Terapi)
Namrata Sharma, MD, Pranita Sahay, MD, Prafulla K. Maharana, MD, Deepali Singhal, MD,
Gunjan Saluja, MD, Pooja Bandivadekar, MD, Jacob Chako, MD, Tushar Agarwal, MD,
Rajesh Sinha, MD, Jeewan S. Titiyal, MD, Gita Satpathy, MD, and Thirumurthy Velpandian,
MD
Tujuan: untuk mengevaluasi manfaat protokol topikal, sistemik, dan target terapi pengobatan
keratitis jamur
Metode: Semua kasus keratitis jamur yang diberikan diterapi awal berdasarkan hasil
apusan dan/atau kultur jaringan positif antara juni 2013 hingga mei 2017 dipilih dalam
penelitian ini. Protokol TST termasuk pengobatan inisial dengan natamisin topikal 5% dengan
tambahan ketokonazol dan vorikonazol oral pada pasien ulkus dengan ukuran >5 mm dan
kedalaman >50%, atau impending perforasi. Vorikonazole topikal 1% diberikan pada kasus
dengan respon yang rendah pada hari ke 7 sampai ke 10. Injeksi anti jamur intrastromal atau
intrakamera pada kasus respon yang rendah dengan terapi kombinasi. Keratoplasti dilakukan
pada kasus yang memeliki respon yang rendah terhadap semua regimen terapi,
Hasil: Penelitian ini melibatkan 223 kasus keratitis fungi dengan rata-rata umur 43,6±15,3 tahun
dan rasio laki-laki perempuan 1,8:1. Rata-rata luas ulkus dan infiltrat yang masing-masing
25,52±19 dan 25,7±14,4 mm2. Visus terkoreksi mempresentasikan 2,05±0,43 logMAR yang
diperberbaiki menjadi 1,6±0,4 logMAR dalam 3 bulan. Fusarium (42.2%) mikroorganisme yang
kebanyakan didapat, diikuti dengan Aspergillus(32,8%). Rata-rata waktu penyembuhan luka 41,5
±22,2 hari, dengan ukuran skar 14,6 ± 8,2 mm2. Tingkat keberhasilan pengobatan dengan
protokol TST adalah 79,8%. Perforasi kornea 7% kasus (n=15) dan keratoplasti 20,25% kasus
(n=45).
Kesimpulan: Protokol TST menyediakan sebuah langkah-langkah algoritma tatalaksana
pengobatan kasus keratitis jamur dengan berbagai derajat keparahan.
Kata kunci: keratitis jamur, mycotic ulcer, injeksi intrastromal, natamicin, voriconazole,
ketoconazol.
Keratis jamur, umumnya dijumpai di daerah tropis dan subtropis, yang merupakan
penyabab utama kebutaan kornea. Prognosis keratitis jamur buruk karena tidak tersedianya obat
antijamur dengan penetrasi okular yang baik. Ada beberapa laporan yang menggambarkan hasil
pengobatan dalam kasus ulkus jamur; Namun, penelitian ini hanya mengevaluasi sebagian
tertentu dari ulkus kornea jamur menggunakan obat tertentu. Tidak ada penelitian yang
dipublikasi yang mengevaluasi regimen pengobatan secara komprehensif yang mencakup semua
tahap dan tingkat ulkus keratitis jamur. Kurangnya protokol pengobatan secara komprehensif
yang spesifik telah menyebabkan variabilitas dalam pola praktik subspesialisasi kornea di
seluruh dunia. Hal ini membingungkan dokter spesialis mata (orang pertama yang melakukan
kontak) dalam memulai pengobatan yang tepat pada kasus keratitis jamur.
Artikel ini menyajikan hasil terapi dengan menggunakan protokol topikal, sistemik dan
Dalam studi intervensi prospektif ini, semua kasus keratitis jamur yang dipresentasikan di
klinik kornea Dr. Rajendra Prasad Centre for Ophthalmic Sciences, pusat perawatan mata tersier,
antara Juni 2013 dan Mei 2017. Informed consent diperoleh dari semua peserta. Persetujuan
komite etik diperoleh dari kelembagaan Komite Etik, AIIMS, New Delhi. Penelitian ini
Kriteria inklusi adalah keratitis jamur yang dengan apusan / atau kultur jaringan dan
pasien yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Tidak ada kriteria klinis yang digunakan
untuk memulai terapi antijamur tanpa adanya KOH atau kultur jamur, untuk menghindari bias
dalam penelitian ini. Kriteria eksklusi adalah kasus keratitis mikroba campuran (analisis apusan
atau kultur), bukti keratitis herpes berdasarkan riwayat atau pemeriksaan, perforasi atau
Rincian mengenai riwayat termasuk usia, jenis kelamin, onset, perkembangan, dan faktor
predisposisi seperti trauma, penggunaan steroid, atau operasi mata baru-baru ini telah diperoleh.
