Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“CAKUPAN KONSEP TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF”


MATA KULIAH : PENDIDIKAN INKLUSIF

Dosen pengampu :
AHMAD YUSUF S.Pd. M.Pd.

Disusun oleh :
Kelompok I (Satu)

ANGGOTA :
 DIMAS ALDI 921862010001  HASMAWATI 921862010034
 RISDAYANTI 921862010002  SYALWA DWIFA AYUNI
 SANDIAWAN 921862010003 921862010034
 LINDA FEBRIANTI 921862010004  MUH. RESKY ARDIANSYAH NS
 IKHLAZUL ANAS 9218620036 92186210033

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

STKIP ANDI MATAPPA PANGKEP


PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING 2022-2023

KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya


sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Yaitu tentang
“cakupan konsep tentang pendidikan inklusif” pada mata kuliah : penddikan
inklusif. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan


dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Pangkajene, 8 Desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI

Daftar isi
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG MASALAH................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................4
C. TUJUAN PENULISAN..................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................6
PEMBAHASAN........................................................................................................................6
A. KONSEP ANAK DAN PERAN ORANGTUA.............................................................6
B. KONSEP SISTEM PENDIDIKAN DAN SEKOLAH.................................................12
C. KONSEP KEBERAGAMAN DAN DISKRIMINASI.................................................15
BAB III.....................................................................................................................................18
PENUTUP................................................................................................................................18
A. KESIMPULAN.............................................................................................................18
B. SARAN.........................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................19
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Harus diakui, pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan


sumber daya manusia yg unggul dan kompetitif dalam upaya menghadapi
tantangan perubahan dan perkembagan mencapai tujuan idealisme pendidkan,
tentu diperlukan komitmen menopang kemajuan pendidikan di masa mendatang.
Dalam menjelaskan idealisme tersebut, pemerintah mempunyai tugas dan tanggung
jawab untuk merealisasikan visi dan misi pendidikan nasional yang reformatif dan
berbasis kerakyatan.

Perhatian pemerintah terhadap anak berkebutuhan khusus dari semua


kalangan harus terus ditingkatkan jika bangsa jika bangsa ini memang peduli pada
masa depan tunas-tunas bangsa yang memiliki kekurangan dalam segi fisik
maupun mental. Pendidikan tidak hanya di prioritaskan bagi anak-anak yg
memiliki tingkat kegeniusan tinggi maupun anak-anak yg berasal dari keluarga
bangsawan, tetapi juga bagi mereka yg dianggap berbeda dan terbelakang dari
anak-anak normal lainnya. Jika pendidikan indonesia tidak memerhatikan masa
depan anak yg berkebutuhan khusus, bisa dipastikan mereka akan selalu
temarginalkan dalam lingkungan mereka tinggal, apalagi untuk mendapatkan
perlakuan khusus melalui pendidikan luar biasa yg memang diperuntukkan bagi
anak-anak yg berkelainan.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan sebagai berikut:


1. Bagaimana perhatian pemerintah terhadap anak yg berkebutuhan khusus?
2. Apakah pendidikan hanya di prioritaskan bagi anak anak normal?
3. Bagaiamana cara pemerintah menerapkan pendidikan yg layak untuk anak yg
berkebutuhan khusus?
C. TUJUAN PENULISAN

Sejalan dengan rumusan masalah diatas, makalah ini disusun dengan tujuan
untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1. Untuk mengetahui bagaimana perhatian pemerintah terhadap anak yg
berkebutuhan khusus.
2. Untuk mengetahui apakah pendidikan hanya di prioritaskan bagi anak normal.
3. Untuk mengetahui cara pemerintah menerapkan pendidikan yg layak untuk
anak yg berkebutuhan khusus.
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP ANAK DAN PERAN ORANGTUA

Konsep tentang anak sesungguhnya identik dengan dunia permainan. Anak


lahir dari sebuah keluarga dan hidup bersama masyarakat di lingkungan sekitar.
Ketika anak tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mengerti apa itu
kebaikan dan keburukan. Perilaku anak ketika besar sangat tergantung pada
didikan dan bimbingan orangtua yang merupakan pendidikan pertama dalam
menentukan masa depan anak ketika terjun di masyarakat.

