Anda di halaman 1dari 5

DRAF MATERI TUGAS AKHIR

(DATA ONLINE)

JUDUL: ALKULTURASI BUDAYA DALAM ORNAMEN MASJID LAUTZE 2 DAN


MASJID AL-IMTIZAJ DI BANDUNG

Jihan Safitri Nur’azimah (180104160025)

I. SECARA UMUM
A. Akulturasi Budaya
Menurut RedField, Linton, Herskovits (dalam S.J, 1984) akulturasi adalah memahami
fenomena yang terjadi ketika kelompok individu yang memiliki budaya yang berbeda
data ke budaya lain kemudian terjadi kontak berkelanjutan dari sentuhan yang pertama
dengan perubahan berikutnya dalam pola kultur asli atau salah satu dari kedua
kelompok.
Sedangkan menurut Suyono, dalam Rumondor (1995: 208) akulturasi adalah
merupakan pengambilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang
berasal dari pertemuan dua atau beberapa unsur kebudayaan yang saling berhubungan
atau saling bertemu. Menurut Koendjaraningrat (1996: 155) akulturasi adalah suatu
proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan kebudayaan tertentu
dihadapkan pada unsur kebudayaan yang berbeda, sehingga kedua unsur tersebut
seiring berjalannya waktu diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa
menghilangkan unsur budaya sendiri atau kebudayaan asing tersebut.
Akulturasi budaya menghasilkan berbagai macam kebudayaan baru, salah satunya di
bidang seni bangunan atau arsitektur.
B. Arsitektur
Menurut Marcus Pollio Vitruvius (1486) arsitektur adalah kesatuan dari
kekuatan/kekokohan (firmitas), keindahan (venustas), dan kegunaan/fungsi (utilitas).
Sedangkan menurut Amos Rappoport (1981) arsitektur adalah ruang tempat hidup
manusia, yang lebih dari sekedar fisik, tapi juga menyangkut pranata-pranata budaya
dasar.
Menurut Abdul Rochyim (1983) masjid sebagai bangunan arsip visual dari gambaran
kehidupan manusia yang melahirkannya sesuai dengan zamannya.
C. Ornamen
Seperti yang diketahui ornamen merupakan bagian dari arsitektur. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia ornamen adalah hiasan dalam arsitektur, kerajinan tangan, dan
sebagainya; lukisan; perhiasan, serta dapat bermakna hiasan yang dibuat (digambar
atau dipahat) pada candi (gereja atau gedung lain).
Menurut Gustami (2008: 4) Ornamen adalah komponen produk seni yang ditambahkan
atau sengaja dibuat untuk tujuan sebagai hiasan.
Ornamen memiliki 3 fungsi. Sebagai berikut:
1. Fungsi murni estetis, merupakan fungsi ornamen untuk memperindah
penampilan bentuk produksi yang dihiasi sehingga menjadi sebuah karya seni.
2. Fungsi simbolis, ornamen itu yang bersifat keagamaan atau kepercayaan,
menyertai nilai estetisnya,
3. Fungsi konstruktif, ornamen ini untuk menyangga, menompang,
menghubungkan atau memperkokoh konstruksi.

Ornamen memiliki berbagai macam jenis, salah satunya adalah ornamen Islam.
Ornamen dalam Islam mempunyai peranan yang penting, terutama sebagai hiasan pada
setiap bangunan masjid. Ornamen yang digunakan biasanya adalah motif flora,
geometrik, dekorasi sarang tawon, dan kaligrafi. Seperti yang diketahui dalam Islam
dilarang menggunakan ornamen dengan motif makhluk hidup, seperti manusia dan
hewan. Ornamen dalam Islam bertujuan untuk memperindah sebuah masjid atau
bangunan lainnya dan menjadi simbol keagamaan.

