelainan, yang tidak berkurang
selama 4 bulan, vitrektomi dengan atau tanpa
endolaser

9. Edukasi 1. Bedrest dengan bantal tinggi

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis ………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………………..
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology. Basic
and Science Course. Section 12 : Retina and
Vitreous. San Francisco. California. 2010-2011.
2. Kanski J. Clinical Ophthalmology, A Systemic
Approach. International 7th ed. Butterworth-
Heinemann. London. 2011.
3. Ryan S J. Retina. Vol. I,II,III. Mosby. 2006.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

RETINOPATHY HIPERTENSI

1. Pengertian (Definisi) Retinopathy hipertensif adalah suatu perubahan


vascular retina akibat tekanan darah sistemik untuk
waktu yang lama

2. Anamnesis 1. Penglihatan kabur perlahan-lahan


2. Riwayat hipertensi

3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan tajam penglihatan


2. Pemeriksaan oftalmoskop indirek
3. Pemeriksaan tekanan darah
4. Kriteria Diagnosis 1. Grade 0 : tidak dijumpai kelainan
2. Grade 1 : penyempitan arteri mudah dillihat
3. Grade 2 : penyempitan arteri tampak nyata
disertai irregularitas setempat
4. Grade 3 : grade 2 + perdarahan retina dan atau
eksudat
5. Grade 4 : grade 3 + papilledema

5. Diagnosis Kerja Retinopathy Hipertensif

6. Diagnosis Banding 1. Central Retinal Vein Occlusion (CRVO)


2. Branch Retinal Vein Occlusion (BRVO)

7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan profil lipid


Penunjang 2. Pemeriksaan OCT
3. Pemeriksaan FFA

8. Terapi 1. Kontrol hipertensi (konsultasi dengan


cardiologi)
2. Bila dalam keadaan lanjut terjadi
perdarahan vitreus dapat dipertimbangkan
vitrektomi

9. Edukasi 1. Rutin kontrol ke cardiologi untuk


menjaga tekana darah

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis ………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………………..
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology.
Basic and Science Course. Section 12 : Retina
and Vitreous. San Francisco. California. 2010-
2011.
2. Kanski J. Clinical Ophthalmology, A
Systemic Approach. International 7th ed.
Butterworth-Heinemann. London. 2011.
3. Ryan S J. Retina. Vol. I,II,III. Mosby.
2006.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

RETINOPATHY DIABETIK

1. Pengertian (Definisi) Retinopathy diabetik adalah suatu perubahan


vascular retina akibat peningkatan gula darah untuk
waktu yang lama

2. Anamnesis 1. Penglihatan kabur perlahan-lahan


2. Riwayat diabetes melitus
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan tajam penglihatan
2. Pemeriksaan oftalmoskop indirek
3. Pemeriksaan tekanan darah

4. Kriteria Diagnosis 1. Non Proliferatif


Didapatkan microaneurisma, perdarahan retina,
soft exudat, hard exudat.
2. Proliferatif
Didapatkan neovaskularisasi, vitreous
hemorrhage, subhyaloid bleeding, proliferative
vitreoretinopathy, tractional ablasio retina.

5. Diagnosis Kerja Retinopathy diabetik

6. Diagnosis Banding 1. Central Retinal Vein Occlusion (CRVO)


2. Branch Retinal Vein Occlusion (BRVO)
3. Retinopathy hipertensi

7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan profil lipid


Penunjang 2. Pemeriksaan OCT
3. Pemeriksaan FFA

8. Terapi 3. Kontrol hipertensi (konsultasi dengan


cardiologi)
4. Bila dalam keadaan lanjut terjadi
perdarahan vitreus dapat dipertimbangkan
vitrektomi

9. Edukasi 2. Rutin kontrol ke Endokrinologis untuk


menjaga gula darah

10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam


Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis ………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………………..
15. Kepustakaan 4. American Academy of Ophthalmology.
Basic and Science Course. Section 12 : Retina
and Vitreous. San Francisco. California. 2010-
2011.
5. Kanski J. Clinical Ophthalmology, A
Systemic Approach. International 7th ed.
Butterworth-Heinemann. London. 2011.
6. Ryan S J. Retina. Vol. I,II,III. Mosby.
2006.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

AGE RELATED MACULAR DEGENERATION (ARMD)

1. Pengertian (Definisi) Penurunan tajam penglihatan pada satu atau kedua mata
pada usia dia atas 50 tahun akibat kerusakan lapisan luar
retina, RPE, membrane Bruch dan Khoriokapillaris yang
dapat neovascular atau non neovascular
2. Anamnesis  Penurunan visus berlahan-lahan kadang mendadak
 Metamorfopsia
 Skotoma sentral
 Choroidal neovascularization (CN)
 Riwayat penyakit
 Faktor resiko
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan mata dasar
4. Kriteria Diagnosis 1.Non neovascular :
Drusen :
-RPE detachment
-Atrofi geografik : retina tipis sehinngga
khoriokapillaris tampak jelas. Kadang-kadang
khoriokapillaris juga megalami atrofi dengan
gambaran depigmentasi luas.
-Atrofi non geografik : daerah depigmentasi tidak
rata
-Hiperpigmentasi makula
2.Neovascular :
-Perdarahan sub retina
-Ablasi retina eksudatif
-RPE detachment
-Sikatriks fibrovaskular disciform
-Perdarahan vitreus
5. Diagnosis Kerja ARMD
6. Diagnosis Banding a. CSME
b. Macular hole/ pseudohole
c. AMD
7. Pemeriksaan  FFA
 Tes amsler grid
Penunjang
 Kampimetri
 Retinometri
 Foto fundus
 OCT
8. Terapi a. Roborantia : vitamin E, beta karoten, vitamin C 500 mg
b. Kacamata pelindung terhadap matahari
c. Fotokoagulasi laser dengan argon laser atau laser diode
dengan laser indirect ophthalmoscopy
d. Operasi sub macula : vitrektomi dengan mengeluarkan
darah di sub makula
4. Edukasi a. Prognosa visus
b. Tindakan yang akan dilakukan
5. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
6. Tingkat Evidens I/II/III/IV
7. Tingkat Rekomendasi A/B/C
8. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM

9. Indikator Medis ARMD yang terkontrol


10. Kepustakaan a) American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 8. Retina
and Vitreus. American Academy of Ophthalmology.
2011.
b) Staff Ilmu Kesehatan Mata. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Mata

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

Branch Retinal Vein Occlusion (BRVO)

1. Pengertian (Definisi) Penyumbatan akut pada cabang-cabang vena retina


2. Anamnesis 1.Tajam penglihatan terganggu bila daerah macula terkena
2.Lapang pandang terganggu
3. Riwayat penyakit
4. Faktor resiko
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan mata dasar
Pemeriksaan tekanan darah
4. Kriteria Diagnosis Funduskopi :
- Perdarahan retina distal dari daerah tersumbat
- Crossing phenomenon pada daerah penyumbatan
- Hollenhorst plaques pada cabang pembuluh darah yang
tersumbat
- Edema makula bila pembuluh darah ke macula terkena
- Tanda-tanda iskemik : cotton wool spots, NVE, perdarahan
vitreus.
5. Diagnosis Kerja BRVO
6. Diagnosis Banding a. Hipertensi retinopati
b. Diabetik retinopati
7. Pemeriksaan Tonometri
FFA pada edema macula dan tanda-tanda iskemik
Penunjang
8. Terapi 1.Konsul penyakit dalam : hematologi
2.Semntara mendapat pengobatan sesuai dengan kausa,
keadaan dipantau. Kadang-kadang perdarahan hilang
sendiri.
3.Terapi Laser
Bila timbul tanda-tanda iskemik : teknik scatter
Bila timbul tanda-tanda edema macula : teknik fokal
4.Vitrektomi dengan atau tanpa endolaser pada BRVO tipe
iskemik dengan perdarahan vitreus
11. Edukasi a. Prognonasa visus
b. Tindakan yang akan dilakukan
12. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
13. Tingkat Evidens I/II/III/IV
14. Tingkat Rekomendasi A/B/C
15. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
16. Indikator Medis Perdarahan berkurang secara bermakna
17. Kepustakaan a) American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 8. Retina
and Vitreous. American Academy of Ophthalmology.
2011.
b) Staff Ilmu Kesehatan Mata. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Mata. Ilmu Kesehatan
Universitas Brawijaya. 2011
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

Central Retinal Vein Occlusion (CVRO)

1. Pengertian (Definisi) Penyumbatan akut pada vena retina sentral


2. Anamnesis -Tajam penglihatan mendadak menurun
- Riwayat penyakit
-Faktor resiko
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan mata dasar
4. Kriteria Diagnosis - Reflex pupil : afferent papillary defect
- Funduskopi :
 papil kadang-kadang kabur
 Vena-vena melebar berkelok-kelok
 Retina : perdarahan diseluruh retina berupa
flame shaped, dots and blots haemorrhages
 cotton wool spots
 neovaskularisasi (NV)
 Di papil N. Optikus (NVE)
 Di retina bagian lain (NVE)
 Perdarahan vitreus
 Glaukoma neovaskular (NVG)
 Rubeosis Iridis
1.Tipe Non Iskemik : perdarahan jarang, vena-vena
berkelok-kelok
2.Tipe Iskemik : perdarahan massif “blood and thunder
appearance”
5. Diagnosis Kerja CRVO
6. Diagnosis Banding a. Hipertensi retinopati
b. Diabetic retinopati
7. Pemeriksaan a. FFA
b. Tonometry
Penunjang
8. Terapi 1. Terapi laser
Indikasi :
a. Kebocoran pembuluh-pembuluh di daerah macula
yang menyebabkan edema macula dan visus
menurun
b. CRVO tipe non iskemik dengan visus menurun
sampai 6/20
c. CRVO tipe iskemik
Teknik :
a. CRVO dengan edema macula : teknik fokal
b. CRVO tipe non iskemik : teknik chorioretinal
anastomose
c. CRVO tipe iskemik : panretinal photocoagulation
(PRP)
2. Vitrektomi dengan / tanpa endolaser pada CRVD
tipe iskemik dengan perdarahan vitreus
9. Edukasi a. Prognosa visus
b. Tindakan yang akan dilakukan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis Perfusi daerah iskhemik teratasi
15. Kepustakaan c) American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 8. Retina
and Vitreous. American Academy of Ophthalmology.
2011.
d) Staff Ilmu Kesehatan Mata. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Mata. Ilmu Kesehatan
Universitas Brawijaya. 2011

