Anda di halaman 1dari 50

JUDUL

MAKALAH

PENDIDIKAN NILAI DALAM KELUARGA

DISUSUN OLEH

NAMA : ANSELMA SEDIK


NIM : 148720519006
MATA KULIAH : PENDIDIKAN NILAI
JURUSAN : PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH


SORONG

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Penulis

ii
DAFTAR ISI
JUDUL.............................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................................3
D. Sistematika Penulisan...........................................................................................................3
BAB II PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DALAM KELUARGA............................................4
A. Pengertian Nilai Budi Pekerti...............................................................................................4
B. Peran dan Fungsi Keluarga dalam Pendidikan Nilai Budi Pekerti.....................................11
BAB III PEMBAHASAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN NILAI BUDI PEKERTI
DALAM KELUARGA................................................................................................................23
A. Implementasi Pendidikan Anak Dalam Keluarga...............................................................23
B. Kesalahan Pendidik dalam Mendidik Anak.......................................................................40
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................................................45
A. Kesimpulan.........................................................................................................................45
B. Saran...................................................................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................46

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah degradasi moral sumber daya manusia Indonesia perlu segera mendapat
penanganan khusus. Hal ini berhubungan dengan masalah kesiapan bangsa kita dalam
menyongsong era globalisasi. Salah satu upaya penanganan khusus tersebut adalah melalui
pendidikan budi pekerti. Karena pendidikan budi pekerti merupakan pendidikan nilai, dan
pihak pertama yang paling cocok memberikan pendidikan budi pekerti adalah keluarga.
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan
menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga, umumnya anak ada dalam
hubungan interaksi yang intim. Segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi
keluarganya dan begitupun sebaliknya. Keluarga memberikan dasar-dasar pembentukan
tingkah laku, watak, moral, budi pekerti dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di
dalam keluarga akan menentukan pula pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam
masyarakat. Allah mengingatkan dalam Al-Quran Surat At-Tahrim ayat 6 sebagai: “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (Soenarjo,
1989 : 951) Berdasarkan ayat tersebut menjadi tanggung jawab para orangtua untuk selalu
menjaga dan mendidik anak-anaknya agar menjadi manusia dewasa yang patuh dan taat
kepada Allah SWT. Kartini Kartono (1992 : 19) menjelaskan bahwa di samping keluarga
sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga merupakan tempat seorang
anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan akan
kepuasan emosional telah dimiliki bayi yang baru lahir. Perkembangan jasmani anak
tergantung pada pemeliharaan fisik yang layak yang diberikan keluarga. Sedangkan
perkembangan sosial anak akan bergantung pada kesiapan keluarga sebagai tempat sosialisasi
yang layak. Oleh karena itu keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dan memikul
tanggug jawab yang besar terhadap perkembangan fisik dan psikis seorang anak sampai ia
menjadi orang dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab.
Peranan sebagai pendidik merupakan kemampuan penting dalam satuan pendidikan
kehidupan keluarga. Satuan pendidikan ini menurut Djaludin Rachmat (1993 : 23) meliputi

1
pembinaan hubungan dalam keluarga, pemeliharaan dan kesehatan anak, pengelolaan sumber-
sumber serta sosialisasi anak.
Menurut Winarno Surakhmad (1986 : 7) interaksi yang terjadi dalam situasi edukatif itu
adalah ”interkasi edukatif.” Yakni interkasi yang berlangsung dalam ikatan tujuan pendidikan.
Hal inilah yang membedakan dari bentuk interkasi yang lainnya. Sardiman AM. (1992 : 1)
menyebutnya dalam arti yang lebih spesifik dalam bidang pengajaran yang dikenal dengan
istilah ”interakasi belajar-mengajar”. Dari rumusan-rumusan tersebut dapat dipahami, bahwa
istilah interaksi edukatif yang sebenarnya adalah adanya komunikasi timbal baik antara pihak
yang satu dengan pihak yang lain yang mengandung maksud tertentu, yakni untuk mencapai
pengertian bersama yang kemudian untuk mencapai tujuan. Itulah maka interaksi edukatif
disebutnya sebagai interaksi yang disengaja, terarah pada tujuan. Dan pada sisi lainnya dapat
dipahami pula, bahwa walaupun dalam sehari-harinya manusia tidak melepaskan dari adanya
interaksi, akan tetapi terkadang sulit ditentukan sebagai interaksi edukatif. Sehingga dapat
dikatakan juga, bahwa apabila yang secara sadar mempunyai tujuan untuk mendidik, untuk
mengantarkan anak ke arah kedewasaan. Jadi yang terpenting bukan secara simbol dari
interaksinya, akan tetapi adanya maksud atau tujuan yang mengantarkan dalam
berlangsungnya interaksi tersbut. Maka kegiatan itu menjadi direncana dan disengaja.
Permasalahannya adalah bagaimana keluarga dapat memberikan kontribusi pada pendidikan
budi pekerti bagi anggota keluarganya. Untuk dapat melaksanakan pendidikan budi pekerti
kita tidak dapat meminta setiap keluarga menjadi keluarga harmonis tanpa masalah. Oleh
sebab itu, kita harus berangkat dari kondisi riil keluarga di Indonesia. Dimana ada keluarga
yang sudah cukup harmonis, ada keluarga bermasalah, dan ada keluarga gagal. Namun
demikian, ada beberapa syarat mutlak yang harus dimiliki keluarga apabila mau memberi
pendidikan budi pekerti secara efektif. Syarat tersebut adalah komitmen bersama untuk
memperhatikan anak-anaknya, keteladanan, dan komunikasi aktif. Sedangkan niali budi
pekerti yang dapat diberikan dalam keluarga adalah nilai kerukunan, ketaqwaan dan
keimanan, toleransi, dan kepribadian sehat. Jika seseorang telah memiliki dasar budi pekerti
yang luhur dalam keluarga, pastilah ia akan mampu mengatasi pengaruh yang tidak baik dari
lingkungan sekitar. Dengan demikian peran keluarga dalam pendidikan budi pekerti sangatlah
besar. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas Implementasi Pendidikan Budi Pekerti
Dalam Keluarga.

2
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis mencoba merumuskannya ke dalam


beberapa kalimat pertanyaan, sebagai berikut:
1. Bagaimana Pendidikan Nilai Budi Pekerti Dalam Keluarga?
2. Bagaimana implementasi Pendidikan Nilai Budi Pekerti Dalam Keluarga?
C. Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk mengungkap implementasi pendidikan nilai budi pekerti
dalam keluarga.
D. Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini terdiri dari:

 BAB I. Pendahuluan; terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan

sistematika penulisan masalah.

 BAB II. Pendidikan Nilai Budi Pekerti Dalam Keluarga (PNBP); dalam bab ini di ulas

pengertian pendidikan nilai budi pekerti, pengertian keluarga, peran dan


fungsi

keluarga, tujuan PNBP dalam keluarga, dan metode PNBP.

 BAB III. Pembahasan; Implementasi pendidikan nilai budi pekerti dalam keluarga.
 BAB IV. Penutup; terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi

3
BAB II
PENDIDIKAN NILAI BUDI
PEKERTI DALAM KELUARGA

A. Pengertian Nilai Budi Pekerti

Pengertian Pendidikan Nilai Budi Pekerti dalam Keluarga Sebelum mengemukakan


pengertian term di atas, sebaiknya kita pahami dulu pengertiannya masing-masing. Pengertian
Pendidikan Karena sifatnya yang kompleks, maka tidak ada sebuah definisi yang memadai
untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Batasan tentang pendidikan yang dibuat
oleh para ahli beraneka ragam dan kandungan isinya berbeda-beda sesuai dengan konsep,
orientasi atau nilai philosofis yang mendasarinya. Namun demikian, dalam uraian ini akan
dikemukakan beberapa pengertian tentang pendidikan yang berbeda-beda untuk kemudian
dibuat kesimpulannya. Berdasarkan fungsinya Tirtaraharja dan La Sulo [2003:33-37],
menyatakan: Pendidikan sebagai proses transformasi budaya. Dalam hal ini pendidikan
diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain.
Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi. Pendidikan diartikan sebagai kegiatan yang
sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Pendidikan
sebagai proses penyiapan warga negara. Pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang
terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik. Pendidikan
sebagai penyiapan tenaga kerja. Pendidikan diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta
didik sehingga memiliki bekal dasar untuk bekerja. Sedangkan Tilaar dan Nugroho [2008: 27-
38] mengemukakan tentang pendidikan adalah sebagai berikut:

1. Pendidikan sebagai transmisi kebudayaan. Pendidikan dinilai sebagai proses


mentransmisikan nilai-nilai budaya yang telah terakumulasi dari satu generasi ke generasi
lainnya.
2. Pendidikan sebagai pengembangan kepribadian, tujuannya agar manusia
mengembangkan kepribadiannya di dalam pengertian etis sehingga dia bukan hanya
dapat berkembang tetapi juga dapat menyumbangkan sesuatu yang berharga untuk
masyarakatnya

4
3. Pendidikan sebagai pengembangan akhlak mulia serta religius, dimana dalam hal ini
pendidikan ditujukan untuk mengarahkan manusia/peserta didik mempunyai akhlak yang
mulia dan bersikap relegius.
4. Pendidikan sebagai mempersiapkan pekerja-pekerja yang terampil dan produktif
5. Pendidikan adalah pengembangan pribadi paripurna atau seutuhnya.
6. Pendidikan sebagai proses pembentukan manusia baru.

Sebagai perbandingan perlu juga ditilik pengertian tentang pendidikan berdasarkan 2 [dua]
Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional [UUSPN] dimana yang kedua merupakan hasil
dari revisi yang pertama; UUSPN No. 2 tahun 1989, Bab I, pasal. 1 ayat [1], menyatakan:
“Pendidikan adalah usaha sadar menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”.
Adapun UUSPN No. 20 tahun. 2003 , Bab. I, pasal 1 ayat [1], menyatakan: “Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara”. Apabila kita
cermati, dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan berdasarkan UUSPN yang terakhir
merupakan reformulasi yang lengkap dari UUSPN sebelumnya dan dari kedua pendapat para
pakar pendidikan di atas. Jadi dalam makalah ini, pengertian pendidikan akan mengacu
kepada UUSPN yang telah direvisi tersebut.

 Pengertian Nilai

Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para filosop dan ahli pendidikan nilai
berkaitan dengan pengertian Nilai. Di bawah ini dikemukakan beberapa definisi tentang
nilai:

1. A value is an idea –a concept- abaout what some one think is important in life
(Fraenkel, 1977:60).
2. Nilai adalah tuntutan mengenai apa yang baik, benar dan adil (Djahiri, 1089:36).
5
3. Nilai ialah yang berguna bagi kehidupan manusia jasmani dan rohani
(Darmodiharjo, 1986:36).
4. Secara garis besar nilai dibagi dalam dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values
of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai
yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara kita
memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah
kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas,
kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu
dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan.
Yang termasuk pada kelompok nilai-nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya,
hormat, cinta, kasih penulisng, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah
hati (Linda, 1995:28-29). Nilai-nilai itu semua telah diajarkan pada anak-anak di
sekolah dasar sebab nilai-nilai tersebut menjadi pokok-pokok bahasan dalam
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan juga Agama. Jadi, sebenarnya
perilaku-perilaku yang diinginkan dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-
hari generasi muda bangsa ini telah cukup tertampung dalam pokok-pokok bahasan
dalam pendidikan nilai yang sekarang berlangsung. Persoalannya ialah bagaimana
cara mengajarkannya agar mereka terbiasa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
dimaksud.
Rumusan definisi Nilai nampaknya dipengaruhi oleh sudut pandang para tokoh,
namun yang jelas bahwa Nilai itu ada dan dimiliki oleh setiap orang baik disadari
atau tidak. Nilai merupakan standar untuk mempertimbangkan dan memilih prilaku
apa yang pantas dan tidak pantas, apa yang baik atau tidak baik untuk dilakukan.
Sebagai standar, Nilai membantu seseorang menentukan apakah ia suka terhadap
sesuatu atau tidak. Dan ketika suatu objek, dilihat dari sudut pandang Nilai sudah
baik, atau diyakini baik, maka musti ada upaya untuk membumikannya melalui
pendidikan, yang namanya Pendidikan Nilai. Pendidikan Nilai telah menjadi bagian
integral proses pendidikan, sejak diakuinya proses pendidikan informal menjadi
bagian sistem pendidikan kita. Oleh karena itu berbagai usaha telah dilakukan
untuk menjelaskan peran yang seharusnya dimainkan “Nilai”tersebut dalam sistem
pendidikan masyarakat. Namun upaya-upaya tersebut baru terlihat secara sungguh-