Sedangkan dalam kebudayaan Tionghoa, ornamen digunakan sebagai tujuan untuk


memeriahkan festival pergantian musim. Selain itu, ornamen juga berfungsi sebagai
simbol keagamaan karena dapat mendatangkan hal-hal yang baik bagi masyarakat
Tionghoa. Tidak hanya itu, ornamen juga digunakan sebagai objek untuk memberi
ucapan selamat pada peristiwa tertentu, seperti ulang tahun, kelahiran, keberhasilan
pekerjaan atau bisnis, dan lain-lain. Serta memiliki fungsi sebagai hiasan untuk
memperindah sebuah bangunan. Ornamen dalam kebudayaan Tionghoa menggunakan
corak seperti manusia atau dewa, makhluk mitologi, flora, dan fauna, serta petir.
II. Masjid Al-Imtizaj dan Al-Lautze 2 di Bandung
A. Sejarah Masjid Al-Imtizaj Bandung
Masjid Al-Imtizaj atau dikenal juga dengan Masjid Ronghe beralamat di Jalan ABC
No. 8 Banceuy, Kota Bandung. Masjid yang didesain oleh arsitektur masjid Danny
Suwardhani ini diresmikan dan dibuka untuk umum pada 6 Agustus 2010, rumah
ibadah bagi kaum muslim ini memiliki daya tampung sebanyak 200 orang. Masjid
AL-Imtizaj sering kali disebut dengan “Klenteng Berkubah” oleh masyarakat
sekitar.
Masjid Al-Imtizaj dulunya merupakan gudang sebuah pusat perbelanjaan besar di
Kota Bandung yang saat itu menjadi aset dari pemerintahan Provinsi Jawa Barat.
Lokasi masjid ini terbilang strategis karena berada di pusat bisnis dan perdagangan,
sehingga memudahkan bagi Muslim yang berdagang di kawasan tersebut. Tujuan
dibangunnya masjid dengan percampuran budaya Tionghoa ini diusulkan oleh
Gubernur Jawa Barat R. Nuriana pada masa itu adalah sebagai pemersatu
keberadaan komunitas-komunitas Muslim Tionghoa di Kota Bandung.
Seperti Persatuan Islam Tionghoa Islam (PITI), Keluarga Persaudaraan Islam (KPI),
dan Yayasan Ukhuwah Mualaf Indonesia (YUMI). Beberapa komunitas tersebut
kemudian disatukan dalam sebuah organisasi Islam yang bernama Ikatan
Persaudaraan Tionghoa Islam (IPTI). Terbentuknya organisasi tersebut menjadi
salah satu pendorong dibangunnya Masjid Al-Imtizaj yang kemudian dapat
digunakan sebagai tempat yang mewadahi para mualaf dari etnis Tionghoa.
Alasan masjid ini diberi nama Imtizaj karena dalam Bahasa Indonesia memiliki
makna pembauran, sedangkan dalam Bahasa Mandarin bernama Ronghe. Hal
tersebut menjadikan masjid Al-Imtizaj sebagai media pemersatu dengan
mengupayakan terciptanya pembauran antara yang baru dengan yang lama, antara
pemerintahan dengan Muslim sendiri, dan Muslim Tionghoa dengan birokrasi
pemerintahan. Kegiatan yang dilakukan di Masjid Al-Imtizaj tidak berbeda dengan
masid lainnya yaitu diadakannya pengajian rutin. Sedangkan saat bulan Ramadhan
kegiatan masjid tersebut sama seperti masjid lainnya pada umumnya.
B. Akulturasi Budaya di Masjid Al-Imtizaj Bandung
Arsitektur masjid ini sengaja dibangun percampuran budaya Tionghoa, sehingga
memberikan nuansa oriental saat berkunjung ke Masjid Al-Imtizaj. Salah satu unsur
akulturasi budaya Tionghoa yang terjadi pada masjid tersebut terlihat di bagian
ornamen. (MASIH BELUM LENGKAP KARENA BELUM MELAKUKAN
SURVEY, MAAFKAN AKU LAOSHI )
C. Sejarah Masjid Lautze 2 Bandung
Masjid Lautze 2 berlamat di Jalan Tamblong No. 27, Kota Bandung. Masjid ini
terletak sebuah bangunan ruko di pinggir jalan Kota Bandung. Masjid tersebut
dibangun pada tahun 1997 yang merupakan masjid cabang dari Masjid Lautze di
Jakarta. Hal tersebut yang menjadi alasan mengapa masjid ini diberi angka 2 dalam