Parameter dasar termasuk visus terkoreksi (CDVA), lokasi, ukuran, dan kedalaman ulkus
dilaporkan. Ukuran kerusakan epitel dan infiltrat stroma diukur dengan menggunakan slit-lamp
pada dimensi terbesar dan sepanjang sumbu tegak lurus terhadapnya. Kedalaman infiltrat dinilai
Mengikis kornea dilakukan pada semua kasus dan sebagai sampel subjek perwarnaan
gram, persiapan KOH dan bakteri (agar darah dan agar coklat) dan kultur jamur (agar dekstrose
Pengobatan berdasarkan protokol TST yang mana telah kita ikuti dalam 4 tahun terakhir.
Semua kasus di follow-up pada hari ke 3,7,14,21dan setiap minggu sampai tahap penyembuhan
selesai.
Potokol pengobatan
Semua kasus pengobatan dimulai dengan natamicin topikal 5% (NTM) setiap jam dalam
48 jam pertama. Setiap 2 jam selama periode terjaga sampa penyembuhan epitel dapat diamati,
kemudian setiap 4 jam selama 3 minggu. Selain itu pemberian siklopegik diberikan dalam
bentuk homatropine topikal 2% setiap 4 kali sehari. Pada kasus dengan respon yang rendah
terhadap terapi pada follow-up hari ke 7 sampai hari ke 10, vorikonazole 1 % (VCZ)
ditambahkan setiap jam pada 48 jam pertama, dan kemudian setiap 2 jam selama periode
terjaga hingga penyembuhan luka mulai muncul. Pada kasus dengan respon yang rendah
setelah 7 sampai 10 hari dari awal mulai terapi VCZ, injeksi intrastromal/intrakamera/kombinasi
obat antijamur dapat diberikan. Hal yang sama diulangi hingga maksimal 4 kali injeksi dengan
interval 72 jam. Obat anti jamur sistemik diberikan pada semua kasus dengan ulkus yang
memiliki diameter linear maksimum >5 mm dan atau kedalaman ulkus >50% dan di
lanjutkan sampai proses penyembuhan sempurna pada infiltrate kornea. Ketokonazole oral
(KCZ) 200 mg 2 kali sehari dengan makanan atau VCZ oral 200 mg 2 kali sehari 2 jam setelah
makan merupakan obat yang diberikan untuk pengobatan sistemik. Pemeriksaan fungsi hari
secara serial telah dilakukan pada kasus ini. Keratoplasti dilakukan pada kasus yang tidak respon
terhadap injeksi intrastromal, ulkus kornea yang berhubungan dengan penipisan dimana injesi
intrastromal memiliki resiko tinggi perforasi kornea, dan pada kasus-kasus perforasi kornea
Teknik injeksi intrastromal mirip dengan kami jelaskan dalam salah satu penelitian
sebelumnya. Secara singkat, teknik ini melibatkan beberapa kali injeksi VCZ 50 mg/0,1 ml
dilarutkan dalam spuit 1 cc dengan jarum 30-G. jarum dimasukkan miring kedalam kornea dari
Ukuran hasil termasuk CDVA dalam 3 bulan, persentasi kasus sembuh setiap grup,
Analisis statistik
HASIL
Selama masa penelitian 4 tahun, 3014 kasus ulkus kornea datang ke klinik kornea kami,
1125 di antaranya adalah apusan atau kultur jaringan terbukti keratitis jamur. Namun, hanya 223
kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan dipilih untuk tujuan penelitian. Jumlah kasus yang
dikeluarkan secara signifikan lebih banyak daripada yang terdaftar. Ini karena tempat kami
adalah pusat rujukan, dan kasus-kasus yang kami hadapi telah terpapar dengan beberapa obat
antijamur yang dapat melemahkan tujuan utama penelitian kami. Oleh karena itu, kami
mengecualikan pasien ini untuk mereplikasi situasi yang dihadapi oleh dokter spesialis mata
umum.
