Anda di halaman 1dari 25

11.

Cara Mengisi SPT Tahunan Badan 2018: Formulir SPT 1771


Menjelang batas akhir pelaporan SPT Tahunan Badan, sudah seharusnya wajib pajak badan menyiapkan SPT Tahunan
dan seluruh dokumen persyaratan pelaporan pajak.
Jika saat ini adalah pengalaman pertama Anda dalam melapor pajak badan, sudah seharusnya Anda memahami proses
pelaporan pajak dengan baik. Nah, salah satu hal penting dalam proses pelaporan SPT adalah pengisian SPT itu
sendiri.
Jika Anda adalah pengguna aplikasi SPT/DJP Online, cara mengisi SPT Tahunan Badan 2018 dapat Anda simak
langkah-langkahnya pada artikel berikut ini.
7 Langkah Mengisi SPT Tahunan Badan: Formulir SPT 1771
1. Isi Profil Wajib Pajak :
o Buka aplikasi eSPT Tahunan PPh Badan, lalu buka database WP.
o Jika database masih baru maka Anda akan diminta untuk mengisikan nomor NPWP.
o Kemudian akan muncul isian menu “Profil Wajib Pajak”, lengkapi sampai halaman ke-2.
o Setelah selesai klik “Simpan”.
2. Buat SPT :Setelah profil WP Anda tersimpan, maka akan tampil dialog box untuk login e-SPT, selanjutnya
masukan:
o username : administrator
o password : 123
Lalu buat SPT dengan cara:
o Klik “Program”
o Buat “SPT Baru”
o Pilih “Tahun Pajak” dan “Status”, pilih status normal atau pembetulan ke-0
o Klik “Buat”
Buka SPT:
o Klik “Program”, lalu pilih “Buka SPT yang Ada”
o Pilih tahun pajak
o Pilih “Buka SPT Untuk Diedit Kembali/Revisi”
o OK
3. Isikan Laporan KeuanganLangkah selanjutnya, yaitu mengisi berkas SPT fisik pada umumnya, pengisian
SPT dimulai dari bagian lampiran-lampiran, lalu dilanjutkan pada bagian induk SPT.
Lampiran pertama yang harus diisi adalah Transkrip Kutipan Elemen Laporan Keuangan. Transkrip ini berisi
ringkasan dari akun-akun laporan neraca dan laporan laba rugi.
3. Nama-nama akun telah ditentukan, bila terdapat nama akun berbeda dengan yang ada di laporan keuangan,
maka akan disesuaikan berdasarkan kategorinya, agar hasil akhirnya balance.
3. Contoh Pengisian Neraca
o Klik “SPT PPh”
o Pilih “Transkrip Kutipan Elemen Laporan Keuangan”
o Klik tab “Neraca-Aktiva” dan “Neraca-Kewajiban”
o Isilah akun-akun yang sesuai
o Jika sudah terisi semua dan balance, klik “Simpan”
4. Isikan Lampiran V dan VI
o Klik “Baru”
o Isikan data pemegang saham
o Klik “Simpan”, begitu seterusnya
o Untuk menambah daftar pengurus, klik “Baru”
o Lalu isikan data pengurus sesuai dengan akte perusahaan yang terbaru, setelah klik “Simpan”, maka
data isian akan muncul pada daftar
o Jika semua sudah diisi klik “Tutup”
6. Lampiran Khusus dan SSPPada menu SPT PPh dapat ditemukan menu lampiran khusus dan SSP, lampiran
dapat diisi ataupun tidak. Jika memang ada data yang terkait lampiran ini perlu diisi.
o Isian Induk SPT
o SPT PPh
o SPT PPh Wajib Pajak Badan
o Pada tab “Pembukuan”, isi status diaudit, nama auditor (jika ada) dan nama konsultan pajak (jika
ada), saya pilih tidak diaudit dan lainnya kosongkan saja
o Pada tab A-C, C-D, E-G saya lewati karena nihil, langsung ke tab Bag. H
o Pada bagian dengan checklist pilih yang perlu saja
o Pilih tanggal laporan
o Klik “Simpan” terlebih dulu
o Klik “Cetak”, untuk lapor SPT Badan ke KPP maka wajib cetak induk SPT dan membawa CSV
7. Buat File CSV
o Klik “SPT Tools”
o Lapor Data SPT ke KPP
o Akses direktori penyimpanan databases yang terdapat di C:Program Files (x86)DJPeSPT 1771
2010Database untuk windows 64 bit
o Klik “Tampilkan Data”
o Setelah data ditampilkan, pilih tahun pajak dan akan tampil ringkasan PPh kurang/lebih bayar
o Pilih “Create File” dan simpan file CSV di folder yang diinginkan
Setelah memiliki EFIN dan membuat file CSV, kini Anda sudah bisa memulai melakukan e-Filing.
Pengertian SSP Pajak/Surat Setoran Pajak
12. PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI
2. SUBJEK PAJAK
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak,
yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif wajib mendaftarkan diri pada
kantor Ditjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan
kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
3. Subyek Pajak Penghasilan
Yang menjadi Subyek Pajak (UU No.36 thn 2008 ttg PPh Psl 2 ayat 1) adalah :
1. a. orang pribadi
b. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Badan
3. Bentuk Usaha Tetap
4. Subyek Pajak Dalam Negeri
Yang dimaksud dengan Subyek Pajak Dalam Negeri (Ps 2 ayat 3 jo PER-43/PJ/2011) adalah :
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di
Indonesia.
2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
3. Warisan yang belum terbagi (sebagai satu kesatuan), menggantikan yang berhak.
5. Subyek Pajak Luar Negeri
Yang dimaksud dengan Subyek Pajak Luar Negeri (Pasal 2 ayat 4) adalah :
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan serta badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan serta badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
6. Bentuk Usaha Tetap
Yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap adalah :
1. Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau
2. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia.
7. Bukan Subyek Pajak Penghasilan
Yang tidak termasuk Subyek Pajak (Pasal 3) adalah :
1. Badan perwakilan negara asing.
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang
yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan
syarat
– Bukan warga negara Indonesia,
– Mereka tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut di
Indonesia, dan
– negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3. Organisasi-organisasi international yang ditetapkan dengan Kepmen Keuangan, dengan syarat :
– Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan
– tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain
memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
dengan syarat :
– Bukan warga negara Indonesia,
– tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh peng- hasilan dari Indonesia.
OBJEK PAJAK PENGHASILAN
8. OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apa pun.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, yang termasuk didalam
pengertian Objek Pajak Penghasilan:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji,
upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, premi asuransi jiwa, dan asuransi
kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain
berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan;
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. Laba usaha.
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal.
2. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada
pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan
usaha;
4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau
badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak
ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan ; dan
5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan tanda turut serta
dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya “alimentasi” atau tunjangan seumur hidup yang dibayar
secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah;
l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
m. Premi asuransi;
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
n. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
o. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
9. Penghasilan yang dikenakan Pajak bersifat Final antara lain :
a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga
simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b. Penghasilan berupa hadiah undian;
c. Penghasilan dari transaksi saham sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa dan
transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannnya yang diterima
oleh perusahaan modal ventura;
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha
real estate, dan persewaan tanah dan atau bangunan; dan
e. Penghasilan tertentu lainnya.
10. BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN
11. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan, terhadap penghasilan-penghasilan
tertentu yang diterima atau diperoleh wajib pajak Orang Pribadi tidak dikenakan Pajak Penghasilan (bukan
merupakan Objek Pajak), yaitu :
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh para penerima zakat yang berhak, sepanjang
tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat atau pengusaha
kecil yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
c. Warisan.
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan dari wajib pajak atau Pemerintah;
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwi guna, dan asuransi bea siswa;
f. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi
atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;
PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN
12. Penghasilan yang diterima Wajib Pajak dapat berupa penghasilan yang diperoleh dari hubungan kerja atau
penghasilan yang diperoleh dari usaha bebas. Pajak Penghasilan yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif Pajak Penghasilan dengan Penghasilan Kena Pajak. Penghasilan Kena Pajak merupakan
dasar perhitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak Orang Pribadi, di samping kompensasi kerugian, Penghasilan Netto-nya dikurangi terlebih
dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak
dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 Undang-undang Pajak
Penghasilan, cara menghitung Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib
Pajak luar negeri.
Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua macam cara untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak, yaitu :
1. Perhitungan dengan cara biasa;
2. Perhitungan dengan menggunakan norma perhitungan, termasuk cara perhitungan dengan mempergunakan
Norma Perhitungan Khusus yang diperuntukan bagi Wajib Pajak tertentu berdasarkan keputusan Menteri
Keuangan.
Sedangkan, Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara :
1) Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap
di Indonesia;
2) Wajib Pajak luar negeri lainnya (yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia).
13. DASAR PENGENAAN DAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
(1) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi:
1. Pegawai Tetap;
2. penerima pensiun berkala;
3. Pegawai Tidak Tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang
diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah);
4. Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang bersifat
berkesinambungan.
b. Jumlah penghasilan yang melebihi Rp450.000,00 (empat ratus lima puluh ribu rupiah) sehari, yang berlaku
bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan
atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum
melebihi Rp8.200.000,00 (delapan juta dua ratus ribu rupiah);
c. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi Bukan Pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan;
d. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan huruf c.
(2) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto.
14. PENGURANG PENGHASILAN BRUTO
Penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak, sebelum dikalikan tarif pajak dikurangi lebih dulu penghasilan
brutonya dengan pengurang yang dibolehkan, kompensasi kerugian, biaya jabatan, dan penghasilan tidak kena
pajak (PTKP).
15. PENGURANG YANG DIPERBOLEHKAN
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi :
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya
yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan
yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalty, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta terwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat labih dari 1 (satu) tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan 11 A Undang-undang Pajak Penghasilan.
c. Iuran kepada dan pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang
dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing.
f. Biaya penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia;
g. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara
kreditur dan debitur yang bersangkutan;
3) telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
4) Wajib Pajak harus menyerahkan Daftar Piutang Tidak Dapat Ditagih Kepada Direktorat Jenderal Pajak,
i. Sumbangan dalam rangka penanggulanagan bencana nasional yang ketentuannya diatur Peraturan
Pemerintah.
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
l. Sumbangan fasilitas pendirikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
16. KOMPENSASI KERUGIAN
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, apabila penghasilan bruto dari
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap setelah dilakukan pengurangan dengan pengeluaran-
pengeluaran yang diperkenankan, didapat kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan
penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut, dimulai sejak tahun pajak berikutnya
sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut (Kompensasi Vertikal).
17. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.: 101/PMK.010/2016
yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2013, sebagai berikut:
a. Rp.54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak pribadi;
b. Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp.54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami;
d. Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya,
paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap anggota keluarga.
18. BIAYA JABATAN
Khusus untuk pegawai tetap, di samping biaya-biaya yang disebutkan di atas, dalam menghitung besarnya
penghasilan neto, penghasilan brutonya dikurangi juga dengan biaya jabatan. Biaya Jabatan yaitu biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Besarnya biaya jabatan tersebut ditentukan sebesar 5%
(lima persen) dari penghasilan bruto, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah
Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan.
19. PENGELUARAN YANG TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :
a. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi;
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya yang dikeluarkan atau dibebankan
oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi
asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi atau keluarganya.
b. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
c. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa,
yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan
kenikmatan, kecuali penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan
pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang
ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan;
e. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
f. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan, dan warisan,
kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama
islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
g. Pajak Penghasilan.
Yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan.
h. Biaya dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya.
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau yang menjadi tanggungannya, pada
hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya
tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
i. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan
dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
20. TARIF PAJAK PENGHASILAN
Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, besarnya tarif pajak penghasilan
yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri adalah :
21. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 5 %
Diatas Rp 50.000.000,00 s/d
Rp.250.000.000,00 15 %
Di atas Rp.250.000.000,00 s/d Rp.500.000.000,00 25%
Di atas Rp.500.000.000,00 30%
22. Contoh penghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak Orang Pribadi :
Jumlah Penghasilan kena Pajak Rp 550.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang :
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 200.000.000,00 = Rp 30.000.000,00
25% x Rp. 250.000.000,00 = Rp. 62.500.000,00
30% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 15.000.000,00
Rp 109.500.000,00
23. CARA MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI.
24. 1. Wajib Pajak Dalam Negeri Yang Menyelenggarakan Pembukuan
Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib pajak dalam negeri yang menyelenggarakan
pembukuan dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan yang merupakan
Objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan,
dengan pengurangan-pengurangan sebagai berikut :
1. biaya-biaya yang diperkenankan termasuk kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan;
2. Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) Undang-undang Pajak Penghasilan; dan
3. Pengurangan-pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d dan huruf e Undang-
undang Pajak Penghasilan, yaitu:
a. Premi asuransi kesehatan, asuransi kesehatan, jiwa, dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh
pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
b. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan
kenikmatan berupa :
– pemberian makanan dan minuman bagi seluruh pegawai;
– penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
25. Contoh penghitungan bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan :
– Peredaran bruto Rp 600.000.000,00
– Biaya untuk mendapatkan, menagih
Dan memelihara penghasilan Rp 255.000.000,00
– Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp 345.000.000,00
– Penghasilan lainnya Rp 5.000.000,00
– Biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara
penghasilan lainnya tersebut Rp 3.000.000,00 (-)
Rp 2.000.000,00 (+)
Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 347.000.000,00
– Kompensasi kerugian Rp 2.000.000,00 (-)
– Penghasilan kena pajak
(bagi Wajib Pajak Badan) Rp 345.000.000,00
– Pengurangan berupa Penghasilan Tidak
Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang
Pribadi Rp 54.000.000,00 (-)
– Penghasilan Kena Pajak
(bagi Wajib Pajak orang pribadi) Rp 291.000.000,00
26. Contoh Penghitungan dengan Menggunakan Norma Penghitungan
Dalam hal penghasilan neto yang sebenarnya tidak dapat diketahui, maka Penghasilan Kena Pajaknya
dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan. Khusus bagi Wajib Pajak orang pribadi dikurangi
dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Contoh :
– Peredaran bruto Rp 600.000.000,00
– Penghasilan neto (menurut
Norma Penghitungan) misalnya 20% Rp 120.000.000,00
– Penghasilan neto lainnya Rp 5.000.000,00 (+)
– Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 125.000.000,00
– Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp 54.000.000,00 (-)
– Penghasilan Kena Pajak Rp 71.000.000,00
27. Contoh Penghitungan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Yang Terutang Pajak Dalam Bagian Tahun
Pajak.
Apabila kewajiban pajak subyektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya
meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.
Dapat terjadi orang pribadi menjadi Subyek Pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya
orang pribadi yang mulai menjadi Subyek Pajak pada pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan
Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun
pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian
tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan penghasilan netto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun
pajak yang disetahunkan.
Contoh :
Orang pribadi kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri adalah 3 (tiga)
bulan, dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp. 36.000.000,00 maka
perhitungan Penghasilan Kena Pajaknya adalah :
Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp. 36.000.000,00
Penghasilan setahun sebesar :
360 x Rp. 36.000.000,00 Rp. 144.000.000,00
3 x 30
Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp. 54.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp. 90.000.000,00
28. Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak
dalam bagian tahun pajak tersebut dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi
360 (tiga ratus enam puluh) kemudian dikalikan dengan pajak penghasilan yang terutang untuk 1 (satu) tahun
pajak. Untuk keperluan penghitungan pajak penghasilan tersebut, tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga
puluh) hari.
Dari contoh penghitungan diatas diketahui bahwa penghasilan kena pajaknya adalah sebesar Rp
90.000.000,00. Penghitungan pajak penghasilan yang terutang dilakukan sebagai berikut :
Pajak Penghasilan setahun :
5% X Rp 90.000.000,00 = Rp 4.500.000,00
29. Pajak Penghasilan terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan) adalah :
(3 X 30) X Rp 4.500.000,00 = Rp. 1.125.000,00
360
30. CARA MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI
Cara menghitung Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak luar negeri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap
di Indonesia;
2. Wajib Pajak luar negeri lainnya.
31. Contoh penghitungan Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha
tetap di Indonesia, cara penghitungan penghasilan kena pajaknya pada dasarnya sama dengan cara
penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak badan dalam negeri. Pelaksanaan kewajiban
