Anda di halaman 1dari 26

PENGARUH PWHT TERHADAP KEKUATAN TARIK

DAN KEKERASAN VICKERS SAMBUNGAN BUTT JOINT LAS


SMAW PADA BAJA KARBON SEDANG
Vinoza Anrasega Yasser
Progam Studi Teknik Mesin ITNY, Yogyakarta
e-mail : vnzarsgyssr@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan juga temperatur post weld heat
treatment yang paling berpengaruh terhadap kekuatan tarik dan kekerasan vickers sambungan butt
joint las SMAW pada baja karbon sedang.
Penelitian ini menggunakan strip plat baja karbon sedang berukuran 300 mm × 95 mm × 7
mm yang diberi kampuh “V” dengan sudut 60° dan dilas menggunakan pengelasan Shielded Metal
Arc Welding (SMAW), menggunakan 2 layer dengan diameter elektroda 2,6 mm dengan arus 65A
pada layer pertama dan 4,0 mm dengan arus 130A pada layer kedua. Post weld heat treatment yang
digunakan adalah jenis annealing dengan variasi temperatur 500°C, 700°C, dan 900°C dengan waktu
penahanan (holding time) selama 60 menit.
Kandungan karbon pada strip plate 0.3817% dan pada weld metal 0.1032%. Struktur mikro
yang terbentuk adalah acicular ferrtite, grain boundary ferrite, widmanstatten ferrite, ferrite dan
pearlite. Kekerasan tertinggi pada spesimen raw material, Non PWHT, PWHT 500°C, PWHT 700°C,
PWHT 900°C berturut-turut sebesar 159.8 kgf/mm2 VHN, 205.7 kgf/mm2 VHN, 205.7 kgf/mm2
VHN, 198.0 kgf/mm2 VHN, 127.7kgf/mm2 VHN. Serta nilai kekuatan tarik pada spesimen raw
material, Non PWHT, PWHT 500°C, PWHT 700°C, PWHT 900°C berturut-turut sebesar 53.92
kgf/mm2, 54.19 kgf/mm2, 55.39 kgf/mm2, 53 kgf/mm2, 46.97 kgf/mm2. Sedangkan nilai regangan
pada spesimen raw material, Non PWHT, PWHT 500°C, PWHT 700°C, PWHT 900°C berturut-turut
sebesar 18.45%, 10.27%, 16.6%, 14.85%, 14%.

Kata Kunci : SMAW, post weld heat treatment, Annealing, Kekuatan Tarik, Kekekerasan

ABSTRACT
This study aims to determine the effect and also the temperature of post weld heat treatment
which has the most effect on the tensile strength and hardness of Vickers of SMAW butt joint on
medium carbon steel.
This study uses medium carbon steel plate strips measuring 300 mm × 95 mm × 7 mm which
are given a "V" layer with an angle of 60° and welded using welding Shielded Metal Arc Welding
(SMAW), using 2 layers with a diameter of 2.6 mm electrode with current 65A on the first layer and
4.0 mm with 130A current on the second layer. The post weld heat treatment used was annealing
with temperature variations of 500°C, 700°C, and 900°C with a holding time of 60 minutes.
The carbon content of the strip plate is 0.3817% and in the weld metal is 0.1032%. The
microstructure formed is acicular ferritte, grain boundary ferrite, widmanstatten ferrite, ferrite and
pearlite. The highest hardness in raw material specimens, Non PWHT, PWHT 500°C, PWHT 700°C,
PWHT 900°C respectively at 159.8 kgf/mm2 VHN, 205.7 kgf/mm2 VHN, 205.7 kgf/mm2 VHN, 198.0
kgf / mm2 VHN, 127.7 kgf/mm2 VHN. And the value of tensile strength in raw material specimens,
Non PWHT, PWHT 500°C, PWHT 700°C, PWHT 900°C, respectively at 53.92 kgf/mm2, 54.19
kgf/mm2, 55.39 kgf/mm2, 53 kgf/mm2, 46.97 kgf/mm2. Whereas the strain values in raw material
specimens, Non PWHT, PWHT 500°C, PWHT 700°C, PWHT 900°C were 18.45%, 10.27%, 16.6%,
14.85%, 14% respectively.