6
sungguh pada abad ke-20, dimana Pendidikan Nilai telah dipelajari sebagai suatu
“disiplin”, tidak lebih dari setengah abad setelah itu muncul berbagai literatur dan
penelitian empiris yang mengkaji serius bidang ini. Dalam berbagai literatur, istilah
Pendidikan Nilai dan Pendidikan Moral sering digunakan untuk kepentingan yang
sama, hal ini didasari karena eratnya hubungan antara kedua bidang pendidikan
tersebut. Karena itu, Pendidikan Nilai dipandang sebagai pendidikan yang
mempertimbangkan obyek dari sudut moral dan sudut pandang non moral, yang
meliputi estetika yaitu menilai obyek dari sudut pandang keindahan dan selera
pribadi, dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan antar pribadi
[Hakam, 2008:5]
 Pengertian Budi Pekerti
Secara etimologi budi pekerti terdiri dari dua unsur kata, yaitu budi dan pekerti.
Budi dalam bahasa sangsekerta berarti kesadaran, budi, pengertian, pikiran dan
kecerdasan. Kata pekerti berarti aktualisasi, penampilan, pelaksanaan atau perilaku.
Dengan demikian budi pekerti berarti kesadaran yang ditampilkan oleh seseorang
dalam berprilaku. Pengertian budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa
Inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa
pengertian antara lain: adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. Namun pengertian
budi pekerti secara hakiki adalah perilaku (Zuriah, 2007:17). Sementara itu menurut
draft kurikulum berbasis kompetensi (2001), budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku
manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melauli norma
agama, norma hokum, tata krama, sopan santun, norma budaya dan adat istiadat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) istilah budi pekerti diartikan sebagai
tingkah laku, perangai, akhlak dan watak. Budi pekerti dalam bahasa Arab disebut
dengan akhlak, dalam kosa kata latin dikenal dengan istilah etika dan dalam bahasa
Inggris disebtu ethics. Senada dengan itu Balitbang Dikbud (1995) menjelaskan
bahwa budi pekerti secara konsepsional adalah budi yang dipekertikan
(dioperasionalkan, diaktualisasikan atau dilaksanakan) dalam kehidupan sehari-hari
dalam kehidupan pribadi, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.
Budi pekerti secara operasional merupakan suatu prilaku positif yang dilakukan
melalui kebiasaan. Artinya seseorang diajarkan sesuatu yang baik mulai dari masa

7
kecil sampai dewasa melalui latihan-latihan, misalnya cara berpakaian, cara
berbicara, cara menyapa dan menghormati orang lain, cara bersikap menghadapi
tamu, cara makan dan minum, cara masuk dan keluar rumah dan sebagainya.
Berdasarkan pengertian dalam KBBI (1998) di atas, budi pekerti diartikan dengan
akhlak. Ada dua pendekatan untuk mendefenisikan akhlak, yaitu pendekatan
linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan). Akhlak berasal
dari bahasa arab yakni khuluqun yang menurut bahasa diartikan: budi pekerti,
perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi
persesuaian denga perkataan khalakun yang berarti kejadian, serta erat hubungan
dengan khaliq yang berarti pencipta dan makhluk yang berarti diciptakan. Perumusan
pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik
antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk. Sedangkan
secara terminologi akhlak suatu keinginan yang ada di dalam jiwa yang akan
dilakukan dengan perbuatan tanpa intervensi akal/pikiran. Menurut Al Ghazali
akhlak adalah sifat yang melekat dalam jiwa seseorang yang menjadikan ia dengan
mudah tanpa banyak pertimbangan lagi. Sedangkan sebagaian ulama yang lain
mengatakan akhlak itu adalah suatu sifat yang tertanam didalam jiwa seseorang dan
sifat itu akan timbul disetiap ia bertindak tanpa merasa sulit (timbul dengan mudah)
karena sudah menjadi budaya sehari-hari Defenisi akhlak secara substansi tampak
saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam
perbuatan akhlak, yaitu :
- Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa
seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.
- Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan
tanpa pemikiran. Ini berarti bahwa saat melakuakan sesuatu
perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang
ingatan dan gila
- Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri
orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
Perbuatan akhlak adalah perbutan yang dilakukan atas dasar kemauan,
Pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Bahwa ilmu akhlak adalah

8
ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia yang dapat dinilai
baik atau buruk.
- Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan
sesunggunya, bukan main-main atau karena bersandiwara
- Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak

yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena keikhlasan semata-

mata karena Allah, bukan karena dipuji orang atau karena ingin

mendapatkan suatu pujian.

 Pengertian Keluarga
Keluarga adalah sebuah kelompok sosial yang dicirikan oleh persamaan tempat
tinggal, kerjasama ekonomi dan prokreasi. Kelompok sosial ini terdiri dari laki-laki
dan perempuan dewasa dengan satu anak atau lebih, baik itu anak kandung atau anak
adopsi (Peter Murdock, 1949). Pengertian-pengertian lainnya sebagai berikut:
Keluarga (bahasa) berasal dari dua struktur kata, yakni kata kula dan warga. Kula
berarti abdi atau hamba. Warga berarti anggota. (Hidayat Y.,2008: 31)
Keluarga adalah sanak saudara yang bertalian darah karena faktor keturunan yang
dihasilkan atas dasar perkawinan. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1980: 471)
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu orang
tua (keluarga) mempunyai peranan yang dominan dalam pengembangan kesadaran
beragama anak. (Yusuf LN, 2008: 41)
Keluarga adalah unit terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu,
anak-anak dan kerabat lainnya. (Jurnal PAI- Ta’lim Vol. 6 N0. 1-2008)
Keluarga adalah bentuk ikatan rumah tangga dalam menempuh sebuah kehidupan
masa depan yang lebih baik. (Majalah Assalaam No. 18/ Jumadil Awal 1428 H)
Dalam Bahasa Arab Keluarga disebut dengan asyirah, ‘ailah, usrah, ahillah dan
sulalah yang memiliki makna yang sama dengan pengertian keluarga dalam bahasa
Indonesia yaitu semua pihak yang mempunyai hubungan darah dan atau keturunan.
9
Menurut Amini (107: 2006), keluarga adalah orang-orang yang secara terus menerus
atau sering tinggal bersama si anak, seperti ayah, ibu, kakek, nenek, saudara laki-laki
dan saudara perempuan dan bahkan pembantu rumah tangga, diantara mereka
disebabkan mempunyai tanggung jawab menjaga dan memelihara si anak dan yang
menyebabkan si anak terlahir ke dunia, mempunyai peranan yang sangat penting dan
kewajiban yang lebih besar bagi pendidikan si anak. Menjadi ayah dan ibu tidak
hanya cukup dengan melahirkan anak, kedua orang tua dikatakan memiliki
kelayakan menjadi ayah dan ibu manakala mereka bersungguh-sungguh dalam
mendidik anak mereka. Islam menganggap pendidikan sebagai salah satu hak anak,
yang jika kedua orang tua melalaikannya berarti mereka telah menzalimi anaknya
dan kelak pada hari kiamat mereka dimintai pertanggung jawabannya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan keluarga
adalah kesatuan unsur terkecil yang terdiri dari bapak, ibu dan beberapa anak.
Masing-masing unsur tersebut mempunyai peranan penting dalam membina dan
menegakkan keluarga, sehingga bila salah satu unsur tersebut hilang maka keluarga
tersebut akan guncang atau kurang seimbang. Keluarga mempunyai peranan penting
dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat Islam maupun non-Islam.
Karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana dia
mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan
paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupannya
(usia prasekolah), sebab pada masa tersebut apa yang ditanamkan pada diri anak
akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sesudahnya. Dari
sini, keluarga mempunyai peranan besar dalam pembangunan masyarakat.
Pengertian Pendidikan Budi Pekerti dalam Keluarga Pendidikan budi pekerti sering
juga diasosiasikan dengan tata krama yang berisikan kebiasaan sopan santun yang
disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia. Tata krama terdiri atas kata
tata dan krama. Tata berarti adat, norma, aturan. Krama sopan santun, kelakukan,
tindakan perbuatan. Dengan demikian tata krama berarti adat sopan santun yang
menjadi bagian dari kehidupan manusia. Adapun pengertian pendidikan budi pekerti
menurut draft kurikulum berbasis kompetensi (2001) dapat ditinjau secara
konsepsional dan operasional.

10
 Pengertian Pendidikan Budi Pekerti secara Konsepsional Usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur
dalam segenap peranannya sekarang dan masa yang akan datang. Upaya
pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, dan perilaku peserta didik
agar mereka mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras,
seimbang (lahir batin, material spiritual, dan individual social).
Upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi seutuhnya yang
berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran, dan
latihan serta keteladanan.
 Pengertian secara Operasional
Pendidikan budi pekerti secara operasional adalah upaya untuk membekali peserta
didik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan selama pertumbuhan dan
perkembangan dirinya sebagai bekal masa depannya, agar memiliki hati nurani yang
bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban
terhadap Tuhan dan sesama makhluk. Pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan
makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya
adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga
masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau
bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh
budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari Pendidikan Budi
Pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni
pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri,
dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan budi pekerti dalam keluarga adalah usaha sadar yang dilakukan oleh
keluarga untuk menjadikan angota-anggota keluarga sebagai manusia atau pribadi-
pribadi yang memiliki kepribadian yang utuh, bertingkah laku baik dan berakhlak
mulia. Sehingga menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara
yang baik.

11
B. Peran dan Fungsi Keluarga dalam Pendidikan Nilai Budi Pekerti

Dalam perspektif pendidikan, terdapat tiga lembaga utama yang sangat berpengaruh
dalam perkembangan kepribadian seorang anak yaitu lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah dan lingkungan masyarakat, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Tripusat
Pendidikan. Juga dikenal istilah pendidikan formal, informal, dan non-formal. Pendidikan
formal biasanya sangat terbatas dalam memberikan pendidikan nilai budi pekerti. Hal ini
disebabkan oleh masalah formalitas hubungan antara guru dan siswa. Pendidikan non formal
dalam perkembangannya saat ini tampaknya juga sangat sulit memberikan perhatian besar
pada pendidikan nilai. Hal ini berhubungan dengan proses tranfornmasi budaya yang sedang
terjadi dalam masyarakat kita (Moedjanto, Rahmanto, dan J. Sudarminto, 1992:141-142).
Dalam GBHN (Tap. MPR No. IV/MPR/1978) ditegaskan bahwa “pendidikan berlangsung
seumur hidup dan dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat”.
Oleh karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat
dan pemerintah (Zakiah Darajat, 1992). Lembaga keluarga merupakan tempat pertama untuk
anak menerima pendidikan dan pembinaan. Meskipun diakui bahwa sekolah mengkhususkan
diri untuk kegiatan pendidikan, namun sekolah tidak mulai dari “ruang hampa” (Noer Aly,
2000). Sekolah menerima anak setelah melalui berbagai pengalaman dan sikap serta
memperoleh banyak pola tingkah laku dan keterampilan yang diperolehnya dari lembaga
keluarga.
Dalam hubungannya dengan perkembangan seseorang, keluarga merupakan tempat pertama
dan utama dalam perkembangan seseorang. Dikatakan tempat pertama karena seseorang
pertama kali belajar bersosialisasi dan berkomunikasi dalam lingkungan keluarga (Kaswanti
Purwo, 1990:101-103). Sejak masih dalam kandungan, kelahiran, masih bayi, masa kanak-
kanak, remaja, samapai masa dewasa, seseoranng tentu berinteraksi secara intensif dengan
keluarga. Interaksi dengan keluarga baru mulai terbagi ketika seseorang telah mengikatkan
diri dengan orang lain dalam suatu perkawinan. Itu saja hubungan keluarga pasti tidak
terputus seratus persen. Dikatakan menjadi tempat utama karena pola komunikasi dan tatanan
nilai dalam suatu keluarga memberikan pengaruh sangat besar terhadap perilaku seorang anak
(Gordon,1984; 6). Misalnya saja keluarga yang harmonis dan demokratis. Nilai keharmonisan
dan demokratis yang dimiliki keluarga itu tentu diwarisi oleh anak-anaknya. Dalam bahasa