perpajakan dari Wajib Pajak luar negeri tersebut dilaksanakan oleh Bentuk Usaha Tetapnya di Indonesia. Oleh
karena bentuk usaha tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan dan penghasilan kena pajaknya
dihitung dengan cara penghitungan biasa, yaitu dihitung dengan cara :
”Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh dan memperhatikan ketentuan dalam
Pasal 4 ayat (1) UU PPh dikurangi dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 9 ayat (1) huruf d dan huruf e Undang-undang Pajak
Penghasilan”.
32. Contoh :
– Peredaran bruto Rp. 400.000.000,00
– Biaya untuk menambahkan, menagih
Dan memelihara penghasilan Rp. 275.000.000,00
– Penghasilan bunga Rp. 5.000.000,00
– Penjualan langsung barang oleh kantor
pusat yang sejenis dengan barang yang
dijual bentuk usaha tetap Rp. 200.000.000,00
– Biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan Rp. 150.000.000,00 (-)
Rp. 50.000.000,00
– Penghasilan yang diterima atau diperoleh
kantor pusat yang mempunyai hubungan
efektif dengan bentuk usaha tetap Rp. 2.000.000,00 (+)
Rp. 182.000.000,00
– Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3) Rp. 7.000.000,00 (-)
– Penghasilan Kena Pajak Rp. 175.000.000,00
33. Contoh penghitungan pajak Wajib Pajak Luar Negeri Lainnya.
Undang-undang Pajak Penghasilan menentukan bahwa bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan tidak melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, kewajiban perpajakannya
dilaksanakan dengan cara pemotongan oleh pihak yang wajib melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak
Luar Negeri tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan.
Contoh 1:
Subjek Pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp 100.000.000,00 kepada Wajib Pajak luar negeri,
maka Subjek Pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua
puluh persen) dari Rp 100.000.000,00.
34. Contoh 2 :
Seorang atlit dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia, dan
kemudian merebut hadiah uang, maka atas hadiah tersebut dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebesar
20% (dua puluh persen).
35. Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian
tahun pajak dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 dan dikalikan dengan
pajak yang terutang untuk satu tahun pajak. Untuk keperluan penghitungan pajak, tiap bulan yang penuh
dihitung 30 hari. Contoh :
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp.54.816.000,00.
Pajak Penghasilan setahun :
5% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
15% x Rp. 4.816.000,00 = Rp. 722.400,00
= Rp. 3.222.400,00
Pajak Penghasilan terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)
(3 x 30) x Rp.3.222.400,00. = Rp.805.600,00
360
13.prosedur pengisian ssp pph orang pribadi
engertian SSP Pajak/Surat Setoran Pajak
SSP Pajak atau Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran pajak atau setoran pajak yang telah dilakukan
menggunakan formulir atau dengan cara lainnya ke kas negara, melalui tempat pembayaran yang ditunjuk Menteri
Keuangan seperti bank persepsi atau kantor pos persepsi.
Sebelum Modul Penerimaan Negara Generasi 2 (MPN G2) yang memungkinkan pembayaran pajak online berlaku,
wajib pajak yang ingin membayar pajak harus melakukan setor manual ke kantor bank atau kantor pos persepsi. Wajib
pajak pun harus membawa dan menyerahkan lembar SSP Pajak atau formulir Surat Setoran Pajak yang sudah diisi
kepada petugas bank atau kantor pos.
Dasar Hukum Surat Setoran Pajak
Peraturan terkait SSP berikut cara mengisi formulir Surat Setoran Pajak dapat Anda temukan dalam beberapa dasar
hukum formulir Surat Setoran Pajak berikut ini:
 PER-23/PJ/2010 tanggal 22 April 2010 Tentang Perubahan PER-38/PJ/2010 Tentang Bentuk Surat Setoran
Pajak
 PER-24/PJ/2013 tanggal 2 Juli 2013 Tentang Perubahan Kedua PER-38/PJ/2010 Tentang Bentuk Surat
Setoran Pajak
 PER-30/PJ/2015 tanggal 5 Agustus 2015 Tentang Perubahan Ketiga PER-38/PJ/2010 Tentang Bentuk Surat
Setoran Pajak
Jenis Surat Setoran Pajak
Surat Setoran Pajak dikelompokan menjadi beberapa jenis, berikut ini sejumlah di antaranya:
1. Surat Setoran Pajak Standar
Merupakan surat yang digunakan oleh wajib pajak dan berfungsi untuk melakukan penyetoran pajak yang terutang ke
kantor penerima pembayaran. Surat setoran pajak standar ini digunakan sebagai bukti pembayaran dengan bentuk,
ukuran isi sebagaimana ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak(Per-01/PJ/2006).
Surat Setoran Pajak standar diisi sesuai dengan buku petunjuk pengisian SSP yang ditetapkan pada lampiran II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. Per-01/PJ/2006.
2. Surat Setoran Pajak Khusus
Surat Setoran Pajak khusus merupakan bukti pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke KPP dengan
menggunakan mesin transaksi atau alat lain yang isinya sesuai dengan ketetapan dalam Peraturan Jenderal Pajak no
PER-01/PJ/2006
SSP khusus dicetak kantor penerima pembayaran yang telah mengadakan kerjasama monitoring pelaporan
pembayaran pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak.
3. Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak dalam Rangka Impor
Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak dalam Rangka Impor atau SSPCP merupakan SSP yang digunakan wajib pajak
khusus untuk impor.
SSPCP dibuat rangkap delapan dengan peruntukan sebagai berikut:
 Lembar 1a untuk KPBC melalui penyetor
 Lembar 1b untuk penyetor
 Lembar 2a untuk KPBC melalui KPPN
 Lembar 2b dan 2c untuk KPP melalui KPPN
 Lembar ke 3a dan 3b untuk KPP melalui penyetor
 Lembar ke 4 untuk Bank Devisa Persepsi, Bank Persepsi atau PT POS Indonesia
4. Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan PPN Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri
Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai merupakan SSP yang digunakan oleh pengusaha untuk cukai atas barang
kena cukai dan PPN hasil tembakau buatan dalam negeri.
Surat setoran ini dibuat dalam enam rangkap yaitu :
 Lembar 1a untuk KPBC melalui penyetor
 Lembar 1b untuk penyetor
 Lembar 2a untuk KPBC melalui KPPN
 Lembar 2b untuk KPP melalui KPPN
 Lembar 3 untuk KPP melalui penyetor
 Lembar ke 4 untuk bank persepsi
Cara Mengisi Formulir SSP Pajak/Surat Setoran Pajak
SSP Pajak atau formulir Surat Setoran Pajak merupakan lembaran yang berisi informasi berupa NPWP, nama wajib
pajak, alamat wajib pajak, nomor objek pajak, alamat objek pajak, kode akun pajak dan kode jenis setoran.
Selain itu terdapat juga uraian pembayaran, masa pajak, tahun pajak, nomor ketetapan dan jumlah pembayaran.
Perlahan tapi pasti, cara setor pajak manual pun ditinggalkan karena banyaknya kelemahan. Sejumlah kelemahan yang
menonjol adalah buruknya kualitas data pembayaran, serta banyaknya pembatalan transaksi yang dilakukan
perbankan.
Penyebab dibatalkannya transaksi biasanya karena kesalahan petugas teller maupun wajib pajak itu sendiri. Alasan
lain diubahnya sistem pembayaran pajak adalah karena pembayaran pajak secara manual sudah tidak lagi sesuai
dengan perkembangan teknologi informasi.
Berikut ini, panduan mudah cara mengisi Formulir Surat Setoran Pajak secara manual:
1. Isikan NPWP atau Nomor Pokok Wajib Pajak Anda.
2. Isikan nama wajib pajak.
3. Isikan alamat wajib pajak.
4. Isikan Nomor Objek Pajak, bila ada.Nomor Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya
disingkat dengan NOP adalah nomor identitas objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang diberikan
oleh DJP Pajak pada saat dilakukan pendaftaran dan/atau pendataan objek pajak PBB dan digunakan dalam
administrasi perpajakan serta sebagai sarana wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya.
5. Isikan alamat Objek Pajak Anda pada formulir Surat Setoran Pajak bila ada.
6. Isikan Kode Akun Pajak (KAP). Kode Akun Pajak adalah kode dari nama pajak yang akan Anda setorkan.
Misalnya, Kode Akun Pajak untuk PPh Pasal 21 adalah KAP 411121.
7. Isikan Kode Jenis Setoran (KJS). Kode Jenis Setoran adalah kode jenis setoran pajak yang hendak Anda
bayarkan. Misalnya Kode Jenis Setoran untuk penyetoran SPT Masa adalah 300. Lihat daftar lengkap KAP
dan KJS di sini.
8. Isikan uraian pembayaran berupa keterangan yang Anda perlu Anda tuliskan.
9. Berikan tanda silang (X) pada masa pajak atau bulan yang pajaknya hendak Anda setorkan.
10. Isikan tahun dari pajak yang hendak bayarkan pada formulir Surat Setoran Pajak Anda.
11. Isikan nomor ketetapan, bila ada denda yang hendak harus dibayarkan, yaitu STP (Surat Tagihan Pajak),
SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar) atau SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan).
12. Isikan jumlah pembayaran pajak dalam mata uang rupiah.
13. Isikan jumlah terbilangnya.
14. Terakhir, bubuhkan tanda tangan Anda beserta tanggal penyetoran pajak pada bagian bawah formulir Surat
Setoran Pajak.
Setelah selesai mengisi formulir Surat Setoran Pajak, silakan lanjutkan ke tahapan pembayaran pajak secara manual,
berikut ini:
 Menyerahkan SSP pajak yang sudah dilengkapi kepada teller bank, maupun kantor pos persepsi beserta uang
setoran sebesar nilai yang tertera dalam Surat Setoran Pajak.
 Menerima kembali SSP pajak lembar 1 dan 3 yang berisi NTPN dan NTB/NTP dan telah ditandatangani oleh
pejabat bank atau kantor pos sebagai bukti setor.
 Melaporkan bukti setor pada KPP
Lantaran banyaknya kelemahan, sejak 1 Juli 2016, pembayaran pajak menggunakan SSP pajak sudah tidak lagi
berlaku. Sebagai gantinya, pemerintah meluncurkan MPN G2 yang menggantikan SSP pajak dengan Surat Setoran
Elektronik (SSE) yang berdasarkan pada sistem billing. Sistem baru ini lebih disukai karena lebih memudahkan dan
menurunkan risiko kesalahan yang sering ditemui pada MPN Generasi 1.
14. pengisian spt tahunan ppr orang pribadi sesuai dg formulir 1770-s dan formulir 1770
Cara Mengisi SPT Tahunan Pribadi
Setiap warga negara yang bekerja atau melakukan usaha dan memiliki penghasilan di atas Pendapatan Tidak Kena
Pajak (PTKP) wajib membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku. Mereka ini disebut Wajib Pajak Orang Pribadi
(WPOP).
Setiap 1 tahun sekali, wajib melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Pribadi.
Bahkan pelaporan SPT Pajak Penghasilan Pribadi ini pun sangat mudah serta cepat dan praktis untuk
dilakukan. Pelaporan SPT PPh Orang Pribadi cukup dilakukan secara online melalui e-Filing (electronic filing).
Pelaporan SPT Pajak Pribadi ini harus disampaikan setiap tahunnya dengan batas waktu terakhir paling lambat
per 31 Maret. Nah, sebelum batas waktu pelaporan habis, segera laporkan SPT Pajak Pribadi dan hindari terkena
denda di kemudian hari.
Pilih Jenis SPT yang Sesuai dengan Status Anda

