Anda di halaman 1dari 18

KARYA TULIS ILMIAH

“DINAMIKA PENERIMAAN ORANGTUA YANG MEMILIKI


ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS, DAMPAKNYA, DAN
SOLUSI ALTERNATIF”

Diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah


“BK BERKEBUTUHAN KHUSUS”

Dosen Pengampu: Tika Febriyani, M.Pd.

Oleh :

Rahmathia Ilsa Bunga Wali


NPM. 1613052052

BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019

1
KATA PENGANTAR

Maha suci Allah, tiada kata yang pantas kita ucapkan selain puji dan syukur
kehadirat Ilahi Rabbi, dengan Rahmat dan Hidayah-Nya sampai saat ini kita masih
dapat merasakan nikmat-Nya. Shalawat serta salam semoga terlimpah curah kepada
Nabi kita Muhammad SAW., kepada keluarganya, para sahabatnya dan
pengikutnya hingga akhir zaman. Amin.

Penyusunan karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah BK Berkebutuhan Khusus. Selain itu, penyusunan karya tulis ilmiah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan mengenai “dinamika penerimaan orangtua
yang memiliki anak berkebutuhan khusus, dampaknya terhadap anak berkebetuhan
khusus, dan solusi mengatasi permasalahan tersebut”. Saya ucapkan terima kasih
kepada Ibu Tika Febriyani, M.Pd. selaku dosen pengampu yang telah membimbing
saya agar dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Akhirnya saya menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saya menerima
kritik dan saran agar penyusunan karya tulis ilmiah selanjutnya menjadi lebih baik.
Untuk itu saya mengucapkan banyak terima kasih dan semoga karya tulis ilmiah
ini bermanfaat untuk saya dan untuk pembaca.

Bandar Lampung, Juni 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................................... i

Daftar Isi. ................................................................................................................ ii

Bab I Pendahuluan .................................................................................................1


1.1 Latar Belakang Masalah ...............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 3
1.3 Tujuan...........................................................................................................3

Bab II Pembahasan ..................................................................................................4


2.1 Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus .......................................................4
2.2 Jenis Anak Berkebutuhan khusus .................................................................4
2.3 Peran Orangtua yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus ......................6
2.4 Dinamika Penerimaan Orangtua yang Memiliki ABK ................................7
2.5 Dampak Penolakan Orangtua Hingga Terjadi Perceraian Terhadap ABK 10
2.6 Solusi Penanganan Bagi Orangtua ABK yang Bercerai ............................11

Bab III Penutup ......................................................................................................13


3.1 Kesimpulan.................................................................................................13
3.2 Saran ...........................................................................................................13

Daftar Pustaka ........................................................................................................14

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Anak adalah titipan Tuhan yang maha kuasa yang diciptakan dengan
kelebihan dan kekurangan masing-masing, karena itu nasib masa depan anak adalah
tanggung jawab kita semua. Tetapi tanggung jawab utama terletak pada orangtua
masing-masing. Orangtualah yang pertama berkewajiban memelihara, mendidik
dan membesarkan anak-anaknya agar menjadi manusia yang berkemampuan dan
berguna. tak terkecuali bagi anak berkebutuhan khusus.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami
kelainan/penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional) dalam
proses pertumbuhkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia
sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus (Supriyanto, 2012: 1).
Kelainan yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus tersebut, tidak hanya
berdampak kepada individu tersebut, namun juga berdampak terhadap lingkungan
sosialnya baik dalam lingkup keluarga, maupun lingkungan masyarakat. Keluarga
merupakan lingkungan sosial terdekat dari anak berkebutuhan khusus.
Tak semua orangtua yang tau bahwa dirinya memiliki anak berkebutuhan
khusus dapat menerima dengan ikhlas. Dinamika penerimaan orangtua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus bervariasi. Awalnya mereka cenderung
terkejut dan ada penolakan dari dalam diri terhadap keadaan anaknya. Mereka
memiliki perasaan malu yang mengakibatkan anak itu ditolak secara terang-
terangan dan banyak keluarga yang menarik diri dari kegiatan-kegiatan masyarakat
(Sidik, 2014: 2).
Keadaan anak yang kesulitan ataupun tidak mampu untuk berhubungan
dengan orang lain menyebabkan kecemasan orang tua bertambah. Pikiran seperti
apakah orang lain menerima keadaan anaknya, apakah yang harus dilakukan untuk
menyembuhkan anaknya atau akankah anaknya mampu berhubungan dengan orang
lain, tentu sering terlintas. tidak menerima anaknya berbeda dari anak normal

