I. Tujuan Percobaan
1.1 Mensintesis aspirin dari asam salisilat dan asetat anhidrat dengan metode esterifikasi
fenol
1.2 Menurnikan aspirin dengan cara rekristalisasi
1.3 Menguji kandungan asam salisilat dengan uji pengkompleksan menggunakan FeCl3
1.4 Menguji kemurnian asam salisilat dan hasil isolasi aspirin dengan uji titik leleh
1.5 Menguji kadar aspirin dalam tablet aspirin komersial dengan titrasi asam-basa
II. Prinsip Percobaan
2.1 Esterifikasi fenol : pembuatan ester dari reaksi asam karboksilat dengan gugus
hidroksi dengan bantuan asam kuat sebagai katalis
2.2 Rekristalisasi : pemisahan atau pemurnian berdasarkan perbedaan kepolaran antara
zat pengoro dan zat yang akan di murnikan
2.3 Titik leleh : mengamati suhu awal dan suhu akhir berdasarkan perubahan wujud dari
padat menjadi cair
2.4 Reaksi kompleks : pembentukan senyawa kompleks berdasarkan berubahan warna
2.5 Titrasi asam-basa : berdasarkan reaksi netralisasi
III. Teori Dasar
Reaksi esterifikasi fenol adalah suatu reaksi antara asam karboksilat dan alcohol yang
akan membentuk ester. Turunan asam karboksilat membentuk ester asam karboksilat. Ester asam
karboksilat ialah suatu senyawa yang mengandung gugus –CO2 R dengan R dapat berupa alkil
naupun aril. Esterifikasi dikatalisis asam dan bersifat balik. Sedangkan menurut (Ozgulsun,
2008, hal: 105-109) Esrifikasi adalah suatu reaksi ionik yang merupakan gabungan dari reaksi
adisi dan reaksi penataan ulang eliminasi. Esterifikasi juga dapat didefinisikan sebagai reaksi
antara asam karboksilat dan alkohol (Hart, 2007, hal : 621-634 ). Esterifikasi dapat dilakukan
dengan menggunakan katalis enzim (lipase) dan asam anorganik (asam sulfat dan asam klorida),
dengan berbagai variasi alcohol biasanya metanol, etanol, propanol, butanol, dan amil alkohol.
Diantara alcohol tersebut yang paling sering digunakan adalah metanol karena harganya murah
dan merupakan alkohol yang paling sederhana
Fungsi dari katalis adalah untuk m empercepat reaksi dengan menurunkan energy
Aktivasi reaksi tetapi tidak merubah letak kesetimbangan. Reaksi esterifikasi yang dijalankan
tanpa menggunakan katalis membutuhkan suhu 25°C untuk menjalankan reaksi. Katalis yang
sering digunakan adalah asam, basa, dan penukar ion. Dengan katalis basa, reaksi dapat berjalan
pada suhu kamar, sedang dengan katalis asam suhu yang dibutuhkan yaitu 100 °C (Kirk, 1992).
alis yang digunakan dapat berupa katalis homogen atau heterogen.
Mekasnisme reaksi esterifikasi Fischer terdiri dari beberapa langkah, Transfer proton dari
katalis asam ke atom oksigen karbonil, sehingga meningkatkan elektrofilisitas dari atom karbon
karbonil. Atom karbon karbonil kemudian diserang oleh atom oksigen dari alkohol, yang
bersifat nukleofilik sehingga terbentuk ion oksonium. Terjadi pelepasan proton dari gugus
hidroksil milik alkohol, menghasilkan kompleks teraktivasI. Protonasi terhadap salah satu gugus
hidroksil, yang diikuti oleh pelepasan molekul air menghasilkan ester
Gugus karboksil bersifat polar dan tak terintangi, maka reaksinya tidak terlalu
dipengaruhi oleh sisa molekul. Gugus karboksil dalam aspiri, asam oleat, dan asam karboksilat
lain bereaksi serupa. Sifat kimia yang paling menonjol dari asam karboksilat ialah keasamannya.
Dibandingkan dengan asam nineral seperti HCl dan HNO3 ( pKa sekitar 1 atau lebih rendah ),
asam karboksilat a=ialah asam lemah ( pKa yang khas adalah sekitar 5). Namun asamkarboksilat
lebih bersifat asam dari pada alcohol atau fenol, terutama karena stabilisasi-resonansi anion
karboksilatanya, RCO-2 . ( Fessenden, 1986, hal 64-65)
Karena keasamannya fenol disebut asam karboksilat. Dalan tahun 1800-an JosepListen,
ahli bedah Inggris, mengusulkan agar fenol digunakan sebagai bahan antiseptic rumah-sakit.