Keyword : SMAW, Post weld heat treatment, Annealing, Tensile Strength, Hardness

1
1. PENDAHULUAN
Kemajuan-kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dicapai sampai saat
ini berpengaruh juga pada industri logam yang semakin berkembang, hal ini disebabkan oleh
beberapa aspek yang mendukungnya terutama teknologi proses dan teknologi material. Begitu pula
dengan teknologi penyambungan logam yang semakin modern dan bervariasi macam dan caranya.
Pengelasan merupakan salah satu teknik penyambungan yang paling tepat pada konstruksi bangunan
dan mesin yang berbahan baku logam seperti aluminium, besi cor, baja karbon, dan sebagainya.
Menghasilkan sambungan yang baik dan kuat adalah tujuan mengapa pengelasan dipilih sebagai
metode penyambungan logam sampai saat ini. Tidak mudah untuk menghasilkan sambungan yang
baik dari proses pengelasan, dikarenakan sambungan yang terlihat baik secara visual belum tentu
baik secara struktural. Maka dari itu, untuk mengetahui hasil sambungan pengelasan yang baik secara
struktural harus melalui berbagai macam pengujian seperti uji komposisi, uji struktur mikro, uji
kekuatan tarik, uji impact, uji bending, uji kekerasan, dan lain sebagainya.
Berdasarkan definisi dari Deutche Industrie Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi pada
sambungan logam atau logam paduan yang dilaksakan dalam keadaan lumer atau cair. Sedangkan
menurut American Welding Society (AWS) pengelasan adalah proses penyambungan material
dengan memanaskannya sampai mencapai temperatur pengelasan, dengan atau tanpa menggunakan
tekanan (pressure) dan dengan atau tanpa menggunakan logam pengisi (filler). Maka secara garis
besar pengelasan atau welding adalah salah satu teknik penyambungan logam dengan cara
mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisi dengan tekananan ataupun tanpa tekanan dan
dengan atau tanpa logam tambahan. Salah satu jenis teknologi las yang sering digunakan dalam dunia
pengelasan adalah Shielded Metal Arc Welding (SMAW) atau biasa dikenal dengan las busur listrik
elektroda terbungkus.
Menurut Wiryosumarto, dkk (2000) las elektroda terbungkus adalah cara pengelasan yang
banyak digunakan pada masa ini. Dalam cara pengelasan ini digunakan kawat elektroda logam yang
dibungkus dengan fluks. Pada proses pengelasan jenis ini, logam induk akan mengalami pencairan
akibat pemanasan dari busur listrik yang timbul antara ujung elektroda dan permukaan benda kerja.
Selama proses pengelasan, elektroda mengalami pencairan bersamaan dengan logam induk dan akan
mengisi kampuh.
Dalam proses pengelasan, bagian yang dilas menerima panas pengelasan setempat. Hal yang
perlu diperhatikan pada hasil pengelasan adalah tegangan sisa. Tegangan sisa pada hasil pengelasan
terjadi karena selama siklus termal las berlangsung di sekitar sambungan las dengan logam induk
yang suhunya relatif berubah sehingga distribusi suhu tidak merata (Wiryosumarto dan Okumura,
2000). Jika tidak dihindari, tegangan sisa akan mempengaruhi sifat mekanis dan juga kekuatan pada
sambungan lasan, maka dari itu untuk mengurangi tegangan sisa merupakan tugas yang tidak kalah
penting pada suatu pengelasan.
Menurut Wiryosumarto, dkk (2000) terdapat dua cara untuk mengurangi dan membebaskan
tegangan sisa, yaitu dengan cara mekanik dan cara termal. Dari kedua cara tersebut, cara yang paling
sering dilakukan untuk membebaskan tegangan sisa adalah cara termal dengan proses anil. Anil
merupakan salah satu jenis perlakuan panas (heat treatment) setelah proses pengelasan atau dalam
dunia teknik pengelasan biasa disebut dengan Post Weld Heat Treatment (PWHT).
Pada proses annealing atau anil, material dipanaskan didalam dapur pemanas elektrik
(furnace) pada temperatur tertentu dan ditahan selama waktu yang sudah ditentukan, kemudian
didinginkan secara perlahan-lahan di dalam dapur pemanas (Purwaningrum, 2006).
Variasi temperatur post weld heat treatment dilakukan untuk mengetahui perbedaan struktur
mikro, serta sifat fisis dan mekanis sambungan butt joint las SMAW pada baja karbon sedang setelah
proses pengelasan.
Mengacu pada uraian tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh
PWHT Terhadap Kekuatan Tarik dan Kekerasan Vickers Sambungan Butt Joint Las SMAW Pada
Baja Karbon Sedang”. Pada penelitian ini akan membahas berapa temperatur post weld heat
treatment yang paling berpengaruh terhadap kekuatan tarik dan kekerasan vickers pada sambungan
butt joint las SMAW pada baja karbon sedang.

2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh post weld heat treatment
terhadap kekuatan tarik dan kekerasan vickers sambungan butt joint las SMAW pada baja karbon
sedang dan untuk mengetahui temperatur post weld heat treatment yang paling berpengaruh terhadap
kekuatan tarik dan kekerasan vickers sambungan butt joint las SMAW pada baja karbon sedang.

2. METODE PENELITIAN

MULAI

Persiapan Bahan dan Alat

Pengujian Komposisi Raw Material

Pemotongan dan Pembuatan Kampuh V sudut 600

Pengelasan SMAW SMAW 2 layers


1. ∅2,6 mm 65 A
2. ∅4,0 mm 130 A

TIDAK
Hasil pengelasan
baik atau tidak baik

YA

PWHT 500°C PWHT 700°C PWHT 900°C NON PWHT

Pembuatan Spesimen

Uji Komposisi Weld Metal Uji Struktur Mikro Uji Kekerasan Uji Tarik

Analisis Data

Kesimpulan

SELESAI

Gambar 1. Diagram alir penelitian

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah strip plate baja karbon berukuran 300 mm
× 95 mm × 7 mm yang sudah diberi kampuh “V” dengan sudut 60° dan Elektroda LB 52-U E7016
berdiameter 2,6 mm dan 4,0 mm.

3
Proses Pengelasan
Proses pengelasan menggunakan las Shielded Metal Arc Welding (SMAW) dengan posisi
bawah tangan (1G) dan menggunakan 2 layer. Pada layer pertama menggunakan elektroda LB 52-U
E7016 berdiameter 2,6 mm dengan arus 65A, dan untuk layer yang kedua menggunakan elektroda
LB 52-U E7016 berdiameter 4,0 mm dengan arus 130A.

Gambar 2. Spesimen hasil pengelasan

Post Weld Heat Treatment


Post weld heat treatment yang digunakan adalah jenis annealing dengan variasi suhu 500°C,
700°C, dan 900°C dengan holding time selama 60 menit.
Setelah spesimen hasil pengelasan dipotong dengan ukuran seperti pada (Gambar 3) dan
(gambar 4), kemudian spesimen uji kekerasan dan spesimen uji tarik dengan jumlah 3 buah
perspesimennya dimasukan kedalam furnace milik Laboratorium Material Teknik ITNY untuk
perlakuan panas annealing.

Gambar 3. Spesimen uji kekerasan

Gambar 4. Spesimen uji tarik

Pengujian
Pengujian komposisi dilakukan pada raw material dan daerah weld metal menggunakan
spectrometer milik PT. Itokoh Ceperindo. Foto struktur mikro menggunakan mikroskop optik merk
Olympus milik Laboratorium Bahan Teknik Mesin Vokasi UGM. Pengujian kekerasan
menggunakan metode uji vickers makro pembebanan 30 kgf dengan jumlah dan posisi titik seperti
pada (Gambar 5) dan menggunakan alat uji kekerasan macro vickers hardness milik Laboratorium
Bahan Teknik Mesin Vokasi UGM. Uji tarik menggunakan spesimen yang mengacu pada standar
ASTM E8M (Gambar 6) dan menggunakan alat uji tarik UTM milik Laboratorium Material Teknik
Mesin ITNY.