1. Jika penghasilan kurang dari Rp60 juta/tahun


Bila penghasilan Anda kurang dari Rp60 juta per tahun, maka jenis SPT yang digunakan untuk pelaporan adalah:
 1770SS untuk Pegawai/Karyawan
 1770 untuk Pegawai dengan penghasilan lain
 1770 untuk Bukan Pegawai
2. Jika penghasilan di atas Rp60 juta/tahun
Bila penghasilan Anda di atas Rp60 juta per tahun, maka jenis SPT yang digunakan untuk pelaporan adalah:
 1770S untuk Pegawai/Karyawan
 1770 untuk Pegawai dengan penghasilan lain
 1770 untuk Bukan Pegawai
Nah, kesemua jenis formulir tersebut bisa diunduh (download) pada laman http://www.pajak.go.id/laporSPT. Pilih
formulir SPT sesuai dengan status Anda.

Dokumen Apa Saja yang Harus Disiapkan?


1. SPT Tahunan PPH (Sangat Sederhana/SS), yakni 11770SS
Dokumen yang diperlukan adalah:
 Bukti potong 1721 A1 (untuk Pegawai Swasta)
 Bukti potong 1721 A2 (untuk Pegawai Negeri)
2. SPT Tahunan PPh (Sederhana/S), yakni 1770S
Dokumen yang diperlukan adalah:
 1721 A1 (untuk Pegawai Swasta)
 1721 A2 (untuk Pegawai Negeri)
3. SPT Tahunan PPh jenis 1770
Dokumen yang diperlukan adalah:
 Penghasilan lain di luar pekerjaan
 Bukti potong A1/A2
 Neraca & lapran laba-rugi (pembukuan)
 Rekapitulasi bulanan peredaran bruto dan biaya (norma)
Sebagai Contoh, ini Cara Mengisi atau Melaporkan SPT Pajak Penghasilan Pribadi Pegawai/Karyawan
Langkah pertama yang harus Anda lakukan untuk melaporkan SPT Pajak adalah dengan mendaftarkan diri terlebih
dahulu untuk bisa melakukan akses Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Online tentunya. Pendaftaran bisa dilakukan
di https://djponline.pajak.go.id/account/login
Harus Punya EFIN untuk e-Filing
Nah, setelah Anda melakukan pendaftaran online, maka Anda akan mendapatkan EFIN (Electronic Filing
Identification Number), yaitu nomor identifikasi wajib pajak dari Ditjen Pajak untuk melakukan pelaporan pajak
secara online atau e-filing.
EFIN akan dikirimkan ke e-mail Anda yang aktif dan sudah didaftarkan. Bila sebelumnya Anda sudah mendaftar e-
filing namun lupa, Anda bisa cek kembali e-mail dari Ditjen Pajak yang sebelumnya sudah masuk. Atau bisa juga
Anda mendatangi Kantor Pelayanan pajak (KPP) terdekat dengan membawa NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan
mengisi formulir aktivasi EFIN.
Jika sudah memiliki akun maka Anda tinggal mengikuti langkah berikut:
1. Kunjungi Website DJP Online
 Klik laman resmi (website) https://djponline.pajak.go.id
 Ketik Nomor NPWP dan Password serta kode captcha untuk “LOGIN”
2. Pilih e-Filing atau e-Form
Berikutnya Anda akan masuk ke laman One-stop Tax Services, yang tertera profil Anda dan pilihan Layanan DJP
Online yang diinginkan, yakni e-Filing atau e-Form. Bila memilih e-Filing, maka Anda harus terkoneksi internet
selama pengisian data hingga terakhir kalinya untuk siap disubmit di portal DJP. Sedangkan dengan e-Form maka
pengisian formulir SPT secara offline pada komputer Anda dan tidak harus terkoneksi dengan internet atau
secara online.
 Katakanlah menggunakan layanan e-Filing, maka Ada harus klik bagian icon “e-Filing”
3. Mulailah Buat SPT
 Kemudian akan muncul laman baru E-Filing SPT, dan klik “Buat SPT” di bagian pojok kanan atas
4. Jawab Pertanyaan di Formulir
 Ikuti langkah selanjutnya dan jawab pertanyaan dengan tepat atau sesuai dengan yang sebenarnya, hingga semua
pertanyaan selesai terjawab
5. Pilih Formulir yang Akan Digunakan
 Jika gaji Anda di atas Rp60 juta per tahun, dan Anda memilih pengisian SPT Dengan Bentuk Formulir atau Dengan
Panduan maupun Dengan Upload SPT. Maka akan muncul informasi SPT 1770S yang siap diklik
6. Isi Data Formulir SPT
 Setelah itu Anda akan masuk dalam laman yang menuntun Anda untuk mengisi formulir sesuai petunjuk. Pilih tahun
SPT Pajak (2017), lalu pilih status SPT di Normal, dan klik Langkah Berikutnya
7. Isi Lampiran II
 Kemudian Anda akan masuk ke halaman berikutnya, yakni "Lampiran II", yakni halaman Daftar
Pemotongan/Pemungutan PPh Oleh Pihak Lain dan PPh Yang Ditanggung Pemerintah. Di sini akan tertera secara
otomatis Nama Pemotong/Pemungut Pajak alias perusahaan Anda bekerja, dan keterangan lain hingga berisi jumlah
nominal potongan pajak.
8. Isi Lampiran I/Bagian Kolom Harta
Kolom Harta ini merupakan yang paling krusial karena akan menentukan keberhasilan pengisian atau
pelaporan SPT Tahunan Pajak Anda. Seringkali, pelaporan SPT gagal disubmit karena kolom harta ini terlewatkan.
Bagaimana pun juga, sistem pajak dan perbankan serta lembaga keuangan sekarang ini sudah terintegrasi, sehingga
Anda tidak bisa lagi berbohong.
Sebab jika memang penghasilan Anda di atas PTKP, maka sangat dimungkinan bahwa Anda memiliki sejumlah harta
seperti tabungan, deposito, investasi, uang tunai yang tersimpan di rumah, dan lainnya yang belum masuk dalam
perhitungan penghasilan kena pajak yang dipotong dari perusahaan tempat Anda bekerja.
 Jawab Ya, pada halaman pertanyaan Apakah Anda Memiliki Harta?
 Kemudian klik icon Tambah+ yang ada pada pojok kanan atas
 Berikutnya akan muncul kolom baru yang harus diisi dengan benar
 Jika Anda punya tabungan, atau uang tunai, bahkan piutang sekalipun, isi jumlah nominalnya dengan benar
 Ketikkan keterangan harta Anda. Misal, jenis harta Anda adalah Tabungan, maka beri keterangan Simpananatau
lainnya
 Kemudian klik Simpan
 Jika tidak ada tambahan harta lainnya, karena memang penghasilan Anda di bawah PTKP, maka bisa langsung
melanjutkan ke langkah berikutnya
 Lalu klik "Langkah Berikutnya"
 Pada halaman berikutnya adalah pertanyaan, Apakah Anda Memiliki Utang? Bila Anda memang punya utang,
sebutkan saja apakah itu KTA, KPR, dan lainnya kecuali kartu kredit

