Anda di halaman 1dari 9

PENGOLAHAN BAHAN B3 DENGAN INCINERATOR

Sebagian besar limbah organik berbahaya terdiri dari karbon, hidrogen, oksigen dengan
campuran halogen, sulfur, nitrogen dan logam berat. Struktur molekul umumnya akan
menentukan tingkat bahaya substansi organik terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Bila
molekul sebuah limbah organik dapat dihancurkan atau direduksi menjadi karbondioksida, air
dan substansi organik yang lebih sederhana, maka limbah tersebut bisa dikurangi tingkat
bahayanya. Destruksi termal umumnya menjadi pilihan teknologi pengolahan dalam
pengelolaan limbah berbahaya dan insinerator merupakan teknologi proses termal yang paling
sering digunakan untuk mengolah limbah organik berbahaya, karena teknologi ini
memungkinkan destruksi yang tinggi dalam banyak jenis limbah organik, walaupun pada saat
yang sama dikeluarkan pencemaran udara dapat ditanggulangi dengan sarana dan kontrol yang
sesuai.

Insinerator adalah sebuah proses yang memungkinkan materi combustible (bahan bakar) seperti
halnya limbah organik mengalami pembakaran, kemudian dihasilkan gas/partikulat, residu
noncombustible dan abu. Gas/partikulat tersebut dikeluarkan melalui cerobong setelah melalui
sarana pengolah pencemar udara yang sesuai. Residu yang bercampur debu dikeluarkan dari
insinerator dan disingkirkan pada lahan-urug. Disamping pengurangan massa dan volume,
sasaran utama insinerator bagi limbah berbahaya adalah mengurangi sifat bahaya dari limbah itu
sendiri, misalnya dalam detoksifikasi. Oleh karenanya peranan temperatur serta waktu tinggal
yang akan sesuai akan memegang peranan penting dalam insinerator limbah B3.

Teknologi insinerasi merupakan cara pengolahan yang baik bagi materi combustible yang
mempunyai nilai kalor yang memadai untuk itu, misalnya limbah hidrokarbon (cair dan padat).
Limbah berbahaya yang patogen, seperti dari rumah sakit sangat ampuh ditangani cara ini.
Keuntungan lain adalah kemungkinan pemanfaatan panas yang ditimbulkannya. Kelemahan
dari cara ini adalah modal awal yang relatif tinggi dibanding cara lain. Disamping itu masalah
pencemaran udara yang dapat ditimbulkan, membutuhkan sarana yang baik dan cocok
menanggulanginya. Kontrol atau pengoperasian insinerator membutuhkan operator yang terlatih
secara baik. Operasi sebuah insinerator pengolah limbah berbahaya adalah jauh lebih kompleks
dibanding teknlogi lainnya, terutama dengan adanya variasi komposisi limbah untuk mencapai
efisiensi destruksi termal yang diinginkan.

Bila sebuah insinerator tidak dilengkapi dan difungsikan dengan baik, maka akan menimbulkan
dampak merugikan bagi kesehatan manusia misalnya dengan timbulnya bau, partikulat, gas-gas
berbahaya yang mungkin lembur. Formasi pencemaran udara yang potensial seperti HCL, CO,
SO2, NO, logam berat dan abu partikulat lainnya dapat menimbulkan dampak serius.
Secara umum tahapan proses dari sebuah insinerator dapat dipisahkan menjadi beberapa
langkah, yaitu:
a. Penyiapan limbah
b. Pemasokan limbah
c. Pembakaran limbah
d. Pengolahan gas dan partikulat hasil pembakaran
e. Penanganan residu abu

Gambar 1. Komponen-komponen incinerator

Sebuah insinerator beroperasi layaknya sebuah sistem, masing-masing langkah tersebut saling
berhubungan. Penyiapan limbah agar sesuai dengan kriteria rancaangan (dimensi butiran dan
sebagainya) serta pemasokan limbah kedalam tungku pembakaran akan menentukan seberapa
jauh limbah tersebut terbakar sempurna dan akhirnya akan mempengaruhi kualitas gas dan abu
yang dihasilkan.