Anak-anak yang orangtuanya mempunyai hubungan baik, pada gilirannya


bisa menunjukkan rasa empati. Mereka adalah anak-anak yang peduli karena
mendapatkan pemeliharaan yang baik. Kepedulian, pemeliharaan, dan tanggung
jawab menjadi norma setiap keluarga dan kualitas ini menjadi bagian dari anak
tersebut. Anak-anak yang memperoleh empati, pastinya ingin menunjukkan
kepekaan terhadap perasaan orang lain. Kecenderungannya, ketika ada teman-
teman melukai, anak-anak ini bisa memahami dan segera mungkin membantu
(Sears, 2004: 74).

Berbicara tentang anak, tidak bisa lepas dari yang namanya hak Setiap anak
mempunyai hak untuk disayang dan dibelai sehingga ketika sudah besar menjadi
pribadi yang penyayang. Hak anak untuk mendapatkan kasih sayang dari orangtua
mereka bukanlah sebuah tuntutan, melainkan kewajiban orangtua untuk
menunjukkan simpati dan perasaan cinta secara tulus. Mendorong empati
merupakan bagian dari tanggung jawab orangtua untuk membuat anak lebih peka
dan sadar terhadap apa yang terjadi di sekitar mereka.

Misalkan, ketika anak Anda pulang dari sekolah dan mengeluhkan perilaku
anak lain, suruh dia memikirkan masalah ini dari sudut pandangan anak tersebut.
"Menurut kamu, mengapa dia mengatakan hal itu?" "Apa yang membuatnya begitu
marah?" Dorong anak untuk melihat apa yang ada di bawah permukaan. Ketika

anak mempunyai perasaan bahwa sesuatu tidak benar, mereka mengandalkan


orangtua untuk mendapatkan penjelasan dan izin untuk melakukan sesuatu
mengenai perasaan itu. Orangtua harus mengajarkan anak-anak bagaimana campur
tangan dengan sopan pada situasi-situasi yang mengganggu rasa keadilan dan
kebenaran mereka.

Pada usia dini, anak-anak perlu belajar bahwa berbeda tidak membuat
seseorang kurang dari kita. Selama bertahun-tahun di sekolah dasar, anak-anak
menjadi sangat sadar akan penampilan dan perbedaan di antara mereka sendiri dan
orang lain. Ketika seorang anak mengetahui sesuatu yang berbeda dari seseorang
dan menanyakannya kepada orangtuanya maka buatlah momen tersebut sebagai
kesempatan untuk mengajarkan bagaimana menghargai perbedaan. Misalkan saat
orangtua dan anak di supermaket, sang anak tiba-tiba mengatakan, "Kaki orang itu
cuma satu." Maka orangtua jangan menyuruh anaknya diam dan tidak
menyuruhnya tidak melotot. Orangtua perlu menjelaskan situasi yang ada dan
memberikan pandangan yang dapat menormalkan situasi yang kaku. Anak juga
perlu diajari tentang nilai-nilai penerimaan dan rasa empati kepada sesama
manusia yang dianggap cacat.

Studi oleh Drs. Janet Strayer dan William Roberts mengemukakan bahwa
semakin seorang anak berempati terhadap orang lain, ia akan semakin menghargai
segala perbedaan dalam diri orang lain. Bagaimanapun ketika berbicara mengenai
orang-orang yang mempunyai keterbatasan atau cacat, sebisa mungkin bisa
memengaruhi cara bagaimana anak berpikir mengenai mereka. Ajarkan kepada
anak bahwa orang yang mempunyai cacat harus diutamakan lebih dahulu. Mereka
hanya cacat, bukan lantas dikatakan berbeda. Hindarilah menyebut orang yang
cacat dengan diagnosis medisnya, yaitu anak terbelakang.