12
Jawa ada peribahasa yang sangat sesuai dengan hal itu yaitu “Kacang mongso ninggali
lanjaran”. Artinya, perilaku anak kurang lebih sama dengan perilaku orangtuanya.
Karena keluarga menduduki posisi sentral dalam perkembangan awal anak, banyak ahli
memberikan perhatian pada masalah hubungan harmonis orangtua dan anak. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya kasus ketidakharmonisan hubungan antara orangtua dan anak
padahal dalam konteks perkembangan anak, orangtua berperan sangat besar (Gordon,1984 :
1-9).
Dalam konteks konseling terhadap para remaja di SMU diketahui bahwa kasus-kasus
yang berhubungan dengan masalah budi pekerti anak biasanya dapat dilacak dari latar
belakang keluarganya. Misalnya saja anak yang mempunyai penyimpangan pergaulan
biasanya latar belakang ketidakharmonisan keluarga. Atau ada anak yang kecanduan narkoba
karena kurangnya kasih sayang dari orangtua mereka.
Pihak yang masih dapat diharapkan adalah pendidikan informal yang terjadi dalam
keluarga. Pendidikan dalam keluarga sebenarnya menjadi sangat penting dalam konteks
pendidikan nilai budi pekerti, karena keluarga merupakan tempat pertama bagi seseorang
untuk berinteraksi dan memperoleh dasar-dasar budi pekerti yang baik (Ambroise, 1987: 28).
Proses pendidikan dalam keluarga terjadi secara wajar melalui tranformasi nilai ini terjadi
secara perlahan-lahan tetapi sistematis. Hal ini berhubungan dengan hakikat nilai yang bukan
pertama-tama merupakan kebiasaan- kebiasaan yang mengarah pada kebaikan.
Yang menjadi permasalahan saat ini adalah bagaimana keluarga berperan dalam
memberikan pendidikan budi pekerti pada anak didik. Hal ini tentu tidak mudah mengingat
kondisi keluarga di negara kita sangat bervariasi. Secara umum kondisi keluarga di Indonesia
dapat dikelompokkan ke dalam tiga variasi. Pertama, keluarga harmonis, yaitu keluarga yang
tidak memiliki masalah yang begitu berarti baik dari segi masalah hubungan antarpribadi
maupun masalah finansial. Kedua, keluarga bermasalah, yaitu keluarga yang memiliki
masalah, baik masalah hubungan antar pribadi atau masalah finansial. Ketiga, keluarga gagal,
yaitu keluarga yang mengalami kegagalna dalam membangun keluarga sehinmgga keluarga
menjadi terpecah belah.
Dalam kehidupan manusia, keperluan dan hak kewajiban, perasaan dan keinginan adalah
hak yang komplek. Pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari keluarga sangat
mendukung pertumbuhan dan perkembangan diri seseorang, dan akan binasalah pergaulan

13
seseorang bila orang tua tidak menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Secara sosiologis
keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk menciptakan suatu masyarakat yang aman,
tenteram, bahagia dan sejahtera, yang semua itu harus dijalankan oleh keluarga sebagai
lembaga sosial terkecil. Dalam buku Keluarga Muslim dalam Masyarakat Moderen,
dijelaskan bahwa “Berdasarkan pendekatan budaya, keluarga sekurangnya mempunyai tujuh
fungsi, yaitu, fungsi biologis, edukatif, religius, proyektif, sosialisasi, rekreatif dan
ekonomi”.7 Keluarga sebagai kesatuan hidup bersama, menurut ST. Vembriarto, mempunyai
7 fungsi yang ada hubungannya dengan kehidupan si anak, yaitu:
a. Fungsi biologik; yaitu keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak; secara biologis
anak berasal dari orang tuanya. Mula-mula dari dua manusia, seorang pria dan wanita
yang hidup bersama dalam ikatan nikah, kemudian berkembang dengan lahirnya anak-
anaknya sebagai generasi penerus atau dengan kata lain kelanjutan dari identitas keluarga.
b. Fungsi afeksi; yaitu keluarga merupakan tempat terjadinya hubungan sosial yang penuh
dengan kemesraan dan afeksi (penuh kasih sayang dan rasa aman).
c. Fungsi sosialisasi; yaitu fungsi keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui
interaksi sosial dalam keluarga anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap,
keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan
kepribadiannya.
d. Fungsi pendidikan; yaitu keluarga sejak dahulu merupakan institusi pendidikan. Dahulu
keluarga merupakan satu-satunya institusi untuk mempersiapkan anak agar dapat hidup
secara sosial dan ekonomi di masyarakat. Sekarangpun keluarga dikenal sebagai
lingkungan pendidikan yang pertama dan utama dalam mengembangkan dasar
kepribadian anak. Selain itu keluarga/orang tua menurut hasil penelitian psikologi
berfungsi sebagai faktor pemberi pengaruh utama bagi motivasi belajar anak yang
pengaruhnya begitu mendalam pada setiap langkah perkembangan anak yang dapat
bertahan hingga ke perguruan tinggi.
e. Fungsi rekreasi; yaitu keluarga merupakan tempat/medan rekreasi bagi anggotanya untuk
memperoleh afeksi, ketenangan dan kegembiraan.
f. Fungsi keagamaan; yaitu keuarga merupakan pusat pendidikan, upacara dan ibadah agama
bagi para anggotanya, disamping peran yang dilakukan institusi agama. Fungsi ini penting
artinya bagi penanaman jiwa agama pada si anak; sayangnya sekarang ini fungsi

14
keagamaan ini mengalami kemunduran akibat pengaruh sekularisasi. Hal ini sejalan
dengan Hadist Nabi SAW yang mengingatkan para orang tua: “Setiap anak dilahirkan
secara fitrah, orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”.
g. Fungsi perlindungan; yaitu keluarga berfungsi memelihara, merawat dan melindungi si
anak baik fisik maupun sosialnya. Fungsi ini oleh keluarga sekarang tidak dilakukan
sendiri tetapi banyak dilakukan oleh badanbadan sosial seperti tempat perawatan bagi
anak-anak cacat tubuh mental, anak yatim piatu, anak-anak nakal dan perusahaan asuransi.
Keluarga diwajibkan untuk berusaha agar setiap anggotanya dapat terlindung dari
gangguan-gangguan seperti gangguan udara dengan berusaha menyediakan rumah,
gangguan penyakit dengan berusaha menyediakan obat-obatan dan gangguan bahaya
dengan berusaha menyediakan senjata, pagar/tembok dan lain-lain. Menurut Ahmadi (89:
1998), ia menambahkan satu fungsi keluarga selain ketujuh fungsi di atas yaitu fungsi
ekonomi. Fungsi ekonomi adalah keluarga berusaha menyelenggarakan kebutuhan
manusia yang pokok, diantaranya kebutuhan makan dan minum, kebutuhan pakaian untuk
menutup tubuhnya dan kebutuhan tempat tinggal. Berhubung dengan fungsi
penyelenggaraan kebutuhan. pokok ini maka orang tua diwajibkan untuk berusaha keras
agar supaya setiap anggota keluarga dapat cukup makan dan minum, cukup pakaian serta
tempat tinggal. Dari berbagai fungsi keluarga yang telah diuraikan di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa setiap orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar di dalam
menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Karena sangat berpengaruh sekali kepada anak
apabila ia tidak menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga, dalam rangka:
Memelihara dan membesarkan anaknya. Melindungi dan menjamin keselamatan, baik
jasmani maupun rohani, dari berbagai gangguan penyakit dan dari penyelewengan
kehidupan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafat hidup dan agama yang dianutnya.
Memberi pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk
memiliki pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.
Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan
hidup muslim.
A. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti dalam Keluarga
Secara ekplisit, penulis belum menemukan tujuan Pendidikan Budi Pekerti dalam
Keluarga. Namun berdasarkan pada literatur-literatur yang telah dibaca ada beberapa

15
tujuan yang bisa dikemukakan sebagai berikut: Membentuk pribadi anak, supaya menjadi
manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Dalam literature
Islam disebutkan bahwa tujuan pendidikan tersebut dalam keluarga adalah membentuk
keluarga yang sakinah mawaddah warohmah, yang anggota keluarganya bahagia dunia
dan akhirat serta terhindar dari siksaan api neraka. Sebagaimana firman Allah: “Hai
orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka”
B. Metode dan Pendekatan

Metode dan pendekatan seringkali digunakan secara bergantian, bahkan keduanya


seringkali dikaburkan atau disamakan dalam penggunaannya. Keduanya sebenarnya
memiliki sedikit perbedaan yang bisa dijadikan untuk memberikan penegasan bahwa
kedua istilah tersebut memang berbeda. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
karangan W.J.S. Poerwadarminta edisi III (2007: 275) pendekatan memiliki arti hal
(perbuatan, usaha) mendekati atau mendekatkan. Sedangkan menurut kamus bahasa
Inggris arti pendekatan adalah jalan untuk melakukan sesuatu (John M. Echols, 2002:
35). Dari dua arti tersebut dapat dipahami bahwa pendekatan setidaknya mengandung
unsur sebagai suatu kegiatan yang meliputi: proses perjalanan waktu, upaya untuk
mencapai sesuatu, dan dapat pula memiliki ciri sebagai sebuah jalan untuk melakukan
sesuatu.Terkait dengan hal tersebut di atas, tepat kiranya sebagai pendidik ataupun orang
tua memahami bahwa untuk menyampaikan sesuatu pesan pendidikan diperlukan
pemahaman tentang bagaimana agar pesan itu dapat sampai dengan baik dan diterima
dengan sempurna oleh anak didik. Untuk mencapai ketersampaian pesan kepada anak
didik tentunya seorang pendidik atau orang tua harus memiliki atau pun memilih
keterampilan untuk menggunakan pendekatan yang sesuai dengan pola pikir dan
perkembangan psikologi anak. Ketepatan atau kesesuaian memilih pendekatan akan
berpengaruh terhadap keberhasilan dalam penanaman nilai moral untuk anak usia
dini.Sementara metode memiliki sedikit arti yang berbeda dengan pendekatan.
Metode secara etimologi berasal dari bahasa Yunani metha dan hodos. Metha berarti di
balik atau di belakang, sedangkan hodos berarti jalan. Jadi methahodos berarti disebalik
jalan (Dwi Siswoyo dkk, 2005 : 82). Untuk saat ini metode diartikan sebagai tata cara.
Pendekatan lebih menekankan pada proses berjalannya upaya untuk menyampaikan

16
sesuatu, maka metode memiliki makna sebagai suatu cara kerja yang bersistem, yang
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Substansi perbedaan dari kedua istilah tersebut sangat tipis, yaitu hanya terletak pada cara
kerjanya yang bersistem, yang berarti bahwa upaya itu merupakan suatu rangkaian yang
teratur dan telah diperhitungkan serta teruji kehandalannya (Otib S. Hidayat, 2006: 45)

Di bawah ini akan dikemukakan beberapa teori dalam penyampaian materi


pendidikan budi pekerti: Teori Perkembangan Kognitif Piaget Perkembangan kognitif ini
berkaitan erat dengan perkembangan moral seseorang. Piaget membagi perkembangan
kognitif seseorang dalam empat tahap, yaitu sensori motor, praoperasional, operasional
konkret, dan operasional formal. Tahap Sensori motor terjadi pada umur sekitar 0-2
tahun. Pada tahap ini anak dicirikan dengan tindakannya yang suka meniru dan bertindak
secara refleks. Anak dalam tahap ini hanya memikirkan apa yang terjadi sekarang. Anak
akan meniru apa yang diperbuat orang dewasa. Oleh karena itu, model penanaman nilai
dilakukan dengan cara menirukan, dan orang dewasa sebagai teladan yang ditirukan.
Tahap Praoperasional yang terjadi pada umur 2-7 tahun, anak mulai menggunakan simbol
dan bahasa. Dengan penggunaan bahasa, anak mulai dapat memikirkan yang tidak terjadi
sekarang, tetapi yang sudah lalu. Dengan adanya bahasa maka ia dapat mengungkapkan
sesuatu hal lebih luas dari pada yang dapat dijamah, yang sekarang dilihatnya. Dalam hal
sifat pribadi, anak pada tahap ini masih egosentris, berpikir pada diri sendiri. Penanaman
nilai mulai dapat menggunakan bahasa, dengan bicara dan sedikit penjelasan. Tahap
operasional konkret, terjadi umur 7-11 tahun, anak sudah mulai berpikir transformasi
reversible (dapat dipertukarkan). Dia dapat mengerti adanya perpindahan benda mulai
dapat membuat klasifikasi, namun dasarnya pada hal yang konkret. Anak sudah dapat
mengerti persoalan sebab-akibat. Oleh karena itu, dalam penanaman nilai budi pekerti
pun sudah dapat dikenalkan suatu tindakan dengan akibat yang baik dan tidak baik.

