Menurutnya, bila anak biasa memiliki kurva normal rata-rata, ABK memiliki
kurva normal di luar rata-rata. “Kalau dia kurvanya ekstrem kanan, tingkat
kecerdasannya sangat tinggi, tapi jadi sering mengganggu orang lain atau teman-
temannya yang sedang belajar di kelas, misalnya. Sedangkan kalau dia ekstrem
kiri, tingkat kecerdasannya di bawah rata-rata,” jelas Verauli
“Nah, yang paling pertama harus dilakukan orangtua adalah menerima kondisi
anak apa adanya lebih dulu. Kalau belum bisa menerima, lebih baik konseling
lebih dulu ke pakar,” tuturnya.
Konseling Keluarga
Verauli mengatakan, wajar bila pada awalnya perasaan orangtua hancur saat
mengetahui anaknya termasuk anak spesial.
“Tapi perlu diingat, anak tidak butuh patah hati dan air mata kita. Yang dia
butuhkan adalah penanganan. Jadi, terimalah kenyataan bahwa anak kita memang
berbeda. Itu dulu yang penting. Lebih cepat kita bisa menerima, lebih cepat anak
bisa ditangani dan kita lebih cepat tahu apa kebutuhannya. Lalu, ikuti urutan
penanganannya,” tandas Verauli yang juga memiliki anak spesial.
Namun, lanjutnya, bukan hanya orangtua saja yang harus bisa menerima kondisi
ABK. Anggota keluarga lainnya seperti kakak dan adiknya juga harus bisa
menerima dan bersikap terbuka. Itu sebabnya, seluruh keluarga disarankan
mengikuti konseling.
Setelah bisa menerima apa adanya, barulah melangkah ke tahap selanjutnya yaitu
mencari pakar sebanyak-banyaknya. Setelah menemukan pakar yang dirasa
cocok, anak bisa menjalani terapi-terapi sesuai anjuran pakar. Verauli
menyarankan untuk mencari pakar yang sesuai dengan tumbuh kembang anak.
Biasanya, lanjut Verauli, ada dokter yang memang secara khusus menangani ABK
dan memberikan pendekatan biomedik.
Memang, tutur perempuan ramah ini, penanganan ABK membutuhkan biaya yang
tidak murah karena selain biaya terapi dan sekolah, juga dibutuhkan biaya
penanganan sehari-hari.
Ia juga mengingatkan anak wajib berkunjung secara berkala ke dokter anak dan
psikolog. Selain untuk mendapatkan penanganan, juga sekaligus evaluasi untuk
jangka pendek dan panjang.
Soal lamanya terapi, tergantung gangguan yang dialami dan seberapa berat
gangguan itu. “Bila gangguannya berat, PR memang ekstra. Ada yang sekali
dalam enam bulan, tiga bulan sekali, dan lainnya. Ikuti saja. Makin dini
penanganan dilakukan, makin cepat hasilnya terlihat,” tandasnya. Selain hal-hal di
atas, orangtua ABK juga perlu mengikuti seminar tentang pengasuhan anak,
minimal setahun sekali.
“Tidak apa-apa. Kalau dia pergi, berarti dia belum mampu menerima keadaan.
Yang penting kita punya support system yang kuat dan banyak, yaitu orangtua,
keluarga besar, teman, terutama teman-teman dengan anak yang sama. Yang jauh
lebih penting adalah agama kita kuat. Kembalikan semuanya pada Tuhan, karena
dari sanalah semua berasal,” terangnya.
Memilih Sekolah
Bisa jadi semua langkah ini melelahkan, baik fisik maupun psikis, belum lagi
ditambah harus menghadapi perilaku anak itu sendiri. Bisa menerima dan
memberikan penanganan sesuai kebutuhan anak agar kemampuannya bisa
berkembang secara optimal dan mandiri, menurutnya, merupakan cara bersyukur
atas anugerah Tuhan yang istimewa ini dalam keluarga.
“Yang penting, harus ekstra sabar. Makanya, orangtua sebaiknya rajin ikut
konseling dan ikut komunitas. Sebab, ada masa-masa di mana orangtua tidak
sanggup menghadapi masalah ini.”
Bila kita sudah tahu apa terapi dan bagaimana penanganannya, barulah bicara soal
pendidikan, apakah anak akan dimasukkan ke sekolah umum, khusus, atau inklusi
(dengan guru bayangan). Dosen psikologi di Universitas Tarumanegara ini
mengingatkan, orangtua juga harus bersiap akan risiko bullying yang sering
terjadi pada ABK.
Itu sebabnya, bila ternyata anak mampu bersekolah di sekolah reguler, Verauli
menyarankan untuk memilih sekolah reguler dengan proporsi perbandingan yang
kecil antara jumlah guru dan siswa, sehingga anak selalu terpantau.