4
lainnya, serta adanya kepercayaan bahwa anak berkebutuhan khusus, seperti
autisme, adalah pembawa aib atau bencana bagi keluarga dapat menjadi faktor
pencetus timbulnya masalah salah satunya kasus perceraian yang terjadi dikalangan
orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Padahal hal tersebut dapat
berdampak negatif terhadap perkembangan dan pendidikan anak berkebutuhan
khusus. Orang tua cenderung tidak menganggap penting pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus. Persoalan ini disebabkan banyak hal, disamping karena
adanya faktor ketidakpahaman orang tua tentang pendidikan anak berkebutuhan
khusus, rendahnya pendidikan orang tua, faktor lain yang justru lebih miris, ketika
orang tua secara sadar dan sengaja tidak mau memperdulikan pendidikan anaknya,
karena merasa khawatir, malu, dan menganggap sebagai aib mempunyai anak
berkebutuhan khusus (Darmono, 2015: 2).
Pendidikan merupakan hak yang harus diterima oleh setiap anak dalam
hidupnya, tak terkecuali anak berkebutuhan khusus. Pendidikan dalam keluarga
merupakan pondasi/dasar pada pendidikan anak di masa-masa yang akan datang.
Maka peran orang tua sangat penting sekali bagi pendidikan anak terlebih lagi anak
yang mengalami kebutuhan khusus. Orang tua dalam membina dan membimbing
buah hatinya merupakan suatu hal yang sangat vital. Dengan istilah lain
keberhasilan anak khususnya pendidikan, sangat bergantung pada pendidikan yang
diberikan oleh orang tuanya dalam lingkungan keluarga.
Tak hanya itu, kasih sayang dan dukungan dari kedua orang tua sangatlah
penting bagi perkembangan anak berkebutuhan khusus. Mereka memerlukan
perhatian yang ekstra dari kedua orang tuanya. Namun, apabila orangtua tidak bisa
menerima bahkan sampai terjadi penelantaran ataupun perceraian pada orang tua
anak berkebutuhan khusus, tentu akan menyebabkan terhambatnya perkembangan
dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, karya tulis ilmiah ini akan
membahas mengenai dinamika penerimaan orangtua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus, dampaknya bagi anak berkebutuhan tersebut, serta alternatif
solusi atas masalah-masalah tersebut agar anak berkebutuhan khusus dapat
berkembang secara optimal.

1.2 Rumusan Masalah

5
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam karya tulis
ini adalah:

1.) Bagaimana dinamika penerimaan orangtua yang memiliki anak berkebutuhan


khusus?
2.) Bagaimana dampak penolakan orangtua hingga terjadi perceraian terhadap
anak berkebutuhan khusus?
3.) Bagaimana alternatif solusi yang tepat atas masalah-masalah tersebut agar
anak berkebutuhan khusus dapat berkembang secara optimal?

1.3 Tujuan

Tujuan pembuatan karya tulis ini adalah:

1.) Bagaimana dinamika penerimaan orangtua yang memiliki anak berkebutuhan


khusus?
2.) Bagaimana dampak penolakan orangtua hingga terjadi perceraian terhadap
anak berkebutuhan khusus?
3.) Bagaimana alternatif solusi yang tepat atas masalah-masalah tersebut agar
anak berkebutuhan khusus dapat berkembang secara optimal?

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Istilah anak berkebutuhan khusus merupakan istilah terbaru yang digunakan


dan merupakan terjemahan dari Children with special need yang telah
digunakan secara luas di dunia internasional. Frieda Mangunsong (2009)
berpendapat bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang menyimpang
dari rata – rata anak normal dalam berbagai macam hal, ciri – ciri mental,
kemampuan sensorik, fisik dan neuromaskular, perilaku sosial emosial,
kemampuan dalam berkomunikasi, atau kombinasi kedua atau lebih di atas.
Menurut Suparno (2007: 1) anak berkebutuhan khusus (ABK) yaitu anak-
anak yang menyandang kecacatan tertentu (disable children) baik secara fisik,
mental dan emosional maupun yang mempunyai kebutuhan khusus dalam
pendidikannya (children with special educational needs). Pendapat lain menurut
Abdullah (2013: 1) yang mengatakan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak
yang mempunyai kelainan/penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal
umumnya dalam hal fisik, mental maupun karakteristik perilaku sosial- nya.
Sedangkan menurut Andesta (2017: 25) anak berkebutuhan khusus adalah anak
yang mengalami kelainan dengan karakteristik khusus yang membedakannya
dengan anak normal pada umumnya serta memerlukan pendidikan khusus sesuai
dengan jenis kelainannya.
Dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami kelainan pada dirinya, sehingga
menyebabkan individu tersebut memiliki kebutuhan yang perlu disesuaikan dengan
karakteristik khusus yang mereka miliki.