Parameter dasar
Rata-rata umur pada kasus ini 43,6±15,3 tahun (jarak 8 bulan-85 tahun), dengan rasio
laki-laki perempuan 1,8:1. Rata-rata waktu presentasi klinik kornea kami 29,7 ± 21,2 hari (jarak
3-120 hari), dengan CDVA 2,05 ± 0,43 logMAR (jarak 0,83-3). Umumnya faktor resiko
berhubungan dengan kejadian keratitis jamur adalah trauma (113/223; 50,6%), penggunaan
steroid (12/223; 5,3%), post-keratoplasti (13/223; 5,8%), post pembedahan katarak (2/223;
0,89%). Sedangkan lokasi ulkus kebanyakan berada di sentral atau para sentral, 7,6% kasus
(17/223) ulkus kornea perifer. Rata-rata luas ulkus dan infiltrat masing-masing 25.52 ± 19 dan
Kultur jamur positif dalam kasus ini 66,8% (143/223). Dengan Fusarium sebagai
mikroorganisme utama yang ditemukan (42%, n = 63/149). Dan diikuti dengan Aspergillus spp.
(49/149; 32,8%). Alternaria spp. (9/149; 6%), Cladosporium spp (5/149; 3,3%), Acremonium
(5/149; 3,3%), Curvularia (5/149;3,3%), Candida (2/149; 1,3%), Penicilium (2/149; 1,3%) dan
yang lain (9/149; 6,1%). (Tabel 3). Umumnya mikroorganisme diisolasi dari kultur kornea host
pada kasus ini mendapatkan tindakan keratoplasti (36/223; 16,1%) adalah Aspergillus spp.
(17/36; 47,2%) diikuti oleh Alternaria (7/36; 19,4%), Fusarium spp (6/36: 16,6%) dan Candida
(1/36; 2,7%). Reinfeksi tercatat pada 4 mata setelah tindakan keratoplasti, dan mikroorganisme
positif dalam kasus ini adalah Alternaria spp. di 2 mata dan Fusarium spp dan Aspergillus spp.
Masing-masing 1 mata.
Mikroorganisme N(%)
Fusarium species 63 (42.2%)
Aspergillus species 49 (32.8%)
Alternaria species 9 (6%)
Acremonium species 5 (3.3%)
Curvularia specie 5 (3.3%)
Cladosporium 5 (3.3%)
Candida species 2 (1.3%)
Penicillium 2 (1.3%)
Others 9 (6.1%)
Hasil Pengobatan
kelompok Intrastromal (n=82), tingkat keberhasilan 89%, dan kelompok tatalaksana medikal
(n=141) 74,5%. Perforasi kornea 15 kasus (6,7%) saat perawatan, dan tindakan terapetik
keratoplasti 45 kasus (20,2%) karena kegagalan pengobatan (perforasi/ ulkus kornea yang tidak
keseluruhan, rata-rata waktu proses penyembuhan pada penilitian ini 41,5±22,2 hari. Pada kasus
yang diberikan injeksi antijamur intrastromal waktu proses penyembuhan 36,2±10,7 hari. Proses
waktu penyembuhan pada kasus yang diobati dengan hanya topikal atau sistemik antijamur
45,8±27,6 hari. Rata-rata CDVA dalam 3 bulan 1,6±0,4 logMAR (jarak 0-2,7 logMAR), dengan
DISKUSI
Keratitis jamur adalah patologi yang cukup banyak pada kornea, yang jika diobati dengan
baik dan cepat, dapat sangat mengurangi morbiditas okular. Dalam beberapa dekade terakhir,
beberapa agen antijamur baru telah dikembangkan dengan efek yang lebih baik. Banyak
penelitian telah dilakukan pada hasil pengobatan dari masing-masing obat dan terapi kombinasi.
Namun, tidak ada pedoman manajemen standar yang jelas untuk kasus keratitis jamur.