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANI
SAMARINDA

IDIOPATHIC MACULAR HOLE (IMH)

1. Pengertian (Definisi) Suatu lubang yang terjadi di macula di mana lapisan retina
lepas akibat tarikan vitreus retina secara tangensial di
daerah itu.
2. Anamnesis  Penurunan visus
 Metamorfopsia
 Skotoma sentral
 Riwayat penyakit
 Faktor resiko
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan mata dasar dan funduscopy
4. Kriteria Diagnosis 1. Stadium 1
-Hilangnnya cekungan fovea
-Stadium impending macular hole (IMH): bercak atau
cekungan kuning
2.Stadium 2
lubang setebal seluruh tebal retina di tengah atau
dipingggir lubang, dengan diameter lebih kecil dari 400
μm
3.Stadium 3
Luang melebar dengan diameter lebih dari 400 μm
korteks posterior vitreus masih melekat (partial vitreus
detachment atau PVD)
4.Stadium 4
Seluruh korteks vitreus terlepas, sseluruh tebal retina di
macula berlubang dengan diameter lebih dari 400 μm
5. Diagnosis Kerja IMH
6. Diagnosis Banding a. Pseudohole
b. ARMD
7. Pemeriksaan  OCT
 Retinometri
Penunjang
 FFA
 Test amsler grid
 Kampimetri
8. Terapi 1.Pada IMH dengan ablasi retina makkula :
pneumoretinopexy dengan bius lokal
2.Pada IMH 2,3 : visus 6/30 vitrektomi +gas. Penderita
telungkup
3.Pada IMH 4 : visus kurang dari 6/50, skotoma sentral,
fotokoagulasi laser di sekitar lubang.
18. Edukasi a. Prognosa visus
b. Tindakan yang akan dilakukan
19. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
20.Tingkat Evidens I/II/III/IV
21. Tingkat Rekomendasi A/B/C
22. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
23.Indikator Medis IMH yang terkontrol
24.Kepustakaan a) American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 8.
VitreoRetina. American Academy of Ophthalmology.
2011.
b) Staff Ilmu Kesehatan Mata. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Mata. Ilmu Kesehatan
Universitas Brawijaya. 2011

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

RETINAL DETACHMENT

1. Pengertian (Definisi) Lepasnya retina sensoris dari epitel pigmen


2. Anamnesis -Tajam penglihatan mendadak menurun
- Floater
- Fotopsia
- Gangguan lapang pandang
- Seperti melihat tirai
- Riwayat penyakit
-Faktor resiko
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan mata dasar
4. Kriteria Diagnosis - Reflex pupil : afferent papillary defect
- Funduskopi :
Didapatkan daerah retina yang ablasi
1.Tipe Non Regmatogen
2.Tipe Regmatogen
5. Diagnosis Kerja Retinal Detachment
6. Diagnosis Banding a. Retinoschisis
b. Choroidal detachment
c. Tumor koroid
7. Pemeriksaan a. Funduskopi direct
b. Funduskopi indirect
Penunjang c. USG mata

8. Terapi 1. Bed rest


2. Laser fotokoagulasi
3. Operatif : scleral buckling, vitrectomy

9. Edukasi a. Prognosa visus


b. Tindakan yang akan dilakukan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I/II/III/IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis Reattachment retina
15. Kepustakaan a) American Academy of Ophthalmology Staff. Basic
and Clinical Science and Course. Section 8. Retina
and Vitreous. American Academy of Ophthalmology.
2011.
b) Staff Ilmu Kesehatan Mata. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Mata. Ilmu Kesehatan
Universitas Brawijaya. 2011
VIII.TRAUMA OKULI
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

TRAUMA TAJAM/TUMPUL
1. Pengertian (Definisi) Trauma pada bola mata yang dapat berupa penetrasi
atau perforasi bola mata oleh benda tajam ataupun
trauma tumpul dengan bola mata yang intak.
2. Anamnesis 1. Riwayat trauma
2. Riwayat neurologis
3. Trauma kepala/leher
4. Kehilangan kesadaran
5. Penurunan status mental
6. Riwayat makan minum
3. Pemeriksaan Fisik  Pemeriksaan fisik (status generalis)
1. Kesadaran
2. Tensi, nadi, pernafasan
3. Kelainan fisik
 Pemeriksaan oftalmologis
1. Visus (tajam penglihatan)
2. Kemungkinan ruptur kornea/korneosklera
dengan atau tanpa prolaps iris atau prolaps
badan kaca
3. Kemungkinan ruptur sklera dengan atau tanpa
prolaps badan kaca atau prolaps koroid
4. Kemungkinan penurunan tekanan intraokular
5. Kemungkinan hifema
6. Kemungkinan fraktur dinding–dinding orbita
7. Kemungkinan benda asing intra atau
ekstraokular
8. Kemungkinan katarak traumatika
9. Kemungkinan perdarahan badan kaca
10. Kemungkinan ablasio retina
4. Kriteria Diagnosis  Anamnesa :

Trauma tumpul :
Pasien dapat mengeluh nyeri, kabur secara
mendadak, disertai tanda edema dan abrasi
kornea, robekan pada membran descemet, hifema,
miosis, iridodialisis, kerusakan pada sphingter iris
dapat menyebabkan midriasis, katarak, subluksasi
dan dislokasi lensa, prolaps struktur intraokular,
perdarahan vitreous, ablasi retina, dan optik
neuropati.
Trauma tajam :
Pasien mengeluh kabur, nyeri, mata merah atau
berdarah, disertai tanda robekan pada konjungtiva
atau kornea dan sklera, tekanan bola mata
menurun, bilik mata dangkal, dan prolaps struktur
intraokular.

 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan oftalmologis
 Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Kerja Trauma tajam/tumpul OD/OS


6. Diagnosis Banding Trauma Tajam
Trauma Tumpul
7. Pemeriksaan 1. Seidel tes
Penunjang 2. Tonometri schiotz
3. Plain foto orbita
4. USG
5. Laboratorium rutin
8. Terapi  Bila tindakan operasi diperlukan, ideal untuk
dilakukan sesegera mungkin sebelum 36 jam, untuk
mencegah prolaps jaringan intraokular,
mengurangi rasa sakit, kontaminasi mikroba pada
luka, migrasi epithel ke dalam luka, inflamasi
intraokular dan kekeruhan lensa
 Tindakan pertama yang dilakukan :
1. Berikan pelindung mata
2. Hindari terapi topikal
3. Berikan penenang
4. Berikan anelgetik
5. Berikan anti emesis
6. Kultur
7. Antibiotik intravena (Tobramisin,
Clindamycin, atau Vancomycin)
8. Profilaksis tetanus
9. Konsul anestesi
 Tanpa operasi
1. Pada tembus yang minimal, tanpa kerusakan
intraokular, tidak ada prolaps, diberikan
terapi antibiotik sistemik dengan atau
topikal dengan observasi yang ketat
2. Bila luka tembus dengan bilik mata yang
normal, diberikan obat- obatan supresi
produksi aquos, perban tekan dan lensa
kontak. Evaluasi dilakukan 3 hari kemudian.
 Operasi : repair korneosklera, repair sekunder
 Profilakis sistemik untuk mencegah traumatik
endophthalmitis :
1. Organisme gram positif :
Vancomycin : 1 mg IV setiap12 jam selama
3 hari, diberikan setiap 1-2 jam sekali.
Dosis interval tergantung keadaan fungsi
renal
2. Organisme gram negatif :
Gentamisin : 1–2 mg/kg BB IV pada kali
pertama, dilanjutkan 1 mg/kg BB setiap 8
jam selama 3 hari. Dosis interval tergantung
keadaan fungsi renal
Ceftazidime : 1 gr IV setiap 12 jam selama
3 hari
3. Fungus :
Terapi profilaksis tidak rutin diberikan

9. Edukasi Penderita dirawat setelah operasi, dievaluasi


keadaan umum dan kemungkinan infeksi. Bila
penderita tidak bersedia dioperasi, harus
dicantumkan dalam status pasien dengan
menyebutkan alasannya dan di tanda tangani pasien
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis Pemeriksaan oftalmologis
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology Staff,
Basic and Clinical Science and Course, Section 11 :
Lens and Cataract, Singapore, AAO, 2012.
2. American Academy of Ophthalmology Staff,
Basic and Clinical Science and Course, Section 4 :
External Disease and Cornea, Singapore, AAO,
2012.
3. Kanski Jack J, Clinical Ophthalmology: A
Systematic Approach, China: Elsevier Inc, 2007.
4. Steinert, Roger F, et all, Cataract Surgery :
Technique Complications Management, 2nd Ed,
USA, Elsevier Science, 2004.
5. Kurana AK, Comprehensive Ophthalmology, 4th
ed, India: New Age International (P) Limited Pub,
2007.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
TRAUMA KIMIA
1. Pengertian (Definisi) Trauma kimia adalah trauma pada permukaan bola
mata akibat bahan kimia berupa asam atau basa
2. Anamnesis 1. Riwayat trauma :
i. Jenis /bentuk bahan kimia (asam/basa)
ii. Waktu kejadian/lama kontak sampai
tindakan pembilasan
iii. Tempat kejadian (rumah tangga, pekerjaan,
kriminal)
2. Riwayat penyakit dahulu :
i. Epilepsi, hipertensi, diabetes
ii. Miopia, gangguan penglihatan lainnya
3. Pertolongan pertama yang telah diberikan :
Irigasi : berapa lama, berapa banyak
3. Pemeriksaan Pemeriksaan fisik (status generalis)
Fisik 1. Kesadaran
2. Tensi, nadi, nafas
3. Kelainan fisik
Pemeriksaan oftalmologis
1. Visus (tajam penglihatan)
2. Kelainan palpebra
3. Kelainan konjungtiva tarsalis/bulbi, stem sel
limbus
4. Kelainan kornea
5. Kelainan bilik mata depan
6. Kelainan iris
7. Kelainan lensa
8. Bahan kimia yang tertinggal
4. Kriteria Diagnosis  Anamnesa:
Pasien akan mengeluh nyeri, mata merah,
penglihatan menurun, mata terus berair,
disertai tanda berupa : hiperemi konjungtiva,
erosi dan kekeruhan kornea, iskemik limbik,
pada perjalanannya dapat menyebabkan
hipotoni dan pthisis bulbi
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan oftalmologis
 Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Trauma Kimia dengan gradasi klinis berdasarkan
kerusakan stem sel limbus (Hughes) :
I. Iskemia limbus yang minimal atau tidak ada
II. Iskemia kurang dari 2 kuadran limbus
III. Iskemia lebih dari 3 kuadran limbus
IV. Iskemia pada seluruh limbus, seluruh
permukaan epithel konjungtiva dan bilik
mata depan
6. Diagnosis Banding Trauma kimia basa
Trauma kimia asam
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Tes lakmus
2. Tes flouresin
3. Tonometri schiotz
4. Tes schimmer
5. Laboratorium rutin
8. Terapi  Penderita dirawat bila :
1. Trauma asam pada 2 mata atau 1 mata karena
asam kuat
2. Trauma basa