Sebelum itu tak digunakan antiseptic karena orang mengira bahwa bau-baunnya, dan
mikroorganisme, yang menyebabkan infeksi. Sekarang fenol telah di gantikan oleh senyawa-
snyawa yang kurang merangsang ( iritasi) sebagai antiseptic. Cukup menarik bahwa antiseptic
masih modern masih mengandung gugus fenolik. ( Fessenden, 1986,hal : 280)
suatu asam karboksilatialah suatu senyawa organic yang mengandung gusgus karboksil, -CO2 H.
gugus karboksil mengandung sebuah gugus karbonil dan sebuah gugus hidroksil, antar-aksi dari
kedua gugus inimengakibatkan suatu kereaktivan kimia yang unik untuk asam karboksilat.
(Fessenden, 1986, hal : 64)
Ester merupakan turunan dari asam karboksilat. Sebuah asam karboksilat mengandung
gugus –COOH dan pada sebuah ester hydrogen digugus ini digantikan oleh sebuah gugus
hydrogen gugus –COOH digantikan oleh sebuah gugus alkil, meskipun tidak jauh beda jika
digantikan dengan sebuah gugus aril ( berdasarkan sebuah cincin benzene) ( Kirk, 1992)
Asetat anhidrat merupakan anhidrat dari asam asetat yang struktur antar molekulnya
simetris. Asetat anhidrat memiliki berbagai macam kegunaan antara lain sebagai fungisida dan
bakterisida, pelarut senyawa organik, berperan dalam proses asetilasi, pembuatan aspirin, dan
dapat digunakan untuk membuat acetylmorphine. Asam asetat anhidrat paling banyak digunakan
dalam industri selulosa asetat untuk menghasilkan serat asetat, plastik serat kain dan lapisan
(Kristian, Rieko, 2007, hal : 36).
Asam asetilsalisilat mempunyai nama sinonim asetosal, asam salisilat asetat dan
yang paling terkenal adalah aspirin (brandname product dari Bayer). Serbuk asam
asetilsalisilat dari tidak berwarna atau kristal putih atau serbuk atau granul kristal yang
berwarna putih. Asam asetilsalisilat stabil dalam udara kering tapi terdegradasi perlahan
jika terkena uap air menjadi asam asetat dan asam salisilat. Nilai titik lebur dari asam
asetilsalisilat adalah 135oC. Asam asetilsalisilat larut dalam air (1:300), etanol (1:5),
kloroform (1:17) dan eter (1:10-15), larut dalam larutan asetat dan sitrat dan dengan
adanya senyawa yang terdekomposisi, asam asetilsalisilat larut dalam larutan hidroksida
dan karbonat (Kristian, Rieko, 2007, hal : 34)
Kilas balik sejarah dari asam asetilsalisilat dapat ditelusuri dari berbagai pustaka
baik dalam bentuk buku, jurnal atau pun artikel online. Dimulai dari seorang ahli kimia
Perancis, Charles Frederich von Gerhardt telah menggunakan reaksi asetilasi dan
menghasilkan asam asetilsalisilat tahun 1853 dari reaksi antara natrium salisilat dengan
asetil klorida, tetapi ditemukan oleh Kraut bahwa produk hasil tidak murni dan
ditemukan pula reaksi hidrolisis alkalin dari asam asetilsalisilat menjadi asam asetat dan
asam salisilat (Kristian, Rieko, 2007, ha: 35)
Sedangkan menurut (Ebel, S., 1992, hal : 111-114) Aspirin adalah asam organik lemah
yang unik diantara obat-obat AINS dalam asetilasi (dan juga inaktivasi) siklo-oksigenase
irreversible. Aspirin cepat dideasetilasi oleh esterase dalam tubuh, menghasilkan salisilat yang
mempunyai efek anti-inflamasi, antipiretik dan atau analgesik. Efek antipiretik dan anti-inflamasi
salisilat terjadi karena penghambatan sintesis prostaglandin di pusat pengaturan panas dalam
hipotalmus dan perifer di daerah target (Ebel, S., 1992, hal : 114).