1. Beberapa Parameter Operasional


Destruksi limbah B3 dalam sebuah insinerator tercapai dengan terpaparnya limbah pada
temperatur tinggi, biasanya di atas 850ºC. Bila dirancang dan dioperasikan secara tepat maka
cara ini akan memberikan hasil yang baik dalam mengancurkan limbah berbahaya dan sekaligus
mengurangi volume dan massanya. Di USA, sistem sebuah insinerator limbah biasanya
mengacu pada aturan yang terdapat pada RCRA dan SCA. Aturan-aturan tersebut menggariskan
adanya temperatur minimum untuk destruksi yang harus dipertahankan dengan tanggal waktu
tinggal (Td) tertentu pada keadaan oksigen berlebih.

Insenerator limbah B3 biasanya beroperasi dengan aliran yang panas dan terjadi turbulensi
diantara refractori (dinding tungku). Beberapa faktor penting yang akan mempengaruhi
terjaminnya destruksi panas antara lain:
a. Temperatur
Dalam proses termal, maka parameter temperatur agaknya merupakan faktor yang signifikan
dalam menjamin destruksi yang baik bagi limbah B3. Efisiensi destruksi dan penyisihan atau
DRE dalam setiap insenerator akan tergantung pada temperatur insenerator. Dikenal threshold
temperatur yang didefinisikan sebagai temperatur operasi untuk memulai terjadinya destruksi
termal terhadap limbah B3.

b. Waktu tinggal
Volume sebuah insenerator akan menentukan waktu tinggal untuk debit aliran tertentu.
Parameter ini berinteraksi dengan temperatur destruksi untuk menjamin terjadinya DRE. Waktu
tinggal yang cukup diperlukan agar DRE tercapai. Dengan kata lain PIC harus cukup waktu
untuk tinggal dalam insenerator dengan panas tertentu agar destruksi limbah organik menjadi
CO2 dan H2O dapat terjamin. Bila POC tidak tecapai, maka dibutuhkan perlengkapan di hilir
sistem untuk menanggulangi masalah pencemaran udara.

c. Turbulensi
Derajat turbulensi dapat digunakan secara efektif untuk mencapai DRE yang diinginkan dan
mengurangi kegagalan operasional untuk memperoleh temperatur dan waktu tinggal yang
merata. Konfigurasi sebuah insenerator akan mempengaruhi kemampuan DRE secara
keseluruhan. Pemilihan pompa, blower dan penyekat (baffle) hendaknya didasarkan atas jenis
limbah yang akan dibakar serta kebutuhan DRE yang harus dicapai. Transfer panas dan aliran
fluida perlu dipertimbangkan dalam perancangan agar parameter turbulensi ini dapat terpenuhi.

d. Tekanan
Banyak insenerator limbah B3 dirancang atas pengoperasian pada tekanan sedikit negatif untuk
mengurangi emisi yang terlalu cepat. Kebocoran udara dapat terjadi pada tekanan rendah ini,
tetapi pengendapan yang sangat ketat tidak dibutuhkan. Beda halnya bila insenerator
dioperasikan pada tekanan tinggi, maka masalah kebocoran udara perlu mendapat perhatian
yang serius, dan penambal yang digunakan juga harus tahan panas, salah satu kelemahan pada
insenerator jenis ini adalah masalah kebocoran yang mungkin terjadi.

e. Pasokan udara
Operasi sebuah insenerator didasarkan atas reaksi komponen-komponen limbah dengan
oksigen. Biasanya udara digunakan sebagai sumber oksigen. Insenerator pada dasarnya
membutuhkan oksigen yang cukup untuk mencapai pembakaran yang sempurna. Namun
beberapa jenis insenerator dioperasikan dengan sistem pirolisis (Starved Incenerator) pada
pembakaran limbah padatnya, dilanjutkan dengan pembakaran sempurna dengan oksigen
berlebih pada bagian gas yang dihasilkan. Suplai udara yang berlebihan akan mempengaruhi
waktu tinggi (lebih pendek), temperatur (lebih rendah). Terjadinya kebocoran udara juga akan
mempengaruhi banyaknya suplai udara.

