Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PEMBERDAYAAN KEARIFAN LOKAL DALAM PAUD

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 3

ZUFAR SALIM RISQ / 210204500008

ABRAR UMAR / 210204501002

ALYA ILMY FADHILAH / 210204501023

KELAS : PTE 01

PRODI PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
kemudahan dan keluasan pikiran yang diberikan, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah Psikologi Pendidikan dengan judul makalah “Pemberdayaan Kearifan Lokal
Dalam Paud” yang dikerjakan oleh Mahasiswa Universitas Negeri Makassar secara
berkelompok di Jurusan Pendidikan Teknik Elektro semester 3

Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi pembaca.

Akhir kata kami berharap akan saran dan pendapat dari para pembaca
terhadap makalah ini agar menjadi lebih baik lagi. Semoga bermanfaat, Aamiin.

Makassar, 14 September 2022

Kelompok III
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................................

BAB I...............................................................................................................................................

PENDAHULUAN...........................................................................................................................

1. LATAR BELAKANG..........................................................................................................

2. TUJUAN...............................................................................................................................

3. MANFAAT...........................................................................................................................
BAB II.............................................................................................................................................

PEMBAHASAN..............................................................................................................................

1. Konsep pengasuhan secara umum........................................................................................

2. Konsep Kearifan Lokal.......................................................................................................

3. Konsep pengasuhan berdasarkan kearifan lokal.................................................................

BAB III..........................................................................................................................................

PENUTUP.....................................................................................................................................

1. Kesimpulan.........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..23
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan anak secara spontan karena di
senangi, dan sering tanpa tujuan tertentu. Bagi anak bermain merupakan kebutuhan
yang perlu agar anak dapat berkembang secara wajar dan utuh, menjadi orang dewasa
yang mampu menyesuaikan dan membangun dirinya, menjadi pribadi yang matang
dan mandiri.

Banyak jenis jenis permainan baik itu permainan yang memakai aturan-aturan
tertentu / sekedar bermain tanpa mengunakan aturan. Permainan tradisional misalnya
adalah salah satu jenis permainan yang mengunakan aturan-aturan tertentu yang
berasal dari budaya lokal/budaya daerah di mana PAUD itu berada. Di antara jenis
kearifan budaya lokal, banyak sekali budaya yang merupakan warisan nenek moyang.
Budaya-budaya ini mengandung banyak nilai-nilai luhur yang dikemas dalam sebuah
permainan, lagu-lagu, cerita/dongeng dan ungkapan-ungkapan.

Semakin maraknya penggunaan gawai saat sekarang ini, menjadikan anak-anak


lupa bahkan tidak mengenal tentang budaya yang ada di sekitar mereka. Hal ini
sangat memprihatinkan bagi kita sebagai pendidik. Oleh karena itu perlu dibuat suatu
sistem atau cara untuk mengenalkan budaya lokal, khususnya bagi anak usia dini.
Dengan berbagai permasalahan yang timbul dari pengaruh gawai maka sangat
beralasan apabila budaya lokal dimasukkan dalam Kurikulum PAUD, karena
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah fondasi dasar bagi anak yang sangat
diharapkan mampu membentuk karakter dasar anak yang santun, cerdas dan
berakhlak.
Lalu bagaimana kearifan lokal ini bisa di terapkan dalam pembelajaran di PAUD?
Jawabannya sangat sederhana. Anak usia dini adalah masa di mana anak suka
bermain dan belajar melalui apa yang mereka sukai. Oleh karena itu kearifan budaya
lokal bisa dimasukkan melalui permainan, lagu atau cerita. Pengenalan lagu “ilirilir”
misalnya Lagu ini mengandung nasehat keagamaan, agar memperbanyak bekal
dengan amal dan sholat (simbul buah blimbing sholat 5 waktu) untuk membersihkan
jiwa walaupun sulit dan beratuntuk kebahagian di akirat, selagi masih di beri waktu
yang longgar.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian konsep pengasuhan secara umum?
2. Jelaskan pengertian konsep kearifan local?
3. Jelaskan konsep pengasuhan berdasarkan kearifan lokal?