penamaanya. Masjid Lautze 2 didirikan oleh Haji Karim Ali melalui Yayasan Haji
Karim Oey. Yayasan ini didirikan pada tahun 19991 oleh Haji Karim Oey (Oey
Tjeng Hien), beliau merupakan seorang tokoh Muhammadiyah, mantan anggota
Parlemen RI, dan pendiri Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Beliau juga
merupakan seorang Muslim Tionghoa, awalnya Haji Karim Oey bukan seorang
Muslim tapi pada tahun 1993 beliau memutuskan untuk menjadi seorang mualaf.
Masjid Lautze 2 merupakan masjid Tionghoa tertua di Bandung. Tidak hanya
memiliki nuansa Tionghoa yang kuat, masjid ini juga memiliki unsur budaya lain,
seperti Arab dan India. Tidak seperti Masjid Al-Imtizaj yang memiliki daya
tampung besar, Masjid Lautze 2 hanya berdaya tampung sekitar 20 orang, karena
besarnya hanya 7 x 6 meter. Tujuan Masjid Lautze 2 menyerupai seperti klenteng
adalah agar etnis Tionghoa yang datang ke Masjid tersebut merasa lebih nyaman
tanpa harus merasa terdiskriminasi. Selain itu, masjid ini diupayakan menjadi
fasilitasi etnis Tionghoa untuk mereka yang ingin mempelajari Islam lebih dalam
dan menjadi seorang mualaf.
Sejak tahun 1997 hingga 2015, sudah ada 138 orang Tionghoa yang menjadi mualaf
di Masjid Lautze 2 Bandung. Kegiatan yang dilaksanakan di Masjid Lautze 2 ini
juga tergolong banyak, yaitu adanya kursus berbagai macam bahasa seperti Bahasa
Mandarin, Bahasa Arab, dan kursus Shufa (seni kaligrafi Tionghoa). Sedangkan
pada Bulan Ramadhan masjid tersebut juga melakukan kegiatan seperti masjid-
masjid pada umumnya.
D. Akulturasi Budaya di Masjid Lautze 2 Bandung
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, masjid ini memang sengaja dibangun
dengan memiliki nuansa Tionghoa. Oleh karena itu, akulturasi budaya pada masjid
ini sangat terlihat, khusus pada bagian ornamen. Berikut adalah ornamen-ornamen
yang memperindah Masjid Lautze 2 ini:
a) Ornamen pada mimbar di bagian mihrab
Ornamen pada bagian ini tertulis huruf Arab. Hal ini memperlihatkan bahwa
unsur budaya Arab tetap ada pada Masjid Lautze 2 Bandung ini. Mimbar
dan ornamen tersebut terbuat dari kayu. Sedangkan untuk pemilihan warna
ornamen ini berwarna merah, yang melambangkan warna khas arsitektur
Tionghoa.
b) Ornamen di depan pintu masjid
Di depan pintu masjid, terdapat ornamen bernuansa Tionghoa yang terbuat
dari kayu dan dicat berwarna merah dan kuning keemasan. Warna merah
melambangkan kemakmuran dan keberuntungan (Handinoto, 2009),
sedangkan warna kuning melambangkan kekayaan (Williams, 2006).
Menurut narasumber, warna merah dan kuning pada ornamen ini hanya
digunakan sebagai adaptasi saja, bukan merupakan sebuah kepercayaan.
Ornamen ini sendiri mengambil motif batu bata. Menurut Lip (1995), pada
bangunan tradisional Tiongkok, batu bata sering digunakan untuk alas lantai.
Tetapi pada masjid ini, ornamen hanya mengadaptasi bentuk dari batu bata.
c) Ornamen tulisan surat dalam Al-Quran yang menggunakan karakter Han.
Ornamen bertulisan surat Al-Quran ini merupakan surat pendek yang
bernama Surat Al-Ikhlas yang artinya memurnikan Keesaan Allah. Isi surat
ini ditulis dengan menggunakan karakter Han. Ornamen ini dipajang dengan
menggunakan bingkai agar terlihat lebih artistik sekaligus untuk melindungi
surat Al- Quran tersebut dari kotoran dan debu. Dari sini, sangat terlihat
jelas perpaduan antara Islam dan budaya Tionghoa, yaitu melalui bentuk
tulisan Al-Quran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin.

Anda mungkin juga menyukai