Jika anak Anda termasuk penyandang cacat atau memiliki kelainan. Anda
perlu memikirkan cara terbaik untuk menyekolahkannya di sekolah reguler. Jangan
sampai lupa bahwa hak semua anak untuk memperoleh pendidikan di dalam
masyarakatnya sendiri adalah tanggung jawab Anda sebagai orangtua. Anak dari
berbagai kalangan atau yang disebut berkebutuhan khusus tanpa terkecuali juga

memiliki hak yang sama dengan anak normal pada umumnya. Berikanlah
kesempatan anak Anda untuk menentukan masa depan pendidikannya sendiri dan
jangan sampai mengintervensi agar anak Anda tidak bersekolah karena takut
dihina atau dicaci oleh teman sebayanya.

Hilangkan prasangka penghinaan atau pelabelan cacat kepada anak Anda,


karena bisa memengaruhi mental dan psikologisnya. Ada banyak alasan mengapa a
ada anak yang tidak bersekolah hanya karena mengalami kecacatan atau gangguan
mental dan emosi. Alasan yang umum adalah resistensi orangtua terhadap institusi
baru yang didirikan oleh pemerintah. Kendati begitu ada alasan lain yang turut
serta memengaruhi anak tidak bersekolah. Mungkin keluarganya sangat miskin
sehingga anak tidak mempunyai pakaian yang pantas atau mungkin mereka bekerja
di luar keluarga atau menjaga adik di rumah, atau mungkin mereka ditahan di
rumah karena keluarganya tidak percaya bahwa anaknya dapat belajar hal-hal yang
dituntut oleh sekolah.

Penulis ingin menunjukkan sebuah fakta sejarah tentang ketertindasan anak


sehingga ia tidak memperoleh kesempatan untuk bersekolah dan mengenyam
pendidikan. Pada 1850-an, dukungan bagi anak dan remaja yang tidak bersekolah
atau menganggur, dan bagi mereka yang telah melanggar hukum dengan cara lain,
dibahas dari sudut pandang yang berbeda. Terhadap anak muda pelanggar hukum,
sikap yuridis yang ketat mendapatkan dukungan resmi. Akibatnya, anak hingga
usia sepuluh tahun dapat dikirim ke penjara. Akan tetapi, ketetapan lama tentang
bolos sekolah tidak dikeluarkan dari Undang-Undang Pendidikan baru tahun 1848
dan 1860. Namun, tidak satu pun dari Undang-Undang ini dikeluarkan tanpa
diskusi yang hangat. Juru bicara pendidikan berargumen bahwa belajar adalah
tindakan sukarela dan oleh karenanya tidak dapat dipaksakan. Sejumlah upaya
dilakukan dengan inspirasi dari pergerakan filantropis di Inggris dan Benua Eropa.

Padahal, dunia anak adalah masa-masa ketika ia belajar bersama teman


sebayanya. Walaupun mengalami keterbatasan fisik, anak dari kalangan mana pun
punya kesempatan dan hak yang sama untuk belajar di sekolah. Penulis mengambil
contoh pergerakan penyelamatan anak yang mempunyai pendukung di Kepulauan

Britania. Ini tidak aneh, mengingat Revolusi Industri dimulai di Inggris dan anak-
anak telah lama dimanfaatkan dan disalahgunakan sebagai tenaga kerja. Di
kalangan para penguasa, pada awalnya sikapnya positif terhadap meluasnya
penyalahgunaan sejumlah besar anak dari keluarga miskin itu. Bahkan filsuf John
Locke merekomendasikan bahwa anak-anak dari keluarga miskin sebaiknya mulai
masuk ke sekolah industri pada usia tiga tahun dalam kombinasi antara berlatih
dan bekerja dalam industri yang sedang tumbuh itu (Cunninghan, 1995: 23). Akan
tetapi di samping itu, dia juga merupakan salah seorang pemrakarsa dalam
lingkaran orang-orang kaya yang mengemukakan bahwa anak dan masa kanak-
kanak merupakan satu bagian yang khusus dari masa kehidupan dengan
kualitasnya sendiri.