7
2.2 Jenis Anak Berkebutuhan Khusus

1.) Anak disabilitas penglihatan adalah anak yang mengalami gangguan daya
penglihatan berupa kebutaan menyeluruh (total) atau sebagian (low vision).

2.) Anak disabilitas pendengaran adalah anak yang mengalami gangguan


pendengaran, baik sebagian ataupun menyeluruh, dan biasanya memiliki
hambatan dalam berbahasa dan berbicara.

3.) Anak disabilitas intelektual adalah anak yang memiliki inteligensia yang
signifikan berada dibawah rata-rata anak seusianya dan disertai dengan
ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku, yang muncul dalam masa
perkembangan.

4.) Anak disabilitas fisik adalah anak yang mengalami gangguan gerak akibat
kelumpuhan, tidak lengkap anggota badan, kelainan bentuk dan fungsi tubuh
atau anggota gerak.

5.) Anak disabilitas sosial adalah anak yang memiliki masalah atau hambatan
dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial, serta berperilaku
menyimpang.

6.) Anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) atau
attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD) adalah anak yang
mengalami gangguan perkembangan, yang ditandai dengan sekumpulan
masalah berupa ganggguan pengendalian diri, masalah rentang atensi atau
perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas, yang menyebabkan kesulitan
berperilaku, berfikir, dan mengendalikan emosi.

7.) Anak dengan gangguan spektrum autisma atau autism spectrum disorders
(ASD) adalah anak yang mengalami gangguan dalam tiga area dengan
tingkatan berbeda-beda, yaitu kemampuan komunikasi dan interaksi sosial,
serta pola-pola perilaku yang repetitif dan stereotipi.

8.) Anak dengan gangguan ganda adalah anak yang memiliki dua atau lebih
gangguan sehingga diperlukan pendampingan, layanan, pendidikan khusus,
dan alat bantu belajar yang khusus.

8
9.) Anak lamban belajar atau slow learner adalah anak yang memiliki potensi
intelektual sedikit dibawah rata-rata tetapi belum termasuk gangguan mental.
Mereka butuh waktu lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan
tugas-tugas akademik maupun non akademik.

10.) Anak dengan kesulitan belajar khusus atau specific learning disabilities
adalah anak yang mengalami hambatan atau penyimpangan pada satu atau
lebih proses psikologis dasar berupa ketidakmampuan mendengar, berpikir,
berbicara, membaca, menulis, mengeja dan berhitung.

11.) Anak dengan gangguan kemampuan komunikasi adalah anak yang


mengalami penyimpangan dalam bidang perkembangan bahasa wicara,
suara, irama, dan kelancaran dari usia rata-rata yang disebabkan oleh faktor
fisik, psikologis dan lingkungan, baik reseptif maupun ekspresif.

12.) Anak dengan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa adalah anak yang
memiliki skor inteligensi yang tinggi (gifted), atau mereka yang unggul dalam
bidang-bidang khusus (talented) seperti musik, seni, olah raga, dan
kepemimpinan.

2.3 Peran Orangtua yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus

Masalah anak berkebutuhan khusus merupakan masalah yang cukup


kompleks secara kuantitas maupun kualitas. Mengingat berbagai jenis anak
berkebutuhan khusus mempunyai permasalahan yang berbeda-beda, maka
dibutuhkan penanganan secara khusus. Jika anak berkebutuhan khusus
mendapatkan pelayanan yang tepat, khususnya keterampilan hidup (life skill)
sesuai minat dan potensinya, maka anak akan lebih mandiri. Namun, jika tidak
ditangani secara tepat, maka perkembangan kemampuan anak mengalami
hambatan dan menjadi beban orangtua, keluarga, masyarakat dan negara.
Keluarga terutama kedua orangtua merupakan lingkungan sosial terdekat
anak. Orangtua dalam membina dan membimbing buah hatinya merupakan suatu
hal yang sangat vital karena orangtualah yang sangat tau dan paham tentang kondisi
anak terutama anak berkebutuhan khusus. Bagi anak berkebutuhan khusus, peran
aktif orangtua ini merupakan bentuk dukungan sosial yang menentukan kesehatan

9
dan perkembangannya, baik secara fisik maupun secara psikologis. Dukungan
sosial dimaksudkan sebagai keberadaan dan kesedian orang-orang yang berarti,
yang dapat dipercaya untuk membantu, mendorong, menerima, dan menjaga
individu ABK agar dapat mandiri.