C. Manfaat
1. Pembaca dapat mengerti konsep pengasuhan secara umum
2. Pembaca dapat mengerti Konsep kearifan lokal
3. Pembaca dapat mengerti konsep pengasuhan berdasarkan kearifan lokal
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP PENGASUHAN SECARA UMUM

1. PENGERTIAN

Berdasarkan sejarahnya pengasuhan merupakan sebuah alat penyampaian


pesan kepada anak mengenai nilai-nilai sehingga menjadi suatu variasi antar
budaya dalam masyarakat. Dimana pada awal abad 20, pengasuhan masih
dianggap mudah dikarenakan masyarakat pada saat itu memiliki keyakinan
bahwa salah satu tujuan hidup manusia adalah untuk melayani Tuhan dan
mengikuti ajaran agam yang berlaku.

Sebelum lebih lanjut memahami mengenai pengasuhan maka harus


mengatahui pengertian dan konsep dari pengasuhan itu sendiri. Menurut kamus,
pengasuhan sering disebut pula sebagai child-rearing yaitu pengalaman,
keterampilan, kualitas, dan tanggung jawab sebagai orangtua dalam mendidik
dan merawat anak. Pengasuhan atau disebut juga parenting adalah proses
menumbuhkan dan mendidik anak dan kelahiran anak hingga memasuki usia
dewasa. Sedangkan berdasarkan diktat mata kuliah pengasuhan (Dwi Hastuti,
2010) pengasuhan adalah pengetahuan, pengalaman, keahlian dalam melakukan
pemeliharaan, perlindungan, pemberian kasih sayang dan pengarahan kepada
anak. Selain itu pengertian yang lain dari pengasuhan adalah saat dimana
orangtua memberikan sumberdaya paling dasar kepada anak, pemenuhan
kebutuhan anak, kasih sayang, memberikan perhatian dan mengajarkan nilai-
nilai kebaikan kepada anak. Pengertian pengasuhan yang disebutkan dalam
diktat sejalan dengan yang dijabarkan oleh Myre (1992) bahwa pengasuhan ini
mencagkup beberapa aktivitas yaitu: melindungi anak, memberikan perumahan
atau tempat perlindungan, pakaian, makanan, merawat anak (termasuk
memandikan, mengajarkan cara buang air, dan memelihara ketika anak sakit),
memberikan kasih sayang dan perhatian pada anak, berinteraksi dengaan anak
dan memberikan stimulasi kepadanya, serta memberikan kemampuan
sosialisasi dengan budayanya. Sedangkan dalam buku Berns R.M dalam
bukunya yang berjudul Child, Family, School, Community Social and Support
dijelaskan bahwa Jerome Kagan-seorang psikolog perkembangan Jerman-
(1975) menyebutkan bahwa pengasuhan merujuk pada serangkaian
implementasi dari berbagai keputusan tentang sosialisasi pada anak –apa yang
harus dilakukan orang tua untuk menjadikan anak sebagai individu yang
bertanggung jawab dan mampu memberikan kontribusi terhadap masyarakat,
serta apa yang terbaik dilakukan orang tua dalam menghadapi beragam sifat
anak ketika menangis, agresif, berbohong, marah, dll.
Pengasuhan adalah sebuah proses bidirectional –perilaku orang dewasa
dalam menghadapai anak seringkali merupakan reaksi yang muncul dari
perilaku anak. (Learner et al., 1995)
Berdasarkan buku Parenting karangan J.B. Brooks chapter 1 dijelaskan
bahwa pengasuhan adalah sebuah proses, yang di dalamnya terdapat hubungan
yang unik antara orang tua dan anak. Secara umum, pengasuhan dapat
dideskripsikan sebagai aksi dan interaksi orang tua dalam membangun
perkembangan dan pertumbuhan anak. Jay Belsky, dalam tulisannya
menyatakan, terdapat tiga hal yang mempengaruhi proses pengasuhan, yakni
individu dan karakteristik seorang anak, latar belakang orang tua dan kondisi
psikologis, serta kondisi tekanan dan dukungan sosial.
Seorang anak, terutama bayi dan balita sangat membutuhkan dukungan
dalam pengasuhan dari orang tua dan juga dari lingkungan sekitarnya.
Bronfenbenner dan Pamela Morris menyatakan, seorang anak akan
mendapatkan pertumbuhan yang optimal jika terjalin hubungan dua arah
dengan orang, benda, maupun simbol yang ia temukan pertama kali di
lingkungan sekitarnya. Bronfebenner dan Morris pecaya bahwa interaksi seperti
ini sangat penting untuk dilakukan secara berkesinambungan agar menjadi
hubungan yang lebih kompleks dan akan menjadi stimulus dalam
perkembangan seorang anak.
Sedangkan dalam chapter kedua dikatakan bahwa menurut ilmu sosial
pengasuh memiliki tugas untuk menyediakan :
- kebutuhan fisik : makan