 Tahap operasional formal, umur 11 tahun ke atas, anak sudah dapat berpikir formal-
abstrak. Ia dapat berpikir secara deduktif, induktif, dan hipotesis. Ia tidak membatasi
berpikir pada yang sekarang, tetapi dapat berpikir tentang yang akan dating, sesuatu
yang diandaikan. Anak sudah dapat diajak menyadari apa yang dibuatnya dengan

17
alasannya. Segi rasionalitas tindakan sudah diajarkan. Pada tahap ini dalam
penanaman nilai, anak sudah dapat diajak berdiskusi untuk menemukan nilai yang
baik dan tidak baik.

 Tahap Perkembangan Moral Kohlberg Lawrence Kohlbelg seorang pakar dan


praktisi dalam pendidikan moral mendasarkan pandangannya dari penelitian yang
dilakukan bertahap terhadap sekelompok anak selama 12 tahun. Dari penelitian ini
dapat dikatakan secara singkat bahwa perkembangan moral manusia terjadi dalam
tahapan yang bergerak maju dan tarafnya semakin meningkat/tinggi. Kohlberg
membagi perkembangan moral seseorang dalam tiga tingkat, yaitu tingkat
prakonvensional, tingkat konvensional,dan tingkat pascakonvensional. Dari ketiga
tingkat tersebut Kohlberg membagi enam tahap yaitu sebagai berikut: Orientasi pada
hukuman dan ketaatan Tahap ini penekanannya pada akibat fisik suatu perbuatan
menentukan baik dan buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari
akibat tersebut. Anak menghindari hukuman lebih dikarenakan rasa takut, bukan
karena rasa hormat.

 Tahap orientasi hedonis (Kepuasan individu) Perbuatan yang benar adalah perbuatan
yang memuaskan kebutuhan individu sendiri,tetapi juga kadang mulai memerhatikan
kebutuhan orang lain. Hubungan lebih menekankan unsure timbal balik dan
kewajaran.
Orientasi anak manis Pada tahap ini anak memenuhi harapan keluarga dan
lingkungan sosialnya yang di anggap bernilai pada diriya sendiri, sudah ada loyalitas.
Unsur pujian menjadi penting dalam tahap ini karena yang ditangkap anak adalah
orang dipuji karena berlaku baik. Perilaku yang baik adalah perilaku yang
menyenangkan atau yang membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka.
Berdasarkan dua teori pakar di atas, maka pendidikan budi pekerti harus disesuaikan
dengan tingkat perkembangan pribadi anak. Dalam hal ini bisa dikategorikan dalam
beberapa tahap perkembangan sebagai berikut:

18
Masa usia balita (bayi di bawah lima tahun) Metode yang paling cocok dalam masa
ini adalah metode keteladanan dan sedikit penjelasan. Maksudnya kegiatan yang
dilakukan oleh orangtua yang dapat dijadikan model bagi anak. Dalam hal ini
orangtua berperan langsung sebagai contoh atau teladan bagi anak. Segala sikap dan
tingkah laku orangtua, baik di rumah atau di masyarakat hendaknya selalu
menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik, misalnya cara makan, cara minum,
cara berpakaian, bertutur kata dengan baik dan sebagainya. Usia 5-7 tahun (usia anak
TK) Adapun metode dalam penanaman nilai moral kepada anak usia ini sangatlah
bervariasi, di antaranya bercerita, bernyanyi, bermain, bersajak dan karya wisata.

 Bercerita
Bercerita dapat dijadikan metode untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat (Hidayat, 2005:12). Dalam cerita atau dongeng dapat ditanamkan
berbagai macam nilai moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya.
Kita mungkin masih ingat pada masa kecil dulu tidak segan-segannya orang tua
selalu mengantarkan tidur anak-anaknya dengan cerita atau dongeng. Tidaklah
mudah untuk dapat menggunakan metode bercerita ini. Dalam bercerita orangtua
harus menerapkan beberapa hal, agar apa yang dipesankan dalam cerita itu dapat
sampai kepada anak didik. Beberapa hal yang dapat digunakan untuk memilih
cerita dengan fokus moral, di antaranya: a. Pilih cerita yang mengandung nilai baik
dan buruk yang jelas, b. Pastikan bahwa nilai baik dan buruk itu berada pada batas
jangkauan kehidupan anak, c. Hindari cerita yang “memeras” perasaan anak,
menakut-nakuti secara fisik (Tadzkiroatun Musfiroh, 2005 : 27-28). Dalam
bercerita orangtua juga dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi
keterbatasan anak yang belum mampu berpikir secara abstrak. Alat peraga yang
dapat digunakan antara lain, boneka, tanaman, benda-benda tiruan, dan lain-lain.
Selain itu orangtua juga bisa memanfaatkan kemampuan olah vokal yang
dimiliknya untuk membuat cerita itu lebih hidup, sehingga lebih menarik perhatian
anak. Adapun teknik-teknik bercerita yang dapat dilakukan diantaranya : a.

19
membaca langsung dari buku cerita atau dongeng, b. Menggunakan ilustrasi dari
buku, c. Menggunakan papan flannel, d. Menggunakan media boneka, e.
Menggunakan media audio visual, f. Anak bermain beran atau sosiodrama. (Dwi
Siswoyo dkk, 2005: 87).
 Bernyanyi
Pendekatan penerapan metode bernyanyi adalah suatu pendekatan
pembelajaran secara nyata yang mampu membuat anak senang dan bergembira.
Anak diarahkan pada situasi dan kondisi psikis untuk membangun jiwa yang
bahagia, senang menikmati keindahan, mengembangkan rasa melalui ungkapan
kata dan nada, serta ritmik yang menjadikan suasana pembelajaran menjadi lebih
menyenangkan. Pesan-pesan pendidikan berupa nilai dan moral yang dikenalkan
kepada anak tentunya tidak mudah untuk diterima dan dipahami secara baik. Anak
tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. Anak merupakan pribadi yang
memiliki keunikan tersendiri. Pola pikir dan kedewasaan seorang anak dalam
menentukan sikap dan perilakunya juga masih jauh dibandingkan dengan orang
dewasa. Anak tidak cocok hanya dikenalkan tentang nilai dan moral melalui
ceramah atau tanya jawab saja. Oleh karena itu bernyanyi merupakan salah satu
metode penamanan nilai moral yang tepat untuk diberikan kepada anak usia dini.
Bernyanyi jika digunakan sebagai salah satu metode dalam penanaman moral dapat
dilakukan melalui penyisipan makna pada syair atau kalimat-kalimat yang ada
dalam lagu tersebut. Lagu yang baik untuk kalangan anak TK harus memperhatikan
kriteria sebagai berikut: a. Syair/kalimatnya tidak terlalu panjang, b. Mudah dihafal
oleh anak, c. Ada misi pendidikan, d. Sesuai dengan karakter dan dunia anak, e.
Nada yang diajarkan mudah dikuasai anak (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 28).
 Bersajak
Sajak diartikan sebagai persesuaian bunyi suku kata dalam syair, pantun, dan
sebagainya terutama pada bagian akhir suku kata (Poerwadarminta, 2007: 1008).
Pendekatan pembelajaran melalui kegiatan membaca sajak merupakan salah satu
kegiatan yang akan menimbulkan rasa senang, gembira, dan bahagia pada diri anak.
Secara psikologis anak pada usia ini sangat haus dengan dorongan rasa ingin tahu,
ingin mencoba segala sesuatu, dan ingin melakukan sesuatu yang belum pernah

20
dialami atau dilakukannya. Melalui metode sajak orangtua bisa menanamkan nilai-
nilai moral kepada anak. Sajak ini merupakan metode yang juga membuat anak
merasa senang, gembira dan bahagia. Melalui sajak anak dapat dibawa ke dalam
suasana indah, halus, dan menghargai arti sebuah seni. Di samping itu anak juga
bisa dibawa untuk menghargai makna dari untaian kalimat yang ada dalam sajak
itu. Secara nilai moral, melalui sajak anak akan memiliki kemampuan untuk
menghargai perasaan, karya serta keberanian untuk mengungkap sesuatu melalui
sajak sederhana (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.29)
 Karya wisata
Karya wisata merupakan salah satu metode pengajaran dimana anak mengamati
secara langsung dunia sesuai dengan kenyataan yang ada, misalnya hewan,
manusia, tumbuhan dan benda lainnya. Dengan karya wisata anak akan
mendapatkan ilmu dari pengalamannya sendiri dan sekaligus anak dapat
menggeneralisasi berdasarkan sudut pandang mereka sendiri. Berkaryawisata
mempunyai arti penting bagi perkembangan anak karena dapat membangkitkan
minat anak pada sesuatu hal, dan memperluas perolehan informasi. Metode ini juga
dapat memperluas lingkup program kegiatan belajar anak Taman Kanak-kanak
yang tidak mungkin dapat dihadirkan di kelas. Melalui metode karya wisata ada
beberapa manfaat yang dapat diperoleh anak. Pertama, bagi anak karya wisata dapat
dipergunakan untuk merangsang minat mereka terhadap sesuatu, memperluas
informasi yang telah diperoleh di kelas, memberikan pengalaman mengenai
kenyataan yang ada, dan dapat menambah wawasan anak. Informasi-informasi yang
didapatkan anak melalui karya wiasata dapat pula dijadikan sebagai batu loncatan
untuk melakukan kegiatan yang lain dalam proses pembelajaran. Kedua, karya
wisata dapat menumbuhkan minat tentang sesuatu hal, seperti untuk
mengembangkan minat tentang dunia hewan maka anak dapat dibawa ke kebun
binatang. Mereka mendapat kesempatan untuk mengamati tingkah laku binatang.
Minat tersebut menimbulkan dorongan untuk memperoleh informasi lebih lanjut
seperti tentang kehidupannya, asalnya, makannya, cara berkembang biaknya, cara
mengasuh anaknya, dan lain-lain.Ketiga, karya wisata kaya akan nilai pendidikan,
karena itu melalui kegiatan ini dapat meningkatkan pengembangan kemampuan

21
sosial, sikap, dan nilai-nilai kemasyarakatan pada anak. Apabila dirancang dengan
baik kegiatan karya wisata dapat membantu mengembangkan aspek perkembangan
sosial anak, misalnya kemampuan dalam menggalang kerja sama dalam kegiatan
kelompok. Keempat, karya wisata dapat juga mengembangkan nilai-nilai
kemasyarakatan, seperti: sikap mencintai lingkungan kehidupan manusia, hewan,
tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Karya wisata membantu anak memperoleh
pemahaman penuh tentang kehidupan manusia dengan bermacam perkerjaan,
kegiatan yang menghasilkan suatu karya atau jasa. Metode karya wisata bertujuan
untuk mengembangkan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak yang sesuai
dengan kebutuhannya. Misalnya pengembangan aspek kognitif, bahasa, kreativitas,
emosi, kehidupan bermasyarakat, dan penghargaan pada karya atau jasa orang lain.
Tujuan berkarya wisata ini perlu dihubungkan dengan tema-tema yang sesuai
dengan pengembangan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak. Tema yang
sesuai adalah tema: binatang, pekerjaan, kehidupan kota atau desa, pesisir, dan
pegunungan.