I. Fase Kejadian (Immediate)


Tujuan : menghilangkan materi penyebab sebersih
mungkin
Tindakan :
 Irigasi bahan kimia
 Pembilasan dilakukan segera, bila mungkin
berikan anestesi topikal terlebih dahulu.
Pembilasan dengan larutan non-toksik (NaCl
0.9%, Ringer Laktat dsb.) Sampai pH air
mata kembali normal (dinilai dengan kertas
lakmus). Benda asing yang melekat dan
jaringan bola mata yang nekrosis harus
dibuang (pada anak-anak, jika perlu dalam
narkose)
 Bila diduga telah terjadi penetrasi bahan
kimia ke dalam bilik mata depan (BMD)
dilakukan irigasi BMD dengan larutan RL

II.Fase Akut (sampai hari ke-7)


Tujuan : mencegah terjadinya penyulit
Prinsip :
1. Mempercepat proses re-epithelisasi kornea
2. Mengontrol tingkat peradangan
3. Mencegah infiltrasi sel-sel radang
4. Mencegah pembentukan enzim kolagenase
5. Mencegah infeksi sekunder
6. Mencegah peningkatan tekanan bola mata
7. Suplemen/antioksidan
8. Tindakan pembedahan
Penatalaksanaan :

Tindakan Gradasi I Gradasi II Gradasi III Gradasi IV

a - Bandage Bandage Bandage lens


lens lens Auto serum
Auto serum tetes jam
tetes 6x
b (AB+) Kortikoster Dexametha Dexamethason/
Steroid oid tetes son/ Prednison tetes
tetes 4-6x 6X Prednison tiap 30 menit
EDTA 1% Na-EDTA tetes tiap EDTA tetes
tetes 4 1% tetes jam tiap 30 menit
-6x 6x Na-EDTA Auto serum
tetes tiap tetes jam
jam
Auto serum
tetes 6x
c Antibiotik( Tetrasiklin Tetrasiklin Tetrasiklin
+Steroid) salep 4x salep 4x salep 4x
4-6x Doxysiklin Doxysiklin Doxysiklin 2x
2x 100mg 2x 100mg 100mg
d - Timolol Timolol Timolol 0.5%
0.5% tetes 0.5% tetes tetes 2x
2x 2x Asetazolamide
Asetazolami 2x500 mg +
de 2x500 subtitusi ion
mg + kalium
subtitusi ion
kalium
e Sulfat Sulfat Sulfat Sulfat Atropin
Atropin 1% Atropin 1% Atropin 1% 1% 3x
3x 3x 3x Vitamin C 4x
Vitamin C Vitamin C Vitamin C 2000mg
4x 500mg 4x 2000mg 4x 2000mg
f - - Nekrotomi + Nekrotomi +
Graft Graft
konjungtiva- konjungtiva-
limbus limbus

III. Fase Pemulihan Dini (early repair : hari ke-7


sampai 21)
Tujuan : membatasi tingkat penyulit
Problem :
1. Hambatan re-epithelisasi kornea
2. Gangguan fungsi kelopak mata
3. Hilangnya sel Goblet
4. Ulserasi stroma  perforasi kornea
5. Prinsip : sesuai dengan Fase II
Penatalaksanaan :

Tinda
Gradasi I Gradasi II Gradasi III Gradasi IV
kan
a Re- Re- Bandage lens Bandage lens
epithelisasi epithelisasi Auto serum Auto serum tiap
sempurna (+) 6x jam
(+) Bandage lens
diteruskan
b (AB +) Kortikosteroi Dexamethaso Dexamethason
Steroid d tetes n/ Prednison Prednison
tetes tapp. tapp.off di tapp.off / dihentikan,
Off Na-EDTA dihentikan, ganti dengan:
tetes tapp. diganti -NSAID tetes
off dengan: tiap hari
NSAID(Indo Na-EDTA tiap
methasin/Dicl 30 menit
ofenac) tetes Auto serum tiap
6x tiap jam jam
Na-EDTA tiap
jam
Autoserum 6x
c AB Tetrasiklin Tetrasiklin Tetrasiklin
(+Steroid) salep 2x salep 2x salep 4x
tetes Doxysiklin Doxysiklin Doxysiklin
tapp.off 2x100mg 2x100mg 2x100mg
d - Peningkatan Peningkatan Timolol 0.5% 2x
TIO(-): TIO(-): Asetazolamide
Timolol Timolol, + ion kalium
dihentikan Asetazolamid diteruskan
e + ion kalium
dihentikan
e Uveitis (-) : Uveitis (-) : Sulfas Sulfas Atropin
SA SA dihentikan Atropin 1 % 1 % 3x
dihentikan Vitamin C 2x 3x Vitamin C
2000mg Vitamin C 4x2000mg
4x2000mg Vitamin A dan E
Retinoic acid
salep 2x
f - - Jaringan Jaringan
nekrotik (+): nekrotik (+):
eksisi eksisi
Ulserasi Ulserasi stroma
stroma (+): (+):graft
graft mukosa bibir /
Konjungtiva/ amnion + stem
mukosa bibir sel
Fs.kelopak (+) limbus/sklera/
: tarsoraphy fasia lata
/keratoplasti

IV. Fase pemulihan akhir (late repair :>21 hari)


Tujuan : rehabilitasi fungsi penglihatan
Problem :
1. Disfungsi sel Goblet
2. Hambatan re–epithelisasi kornea
3. Ulserasi stroma (gradasi II dan IV)
Prinsip :
a. Mempercepat proses re–epithelisasi kornea
atau optimalisasi fungsi
epithel permukaan
b. Dan seterusnya sesuai phase II
Penatalaksanaan :

Tindakan Gradasi I Gradasi II Gradasi III Gradasi IV


a. Solcosery Epitheliopat Epitheliopati Re-epitheliopati
3x i (+) : (+) : (+):
Solcoseryl Solcoseryl 4x Bandage lens
4x Retinoic acid diteruskan
1% 1x malam
b. - NSAID NSAID tetes NSAID tetes
tetes 4x 4x 4-6x
Medroxy- Medroxy-
progesteron progesteron 4-
1% 4x 6x
Na-EDTA 4-6x
Auto serum 4-
6x
c. - - - Tetrasiklin
salep 4x
Doxysiklin
2x100 mg
d. - - - Peningkatan
TIO(-):
Timolol 0.5%
tapp.off
Asetazolamid +
ion kalium
dihentikan
e. - - - Uveitis (-) : SA
dihentikan
Vitamin C
2x2000mg
Vitamin A dan E
f. - - - Graft
konjungtiva-
limbus/terapeti
k keratoplasty/
keratoprosthesi
s

9. Edukasi KIE penyakit dan prognosa visus serta


kemungkinan komplikasi akibat trauma kimia basa
atau asam
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis Pemeriksaan oftalmologis dan pemeriksaan lakmus
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology Staff,
Basic and Clinical Science and Course, Section
11 : Lens and Cataract, Singapore, AAO, 2012.
2. American Academy of Ophthalmology Staff,
Basic and Clinical Science and Course, Section 4 :
External Disease and Cornea, Singapore, AAO,
2012.
3. Kanski Jack J, Clinical Ophthalmology: A
Systematic Approach, China: Elsevier Inc, 2007.
4. Steinert, Roger F, et all, Cataract Surgery :
Technique Complications Management, 2nd Ed,
USA, Elsevier Science, 2004.
5. Kurana AK, Comprehensive Ophthalmology, 4th
ed, India: New Age International (P) Limited Pub,
2007.
IX. NEURO OFTALMOLOGI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
PAPILITIS