- kebutuhan emosi : cinta

- perlindungan, keselamatan, keterampilan social

- moral dan nilai

Dalam bacaan Parenting in the 21st Century: A Return to Community,


Yolanda K H Bogan dijelaskan konsep pengasuhan, yaitu konsep keluarga
besar. Secara historis, orang tua telah menggunakan keluarga besar dan
masyarakat terkait untuk membantu dalam membesarkan anak-anak (Lihat
forehand & kotchick, 1996; Garcia-Coll, Meyer & Brillon, 1995; keduanya
dikutip dalam thomas, 2000). Billingsley (1968) menjelaskan empat jenis
keluarga besar: (a) subfamilies-pasangan atau orang tua / angka dua anak,
hidup dengan anggota keluarga, (b) keluarga dengan sekunder-keluarga
anggota yang menerima anggota keluarga lainnya, (c) ditambah keluarga –
orang yang tidak berhubungan yang tinggal di rumah tangga sebagai suatu unit
keluarga, dan (d) “kerabat darah tidak” – orang yang diterima sebagai anggota
keluarga. ini anggota keluarga yang terakhir diidentifikasi oleh Stack (1974)
sebagai “kerabat fiktif”.
Konsep lain mengacu pada tiga cabang kerangka dalam mendukung
pemikiran bagi perasaan orangtua lewat pengalaman komunitas pengasuhan,
yaitu pertama, Orangtua terlibat lebih dalam merawat anak, seperti rata-rata
keluarga, akan nuklir atau pecahan, tidak dapat hidup dalam pengasingan.
Kedua, kita tidak membesarkan anak-anak kita di lingkungan yang mendukung
keberadaan pengasingan. Kita harus mengajar anak-anak kita untuk
berinteraksi, menjadi masyarakat independen. Pengalaman anak-anak dimulai
dari belajar di rumah (Kupets, 1998). Belajar mengenai pola-pola perilaku,
sosialisasi dan interaksi yang terjadi dalam unit keluarga internal biasanya
diterjemahkan menjadi situasi sosial eksternal, seperti penitipan anak, sekolah,
dan pengaturan kerja, sampai tantangan dari pengaruh lain.
Ketiga, intrafamilial (dalam), extrafamilial (luar) dan interfamilial (antara)
faktor pengaruh pengasuhan dan perkembangan anak. Collins, Maccoby,
Steinberg, Hetherington, dan Bornstein (2000) menemukan [bahwa] “orangtua
dan rekan-rekan bergabung dalam pengaruh anak berkembang” (p.227). Para
penulis ini lebih lanjut menunjukkan bahwa gaya pengasuhan yang ada antara
keluarga juga berdampak pada dugaan anak sebagai tersangka sebagai rekan
yang berpengaruh. Gaya pengasuhan yang digunakan oleh orang tua dari teman-
teman anak memiliki dampak langsung terhadap perkembangan sosial seluruh
anak-anak dalam kelompok bermain tersebut. Harris (2000) menambahkan
bahwa pentingnya peer group tidak dapat diabaikan mengingat bahwa “anak-
anak cenderung berperilaku sama dengan cara rekan-rekan mereka dan saudara
berperilaku dalam konteks itu” (hal. 633).

2. Tujuan pengasuhan

Bedasarkan buku duktat mata kuliah pengasuhan dikatakan bahwa dalam


melakukan pengasuhan pada seorang anak para orangtua atau pengasuh
memiliki beberapa tujuan tertentu, dimana tujuan pengasuhan pada masa
kanak-kanak berbeda dengan tujuan pegasuhan pada masa remaja, kuliah
ataupun dewasa. Pengasuhan pada masa anak-anak lebih berfokus pada kondisi
fisiknya. Pada usia remaja pengasuhan berfokus pada keterampilan motorik
yang berhubungan dengan kegiatan akademi dan non akademis. Dan untuk usia
kuliah serta dewasa pengasuhan lebih bertujuan untuk kegiatan pekerjaan dan
sosial. Selain tujuan-tujuan yang telah dijabarkan di atas adalah untuk
meningkatkan kompetensi fisik, gizi, dan keehatan anak. Selain itu juga untuk
meningkatkan kompetensi intelektual, emosi, sosial, dan morl serta
kepercayaan diri anak.
Selain hal di atas dalam buku Berns R.M tahun 1997 dikatakan bahwa
menurut LeVine (1977; 1988) terdapat tujuan-tujuan pengasuhan secara
universal (luas), yaitu :
- Memastikan kesehatan fisik dan kemampuan bertahan hidup.