f. Bahan konstruksi
Insenerator dibuat atau dibangun dengan bahan terpilih untuk memungkinkan operasi menerus
yang bebas masalah dengan kondisi limbah B3 yang tidak homogen. Bahan yang digunakan
biasanya mulai dari baja biasa sampai exotic alloy. Prediksi jenis atau karakteristik limbah yang
akan masuk pada insenerator sangat membantu dalam pemilihan jenis bahan insenerator,
sehingga alat ini dapat beroperasi dengan baik dan berumur panjang.

g. Perlengkapan tambahan
Terdapat beragam perlengkapan tembahan yang perlu dipertimbangkan pada sebuah insenerator,
seperti:
a) Sistem pemasokan yang harus cocok dengan karakter limbahnya.
b) After burner dibutuhkan untuk menjamin DRE.
c) Pengolahan di hilir yang biasnya dibutuhkan untuk mengolah produk tidak diinginkan,
misalnya asam-asam mineral.
d) Sarana penyingkir debu untuk menjamin destruki termal bagian limbah padat atau lumpur.

Isolasi insenerator dengan bahan refractrory dibutuhkan untuk menjamin bertahannya panas
dalam insenerator. Insenerator beroperasi pada kondisi siklus temperatur tinggi dan rendah,
sehingga akan mempengaruhi kekeuatan dinding, disamping pengaruh jenis kimia yang ada
pada limbah, jadi sebuah insenerator limbah B3 harus mempunyai ketahanan fisis dan kimia
agar berumur lama. Beberapa jenis refractory yang biasa digunakan adalah fireclay, alumunium,
silica, chromium, magnesia, dan berbagai oksida lainnya. Bahan ini biasanya dipasok dalam
bentuk kering dan dicampur dengan air sebelum dicetakkan pada insenerator.

2. Beberapa Jenis Insenerator


Banyak limbah berbahaya yang bernilai kalor tinggi dibakar pada industri yang menggunakan
boiler dan tungku, sehingga mengurangi bahan bakar sampai 5 – 10%, misalnya pada pabrik
semen. Namun biasanya sarana ini tidak dilengkapi dengan pencegahan pencemaran udara
(misalnya HCl).

Beberapa jenis insenerator untuk limbah berbahaya tersebut akan dibahas secara ringkas.
a. Insenerator dengan injeksi cair (liquid injection inceneration)
Metode insenerasi untuk limbah berbahaya yang paling umum adalah didasarkan atas injeksi
cair, baik horizontal, vertikal maupun tangensial. Mayoritas dari insenerasi ini adalah melalui
nozel-pengatoman (atomizing nozzle) ke ruang pembakaran. Pemasok bahan bakar tambahan
(gas dan cair) atau auxiliary fuel digunakan. Temperatur yang digunakan biasanya antara 1500 –
3000oF (815 – 1650oC). Limbah cair dengan pengatoman disemburkan ke dalam ruang
pembakaran dengan ukuran partikel antara 40 sampai 100 μm. Efesiensi destruksi ditentukan
oleh banyaknya pengembunan dan uap yang bereaksi. Turbulensi sangat diinginkan untuk
mendapatkan destruksi limbah organik berbahaya setinggi mungkin. Penambahan dan peletakan
alat pembakar (fuel burner) serta nozel penginjeksi akan tergantung pada aliran cairan yang
akan diinsenerasi (aksidal, radial ataupun tangensial) untuk mencapai temperatur, tingkat
turbulensi dan waktu tinggal yang diinginkan.

b. Insinerator rotary kiln


Jenis insinerator rotary kiln sering digunakan dalam menangani limbah berbahaya (padat
maupun cair) karena kemampuannya yang baik. Gambar 2 merupakan insenerasi jenis
insenerator ini yang menerima segala jenis limbah cair atau padat.
Gambar 2. Insenerator rotary kiln

Limbah padat atau limbah cair dalam drum biasanya dipasok dengan sistem conveyor atau ram,
limbah cair atau lumpur yang dapat terpompa diinjeksi melalui nozel.