Aspirin bersifat analgesik yang efektif sebagai penghilang rasa sakit. Selain itu, aspirin
juga merupakan zat anti-inflammatory, untuk mengurangi sakit pada cedera ringan seperti
bengkak dan luka yang memerah. Aspirin juga merupakan zat antipiretik yang berfungsi untuk
mengurangi demam. Tiap tahunnya, lebih dari 40 juta pound aspirin diproduksi di Amerika
Serikat, sehingga rata-rata penggunaan aspirin mencapai 300 tablet untuk setiap pria, wanita
serta anak-anak setiap tahunnya. Penggunaan aspirin secara berulang-ulang dapat mengakibatkan
pendarahan pada lambung dan pada dosis yang cukup besar dapat mengakibatkan reaksi seperti
mual atau kembung, diare, pusing dan bahkan berhalusinasi. Dosis rata-rata adalah 0.3-1 gram,
dosis yang mencapai 10-30 gram dapat mengakibatkan kematian (Austin, 1984, hal : 199-124).
Pembuatan aspirin sintesis dapat dibagi menjadi dua, yaitu (Fessenden, 1990)
1. Sintesa Aspirin menurut Kolbe. Pembuatan asam salisilat dilakukan dengan Sintesis Kolbe,
metode ini ditemukan oleh ahli kimia Jerman yang bernama Hermann Kolbe. Pada sintesis
ini, sodium phenoxide dipanaskan bersama CO2 pada tekanan tinggi, lalu ditambahkan asam
untuk menghasilkan asam salisilat. Asam salisilat yang dihasilkan kemudian di reaksikan
dengan asetat anhidrat dengan bantuan asam sulfat sehingga dihasilkan asam asetilsalisilat
dan asam asetat.
2. Sintesa Aspirin Setelah Modifikasi Sintesa Kolbe oleh Schmitt.
Larutan sodium phenoxide masuk ke dalam revolving heated ball mill yang memiliki tekanan
vakum dan panas (130 oC). Sodium phenoxide berubah menjadi serbuk halus yang kering,
kemudian dikontakkan dengan CO2 pada tekanan 700 kPa dan temperatur 100 oC sehingga
membentuk sodium salicylate. Sodium salicylate dilarutkan keluar dari mill dan lalu
dihilangkan warnanya dengan menggunakan karbon aktif. Kemudian ditambahkan asam
sulfat untuk mengendapkan asam salisilat, asam salisilat dimurnikan dengan sublimasi.
Untuk membentuk aspirin, asam salisilat di reflux bersama asetat anhidrat di dalam pelarut
toluene selama 20 jam. Campuran reaksi kemudian di dinginkan dalam tangki pendingin
aluminium, asam asetilsalisilat mengendap sebagai kristal besar. Kristal dipisahkan dengan
cara filtrasi atau sentrifugasi, dibilas, dan kemudian dikeringkan.
Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi yaitu (Kirk & Othmer, 1967):
a. Suhu
Kecepatan reaksi secara kuat dipengaruhi oleh suhu reaksi. Pada umumnya reaksi ini dapat
dijalankan pada suhu optimum (50-60°C) pada tekanan atmosfer. Kecepatan reaksi akan
meningkat sejalan dengan kenaikan suhu. Semakin tinggi suhu, berarti semakin banyak
energi yang dapat digunakan oleh reaktan untuk mencapai energi aktivasi. Ini akan
menyebabkan tumbukan terjadi lebih sering diantara molekul-molekul reaktan untuk
kemudian melakukan reaksi (Kirk & Othmer, 1967).
b. Waktu reaksi
Semakin lama waktu reaksi, maka semakin banyak produk yang dihasilkan, karena ini akan
memberikan kesempatan reaktan untuk bertumbukan satu sama lain. Namun jika
kesetimbangan telah tercapai, tambahan waktu reaksi tidak akan mempengaruhi reaksi (Kirk
& Othmer, 1967).
c. Katalis
Katalis berfungsi untuk mempercepat laju reaksi dengan menurunkan energi aktivasi reaksi
namun tidak menggeser letak kesetimbangan. Penambahan katalis bertujuan untuk
mempercepat reaksi dan menurunkan kondisi operasi. Katalis yang dapat digunakan adalah
katalis asam, basa, ataupun penukar ion. Dengan katalis basa reaksi dapat berjalan pada suhu
kamar, sedangkan katalis asam pada umumnya memerlukan suhu reaksi diatas 100ºC (Kirk
& Othmer, 1967).
