Anda di halaman 1dari 3

Konsep Aglomerasi

Variabel independen
Aglomerasi (X1) Aglomerasi adalah konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi
dikawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of
proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja dan
konsumen. (Montgomery dalam Kuncoro, 2002:24), untuk mencari aglomerasi,
penelitian ini menggunakan indeks Balassa

Analisis Aglomerasi
Indeks Balassa digunakan untuk menghitung aglomerasi, kekhususan indeks ini adalah
dapat digunakan untuk membedakan faktor spesialisasi eksport dimana disini diwakili
oleh angkatan kerja. Adapun rumus indeks Balassa sebagai berikut:
Σ𝑖𝑗
Σ𝑗𝐸𝑖𝑗
Indeks Balassa = Σ𝐽𝐸𝑖𝐽
Σ𝑖Σ𝐽𝐸𝑖𝐽

Dimana:
i = Sektor
E = Tenaga Kerja
j = Kabupaten
J = Provinsi
Pembilang dari indeks ini menyajikan bagian wilayah dari total tenaga kerja di sektor
industri manufaktur. Semakin terpusat suatu industri, semakin besar indeks Balassanya.
Aglomerasi dikatakan kuat bila angka indeks balassa diatas 4, rata – rata atau sedang bila
nilainya antara 2 dan 4, lemah bila nilainya diantara 1 sampai 2, sedangkan nilai 0 sampai
satu berarti tidak terjadi aglomerasi atau wilayah tersebut tidak memiliki keunggulan
komparatif untuk terjadinya aglomerasi. (Sbergami dalam Matitaputty, 2010)
Apabila kondisi pertumbuhan populasi penduduk lebih besar dibandingkan laju produksi
bahan pangan, maka akan terjadi bencana krisis pangan. Jumlah bahan pangan yang tidak
cukup secara paralel akan berdampak pada ketergantungan antara suatu kawasan/wilayah
terhadap kawasan lain. Hal ini terjadi terutama untuk wilayah perkotaan negara-negara
berkembang, dimana wilayah tersebut semakin menjadi pusat penduduk serta
permukiman dan kumpulan orang-orang dengan keragaman etnik (Jalil, 2005). FAO
(2008) memprediksi bahwa pada tahun 2020, sekitar 75% penduduk di negara-negara
berkembang di Afrika, Asia, dan Amerika Latin akan tinggal di kawasan perkotaan.
Kondisi ini mendorong pemerintah maupun masyarakat untuk di kawasan perkotaan
harus mulai mencoba untuk memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri (Noorsya dan
Kustiwan, 2013) serta memperbaiki kondisi lingkungan agar tercipta lingkungan yang
sehat dan berkualitas. Salah satu solusinya adalah dengan menerapkan pertanian
perkotaan.
Pertanian perkotaan merupakan kegiatan pertumbuhan, pengolahan, dan distribusi
pangan serta produk lainnya melalui budidaya tanaman dan peternakan yang intensif di
perkotaan dan daerah sekitarnya, dan menggunakan (kembali) sumber daya alam dan
limbah perkotaan, untuk memperoleh keragaman hasil panen dan hewan ternak (FAO,
2008; Urban Agriculture Committee of the CFSC, 2003). Bentuknya meliputi pertanian
dan peternakan kecil-intensif, produksi pangan di perumahan, land sharing, taman-taman
atap (rooftop gardens), rumah kaca di sekolah-sekolah, restoran yang terintegrasi dengan
kebun, produksi pangan pada ruang publik, serta produksi sayuran dalam ruang vertikal
(Hou et al., 2009; Mougeot, 2005; Nordahl, 2009; Redwood, 2008). Pertanian perkotaan
sudah menjadi praktik umum di banyak kota dengan melibatkan masyarakat dengan cara
yang bervariasi antar negara dan antar kota (Fauzi, 2016).

Fauzi, Ahmad Rifqi., Ichniarsyah, Annisa Nur., Agustin Heny. 2016. Pertanian
Perkotaan: Urgensi, Peranan, Dan Praktik Terbaik. Jakarta. Jurnal Agroteknologi,
Vol. 10 No. 01 (2016)

Annisa Nur Ichniarsyah1), Heny Agustin


Pertanian perkotaan merupakan suatu “industri” yang merespon kebutuhan harian seluruh
masyarakat kota. Sebagai suatu industri, pertanian perkotaan memiliki dua perspektif
utama, yakni perspektif sumberdaya dan ekonomi (Smith , 1996; FAO, 2013).
Optimalisasi penggunaan sumberdaya (air dan lahan, tenaga kerja, sarana-prasarana)
merupakan suatu keharusan sehingga akan memberikan keuntungan yang optimal secara
ekonomi. Oleh sebab itu, penerapan proses daur ulang serta metode bio-intensif
diantaranya melalui integrasi ternak atau ikan dengan tanaman bernilai ekonomis tinggi
seperti sayur-sayuran, tanaman obat, dan tanaman hias merupakan salah satu strategi yang
sesuai untuk dikembangkan (Egal, 2001; IDRC, 2003; Darin, 2009; Rojas, 2011).
Perspektif lingkungan juga terlibat dalam mendukung pengembangan pertanian
perkotaan. Isu perubahan iklim global, polusi (air, tanah, dan udara) di perkotaan,
cemaran logam berat dan pestisida dalam bahan pangan, merupakan ancaman bagi
masyarakat kota (Don, 2004; Bell et all)
telah menyebabkan peningkatan kebutuhan bahan pangan. Jarak perkotaan yang jauh dari
sumber produksi pangan menjadi alasan pentingnya pertanian perkotaan. Kesegaran
bahan makanan yang tersedia, seperti sayur dan buah, mengalami degradasi kualitas
selama transportasi sehingga usaha memperdekat akses terhadap bahan makanan melalui
kegiatan pertanian perkotaan sangat perlu untuk dilakukan. Penerapan pertanian
perkotaan berdampak langsung terhadap ekonomi, sosial, penggunaan energi, jejak
karbon ( ), polusi (udara, tanah, dan suara), serta peningkatan ketersediaan dan kualitas
bahan pangan (Alaimo , 2008; Wikipedia, 2013). Dampak pertanian perkotaan terhadap
ekonomi masyarakat terutama melalui perluasan basis ekonomi kota melalui produksi,
pengolahan, pengemasan, dan pemasaran produk konsumsi (FAO, 2013). Hal ini
menyebabkan peningkatan kegiatan kewirausahaan dan penciptaan lapangan kerja, serta
penurunan harga dan peningkatan kualitas produk pangan (Butler dan Moronek, 2002;
Bellows, 2003).

Pertanian kota dapat menjamin ketersediaan pangan yang segar dan bergizi, sehingga
meningkan asupan sayuran dan buah dan dapat menghemat pengeluaran 15-30 persen
anggaran pada pangan. Potensi urban farming di Indonesia sangat besar, dari 10,3 juta
ha lahan pekarangan yang belum dimanfaatkan lebih dari 30% berada di perkotaan.

Anda mungkin juga menyukai