Pada penelitian ini menggunakan protokol TST untuk pengolaan kasus keratitis jamur
dengan hasil apusan atau kultur positif. Tingkat keberhasilan penelitian ini 79,8%. Ini sebanding
dengan tingkat keberhasilan yang dilaporkan oleh sebagian besar penelitian dibidang keratitis
jamur. Parchand dkk, penelitian kontrol acak (randomized control trial/RCT) melaporkan tingkat
keberhasilan 66,7% sampai 73,7% di antara kelompok studi yang berbeda pada kasus keratitis
http://links.lww.com/ICO/A790). Sharma dkk, dalam RCT membandingkan efek KCZ oral dan
VCZ sebagai tambahan terapi topikal, melaporkan tingkat keberhasilan 72% hingga 80%
Dalam penelitian ini, tingkat keberhasilan dalam kasus yang membutuhkan agen
antijamur intrastromal adalah 89%. Hal ini lebih tinggi dari tingkat keberhasilan dalam penelitian
sebelumnya. Kalaiselvi et al, dalam serangkaian kasus 25 pasien yang menerima VCZ
intrastromal, melaporkan penyembuhan pada 72% kasus. Sharma et al, dalam RCT yang
membandingkan VCZ topikal dengan VCZ intrastromal sebagai tambahan NTM topikal,
melaporkan tingkat penyembuhan 80% pada kelompok intrastromal. Nada et al, dalam studi
amfoterisin B topikal, melaporkan resolusi pada 82,9% kasus pada kelompok intrastromal. Hal
kelompok intrastromal penelitian ini 36,2±10,7 hari. Hal ini dibandingkan dengan penelitian
Penelitian ini, tingkat yang lebih rendah pada perforasi kornea (6,7%) dan membutuhkan
tindakan keratoplasti (20,2%) untuk kegagalan pengobatan yang diamati. Prajna dkk pada
penelitian MUTT 1 yang membandingkan VCZ topikal dengan NTM, 16% perforasi kornea dan
kebanyakan penelitian lainnya. Hal ini dikarenakan, pertama, ada penggunaan awal terapi topikal
kombinasi (NTM dan VCZ) dalam penelitian ini. Penelitian invitro dilaporkan oleh penulis
memiliki efek sinergis dari NTM dan VCZ terhadap jamur. Sradhanjali dkk, dalam sebuah
penelitian in vitro menemukan efek sinergis antara2 obat dalam 24,4% organisme yang
diperiksa. Efek tambahan/ efek samping diamati pada 53,7%, sedangkan kondisi tanpa efek
samping dilaporkan pada 22% . tidak ada kasus yang antagonisme yang diamati pada
penelitian ini. Pada penelitian yang serupa oleh Hatmi dkk penurunan 3,5 hingga 10 kali lipat
terhadap konsentrasi penghambat minimum NTM dan VCZ yang diamati ketika
mencoba injeksi intrakamera dan intrastromal sedapat mungkin sebelum beralih menggunakan
tindakan keratoplasti. Hal ini mungkin mengarah ke penyembuhan dalam banyak kasus, yang
Keterbatasan penelitian ini adalah tidak memiliki kelompok kontrol karena masalah etika,
sehingga sulit untuk berkomentar apakah mengikuti protokol ini mengarah pada hasil yang lebih
baik. Namun, karena tingkat keberhasilan yang diamati dalam penelitian ini sebanding dengan
sebagian besar penelitian yang dilakukan di bidang keratitis jamur sehingga hasilnya dapat
diandalkan. Meskipun begitu, fakta di lapangan bagi dokter mata bersifat sama, di mana
seseorang menghadapi semua jenis keratitis jamur dan yang lainnya dan menggunakan
lebih dari 1 modalitas terapi, yang saling melengkapi, terutama dalam kasus yang berat
dan sulit.
Percobaan MUTT 1 mengevaluasi peran NTM topikal versus VCZ topikal dan
menyimpulkan bahwa NTM topikal lebih unggul. Percobaan MUTT 2 mengevaluasi peran VCZ
sistemik versus terapi plasebo dan menyimpulkan bahwa VCZ sistemik tidak bermanfaat. Hal ini
menyebabkan dilema, terutama ketika berhadapan dengan kasus keratitis jamur berat yang tidak
respon dengan terapi NTM topikal. Oleh karena itu, kami merumuskan protokol TST untuk
mengevaluasi efek kumulatif dari penggunaan lebih dari 1 obat antijamur (topikal atau sistemik)
bersama dengan banyak rute untuk menargetkan fokus infeksi. Hasilnya menunjukkan bahwa
protokol TST dapat digunakan dengan aman dalam praktek klinis sehari-hari bahkan oleh dokter