Setiap anak lahir dengan membawa kemampuan di dalam dirinya yang harus
dikembangkan secara optimal tak terkecuali pada anak berkebutuhan khusus. Agar
anak berprestasi yang diharapkan itu benar-benar terwujud, maka ada upaya dari
orangtua tentang bagaimana mendidik anak. Pendidikan dan pengasuhan yang
benar terhadap anak akan menghasilkan efek lahirnya anak-anak berprestasi.
Melalui pengasuhan, perawatan, pembimbingan dan pendidikan pada anak yang
dilakukan secara bersamaan dan berkelanjutan akan membuat kemampuan tersebut
berkembang.
Peran orangtua dalam pengasuhan anak berkebutuhan khusus itu
diharapkakan dapat membantu keberhasilan akademik dan non-akademik anak
berkebutuhan khusus. Dengan dukungan dan penerimaan dari orangtua dan anggota
keluarga yang lain akan memberikan support dan kepercayaan dalam diri anak
berkebutuhan khusus untuk lebih berusaha mempelajari dan mencoba hal-hal baru
yang terkait dengan keterampilan.

2.4 Dinamika Penerimaan Orangtua Yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus

Menurut Hurlock (2002) penerimaan adalah suatu sikap yang ditunjukkan


oleh orang tua terhadap anak-anaknya yang ditandai oleh perhatian besar dan kasih
sayang yang besar kepada anak. Sikap penerimaan (acceptance) sebagai suatu sikap
seseorang yang mampu menghadapi dan menerima kenyataan daripada hanya
menyerah pada pengunduran diri atau tidak ada harapan.
Tahapan penerimaan orang tua dalam menerima anak berkebutuhan khusus
menurut Ross (2003), dalam bukunya “On Death and Dying” adalah sebagai
berikut:

 Tahap pertama denial (penolakan). Tahapan ini dimulai dari rasa tidak
percaya saat menerima diagnosa dari seorang ahli, perasaan orang tua
selanjutnya akan diliputi rasa kebingun terselip rasa malu pada orang tua

10
tentang keadaan anaknya untuk mengakui bahwa hal tersebut dapat terjadi di
keluarga mereka. Keadaan ini menjadi bertambah buruk, jika keluarga
tersebut mengalami tekanan sosial dari lingkungan yang kurang memahami
tentang keadaan anak berkebutuhan khusus.

 Tahap kedua Angry (kemarahan), kemarahan ini dilampiaskan orang tua pada
hal-hal yang tidak jelas. Kemarahan bisa dilampiaskan kepada dokter yang
mendiagnosa, kemarahan kepada diri sendiri atau kepada orang lain, bentuk
lain kemarahan yaitu menolak untuk mengasuh anak berkebutuhan khusus.

 Tahap ketiga depression (depresi) dalam tahap ini terkadang muncul dalam
bentuk rasa putus asa, tertekan dan kehilangan harapan.

 Tahap keempat bargainning (menawar) orang tua berusaha untuk menghibur


diri dengan pernyataan segala sesuatu yang dikaruniakan Allah harus
disyukuri apapun bentuknya.

 Tahap yang terakhir yaitu acceptance (peneriman). Pada tahapan ini, orang
tua sudah berusaha menerima kenyataan dengan kehadiran nak berkebutuhan
khusus dalam kelurganya baik secara emosi maupun intelektual.