Gerakan penyelamatan anak merupakan bentuk kepedulian tokoh- tokoh


inspiratif yang ingin mengobarkan semangat pemberontakan melawan
ketidakadilan penguasa terhadap marginalisasi anak yang mengalami kecacatan
atau kelainan. Buktinya, Locke dan Rousseau memulai sebuah gelombang dalam
menciptakan kondisi perkembangan yang positif bagi anak. Kesenjangan antara
sejumlah besar anak yang dieksploitasi dan anak-anak dari keluarga kaya yang
memperoleh keistimewaan itu menjadi sangat tidak menyenangkan. Novel Charles
Dickens dari pertengahan abad ke-19, seperti David Copperfield, memberikan
kontribusi yang penting yang difokuskan pada perbedaan nasib pada anak-anak
(Simonsen, 1999). Pada awal abad, konsekuensi yang paling ekstrem dari
mentalitas ini adalah program penghancuran Nazi yang diarahkan pada individu
yang menyandang kecacatan serta keseluruhan kelompok etnik yang dianggap
inferior. Setelah Perang Dunia Kedua, terdapat perubahan sikap yang radikal, dan
teori degenerasi tentang individu serta kelompok etnik secara resmi ditolak,
sekurang-kurangnya dalam hal tertentu.

Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, yang telah ditandatangani oleh
semua negara di dunia, kecuali Amerika Serikat dan Somalia; menyatakan bahwa
pendidikan dasar seyogianya wajib dan bebas biaya bagi semua (pasal 28).
Seterusnya perlu diketahui bahwa Konvensi tentang Hak Anak PBB memiliki
empat prinsip umum yang menaungi semua pasal lainnya termasuk pasal mengenai

pendidikan, yaitu (1) non-diskriminasi (pasal 2) yang menyatakan secara spesifik


tentang penyandang kebutuhan khusus/penyandang cacat: (2) kepentingan terbaik
anak: (3) hak untuk kelangsungan hidup dan perkembangan (pasal 6); (4)
menghargai pendapat anak (pasal 12). Kesemua hak tersebut tidak dapat
dipisahkan satu sama lain dan saling berhubungan. Meskipun dalam memenuhi hak
atas pendidikan bagi anak berkelainan/berkebutuhan khusus atau penyandang cacat
telah disediakan pendidikan di sekolah khusus/sekolah luar biasa, hal ini dapat
melanggar hak mereka "diperlakukan secara non-diskriminatif", dihargai
pendapatnya dan hak untuk tetap berada dalam lingkungan keluarga dan
masyarakatnya.

Alice Miller dalam bukunya The Drama of The Gifted Child, mengatakan
bahwa (1) semua anak dilahirkan untuk tumbuh, berkembang, untuk hidup,
mencintai, dan untuk dapat mengungkapkan kebutuhan serta perasaan-perasaan
mereka, demi perlindungan diri mereka; (2) demi perkembangan jiwa mereka,
anak-anak memerlukan rasa hormat dan perlindungan dari orang dewasa yang akan
menanggapi mereka dengan serius, mencintai mereka, dan secara jujur membantu
mereka untuk berorientasi kepada dunia; jika kebutuhan-kebutuhan vital itu tidak
terpenuhi, dan si anak malah dianiaya demi memenuhi kebutuhan orang dewasa
dengan cara dieksploitasi, dipukuli, dihukum, dimanipulasi, dimanfaatkan,
diabaikan, atau dikhianati tanpa adanya intervensi dari seorang pun saksi maka
integritas mereka akan rusak selamanya.

Sebagaimana dijelaskan dalam Konvensi Hak Anak, keluarga sebagai


lingkungan alamiah bagi pertumbuhan dan kesejahteraan semua anggotanya dan
terutama anak-anak, harus diberikan perlindungan dan bantuan memikul tanggung
jawabnya di dalam masyarakat. Anak untuk perkembangan kepribadiannya
sepenuhnya bisa dilakukan dalam lingkungan keluarganya dalam suasana
kebahagiaan, cinta dan pengertian. Pasal 13, anak harus memiliki hak atas
kebebasan mengeluarkan pendapat. Hak ini mencakup kebebasan mencari,
menerima, dan memberikan informasi dan semua macam pemikiran, tanpa
memerhatikan perbatasan, baik secara lisan, dalam bentuk tertulis ataupun cetak,
dalam bentuk seni, atau melalui media lain apa pun pilihan anak. Pasal 17, anak