22
BAB III
PEMBAHASAN
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN NILAI BUDI PEKERTI DALAM
KELUARGA

A. Implementasi Pendidikan Anak Dalam Keluarga

Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan nilai budi pekerti secara esensial sama dengan
pendidikan akhlak. Untuk itu, dalam bab ini penulis ingin mengemukakan pendidikan anak
dalam keluarga menurut pendekatan agama, khususnya agama Islam. Pendidikan nilai budi
pekerti/akhlak dalam keluarga terjadi pada masa pemilihan pasangan hidup, pembinaan
keluarga, pada masa kehamilan, pada masa kelahiran, pada masa anak-anak, dan pada masa
remaja. Berikut penjelasannya:

1. Pemilihan Pasangan Hidup (Suami/Istri)


Perhatian kepada anak dimulai pada masa sebelum kelahirannya, dengan memilih isteri
yang shalehah Rasulullah SAW memberikan nasehat dan pelajaran kepada orang yang
hendak berkeluarga dengan bersabda: "Dapatkan wanita yang beragama, (jika tidak)
niscaya engkau merugi" (HR.Al-Bukhari dan Muslim) Begitu pula bagi wanita,
hendaknya memilih suami yang sesuai dari orang-orang yang datang melamarnya.

23
Hendaknya mendahulukan laki-laki yang beragama dan berakhlak. Rasulullah
memberikan pengarahan kepada para wali dengan bersabda : "Bila datang kepadamu
orang yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka kawikanlah. Jika tidak kamu
lakukan, nisacayaterjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar"
Muslim atau Muslimah dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi
membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang
yang hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini
dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan kepada
pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan
menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-
anaknya demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan
bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari
itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah
tangga kelak. Lalu bagaimanakah supaya kita selamat dalam memilih pasangan hidup
untuk pendamping kita selama-lamanya? Apakah kriteria-kriteria yang disyariatkan oleh
Islam dalam memilih calon istri atau suami?
a. Kriteria Memilih Calon Istri
Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya:
1. Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik
karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai
istri dan ibu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : Dari
Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau
bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan
yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Dalam hadits di atas dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan
harta, keturunan, bahkan kecantikan sekalipun. Demikian pula Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu … .” (QS. Al Baqarah : 221)

24
Sehubungan dengan kriteria memilih calon istri berdasarkan akhlaknya, Allah
berfirman : “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-
laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang
baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula) … .” (QS. An Nur : 26) Seorang wanita yang
memiliki ilmu agama tentulah akan berusaha dengan ilmu tersebut agar menjadi
wanita yang shalihah dan taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita yang
shalihah akan dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-
Nya : “Maka wanita-wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara dirinya, oleh karena itu Allah memelihara mereka.” (QS. An Nisa’ :
34) Sedang wanita shalihah bagi seorang laki-laki adalah sebaik-baik perhiasan
dunia. “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita
shalihah.” (HR. Muslim)
2. Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda: Dari Anas bin Malik,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “kawinilah perempuan
penyayang dan banyak anak” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Penyayang berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan,
dengan dia mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki
berkeinginan untuk menikahinya. Sedang yang banyak anak adalah perempuan
yang banyak melahirkan anak. Dalam memilih wanita yang banyak melahirkan
anak ada dua hal yang perlu diketahui :
a. Kesehatan fisik dan penyakit-penyakit yang menghalangi dari kehamilan.
Untuk mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada para spesialis. Oleh
karena itu seorang wanita yang mempunyai kesehatan yang baik dan fisik
yang kuat biasanya mampu melahirkan banyak anak, disamping dapat
memikul beban rumah tangga juga dapat menunaikan kewajiban mendidik
anak serta menjalankan tugas sebagai istri secara sempurna.
b. Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah
sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak
maka biasanya wanita itu pun akan seperti itu.

25
3. Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis terutama bagi pemuda yang
belum pernah nikah.
Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang
agung, di antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal-hal yang
akan menyusahkan kehidupannya, menjerumuskan ke dalam berbagai
perselisihan, dan menyebarkan polusi kesulitan dan permusuhan. Pada waktu
yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri. Sebab gadis itu akan
memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang pertama
kali melindungi, menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda,
kadangkala dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang
sesungguhnya karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang
pertama dan suami yang kedua. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis : Dari Jabir, dia berkata,
saya telah menikah maka kemudian saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam dan bersabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Apakah kamu sudah
menikah ?” Jabir berkata, ya sudah. Bersabda Rasulullah : “Perawan atau janda?”
Maka saya menjawab, janda. Rasulullah bersabda : “Maka mengapa kamu tidak
menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain
denganmu.”
4. Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan.
Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit-
penyakit yang menular atau cacat secara hereditas. Sehingga anak tidak tumbuh
besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-
penyakit nenek moyangnya. Di samping itu juga untuk memperluas pertalian
kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial.
b. Kriteria Memilih Calon Suami
1. Islam.
Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih
calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita
selamat dunia dan akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
:“ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-

26
wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221).
2. Berilmu dan Baik Akhlaknya.
Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka
Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila kamu sekalian
didatangi oleh seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka
kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi
fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi).
Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada
dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan
tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang
yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan
mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui.” (QS. An Nur : 32)
Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai
ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang
bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga
kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat
menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan
menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak,
menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah tangga
dengan tenaga dan nafkah. Jika dia merasa ada kekurangan pada diri si istri yang
dia tidak sukai, maka dia segera mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam yaitu :Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Jangan membenci seorang Mukmin

27
(laki-laki) pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti
ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim) Sehubungan dengan
memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al
Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki-laki : “Kawinkanlah
puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya
maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka dia tidak akan
mendzaliminya.” Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah
satunya mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya
kepada orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya.

3. Memperhatikan Anak Ketika Sebelum Kelahiran dan Ketika Mengandung


Termasuk memperhatikan anak sebelum lahir, mengikuti tuntunan Rasulullah
dalam kehidupan rumah tangga kita. Rasulullah memerintahkan kepada kita: "Jika
seseorang diantara kamu hendak menggauli isterinya, membaca: "Dengan nama
Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa
yang Engkau karuniakan kepada kami". Maka andaikata ditakdirkan keduanya
mempunyai anak, niscaya tidak ada syaitan yang dapat mencelakakannya".
Sebagaimana Islam memberikan perhatian kepada anak sebelum kejadiannya,
seperti dikemukakan tadi, Islam pun memberikan perhatian besar kepada anak
ketika masih menjadi janin dalam kandungan ibunya. Islam mensyariatkan kepada
ibu hamil agar tidak berpuasa pada bulan Ramadhan untuk kepentingan janin
yang dikandungnya. Sabda Rasulullah : "Sesungguhnya Allah membebaskan
separuh shalat bagi orang yang bepergian, dan (membebaskan) puasa bagi orang
yang bepergian, wanita menyusui dan wanita hamil" (Hadits riwayat Abu Dawud,
At Tirmidzi dan An Nasa'i. Kata Al Albani dalam Takhrij al Misykat: "Isnad
hadits inijayyid' ) Sang ibu hendaklah berdo'a untuk bayinya dan memohon
kepada Allah agar dijadikan anak yang shaleh dan baik, bermanfaat bagi kedua
orangtua dan seluruh kaum muslimin. Karena termasuk do'a yang dikabulkan
adalah do'a orangtua untuk anaknya.
4. Memperhatikan Anak Setelah Melahirkan
Setelah kelahiran anak, dianjurkan bagi orangtua atau wali dan orang di sekitamya
melakukan hal-hal berikut:

28
1. Menyampaikan kabar gembira dan ucapan selamat atas kelahiran.
Begitu melahirkan, sampaikanlah kabar gembira ini kepada keluarga dan
sanak famili, sehingga semua akan bersuka cita dengan berita gembira ini.
Firman Allah 'Azza Wa Jalla tentang kisah Nabi Ibrahim 'Alaihissalam
bersama malaikat: "Dan isterinya berdiri (di balik tirai lalu dia tersenyum.
Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq
dan dari lshaq (akan lahir puteranya) Ya 'qub. " (Surah Hud : 71).
Adapun tahni'ah (ucapan selamat), tidak ada nash khusus dari Rasul dalam hal
ini, kecuali apa yang disampaikan Aisyah Radhiyallahu 'Anha: "Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasalam apabila dihadapkan kepada beliau anak-anak bayi,
maka beliau mendo'akan keberkahan bagi mereka dan mengolesi langit-langit
mulutnya (dengan korma atau madu)" (Hadits riwayat Muslim dan Abu
Dawud).
2. Menyerukan adzan di telinga bayi.
Abu Rafi' Radhiyallahu 'Anhu menuturkan: "Aku melihat Rasulullah
memperdengarkan adzan pada telinga Hasan bin Ali ketika dilahirkan
Fatimah" (Hadits riwayat Abu Dawud dan AtTirmidzi).
Hikmahnya, Wallahu A'lam, supaya adzan yang berisi pengagungan Allah dan
dua kalimat syahadat itu merupakan suara yang pertama kali masuk ke telinga
bayi. Juga sebagai perisai bagi anak, karena adzan berpengaruh untuk
mengusir dan menjauhkan syaitan dari bayi yang baru lahir, yang ia senantiasa
berupaya untuk mengganggu dan mencelakakannya. Ini sesuai dengan
pemyataan hadits: "Jika diserukan adzan untuk shalat, syaitan lari terbirit-birit
dengan mengeluarkan kentut sampai tidak mendengar seruan adzan" (Ibid)
3. Tahnik (Mengolesi langit-langit mulut).
Termasuk sunnah yang seyogianya dilakukan pada saat menerima kelahiran
bayi adalah tahnik, yaitu melembutkan sebutir korma dengan dikunyah atau
menghaluskannya dengan cara yang sesuai lalu dioleskan di langit-langit
mulut bayi. Caranya,dengan menaruh sebagian korma yang sudah lembut di
ujung jari lain dimasukkan ke dalam mulut bayi dan digerakkan dengan
lembut ke kanan dan ke kiri sampai merata. Jika tidak ada korma, maka

29
diolesi dengan sesuatu yang manis(seperti madu atau gula). Abu Musa
menuturkan: "Ketika aku dikaruniai seorang anak laki-laki, aku datang kepada
Nabi, maka beliau menamainya Ibrahim, mentahniknya dengan korma dan
mendo'akan keberkahan baginya, kemudian menyerahkan kepadaku". Tahnik
mempunyai pengaruh kesehatan sebagaimana dikatakan para dokter. Dr.
Faruq Masahil dalam tulisan beliau yang dimuat majalah Al Ummah, Qatar,
edisi 50, menyebutkan: "Tahnik dengan ukuran apapun merupakan mu'jizat
Nabi dalam bidang kedokteran selama empat belas abad, agar umat manusia
mengenal tujuan dan hikmah di baliknya. Para dokter telah membuktikan
bahwa semua anak kecil (terutama yang baru lahir dan menyusu) terancam
kematian, kalau terjadi salah satu dari dua hal:
a. Jika kekurangan jumlah gula dalam darah (karena kelaparan).
b. Jika suhu badannya menurun ketika terkena udara dingin di
sekelilingnya."'
4. Memberi nama.
Termasuk hak seorang anak terhadap orangtua adalah memberi nama yang
baik. Diriwayatkan dari Wahb Al Khats'ami bahwa Rasulullah bersabda:
"Pakailah nama nabi-nabi, dan nama yang amat disukai Allah Ta'ala yaitu
Abdullah dan Abdurrahman, sedang nama yang paling manis yaitu Harits dan
Hammam, dan nama yang sangat jelek yaitu Harb dan Murrah" (HR.Abu
Daud An Nasa'i) Pemberian nama merupakan hak bapak.Tetapi boleh baginya
menyerahkan hal itu kepada ibu. Boleh juga diserahkan kepada kakek,
nenek,atau selain mereka. Rasulullah merasa optimis dengan nama-nama yang
baik. Disebutkan Ibnul Qayim dalam Tuhfaful Wadttd bi Ahkami Maulud,
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam tatkala melihat Suhail bin Amr
datang pada hari Perjanjian Hudaibiyah beliau bersabda: "Semoga mudah
urusanmu" Dalam suatu perjalanan beliau mendapatkan dua buah gunung, lain
beliau bertanya tentang namanya. Ketika diberitahu namanya Makhez dan
Fadhih, beliaupun berbelok arah dan tidak melaluinya.( Ibnu Qayim Al
Jauziyah, Tuhfatul Wadud, hal. 41).