Penerimaan diri orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus perlu proses
yang panjang, faktor yang mempengaruhi sikap orang tua dalam upaya agar mereka
dapat menerima keadaan dan kehadiran anak sangat penting untuk perkembangan
anak yang mengalami disabilitas, hal ini sebagai wujud rasa syukur atas nikmat
yang diberikan Allah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Edi
Sujito (2017) melalui wawancara terhadap enam Subyek. Pada tahap awal
kehadiran anak dari keenam subyek mengalami penolakan terhadap kehadiran
anak. Keenam subyek mengalami perasaan syok, stres, sedih, bingung sehingga
menimbulkan pengaruh terhadap psikis berupa perasaan dan emosi negatif seperti
rasa kawatir marah,emosi, dan frustasi dalam diri keenam subyek.
Lalu pada tahapan kemarahan keenam subyek berupaya mengungkapkan
emosi dan kegelisahannnya bahwa kehadiran anak menimbulkan perasaan tidak
percaya, marah, stres dan terguncang atas kondisi ini yang membuat frustasi dan
menolak kehadiran anak.dengan kondisi yang mengalami kekurangan. Pada tahap
depresi dari keenam subyek muncul rasa bersalah dalam diri maupun menyalahkan

11
orang lain dengan mengungkapkan perasaan marah dan bersalah dikarenakan
kondisi psikis mereka pada saat itu mereka masih dalam kondisi tertekan dan
adanya perasaan emosional yang berat.
Pada tahapan menawar dari keenam subyek berusaha berdamai dengan
keadaan Subyek merasa masih bisa bersyukur ketika membandingkan dengan anak
lain yang mengalami kecacatan yang lebih parah. Keenam subyek mulai menyadari
bahwa pelampiasan berupa tindakan negatif seperti nongkrong dan keluar malam
melampiaskan dengan minuman keras tidak akan menyelesaikan masalah yang
dihadapi sehingga subyek melampiaskan kegelisahannya dengan melakukan
aktifitas yang positif.
Pada tahapan penerimaan diri dari keenam subyek menanamkan harapan
besar pada anak-anaknya dengan berusaha memberikan perhatian dan kasih sayang
dengan berbagai upaya seperti memberikan terapi seperti yang dan subyek mulai
menjalani hari-hari dengan lebih bersemangat karena subyek merasa bahwa anak
adalah anugerah Allah yang harus dirawat dengan baik diterima dengan ikhlas dan
pasti ada hikmah dibalik itu semua tanpa memungkiri ada perasaan negatif yang
terkadang masih sering muncul.Subjek berupaya untuk mendekatkan diri pada
Allah dengan mengajak keluarga beribadah bersama dan mulai mengajarkan ajaran
agama kepada anak-anak mereka walaupun sesuatu yang kecil dan banyak kendala
yang dihadapi karena butuh kesabaran yang lebih untuk mengajarkan agama dan
dukungan sosial terhadap anak yang mengalami kebutuhan khusus.
Pada intinya, proses penerimaan terhadap anak berkebutuhan khusus dalam
keluarganya membutuhkan waktu dan proses yang panjang dari penolakan
kehadiran anak sampai pada kesadaran untuk menerima dengan sebuah keyakinan
bahwa semua yang diberikan Allah adalah sebuah amanat yang harus diemban dan
diterima oleh Subyek karena bagaimanapun juga anak itu adalah rezeki yang harus
disyukuri.
Orang tua sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap
pengasuhan, perawatan dan penanganan anak khususnya bagi orang tua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus memiliki peran yang sentral dalam membantu
perkembangan anak,. Kewajiban itu menjadi tanggung jawab bersama antara ayah
dan ibu sehingga bisa berbagi peran dalam upaya merawat anak dengan baik namun

12
ibu memiliki tugas pokok yang lebih banyak dalam pengasuhan dan perawatan anak
. Penerimaan dan kesiapan mengasuh anak berkebutuhan khusus sangat diperlukan
untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan anak.