9. Masuk ke Kolom Induk


 Selanjutnya isi identitas Anda sesuai dengan status, apakah Tidak Kawin/Kawin
 Lalu lanjutkan ke langkah berikutnya dengan mengklik "Lanjut ke A"
10. Lakukan Pengisian Setiap Kolom Sesuai dengan Kondisi
 Lakukan pengisian sesuai petunjuk yang ada, mulai dari Pengisian Netto, Penghasilan Kena Pajak, PPh
Terutang, Kredit Pajak (jika ada), PPh Kurang/Lebih Bayar (jika ada), Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak
Berikutnya (jika ada),
 Lalu centang pada kolom "Setuju/Agree" pada bagian "Pernyataan"
 Klik "Langkah Berikutnya"
11. Informasi SPT Nihil
 Jika langkah-langkah pengisian SPT sudah benar, maka tahap terakhir akan ada informasi bahwa SPT Anda"Nihil"
12. Pengiriman Token untuk Kode Verifikasi
 Periksa e-mail Anda yang terdaftar, pihak DJP akan mengirimkan token untuk verifikasi pelaporan SPT Anda
 Lalu masukkan kode verifikasi di bagian kolom yang tersedia di bagian bawah
 Dan SPT siap dikirim dengan mengklik kolom "Kirim SPT"
 Terakhir klik kolom "Selesai"
15. Rekonsiliasi Fiskal Pengertian, Jenis, Penyebab, Contoh
Pengertian Rekonsiliasi Fiskal
Rekonsiliasi fiskal ialah proses penyesuaian atas laba komersial yang berbeda dengan ketentuan fiskal untuk
menghasilkan penghasilan neto/laba yang sesuai dengan ketentuan pajak. Laporan keuangan fiskal disusun dengan
menggunakan ketentuan-ketentuan pajak dalam laporang keuangan bisnis.
Rekonsiliasi fiskal adalah lampiran SPT tahunan PPh badan yang berupa kertas kerja berisi penyesuaian antara laba
rugi komersial sebelum pajak dengan laba rugi berdasarkan ketentuan perpajakan. Rekonsiliasi fiskal dilakukan
dengan cara seluruh unsur penyusunan laporan laba rugi yang meliputi pendapatan dan beban.
Dalam rekonsiliasi fiskal terdapat beberapa koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negatif yang pengertiannya diurai
sebagai dibawah ini :
 Koreksi fiskal positif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan laba fiskal bertambah atau rugi fiskal
berkurang sehingga laba fiskal lebih besar dari laba komersial atau rugi fiskal lebih kecil dari rugi komersial.
 Koreksi fiskal negatif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan laba fiskal berkurang atau rugi fiskal
bertambah sehingga laba fiskal lebih kecil dari laba komersial atau rugi fiskal lebih besar dari rugi komersial.
Jenis-jenis Rekonsiliasi Fiskal
1. Koreksi Fiskal Positif
Koreksi Fiskal Positif Yakni koreksi fiskal yang menyebabkan penambahan penghasilan kena pajak dan PPh terutang.
Jenis Koreksi Fiskal Positif antara lain sebagai berikut ini :
 Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan
oleh suatu perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
 Biaya yang dikeluarkan atau dibebankan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, ataupun
anggota.
 Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali sebagai berikut ini :
1.
1. Cadangan hutang-piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan
kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak
piutang.
2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
3. Cadangan penjaminan pada Lembaga Penjamin Simpanan.
4. Cadangan biaya reklamasi pada usaha pertambangan.
5. Cadangan biaya pada penanaman kembali untuk usaha kehutanan.
6. Cadangan biaya pada penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha
pengolahan limbah industry.
 Pajak Penghasilan.
 Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk suatu kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang
menjadi tanggungannya.
 Gaji yang akan dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham.
 Persediaan yang jumlahnya melebihi kapasitas jumlah berdasarkan metode penghitungan yang sudah
ditetapkan dalam Pasal 10 UU No.36 Tahun 2008 tentang PPh.
 Penyusutan yang jumlahnya melebihi jumlah kapasitas berdasarkan metode penghitungan yang sudah
ditetapkan dalam Pasal 10 UU No.36 Tahun 2008 tentang PPh.
2. Koreksi Fiskal Negatif
Yakni koreksi yang menyebabkan pengurangan penghasilan kena pajak dan PPh terutang.
Jenis Koreksi Fiskal Negatif antara lain sebagai berikut ini :
1) Penghasilan yang telah dikenakan PPh Final antara lain sebagai berikut ini :
 Penghasilan yang berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan
bunga simpanan yang di bayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
 Penghasilan yang berupa hadiah undian.
 Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau sebuah bangunan, usaha jasa konstruksi,
usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau sebuah bangunan.
2) Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak antara lain sebagai berikut ini :
 Warisan.
 Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham ataupun sebagai pengganti
penyertaan modal.
 Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi
jiwa, asuransi kecelakaan, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
 Beasiswa yang harus memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
 Persediaan yang jumlahnya kurang dari jumlah yang berdasarkan metode penghitungan yang sudah ditetapkan
dalam Pasal 10 UU No.36 Tahun 2008 tentang PPh.
 Penyusutan yang jumlahnya kurang dari jumlah yang berdasarkan metode penghitungan yang sudah
ditetapkan dalam Pasal 10 UU No.36 Tahun 2008 tentang PPh.
Penyebab Terjadinya Rekonsiliasi Fiskal
Ada beberapa penyebab terjadinya Rekonsiliasi Fisikal diantaranya sebagai antara lain sebagai berikut ini :
 Karna adanya perbedaan antara SAK dengan peraturan perpajakan (beda konsep, beda pengukuran, dan beda
metode pengalokasian atau saat pengakuan biaya)
 Karna adanya penghasilan tertentu yang bukan merupakan objek pajak, atau telah dikenakan PPh bersifat
final.
 Karna adanya kompensasi kerugian fiskal
 Karna adanya harga yang tidak wajar karena hubungan istimewa
16. berbagai data yg terkait dengan ppn &ppnbm
 PPN & PPnBM
 A. PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
 1. Pengertian dan Dasar PPN
 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai diperkenalkan di Indonesia sejak 1 april 1985 untuk menggantikan Pajak
Penjualan (PPn). Hal ini dituangkan dalam UU No 8 tahun 1983. PPN diatur dalam UU No 8 tahun 1983 tentang
PPN dan PPnBM, selanjutnya diubah dengan UU No.11 tahun 1994, lalu diubah dengan UU No. 18 tahun 2000,
terakhir diubah lagi dengan UU No.42 tahun 2009.
 PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan
secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi (Siti Resmi, 2012:1). Dalam Dirjen Pajak, Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan atas setiap pembelian Barang Kena Pajak
dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak baik di dalam wilayah Indonesia maupun dari luar daerah Pabean.
 Pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak, sehingga dikenakan PPN, kecuali jenis barang
yang diatur dalam Undang Undang PPN. Misalnya barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang
diambil langsung dari sumbernya, barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,
makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya dan uang, emas
batangan, dan surat-surat berharga. Ada juga barang yang merupakan Barang Kena Pajak tetapi PPNnya
dibebaskan, misalnya buku pelajaran umum dan buku pelajaran agama dan barang-barang tertentunya.
 2. Objek PPN
 a. Penyerahan /impor/pemanfaatan/ekspor terhadap BKP /JKP/BKP tidak berwujud.
 1) Penyerahan BKP didalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak maupun
pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak tetapi belum dikukuhkan.
 2) Impor BKP. Pemungutan pajak saat impor BKP dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
 3) Penyerahan JKP didalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
 4) Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daearah pabean didalam daerah pabean.
 5) Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean (jasa konsultan asing yang memberikan jasa manajemen, jasa
teknik dan jasa lain) didalam daerah pabean.
 6) Ekspor BKP berwujud oleh PKP, ekspor BKP dikenakan PPN, hanya jika yang melakukan adalah
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP.
 7) Ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP, pengusaha yang melakukan ekspor BKP tidak berwujud adalah
hanya pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
 8) Ekspor JKP oleh PKP.
 b. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang
pribadi atau badan yang hasilnya diigunakan sendiri atau digunakan pihak lain.
 c. Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjual belikan
sepanjang pajak masukan yang dibayar pada saat perolehan menurut ketentuan dapat dikreditkan.
 3. Bukan Objek PPN
 a. Jenis Barang yang Tidak Dikenai PPN:
 1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.
 2) Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
 3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi
makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang
diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering.
 4) Uang, emas batangan, dan surat berharga.
 b. Jenis Jasa yang Tidak Dikenai PPN: Jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa
pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa kesenian
dan hiburan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan
udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri, jasa
tenaga kerja, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum, jasa penyediaan tempat parker, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, jasa
pengiriman uang dengan wesel pos dan jasa boga atau katering.
 4. Subjek Pajak
 Pengusaha Kena Pajak, yaitu pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN, yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa
dari luar Daerah Pabean.
 5. Bukan Subjek Pajak
 Pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. (Pasal 1 angka 15 UU PPN).
 6. Tarif PPN
 a. Tarif PPN adalah 10%.
 Dikenakan atas setiap penyerahan BKP di dalam daerah pabean/impor BKP/penyerahan JKP di dalam daerah
pabean/pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam pabean/pemanfaatan JKP dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean.
 Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling
tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini dapat disebabkan berbagai
faktor, misalnya pertimbangan perkembangan perekonomian Indonesia, sehingga tarif PPN bisa diturunkan.
Sebaliknya, misalnya jika Pemerintah membutuhkan penerimaan pajak yang besar, sehingga tarif PPN bisa
dinaikkan.
 b. Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Ekspor Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud, dan Ekspor Jasa Kena Pajak.
 7. Dasar Pengenaan PPN
 a. Harga Jual
 Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual
karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
 b. Penggantian
 Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang- Undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima
Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
 c. Nilai Impor
 Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan
berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai
untuk impor Barang Kena Pajak.
 Nilai Impor adalah CIF (Cost, Insurance, and Freight) + Bea Masuk.
 d. Nilai Ekspor
 Nilai Ekspor adalah adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
eksportir.
 e. Nilai Lain
 Nilai Lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan No.75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai DPP dan Peraturan Menteri Keuangan
No.102/PMK.11/2011 tentang nilai lain sebagai DPP atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari
luar daerah pabean, di dalam daerah pabean berupa film cerita impor dan penyerahan film cerita impor.
 B. Faktur Pajak
 1. Pengertian
 Menurut Siti Resmi (2012:52), faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan
penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak.
 Faktur pajak merupakan bukti pemungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan
Pajak Masukan. Oleh karena itu, faktur pajak harus benar, baik secara formal maupun secara materiil.
 Faktur pajak wajib dibuat oleh pengusaha kena pajak untuk setiap :
 a. Saat penyerahan barang kena pajak.
 b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak.
 c. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.
 d. Saat pengusaha kena pajak rekana menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai
Pemungut PPN.
 2. Persyaratan Faktur Pajak
 a. Nama, alamat, nomor pokok WP yang menyerahkan BKP atau JKP
 b. Nama, alamat, nomor pokok WP pembeli BKP atau penerima JKP
 c. Jenis barang atau jasa, jumlah HJ atau penggantian dan potongan harga
 d. PPN yang dipungut
 e. PPnBM yang dipungut
 f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan faktur pajak
 g. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak.
 3. Fungsi Faktur Pajak
 Adapun fungsi faktur pajak adalah :
 a. Sebagai bukti pungut PPN yang dibuat oleh PKP atau Direktorat Jendral Bea dan Cukai, baik karena
penyerahan BKP atau JKP maupun Impor BKP.
 b. Sebagai bukti pembayaran PPN yang telah dilakukan oleh pembeli BKP atau penerima JKP kepada PKP
atau Direktorat Bea dan Cukai.
 c. Sebagai sarana pengawasan administrasi terhadap kewajiban perpajakan.
 C. Perhitungan PPN
 PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
 Mekanisme Perhitungan PPN dapat diuraikan sebagai berikut :
 a. PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU
PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak.
 b. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang
sama.
 c. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat
dikreditkan.
 d. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya
merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
 e. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak
Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan
ke Masa Pajak berikutnya.
 f. Apabila dalam suatu Masa Pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan
pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang
berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
 g. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang
pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang
terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk
penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
 h. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang dikenakan Pajak Penghasilan
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2000, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak
Masukan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
 i. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa
Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya
Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
 Contoh :
 PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak (BKP) dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00
 Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
 = 10% x Rp25.000.000,00
 = Rp2.500.000,00
 PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang didapat oleh Pengusaha Kena Pajak “A”.
 PKP “B” melakukan penyerahan Jasa Kena (JKP) Pajak dengan memperoleh penggantian sebesar
Rp20.000.000,00
 PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B”
 = 10% x Rp20.000.000,00
 = Rp 2.000.000,00
 PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang didapat oleh Pengusaha Kena Pajak “B”.
 Bapak andre saputra simanjuntak mempunyai perusahaan yang memproduksi bahan alkohol, dia
melakukan penjualan sebesar Rp. 120.000.000,- dengan PPN sebesar 15%
 Perhitungan :
 = Rp. 120.000.000,- x 15%
 = Rp. 18.000.000,-
 Jadi pajak PPN yang dipungut oleh perusahaan bapak andre adalah Rp. 18.000.000,-
 D. PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah)
 PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi BKP yang tergolong mewah didalam daerah pabean.