30
5. Aqiqah.
Yaitu kambing yang disembelih untuk bayi pada hari ketujuh dari
kelahirannya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Salman bin Ammar Adh
Dhabbi, katanya: Rasulullah bersabda: "Setiap anak membawa aqiqah, maka
sembelihlah untuknya dan jauhkanlah gangguan darinya" (HR. Al Bukhari.)
Dari Aisyah Radhiyallahu 'Anha,bahwaRasulullah bersabda: "Untuk anak
laki-laki dua ekor kambing yang sebanding, sedang untuk anak perempuan
seekor kambing" (HR. Ahmad dan Turmudzi). Aqiqah merupakah sunnah
yang dianjurkan. Demikian menurut pendapat yang kuat dari para ulama.
Adapun waktu penyembelihannya yaitu hari ketujuh dari kelahiran. Namun,
jika tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh boleh dilaksanakan kapan saja,
Wallahu A'lam. Ketentuan kambing yang bisa untuk aqiqah sama dengan
yang ditentukan untuk kurban. Dari jenis domba berumur tidak kurang dari 6
bulan, sedang dari jenis kambing kacang berumur tidak kurang dari 1 tahun,
dan harus bebas dari cacat.
6. Mencukur rambut bayi dan bersedekah perak seberat timbangannya.
Hal ini mempunyai banyak faedah, antara lain: mencukur rambut bayi dapat
memperkuat kepala, membuka pori-pori di samping memperkuat indera
penglihatan, pendengaran dan penciuman. (Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul
Auladfil Islam, juz 1.) Bersedekah perak seberat timbangan rambutnya pun
mempunyai faedah yang jelas. Diriwayatkan dari Ja'far bin Muhammad, dari
bapaknya, katanya: "Fatimah Radhiyalllahu 'anha menimbang rambut Hasan,
Husein, Zainab dan Ummu Kaltsum; lalu ia mengeluarkan sedekah berupa
perak seberat timbangannya (HR. Imam Malik dalam Al Muwaththa')
7. Khitan.
Yaitu memotong kulup atau bagian kulit sekitar kepala zakar pada anak laki-
laki, atau bagian kulit yang menonjol di atas pintu vagina pada anak
perempuan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu bahwa
Rasulullah bersabda: "Fitrah itu lima: khitan, mencukur rambut kemaluan,

31
memendekkan kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak" (HR. Al-
bukhari, Muslim) Khitan wajib hukumnya bagi kaum pria, dan rnustahab
(dianjurkar) bagi kaum wanita.WallahuA'lam. Inilah beberapa etika terpenting
yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh orangtua atau pada saat-saat
pertama dari kelahiran anak.
8. Pendidikan Anak Usia Enam Tahun
Periode pertama dalam kehidupan anak (usia enam tahun pertama) merupakan
periode yang amat kritis dan paling penting. Periode ini mempunyai pengaruh
yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadinya. Apapun yang terekam
dalam benak anak pada periede ini, nanti akan tampak pengaruh-pengaruhnya
dengannyata pada kepribadiannya ketika menjadi dewasa. (Aisyah
Abdurrahman Al Jalal, Al Muatstsirat as Salbiyah.) Karena itu, para pendidik
perlu memberikan banyak perhatian pada pendidikan anak dalam periode ini.
Aspek-aspek yang wajib diperhatikan oleh kedua orangtua dapat kami
ringkaskan sebagai berikut:
1. Memberikan kasih sayang yang diperlukan anak dari pihak kedua
orangtua, terutama ibu.
Ini perlu sekali, agar anak belajar mencintai orang lain. Jika anak tidak
merasakan cintakasih ini,maka akan tumbuh mencintai dirinya sendiri saja
dan membenci orang disekitamya. "Seorang ibu yang muslimah harus
menyadari bahwa tidak ada suatu apapun yang mesti menghalanginya
untuk memberikan kepada anak kebutuhan alaminya berupa kasih sayang
dan perlindungan. Dia akan merusak seluruh eksistensi anak, jika tidak
memberikan haknya dalam perasaan-perasaan ini, yang dikaruniakan
Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya dalam diri ibu, yang memancar
dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhan anak." (Muhammad
Quthub, Manhaiut Tarbiyah Al Islamiyah, juz 2.). Maka sang ibu
hendaklah senantiasa memperhatikan hal ini dan tidak sibuk dengan
kegiatan karir di luar rumah, perselisihan dengan suami atau kesibukan
lainnya.

32
2. Membiasakan anak berdisiplin mulai dari bulan-bulan pertama dari
awal kehidupannya.
Penulis kira, ini bukan sesuatu yang tidak mungkin. Telah terbukti bahwa
membiasakan anak untuk menyusu dan buang hajat pada waktu-waktu
tertentu dan tetap, sesuatu yang mungkin meskipun melalui usaha yang
berulang kali sehingga motorik tubuh akan terbiasa dan terlatih dengan hal
ini. Kedisiplinan akan tumbuh dan bertambah sesuai dengan pertumbuhan
anak, sehingga mampu untuk mengontrol tuntutan dan kebutuhannya pada
masa mendatang.
3. Hendaklah kedua orangtua menjadi teladan yang baik bagi anak dari
permulaan kehidupannya
Yaitu dengan menetapi manhaj Islam dalam perilaku mereka secara umum
dan dalam pergaulannya dengan anak secara khusus. Jangan mengira
karena anak masih kecil dan tidak mengerti apa yang tejadi di sekitarnya,
sehingga kedua orangtua melakukan tindakan-tindakan yang salah di
hadapannya. Ini mempunyai pengaruh yang besar sekali pada pribadi
anak. "Karena kemampuan anak untuk menangkap, dengan sadar atau
tidak, adalah besar sekali. Terkadang melebihi apa yang kita duga.
Sementara kita melihatnya sebagai makhluk kecil yang tidak tahu dan
tidak mengerti. Memang, sekalipun ia tidak mengetahui apa yang
dilihatnya, itu semua berpengaruh baginya. Sebab, di sana ada dua alat
yang sangat peka sekali dalam diri anak yaitu alat penangkap dan alat
peniru, meski kesadarannya mungkin terlambat sedikit atau banyak. Akan
tetapi hal ini tidak dapat merubah sesuatu sedikitpun. Anak akan
menangkap secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran puma, dan akan
meniru secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran purna, segala yang dilihat
atau didengar di sekitamya." (Ibid.)
4. Anak dibiasakan dengan etiket umum yang mesti dilakukan dalam
pergaulannya. Antara lain: (Silahkan lihat Ahmad Izuddin Al
Bayanuni, MinhajAt TarbiyahAsh Shalihah.)·

33
Dibiasakan mengambil, memberi, makan dan minum dengan tangan
kanan. Jika makan dengan tangan kiri, diperingatkan dan dipindahkan
makanannya ke tangan kanannya secara halus. Dibiasakan mendahulukan
bagian kanan dalam berpakaian. Ketika mengenakan kain, baju, atau
lainnya memulai dari kanan; dan ketika melepas pakaiannya memulai dari
kiri. Dilarang tidur tertelungkup dandibiasakan tidur dengan miring ke
kanan. Dihindarkan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek, agar
anak tumbuh dengan kesadaran menutup aurat dan malu membukanya.
Dicegah menghisap jari dan menggigit kukunya. Dibiasakan sederhana
dalam makan dan minum, dan dijauhkan dari sikap rakus. Dilarang
bermain dengan hidungnya. Dibiasakan membaca Bismillah ketika hendak
makan. Dibiasakan untuk mengambil makanan yang terdekat dan tidak
memulai makan sebelum orang lain. Tidak memandang dengan tajam
kepada makanan maupun kepada orang yang makan. Dibiasakan tidak
makan dengan tergesa-gesa dan supaya mengunyah makanan dengan baik.
Dibiasakan memakan makanan yang ada dan tidak mengingini yang tidak
ada. Dibiasakan kebersihan mulut denganmenggunakan siwak atau sikat
gigi setelah makan, sebelum tidur, dan sehabis bangun tidur. Dididik
untuk mendahulukan orang lain dalam makanan atau permainan yang
disenangi, dengan dibiasakan agar menghormati saudara-saudaranya,
sanak familinya yang masih kecil, dan anak-anak tetangga jika mereka
melihatnya sedang menikmati sesuatu makanan atau permainan.
Dibiasakan mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengulanginya
berkali-kali setiap hari. Dibiasakan membaca "Alhamdulillah" jika bersin,
dan mengatakan "Yarhamukallah" kepada orang yang bersin jika
membaca "Alhamdulillah". Supaya menahan mulut dan menutupnya jika
menguap, dan jangan sampai bersuara. Dibiasakan berterima kasih jika
mendapat suatu kebaikan, sekalipun hanya sedikit. Tidak memanggil ibu
dan bapak dengan namanya, tetapi dibiasakan memanggil dengan kata-
kata: Ummi (Ibu), dan Abi (Bapak). Ketika berjalan jangan mendahului
kedua orangtua atau siapa yang lebih tua darinya, dan tidak memasuki

34
tempat lebih dahulu dari keduanya untuk menghormati mereka.
Dibiasakan bejalan kaki pada trotoar, bukan di tengah jalan.Tidak
membuang sampah dijalanan, bahkan menjauhkan kotoran darinya.
Mengucapkan salam dengan sopan kepada orang yang dijumpainya
dengan mengatakan "Assalamu'Alaikum" serta membalas salam orang
yang mengucapkannya. Diajari kata-kata yang benar dan dibiasakan
dengan bahasa yang baik. Dibiasakan menuruti perintah orangtua atau
siapa saja yang lebih besar darinya, jika disuruh sesuatu yang
diperbolehkan. Bila membantah diperingatkan supaya kembali kepada
kebenaran dengan suka rela, jika memungkinkan. Tapi kalau tidak,
dipaksa untuk menerima kebenaran, karena hal ini lebih baik daripada
tetap membantah dan membandel. Hendaknya kedua orangtua
mengucapkan terima kasih kepada anak jika menuruti perintah dan
menjauhi larangan. Bisa juga sekali-kali memberikan hadiah yang
disenangi berupa makanan, mainan atau diajak jalan-jalan.
Tidak dilarang bermain selama masih aman, seperti bermain dengan pasir
dan permainan yang diperbolehkan, sekalipun menyebabkan bajunya
kotor. Karena permainan pada periode ini penting sekali untuk
pembentukan jasmani dan akal anak. Ditanamkan kepada anak agar
senang pada alat permainan yang dibolehkan seperti bola, mobil mobilan,
miniatur pesawat terbang, dan lainlainnya. Dan ditanamkan kepadanya
agar membenci alat permainan yang mempunyai bentuk terlarang seperti
manusia dan hewan. Dibiasakan menghormati milik orang lain, dengan
tidak mengambil permainan ataupun makanan orang lain, sekalipun
permainan atau makanan saudaranya sendiri.
5. Pendidikan Anak Setelah Usia Enam Tahun Pertama
Pada periode ini anak menjadi lebih siap untuk belajar secara teratur. Ia
mau menerima pengarahan lebih banyak, dan lebih bisa menyesuaikan diri
dengan teman-teman sepermainannya. Dapat kita katakan, pada periode
ini anak lebih mengerti dan lebih semangat untuk belajar dan memperoleh
ketrampilan-ketrampilan, karenanya ia bisa diarahkan secara langsung.