d. Pengadukan
Pada reaksi, reaktan-reaktan awalnya membentuk sistem cairan dua fasa. Reaksi
dikendalikan oleh difusi diantara fase-fase yang berlangsung lambat. Seiring dengan
terbentuknya produk, ia bertindak sebagai pelarut tunggalyang dipakai bersama oleh reaktan-
reaktan dan sistem dengan fase tunggal pun terbentuk. Dampak pengadukan ini sangat
signifikan selama reaksi sebagaimana sistem tunggal terbentuk, maka pengadukan menjadi
tidak lagi mempunyai pengaruh yang signifikan. Pengadukan dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan campuran reaksi yang bagus. Pengadukan yang tepat akan mengurangi
hambatan antar massa. Untuk reaksi heterogen, ini akan menyebabkan lebih banyak reaktan
mencapai tahap reaksi (Kirk & Othmer, 1967).
e. Perbandingan Reaktan
Variabel penting lain yang mempengaruhi hasil reaksi adalah rasio molar antara reaktan.
Untuk mendorong reaksi ke arah kanan, perlu untuk menggunakan reaktan berlebihan atau
dengan memindahkan salah satu produk dari campuran reaksi. Lebih banyak reaktan yang
digunakan, maka semakin memungkinkan reaktan untuk bereaksi lebih cepat (Kirk &
Othmer, 1978).
Aspirin dalam bentuk tablet mengandung asam asetilsalisilat 0,5 g. Dimaksudkan untuk
mengatasi segala rasa sakit terutama sakit kepala dan pusing, sakit gigi, pegal linu dan nyeri otot,
demikin juga pilek, indfluenza dan demam. Efek terapeutik aspirin, menghambat pengaruh dan
biosintesa dari pada zat-zat yang menimbulak rasa nyeri, demam dan peradangan (prostaglandin,
kinin), days keria antipiretik dan analgetik dari pada aspirin diperkuat oleh pengaruhnya
langsung terhadap susunan saraf pusat (Dirjen POM, 1979).
Efek samping aspirin yang sering terjadi adalah indikasi tukak lambung atu tukak peptik
yang kadang – kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna (Tjay, 2002).
Salisilat merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai analgesic, antipiretik, dan anti-
inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik. Dengan dosis ini laju
metabolisme juga meningkat. Pada dosis toksik obat ini justru memperlihatkan efek piretik
sehingga terjadi demam dan hiperhidrosis pada keracunan berat (Ganiswarna, 1995).
Asam asetil salisilat diabsorbsi cepat dan mencapai suatu persentase yang tinggi setelah
pemberian secara oral. Bagian asetil sebagian sudah diuraikan pada jalur mukosa. Dalam hati,
setelah dihidrolisis ester lebih lanjut, terbentuk ester glukuronida dan eter glukuronida serta
glisinat (asam salisilurat) dari asam salisilat. Hanya sebagian kecil yang dioksidasi menjadi asam
gentisinat (Ganiswarna, 1995).
Pada pemberian asam asetil salisilat bersama-sama dengan anti koagulan dan
glukokortiroid, bahaya perdarahan pada saluran cerna dipertinggi. Selanjutnya asam asetil
salisilat menaikkan kerja hipoglikemik, golongan sulfonylurea dan toksisitas metotreksat. Di
samping itu senyawa ini mengurangi kerja diuretic dari diuretika jerat henle akibat
penghambatan sintesis prostaglandin, serta mengurangi efek urikosurika karena persaingan
terhadap pembawa asam pada alat tubuli ginjal (Ganiswarna, 1995).
Walaupun asam salisilat memiliki banyak kegunaan, namun ada efek samping yang tidak
disukai yaitu menyebabkan iritasi pada lambung. Penelitian dilakukan untuk menetralisir
keasaman asam salisilat dengan natrium, dan dengan mengkombinasikan natrium salisilat dan
asetil klorida, namun usaha ini masih belum berhasil. Baru pada tahun 1899, ilmuwan yang
bekerja pada Bayer, Felix Hoffman berhasil menemukan asam asetilsalisilat yang lebih ramah ke
lambung. Kemudian produk ini diberi nama aspirin, a- dari gugus asetil, -spir- dari nama bunga
spiraea , dan –in merupakan akhiran untuk obat pada waktu itu (Ganiswarna, 1995).