4
Gambar 5. Posisi titik uji kekerasan

Gambar 6. Spesimen uji tarik ASTM E8M

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil uji komposisi kimia (Tabel 1) menunjukkan bahwa raw material mengandung kadar
karbon sebesar 0.3817% dan hasil uji komposisi (Tabel 2) menunjukan daerah weld metal
mengandung kadar karbon sebesar 0.1032%, sehingga strip plate yang digunakan pada penelitian ini
masuk kedalam golongan baja karbon sedang dan weld metal masuk kedalam golongan baja karbon
rendah.

Tabel 1. Hasil uji komposisi kimia raw material


Fe C Si Mn

97.8624 0.3817 0.4026 0.7842

Tabel 2. Hasil uji komposisi kimia weld metal


Fe C Si Mn

97.6593 0.1032 0.5897 1.3053

Pengamatan Visual Sebelum dan Sesudah Pengelasan


Berdasarkan hasil pengamatan visual pada strip plate setelah dilas seperti pada (Gambar 8),
tidak terlihat adanya cacat las porositas pada permukaan weld metal. Hal ini dikarenakan strip plate
yang akan dilas sudah dipastikan tidak ada kotoran yang menempel seperti pada (Gambar 7) sehingga
cacat las porositas dapat terhindarkan. Selain memastikan tidak ada kotoran yang menempel pada
benda kerja yang akan dilas, pastikan juga elektroda yang akan digunakan tidak lembab karena
elektroda yang lembab dapat menyebabkan cacat las porositas.
Spatter atau percikan las jika dapat dibersihkan maka dapat dikatan bukan cacat las. Namun
jika jumlahnya berlebih dan tidak dapat dibersihkan maka dikategorikan dalam cacat las visual. Hasil
pengamatan visual pada (Gambar 8) tidak terlihat adanya cacat las over spatter atau percikan las
yang berlebih, sehingga dapat dikatan hasil pengelasan pada strip plate seperti pada (Gambar 8) tidak
dikategorikan kedalam cacat las visual.

5
Gambar 7. Strip plate sebelum dilas

Gambar 8. Strip plate setelah dilas

Analisi Hasil Pengujian Struktur Mikro


Pengujian struktur mikro dilakukan pada daerah weld metal, HAZ kasar, HAZ halus, batas las,
dan daerah base metal dengan pembesaran 200×.

Gambar 9. Struktur mikro raw material

Berdasarkan hasil foto struktur mikro pada raw material, struktur yang terbentuk pada raw
material baja karbon sedang didominasi oleh struktur ferrite dibandingkan struktur pearlite. Hal ini
menunjukkan raw material akan mempunyai sifat lunak dan juga ulet yang diperoleh dari struktur
ferrite dan sifat kuat dan cukup keras yang diperoleh dari struktur pearlite.
Selain melakukan pengujian struktur mikro, pada penelitian ini juga dilakukan foto makro
dengan pembesaran 9× guna mengetahui batas-batas daerah weld metal, HAZ kasar, HAZ halus,
batas las, dan daerah base metal.

6
Gambar 10. Foto makro spesimen Non PWHT

Gambar 11. Foto makro spesimen PWHT 900°C

Keterangan : A = Weld Metal D = HAZ Halus


B = Batas Las E = Weld Metal
C = HAZ Kasar

Berdasarkan hasil pengamatan pada foto makro (Gambar 4.8.), dapat terlihat jelas batas-batas
daerah weld metal, batas las, HAZ kasar, HAZ halus maupun daerah base metal. Pada hasil foto makro
pada (Gambar 4.9.) setelah diamati terjadi perbedaan yang cukup signifikan, dimana pada hasil foto
makro pada (Gambar 4.9.) daerah HAZ kasar maupun HAZ halus terlihat tidak ada perbedaannya
dengan daerah base metal. Hal ini dikarenakan pada suhu annealing 900°C terjadi penyeragaman
struktur mikro, yang berarti struktur mikro pada daerah HAZ akan sama bentuk dan warnanya dengan
daerah lainnya. Oleh karena itu pada hasil struktur makro pada spesimen PWHT 900°C, daerah HAZ
tidak terlihat keberadaannya.

(A). Hasil pengujian struktur mikro pada daerah weld metal.

Gambar 12. Struktur mikro daerah weld metal Non PWHT

7
Gambar 13. Struktur mikro daerah weld metal PWHT 500°C

Gambar 14. Struktur mikro daerah weld metal PWHT 700°C

Gambar 15. Struktur mikro daerah weld metal PWHT 900°C

 Keterangan : AF = Acicular Ferrite


WF = Widmanstatten Ferrite
GBF = Grain Boundary Ferrite

8
Berdasarkan pengamatan dari struktur mikro pada daerah weld metal, struktur yang
terbentuk adalah acicular ferrite, grain boundary ferrite dan sedikit widmanstatten ferrite.
Struktur mikro yang terbentuk pada setiap spesimennya mempunyai variasi bentuk, ukuran,
dan jumlah yang berbeda-beda, contohnya pada spesimen Non PWHT yang lebih didominasi oleh
acicular ferrite, dengan grain boundary ferrite dan widmanstatten ferrite yang tidak terlalu banyak
penyebarannya. Sedangkan pada spesimen PWHT struktur mikro yang terbentuk tidak jauh berbeda
dengan spesimen Non PWHT yaitu acicular ferrite, grain boundary ferrite dan widmanstatten ferrite
dengan ukuran dan jumlah yang berbeda-beda pula pada setiap suhu perlakuan panas nya.
Pada spesimen PWHT dengan suhu 500°C struktur grain boundary ferrite jumlahnya sudah
lebih banyak dibandingkan dengan spesimen tanpa perlakuan panas (Non PWHT), dan pada spesimen
PWHT dengan suhu 900°C strukturnya didominasi oleh grain boundary ferrite ketimbang acicular
ferrite. Hal ini menunjukkan semakin besar suhu PWHT akan membuat penyebaran struktur grain
boundary ferrite semakin mendominasi, itu juga akan mempengaruhi kekuatan tarik serta kekerasan
pada daerah weld metal.