35
Oleh sebab itu, masa ini termasuk masa yang paling penting dalam
pendidikan dan pengarahan anak. Kita, Insya Allah, akan membicarakan
tentang aspek-aspek terpenting yang perlu diperhatikan oleh para pendidik
pada periode ini. Yaitu:
1. Pengenalan Allah dengan cara yang sederhana.
Pada periode ini dikenalkan kepada anak tentang Allah 'Azza Wajalla
dengan cara yang sesuai dengan pengertian dan tingkat pemikirannya.
Diajarkan kepadanya Bahwa Allah Esa, tiada sekutu bagi-Nya.
Bahwa Dialah Pencipta segala sesuatu. Pencipta langit, bumi, manusia,
hewan, pohon-pohonan, sungai dan lain-lainnya. Pendidik dapat
memanfaatkan situasi tertentu untuk bertanya kepada anak, misalnya
ketika bejalan-jalan di taman atau padang, tentang siapakah Pencipta
air, sungai,bumi,pepohonan dan lain-lainnya, untuk menggugah
perhatiannya kepada keagungan Allah. Cinta kepada Allah, dengan
ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang dikaruniakan Allah
untuknya dan untuk keluarganya. Misalnya, anak ditanya: Siapakah
yang memberimu pendengaran, penglihatan dan akal? Siapakah yang
memberimu kekuatan dan kemampuan untuk bergerak? Siapakah yang
memberi rizki dan makanan untukmu dan keluargamu? Demikianlah,
ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang nyata dan dianjurkan agar
cinta dan syukur kepada Allah atas nikmat yang banyak ini. Metode ini
disebutkan dalam Al Qur'an, dalam banyak ayat Allah menggugah
minat para hamba-Nya agar memperhatikan segala nikmat yang
dikaruniakan-Nya, seperti firman-Nya: "Tidakkah kamu perhatian
sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kepentinganmu apa
yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempumakan untukmu
nikmatnya lahir dan batin..."(Surah Luqman : 20).
2. Pengajaran sebagian hukum yang jelas dan tentang halal-haram.
Diajarkan kepada anak menutup aurat, berwudhu, hokum-hukum,
thaharah (bersuci) dan pelaksanaan shalat. Juga dilarang dari hal-hal
yang haram, dusta, adu domba, mencuri dan melihat kepada yang

36
diharamkan Allah. Pokoknya, disuruh menetapi syariat Allah
sebagaimana orang dewasa dan dicegah dari apa yang dilarang
sebagaimana orang dewasa, sehingga anak akan tumbuh demikian dan
menjadi terbiasa. Karena bila semenjak kecil anak dibiasakan dengan
sesuatu, maka kalau sudah dewasa akan menjadi kebiasaannya. Agar
diupayakan pula pengajaran ilmu pengetahuan kepada anak,
sebagaimana kata Sufyan Al Tsauri: "Seorang bapak harus
menanamkan ilmu pada anaknya, karena dia penanggung jawabnya."
(Muhammad Hasan Musa, Nuzharul Fudhala' Tahdzib Siar A'lamin
Nubala :Juz 1.)
3. Pengajaran baca Al Qur'an.
Al Qur'an adalah jalan lurus yang tak mengandung suatu kebatilan
apapun. Maka amat baik jika anak dibiasakan membaca Al Qu~an
dengan benar, dan diupayakan semaksimalnya agar mengbafal Al
Qur'an atau sebagian besar darinya dengan diberi dorongan melalui
berbagaicara. Karena itu, kedua orangtua bendaklah berusaha agar
putera puterinya masuk pada salah satu sekoiah tahfizh Al Qur'an;
kalau tidak bisa, diusahakan masuk pada salah satu halaqah tahfizh.
Diriwayatkan Abu Dawud dari Mu'adz bin Anas bahwa Nabi
shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Barang siapa membaca Al-
Quran dan mengamalkan kandungan isinya, niscaya Allah pada hari
kiamat mengenakan kepada keda orang tuanya sebuah mahkota yang
cahayanya lebih indah daripada cahaya matahari di rumah-rumah
dunia. Maka apa pendapatmu tentang orang yang mengamalkan hal
ini". Para salaf dahulu pun sangat memperhatikan pendidikan tahfizh
Al Qur'an bagi anak-anak mereka. Syaikh Yasin bin Yusuf Al
Marakisyi menceritakan kepada kita tentang imam AnNawawi,
Rahimahullah, katanya: "Aku melihat beliau ketika masih berumur 10
tahun di Nawa. Para anak kecil tidak mau bermain dengannya dan
iapun berlari dari mereka seraya menangis, kemudian ia membaca Al
Qur'an. Maka tertanamlah dalam hatiku rasa cinta kepadanya. Ketika

37
itu bapaknya menugasinya menjaga toko, tetapi ia tidak mau bejualan
dan menyibukkan diri dengan AlQur'an. Maka aku datangi gurunya
dan berpesan kepadanya bahwa anak ini diharapkan akan menjadi
orang yang paling alim dan zuhud pada zamannya serta bermanfaat
bagi umat manusia. Ia pun berkata kepadaku: Tukang ramalkah Anda?
Jawabku: Tidak, tetapi Allah-lah yang membuatku berbicara tentang
hal ini. Bapak guru itu kemudian menceritakan kepada orangtuanya,
sehingga memperhatikan beliau dengan sungguh-sungguh sampai
dapat khatam Al Qur'an ketika menginjak dewasa."
4. Pengajaran hak-hak kedua orangtua,
Diajarkan kepada anak untuk bersikap hormat, taat dan berbuat baik
kepada kedua orangtua, sehingga terdidik dan terbiasa demikian. Anak
sering bersikap durhaka dan melanggar hak-hak orangtua disebabkan
karena kurangnya perhatian orangtua dalam mendidik anak dan tidak
membiasakannya berbuat kebaikan sejak usia dini. Firman Allah
Ta'ala : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
beribadah kepada selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara
keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesanyangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil." (Surah Al-Isra': 23-24). Diriwayatkan dari Abu
HurairahRadhiyallahu 'Anhu bahwa Nabi bersabda: "Terhinalah,
terhinalah, dan terhinalah seseorang yang mendapatkan salah seorang
dari kedua orang tuanya atau kedua-duanya berusia lanjut, tetapi tidak
dapat masuk surga".

38
5. Pengenalan tokoh-tokoh teladan yang agung dalam Islam.
Tokoh teladan kita yang utama yaitu Rasulullah Shallallahualaihi
wasalam, kemudian para sahabat yang mulia Radhiallahu 'Anhum dan
pengikut mereka dengan baik yang menjadi contoh terindah dalam
segala aspek kehidupan. Maka dikenalkan kepada anak tentang
mereka, diajarkan sejarah dan kisah mereka supaya meneladani
perbuatan agung mereka dan mencontoh sifat baik mereka seperti
keberanian, keprajuritan, kejujuran, kesabaran, kemuliaan, keteguhan
pada kebenaran dan sifat-sifat lainnya. Kisah atau kejadian yang
diceritakan kepada anak hendaklah sesuai dengan tingkat
pengertiannya, tidak membosankan, dan difokuskan pada penampilan
serta penjelasan aspek-aspek yang baik saja sehingga mudah diterima
oleh anak.
6. Pengajaran etiket umum.
Seperti etiket mengucapkan salam dan meminta izin, etiket berpakaian,
makan dan nninum,etiket berbicara dan bergaul dengan orang lain.
Juga diajarkan bagaimana bergaul dengan kedua orangtua, sanak
famili yang tua, kolega orangtua, guru-gurunya, kawan-kawannya dan
teman sepermainannya. Diajarkan pula mengatur kamamya sendiri,
menjaga kebersihan rumah, menyusun alat bermain, bagaimana
bermain tanpa mengganggu orang lain dan bagaimana bertingkah laku
di masjid dan disekolahan. Pegajaran berbagai hal di atas dan juga
lainnya pertamatama harus bersumber kepada Sunnah Rasulullah , lalu
peri kehidupan para salaf yang shaleh, kemudian karya tulis para pakar
dalam bidang pendidikan dan tata pergaulan.
7. Pengembangan rasa percaya diri dan tanggung jawab dalam diri
anak.
Anak-anak sekarang ini adalah pemimpin hari esok. Karena itu, harus
dipersiapkan dan dilatih mengemban tanggung jawab dan
melaksanakan tugas yang nantinya akan mereka lakukan. Hal itu bisa
direalisasikan dalam diri anak melalui pembinaan rasa percaya diri,

39
penghargaan jati dirinya, dan diberikan kepada anak kesempatan untuk
menyampaikan pendapatnya dan apa yang terbetik dalam pikirannya,
serta diberikan kepadanya dorongan agar mengerjakan urusannya
sendiri, bahkan ditugasi dengan pekejaan rumah tangga yang sesuai
untuknya. Misalnya, disuruh untuk membeli beberapa keperluan
rumah dari warung terdekat; anak perempuan diberi tugas mencuci
piring dan gelas atau mengasuh adik. Pemberian tugas kepada anak ini
bertahap sedikit demi sedikit sehingga mereka terbiasa mengemban
tanggung jawab dan melaksanakan tugas yang sesuai bagi mereka.
Termasuk pemberian tanggung jawab kepada anak, ia harus
menanggung resiko perbuatan yang dilakukannya. Maka diajarkan
kepada anak bahwa ia bertanggung jawab atas kesalahan yang
dilakukannya serta dituntut untuk Anak dalam Islam untuk
memperbaiki apa yang telah dirusaknya dan meminta maaf atas
kesalahannya. Seorang anak jika terdidik untuk percaya diri akan
mampu mengemban tanggung jawab yang besar.
6. Pendidikan Anak Pada Masa Remaja
Pada masa ini pertumbuhan jasmani anak menjadi cepat, wawasan akalnya
bertambah luas, emosinya menjadi kuat dan semakin keras, serta naluri
seksualnya pun mulaibangkit. Masa ini merupakan pendahuluan masa
baligh.Karena itu, para pendidik perlu memberikan perhatian terhadap
masalah-masalah berikut dalam menghadapi remaja:
1. Hendaknya anak, putera maupun puteri, merasa bahwa dirinya sudah
dewasa karena ia sendiri menuntut supaya diperlakukan sebagai orang
dewasa, bukan sebagai anak kecil lagi.
2. Diajarkan kepada anak hukum-hukum akilbaligh dan diceritakan
kepadanya kisah-kisah yang dapat mengembangkan dalam dirinya
sikap takwa dan menjauhkan diri dari hal yang haram.
3. Diberikan dorongan untuk ikut serta melaksanakan tugas-tugas rumah
tangga, seperti melakukan pekerjaan yang membuatnya merasa bahwa
dia sudah besar.