1. Pengertian (Definisi) Peradangan yang terjadi pada papil N. optikus


2. Anamnesis a. Pengelihatan turun mendadak bisa pada 1 atau 2 mata
b. Nyeri saat mata ditekan atau digerakkan
c. Sakit kepala
d. Bisa disetai dengan mual, muntah Dapat disertai dengan
penyakit sistemik misalnya : diabetes mellitus,
hipertensi, penyakit jantung, ataupun kelaianan
pembuluh darah.
e. Dapat pula akibat riwayat trauma pada orbita/kepala
f. Riwayat minum – minuman keras bercampur alkohol
Faktor Risiko: Post infeksi virus, S.L.E (Systemic Lupus
Eritematosus), M.S (Multiple Sklerosis), Syphilis,
Sarcoidosis, Vasculitis
3. Pemeriksaan Fisik a. Biasanya terdapat penurunan visus
b. Segmen anterior : tenang
c. Refleks pupil : berkurang atau hilang ( RAPD +)
d. Funduskopi : papil N II dapat normal atau edema, retina
bisa pucat atau tidak
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Papilitis
6. Diagnosis Banding a. Neuritis retrobulber : peradangan N. Optikus
b. Oklusi Arteri retina sentralis : tersumbatnya arteri
retina sentral
c. Anterior Ischaemic Optic Neuropathy (AION) : suatu
keadaan ischemic sampai infarc papil n. Optikus akibat
tersumbatnya a. Ciliaris posterior brevis
d. Oklusi vena retina sentralis : tersumbatnya vena retina
sentral
e. Ablasio retina : lepasnya lapisan retina sensoris dari
lapisan pigmen epitel retina
f. Intoksikasi metanol : suatu keadaan penurunan visus
mendadak
g. Cortical visual impairment
h. Cortical Blindness : penurunan visus mendadak yang
disebabkan oleh lesi retrogenikulatum
i. Leber hereditary optic Neuropathy : keadaan penurunan
visus mendadak pada penderita berusia dewasa muda
yang disebabkan oleh kelainan pada mt DNA. Penurunan
visus dapat terjadi tidak bersamaan pada kedua mata.
j. Malingering / functional blindness/hysterical blindness :
keadaan dimana pasien mengalami penurunan visus
mendadak tanpa disertai kelainan oftalmologis apapun
7. Pemeriksaan a. Test kontras sensitivitas
b. Laboratorium : gula darah puasa dan 2 jam setelah
Penunjang
makan, hemoreologi
c. Foto rontgen orbita/ kanalis optikus bila terdapat
riwayat trauma orbita
d. Konsultasi ke bagian Penyakit Dalam untuk mencari
penyakit sistemik
e. Bila dicurigai oklusi arteri / vena retina sentralis,
dikonsulkan ke bagian subbagian retina
f. Bila dicurigai AION,diperiksa hemoreologi
g. Bila didiagnosa Oklusi vena retina sentralis, diperiksa
ERG dan dikonsulkan ke subbagian Glaukoma bila
didapatkan peningkatan tekanan intra okular
h. Bila dicurigai ablasio retina, dikonsulkan ke subbagian
retina
8. Terapi a. Penderita dirawat selama 5 hari
b. Injeksi dexamethason intravena 5 hari berturut-turut
dengan dosis 40 mg untuk orang dewasa dan 20 mg
untuk anak-anak
c. Pengobatan dilanjutkan setelah penderita dipulangkan
dengan prednison 1 mg/kgBB/hari.
d. Pengobatan ini berlangsung sampai tercapai visus normal
/ maksimal dan dipertahankan sampai 2 minggu kemudian
tappering off
e. Bila penderita menolak dirawat, penderita berobat jalan
dengan prednison 1 mg/kgBB/hari hingga tercapai visus
normal/maksimal, kemudian dipertahankan selama 2
minggu dan selanjutnya dapat ditappering off.
9. Edukasi a. Menghindari faktor resiko
b. Jika terdapat penyakit penyerta (hipertensi, DM) harus
minum obat teratur
c. Keteraturan minum obat untuk mencegah terjadinya
rebound phenomenon
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia
Ad fumgsionam : dubia
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis Visus, tes ishihara, tes kontras sensitivitas, gambaran
funduskopi, perimetri
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology Staff, Basic and
Clinical Science and Course, Section 5 : Neuro
Ophthalmology , Singapore, AAO, 2010 : hal 144 – 146
b. Tsai Jc, Denniston AKO, Murray P, Huang JJ, Aldad TS.
Oxford American Handbook of Ophthalmology. Oxford
University Press.USA. 2011. Hal : 522 – 523.
c. Ehlers JP, Shah CP. The Wills Eye Manual. 5th edition.
Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2010. Hal : 250 –
252.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA
DIPLOPIA

1. Pengertian Keluhan penglihatan ganda yang dapat terjadi pada saat melihat
dengan satu mata atau kedua mata.
(Definisi)
2. Anamnesis a. Penglihatan ganda pada satu mata / kedua mata.
b. Dapat didahului dengan adanya riwayat trauma pada
kepala/orbita , kencing manis, hipertensi, stroke,
hipertiroid dan lain – lain.
c. Sakit kepala
d. Mual, muntah
e. Tinnitus, epistaxis
f. Proptosis
g. Ptosis
3. Pemeriksaan Fisik a. Visus biasanya normal
b. Kedudukan bola mata asimetris
c. Pergerakan bola mata terhambat
d. Proptosis
e. Ptosis
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Diplopia
6. Diagnosis Banding 1. Papil edema yaitu keadaan edema papil bilateral yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan intra kranial
2. Myastenia gravis yaitu parese otot ekstra okuler yang
disebabkan oleh gangguan pada neuro-muscular junction
3. Graves orbitopathy yaitu suatu keadaan dimana terjadi
pembesaran otot-otot ekstraokuler serta proliferasi
jaringan orbita yang disebabkan oleh hipertiroid atau
tanpa hipertiroid
4. Parese N III, IV,VI yang disebabkan oleh diabetes
melitus
5. Fraktur orbita.
6. Pemeriksaan 1. Diplopia chart
2. Laboratorium : Gula darah,T3,T4,TSH
Penunjang
3. Foto polos orbita
4. CT Scan orbita
5. CT Scan kepala
7. Terapi 1. Penderita tidak dirawat.
2. Bila penyebabnya gangguan sistemik , penderita dapat
dikonsulkan ke bagian lain seperti ke bagian penyakit
dalam untuk mencari etiologinya, apakah terdapat
diabetes mellitus, hipertensi, dan lain-lain.
8. Edukasi 1. Mengurangi faktor resiko (lifestyle)
2. Jika pusing dapat ditutup salah satu mata

9. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia
10. Tingkat Evidens I
11. Tingkat A
Rekomendasi
12. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
13. Indikator Medis Visus, gerak bola mata, diplopia, status deviasi, perimetri
14. Kepustakaan 1. American Academy of Ophthalmology Staff, Basic and
Clinical Science and Course, Section 5 : Neuro
Ophthalmology , Singapore, AAO, 2010 : hal 215 – 241.
2. Tsai Jc, Denniston AKO, Murray P, Huang JJ, Aldad TS.
Oxford American Handbook of Ophthalmology. Oxford
University Press. USA. 2011. Hal : 657 – 658.
3. Ehlers JP, Shah CP. The Wills Eye Manual. 5th edition.
Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2010. Hal : 2.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

GRAVES OPHTHALMOPATHY / THYROID OPHTHALMOPATHY

1. Pengertian (Definisi) Suatu keadaan kelainan kedudukan bola mata dan adneksa yang
dihubungkan dengan kelainan kelenjar tiroid.Biasanya ditandai
dengan diplopia, ophthalmoplegia dan pembesaran otot
ekstraokuler.
2. Anamnesis a. Terdapat penonjolan pada satu atau kedua mata ,
disertai dengan pandangan kabur.
b. Dapat disertai dengan keluhan sistemik seperti jantung
berdebar, tremor, berkeringat terus
c. Mendengar denyutan pembuluh darah
d. Sakit kepala
3. Pemeriksaan Fisik a. Biasanya terdapat penurunan visus
b. Kedudukan bola mata asimetris
c. Pergerakan bola mata terhambat
d. Proptosis
e. Ptosis
f. Pada kelopak mata tampak : Lid retraction, Lid lag,
Lagophthalmos
g. Exophthalmos
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Graves Ophthalmopathy/ Thyroid Ophthalmopathy
6. Diagnosis Banding a. A-V shunt yaitu keadaan dimana terjadi penonjolan bola
mata disertai denyutan yang
disebabkan oleh hubungan langsung antara arteri carotis
interna dengan sinus cavernosus
b. Glioma n. optikus
c. Meningioma
7. Pemeriksaan a. Diplopia chart
b. Cek Lab : Gula darah,T3,T4,TSH
Penunjang
c. Foto polos orbita
d. CT Scan orbita
e. CT Scan kepala
f. Test Perimetri
8. Terapi Pengobatan graves optalmopathy ditentukan oleh keadaan yang
ditemukan pada penderitanya, yaitu :
a. Bila terdapat lagopthalmos, penderita dapat diberi
artificial tears
b. Bila terdapat proptosis berat, tanda-tanda kongestif,
diplopia akut akut atau tanda kompresi n opticus
penderita dapat diberi kortikosteroid sistemik oral
(dosis imunosupresan) yaitu 1-1,5 mg/kg BB/hari
prednisone
c. Bila diperlukan, Tarsorrhaphy dilakukan jika terdapat
kekeringan pada kornea.
9. Edukasi a. Terapi dan kontrol rutin ke bagian Ilmu Penyakit Dalam
untuk penyakit thyroid
b. Jika terdapat diplopia, dapat ditutup salah satu mata
c. Apabila mendapat terapi steroid dosis imunosupresan
di-KIE keteraturan minum obat untuk mencegah
terjadinya rebound phenomenon
10. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fumgsionam : dubia
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis Visus, hertel, gerak bola mata, status deviasi, tes ishihara, tes
kontras sensitivitas, gambaran funduskopi, perimetri
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology Staff, Basic and
Clinical Science and Course, Section 5 : Neuro
Ophthalmology , Singapore, AAO, 2010 : hal 331- 334
b. Tsai Jc, Denniston AKO, Murray P, Huang JJ, Aldad TS.
Oxford American Handbook of Ophthalmology. Oxford
University Press.USA. 2011. Hal : 475 – 477.
c. Ehlers JP, Shah CP. The Wills Eye Manual. 5th edition.
Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2010. Hal : 146-149.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

NAION (NONARTERITIC ANTERIOR OPTIC NEUROPATHY)


1. Pengertian (Definisi) kondisi akut optik neuropati yang sering terjadi pada penderita
usia lanjut ( 40-60 tahun ) akibat inflamasi yang disebabkan
faktor resiko non arteritik.
2. Anamnesis a. Penurunan tajam penglihatan mendadak pada satu mata
tanpa disertai rasa nyeri
b. Mata tenang
c. Tanpa disertai gejala sistemik lainnya
d. Faktor risiko: Hipertensi, penyakit carotid oklusif,
diabetes mellitus, hipotensi nocturnal, hyperlipidemia,
platelet polymorphisms, merokok, sleep apnea
3. Pemeriksaan Fisik a. Visus menurun
b. Segmen anterior tenang
c. Refleks pupil : RAPD + pada salah satu mata yang sakit
d. Fundus okuli : papil N.II edema, batas kabur segmental,
warna hiperemia/pucat, splinter hemorrhage, neural
retinal rim tipis.
e. Defek lapang pandangan : konstriksi, skotoma sentral,
arkuata, altitudinal.
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja NAION
6. Diagnosis Banding a. Neuritis optic ( papillitis )
b. AAION
7. Pemeriksaan a. Perimetri : altitudinal, arkuata, skotoma sentral.
b. Laboratorium : gula darah puasa dan 2 jam setelah
Penunjang
makan, hemoreologi, ESR ( normal ), profil lipid