2.5 Dampak Penolakan Orangtua Hingga Terjadi Perceraian Terhadap Anak


Berkebutuhan Khusus

Tidak semua orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dapat


melewati proses penerimaan dengan baik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Perasaan malu, pasangan yang kurang bisa menerima anak berkebutuhan khusus,
dan berbagai faktor yang menyebabkan timbulnya masalah-masalah sosial dari
orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Salah satu masalah yang terjadi
pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus ialah kasus perceraian.
Kasus perceraian merupakan kasus yang juga banyak terjadi dikalangan
orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Hal itu sesuai dengan hasil
penelitian dari Weiner (dalam Sobsey, 2004: 63) bahwa sekitar 70 persen pasangan
di Amerika Serikat yang memiliki anak berkebutuhan khusus mengalami
perceraian. Padahal tingkat perceraian untuk umum biasanya diperkirakan
mencapai 50 persen.
Selain itu, dari beberapa penelitian yang dilansir dalam Jurnal Gangsar Ali,
Dkk (2018) yang berjudul “impact of parent's divorce on children's education for
disability kids” menyatakan bahwa kasus perceraian orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus termasuk dalam kategori tinggi. Hal tersebut dimungkinkan
disebabkan oleh berbagai faktor seperti penerimaan diri orang tua yang rendah,
resiliensi orang tua yang rendah dan persepsi orang tua yang masih negatif terhadap
anak berkebutuhan khusus.
Kasus perceraian pada orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus
akan berdampak buruk terhadap perkembangan anak berkebutuhan khusus begitu
pula dalam pendidikannya. Penelitian dari Pollet (2010: 3) yang meneliti dampak
perceraian pada keluarga anak berkebutuhan khusus, menunjukkan hasil bahwa di
New York orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan dukungan untuk anak-

13
anak mereka sampai usia 21 tahun. Dengan bercerainya orang tua, menyebabkan
kewajiban tersebut sulit terpenuhi. Sehingga anak tidak terpenuhi hak untuk
mendapat dukungan penuh dari kedua orang tuanya. Tentu saja, perceraian orang
tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus menyebabkan menurunnya kualitas
hidup anak berkebutuhan khusus usia sekolah.
Selain itu, perceraian mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
perkembangan jiwa anak terutama anak berkebutuhan khusus. Diantaranya dapat
menyebabkan anak bersikap pendiam dan rendah diri, nakal yang berlebihan,
prestasi belajar rendah dan merasa kehilangan. Walaupun tidak pada semua kasus
demikian tapi sebagian besar menimbulkan dampak yang negatif terhadap
perkembangan jiwa anak dan juga berpengaruh terhadap proses pendidikan anak
itu sendiri sebagaimana tersebut diatas.
Oleh karena itu, sebagai orangtua seharusnya bisa memperhatikan dan
memastikan agar anak berkebutuhan khusus tidak mendapat dampak negatif dari
perceraian mereka. Dan lebih baiknya perceraian tidak terjadi mengingat hal
tersebut dapat menyebabkan anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan
kebutuhan yang seharusnya dapat dipenuhi melalui keluarga yang utuh.

2.6 Solusi Penanganan Bagi Orang tua Anak Berkebutuhan Khusus Yang
Bercerai

Dari pembahasan pada sub bab sebelumnya, dapat kita ketahui bersama
bahwa perceraian orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus berdampak
negatif terhadap anak berkebutuhan khusus, terutama dalam pendidikannya. Oleh
karena itu perlu dicarikan solusi dan alternative penanganan agar perceraian
tersebut dapat hindari, jika sudah terjadi bagaimana agar dampak negatif pada
perceraian itu dapat diminimalisir. Salah satu alternatif penanganannya adalah
dengan memberikan konseling keluarga kepada orang tua. Konseling keluarga atau
family therapy adalah upaya bantuan yang diberikan kepada individu anggota
keluarga melalui sistem kekeluargaan (pembenahan komunikasi keluarga) agar
potensi yang dimiliki dapat berkembang secara optimal sehingga dapat mengatasi
masalah berdasarkan kerelaan dan kecintaan kepada keluarga.