mempunyai akses ke informasi dan bahan dari suatu diversitas sumber-sumber


nasional dan internasional; terutama yang ditujukan pada peningkatan
kesejahteraan sosial, spiritual dan kesusilaannya dan kesehatan fisik dan
mentalnya.
Negara-negara harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif,
sosial, dan pendidikan yang tepat untuk melindungi anak dari semua bentuk fisik
atau mental, atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakuan
buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks selama dalam pengasuhan
para orangtua, wali hukum atau orang lain mana pun yang memiliki tanggung
jawab mengasuh anak. Negara-negara Pihak mengakui bahwa seorang anak yang
cacat mental atau cacat fisik harus menikmati kehidupan yang utuh dan layak,
dalam keadaan-keadaan yang menjamin martabat, meningkatkan percaya diri, dan
memberikan fasilitas partisipasi aktif si anak dalam masyarakat. Negara-negara
perlu mengakui hak anak cacat atas perawatan khusus dan harus mendorong dan
menjamin, dengan tunduk pada sumber-sumber yang tersedia, pemberian kepada
anak yang memenuhi syarat dan mereka yang bertanggung jawab atas
perawatannya, bantuan yang untuknya permintaan diajukan.

Namun, kini pertanyaannya adalah apakah ideologi degenerasi itu


sesungguhnya masih bertahan di bawah permukaan debat resmi, dan masih muncul
dalam bentuk lain? Apakah kekuatan pendorong di balik perseteruan etnis dan
perang yang kita saksikan di beberapa bagian dunia sekarang ini? Bagaimanakah
sikap terhadap para imigran dan kelompok minoritas yang tidak memiliki hak
istimewa di negara- negara di dunia Barat? Pada abad ke-19 didirikanlah apa yang
disebut masyarakat filantropik oleh kalangan Borjuis, yang memfokuskan
perhatiannya pada peningkatan kondisi anak-anak miskin dan juga peningkatan apa
yang dipandang sebagai standar moral yang rendah pada anak-anak ini. Tujuannya
adalah untuk mendidik mereka menjadi warga negara yang memiliki sikap yang
sama dengan golongan yang berkuasa. Upaya ini didasari oleh keyakinan bahwa
setiap orang dapat menjadi kaya jika mereka bekerja keras dan hidup menurut
standar moral yang tinggi.
Penulis berani mengatakan bahwa kondisi pendidikan maupun kondisi sosial
bagi anak-anak dan remaja yang menyandang kecacatan dan yang berkebutuhan
pendidikan khusus telah mengalami perubahan radikal menuju peningkatan
kualitas selama beberapa dekade terakhir ini. Setidaknya inilah yang terjadi di
sejumlah negara yang lebih kaya, yang membangun atas dasar model kesejahteraan
sosial demokratik seperti di Norwegia dan Negara-Negara Nordik lainnya. Hal ini
penting untuk dipertimbangkan dalam wacana pendidikan kebutuhan khusus yang
sedang berlangsung. Namun, ini tidak terjadi di sejumlah negara yang sumber
ekonominya tipis, meskipun ada upaya keras dari sejumlah pejabat, peneliti, dan
organisasi non-pemerintah. Sekurang- kurangnya kini masih ada juta anak usia
sekolah yang belum bersekolah (UNICEF, 2000).

B. KONSEP SISTEM PENDIDIKAN DAN SEKOLAH

Pendidikan inklusif mempunyai cakupan yang sangat luas terkait dengan anak
berkebutuhan khusus. Luasnya cakupan tentang pendidikan inklusif
memungkinkan Anda untuk mengenal lebih jauh isu dan permasalahan yang
memengaruhi perkembangan setiap anak yang memerlukan bantuan khusus dalam
menerima materi pelajaran ketika memasuki pendidikan umum. Dalam pendidikan
inklusif terdapat konsep tentang sistem pendidikan dan sekolah yang berhubungan
langsung dengan strategi pembelajaran sekolah dalam menampung semua anak
berkebutuhan khusus agar berkesempatan menikmati pendidikan bersama anak
normal pada umumnya.