8. Terapi a. Injeksi intravena steroid sistemik dexamethasone 40


mg selama 5 hari berturut-turut ( bila kadar gula darah
dalam batas normal
b. Setelah 5 hari, steroid sistemik dilanjutkan peroral
dengan dosis 1 mg/KbBB. Pengobatan ini berlangsung
sampai tercapai visus normal / maksimal. Bila ada
perbaikan maka dosis dipertahankan sampai 2 minggu
kemudian tapering off
c. Neuroprotektor tablet
d. Bila ada kelainan lab, pasien dikonsulkan ke bagian
Penyakit Dalam
9. Edukasi a. Menghindari faktor resiko (lifestyle)
b. Jika terdapat penyakit penyerta (hipertensi, DM) harus
minum obat teratur
c. Keteraturan minum obat untuk mencegah terjadinya
rebound phenomenon
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis Visus, tes ishihara, tes kontras sensitivitas, gambaran
funduskopi, perimetri
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology. Basic and Science
Course 5th section. Neuro-Ophthalmology. San
Francisco. American Academy of Ophthalmology. 2010-
2011. p: 127 - 129.
b. Tsai Jc, Denniston AKO, Murray P, Huang JJ, Aldad TS.
Oxford American Handbook of Ophthalmology. Oxford
University Press. USA. 2011. Hal : 526 – 527.
c. Ehlers JP, Shah CP. The Wills Eye Manual. 5th edition.
Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2010. Hal : 257 –
258.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

NEURITIS RETROBULBER

1. Pengertian (Definisi) Peradangan yang terjadi pada N. optikus


2. Anamnesis a. Pengelihatan turun mendadak bisa pada 1 atau 2 mata
b. Nyeri saat mata ditekan atau digerakkan
c. Sakit kepala
d. Bisa disertai dengan mual, muntah
e. Dapat disertai dengan penyakit sistemik misalnya :
diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung, ataupun
kelaianan pembuluh darah.
f. Dapat pula akibat riwayat trauma pada orbita/kepala
g. Riwayat minum – minuman keras bercampur alcohol
h. Faktor Risiko: Post infeksi virus, S.L.E (Systemic Lupus
Eritematosus), M.S (Multiple Sklerosis), Syphilis,
Sarcoidosis, Vasculitis
3. Pemeriksaan Fisik a. Biasanya terdapat penurunan visus
b. Segmen anterior : tenang
c. Refleks pupil : berkurang atau hilang ( RAPD +)
d. Funduskopi : Papil N II terlihat normal
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang

5. Diagnosis Kerja Neuritis Retrobulber


6. Diagnosis Banding a. Papilitis : peradangan papil N. Optikus
b. Oklusi Arteri retina sentralis : tersumbatnya arteri
retina sentral
c. Anterior Ischaemic Optic Neuropathy (AION) : suatu
keadaan ischemic sampai infarc papil n. Optikus akibat
tersumbatnya a. Ciliaris posterior brevis
d. Oklusi vena retina sentralis : tersumbatnya vena retina
sentral
e. Ablasio retina : lepasnya lapisan retina sensoris dari
lapisan pigmen epitel retina
f. Intoksikasi metanol : suatu keadaan penurunan visus
mendadak
g. Cortical visual impairment
h. Cortical Blindness : penurunan visus mendadak yang
disebabkan oleh lesi retrogenikulatum
i. Leber hereditary optic Neuropathy : keadaan penurunan
visus mendadak pada penderita berusia dewasa muda
yang disebabkan oleh kelainan pada mt DNA. Penurunan
visus dapat terjadi tidak bersamaan pada kedua mata.
j. Malingering / functional blindness/hysterical blindness :
Keadaan dimana pasien mengalami penurunan visus
mendadak tanpa disertai kelainan oftalmologis apapun
7. Pemeriksaan a. Laboratorium : gula darah puasa dan 2 jam setelah
makan, hemoreologi
Penunjang
b. Foto rontgen orbita/ kanalis optikus bila terdapat
riwayat trauma orbita
c. Konsultasi ke bagian Penyakit Dalam untuk mencari
penyakit sistemik
d. Bila dicurigai oklusi arteri / vena retina sentralis,
dikonsulkan ke bagian subbagian retina
e. Bila dicurigai AION,diperiksa hemoreologi
f. Bila didiagnosa Oklusi vena retina sentralis, diperiksa
ERG dan dikonsulkan ke subbagian Glaukoma bila
didapatkan peningkatan tekanan intra okular
g. Bila dicurigai ablasio retina, dikonsulkan ke subbagian
retina
8. Terapi a. Penderita dirawat selama 5 hari
b. Injeksi dexamethason intravena 5 hari berturut-turut
dengan dosis 40 mg untuk orang dewasa dan 20 mg
untuk anak-anak
c. Pengobatan dilanjutkan setelah penderita dipulangkan
dengan prednison 1 mg/kgBB/hari. Pengobatan ini
berlangsung sampai tercapai visus normal / maksimal dan
dipertahankan sampai 2 minggu kemudian tappering off
d. Bila penderita menolak dirawat, penderita berobat jalan
dengan prednison 1 mg/kgBB/hari hingga tercapai visus
normal/maksimal, kemudian dipertahankan selama 2
minggu dan selanjutnya dapat ditappering off.
9. Edukasi a. Mengurangi faktor resiko (lifestyle)
b. Jika terdapat penyakit penyerta (hipertensi, DM) harus
minum obat teratur
c. Keteraturan minum obat untuk mencegah terjadinya
rebound phenomenon
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis Visus, tes ishihara, tes kontras sensitivitas, gambaran
funduskopi, perimetri
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology Staff, Basic and
Clinical Science and Course, Section 5 : Neuro
Ophthalmology , Singapore, AAO, 2010 : hal 144 - 146
b. Tsai Jc, Denniston AKO, Murray P, Huang JJ, Aldad TS.
Oxford American Handbook of Ophthalmology. Oxford
University Press.USA. 2011. Hal : 522 – 523.
c. Ehlers JP, Shah CP. The Wills Eye Manual. 5th edition.
Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2010. Hal : 250 –
252.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

PAPIL EDEMA

1. Pengertian Edema papil nervus optikus diakibatkan peningkatan tekanan


intrakranial.
(Definisi)
2. Anamnesis d. Sakit kepala hebat, mual muntah.
e. Penurunan tajam penglihatan ataupun tidak
f. Mata tenang
g. Pusing yang tidak berkurang dengan obat analgesik.
h. Riwayat lamanya sakit kepala, hipertensi
3. Pemeriksaan Fisik i. Visus umumnya normal
j. Segmen anterior tenang
k. Refleks pupil normal ( RAPD - )
l. Fundus okuli :
 Tahap awal : papil N.II hyperemia, batas papil
kabur dan elevasi, edema peripapillary nerve fiber
layer ringan, pulsasi venous menghilang, dilatasi
kapiler optik disk.
 Tahap akut : seperti yang di atas. Perdarahan
peripapil, edema nerve fiber layer meningkat,
elevasi > 3D. pembuluh darah tilting.
 Tahap kronis : hyperemia↓, perdarahan perpapil↓,
umumnya masih terdapat elevasi namun bervariasi
dioptrinya.
m. Defek lapang pandangan : pembesaran bintik buta.
4. Kriteria Diagnosis n. Anamnesis
o. Pemeriksaan fisik
p. Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Papil edema
6. Diagnosis Banding q. Tumor intracranial
r. Idiopatik intrakranial hipertensi
7. Pemeriksaan s. MRI kepala-orbita  mutlak.
t. Perimetri : pembesaran bintik buta
Penunjang
8. Terapi u. Membantu menurunkan tekanan intrakranial :
Asetazolamid 250 mg 3 kali sehari, kalium tab ( KSR ) 1
kali sehari.
v. Bila penyebabnya SOL  Konsul bagian Bedah Syaraf
9. Edukasi 1. KIE prognosa visus
2. Penyebab primer diatasi  konsul ke bagian bedah saraf
10. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis Visus, tes ishihara, tes kontras sensitivitas, gambaran
funduskopi, perimetri
15. Kepustakaan w. American Academy of Ophthalmology. Basic and Science
Course 5th section. Neuro-Ophthalmology. San
Francisco. American Academy of Ophthalmology. 2010-
2011. p: 116 – 117.
x. Tsai Jc, Denniston AKO, Murray P, Huang JJ, Aldad TS.
Oxford American Handbook of Ophthalmology. Oxford
University Press. USA. 2011. Hal : 530 – 532.
y. Ehlers JP, Shah CP. The Wills Eye Manual. 5th edition.
Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2010. Hal : 252 –
254.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

TRAUMATIK OPTIK NEUROPATI (TON)

1. Pengertian (Definisi) Kerusakan saraf optic akibat trauma pada kepala, mata atau
bola mata. Dapat terjadi secara langsung avulsi saraf optic atau
akibat laserasi oleh pecahan tulang atau benda asing. Serta
penekanan pada saraf optik akibat perdarahan intraorbita.
Secara tidak langsung akibat trauma ringan pada bagian depan
kepala, yang berhubungan dengan penekanan pada saraf optik
dan gangguan vaskularisasi pada intrakanalikular.
2. Anamnesis Penurunan tajam penglihatan mendadak dan sering berat (24%-
86% pasien dengan tajam penglihatan tidak ada persepsi
cahaya) pada satu mata atau kedua mata setelah trauma mata,
tulang orbita, kepala.
3. Pemeriksaan Fisik a. Visus turun mendadak
b. Segmen anterior : didapatkan adanya jejas/scar akibat
trauma.
c. RAPD hampir selalu positif
d. Funduskopi : pada umumnya normal pada fase awal dan
akan menjadi atrofi dalam waktu 4-8 minggu
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Traumatik Optik Neuropati (TON)
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan a. Laboratorium : darah rutin
b. Hertel exopthalmometer
Penunjang
c. MRI atau CT scan kepala-orbita untuk melihat kelaian
pada tulang orbita, trauma kepala dan adanya hematoma.
8. Terapi a. Jika ada persepsi cahaya, kasus akut (apabila tidak ada
kontraindikasi) dilakukan pemberian sesegera mungkin 
Megadose intravena metil prednisolon; 1 gr / hari (30
mg/KgBB loading dose). Jika fungsi penglihatan setelah
terapi kortikosteroid terdapat perbaikan, konversi ke
oral terapi setelah 48 jam pemberian intravena untuk
menjaga perbaikan tajam penglihatan.
b. Jika tidak ada persepsi cahaya, berikan terapi
medikamentosa setelah 12-48 jam, atau dilakukan
tappering cepat apabila tidak didapatkan perbaikan
tajam penglihatan
c. Neuroprotektif
d. Transkranial atau trans-ethmoidal dekompresi kanal
optik
9. Edukasi a. KIE prognosa visus
b. Keteraturan minum obat untuk mencegah terjadinya
rebound phenomenon
10. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis Visus, tes ishihara, tes kontras sensitivitas, gambaran
funduskopi, perimetri
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology. Basic and Science
Course 5th section. Neuro-Ophthalmology. San
Francisco. American Academy of Ophthalmology. 2010-
2011. Hal: 153 – 155.
b. Tsai JC, Denniston AKO, Murray P, Huang JJ, Aldad TS.
Oxford American Handbook of Ophthalmology. Oxford
University Press. USA. 2011. Hal : 93.
c. Ehlers JP, Shah CP. The Wills Eye Manual. 5th edition.
Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2010. Hal : 34 - 36
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