- Membangun kapasitas tingkah laku agar mampu mandiri secara ekonomi.

- Menanamkan kapasitas tingkah laku untuk memaksimumkan nilai


kebudayaan, seperti moral, prestise, dan prestasi.
Berdasarkan buku Parenting karangan J.B. Brooks chapter 1 dijelaskan
bahwa pengasuhan bagi seorang anak dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan
optimal yang berkorelasi dengan kualitas masa depannya. Sedangkan
pengasuhan bagi orang tua sangat berpengaruh dalam perkembangan psikologis.
Orang tua dari berbagai latar belakang meyatakan, mereka lebih terbuka dalam
mengekspresikan cinta dan menyatakan emosi setelah memiliki anak. Orang tua
sangat menikmati saat memperhatikan dan mendampingi pertumbuhan dan
perkembangan seorang anak. Hal ini meunjukkan bahwa seorang anak akan
memberikan pengaruh bagi orang tuanya, yakni orang tua akan memiliki rasa
tanggung jawab yang lebih besar dari sebelumnya, menjadi orang dewasa yang
lebih matang, memiliki jaringan dan komunitas sebagai orang tua, dan akan
meningkatkan rasa cinta sebagai pasangan. Sedangkan dalam chapter 2
dikatakan bahwa orang tua mempunyai 3 tujuan untuk mengasuh anak :
kesehataan fisik dan rasa nyaman, persiapan anak untuk bias menghemat, berani
secara positif, missal kompetensi intelektual. Sosialisasi pada anak untuk bias
bertanggung jawab dan menjadi orang yang produktif secara ekonomi. Dengan
memberikan priorotas untuk berkompetensi secara sosial ada 3 poin:
- Pengasuhan adalah sebuah proses yang berpengaruh

- Pengasuhan itu langsung dan tidak langsung


- Komplek interaksi

Dan yang terkhir tujuan pengasuhan yang di dapat dalam bacaan Parenting
in the 21st Century: A Return to Community, Yolanda K H Bogan adalah
mendapatkan perhatian dari anak-anak yang pada abad sekarang telah
berkurang akibat adanya permainan dan fasilitas- fasilitas baru yang
berkontribusi terhadap hilangnya keterhubungan antara keluarga dengan
masyarakat. Penanam nilai dan karakter pada anak juga menjadi fokus dalam
tujuan pengasuhan serta memberikan pengaruh yang baik terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak.
Peak (2003) menganjurkan kesempatan lain untuk menyampaikan Sembilan
nila-nilai untuk anak sebagai jalan mempertinggi kepaduan keluarga. Nilai-
nilai ini adalah komitmen, pujian, komunikasi, konsisten, disipli, keamanan,
tanggung jawab, kesadaran, dan kebebasan. Kita harus mengajar anak-anak
kita untuk berinteraksi, menjadi masyarakat yang mandiri. Menurut
Kupets, 1998, pengalaman anak-anak dimulai dari belajar di rumah.
Lingkungan pergaulan social adalah aspek penting bagi perkembangan anak
dimana orangtua memilih untuk bekerja di luar rumah, tinggal di rumah,
atau menjadi individu berpengaruh dalam kehidupan anak-anak.

B. KONSEP KEARIFAN LOKAL

1. PENGERTIAN KEARIFAN LOKAL

Pengertian kearifan local, bila dilihat dari kamus Inggris-Indonesia,


terdiri dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local yang
berarti setempat, sementara wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan
demikian maka dapat dipahami, bahwa pengertian kearifan lokal merupakan
nilai-nilai, pandangan-padangan setempat atau (lokal) yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya. Kearifan lokal adalah produk (ide, praktek, dan hasil karya)
kebudayaan para pemangkunya mengenai lingkungan dan manusia yang
berbasis keTuhanan, kemanusiaan, dan lingkungan yang menyatu sedemikian
rupa sehingga menjamin harmoni antara manusia dan alam sekitarnya (Ibnu
Hamad, 2011). Dengan adanya kearifan lokal maka masyarakat Indonesia
memiliki keyakinan terhadap adanya Tuhan, ketaatan dan kepercayaan kepada
pemimpin menjadi ciri pengaturan kehidupan bersama masyarakat, kemampuan
masyarakat dalam berserikat, membentuk forum dan bermusyawarah dalam
penyelesaian masalah-masalah kemasyarakatan, solidaritas dan empati yang
tinggi sehingga mendorong setiap orang untuk menolong orang lain,

Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang
menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan
yang berasal dari luar/bangsa lai menjadi watak dan kemampuan sendiri
Wibowo (2015:17). Identitas dan Kepribadian tersebut tentunya
menyesuaikan dengan pandangan hidup masyarakat sekitar agar tidak terjadi
pergesaran nilai-nilai. Kearifan lokal adalah salah satu sarana dalam mengolah
kebudayaan dan mempertahankan diri dari kebudayaan asing yang tidak baik.
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta
berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan
kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai
kebijakan setempat local wisdom atau pengetahuan setempat “local knowledge”
atau kecerdasan setempat local genious Fajarini (2014:123). Berbagai strategi
dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menjaga kebudayaannya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Alfian (2013: 428) Kearifan lokal
diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta sebagai strategi
kehidupan yang berwujud aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam
memenuhi kebutuhan mereka. Berdasarkan pendapat Alfian itu dapat diartikan
bahwa kearifan lokal merupakan adat dan kebiasan yang telah mentradisi
dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun temurun yang hingga saat
ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat tertentu di
daerah tertentu. Berdasarkan pengertian di atas dapat diartikan bahwa local
wisdom (kearifan lokal) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat
local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakatnya.
2. BENTUK-BENTUK KEARIFAN LOKAL

Haryanto ( 2014:212) menyatakan bentuk-bentuk kearifan lokal adalah


Kerukunan beragaman dalam wujud praktik sosial yang dilandasi suatu kearifan
dari budaya. Bentuk- bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa
budaya (nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-
aturan khusus). Nilai-nilai luhur terkait kearifan lokal meliputi Cinta kepada
Tuhan, alam semester beserta isinya,Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri,
Jujur, Hormat dan santun, Kasih sayang dan peduli, Percaya diri, kreatif, kerja
keras, dan pantang menyerah, Keadilan dan kepemimpinan, Baik dan rendah
hati,Toleransi,cinta damai, dan persatuan.

Hal hampir serupa dikemukakan oleh Wahyudi (2014: 13) kearifan lokal
merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang
meliputi seluruh aspek kehidupan, berupa Tata aturan yang menyangkut
hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial baik antar
individu maupun kelompok, yang berkaitan dengan hirarkhi dalam
kepemerintahan dan adat, aturan perkawinan antar klan, tata karma dalam
kehidupan sehari- hari.
Tata aturan menyangkut hubungan manusia dengan alam, binatang,
tumbuh-tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya konservasi alam.Tata
aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib, misalnya Tuhan
dan roh-roh gaib. Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata
bijak, pepatah (Jawa: parian, paribasan, bebasan dan saloka).
Dalam karya sastra kearifan lokal jelas merupakan bahasa, baik lisan
maupun tulisan (Ratna, 2021)Ratna (2011-95). Dalam masyarakat, kearifan-
kearifan lokal dapat ditemui dalam cerita rakyat, nyayian, pepatah, sasanti,
petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-
hari. Kearifan lokal ini akan mewujud menjadi budaya tradisi, kearifan lokal
akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat
tertentu.
Kearifan lokal diungkapkan dalam bentuk kata-kata bijak (falsafah) berupa
nasehat, pepatah, pantun, syair, folklore (cerita lisan) dan sebagainya; aturan,
prinsip, norma dan tata aturan sosial dan moral yang menjadi sistem sosial;
ritus, seremonial atau upacara tradisi dan ritual; serta kebiasaan yang terlihat
dalam perilaku sehari-hari dalam pergaulan sosial (Haryanto, 2013: 368). Cerita
rakyat banyak mengandung amanat-amanat kepada
Selain berupa nilai dan kebiasaan kearifan lokal juga dapat berwujud
benda-benda nyata salah contohya adalah wayang. Wayang kulit diakui sebagai
kekayaan budaya dunia karena paling tidak memiliki nilai edipeni (estetis)
adiluhung (etis) yang melahirkan kearifan masyarakat, terutama masyarakat
Jawa. Bahkan cerita wayang merupakan pencerminan kehidupan masyarakat
Jawa ,sehingga tidak aneh bila wayang disebut sebagai agamanya orang Jawa.
Dengan wayang, orang Jawa mencari jawab atas permasalahan kehidupan
mereka (Sutarso, 2012 : 507). Dalam pertunjukan wayang bergabung keindahan
seni sastra, seni musik, seni suara, seni sungging dan ajaran mistik Jawa yang
bersumber dari agama-agama besar yang ada dan hidup dalam masyarakat
Jawa. Bentuk kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat jawa selain wayang
adalah joglo ( rumah tradisional jawa ).
D. KONSEP PENGASUHAN BERDASARKAN KARIFAN LOKAL
1. PENGERTIAN