(B). Hasil pengujian struktur mikro pada daerah batas las.

Gambar 16. Struktur mikro daerah batas las Non PWHT

Gambar 17. Struktur mikro daerah batas las PWHT 500°C

9
Gambar 18. Struktur mikro daerah batas las PWHT 700°C

Gambar 19. Struktur mikro daerah batas las PWHT 900°C

 Keterangan : AF = Acicular Ferrite


WF = Widmanstatten Ferrite
GBF = Grain Boundary Ferrite

Berdasarkan pengamatan dari struktur mikro pada daerah batas las, struktur yang terbentuk
adalah gabungan dari daerah weld metal dengan daerah HAZ yaitu ferrite, pearlite, acicular ferrite,
grain boundary ferrite dan sedikit widmanstatten ferrite.
Struktur mikro yang terbentuk pada daerah batas las terlihat perbedaan nya secara jelas antara
weld metal dengan daerah HAZ kasar, hal ini ditunjukkan oleh bentuk dan ukuran struktur mikro
yang terbentuk. Akan tetapi pada spesimen PWHT dengan suhu 900°C pada batas las tidak terlalu
terlihat perbedaannya antara weld metal dengan daerah HAZ, itu dikarenakan pada suhu 900°C terjadi
proses rekristalisasi dimana butir-butir halus pada daerah HAZ kasar akan tumbuh membesar seiring
naiknya suhu annealing diatas suhu kritis.
Perbedaan antara struktur mikro pada daerah weld metal dengan daerah HAZ akan berpengaruh
juga pada sifat mekanis kedua daerah tersebut, pada daerah weld metal akan mempunyai sifat
tangguh yang diperoleh dari struktur acicular ferrite dan sifat ulet yang diperoleh dari grain
boundary ferrite, dan pada daerah HAZ akan mempunyai sifat lunak dan ulet yang diperoleh dari
struktur ferrite serta kuat dan cukup keras yang diperoleh dari struktur pearlite nya.

10
(C). Hasil pengujian struktur mikro pada daerah HAZ kasar.

Gambar 20. Struktur mikro daerah HAZ kasar Non PWHT

Gambar 21. Struktur mikro daerah HAZ kasar PWHT 500°C

Gambar 22. Struktur mikro daerah HAZ kasar PWHT 700°C

11
Gambar 23. Struktur mikro daerah HAZ kasar PWHT 900°C

Hasil pengamatan yang dilakukan pada struktur mikro daerah HAZ kasar, struktur mikro yang
terbentuk ialah acicular ferrite, grain boundary ferrite, widmanstatten ferrite, ferrite dan pearlite.
Pada daerah HAZ kasar terdapat beberapa widmanstatten ferrite berukuran besar dengan
orientasi arah yang serupa sehingga memudahkan terjadinya perambatan retak, tetapi pada daerah
HAZ kasar pada spesimen PWHT 900°C struktur widmanstatten ferrite tidak terbentuk dikarenakan
annealing diatas suhu kritis dapat memeperbaiki retak panas akibat proses pengelasan.
Selain struktur widmanstatten ferrite yang tidak terbentuk pada spesimen PWHT 900°C,
struktur acicular ferrite juga tidak terbentuk pada spesimen PWHT 900°C dan 700°C, dikarenakan
ukuran butir pada annealing suhu 700°C sudah mulai membesar dan membentuk struktur ferrite.

(D). Hasil pengujian struktur mikro pada daerah base metal.

Gambar 24. Struktur mikro daerah HAZ halus Non PWHT

12
Gambar 25. Struktur mikro daerah HAZ halus PWHT 500°C

Gambar 26. Struktur mikro daerah HAZ halus PWHT 700°C

Gambar 27. Struktur mikro daerah HAZ halus PWHT 900°C

Hasil pengamatan yang dilakukan pada struktur mikro daerah HAZ halus, struktur mikro yang
terbentuk berbeda pada daerah HAZ kasar, hal ini di tunjukkan pada daerah HAZ halus struktur yang
terbentuk ialah ferrite dan pearlite dengan ukuran dan bentuk butir yang semakin halus.
Semakin tinggi suhu PWHT akan mempengaruhi ukuran dan bentuk struktur mikro pada
daerah HAZ halus, hal ini dapat dilihat pada (Gambar 4.21.) dengan (Gambar 4.23.) antara spesimen

13
PWHT dengan suhu 500°C dengan spesimen PWHT dengan suhu 900°C yang mempunyai bentuk
dan ukuran butir yang berbeda. Hal ini menunjukkan pada daerah HAZ halus pada masing-masing
spesimen akan memiliki sifat mekanis yang berbeda-beda.

(E). Hasil pengujian struktur mikro pada daerah base metal.

Gambar 28. Struktur mikro daerah base metal Non PWHT

Gambar 29. Struktur mikro daerah base metal PWHT 500°C

Gambar 30. Struktur mikro daerah base metal PWHT 700°C

14
Gambar 31. Struktur mikro daerah base metal PWHT 700°C

Berdasarkan hasil pengamatan foto struktur mikro pada daerah base metal, struktur mikro
yang terbentuk tidak jauh beda dengan struktur mikro yang terbentuk pada raw material yaitu ferrite
dan pearlite, hal itu dikarenakan struktur mikro pada daerah base metal tidak terpengaruh oleh panas
yang dihasilkan selama proses pengelasan, tidak seperti daerah HAZ yang memiliki struktur mikro
yang berbeda dengan struktur mikro yang terbentuk pada raw material maupun daerah base
metal/logam induk. Akan tetapi, hal ini tidak terjadi pada struktur mikro daerah base metal spesimen
PWHT dengan suhu 900°C, dikarenakan pada suhu annealing diatas suhu kritis dan diturunkun
sampai suhu sekitar 723°C, ferrite akan tumbuh pada butir austenite, pada suhu annealing 900°C
perubahan semakin tampak dengan butir-butir ferrite menjadi semakin bulat dan makin besar. Hal
ini menunjukkan daerah base metal dengan raw material akan mempunyai kekerasan dan kekuatan
tarik yang tidak jauh berbeda, akan tetapi tidak dengan base metal spesimen PWHT dengan suhu
900°C, base metal pada spesimen PWHT dengan suhu 900°C akan memiliki sifat yang lunak dan
ulet.