Misalnya, 1:20, artinya satu guru untuk 20 siswa. Kedua, orangtua juga harus
memahami nilai-nilai yang ada dan dianut sekolah yang dituju.
Carilah sekolah yang memiliki nilai-nilai yang baik dan menghargai perbedaan.
Ini, menurut Verauli, bisa terlihat dari sikap siswanya, apakah siswa-siswanya
bersikap sopan atau tidak. Bila memang yang dipilih adalah sekolah reguler,
komunikasikan kondisi anak secara rutin dengan gurunya, minimal seminggu
sekali, tergantung kebutuhan anak.
“Makin berat gangguan yang dialami, terutama untuk autisme, sebetulnya dia
makin terhambat di sekolah reguler. Maka, makin seringlah berkomunikasi
dengan guru,“ saran psikolog cantik ini.
Nah, agar anak juga mengenal lingkungan sekitarnya dan lingkungan juga bisa
menerima kehadirannya dengan baik, Verauli menyarankan agar anak sering
diajak ke lingkar kehidupan sosial di sekitarnya.
Belajar Bersosialisasi
“Ada pula gangguan sensori yang membuat anak gagal memahami spasial dan
dampak gerakan atau kekuatan tubuhnya ketika memukul. Mungkin maksudnya
menyentuh seperti anak bayi, tapi karena dia tidak bisa mengendalikan gerakan
sensor motornya sendiri, akhirnya jadi pukulan keras. Dia tidak tahu bahwa kalau
dia bergerak seperti ini, hasilnya akan seperti ini,” jelasnya.
Bila anak tantrum, lanjutnya, adalah keliru bila kita menanganinya dengan cara
mengiming-iminginya dengan sesuatu. Lebih baik minta dia untuk menghentikan
perbuatannya.
“Kita pandu dia untuk menenangkan dirinya dengan cara dipeluk dari belakang
dan menggerakkan tubuhnya dengan cara rileks. Usap-usap tubuhnya sambil
secara verbal membuat konfirmasi agar dia menghentikan aksinya dan
mengarahkan dirinya untuk tenang. Bila sudah tenang, barulah bisa diajak
berkomunikasi tentang apa yang dia inginkan, agar dia tidak marah-marah lagi.
“Yang perlu diingat adalah ketika anak tantrum, dia merasa gagal dipahami,
makanya dia frustrasi,” pungkas Verauli. (Tabloid Nova/Hasuna Daylailatu)
Beberapa selebriti disebut sebagai orangtua yang tegar karena dengan sabar
mengasuh dan membesarkan anaknya yang berkebutuhan khusus.
1. Cindy Fatikasari
Lulus SD, Omar akan belajar ke vocational school yg lebih fokus ke minat, bakat,
kemandirian dan life skills. Kurikulumnya pun khusus dibuat utk Omar alias
Individual Educational Plan (AEP).
"Omar adalah berkah terindah yang dititipkan Allah kepada keluarga kami. There
isn't a day goes by without us feeling extremely grateful for having Omar in our
lives. Alhamdulillah. Congrats Omar for graduating Elementary School," tulisnya.
2. Dewi Yull
Dua dari empat anak hasil pernikahannya dengan Ray Sahetapi terlahir tuna
rungu. Meski begitu, Dewi Yull selalu menunjukkan semangatnya untuk
mendidik anak-anaknya
3. Farhan
foto: kapanlagi.com
Selain dikenal sebagai presenter kenamaan Indonesia, Farha juga dikenal sosok
ayah yang sabar. Kesabarannya tentu telah teruji dengan mengasuh anak
pertamanya, Muhammad Ridzky Khalid yang berkebutuhan khusus autis.
Pada Desember 2015, anak pertama Farhan ini meninggal pada usia 15 tahun
karena penyakit leukimia dan kelainan paru-paru.
4. Suci Idol
Agatha Suci yang merupakan penyanyi jebolan Indonesian Idol mempunyai dua
anak yang berkebutuhan khusus. Suci menikah dengan seorang pria bernama
Jeffry Thung pada 6 Desember 2009 silam.
IBU HEBAT: Etik Herawati begitu telaten mendidik sang buah hati Reza Gusti
Erlangga (kiri). (Allex Qomarulla/Jawa Pos)
Memiliki anak berkebutuhan khusus tentu bukan keinginan mereka. Bukan pula
permintaan. Tapi, semuanya adalah kehendak Tuhan. Pada akhirnya, kasih sayang
yang tulus mampu meredam egoisme dan berjuang sekuat tenaga agar sang anak
dapat diterima dunia.
NAMANYA Etik Herawati. Dua puluh dua tahun lalu, tepatnya 24 Mei 1995, dia
dikaruniai seorang anak laki-laki. Bayi itu dia beri nama Reza Gusti Erlangga.