Langkah-langkah tertentu perlu diambil untuk memberikan akses ke


pendidikan yang sama kepada setiap kategori penyandang cacat sebagai bagian
yang integral dari sistem pendidikan. Dokumen Jomtien memberikan pernyataan
bahwa anak-anak tidak boleh terancam dalam mengakses pendidikan yang menjadi
bagian integral bagi penyesuaian anak. Dokumen itu tidak menjelaskan apa yang
dimaksud dengan "bagian integral", dan tidak secara tegas menyatakan lebih
mendukung pendidikan inklusif daripada pendidikan segregasi. Pembelajaran
dimulai saat lahir, dan oleh karenanya mempromosikan pendidikan usia dini, serta
pentingnya menggunakan berbagai macam sistem pelaksanaan pendidikan dan
pentingnya keterlibatan keluarga dan masyarakat dalam pendidikan merupakan
elemen penting yang dapat memengaruhi pencapaian pelaksanaan pendidikan
inklusif di Indonesia.

Dewasa ini peran lembaga pendidikan sangat menunjang terhadap


pengolahan sistem maupun cara bergaul dengan orang lain. Selain itu, lembaga
pendidikan tidak hanya sebagai wahana untuk sistem bekal ilmu pengetahuan.
Namun, juga sebagai lembaga yang dapat memberi skill atau bekal untuk hidup
yang nanti diharapkan dapat bermanfaat di dalam masyarakat. Keberadaan
lembaga pendidikan bukan saja penting untuk anak normal, melainkan pula
bermanfaat untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki keterbatasan dan
kekurangan ketika harus berinteraksi dengan orang lain.

Penulis menilai bahwa keberadaan lembaga pendidikan yang peduli akan


nasib anak berkebutuhan khusus, tetap harus diperjuangkan sampai mereka semua
benar-benar mendapatkan haknya tanpa perkecualian. Tidak heran bila lembaga
pendidikan tidak hanya ditunjukkan kepada anak yang memiliki kelengkapan fisik,
tetapi juga kepada anak yang memiliki keterbelakangan mental. Mereka dianggap
sosok yang tidak berdaya dan serbaterbatas dalam melakukan sesuatu sehingga
perlu dibantu dan dikasihani. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu
disediakan berbagai bentuk layanan pendidikan atau sekolah bagi mereka, baik
menyangkut sistem pembelajaran, fasilitas yang mendukung, maupun peran guru
yang sangat penting untuk memberikan motivasi dan arahan yang bersifat
konstruktif.

Dalam pendidikan inklusif, cakupan tentang sistem pendidikan sangat


menentukan keberhasilan anak dalam mengembangkan segenap potensinya. Sistem
pendidikan termasuk juga bagaimana strategi pembelajaran yang adaptif bagi
individu berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan
yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-
hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam
pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status
sosial, kemiskinan, dan lain-lain. Dengan kata lain, pendidikan inklusi adalah
pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak
lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Ketika Anda bersentuhan langsung dalam sistem pembelajaran dan aktivitas


sekolah bersama anak berkebutuhan khusus, di situ Anda akan merasakan betapa
sulitnya membimbing dan mengayomi mereka mulai dari yang mengalami
gangguan mental, emosi, sampai pada perilaku setiap harinya. Bagi anak yang
mengalami keterbatasan fisik, sekolah inklusi adalah salah satu jawaban untuk
memperkenalkan mereka pada interaksi yang lebih luas bersama anak normal pada
umumnya. Sekolah inklusif bukan saja menyangkut sistem, melainkan pula
berkaitan langsung dengan perasaan mereka agar tetap terjaga sampai mereka
menemukan sendiri jati diri dalam menjalani kehidupan ini. Di sekolah inklusif,
psikologis anak jangan sampai tertekan apalagi mendapatkan beban yang berat
untuk menghadapi cacian yang datang dari temannya sendiri. Berikanlah
kesempatan kepada mereka untuk berinteraksi dengan sesamanya agar merasa
terbiasa dengan lingkungan baru mereka.

Manfaat sekolah inklusi bukan hanya dirasakan oleh si anak, melainkan


berdampak pula bagi masyarakat. Dampak yang paling esensial adalah sekolah
inklusi mengajarkan nilai sosial berupa kesetaraan. Berdasarkan pengalaman dari
sekolah segregasi, anak berkelainan disorot sebagai ancaman bagi masyarakat
sehingga harus dipisahkan dan dikontrol oleh sekolah, bukan dibantu. Oleh sebab
itu, sekolah inklusi perlu dikembangkan dengan segera.