Analisis Hasil Pengujian Kekerasan Vickers

Hasil Pengujian Kekerasan Vickers Pada Spesimen Raw Material

Tabel 3. Hasil pengujian kekerasan vickers pada spesimen raw material


d1 d2 Drata-rata Kekerasan Vickers
No Spesimen Posisi titik uji
(mm) (mm) (mm) (kgf/mm2)
0.58 0.60 0.590 159.8
1 RAW Acak 0.60 0.59 0.595 157.1
0.60 0.59 0.595 157.1

Berdasakan hasil pengujian kekerasan pada raw material, didapatkan hasil seperti pada (Tabel
3) dengan nilai kekerasan vickers rata-rata sebesar 158 kgf/mm2.

Gambar 32. Spesimen kekerasan vickers raw material

15
NILAI KEKERASAN VICKERS RAW MATERIAL
210
Nilai Kekerasan Vickers (kgf/mm2)
200
190
180
170
160
150
140
130
120
110
1 2 3
Titik Ke-

Gambar 33. Grafik nilai kekerasan vickers raw material

Hasil Pengujian Kekerasan Vickers Pada Spesimen Non PWHT

Tabel 4. Hasil pengujian kekerasan vickers pada spesimen Non PWHT


Posisi titik d1 d2 Drata-rata Kekerasan Vickers
No Spesimen
uji dari las (mm) (mm) (mm) (kgf/mm2)
0.0 mm 0.54 0.54 0.540 190.8
2.5 mm 0.54 0.54 0.540 190.8
5.0 mm 0.52 0.52 0.520 205.7
7.5 mm 0.57 0.55 0.560 177.4
10.0 mm 0.57 0.58 0.575 168.3
Non 12.5 mm 0.59 0.57 0.580 165.4
2
PWHT 15.0 mm 0.59 0.58 0.585 162.6
17.5 mm 0.59 0.58 0.585 162.6
20.0 mm 0.60 0.58 0.590 159.8
22.5 mm 0.60 0.58 0.590 159.8
25.0 mm 0.60 0.58 0.590 159.8
27.5 mm 0.60 0.58 0.590 159.8

Berdasakan hasil pengujian kekerasan pada spesimen Non PWHT, didapatkan hasil seperti
pada (Tabel 4.3.) dengan nilai kekerasan vickers yang bervariasi disetiap titiknya. Terjadi penurunan
nilai kekerasan dari titik ke 3 sampai titik ke 9 dan pada titik ke 9 sampai titik ke 12 nilai kekerasan
mulai stabil, itu menunjukkan pada titik ke 3 sampai titik ke 9 merupakan daerah yang terpengaruh
panas (HAZ) dan pada titik ke 9 sampai titik ke 12 sudah masuk daerah logam induk (base metal).
Nilai kekerasan tertinggi berada pada daerah yang terpengaruh panas (HAZ) yaitu sebesar
205.7 kgf/mm2 dan nilai kekerasan terendah berada pada daerah logam induk sebesar 159.8 kgf/mm 2.

Gambar 34. Spesimen kekerasan vickers Non PWHT

16
NILAI KEKERASAN VICKERS NON PWHT
210
Nilai Kekerasan Vickers (kgf/mm2)
200
190
180
170
160
150
140
130
120
110
0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 22.5 25.0 27.5
Jarak Dari Pusat Las (mm)

Gambar 35. Grafik nilai kekerasan vickers Non PWHT

Hasil Pengujian Kekerasan Vickers Pada Spesimen PWHT 500°C

Tabel 5. Hasil pengujian kekerasan vickers pada spesimen PWHT 500°C


Posisi titik d1 d2 Drata-rata Kekerasan Vickers
No Spesimen
uji dari las (mm) (mm) (mm) (kgf/mm2)
0.0 mm 0.55 0.54 0.545 187.3
2.5 mm 0.55 0.55 0.550 183.9
5.0 mm 0.52 0.52 0.520 205.7
7.5 mm 0.56 0.57 0.565 174.3
10.0 mm 0.57 0.57 0.570 171.2
PWHT 12.5 mm 0.58 0.58 0.580 165.4
3
500 15.0 mm 0.59 0.59 0.590 159.8
17.5 mm 0.59 0.59 0.590 159.8
20.0 mm 0.60 0.58 0.590 159.8
22.5 mm 0.60 0.59 0.595 157.1
25.0 mm 0.60 0.59 0.595 157.1
27.5 mm 0.60 0.59 0.595 157.1

Berdasakan hasil pengujian kekerasan pada spesimen PWHT 500°C, didapatkan hasil seperti
pada (Tabel 4.4.) dengan nilai kekerasan vickers yang bervariasi disetiap titiknya. Terjadi penurunan
nilai kekerasan yang cukup signifikan dari titik ke 3 sampai titik ke 7 dan pada titik ke 7 sampai titik
ke 12 nilai kekerasan perlahan mulai stabil, itu menunjukkan pada titik ke 3 sampai titik ke 7
merupakan daerah yang terpengaruh panas (HAZ) dan pada titik ke 7 sampai titik ke 12 sudah masuk
daerah perbatasan HAZ halus dan logam induk (base metal).
Nilai kekerasan tertinggi berada pada daerah yang terpengaruh panas (HAZ) yaitu sebesar
205.7 kgf/mm2 dan nilai kekerasan terendah berada pada daerah logam induk sebesar 157.1 kgf/mm 2.