14
Menurut Farida (2015: 84) konseling keluarga diharapkan dapat
mengembalikan peran orang tua yang semestinya dapat membimbing proses
pendidikan dan terapi anak agar dapat terpenuhi segala hak yang dimiliki anak. Jadi,
konseling keluarga dapat dijadikan alternatif bimbingan bagi orang tua yang belum
bercerai agar mencegah terjadinya perceraian. Kemudian untuk orang tua yang
telah bercerai, konseling keluarga berfungsi untuk membimbing orang tua agar
tetap berperan penuh sebagai orang tua untuk memenuhi hak anak berkebutuhan
khusus agar perkembangan dan pendidikan anak tidak mengalami gangguan.
Selain konseling keluarga, penanganan yang dapat diberikan kepada orang
tua dari anak berkebutuhan khusus yang telah bercerai ialah Divorce Therapy atau
terapi perceraian. Divorce Therapy adalah pengobatan yang bertujuan untuk
memulihkan, mengembalikan dan mengkonfigurasi ulang hubungan keluarga dan
fungsi orang tua, anak, saudara dalam menanggapi perpisahan. Terapi ini
membantu keluarga mengubah cara mereka berhubungan, tingkat keintiman,
derajat kekuasaan, dan peran anggotanya sehingga keluarga berfungsi lebih efektif
(Issac dalam Green, 2010: 3).
Penanganan tersebut diharapkan dapat mengembalikan fungsi orang tua
dalam keluarga untuk berperan dalam mendidik anak berkebutuhan khusus
sehingga meminimalisir dampak negatif yang terjadi pada kasus perceraian orang
tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Diharapkan kasus perceraian yang
terjadi pada orang tua anak berkebutuhan khusus dapat diminimalisir dan dicegah.
Hal tersebut memerlukan kerjasama dari berbagai pihak mulai dari guru, terapis,
psikolog, lingkungan terdekat dari keluarga, dan lain-lain untuk dapat memberikan
pengetahuan kepada orang tua pentingnya dukungan keluarga terhadap
perkembangan anak berkebutuhan khusus sehingga anak dapat berkembang secara
optimal untuk memaksimalkan potensinya.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Peran orang tua dalam menangani anak berkebutuhan khusus, memiliki peran
yang sangat vital terutama bagi anak berkebutuhan khusus. Orang tua sebagai orang
yang sudah dari awal hidup bersama dengan anak sejak mulai dilahirkan, mereka
memahami betul tentang bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anaknya.
Dinamika penerimaan orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus
bervariasi. Banyak orangtua yang awalnya syok, tidak percaya, dan kesal namun
akhirnya menerima dengan ikhlas setelah melewati tahap proses penerimaan seperti
penolakan, kemarahan, depresi, menawar, dan terkahir penerimaan. Namun tak
sedikit juga para orang tua yang menyerah, menolak dan bahkan sampai mengalami
perceraian.
Dampak penolakan dan perceraian orangtua terhadap anak berkebutuhan
khusus adalah tidak terpenuhinya hak anak untuk mendapat dukungan penuh dari
kedua orang tuanya, menurunnya kualitas hidup anak, terganggunya perkembangan
jiwa anak, serta perkembangan dan pendidikan anakpun menjadi terhambat.
Salah satu solusi dalam mengatasi perceraian yang terjadi pada orang tua
yang memiliki anak berkebutuhan khusus adalah menggunakan konseling keluarga
dan divorce therapy. Penanganan tersebut diharapkan dapat meminimalisir dampak
negatif perceraian orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus dan mencegah

16
terjadinya kasus perceraian pada keluarga lain yang memiliki anak berkebutuhan
khusus.

3.2 Saran

1.) Orang tua diharapkan dapat menerima anak berkebutuhan khusus dengan
ikhlas, dan memiliki persepsi yang positif terhadap anak berkebutuhan
khusus. Karena setiap anak diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan
masing-masing.

2.) Guru, terapis, psikolog dan kepala sekolah diharapkan dapat berkerjasama
untuk memberikan dukungan dan pengetahuan kepada orang tua tentang
pentingnya dukungan keluarga terhadap perkembanan anak khususnya dalam
hal pendidikan.

3.) Lingkungan yang inklusif perlu dibentuk dalam masyarakat supaya tidak ada
lagi persaan malu pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus
sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya perceraian.

4.) Orang tua hendaknya meningkatkan ibadahnya kepada Allah agar senantiasa
memahami bahwa anak adalah titipan dari Allah yang perlu dijaga.

DAFTAR PUSTAKA

Kandel, I., and Merrick, J. (2007) The Child With a Disability: Parental
Acceptance, Management and Coping. TheScientificWorldJOURNAL 7, 1799-
1809.

Faradina, N. (2016). Penerimaan Diri Pada Orang Tua Yang Memiliki Anak
Berkebutuhan Khusus. eJournal Psikologi, 2016, 4 (4): 386-396

Heiman, T. (2002) Parents of Children with Disabilities: Resilience, Coping,


and Future Expectations. Journal of Developmental and Phsycal Disabilities 14 (2):
159-171.

17
Setiawan, Andi, dkk. Peran Orang Tua Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus
Di SLBN Bintan. Jurnal.

Sunardi, Ali, G., Abdul, S. (2018). Impact Of Parent's Divorce On Children's


Education For Disability Kids. Indonesian Journal of Disability Studies (IJDS).:
Vol. 5(1): pp1-9.

18

Anda mungkin juga menyukai