40
4. Berupaya mengawasi anak dan menyibukkan waktunya dengan
kegiatan yang bermanfaat serta mancarikan teman yang baik.
B. Kesalahan Pendidik dalam Mendidik Anak

Berikut ini sebagian kesalahan yang sering dilakukan oleh para pendidik. Semoga Allah
memberikan maunah (pertolongan)-Nya kepada kita untuk dapat menjauhinya dan
menunjukkan kita kepada kebenaran.
1. Ucapan pendidik tidak sesuai dengan perbuatan.
Ini merupakan kesalahan terpenting karena anak belajar dari orangtua beberapa hal. tetapi
ternyata bertentangan dengan apa yang telah diajarkannya. Tindakan ini berpengaruh
buruk terhadap mental dan perilaku anak. Allah Azza Wa Jalla mencela perbuatan ini
dengan firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang
tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa
yang tidak kamu kerjakan" (SurahAshShaff:2-3). Bagaimana anak akan belajar kejujuran
kalau ia mengetahui orang tuanya berdusta? Bagaimana anak akan belajar sifat amanah
sementara ia melihat bapaknya menipu ? Bagaimana anak akan belajar akhlak baik bila
orang sekitamya suka mengejek, berkata jelek dan berakhlak buruk?
2. Kedua orangtua tidak sepakat atas cara tertentu dalam pendidikan anak.
Kadangkala seorang anak melakukan perbuatan tertentu di hadapan kedua orangtua.
Tetapi akibatnya sang ibu memuji dan mendorong sedang sang bapak memperingatkan
dan mengancam. Anak akhimya menjadi bingung mana yang benar dan mana yang salah
di antara keduanya. Dengan pengertiannya yang masih terbatas, ia belum mampu
membedakan mana yang benar dan yang salah sehingga hal itu akan mengakibatkan anak
menjadi bimbang dan segala urusan tidak jelas baginya. Sementara, kalau kedua orangtua
mempunyai cara yang sama dan tidak memujukkan perbedaan ini, niscaya tidak terjadi
kerancuan tersebut.
3. Membiarkan anak jadi korban televisi.
Media massa mempunyai pengaruh yang besar sekali dalam perilaku dan perbuatan anak
dan media paling berbahaya adalah televisi. Hampir tidak ada rumah yang tidak
mempunyai televisi. Padahal pengaruhnya demikian luas terhadap anak maupun orang
dawasa, terhadap orang-orang berpengetahuan maupun yang terbatas pengetahuannya

41
Plomery, seorang peneliti mengatakan: "Anak pada umumnya, dan kebanyakan orang
dewasa, cenderung menerima tanpa mempertanyakan segala informasi yang tampil di
film-film dan kelihatan realistis. Mereka dapat mengingat materinya dengan cara yang
lebih baik ... maka akal pikiran mereka menelan begitu saja nilai-nilai yang rendah itu.
Banyak pendidik yang tidak menaruh perhatian bahwa anak mereka kecanduan menonton
televisi. Padahal ini sangat berpengaruh terhadap akhlak dan fithrah mereka, sampai apa
yang dinamakan dengan acara anak-anak pun penuh dengan pemikiran-pemikiran keji
yang diperoleh anak melalui acara yang ditayangkan. Banyak film kartun yang berisi
kisah cinta dan roman ... sampai diantara anjing atau binatang lainnya. Penampilan perang
tanding untuk wanita, juga mabuk-mabukan merokok, mencuri, melakukan tipu muslihat,
berdusta dan sifat-sifat lainnya yang tidak sopan... Tayangan ini semua menyerbu dunia
anak dan menodai fithrah yang suci dengan dalih acara anak-anak". Oleh karena itu anak-
anak kita harus dilindungi dari perangkat yang merusak ini. Hal ini, tak diragukan lagi,
bukan sesuatu yang mudah tetapi juga tidak mustahil, jika kita ingin menjaga akhlak
putera-puteri kita dan mempersiapkan mereka untuk mengemban misi agama dan umat.
Semoga Allah melimpahkan ma'unah-Nya kepada kita.
4. Menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak kepada pembantu atau pengasuh.
Kesalahan yang amat serius dan banyak tejadi di masyarakat kita adalah fenomena
kesibukan ibu dari peran utamanya merawat rumah dan anakanak dengan hal-hal yang
tentunya tak kalah penting dari pendidikan anak. Misalnya, sibuk dengan karir di luar
rumah, atau sering mengadakan kunjungan, menghadiri pertemuan, atau hanya karena
malas-malasan dan tidak mau menangani langsung urusan anak. Padahal ini sangat
berpengaruh terhadap kejiwaan anak dan nilai-nilai yang diserapnya Sebab, "Anak kecil
adalah orang pertama yang dirugikan dengan keluamya ibu dari rumah untuk berkarir. Ia
akan kehiLangan kasih sayang, sebab sang ibu membiarkannya dalam perawatan wanita
lain seperti pembantu, atau membawanya ke tempat pengasuhan. Dan bagaimanapun,
anak akan kehilangan kasih sayang ibu. Ini berbahaya sekali terhadap kejiwaan anak dan
masa depannya, karena anak berkembang tanpa kasih sayang. jika anak miskin kasih
sayang, ia pun akan bertindak keras terhadap para anggota masyarakatnya, akibatnya
masyarakat hidup dalam kehancuran, keretakan dan kekerasan. Teryata, orang lain tidak
menaruh perhatian untuk membina anak dan mendidiknya berakhlak mulia sebagaimana

42
yang dilakukan keluarganya. Hal ini mendatangkan mala petaka bagi anak dan
masyarakat." Terkadang pembantunya adalah orang kafir, akibatnya si anak pun
terpengaruh dengan akidah yang menyimpang atau akhlak yang rusak yang didapatkan
darinya. Maka, jika kita terpaksa mengambil pembantu, usahakanlah mendapat pembantu
muslimah yang baik dan usahakan tidak bersama anak kecuali sebentar saja dalam
keadaan terpaksa.
5. Pendidik menampakkan kelemahannya dalam mendidik anak. Ini banyak tejadi pada ibu-
ibu dan kadangkala terjadi pada bapak-bapak. Kita dapatkan, misalnya, seorang ibu
berkata: “Anak ini mengesalkan. Aku tidak sanggup. Tidak tahu, apa yang kuperbuat
dengannya”. Padahal anak mendengarkan ucapan ini maka ia pun merasa bangga dapat
mengganggu ibunya dan membandel karena dapat menunjukkan keberadaannya dengan
cara itu.
6. Berlebihan dalam memberi hukuman dan balasan.
a. Hukuman:
Hukuman adalah sesuatu yang disyariatkan dan termasuk salah satu sarana pendidikan
yang berhasil yang sesekali mungkin diperlukan pendidik. Namun ada yang sangat
berlebihan dalam menggunakan sarana ini, sehingga membuat sarana itu berbahaya
dan berakibat yang sebaliknya. Seperti kita mendengar ada orangtua yang menahan
anaknya beberapa jam dikamar yang gelap jika melakukan kesalahan; ada juga yang
mengikat anaknya jika berbuat sesuatu hal yang mengganggunya. Hukuman
bertingkat-tingkat, mulai dari pandangan yang mempunyai arti hingga hukuman
berupa pukulan. Pendidik mungkin perlu menggunakan hukuman yang lebih dari pada
sekedar pandangan yang memojokkan atau kata-kata celaan bahkan mungkin terpaksa
menggunakan hukuman berupa pukulan; namun ini merupakan penyelesaian akhir,
tidak diperlukan kecuali jika tidak ada cara lain. Ada beberapa kaidah dalam
penggunaan hukuman berupa pukulan antara lain: Tidak dipergunakan hukuman ini
kecuali jika tidak ada cara lain lagi, antara lain: Pendidik tidak baleh memukul ketika
dalam keadaan marah sekali, karena dikhawatirkan akan membahayakan anak. Tidak
memukul pada bagian-bagian yang menyakitkan, seperti: wajah, kepala dan dada.
Pukulan pada tahap-tahap pertama hukuman tidak keras dan tidak menyakitkan serta
tidak boleh lebih dari tiga kali pukulan, kecuali bila terpaksa dan tidak melebihi

43
sepuluh kali pukulan. Tidak boleh dipukul anak yang berumur di bawah sepuluh
tahun. Jika kesalahan anak baru pertama kali ia diberi kesempatan bertobat dan minta
maaf atas perbuatannya. Juga dibuat supaya ada penengah yang kelihatannya
mengusahakan pemaafan baginya setelah berjanji tidak mengulangi.
Hendaklah pendidik sendiri yang memukul anak, tidak menyerahkannya kepada salah
satu saudara atau temannya karena ini dapat menimbulkan kebarian dan
kedengkiannya terhadap anak lain yang ikut menghukumnya. Jika anak menginjak
usia dewasa dan pendidik berpendapat bahwa sepuluh kali pukulan tidak
cukupmembuat jera anak, maka pendidik boleh menambahnya.
7. Berusaha mengekang anak secara berlebihan.
Yaitu tidak diberi kesempatan bermain bercanda dan bergerak ini bertentangan dengan
tabiat anak dan bisa membahayakan kesehatannya, karena permainan penting bagi
pertumbuhan anak dengan baik. "Permainan di tempat yang bebas dan luas termasuk
faktor terpenting yang membantu pertumbuhan jasmani anak dan menjaga kesehatannya
—". Maka orangtua seyogianya tidak mencegah anak-anak yang sedang asyik bermain
pasir ketika wisata ke tepi pantai atau di tengah padang pasir. Karena itu, merupakan
waktu bersenang-senang dan bermain, bukan waktu berdisiplin. Tidak ada waktu
kebebasan bergerak bagi anak-anak kecuali dalam kesempatan wisata yang bebas seperti
ini. Maka sekali-kali mereka harus dibiarkan.
8. Mendidik anak tidak percaya diri dan merendahkan pribadinya.
Sayang ini banyak tejadi di kalangan bapak-bapak; padahal ini berpengaruh jelek terhadap
masa depan anak dan pandangannya pada kehidupan. Karena anak yang terdidik rendah
pribadi dan tidak percaya diri akan tumbuh menjadi penakut lemah dan tidak mampu
menghadapi beban dan tantangan hidup, bahkan setelah dawasa. Karena itu, seyogianya
kita mempersiapkan anakanak kita untuk dapat mekksanakan tugas-tugas dien dan dunia.
Dan hal ini tidak tercapai kecuali dengan mendidik mereka memiliki rasa percaya dan
harga diri namun tidak sombong dan takabur; serta senantiasa mengupayakan agar anak
dikenalkan kepada hal-hal yang bernilai tinggi dan dijauhkan dari hal-hal yang bernilai
rendah.

44
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Keluarga adalah pilar utama pendidikan bagi anak, karena keluarga merupakan tempat
pendidikan dan sosialisasi pertama bagi anak. Pendidikan nilai budi pekerti sangat penting
untuk diimplementasikan dalam kehidupan rumah tangga/keluarga. Dimulai dari pemilihan
pasangan hidup, memperhatikan sebelum kelahiran anak dan ketika mengandung,
memperhatikan ketika anak dilahirkan, mendidik ketika anak berusia enam tahun pertama,
mendidik saat remaja dan membimbing saat dewasa. Semua ini seyogyanya bisa diterapkan
oleh setiap keluarga Indonesia khususnya, sehingga generasi bangsa menjadi generasi yang
kuat, sehat, cerdas, dan sholeh. Namun demikian, ada beberapa hambatan dalam implementasi
pendidikan tersebut dalam keluarga. Seperti kurangnya pengetahuan orang tua tentang etika
dan akhlak yang mulia, cara-cara mendidik anak, dan membina rumah tangga. Sehingga,

45
fungsi keluarga sebagai tempat pendidikan bagi anak tidak oftimal. Walhasil, anak pun tidak
memiliki budi pekerti yang luhur.

B. Saran
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis ingin berbagi pikiran dengan pembaca khususnya
yang sudah berumah tangga, untuk memperhatikan hal berikut: Mendidik anak tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Sehingga para orang tua diharapkan mempelajari
ilmu-ilmu tentang cara-cara mendidik anak, kemudian dipraktekkan dalam kehidupan sehari-
hari. Orang tua merupakan teladan bagi anak, untuk itu berikanlah contoh tauladan yang baik
agar anak bisa melihat dan meniru perbuatan baik tersebut Untuk pemerintah, hendaknya
memperhatikan kesejahteraan setiap keluarga warga negaranya dengan cara memberi
penyuluhan, penyediaan fasilitas pendidikan, dan peluang kerja yang mudah.

DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darmo (1986) Nilai, Norma dan Moral dalam Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila, Aries Lima, Jakarta.
Djahiri Kosasih (1989), Esensi Klarifikasi Nilai-Moral-Norma Pancasila untuk Peningkatan
proses dan hasil Pengajaran Pendidikan Pancasila, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada
FPIPS IKIP Bandung.
Hakam, Kama Abdul (2008), Pendidikan Nilai, Bandung, Value Press.
Hasyim, Umar. 1985. Cara Mendidik Anak dalam Islam, Seri II. Surabaya: Bina Ilmu.
Linda, N.Eyre, Richard. 1995. Teaching Your Children Values. New York: Simon sand
Chuster.
Mulyana, Deddy. 2001 . Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Muhammad Naufal, Abu Ahmad, Langkah Mencapai Kebahagiaan Berumah Tangga,
Yogyakarta: Al Husna Press, 1994

46
Nashih Ulwan, Abdullah, Pendidikan anak dalam Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1995
______________________, Kaidah-kaidah dasar (Pendidikan anak menurut Islam), Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1992
Rohmat Mulyana. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta

47

Anda mungkin juga menyukai