Gambar 36. Spesimen kekerasan vickers PWHT 500°C

17
NILAI KEKERASAN VICKERS PWHT 500°C
210
Nilai Kekerasan Vickers (kgf/mm2)
200
190
180
170
160
150
140
130
120
110
0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 22.5 25.0 27.5
Jarak Dari Pusat Las (mm)

Gambar 4.37. Grafik nilai kekerasan vickers PWHT 500°C

Hasil Pengujian Kekerasan Vickers Pada Spesimen PWHT 700°C

Tabel 6. Hasil pengujian kekerasan vickers pada spesimen PWHT 700°C


Posisi titik d1 d2 Drata-rata Kekerasan Vickers
No Spesimen
uji dari las (mm) (mm) (mm) (kgf/mm2)
0.0 mm 0.55 0.55 0.550 183.9
2.5 mm 0.55 0.55 0.550 183.9
5.0 mm 0.53 0.53 0.530 198.0
7.5 mm 0.60 0.60 0.600 154.5
10.0 mm 0.60 0.60 0.600 154.5
PWHT 12.5 mm 0.60 0.60 0.600 154.5
4
700 15.0 mm 0.60 0.60 0.600 154.5
17.5 mm 0.60 0.60 0.600 154.5
20.0 mm 0.60 0.60 0.600 154.5
22.5 mm 0.60 0.60 0.600 154.5
25.0 mm 0.60 0.60 0.600 154.5
27.5 mm 0.60 0.60 0.600 154.5

Berdasakan hasil pengujian kekerasan pada spesimen PWHT 700°C, terjadi penurunan nilai
kekerasan yang cukup signifikan dari titik ke 3 sampai titik ke 4 dan pada titik ke 4 sampai titik ke
12 nilai kekerasan perlahan mulai stabil, itu menunjukkan pada titik ke 3 sampai titik ke 4 merupakan
daerah yang terpengaruh panas (HAZ) dan pada titik ke 4 sampai titik ke 12 sudah masuk daerah
logam induk (base metal).
Nilai kekerasan tertinggi berada pada daerah yang terpengaruh panas (HAZ) yaitu sebesar 198
kgf/mm2 dan nilai kekerasan terendah berada pada daerah logam induk sebesar 154.5 kgf/mm 2.

Gambar 38. Spesimen kekerasan vickers PWHT 700°C

18
NILAI KEKERASAN VICKERS PWHT 700°C
210
Nilai Kekerasan Vickers (kgf/mm2)

200
190
180
170
160
150
140
130
120
110
0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 22.5 25.0 27.5
Jarak Dari Pusat Las (mm)

Gambar 39. Grafik nilai kekerasan vickers PWHT 700°C

Hasil Pengujian Kekerasan Vickers Pada Spesimen PWHT 900°C

Tabel 7. Hasil pengujian kekerasan vickers pada spesimen PWHT 900°C


Posisi titik d1 d2 Drata-rata Kekerasan Vickers
No Spesimen
uji dari las (mm) (mm) (mm) (kgf/mm2)
0.0 mm 0.66 0.68 0.670 123.9
2.5 mm 0.67 0.65 0.660 127.7
5.0 mm 0.67 0.65 0.660 127.7
7.5 mm 0.67 0.65 0.660 127.7
10.0 mm 0.68 0.65 0.665 125.8
PWHT 12.5 mm 0.68 0.65 0.665 125.8
5
900 15.0 mm 0.68 0.66 0.665 125.8
17.5 mm 0.68 0.66 0.670 123.9
20.0 mm 0.68 0.66 0.670 123.9
22.5 mm 0.68 0.66 0.670 123.9
25.0 mm 0.68 0.66 0.670 123.9
27.5 mm 0.68 0.66 0.670 123.9

Berdasakan hasil pengujian kekerasan pada spesimen PWHT 900°C, didapatkan hasil seperti
pada (Tabel 4.6.) dengan nilai kekerasan vickers yang hampir sama pada setiap titiknya. Tidak terjadi
penurunan ataupun peningkatan yang cukup signifikan pada nilai kekerasan spesimen dengan PWHT
900°C, itu menunjukkan daerah HAZ dengan daerah logam induk tidak terlihat perbedaannya secara
signifikan. Nilai kekerasan tertinggi pada spesimen PWHT 900°C sebesar 127.7 kgf/mm2 dan nilai
kekerasan terendah sebesar 123.9 kgf/mm2.

Gambar 40. Spesimen kekerasan vickers PWHT 900°C

19
NILAI KEKERASAN VICKERS PWHT 900°C
210
Nilai Kekerasan Vickers (kgf/mm2)
200
190
180
170
160
150
140
130
120
110
0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 22.5 25.0 27.5
Jarak Dari Pusat Las (mm)

Gambar 41. Grafik nilai kekerasan vickers PWHT 900°C

NILAI KEKERASAN VICKERS GABUNGAN


210
Nilai Kekerasan Vickers (kgf/mm2)

200
190
180
170
160
150
140
130
120
110
0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 22.5 25.0 27.5
Jarak Dari Pusat Las (mm)

Non PWHT PWHT 500 PWHT 700 PWHT 900

Gambar 42. Grafik gabungan nilai kekerasan vickers

Nilai kekerasan pada raw material pada dasarnya tidak akan berbeda jauh pada base metal
ketika raw material mendapat perlakuan las, hal ini ditunjukkan oleh nilai kekerasan vickers base
metal pada spesimen las Non PWHT yaitu sebesar 159.8 kgf/mm2, nilai kekerasan itu tidak berbeda
jauh dengan nilai kekerasan vickers yang dimiliki raw material yang mempunyai nilai kekerasan
sebesar 158 kgf/mm2.
Dari grafik nilai kekerasan vickers menunjukkan, nilai kekerasan vickers paling tinggi berada
di titik ke 3 pada semua spesimen kecuali pada spesimen PWHT dengan suhu 900°C. Spesimen
dengan tingkat kekerasan tertinggi dimiliki oleh spesimen Non PWHT, dan tingkat kekerasan
terendah dimiliki oleh spesimen PWHT dengan suhu 900°C.

20
Analisis Hasil Pengujian Tarik
Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui yield strength, tensile strength, dan elongation
pada logam. Spesimen uji tarik mengacu pada standar ASTM E8M.