TOXIC OPTIC NEUROPATHY

1. Pengertian (Definisi) Kondisi akut optik neuropati akibat terpapar zat toksik atau
defisiensi zat nutrisi dengan karakteristik hilangnya
penglihatan sentral yang simetris, bilateral tanpa disertai nyeri
dan berlangsung progresif.
2. Anamnesis a. Penurunan tajam penglihatan yang berat dan mendadak
pada kedua mata tanpa disertai rasa nyeri.
b. Kondisi sistemik terkait alkoholisme atau nutrisi yang
buruk.
c. Riwayat minum alkohol, banyaknya, jenis minumannya,
campurannya dan lamanya.
d. Riwayat lamanya merokok.
e. Konsumsi obat-obatan (obat TBC, jantung, malaria,
chloramphenicol, disulfiram).
f. Riwayat keganasan dan konsumsi obat-obatnya.
g. Riwayat operasi pemotongan usus halus.

3. Pemeriksaan Fisik a. Visus menurun


b. Segmen anterior tenang
c. Refleks pupil lambat atau tidak ada, RAPD - dan
midmidriasis
d. Fundus okuli : papil N.II bisa normal atau tampak
temporal optic disk yang pucat.
e. Defek lapang pandangan : sentral atau cecocentral.
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Toxic Optic Neuropathy
6. Diagnosis Banding a. Tumor intrakranial
b. Idiopatik intrakranial hipertensi
7. Pemeriksaan Penunjang a. Cek lab lengkap
b. Perimetri : sentral atau cecocentral
8. Terapi a. Terapi sesuai penyebab :
b. Stop zat toksik penyebabnya
c. Mengkonsumsi asupan diet yang kurang :
d. Thiamine 100 mg tablet 2 kali sehari
e. As folat 1 mg tablet 3 kali sehari
f. Methylcobalamin (B12) 1000 mg i.m
g. Pada toksik karena alkohol dapat diberikan steroid
sistemik intravena selama 5 hari berturut-turut ( bila
kadar gula darah dalam batas normal ) dgn
dexamethason 40 mg
h. Setelah 5 hari, steroid sistemik dilanjutkan peroral
dengan dosis 1 mg/KbBB. Pengobatan ini berlangsung
sampai tercapai visus normal / maksimal. Bila ada
perbaikan maka dosis dipertahankan sampai 2 minggu
kemudian tapering off.
i. Bila terdapat kondisi sistemik buruk atau kadar gula
darah tidak normal  konsul bagian Penyakit Dalam.
9. Edukasi a. Menghindari faktor resiko (alkohol, obat-obatan)
b. Apabila didapatkan riwayat hubungan seksual dengan
multipartner konsul ke polui VCT
c. Keteraturan minum obat untuk mencegah terjadinya
rebound phenomenon
10. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat Rekomendasi A
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis Visus, tes ishihara, tes kontras sensitivitas, gambaran
funduskopi, perimetri
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology. Basic and Science
Course 5th section. Neuro-Ophthalmology. San
Francisco. American Academy of Ophthalmology. 2010-
2011. p: 154 – 156.
b. Tsai Jc, Denniston AKO, Murray P, Huang JJ, Aldad TS.
Oxford American Handbook of Ophthalmology. Oxford
University Press. USA. 2011. Hal : 435 – 436.
c. Ehlers JP, Shah CP. The Wills Eye Manual. 5th edition.
Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2010. Hal : 259.

X. ORBITA / ONKOLOGI
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

Retinoblastoma

1. Pengertian Merupakan tumor ganas primer intraokular yang berasal dari sel-sel
( Definisi) germinal retina yang biasa dijumpai pada anak-anak dibawah usia 5
tahun

2. Anamnesis 1. Pedigree
2. Riwayat retinoblastoma (gejala dan tanda)
3. Riwayat kehamilan ibu penderita
4. Riwayat kelahiran (aterm atau preterm)
5. Riwayat Rubella
6. Riwayat trauma pada mata sebelumnya
7. Pemakaian oksigen yang berlebihan
8. Riwayat penyakit sebelumnya
9. Riwayat penyakit sekarang
10.Riwayat pengobatan sebelumnya
11.Riwayat sering kontak dengan binatang peliharaan
12.Riwayat keluarga menderita tumor ganas pada mata
3. Pemeriksaan fisik 1. Leukokoria (refleks pupil putih)
2. Strabismus
3. Glaukoma sekunder
4. Invasi tumor ke segmen anterior dapat menyebabkan mata
merah oleh karena tumor induced uveitis dan nodul iris yang
mungkin berhubungan dengan pseudo-hipopion
5. Inflamasi orbita yang menyerupai selulitis orbita atau preseptal
yang dapat disertai dengan tumor nekrosis
6. Invasi ke orbita dengan proptosis dan dapat pula invasi ke tulang
7. Metastasis ke pembuluh limfe regional dan otak
8. Funduskopi :
Tumor intraretinal : homogen, lesi putih bentuk kubah yang
menjadi ireguler, sering disertai kalsifikasi putih
Tumor endofitik : masuk ke vitreous sebagai massa putih
Tumor exofitik : tumor subretina, massa putih multilobul dengan
dasar ablasio retina
4. Kriteria diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan klinis
3. Sarana Penunjang
4. Diagnosis pasti : biopsi dan pemeriksaan histopatologi
5. Diagnosis Kerja Retinoblastoma
6. Diagnosis Banding 1. Persistent Hyperplastic Primary Vitreous (PHPV)
2. Penyakit Coats
3. Retinopathy of Prematurity (ROP)
4. Toxocariasis (toxocara granuloma)
5. Koloboma
6. Retinal Dysplasia
7. Perdarahan vitreous
7. Pemeriksaan 1. USG
Penunjang 2. CT Scan
3. MRI
4. Foto polos orbita
5. Pemeriksaan Patologi Anatomi (PA)
6. Pemeriksaan pungsi sumsum tulang (BMP) dan Pungsi lumbal
(LP)
8. Terapi Pengobatan/tindakan pada retinoblastoma tergantung stadiumnya
1. Bila hasil pemeriksaan rutin dan penunjang tumor masih terbatas
intraokuler, maka tergantung besar dan lokasi tumor, dapat
diberikan salah satu atau kombinasi dari jenis-jenis pengobatan
dibawah ini :
 Fotokoagulasi laser
 Radioterapi
 Krioterapi
 Kemoterapi
 Enukleasi (pada stadium 4 dan 5)—bila hasil pemeriksaan
PA menunjukkan :
 Tepi sayatan N II bebas tumor, sklera bebas
tumor
 Sklera sudah terkena atau tepi sayatan N II tidak
bebas tumor
2. Bila hasil pemeriksaan rutin dan penunjang menunjukkan tumor
sudah meluas ke ekstraokuler :
 Tanpa destruksi dinding orbita, tanpa metastasis—
eksenterasi orbita dilanjutkan radioterapi dan
kemoterapi
 Bila terdapat destruksi dinding orbita dengan atau tanpa
metastasis jauh—radioterapi dan kemoterapi
9. Edukasi 1. KIE visus
2. KIE prognosis sesuai stadium
10. Prognosis  Ad vitam : dubia
 Ad sanationam : dubia
 Ad fungsionam : dubia
 Tergantung pada beberapa faktor (indikator) prognostik yaitu
faktor histologis dan faktor klinis
 Faktor prognostik secara histologi adalah ada tidaknya invasi sel
tumor dan diferensiasi sel tumor. Adanya invasi sel tumor ke
koroid, nervus optikus dan orbita merupakan prognosa jelek
terhadap kehidupan, sedangkan secara diferensiasi sel tumor
didapatkan angka mortalitas lebih rendah apabila semakin
banyak gambaran rosettes dibandingkan dengan highly
undefferentiated tumor
 Adapaun faktor resiko secara klinis antara lain kecepatan dan
ketepatan diagnosis, riwayat operasi intraokuler sebelumnya dan
penggunaan terapi tambahan external beam radiotherapy
11. Tingkat Evidens I / II / III / IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophtalmology Staff. Ophtalmic Pathology
and Intraocular Tumor. Basic Clinical Science Course. The
Foundation of American Academy of Ophtalmology 2011-
2012.p.117-47,p.251-66
2. Kanski JJ, Clinical Ophtalmology. Butterworth-Heinemann:
International Editions;2011;p.334-341
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

KARSINOMA SEL BASAL (BASALIOMA)


1. Pengertian Tumor yang berasaldarilapisan basal selepitel. Merupakan
(Definisi) tumor ganasmaligna yang seringpadakelopakmata. Insiden
paling seringpadadaerahkelopakmatabawahdan canthus
medial. Jarangterjadimetastasis
tetapiinvasifsecaralokal.
2. Anamnesis a. Pertumbuhan tumor perlahan
b. nyeri
c. mudahberdarah
3. PemeriksaanFisik a. Ulkusroden
b. massarapuh
c. nodul
d. Immobile
e. batastidaktegas
f. telengiektasissekitartepi tumor
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis paparan sinar, riwayat sebelumnya,
pertumbuhan tumor
b. Pemeriksaan ukuran tumor, batas tumor, pemukaan
tumor, letak tumor, perlekatan pada dasarnya