Awal perkembangan pemikiran tentang pendidikan inklusif, setidaknya


dilatarbelakangi adanya sejumlah orang yang terpinggirkan atau ditolak sehingga
tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan
pendidikan. Faktor utama yang menyebabkan mereka terpinggirkan atau tertolak
adalah faktor pendidikan (UNESCO, 1990) sehingga pendidikan menjadi isu
utama untuk mengatasi masalah ini. Jika mengacu pada data International
Consultative Forum on Education for All (2000) di dunia ini terdapat 113 juta
orang anak-anak usia pendidikan dasar yang tidak sekolah. Sebanyak 90% dari
jumlah itu berada di negara yang penghasilannya rendah hingga menengah serta
lebih dari 80 juta orang anak-anak seperti itu tinggal di negara-negara Afrika.
Kalaupun ada yang mampu sekolah, sebagian dari mereka putus sekolah. Sungguh
suatu data yang sangat ironis, mengingat anak berkebutuhan khusus juga
berkesempatan sekolah di pendidikan umum, terutama bagi orangtua yang
penghasilannya rendah sehingga sangat sulit untuk menyekolahkan anak mereka di
sekolah reguler.

Bila Anda membaca sekilas konsep pendidikan inklusif mengenai pentingnya


membangun kesadaran kepada masyarakat dan pemerintah. Maka Anda perlu
merasakan betapa sulitnya mereka yang berkebutuhan khusus untuk mengenyam
pendidikan di sekolah reguler. Sebagaimana Anda pahami bahwa sistem
pendidikan ini lebih luas daripada pendidikan formal di sekolah (formal
schooling). Dalam pendidikan inklusif, sistem pembelajarannya sangat fleksibel
dan bersifat responsif. Sementara kondisi lingkungannya mencerminkan
pendidikan yang ramah terhadap anak. Hal yang paling penting, pendidikan ini
bertujuan untuk perbaikan mutu sekolah dan sekolah yang efektif dan pendekatan
yang menyeluruh serta kolaborasi dengan mitra kerja dalam membantu
pelaksanaan setiap kegiatan anak berkebutuhan khusus.

C. KONSEP KEBERAGAMAN DAN DISKRIMINASI

Bila berbicara tentang anak berkebutuhan khusus, di situ akan ada konsep
keberagaman dan diskriminasi. Konsep tentang keberagaman dan diskriminasi
menjadi dua konsep yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan pendidikan
inklusif bagi anak berkebutuhan khusus. Konsep keberagaman mencerminkan
sebuah penghargaan terhadap segala perbedaan dalam setiap pribadi anak, baik
yang cacat atau normal. Keberagaman bukan saja penting untuk menunjukkan
sikap saling menghormati satu sama lain, melainkan pula sebagai bentuk
manifestasi dari fitrah manusia yang ditakdirkan Tuhan dalam kondisi yang
berbeda.

Bagaimana mungkin Anda akan menerima anak berkebutuhan khusus, kalau


belum memahami makna perbedaan yang terdapat dalam keberagaman. Perbedaan
bukanlah suatu kondisi yang diharapkan oleh setiap orang, namun ia merupakan
bawaan dan pemberian Tuhan kepada manusia. Siapa pun tidak akan mungkin
menolak takdir perbedaan dalam setiap pribadi manusia karena hal itu sudah
menjadi suratan yang tidak mungkin diganggu gugat apalagi ditolak. Sikap kita

terhadap perbedaan adalah bagaimana menghargai dan menghormatinya agar


orang yang berbeda dengan kita tidak merasa tersinggung.

Bagi anak berkebutuhan khusus yang berbeda dengan anak normal pada
umumnya, memang seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil bahkan
diskriminatif terutama dalam memperoleh hak pendidikan. Anak penyandang cacat
biasanya kesulitan untuk menempuh pendidikan di SLB yang relatif sangat jauh
hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau oleh mereka. Hal ini
pula masalah yang harus diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di
samping memecahkan masalah golongan penyandang cacat yang merata karena
diskriminasi sosial.