Tabel 8. Hasil pengujian tarik


Yield Strength Tensile Strength Elongation
No. Spesimen
(kgf/mm²) (kgf/mm²) (%)
1 1 35.11 53.17 17.27
2 RAW 2 37.67 53.54 17.25
3 3 36.96 55.04 20.82
4 1 41.68 55.44 11.62
5 NP 2 41.62 52.24 7.60
6 3 42.17 54.89 11.60
7 1 36.63 56.35 17.35
8 P500 2 38.65 54.55 14.80
9 3 40.62 55.26 17.64
10 1 37.84 52.79 12.19
11 P700 2 35.73 52.97 18.78
12 3 38.84 53.26 13.59
13 1 32.77 47.66 14.49
14 P900 2 31.47 46.32 12.09
15 3 31.77 46.94 15.44

YIELD STRENGTH
45 41.82
38.63
Nilai Kekuatan Luluh (kgf/mm2)

40 36.58 37.47
35 32
30
25
20
15
10
5
0
RAW Non PWHT PWHT 500 PWHT 700 PWHT 900

RAW Non PWHT PWHT 500 PWHT 700 PWHT 900

Gambar 43. Grafik yield strength vs variasi suhu PWHT.

Raw material mempunyai nilai kekuatan luluh sebesar 36.58 kgf/mm 2 berbeda dengan
spesimen Non PWHT yang mempunyai nilai kekuatan luluh sebesar 41.82 kgf/mm 2, hal ini
dikarenakan pada saat proses pengelasan terjadi siklus thermal yang dapat mempengaruhi sifat
mekanis pada material.
Terjadi penurunan nilai kekuatan luluh sebesar 3.19 kgf/mm 2 – 9.82 kgf/mm2 pada spesimen
PWHT terhadap spesimen Non PWHT, ini menunjukkan jika spesimen Non PWHT mempunyai nilai
kekuatan luluh yang lebih baik dari pada spesimen PWHT.

21
Spesimen PWHT memiliki nilai kekuatan luluh yang berbeda-beda, pada spesimen PWHT
dengan suhu 500°C nilai kekuatan luluhnya sebesar 38.63 kgf/mm2, sedangkan pada spesimen PWHT
dengan suhu 700°C memiliki nilai kekuatan luluhnya sebesar 37.47 kgf/mm2, dan pada spesimen
PWHT dengan suhu 900°C nilai kekuatan luluhnya sebesar 32 kgf/mm2. Hal ini menunjukkan jika
semakin besar suhu PWHT akan berpengaruh pada kekuatan luluhnya yang menyebabkan nilai
kekuatan luluh akan semakin menurun.

TENSILE STRENGTH
58

56 55.39
Nilai Kekuatan Tarik (kgf/mm2)

53.92 54.19
54 53

52

50

48 46.97

46

44

42
RAW Non PWHT PWHT 500 PWHT 700 PWHT 900

RAW Non PWHT PWHT 500 PWHT 700 PWHT 900

Gambar 44. Grafik tensile strength vs variasi suhu PWHT.

Raw material mempunyai nilai kekuatan tarik yang hampir sama dengan dengan nilai kekuatan
tarik Non PWHT yaitu sebesar 53.92 kgf/mm2 dan nilai kekuatan tarik Non PWHT sebesar 54.19
kgf/mm2, nilai kekuatan tarik hanya naik sebesar 0.27 kgf/mm 2 pada spesimen Non PWHT terhadap
raw material.
Terjadi peningkatan nilai kekuatan tarik sebesar 1.2 kgf/mm2 pada spesimen PWHT dengan
suhu 500°C terhadap spesimen Non PWHT, akan tetapi nilai kekuatan tarik mengalami penurunan
sebesar 1.19 kgf/mm2 – 7.22 kgf/mm2 pada spesimen PWHT dengan suhu 700°C dan 900°C terhadap
spesimen Non PWHT, ini menunjukkan jika spesimen PWHT dengan suhu 500°C mempunyai nilai
kekuatan tarik yang lebih baik dari pada spesimen Non PWHT.
Spesimen PWHT memiliki nilai kekuatan tarik yang berbeda-beda, pada spesimen PWHT
dengan suhu 500°C nilai kekuatan tariknya sebesar 55.39 kgf/mm2, sedangkan pada spesimen PWHT
dengan suhu 700°C memiliki nilai kekuatan tariknya sebesar 53 kgf/mm2, dan pada spesimen PWHT
dengan suhu 900°C nilai kekuatan luluhnya sebesar 46.97 kgf/mm2. Hal ini menunjukkan jika
semakin besar suhu PWHT akan berpengaruh pada kekuatan tariknya yang menyebabkan nilai
kekuatan tarik akan semakin menurun.

22
ELONGATION
20 18.45
18 16.6
16 14.85
14
Nilai Regangan (%)

14
12
10.27
10
8
6
4
2
0
RAW Non PWHT PWHT 500 PWHT 700 PWHT 900

RAW Non PWHT PWHT 500 PWHT 700 PWHT 900

Gambar 45. Grafik elongation vs variasi suhu PWHT.

Raw material mempunyai nilai regangan sebesar 18.45% berbeda dengan spesimen Non
PWHT yang mempunyai nilai regangan sebesar 10.27%, hal ini dikarenakan pada saat proses
pengelasan terjadi siklus thermal yang dapat mempengaruhi sifat mekanis pada material.
Terjadi peningkatan nilai regangan sebesar 3.73% – 6.33% pada spesimen PWHT terhadap
spesimen Non PWHT, ini menunjukkan jika spesimen PWHT mempuyai nilai regangan yang lebih
baik dari pada spesimen Non PWHT.
Spesimen PWHT memiliki nilai regangan yang berbeda-beda, pada spesimen PWHT dengan
suhu 500°C nilai regangannya sebesar 16.6%, sedangkan pada spesimen PWHT dengan suhu 700°C
memiliki nilai regangannya sebesar 14.85%, dan pada spesimen PWHT dengan suhu 900°C nilai
regangannya sebesar 14%. Hal ini menunjukkan jika semakin besar suhu PWHT akan berpengaruh
pada regangannya yang menyebabkan nilai regangannya akan semakin menurun.

Gambar 46. Spesimen uji tarik raw material sebelum dan sesudah diuji.