Kearifan lokal pada anak usia dini adalah nilai-nilai sikap yang mendasari
perilaku anak, yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur budaya kita. Nilai-nilai
luhur budaya kita dapat dilestarikan dengan jalan mewariskan dari generasi tua
ke generasi muda melalui pendidikan, baik itu pendidikan formal, informal,
maupun nonformal.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebudayaan dan pendidikan
mempunyai hubungan timbal balik. Sebaliknya bentuk, ciri-ciri dan
pelaksanaan pendidikan itu ditentukan oleh kebudayaan masyarakat dimana
proses pendidikan itu berlangsung. Kearifan lokal diperlukan untuk
terciptanya ketertiban, kedamaian, keadilan, mencegah konflik, kesopanan,
kesejahteraan, ilmu pengetahuan, pendidikan, pengembangan sistem nilai,
pengembangan kelembagaan, dan perubahan tingkah laku. dan terdapat
norma sosial yang menjunjung perdamaian, kebersamaan dan gotong
royong. Kearifan local apabila diterjemahkan secara bebas dapat diartikan
nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini
berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita
harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam wilayah
tersebut. Sebenarnya nilai-nilai kearifan lokal ini sudah diajarkan secara turun
temurun oleh orang tua kepada anak-anaknya. Budaya gotong royong, saling
menghormati dan tepa salira merupakan contoh kecil dari kearifan lokal.
Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati
lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh
masyarakat yang berada di tempat yang lain. Permendagri Nomor 39 Tahun
2007 pasal 1 mendefinisikan budaya daerah sebagai suatu sistem nilai yang
dianut oleh komunitas/ kelompok masyarakat tertentu di daerah, yang
diyakini akan dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakatnya dan di
dalamnya terdapat nilai-nilai, sikap tatacara masyarakat yang diyakini dapat
memenuhi kehidupan warga masyarakatnya (Dirjen Kesbangpol Depdagri,
2007: 5).
Sudah selayaknya, kita sebagai pendidik mencoba menggali kembali
nilai-nilai budaya kita, agar tidak hilang ditelan perkembangan jaman untuk
diwariskan kepada anak didik kita, sejak usia dini. Nilai budaya dan norma
dalam kebudayaan Jawa, misalnya, tetap dianggap sebagai pemandu perilaku
yang menentukan keberadaban, seperti kebajikan, kesantunan, kejujuran,
tenggang rasa, dan tepa salira.
2. PENDIDIKAN ANAK DALAM USIA DINI

Pendidikan nilai mempunyai dua kata pengertian dasar yaitu pendidikan


dan nilai. Gordon Allport (1964) seorang ahli psikologi mendefinisikan nilai
adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya Kata
nilai atau value berasal dari Bahasa latin valere yang berarti harga, namun
ketika kata tersebut dihubungkan dengan obyek dalam sudut pandang tertentu
maka akan mempunyai tafsiran yang beragam, ada nilai atau harga menurut
ilmu ekonomi, psikologi, sosiologi, politik ataupun agama. Nilai adalah rujukan
dan keyakinan dalam menentukan pilihan.
Pendidikan nilai adalah pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik
agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, melalui proses
pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten. Nilai
adalah patokan normative yang mempengaruhi manusia dalam menentukan
pilihanya diantara cara-cara tindakan alternative, (Kuperman, 1983). Pendidikan
nilai meliputi pendidikan moral, pendidkan agama, pendidikan karakter atau
pengembangan afektif.
Seorang anak dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu lingkungan social-
budaya tertentu, yaitu keluarga. Orang tua sebagai pewaris nilai budaya
menetukan nilai-nilai, sikap, bahkan berbagai corak perilaku anak, walaupun
pada akhirnya corak dan perilaku tersebut bergantung pula pada proses di dalam
kejiwaan anak itu sendiri. Keluarga juga disebut sebagai lembaga pendidikan,
karena di dalam keluarga anak mulai dididik tentang etika, moral, untuk
selanjutnya akan membawa individu pada pergaulan yang lebih luas.
Berkaitan dengan pendidikan pada anak usia dini, maka kearifan local
yang tercermin pada perilaku budaya kita, perlu ditumbuhkan melalui
pengenalan budaya setempat, yang menganut nilai-nilai kesopanan,
kebersamaan, gotong royong, saling menolong sesama, tenggang rasa. Dengan
demikian produk kebudayaan yang mencerminkan kearifan local bias berwujud
perilaku.yang sesuai dengan norma agama, dan norma social. Selanjutnya
pengenalan terhadap budaya setempat pada anak usia dini di lembaga
pendidikan prasekolah bisa melalui pendidikan nilai.