Sungguh sangat disayangkan, sistem pendidikan di Indonesia belum


mengakomodasi keberagaman sehingga menyebabkan munculnya segmentasi
lembaga pendidikan berdasarkan pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan
perbedaan kemampuan, baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa.
Padahal, anak-anak memiliki keberagaman yang luas dalam karakteristik dan
kebutuhannya sesuai dengan tingkat kecerdasan dan kemampuan yang dimiliki.
Bagaimana mungkin kita akan memaksa anak untuk tidak berbeda dengan kita,
sementara mereka sudah mengalami keterbatasan yang tidak mungkin ditolak.
Sikap kita seharusnya memperlakukan mereka seperti saudara sendiri yang
membutuhkan uluran tangan dan bantuan yang lebih luas demi mengatasi
permasalahan-permasalahan mereka.

Bila kita bercermin pada Deklarasi Jomtien yang melangkah lebih jauh
daripada Deklarasi Universal HAM dalam Pasal III tentang "Universalisasi Akses
dan Mempromosikan Kesetaraan" maka di situ dinyatakan bahwa terdapat
kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan
diskriminasi dan eksklusi. Kelompok yang mendapatkan diskriminasi dan eksklusi
mencakup anak perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja,
penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan kelompok-kelompok
lainnya, dan secara khusus disebutkan para penyandang cacat.

Sebagai bentuk tanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan inklusif,


semua pihak seharusnya berpikir keras untuk menghilangkan diskriminasi dan
pengucilan (exclusion) yang menyudutkan anak berkebutuhan khusus dari
lingkungan mereka tinggal. Semua orang perlu menanamkan argumen dan sikap
bahwa memandang keragaman harus sebagai sumber daya, bukan sebagai masalah.
Apalagi pendidikan inklusif memang dipersiapkan bagi siswa yang dapat
menghargai perbedaan-perbedaan.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Studi oleh Drs. Janet Strayer dan William Roberts mengemukakan bahwa
semakin seorang anak berempati terhadap orang lain, ia akan semakin menghargai
segala perbedaan dalam diri orang lain. Bagaimanapun ketika berbicara mengenai
orang-orang yang mempunyai keterbatasan atau cacat, sebisa mungkin bisa
memengaruhi cara bagaimana anak berpikir mengenai mereka. Ajarkan kepada
anak bahwa orang yang mempunyai cacat harus diutamakan lebih dahulu. Mereka
hanya cacat, bukan lantas dikatakan berbeda. Hindarilah menyebut orang yang
cacat dengan diagnosis medisnya, yaitu anak terbelakang.

Jika anak Anda termasuk penyandang cacat atau memiliki kelainan. Anda
perlu memikirkan cara terbaik untuk menyekolahkannya di sekolah reguler. Jangan
sampai lupa bahwa hak semua anak untuk memperoleh pendidikan di dalam
masyarakatnya sendiri adalah tanggung jawab Anda sebagai orangtua. Anak dari
berbagai kalangan atau yang disebut berkebutuhan khusus tanpa terkecuali juga
memiliki hak yang sama dengan anak normal pada umumnya. Berikanlah
kesempatan anak Anda untuk menentukan masa depan pendidikannya sendiri dan
jangan sampai mengintervensi agar anak Anda tidak bersekolah karena takut
dihina atau dicaci oleh teman sebayanya.

B. SARAN

Sejalan dengan kesimpilan diatas, penulis merumuskan saran sebagai berikut:


1. Sebaiknya jika anak anda penyandang cacat atau memiliki kelainan, anda perlu
memikirkan cara terbaik untuk menyekolahkannya disekolah reguler. Jangan
sampai lupa bahwa hak semua anak untuk memperoleh pendidikan di dalam
masyarakatnya sendiri adalah tanggung jawab Anda sebagai orangtua.
2. Sebaiknya Berikanlah kesempatan anak Anda untuk menentukan masa depan
pendidikannya sendiri dan jangan sampai mengintervensi agar anak Anda tidak
bersekolah karena takut dihina atau dicaci oleh teman sebayanya.
DAFTAR PUSTAKA

Buku Pendidikan inklusif dari MOHAMMAD TAKDIR ILAHI

Anda mungkin juga menyukai