23
Gambar 47. Spesimen uji tarik Non PWHT sebelum dan sesudah diuji.

Gambar 48. Spesimen uji tarik PWHT 500°C sebelum dan sesudah diuji.

Gambar 49. Spesimen uji tarik PWHT 700°C sebelum dan sesudah diuji.

24
Gambar 4.49. Spesimen uji tarik PWHT 900°C sebelum dan sesudah diuji.

Pada spesimen uji tarik raw material terlihat seperti pada (Gambar 4.45.), raw material setelah
diuji tarik dan akan putus pada daerah yang tidak bias di tebak, dikarenakan pada spesimen raw
material belum menerima pengaruh apapun yang dapat mempengaruhi struktur mikro dan sifat
fisisnya. Berbeda dengan spesimen uji tarik Non PWHT yang daerah putusnya dapat diketahui,
dikarenakan spesimen uji tarik Non PWHT telah mendapat pengaruh hasil proses pengelasan yang
dapat mempengaruhi sifat fisis dan struktur mikronya, sehingga spesimen uji tarik Non PWHT
(Gambar 4.46.) akan putus pada daerah base metal karena pada daerah base metal mempunyai nilai
kekerasan paling rendah dan struktur mikro yang serupa dengan raw material.
Pada spesimen uji tarik PWHT 500°C terlihat seperti pada (Gambar 4.47.) daerah putusnya
sama dengan spesimen uji tarik Non PWHT (Gambar 4.46.) yang putus pada daerah base metal,
karena pada spesimen uji tarik PWHT 500°C mempunyai nilai kekerasan terendah pada daerah base
metal dan struktur mikro yang terbentuk pada daerah base metal serupa dengan base metal spesimen
uji tarik Non PWHT.
Spesimen uji tarik PWHT 500°C, 700°C dan 900°C setelah diuji tarik putus sama seperti
spesimen uji tarik Non PWHT yaitu pada daerah base metal, hal ini menunjukan suhu annealing tidak
berpengaruh pada daerah putus.

4. KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil uji komposisi kimia, strip plate baja karbon pada raw material mengandung
kadar carbon (C) 0,3817 % dan pada weld metal mengandung kadar carbon (C) 0.1032 %. Hal
ini menunjukan bahwa raw material masuk kedalam klasifikasi baja karbon sedang dan weld
metal masuk kedalam klasifikasi baja karbon rendah.
2. Struktur mikro yang terbentuk adalah acicular ferrtite, grain boundary ferrite, widmanstatten
ferrite, ferrite dan pearlite. Post Weld Heat Treatment akan mempengaruhi ukuran dan bentuk
butir struktur mikro pada daerah weld metal, HAZ dan base metal. Semakin tinggi suhu
annealing akan semakin memperhalus ukuran butir pada material.
3. Berdasarkan hasil uji kekerasan vickers, nilai kekerasan mengalami penurunan berturut-turut
dari daerah weld metal hingga daerah base metal, tetapi mengalami peningkatan pada titik ke 3
yaitu pada daerah HAZ. Nilai kekerasan paling tinggi pada spesimen Non PWHT, PWHT 500°C,
PWHT 700°C, dan PWHT 900°C berada pada daerah HAZ. Diantara semua spesimen, Non
PWHT memiliki tingkat kekerasan tertinggi dan semakin tinggi suhu annealing maka semakin
rendah pula tingkat kekerasannya, hal ini sesuai dengan tujuan utama annealing yaitu
menurunkan tingkat kekerasan dan membuat material menjadi lunak dan ulet.
4. Berdasarkan hasil uji tarik, yield strength paling tinggi dimiliki spesimen Non PWHT yaitu
dengan nilai 41.82 Kg/mm2, sedangkan yield strength paling rendah dimiliki spesimen PWHT
900°C yaitu dengan nilai 32 Kg/mm2. Tensile strength paling tinggi dimiliki spesimen PWHT
500°C yaitu dengan nilai 55.39 Kg/mm2, sedangkan tensile strength paling rendah dimiliki

25
spesimen Non PWHT yaitu dengan nilai 54.19 Kg/mm2. Elongation paling tinggi dimiliki
spesimen PWHT 500°C yaitu dengan nilai 16.6 %, sedangkan elongation paling rendah dimiliki
spesimen Non PWHT yaitu dengan nilai 10.27 %. Jadi, PWHT akan meningkatkan sifat mekanis
khususnya keuletan pada material hasil proses pengelasan, ini sesuai dengan tujuan annealing
yaitu memperbaiki keuletan.

5. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menambah variasi suhu annealing dan variasi
holding time untuk mengetahui suhu dan holding time yang paling opimal untuk meningkatkan
kekuatan tarik baja karbon sedang.
2. Perlu adanya penelitian untuk mengetahui tegangan sisa yang terbentuk setelah proses
pengelasan dan setelah proses PWHT.

UCAPAN TERMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Wartono, M.Eng., selaku Dosen Pembimbing I
dan kepada Dandung Rudy Hartana, S.T., M.Eng., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
membimbing terhadap penelitian ini. Tidak lupa kedua orang tua ku yang telah memberi dukungan
yang tiada henti hingga penelitian ini dapat terselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA
ASTM. 2010. Standart Test Methods for Testing of Metallic Material, ASTM E8/E8M-13a.

Avner, Sidney. 1974. Introduction To Physical Metallurgy. Second Edition. Tokyo.

Davis, J.R. 1998. Metal Handbook Desk Edition. ASM International. Second Edition. New York.

Purwaningrum, Yustiasih. 2006. Karakterisasi Sifat Fisis dan Mekanis Sambungan Las SMAW Baja
A-287 Sebelum dan Sesudah PWHT. Jurnal Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri Universitas
Islam Indonesia.

Van Vlack, L.H. 1981. Ilmu dan Teknologi Bahan. Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta.

Wiryosumarto, Harsono. dan Okumura, T. 2000. Teknologi Pengelasan Logam. Cetakan Kedelapan.
Pradnya Paramita. Jakarta.

26

Anda mungkin juga menyukai