5. DiagnosisKerja KarsinomaSel Basal (Basalioma)


6. Diagnosis Banding a. Karsinoma Sel skuamosa
b. Melanoma Maligna
7. PemeriksaanPenunja a. PemeriksaanHisto-PA
ng
8. Terapi 1. Tumor terbataspada adnexa
 Eksisi 3-5 mm dari batas makroskopis tumor,
dipandu dengan potong beku
 Rekonstruksi
2. Tumor menginvasi orbita
 Eksenterasi
 Radioterapi
3. Tumor meluas di luar area mata, intrakranial, atau
sinus paranasal
 Operasi bersama bagian bedah onkologi, bedah
saraf, atau THT
4. Kasus inoperable dilakukan tindakan radiasi paliatif

9. Edukasi KIE penyakit, prognosis visus, resiko komplikasi paska


tindakan, resiko terjadi rekurensi
10. Prognosis Advitam : dubiaadbonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubiaadbonam/malam
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. PenelaahKritis a. Dr. Syamsul H, Sp.M
b. Dr. Yulia Anita, Sp.M
c. Dr. Manfred H, Sp.M
d. Dr. Baswara NEW, SpM
e. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. IndikatorMedis a. Hilangnya lesi dan dari segi kosmetis baik
b. Tidak didapatkan metastase

15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology staff. Orbit,


Eyelids and Lacrimal System. Basic and Clinical
Course. Section 7. San Fransisco: American
Academy of Ophthalmology; 2011-2012.
b. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology : A Systematis
Approach. 7th Edition. Elsevier 2011.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SYAHRANIE
SAMARINDA

MELANOMA MALIGNA

1. Pengertian tumor ganas yang berasal dari sel-sel pigmen melanosit,


(Definisi) dapat tumbuh dari nevus, primary acquired melanosis
atipikal
2. Anamnesis Riwayat keluarga dengan lesi yang sama, paparan sinar
matahari, lesi berpigmen yang berubah ukuran, warna,
ulserasi, mudah berdarah
3. Pemeriksaan Fisik Ditemukan lesi berpigmen pada usia 20 tahun pertama
Warna lebih gelap (melanotyc) atau terang (amelanotyc)
Tepi dan permukaan lesi tidak rata, Jaringan mudah
berdarah, diameter ≥ 6mm
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja Melanoma maligna
6. Diagnosis Banding a. Karsinoma sel basal
b. Karsinoma sel skuamosa
c. Nevus melanositik
d. Keratosis seborhoik
7. Pemeriksaan Histo PA
Penunjang LDH level : sebagai prediktorsurvival
Sentinel lymph node biopsy (SLNB) : untuk staging tumor
Pemeriksaan radiologis (CT scan, MRI,CXR) : untuk
mengetahui metastase
8. Terapi 1. Tumor terbatas pada kelopak
 Biopsi insisi
 Eksisi full thickness, dipandu potong beku, 6-7
mm batas makroskopis tumor
2. Tumor terbatas konjungtiva : eksisi 6-7 mm batas
makroskopis tumor, jika memungkinkan
3. Tumor invasi ke orbita
 Eksenterasi
 Radioterapi
 Konsul penyakit dalam untuk pemberian
sitostatika
4. Tumor invasi kelenjar getah bening, intracranial, sinus
paranasal, tanpa metastase jauh
 Operasi bersama dengan bedah onkologi,
bedah saraf, THT
 Konsul penyakit dalam untuk sitostatika
 Radioterapi
5. Metastase jauh
 Konsul penyakit dalam (sitostatika)
 Radioterapi
9. Edukasi KIE penyakit, prognosis visus, resiko komplikasi paska
tindakan, resiko terjadi rekurensi
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5.
Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis a. Hilangnya lesi dan dari segi kosmetik baik
b. Tidak didapatkan metastase
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology staff. Orbit,
Eyelids and Lacrimal System. Basic and Clinical
Course. Section 7. San Fransisco; American
Academy of Ophthalmology; 2011-2012
b. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology; A systematis
Approach. 7th Edition Elsevier 2012
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

MENINGIOMA – GLIOMA
1. Pengertian (Definisi) Tumor pada jaringan neural. Pada umumnya terjadi pada
anak anak sampai usia pertengahan. Meningioma berasal
dari greater wing tulang sphenoid dapat berupa massa di
fossa temporal. Glioma 25-50% berhubungan dengan
neurofibromatosis. Proses intrakranial dapat disertai
kompresi pada saraf optik.
2. Anamnesis a. Mata menonjol
b. proses perlahan
c. tidak nyeri
d. dapat disertai penurunan ketajaman penglihatan
3. Pemeriksaan Fisik a. Proptosis
b. unilateral
c. optic disc edema
d. RAPD +
e. dapat ditemukan optik atropi
f. dapat ditemukan strabismus
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis riwayat sebelumnya; riwayat
penggunaan kontrasepsi hormonal jangka waktu
lama
b. Posisi bola mata dengan pemeriksaan hertel
eksoftalmometer didapatkan proptosis
c. pergerakan bola mata dapat terhambat
d. dapat disertai lagoftalmus
e. pemeriksaan visus ↓
5. Diagnosis Kerja Proptosis e.c Meningioma/ Glioma
6. Diagnosis Banding a. Meningioma
b. Glioma
c. Osteoma
7. Pemeriksaan Pemeriksaan Radiologis (foto polos kepala/CT Scan/MRI)
Penunjang
8. Terapi 1. Tumor terbatas intra orbita
a. Usia ≤ 50 tahun, visus ≥ 1/60, dilakukan tindakan :
 Observasi
 Follow up visus dan lapang pandang setiap
bulan
 Bila visus menurun lebih dari 2 baris Snellen
chart, atau lapang pandang memburuk progesif :
double enukleasi (enukleasi + ekstirpasi tumor)
b. Usia ≤ 50 tahun, visus < 1/60, dilakukan tindakan
double enukleasi
c. Usia > 50 tahun, visus ≥ 1/60 : observasi
d. Usia > 50 tahun, visus < 1/60 : observasi
2. Tumor meluas ekstraorbita
 Ekstirpasi tumor, dimungkinkan operasi bersama
dengan bagian bedah saraf, onkologi, atau THT
 Dilanjutkan dengan radioterapi
9. Edukasi KIE tentang penyakit, prognosis visus, resiko komplikasi
paska tindakan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
6. Indikator a. Proptosis berkurang
Medis b. Pendesakan Nervus Optikus berkurang
7. Kepustakaa a. American Academy of Ophthalmology staff. Orbit,
n Eyelids and Lacrimal System. Basic and Clinical
Course. Section 7. San Fransisco: American
Academy of Ophthalmology; 2011-2012.
b. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology : A Systematis
Approach. 7th Edition. Elsevier 2011.

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

PSEUDOTUMOR

1. Pengertian (Definisi) Penyakitinflamasiorbitanonspesifik


2. Anamnesis DapatbersifatAkut, rekuren, kronik
Sangatnyeri
Mata merah
Penglihatanganda
Penurunanvisusterutamapadakeadaanakut
Padaanak-anak: disertaidemam, sakitkepala, muntah,
nyeriperut, letargi
3. PemeriksaanFisik Proptosisdan/atauhambatangerak bola mata
Padasatumata
(unilateral)
Penebalanotot-ototekstraokular, hingga tendon
Peradangansklera posterior
Peradangantenonkapsulpadajaringanlemakorbita,
dapatmengenaikelenjarlakrimal
4. Kriteria Diagnosis a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan penunjang
5. DiagnosisKerja Melanoma maligna
6. Diagnosis Banding 1. Selulitisorbita
2. Thyroid yang berhubungandengankelainanorbita
3. Rhabdomyosarcoma
4. Sarcoidosis
5. Lymphangioma
6. Melanoma malignachoroidal

7. PemeriksaanPenunja CT scan kepala&orbitapotongan axial dan coronal


ng Tesserologi (LED, ANA, BUN, kreatinin, guladarah I & II,
Level ACE)
Gallium scan
Fotorontgenthoraks
8. Terapi 1. Pemberian steroid oral (prednison 2mg/kgBB/hr),
dosis tunggal per hari selama 14 hari
2. Bila ada perbaikan, dosis diturunkan secara
bertahap / tappering off (25% dari dosis terakhir)
3. Bila saat tappering off, terjadi perburukan gejala
klinis, maka dosis dinaikkan kembali sebesar 25%
4. Bila dengan steroid tidak ada perbaikan, dilakukan
biopsi incisi / excisi dan dilanjutkan dengan
pemeriksaan patologi anatomi dan imunologi (jika
curiga limfoma maligna)
5. Bila hasil pemeriksaan patologi dan imunologi
menunjukkan limfoma, maka konsultasi ke SMF
Penyakit Dalam (hemato-onkologi)
6. Bila hasil pemeriksaan patologi menunjukkan
pseudotumor, dapat diulangi pemberian steroid oral,
atau dipertimbangkan pemberian radiasi (khususnya
untuk pseudotumor tipe sklerotik).
7. Jika intolerance atau ada kontraindikasi terhadap
pemberian steroid oral, maka dipertimbangkan terapi
radiasi atau pemberian obat golongan sitistatika
(cyclophospamid, cyclosporin)
8. Untuk dosis maintenance dapat diberikan steroid oral
2 tablet selang sehari / alternate dose
9. Edukasi KIE penyakit, prognosis visus, resiko komplikasi paska
tindakan, resiko efek samping pengobatan
10. Prognosis Advitam : dubiaadbonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubiaadbonam/malam
11. Tingkat Evidens I
12. Tingkat A
Rekomendasi
13. PenelaahKritis a. Dr. Syamsul H, Sp.M
b. Dr. Yulia Anita, Sp.M
c. Dr. Manfred H, Sp.M
d. Dr. Baswara NEW, SpM
e. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. IndikatorMedis Berkurangnya proptosis, hilangnya keluhan nyeri dan
diplopia
15. Kepustakaan a. American Academy of Ophthalmology staff. Orbit,
Eyelids and Lacrimal System. Basic and Clinical
Course. Section 7. San Fransisco; American
Academy of Ophthalmology; 2011-2012
b. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology; A systematis
Approach. 7th Edition Elsevier 2012
XI. PEDIATRIK OFTALMOLOGI

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

Retinopathy of Prematurity

1. Pengertian Retinopati bilateral berupa proliferasi abnormal jaringan vaskular retina


( Definisi) yang terjadi pada bayi prematur dimana sistem vaskularisasi retina
perifer belum lengkap.