Di Indonesia wacana pendidikan nilai secara kurikuler terintegrasi dalam


pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan pendidikan bahasa dan
seni. Dalam penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003, tentang sistem pendidikan Nasional Bab II pasal 3, yang berbunyi:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pada hakikatnya pendidikan
nasional di atas, mengacu pada pembentukan nilai yang mendasari terbentuknya
watak atau karakter bagi anak-anak Indonesia. Karakter ini terwujud dalam
pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama,
hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Karakter ini yang diharapkan pada
era globalisasi, adalah yang dilandasi oleh kearifan lokal.

Selanjutnya, manusia-manusia yang diharapkan pada era globalisasi ini


adalah manusia yang siap berkompetisi dan tidak saling menjatuhkan, siap
menerima keberhasilan maupun kegagalan, siap menghadapi kemajuan bidang
informasi dan komunikasi yang semakin canggih, yang semuanya itu tidak
terlepas dari norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat
yang kita anut.
Membentuk karakter anak sejak dini, dilakukan dengan usaha sungguh-
sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan
kesadaran serta keyakinan anak didik kita bahwa tidak ada masa depan yang
lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin
diri, tanpa kegigihan mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa semangat
belajar pada anak, tanpa semangat berkontribusi bagi sesama.
Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni dalam sebuah seminar nasional
Kerukunan Umat Beragama Sebagai Pilar Kerukunan Nasional,di Jakarta pada
hari Rabu, 31 Desember 2009 mengatakan; kerukunan umat beragama yang
merupakan pilar kerukunan nasional yang dinamis harus terus dipelihara dari
waktu ke waktu. Kita memang tidak boleh berhenti membicarakan dan
mengupayakan pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama
yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai
kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, kita lihat masih banyak


kesenjangan antara konsep dan muatan nilai yang tercermin dalam sumber-
sumber normatif, konstitusional dengan fenomena sosial, kultural, politik,
ideologis, dan religiositas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara RI sampai dengan saat ini (Winataputra, 2009).
Nampaknya kesenjangan antara konsep dan muatan nilai sudah merembet
pada dunia pendidikan. Oleh karena itu pendidikan nilai perlu ditanamkan
kepada anak sejak usia dini, sehingga nilai-nilai yang diyakini kebenarannya
tersebut mengkristalisasi dalam dirinya sebagai perwujudan perilaku anak
Indonesia yang mencerminkan kearifan local budaya kita. Nilai moral dapat
diartikan ketaatan dan kepatuhan seseorang terhadap sesuatu.
Selanjutnya bila dikaitkan dengan nilai moral-agama berarti ketaatan dan
kepatuhan seseorang terhadap nilai-nilai agama yang dianutnya. Ditinjau dari
ajaran agama khususnya Islam, setiap manusia yang lahir berada dalam keadaan
suci, dan factor penentu kualitas keagamaan anak itu sendiri banyak ditentukan
oleh peran serta kedua orang tuanya. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa
factor lingkungan keluarga merupakan peringkat pertama yang akan memberi
warna dasar bagi nilai-nilai keagamaan anak.
Nilai-nilai agama akan tumbuh dan berkembang pada jiwa anak melalui
peran pendidikan dan pengalaman yang dilakukan sejak kecil. Seorang anak
yang memperoleh pendidikan dan pengetahuan nilai-nilai keagamaan yang
cukup dalam keluarganya, maka mereka akan tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan masyarakat yang agamis, komunitas mereka taat beribadah,
ditambah dengan pengalaman keagamaan yang baik di sekolah maupun di
tempat-tempat ibadah maka dengan sendirinya anak akan memiliki
kecenderungan merasa terbiasa melaksanakan ibadah ritual keagamaan, merasa
takut jika melanggar aturan agama, dan mempunyai rasa sebagai umat Nya.
3. PENDIDIKAN NILAI SEBAGAI UPAYA MENUMBUHKAN
KARIFAN LOKAL PADA USIA DINI
 PENGEMBANGAN MORAL AGAMA

Keteladanan, pembiasaan, nasihat, perhatian, hukuman jika tidak ada cara


yang lain merupakan contoh dari pengembangan moral-agama. Theodore
Roosevelt mengatakan: To educate a person in mind and not in morals is to
educate a menace to society (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak
dan bukan aspek moral adalah ancaman mara bahaya kepada masyarakat).