Angan-angan besar mengiringi pemberian nama itu. Kelak, dia berharap sang
anak bisa menjadi orang sukses. Jadi dokter, misalnya.
Dua tahun berjalan, sang anak baru bisa berjalan. Kata orang tua zaman dulu,
perkembangan anak laki-laki biasanya memang lebih lambat. Tapi, sebagai ibu,
Etik merasakan hal lain. Ada yang berbeda dengan buah hatinya.
Semakin lama, tumbuh kembang Angga, sapaan Reza Gusti Erlangga, semakin
menunjukkan perbedaan dengan anak di sekitarnya. Bahkan, ketika sudah masuk
playgroup pun, perilaku Angga tidak berubah. Dia tidak bisa duduk diam dan
mengikuti irama lagu. Juga, tidak bisa bersosialisasi dengan teman-temannya.
Curiga ada yang tidak beres, Etik mendatangi pemilik playgroup itu yang juga
seorang psikiater. Di sana, Angga menjalani serangkaian tes. Angga terdeteksi
menyandang autisme. Tujuh di antara 10 tanda autis sesuai dengan kriteria Angga.
Etik tidak terima. Dia mencari dokter lain. Namun, dua ahli gangguan emosional
yang didatanginya mengatakan hal sama. ’’Di situ sebenarnya saya mencari ahli
yang mengatakan bahwa anak saya tidak seperti itu. Tapi, ketika tiga orang
mengatakan hal sama, saya akhirnya menyerah,’’ ungkapnya.
Pertanyaan demi pertanyaan seakan tiada habis membayangi pikirannya saat itu.
Apalagi, pada saat bersamaan, dia harus menghadapi perpisahan dengan sang
suami. Sungguh perempuan tangguh yang bisa menghadapinya.
Karena itu, Etik tidak boleh terus bersedih. Angga membutuhkan ibunya. Langkah
pertama yang dilakukan Etik adalah mempersiapkan diri. Pertama-tama, yang
harus dia ubah adalah mindset. Anaknya tidak bisa diperlakukan sama dengan
anak-anak normal lainnya. Baru setelah itu, dia mempersiapkan orang-orang
terdekatnya. Terutama orang tua dan saudara-saudaranya.
foto: Instagram.com/@agatha_suci
Agatha Suci yang merupakan penyanyi jebolan Indonesian Idol mempunyai dua
anak yang berkebutuhan khusus. Suci menikah dengan seorang pria bernama
Jeffry Thung pada 6 Desember 2009 silam.
Pemikiran banyak orang selama bertahun-tahun bahwa orang tua dengan anak
berkebutuhan khusus, terutama autis, cenderung akan bercerai. Namun, ternyata
pernyataan tersebut tidak selamanya benar. Memang stres akan menggelayut di
diri Anda ketika mendidik seorang anak autis dan memiliki 80 persen
kemungkinan untuk bercerai. Sebuah penelitian terbaru menyebutkan, orang tua
dengan anak autis tidak lebih mungkin untuk berpisah daripada orang tua yang
memiliki anak normal. “Harapan kami adalah untuk meneruskan informasi ini ke
keluarga autis sehingga harapan mereka dalam membesarkan anak autis bisa lebih
besar,” kata Brian Freedman, seorang peneliti autis dan penulis utama studi
tersebut seperti dikutip dalam laman Health Day News. Karena itu, sebenarnya tak
banyak kasus pasangan bercerai gara-gara memiliki anak autis. Karena seharusnya
dengan adanya masalah, perkawinan akan semakin kuat karena banyak hikmah
yang dapat diambil dari kejadian tersebut. Jadi kalaupun terjadi perceraian, pada
dasarnya fondasi perkawinan tersebut memang sudah goyah. Jangankan pemicu
yang berat seperti memiliki anak autis pemicu ringan pun akan dapat membuat
mereka memutuskan untuk berpisah. Penyebabnya bisa karena suami istri tak
mempunyai kemampuan yang baik dalam mengelola stres atau karena keduanya
memiliki karakter yang keras sehingga tak ada yang mau saling mengalah dalam
menghadapi suatu persoalan. Penyebab lainnya, suami-istri tak terbiasa
menyelesaikan konflik dan menerima musibah sebagai suatu cobaan yang pada
akhirnya akan membawa hikmah. Dengan kata lain, ada atau tidaknya anak
berkebutuhan khusus, si pasangan tetap rawan untuk bercerai.
Freedman mengaku telah berbicara dengan keluarga yang telah mendengar soal
kemungkinan 80 persen mereka akan bercerai karena memiliki anak autis. “Ini
seperti pukulan berturut-turut setelah mereka menerima diagnosis autisme pada
anak, kemudian ‘diagnosis’ perceraian,” katanya. “Itu cukup menyulitkan bagi
mereka,” lanjutnya