Insinerator rotary kiln biasanya mempunyai diameter 1,5 sampai 3,6 m dengan panjang 3
sampai 6 meter serta ratio panjang ke diameter (P/D) antara 2 sampai 8. Rotasi yang digunakan
biasanya 0,2 sampai 1 inchi perdetik. Rotasi lebih kecil digunakan bagi limbah yang
membutuhkan waktu tinggal lebih lama. Waktu tinggal limbah padat didasarkan atas kecepatan
rotasi dan sudutnya.

Persamaan yang biasa digunakan adalah:


Ө = (0,9 L)/ NDS
Ө = waktu tinggal (menit)
L = panjang kiln (ft)
N = rotari kiln (h/menit)
D = diameter kiln (ft)
S = kemiringan kiln (ft/ft)

Drum-drum atau karton-karton limbah berbahaya langsung dipasok ke dalam kiln, tetapi
biasanya perlu dipotong-potong terlebih dahulu. Umumnya sistem kiln terdiri dari 2 kamar,
yaitu:
a) Kamar - 1 beroperasi pada 1500 – 2000ºF (815 – 1540ºC), serta
b) Kamar - 2 agar pembakaran sempurna (after-burner) bekerja pada 1800 – 3000ºF (9800 –
16500ºC). Limbah cair biasanya diinjeksikan lansung pada kamar-2. Limbah yang tervelatil
meninggalkan kiln lalu masuk kamar - 2, oksigen serta limbah cair berkalori tinggi atau
bahan bakar ditambahkan. Limbah dihancurkan sesuai dengan DRE yang diinginkan di
kamar-2. Kedua kamar biasanya dilengkapi dengan sistem pengapian untuk startup.
Kelebihan rotary kiln adalah kemampuannya untuk menerima limbah yang bervariasi,
dioperasikan pada temperatur tinggi dan pencampuran yang menerus. Insenerator ini dapat
dioperasikan dalam kondisi kekurangan oksigen (pirolisis). Tetapi insenerator ini membutuhkan
biaya yang tinggi serta tenaga yang terlatih. Jenis lain yang sejenis adalah cement-kiln. Pabrik
semen dapat menghemat energi dengan meninsenerasi limbah cair. Asam hidroklorida dari
limbah hidrokarbon-berkhlorida misalnya, dapat menetralisir kapur dalam kiln sehingga
menurunkan alkalinitas pada produk semen. Cara ini yang diterapkan pada Pusat Pengolah
Limbah B3 di Cibinong, antara Waste Management Indonesia dengan Pabrik Semen di
dekatnya.

c. Insenerasi dengan media terfluidasi (fluidized bed)


Proses temperatur tinggi dengan fluidized bed telah digunakan lama dalam industri. Pada
awalnya teknologi ini digunakan dalam gasifikasi batubara, kemudian berkembang pada
aplikasi catalytic cracking dalam refineri minyak. Teknologi fluized bed ini diadaptasi dalam
berbagai proses karena teknologi ini mempunyai kemampuan memberikan derajat turbulensi
yang tinggi, area transfer panas yang besar untuk mencampur limbah berbahaya, oksigen dan
media terfluidisasi. Dengan pencampuran yang baik antara media inert (biasanya pasir) akan
memberikan hasil insenerisasi yang baik, dengan udara berlebih rendah dan gradien temperatur
yang minimal di seluruh media. Waktu tinggal yang digunakan antara 5 – 8 detik atau lebih,
pada temperatur 1400 – 1600ºF (760 – 870ºC).

Kelebihan jenis insinerator ini adalah nilai DRE yang tinggi temperatur yang relatif seragam
(uniform), residunya yang relatif tidak berbahaya serta biaya operasi dan pemeliharaan yang
rendah. Beberapa jenis fluidized bed ini antara lain: bubling fluidized bed dan circulating
fluidized bed.

Insinerasi bubling-bed mempunyai media dari pasir yang diaduk dengan lewatnya udara melalui
media serta yang memungkinkan media pasir terekspensi dan terfluidisasi. Pemanasan awal dari
media dilakukan melalui sebuah burner. Aliran limbah dilakukan langsung ke media pasir.
Dengan terpaparnya limbah secara langsung dengan media, maka didapat efisiensi insinerasi
yang tinggi. Kedalaman media biasanya anatara 0,60 – 2,4 m.