 1. Dasar Pengenaan PPnBM
 a. Perlu adanya keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan
konsumen yang berpenghasilan tinggi.
 b. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah.
 c. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional.
 d. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara.
 PPnBM dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh
pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
 BKP yang tergolong mewah adalah :
 a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
 b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
 c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi atau apabila
dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral serta mengganggu ketertiban masyarakat.
 2. Objek PPnBM
 a. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
 b. Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
 3. Penetapan Tarif
 a. Tarif PPnBM dibedakan menjadi beberapa kelompok tarif yaitu tarif terendah sebesar 10% dan tarif
tertinggi sebesar 200%. Perbedaan tersebut didasarkan pada pengelompokkan BKP yang tergolong mewah yang
atas penyerahannya dikenakan juga PPnBM.
 b. Tarif PPnBM ditetapkan sebesar 0% atas ekspor BKP yang tergolong mewah, karena diekspor atau
dikonsumsi di luar daerah Pabean.
 E. Pelaporan PPN dan PPnBM
 1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan
kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
 2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah dilunasi segera
dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
 3. PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan:
 a. Bendahara Pemerintah harus dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
 b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
 Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung sendiri oleh PKP, harus
dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP setempat paling lama akhir bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.
 F. Saat Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM
 1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetor paling lama akhir bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
 2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus dibayar/disetor sesuai batas
waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut.
 3. PPN/PPnBM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan apabila
pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Impor.
 4. PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh:
 a. Bendahara Pemerintah, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
 b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas Impor, harus disetor dalam
jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan PPN pajak.
 PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP
sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O) ditebus.
 G. Sarana Pembayaran PPN dan PPnBM
 1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang
tersedia di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan
(KP2KP) di seluruh Indonesia.
 2. Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/ PPn BM yang disetorkan telah
sesuai dengan yang tercantum di dalam Daftar Nominatif Wajib Pajak (DNWP) yang dibuat oleh: Bank
penerima pembayaran, Kantor Pos dan Giro, atau Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran.
 Contoh Soal:
 Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah dengan Nilai Impor sebesar
Rp. 50.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut selain dikenakan PPN juga dikenakan
PPnBM misalnya dengan tarif 20%.
 Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut
adalah:
 a. Dasar Pengenaan Pajak Rp. 50.000.000,00
 b. PPN = 10% xRp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00
 c. PPn BM = 20% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 10.000.000,00
 Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu BKP yang atas
penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya 35%. Oleh karena PPnBM yang telah
dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp. 10.000.000,00 dapat
ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya.
 Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya kepada PKP “X” dengan harga jual Rp. 150.000.000,00
maka penghitungan PPN dan PPn BM yang terutang adalah :
 a. Dasar Pengenaan Pajak Rp. 150.000.000,00
 b. PPN = 10% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 15.000.000,00
 c. PPn BM = 35% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 52.500.000,00
 PPN sebesar Rp. 5.000.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan bagi PKP “D” dan PPN
sebesar Rp. 15.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP “D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp.
10.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar Rp. 52.500.000,00 tidak dapat
dikreditkan oleh PKP “X”.
17.pengisian ssp masa ppn & ppnbm
Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan PPN
Artikel berikut ini memberikan informasi tata cara pembayaran dan pelaporan PPN yang wajib diketahui oleh seluruh
wajib pajak dan juga seluruh masyarakat yang akan dikenakan atau akan menjadi wajib pajak sehubungan dengan
kewajiban sebagai pengusaha, perseorangan atau badan usaha lainnya.
Yang Wajib Membayar/Menyetor dan Melapor PPN/PPnBM
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2. Pemungut PPN/PPnBM, adalah:
 Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
 Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah
 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
 Pertamina
 BUMN/ BUMD
 Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya bidang Migas dan Pertambangan Umum lainnya
 Bank Pemerintah
 Bank Pembangunan Daerah
 Perusahaan Operator Telepon Selular.
Yang Wajib Disetor
1. Oleh PKP adalah:
a. PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran. Yang disetor adalah selisih
Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, bila Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran.
b. PPnBM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah.
c. PPN/PPnBM yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB),
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP).
2. Oleh Pemungut PPN/PPnBM adalah PPN/PPnBM yang dipungut oleh Pemungut PPN/PPnBM
Tempat Pembayaran/ Penyetoran Pajak
1. Kantor Pos dan Giro
2. Bank Pemerintah, Kecuali BTN
3. Bank Pembangunan Daerah
4. Bank Devisa
5. Bank bank lain penerima setoran pajak
6. Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Khusus untuk impor tanpa LKP
Saat Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM
1. PPn dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat 15 (lima belas) bulan takwim
berikutnya setelah bulan Masa Pajak.
Contoh : Masa Pajak Januari 2002, penyetoran paling lambat tanggal 15 pebruari 2002.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus dibayar/ disetor sesuai batas waktu
yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut.
3. PPN / PPnBM atas impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran
Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen impor.
4. PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh:
a. Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat tanggal 7 (tujuh) bulan takwim berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
b. Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat 15 (lima belas) bulan takwim
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas impor, harus menyetor dalam jangka waktu
sehari setelah pemungutan pajak dilakukan
5. PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP
sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O) ditebus
Catatan:
Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka pembayaran harus dilaksanakan pada hari kerja
berikutnya.
Sarana Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM
1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang tersedia di
Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) di seluruh
Indonesia.
2. Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/PPnBM yang disetorkan telah sesuai dengan
yang tercantum di dalam Daftar Nominatif Wajib Pajak (DNWP) yang dibuat oleh: Bank penerima pembayaran,
Kantor Pos dan Giro, atau Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran.
Pelaporan SPT Masa PPN
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib menghitung dan melaporkan jumlah Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) yang terutang.
Fungsi dan Tujuan
Sebagai sarana bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan
jumlah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang sebenarnya terutang.
Pelaporan
1. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
2. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa
Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Bagi Pemotong atau Pemungut, untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau
dipungut dan disetorkannya.
Kewajiban Pengusaha Kena Pajak dalam pengisian SPT Masa PPN
1. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin,
angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
tempat Wajib Pajak dikukuhkan.
2. Bagi Wajib Pajak yang menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dalam penyelenggaraan
Pembukuannya, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah
yang diizinkan.
3. Mengambil sendiri Surat Pemberitahuan PPN Masa beserta petunjuk pengisiannya di Kantor Pelayanan Pajak.
4. Pengisian SPT Masa PPN harus dilakukan dengan lengkap, benar dan ditandatangani oleh;
a. Pengurus atau direksi untuk Wajib Pajak Badan;
b. Wajib Pajak yang namanya tercantum dalam Kartu NPWP dan SK PKP bagi Wajib Pajak orang Pribadi;
c. Dalam hal ditanda tangani oleh pihak lain selain tersebut di atas maka harus dilampiri Surat Kuasa Khusus (per
masa pajak dengan menyebut bulan yang bersangkutan).
5. SPT Masa PPN harus disampaikan dengan lengkap, disertai lampiran yang telah ditetapkan, SPT yang tidak
lengkap dianggap tidak pernah disampaikan.
6. Bagi PKP Badan-badan tertentu yang ditunjuk sebagai Badan Pemungut, selain menyampaikan SPT Masa PPN
sebagaimana di atas, juga wajib menyampaikan SPT Masa Pemungut PPN.
Penyampaian SPT Masa PPN
Tempat pengambilan SPT Masa PPN
1. Kantor Pelayanan Pajak;
2. Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan;
3. Tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Tempat penyampaian SPT Masa PPN
1. Kantor Pelayanan Pajak ditempat Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, atau;
2. Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan setempat.
Cara penyampaian SPT Masa PPN
1. Disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak ditempat Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP/Kantor
Penyuluhan Pajak setempat, PKP akan menerima catatan tanda terima pada lembar kedua SPT Masa PPN.
2. Disampaikan melalui Kantor Pos secara tercatat dan tanggal Cap Pos dari Kantor Pos penerima SPT berfungsi
sebagai tanggal penerimaan SPT Masa PPN.
Saat Pelaporan PPN/PPnBM
1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada
Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah dilunasi segera dilaporkan ke KPP
yang menerbitkan.
3. PPN dan PPnBM yang pemungutnya dilakukan oleh:
a. Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.
b. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan paling lambat 20 (dua
puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara mingguan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
4. Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan
dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
Catatan :
Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilaksanakan pada hari kerja
sebelum tanggal jatuh tempo.
18. prosedur pengisian spt ppn & ppnbm
BENTUK, ISI, DAN TATA CARA PENGISIAN SERTA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (SPT MASA PPN)
Detail
Nomor:
PER - 44/PJ/2010
Tanggal Terbit:
Thu, 10/06/2010
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 44/PJ/2010
TENTANG
BENTUK, ISI, DAN TATA CARA PENGISIAN SERTA PENYAMPAIAN
SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (SPT MASA PPN)
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
a. bahwa untuk memberikan kemudahan, kepastian hukum, dan meningkatkan pelayanan kepada Pengusaha Kena
Pajak dalam melaporkan kegiatannya serta mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang;
b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 tentang
Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, serta Tata Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian
Surat Pemberitahuan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.03/2009;
c. bahwa dalam rangka mengakomodasi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN);
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Republik
Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5069);
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, serta Tata
Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.03/2009;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran
dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan
Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat
Pemberitahuan;
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 47/PJ/2008 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan dan
Penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan Secara Elektronik (e-Filing) Melalui
Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP);
7. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-215/PJ./2001 tentang Tata Cara Penerimaan Surat
Pemberitahuan;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG BENTUK, ISI, DAN TATA CARA
PENGISIAN SERTA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI (SPT MASA PPN)

Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
1. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disebut dengan KPP adalah Kantor Pelayanan Pajak tempat
Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
2. Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan yang selanjutnya disebut dengan KP2KP adalah
Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan yang berada dalam wilayah KPP.
3. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya
menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang
tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa
dari luar Daerah Pabean.
4. Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disebut dengan PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN
Tahun 1984 dan perubahannya.
5. e-SPT adalah aplikasi pengisian SPT yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
6. Data elektronik adalah data SPT Masa PPN yang dihasilkan dari e-SPT.
7. Media elektronik adalah sarana penyimpanan data elektronik yang dapat digunakan untuk memindahkan data
dari suatu komputer ke komputer lainnya, antara lain flash disk dan Compact Disc (CD).
8. Penyedia Jasa Aplikasi (Application Service Provider) yang selanjutnya disebut ASP adalah perusahaan yang
telah ditunjuk dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagai perusahaan yang dapat menyalurkan penyampaian
SPT Masa PPN secara elektronik ke Direktorat Jenderal Pajak.
9. e-Filing adalah suatu cara penyampaian SPT yang dilakukan secara on-line yang real time melalui laman
Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) atau ASP.
10. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian SPT Masa PPN dan
lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
11. Pengujian data adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kebenaran pengisian data elektronik
Induk SPT Masa PPN dan Lampiran SPT Masa PPN.

Pasal 2

(1) SPT Masa PPN sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang selanjutnya disebut
dengan SPT Masa PPN 1111, terdiri dari :
a. Induk SPT Masa PPN 1111- Formulir 1111 (F.1.2.32.04); dan
b. Lampiran SPT Masa PPN 1111:
1. Formulir 1111 AB - Rekapitulasi Penyerahan dan Perolehan (D.1.2.32.07);Formulir
2. 1111 A1 - Daftar Ekspor BKP Berwujud, BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP (D.1.2.32.08);
3. Formulir 1111 A2 - Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak (D.1.2.32.09);
4. Formulir 1111 B1 - Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Impor BKP dan Pemanfaatan BKP
Tidak Berwujud/JKP dari Luar Daerah Pabean
5. (D.1.2.32.10);Formulir 1111 B2 - Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Perolehan BKP/JKP
Dalam Negeri (D.1.2.32.11); dan
6. Formulir 1111 B3 - Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas
(D.1.2.32.12),
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) SPT Masa PPN 1111 wajib diisi oleh setiap PKP selain PKP yang menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan.
(3) Tata cara pengisian serta keterangan yang wajib diisi pada SPT Masa PPN 1111 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 3