2. Anamnesis  Usia gestasi ( < 30 minggu ) saat lahir


 BBLR ( < 1500 grm ) saat lahir
 Riwayat persalinan
 Riwayat pemakaian O2 dosis tinggi dan lamanya
 Riwayat respiratory distress syndrome : HMD

3. Pemeriksaan fisik  Pemeriksaan segmen anterior mata


 Pemeriksaan segmen posterior dengan penggunaan midriatikum. Alat
indirek ofthalmoskopi atau dengan wide field retinal camera ( redcam
1200 )
Stage : 0. Vaskularisasi imatur
1. Demarcation line
2. Ridge ± small tuft fibrovascular proliferation
3. Ridge with extraretinal fibrovascular proliferation
4. Subtotal retinal detachment
5. Total retinal detachment
Zone : I. Polus posterior  radius 300
II. Tepi zona I ke arah nasal ora serata dan ekuator temporal
III. Anterior dari zona II
plus disease : bila terdapat pembesaran vena dan tortousity arteri
pada polus posterior.
Threshold : stage 3 dengan plus disease, seluas 5 jarum jam atau
akumulasi 8 jarum jam.
4. Kriteria diagnosis  Anamnesis
 Pemeriksaan segmen anterior mata
 Pemeriksaan segmen posterior mata
5. Diagnosis Kerja  ROP stage (0-5), zona ( I-III )
6. Diagnosis Banding  Retinoblastoma
 PHPV
 Katarak kongenital
7. Pemeriksaan  Redcam
Penunjang

8. Terapi  Observasi :vaskularisasi imatur


 Laser photocoagulasi / cryotherapy : threshold disease
9. Edukasi  Prognosa visus
 Komplikasi ROP : glaukoma, retinal detachment, strabismus
10. Prognosis  Ad vitam : dubia
 Ad sanationam : dubia
 Ad fungsionam : dubia
11. Tingkat Evidens I / II / III / IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophtalmology Staff, Basic and Clinical
Science and Course: Pediatric Ophtalmology and Strabismus,
AAO,2011-2012
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

Glaukoma Kongenital

1. Pengertian Glaukoma kongenital adalah glaukoma pada anak yang disebabkan oleh
( Definisi) gangguan perkembangan (maldevelopment) dari anyaman trabekular
tanpa disertai kelainan perkembangan okuler lainnya atau penyakit yang
dapat meningkatkan tekanan intraokuler (TIO)
2. Anamnesis 1. Mata berair (nrocoh)
2. Silau atau hipersensitif terhadap cahaya (fotofobia)
3. Mata merah +/-
4. Penglihatan menurun
3. Pemeriksaan fisik 1. Blefarospasme
2. Pemeriksaan visus
3. Inspeksi kornea
4. Pengukuran tekanan intraokuler
5. Pemeriksaan nervus optikus
4. Kriteria diagnosis 1. Peningkatan TIO pada bayi dan anak
2. Buftalmos
3. Peningkatan diameter kornea
4. Kekeruhan kornea
5. Penurunan visus
6. Cupping diskus optikus
5. Diagnosis Kerja Glaukoma kongenital
6. Diagnosis Banding 1. Edema dan kekeruhan kornea : trauma saat persalinan, sklerokornea,
distrofi kornea, anomali Peter, keratitis
2. Pembesaran kornea : miopia aksial, megalokornea herediter,
keratoglobus
3. Epifora dan mata merah : konjungtivitis, abrasi/ defek epitel kornea,
obstruksi duktus nasolakrimalis kongenital, inflamasi okuler
(uveitis,trauma)
4. Fotofobia : keratitis, aniridia, iritis
5. Cupping nervus optikus : atrofi nervus optikus, malformasi nervus
optikus, hipoplasia nervus optikus, koloboma nervus optikus
6. Semua glaukoma lainnya dengan kelainan perkembangan akular dan
sistemik : aniridia, kelainan perkembangan segmen anterior,
sindroma Sturge-Weber, neurofibromatosis dan sindrom Lowe
7. Pemeriksaan 1. Perimetri
Penunjang 2. Gonioskopi
3. A-scan USG
8. Terapi 1. Operasi : merupakan terapi yang utama. Beberapa jenis operasi
yang dapat dilakukan antara lain yaitu : Goniotomi,
Trabekolotomi, Trabekulektomi, Glaukoma implan,
siklodestruktif
2. Medikamentosa : Beta blockers, Carbonic anhydrase inhibitor,
prostaglandin agonis, parasimpatomimetik, simpatomimetik
(adrenergik agonis dan alfa adrenergik agonis)
9. Edukasi 1. KIE Resiko kebutaan pada glaukoma yang tidak terkontrol
dengan terapi
2. KIE Kerusakan nervus optikus
3. KIE Kerusakan pada kornea
4. KIE Gangguan refraksi yang tidak dapat dikoreksi
5. KIE Ambliopia
10. Prognosis  Ad vitam : dubia
 Ad sanationam : dubia
 Ad fungsionam : dubia
11. Tingkat Evidens I / II / III / IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophtalmology Staff, Basic and Clinical
Science and Course: Pediatric Ophtalmology and Strabismus,
AAO,2011-2012 :hal 233-8
2. Stamper, Robert L, Marc F Lieberman, Michael V Drake, Becker-
Shaffer’s. Diagnosis and Therapy of The Glaucomas, China,
Elsevier Inc,2009 : hal 295-311
3. Kanski Jack J, Clinical Ophtalmology : A Systemic Approach, China
: Elsevier Inc,2010: hal 417-20

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

Oftalmia Neonatorum

1. Pengertian Konjungtivitis yang mengenai neonatus pada bulan pertama kehidup[an


( Definisi) yang disebabkan beragam agen seperti bakteri, virus, dan zat kimia.

2. Anamnesis a. Onset terjadinya


b. Sekret purulen atau serous
c. Riwayat Kelahiran
d. Riwayat Kehamilan
3. Pemeriksaan fisik 1. Slit lamp  segmen anterior, sekret (+)
2. Loop
3. Fluorescein test

4. Kriteria diagnosis 1. Ditemukan agen penyebab pada swab sekret


2. Hasil Kultur Sekret

5. Diagnosis Kerja Oftalmia Neonatorum


6. Diagnosis Banding Oftalmia Neonatorum e.c GO
Oftalmia Neonatorum e.c Chlamidia
Oftalmia Neonatorum e.c Virus (Herpes Simpleks)

7. Pemeriksaan 1. Swab Sekret Cito --> pewarnaan Gram


Penunjang 2. Kultur sekret mata
8. Terapi 1. Antibiotik sistemik sesuai agen penyebab
2. Irigasi topikal
3. Observasi dengan swab sekret
9. Edukasi 1. KIE Komplikasi ulkus kornea hingga perforasi mata
2. KIE Higiene
3. KIE Orang tua untuk dikonsulkan ke bagian Kulit-Kelamin
4. KIE prognosis dan penyakit
10. Prognosis  Ad vitam : dubia
 Ad sanationam : dubia
 Ad fungsionam : dubia
11. Tingkat Evidens I / II / III / IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophtalmology Staff, Basic and Clinical
Science and Course: Pediatric Ophtalmology and Strabismus,
AAO,2011-2012
2. American Academy of Ophtalmology Staff, Basic and Clinical
Science and Course: External eye Disease, AAO,2011-2012
3. Kanski Jack J, Clinical Ophtalmology : A Systemic Approach, China
: Elsevier Inc,2010
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
RS ABDUL WAHAB SJAHRANIE
SAMARINDA

STRABISMUS

1. Pengertian Ketidaksejajaran bola mata yang dapat menimbulkan kelainan


( Definisi) penglihatan binokular dan pergerakan bola mata

2. Anamnesis  Apakah terjadi pasca trauma atau sakit yang lain?


 Apakah deviasinya konstan atau intermiten?
 Apakah julingnya saat melihat dekat atau jauh atau keduanya?
 Apakah julingnya terjadi satu mata atau terjadi bergantian?
 Apakah terjadi saat lelah atau terus menerus?
 Apakah ada keluhan melihat ganda?
 Adakah riwayat memakai kacamata?
 Adakah riwayat memakai obat-obatan?
3. Pemeriksaan fisik  Pemeriksaan tajam penglihatan (jauh dan dekat)
 Pemeriksaan refraksi dengan sikloplegik
 Pemeriksaan gerak bola mata (duksi dan versi)
 Pemeriksaan kesejajaran bola mata dengan:
 Refleks cahaya kornea (tes hirscberg, krimsky)
 Cover test (cover-uncover test, alternate cover test, prism
cover test)
 Tes Maddox
 Tes WFDT
 Pemeriksaan segmen anterior
 Funduskopi
4. Kriteria diagnosis  Anamnesis
 Pemeriksaan oftalmologis
 Pemeriksaan kesejajaran bola mata
5. Diagnosis Kerja  Esodeviasi ( congenital esotropia, accomodative esotropia,
nonaccomodative acquired)
 Eksodeviasi (exoforia, intermitten exotropia, constant exotropia)
6. Diagnosis Banding  Wide nasal bridge
 Prominent epicanthal fold
 Narrow interpupillary distance
7. Pemeriksaan Sinoptofor
Penunjang
8. Terapi 1. Non operatif:
Kacamata bifokal
Long acting cholinesterase inhibitor
2. Operatif:
Recess-resect
9. Edukasi KIE penyakit, prognosis, dan manajemen terapi

10. Prognosis  Ad vitam : dubia


 Ad sanationam : dubia
 Ad fungsionam : dubia
11. Tingkat Evidens I / II / III / IV
12. Tingkat A/B/C
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis 1. Dr. Syamsul H, Sp.M
2. Dr. Yulia Anita, Sp.M
3. Dr. Manfred H, Sp.M
4. Dr. Baswara NEW, SpM
5. Dr. Nur Khoma F, MKes, SpM
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan 1. American Academy of Ophtalmology Staff, Basic and Clinical
Science and Course: Pediatric Ophtalmology and Strabismus,
AAO,2011-2012

Anda mungkin juga menyukai