Teknik circulating-bed merupakan pengembangan bubbling-bed dengan kenaikan turbulensi


per-unit area. Teknik ini membutuhkan kecepatan udara yang tinggi dan sirkulasi padatan unuk
menimbulkan turrbulensi yang tinggi serta memungkinkan waktu tinggal yang cukup guna
menghancurkan limbah. Padatan dari area sirkulasi dipisahkan dari gas yang keluar melalui
cyclone dan dikembalikan pada insinerator. Temperatur dari jenis ini biasanya lebih rendah dari
jenis rotary kiln atau bubling-bed, namun cukup mampu untuk menghancurkan limbah
berbahaya dengan pencampuran yang lebih sempurna.

d. Insinerator di lautan
Di negara industri juga dikembangkan kapal insinerator menangani limbah berbahaya.
Insinerator ini mula-mula dikembangkan di Jerman (1967) dengan menggunakan coastal tanker
membakar limbah yang berkhlor yang menghasilkan HCl.

Sejak saat itu beberapa negara Eropa dan Amerika mengembangkan insinerator jenis ini
terutama untuk limbah organik berhorinasi. Insinerator vulkanis merupakan contoh insinerator
tersebut yang digunaan di USA, dengan kapasitas 25 metrik ton per jam, dilakukan dengan
liquid-injection pada tekanan pengembunan limbah yang dipasok sekitar 100 – 150 psig,
temperatur 2300ºF (1260ºC) dan waktu tinggal sebesar 0,5 detik.

Sifat laut yang alkalin akan menetralisir asam yang keluar dari cerobong bila berkontrak dengan
air laut, sehingga tidak dibutuhkan scrubber, dengan demikian akan mengurangi biaya. Namun
di Amerika jenis insinerator ini mendapat kritik, salah satu alasannya karena sulit dipantau
dampaknya sebab tidak menetap di satu titik.

e. Insinerator kamar-jamak
Rancangan insinerator tradisional yang biasa digunakan adalah insinerator kamar-jamak
(multiple chambre incineration), dikenal dua jenis yaitu in-line hearth dan retort hearth. Pada
model in-line, gas pembakaran mengalir lurus melaui insinerator, dan membelok secara vertikal
ke atas, sedang pada model retort aliran gas disamping berbelok secara vertikal tetapi juga
berbelok ke samping. Model in-line berfungsi baik pada kapasitas di atas 340 Kg/jam, sedang
model retort berfungi baik pada kapasitas di bawah 340 Kg/jam, dan biasa digunakan untuk
limbah rumah sakit.

f. Insinerator dengan kontrol udara


Jenis insinerator yang sekarang banyak dikembangkan, misalya untuk insinerasi limbah rumah
sakit adalah dari jenis controlled-air, yang dikenal di pasaran sebagai pembakaran secara
starved air atau secara modular atau secara pyrolytic.

Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah.
Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran,
heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi.
Dari semua jenis insinerator diatas, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat
mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.
Prinsip Kerja Incenerator
Proses insenerasi akan berlangsung melalui 3 tahapan, yaitu:
1. Tahapan pertama adalah membuat air dalam limbah B3 menjadi uap air, hasilnya limbah
menjadi kering dan siap terbakar.
2. Selanjutnya terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana temperatur
belum terlalu tinggi.
3. Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna. Ruang bakar pertama digunakan sebagai
pembakar limbah, suhu dikendalikan antara 400 – 600ºC. Ruang bakar kedua digunakan
sebagai pembakar asap dan bau dengan suhu antara antara 600ºC – 1200ºC. Suplai oksigen
dari udara luar ditambahkan agar terjadi oksidasi sehingga materi-materi limbah akan
teroksidasi dan menjadi mudah terbakar, dengan terjadi proses pembakaran yang sempurna,
asap yang keluar dari cerobong menjadi transparan.

Anda mungkin juga menyukai