(1) SPT Masa PPN sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang selanjutnya disebut
dengan SPT Masa PPN 1111, terdiri dari :
a. formulir kertas (hard copy); atau
b. data elektronik, yang disampaikan:
1. dalam media elektronik; atau
2. melalui e-Filing.
(2) SPT Masa PPN 1111 baik dalam bentuk formulir kertas (hard copy) maupun dalam bentuk data elektronik dapat
digunakan oleh PKP yang:
a. melaporkan Pemberitahuan Ekspor Barang, Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak/BKP Tidak Berwujud;
b. menerbitkan Faktur Pajak selain Faktur Pajak yang menurut ketentuan diperkenankan untuk tidak
mencantumkan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual, dan/atau menerima Nota Retur/Nota
Pembatalan;
c. melaporkan Pemberitahuan Impor Barang atas impor BKP dan/atau SSP atas Pemanfaatan BKP Tidak
Berwujud/JKP dari luar Daerah Pabean;
d. menerima Faktur Pajak yang dapat dikreditkan dan/atau menerbitkan Nota Retur/Nota Pembatalan; atau
e. menerima Faktur Pajak yang tidak dapat dikreditkan atau mendapat fasilitas dan/atau menerbitkan Nota
Retur/Nota Pembatalan atas pengembalian BKP/pembatalan JKP yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan atau
mendapat fasilitas,
dengan jumlah tidak lebih dari 25 (dua puluh lima) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak.
(3) SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk data elektronik wajib digunakan oleh PKP yang:
1. melaporkan Pemberitahuan Ekspor Barang, Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak/BKP Tidak Berwujud;
2. menerbitkan Faktur Pajak selain Faktur Pajak yang menurut ketentuan diperkenankan untuk tidak mencantumkan
identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual, dan/atau menerima Nota Retur/Nota Pembatalan;
3. melaporkan Pemberitahuan Impor Barang atas impor BKP dan/atau SSP atas Pemanfaatan BKP Tidak
Berwujud/JKP dari luar Daerah Pabean;
4. menerima Faktur Pajak yang dapat dikreditkan dan/atau menerbitkan Nota Retur/Nota Pembatalan; atau
5. menerima Faktur Pajak yang tidak dapat dikreditkan atau mendapat fasilitas dan/atau menerbitkan Nota
Retur/Nota Pembatalan atas pengembalian BKP/pembatalan JKP yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan atau
mendapat fasilitas
dengan jumlah lebih dari 25 (dua puluh lima) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak.
(4) Dalam hal SPT Masa PPN 1111 disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, bentuk, isi, dan ukuran SPT Masa PPN 1111 sebagaimana yang ditetapkan dalam Lampiran I
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini tidak boleh diubah.
(5) Dalam hal SPT Masa PPN 1111 disampaikan dalam bentuk data elektronik dengan media elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1, PKP harus menggunakan aplikasi e-SPT yang telah disediakan
oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Induk SPT Masa PPN 1111 tetap disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard
copy).
Pasal 4
PKP yang telah menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk data elektronik, tidak diperbolehkan lagi untuk
menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk formulir kertas (hard copy)
Pasal 5
(1) PKP dianggap tidak menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam hal SPT Masa PPN 1111 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) tidak disampaikan dalam bentuk data elektronik.
(2) PKP dianggap tidak menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam hal PKP yang dalam pelaporan kewajibannya
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan tetap menyampaikan SPT Masa PPN 1111
dalam bentuk formulir kertas (hard copy).
(3) PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Pasal 6
(1) SPT Masa PPN 1111 dapat disampaikan oleh PKP dengan cara:
a. manual, yaitu:
1. disampaikan langsung ke KPP atau KP2KP; atau
2. disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir, dengan bukti pengiriman surat, ke KPP atau
KP2KP, atau
b..elektronik, yaitu melalui e-Filing yang tata cara penyampaiannya diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pasal 7
(1) Penelitian terhadap SPT Masa PPN 1111 yang disampaikan dengan cara manual dan dalam bentuk formulir
kertas (hard copy) dilakukan oleh KPP atau KP2KP setiap kali pada saat SPT Masa PPN 1111 diterima.
(2) Penelitian dan pengujian data terhadap SPT Masa PPN 1111 yang disampaikan dengan cara manual dan dalam
bentuk data elektronik yang disampaikan dalam media elektronik dilakukan oleh KPP setiap kali pada saat SPT Masa
PPN 1111 diterima.
Pasal
(1) SPT Masa PPN 1111 tidak perlu dilampiri dengan Lampiran SPT Masa PPN 1111 dalam hal tidak ada data yang
dilaporkan dalam Lampiran SPT Masa PPN 1111 tersebut.
(2) SPT Masa PPN 1111 tidak perlu dilampiri dengan :
a. Formulir 1111 A1 dalam hal tidak ada Pemberitahuan Ekspor Barang, Pemberitahuan Ekspor Jasa
Kena Pajak/BKP Tidak Berwujud yang wajib dilaporkan dalam Formulir 1111 A1;
b. Formulir 1111 A2 dalam hal PKP tidak menerbitkan Faktur Pajak selain Faktur Pajak yang menurut ketentuan
diperkenankan untuk tidak mencantumkan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual dan/atau tidak
menerima Nota Retur/Nota Pembatalan yang wajib dilaporkan dalam Formulir 1111 A2;
c. Formulir 1111 B1 dalam hal tidak ada Pemberitahuan Impor Barang atas impor BKP dan/atau SSP atas
Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/JKP dari luar Daerah Pabean yang wajib dilaporkan dalam Formulir 1111 B1;
d. Formulir 1111 B2 dalam hal PKP tidak menerima Faktur Pajak dan/atau tidak menerbitkan Nota Retur/Nota
Pembatalan yang wajib dilaporkan dalam Formulir 1111 B2; atau
e. Formulir 1111 B3 dalam hal PKP tidak menerima Faktur Pajak yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan
atau mendapat fasilitas dan/atau menerbitkan Nota Retur/Nota Pembatalan atas pengembalian BKP/pembatalan JKP
yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan atau mendapat fasilitas yang wajib dilaporkan dalam Formulir 1111
B3, dalam suatu Masa Pajak.
(3) SPT Masa PPN 1111 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang disampaikan oleh PKP, dianggap
lengkap.
Pasal 9
Dalam hal PKP melakukan pembetulan SPT Masa PPN 1111 untuk Masa Pajak Januari 2011 dan sesudahnya, untuk:
a. SPT Masa PPN 1111 yang disampaikan dalam bentuk data elektronik, SPT Masa PPN Pembetulan dilampiri
dengan Lampiran SPT;
b. SPT Masa PPN 1111 yang disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy), SPT Masa PPN Pembetulan
cukup dilampiri dengan Lampiran SPT yang dibetulkan.
Pasal 10
(1) Formulir SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau aplikasi e-SPT dapat diperoleh
dengan cara:
1. diambil di KPP atau KP2KP;
2. digandakan atau diperbanyak sendiri oleh PKP;
3. diunduh di laman Direktorat Jenderal Pajak, dengan alamat http://www.pajak.go.id, selanjutnya dapat
dimanfaatkan/digandakan; atau
4. disediakan oleh ASP yang telah ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak
(2) Penggandaan formulir SPT Masa PPN 1111 harus mempunyai formal dan ukuran yang sama dengan formulir
yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal11
(1) Dalam hal PKP melakukan pembetulan SPT Masa PPN untuk Masa Pajak sebelum Masa Pajak Januari 2011,
pembetulan dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPN yang sama dengan formulir SPT Masa PPN
yang dibetulkan.
(2) Pembetulan SPT Masa PPN untuk Masa Pajak sebelum Masa Pajak Januari 2011 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pasal 12
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku :
1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-146/PJ/2006 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-14/PJ/2010 tetap berlaku, sepanjang digunakan untuk
pelaporan SPT Masa PPN Masa Pajak Januari 2007 sampai dengan Masa Pajak Desember 2010;
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2008 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) dalam bentuk Formulir Kertas (Hard Copy) bagi
Pengusaha Kena Pajak yang Dikukuhkan di Kantor Pelayanan Pajak dalam rangka Pengolahan Data dan Dokumen di
Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-15/PJ/2010 tetap berlaku, sepanjang digunakan untuk pelaporan SPT Masa PPN Masa Pajak Januari
2008 sampai dengan Masa Pajak Desember 2010; dan
3. ketentuan lain yang mengatur tentang SPT sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 13
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan diberlakukan untuk pengisian dan
pelaporan SPT Masa PPN mulai Masa Pajak Januari 2011. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Oktober 2010
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 195104281975121002
19.pengisian spt manasa ppn & ppnbm dafalm formulir 111
Kewajiban Membuat dan Melaporkan SPT Masa PPN 1111
Pasal 3A UU Tahun 1984 tentang PPN telah mengatur kewajiban Pengusaha Kena Pajak untuk memiliki Nomor
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, memungut, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang melalui SPT PPN
1111.
Pada ayat (1) dijelaskan bahwa pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak di dalam daerah pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, dan/atau ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan untuk:
1. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
2. Memungut pajak yang terutang;
3. Menyetorkan Pajak Pertambahan Niali yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lenih besar
daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terurang;
4. Melaporkan perhitungan pajak, kecuali pengusaha kecil yang dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Lebih lanjut pada ayat (3) dijelaskan bahwa orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar daerah pabean dan/atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean wajib memungut,
menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang perhitungan dan tata caranya diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau
pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. SPT Masa adalah SPT untuk suatu Masa Pajak. SPT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
 Dokumen Elektronik.
 Formulir Kertas (hardcopy).
SPT Masa PPN 1111 wajib disampaikan setiap Pengusaha Kena Pajak dan/atau Pemungut PPN selain bendahara
pemerintah dalam bentuk dokumen elektronik.
Kewajiban penyampaian SPT Masa PPN 1111 bagi pemungut PPN oleh bendahara pemerintah dalam bentuk
dokumen elektronik diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Penyampaian SPT oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak, dapat dilakukan:
1. Secara langsung,
2. Melalui pos dengan bukti pengiriman surat,
Dengan cara lain, salah satunya saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan
perkembangan teknologi informasi, meliputi:
 Laman Direktorat Jendral Pajak.
 Laman penyalur SPT Elektronik seperti OnlinePajak.
 Saluran suara digital yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk wajib pajak tertentu.
 Jaringan komunikasi data yang terhubung khusus antara Direktorat Jenderal Pajak dengan wajib pajak.
 Saluran lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Atas penyampaian SPT Masa PPN 1111 melalui saluran tertentu diberikan bukti penerimaan elektronik.
Pemungut PPN wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipungut, ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
pemungut PPN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Membuat SPT Masa PPN 1111 Melalui e-Faktur
Pengusaha yang diwajibkan membuat Efaktur ini juga diwajibkan membuat SPT Masa PPN 1111 melalui Aplikasi e-
Faktur. Melalui aplikasi e-Faktur PKP dapat membuat SPT Masa PPN 1111 dengan menggunakan data input Faktur
Pajak dan Dokumen Lainnya, melengkapi formulir SPT yang sudah terbetuk dan membuat file CSV yang sama
dengan SPT PPN Masa PPN 1111 untuk pelaporan ke KPP melalui laman website yang telah disediakan oleh DJP dan
Mitra DJP.
Terdapat menu SPT pada Aplikasi e-Faktur. Menu SPT digunakan untuk membuat SPT Masa PPN 1111 yang dimulai
dari kegiatan memposting data faktur, melengkapi formulir SPT yang telah terbentuk dan membuat file csv untuk
pelaporan ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang terdari dari:
 Posting.
 Buka SPT.
 Formulir Induk.
 Formulir Lampiran.
Menu Posting digunakan untuk membentuk SPT Masa PPN dengan memindahkan data faktur pajak keluaran dan
masukan ke formulir SPT Induk dan Lampiran. Lakukan posting setelah selesai mengadministrasikan data faktur.
Pada saat proses posting, apabila profil penandatangan SPT belum diisi, akan tampil notifikasi untuk melengkapi data
Profil PKP.
Menu Buka SPT digunakan untuk membuka/mengaktifkan SPT sehingga user dapat melihat dan melengkapi formulir
SPT baik Induk maupun Lampiran yang telah terbentuk dari kegiatan posting data faktur. Apabila daftar SPT yang
telah terbentuk tidak muncul, klik tombol Perbaharui Tampilan. Pada saat pengisian SSP, jika terdapat lebih dari satu
SSP maka yang akan tampil pada SPT Induk adalah data SSP terakhir.
Hal yang perlu diperhatikan sebelum membuat file CSV Pelaporan dan mencetak SPT PPN 1111 adalah:
 Lengkapilah data-data pada kolom yang aktif (berwarna putih).
 Klik checkbox pada pilihan yang sesuai (dalam hal SPT Lebih Bayar).
 Kelengkapan SPT, klik checkbox pada Lampiran yang akan disertakan saat pelaporan dan isikan jumlah
lembar lampiran
 Isikan Tempat dan Tanggal formulir dibuat
 Klik checkbox PKP atau checkbox Kuasa untuk memilih pihak yang akan menandatangani SPT
 Isikan Nama PKP/Kuasa. Dalam hal memilih checkbox PKP maka nama PKP akan otomatis terisi sesuai
dengan isian data Nama Penandatangan di Profil PKP.
 Isikan Jabatan PKP/Kuasa. Dalam hal memilih checkbox PKP maka Jabatan PKP akan otomatis terisi sesuai
dengan isian data Jabatan di Profil PKP.
 Klik tombol Simpan. Tampil Informasi “Data Berhasil Disimpan”. Klik OK.
Langkah-langkah untuk membuat file csv pelaporan SPT adalah sebagai berikut:
 Pilih menu SPT Buka SPT, akan tampil form Buka SPT berisi daftar SPT Masa PPN yang telah terbentuk.
 Pilih SPT yang akan dibuat file CSV Pelaporan SPTnya.
 Klik tombol Buat File SPT (CSV)
 Pilih folder penyimpanan file CSV SPT. Nama file CSV SPT telah dibuat sesuai standar penamaan file CSV
SPT PPN, biarkan tanpa ada perubahan.
 Klik tombol Save. File CSV Pelaporan SPT dan File PDF SPT PPN 1111 berhasil dibuat. File CSV SPT
inilah yang nantinya harus disampaikan ke KPP. Untuk membuat File PDF SPT silahkan akses menu Cetak
SPT Induk dan Lampiran AB.

Anda mungkin juga menyukai