Pokok-pokok dan ruang lingkup materi pengembangan moral-agama meliputi:


a) Berdoa sebelum dan sesudah memulai kegiatan;
b) Mengucapkan salam bila ketemu dengan orang lain
c) Tolong menolong sesama teman
d) Berlatih untuk selalu tertib dan patuh pada peraturan
e) Bersedia menerima tugas, menyelesaikan tugas, dan memusatkan perhatian
dalam jangka waktu tertentu
f) Tenggang rasa terhadap keadaan orang lain
g) Berani dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar
h) Merasa puas atas prestasi yang dicapai
i) Bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan
j) Bergotong royong sesame
k) Mencintai tanah air
l) Mengurus diri sendiri
m) Menjaga kebersihan lingkungan
n) Menyimpan mainan setelah digunakan
o) Mengendalikan emosi
p) Sopan santun, meliputi mengucapkan terimakasih dengan baik
q) Menjaga keamanan diri
• PENGEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL

Untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab pada diri anak, guru dan
orang tua dapat melakukan hal-hal sebagai berikut
1) Anak ditugasi menyelesaikan dan mengerjakan tugas pilihannya sendiri
tanpa bantuan orang dewasa;
2) Menerima tanggung jawab pribadi dengan baik;

3) Menghormati dan merawat lingkungan dan peralatan di dalam kelas;

4) Mengikuti aktivitas rutin dalam kelas;

5) Mematuhi peraturan di dalam kelas;

6) Bermain dengan baik bersama teman;


7) Berbagi dan menghormati hak orang lain; untuk menumbuhkan rasa
tanggung jawab pada diri anak

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan atas uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hwa
kearifan local dapat ditumbuhkan dalam diri anak, sejak usia dini melalui
pendidikan nilai yang tercermin dan terintegrasi pada bidang pengembangan
moral-agama, sosial-emosional, bahasa dan seni yang terdapat dalam
pendidikan formal.
DAFTAR PUSTAKA

Universitas Terbuka
http://www.depsos.go.id/unduh/images/banjamsos/PSKBS.JPG
http://www.pendidikankarakter.com/3-misteri-dibalik-nilai-
anak-yang-hancur.
http://www.pendidikankarakter.com/peran-pendidikan-karakter-dalam-
melengkapikepribadian http://www.pendidikankarakter.com/cara-jitu-
menumbuhkan-semangat-belajar-pada-anak
http://www.depsos.go.id/modules.php?
name=News&file=categories&op=newindex&catid=7 DitPerlinjamsos:
Kearifan Lokal Menciptakan Perdamaian, Kebersamaan dan Gotong Royong

Mulyana, Rohmat, 2004. Mengartikulasi Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta.

Nugraha, Ali; Rachmawati, Yeni, 2009. Metode Pengembangan Sosial-


Emosional, Jakarta: Universitas Terbuka

Susanti, Retno, 2011. Membangun Pendidikan Karakter di Sekolah melalui


Kearifan Lokal, Disampaikan pada Persidangan Dwitahunan FSUA-PPIK
USM pada tanggal 26 s/d

27 Oktober 2011 di Fakultas Sastra Unand, Padang.


Udin S.Winataputra, 2009. Pembelajaran PKn di SD. Jakarta: Universitas
Terbuka. Solehudin,M. (2000) Konsep Pendidikan Prasekolah, Bandung:
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

Bab I Diktat Kuliah Pengasuhan

J.B. Brooks. 2001. Parenting. Mayfield Publish Company (Chapter 1 dan Chapter
2)

R.M. Berns. 1997. Child, Family, School, Community Social and Support.
Harcourt Brace Collage Publihers (Bab Ecology Parenting)
Artikel: Yolnda K.H. Bogan. Parenting in 21st Century: A return to Community.

Anda mungkin juga menyukai