Pengujian aspirin dapat di lakukan uji kemurniannya dengan cara rekristalisasi, yaitu
dengan pembentukan Kristal baru dan dilanjut dengan uji titik leleh. Zat padat dapat dimurnikan
dengan memanfaaatkan beda kelarutan pada tempearatur yang berlainan. Umtuk kebanyakan zat
bial larutan jenuh panas didinginkan, kelebihan zat padat akan mengkristalisasi. Proses itu dapat
dipermudah dengan membibit larutan itu dengan beberapa kristal halus zat padat murni. Prsoses
keseluruhan melarutkan zat terlarut dan mengkristalisasinya kembali dikenal sebagai
pengkristalan ulang atau rekristalisasi. Metode ini sering digunakan sebagai cara yang effektif
untuk membuang pengotor dalam jumlah yang kecil dari dalam zat padat, karena pengotor ini
sering tertinggal didalam larutan. Kecuali jika polaritas, bnetuk dan ukuran kristal pengotor itu
mirip dengan polaritas, bentuk dan ukuran kristal dari zat padat yang sedang direkristalisasikan,
sangat sedikit pengotor yang ungkintergabung ke dalam kristal, suatu hal yang terutama kan
terjadi bila pertumbuhan kristal perlahan-lahan (Keenan,2006: 372-373).
Rekristalisasi merupakan salah satu cara pemurnian zat padat yang jamak digunakan.
Dimana zat-zat tersebut atau zat-zat padat tersebut dilarutkan dalam suatu pelarut tertentu dikala
suhu diperbesar karena konsentrasi total imuriti biasanya impuriti yang rendah tetapi dalam
larutan sementara produk yang berkonsentrasi tinggi akan mengendap (Keenan,2006, hal : 273).
Teknik pemisahan dengan rekristalisasi (pengkristalan kembali) berdasarkan perbedaan
titik beku komponen. Perbedaan itu harus cukup besar, dan sebaiknya komponen yang akan
dipisahkan berwujud padat dan yang lainnya cair pada suhu kamar. Contohnya garam dapat
dipisahkan dari air karena garam berupa padatan. Air garam bila dipanaskan perlahan dalam
bejana terbuka, maka air akan menguap sedikit demi sedikit. Pemanasan dihentikan saat larutan
tepat jenuh. Jika dibiarkan akhirnya terbentuk kristal garam secara perlahan. Setelah
pengkristalan sempurna garam dapat dipisahkan dengan penyaring.( Keenan,2006, hal : 274)
V. Prosedur
5.1 Pembuatan Aspirin
Siapkan alat dan bahan. Air dipanaskan dalam wadah penangas air. Asam salisilat
ditimbang sebanyak 1,4 gram lalu dimasukkan kedalam labu erlemeyer 125 mL . Lalu
ditambahkan 4 ml asetat anhidrat dengan sedemikian rupa sehingga dapat membilas serbuk asam
salisilat yang menempel di dingding wadah. Ditambahkan dengan hati-hati 5 tetes larutan 85%
H3PO4/ H2SO4 di dalam lemari asam, diaduk dengan batang pengaduk kaca. Abu erlemeyer
yang berisi campuran teaksi tersebut dipanaskan dalam penangas air yang airnya telah
dipanaskan selama lima menit. Setelah 5 menit, labu erlemeyer di angkat dari penangas air dan
segera ditambahkan 2 ml aqua dm. setelah 2 sampai 3 menit di tambahkan lagi 20 ml aqua dm
dan dibiarkan labu berisi campuran reaksi mencapai suhu kamar dan mulai mengalami
kristalisasi. Dipastikan bahwa Kristal telah terbentuk sebelum melanjutkan ke tahapan
berikutnya. Ditambahkan kembali dengan 50 ml aqua dm dingin da dinginkan labu beserta isinya
didalam wadah penangas air berisi es sehingga proses pembentukan Kristal sempurna. Kristal
yang diperoleh dikumpulkan mneggunakan corong Buchner yang telah dilapisi kertas saring.
Kristal dicuci dengan sedikit air dingin
Dilakukan rekristalisasi untuk mendapatkan Kristal yang lebih murni, dengan cara
melarutkan Kristal yang sudah terbentuk didalam 5 ml etanol. Kemudian ditambahkan 20 ml air
hangat. Larutan dipanaskan sampai semua Kristal larut, dan kemudian dibiarkan larutan dingin
sampai kembali terbentuk Kristal. Kristal disaring kembali dengan corong Buchner. Kristal yang
sudah terbentuk sesudah dikeringkan diudara ditimbang. Rendemen hasilkristal asam
asetilsalisilat ( aspirin) yang diperoleh dihitung, dengan membandingkan hasil percobaan dengan
berat hasil teoritis.
5.2 Uji tehadap Aspirin
A. Uji reaksi pengkompleksan dengan Besi (III) klorida, FeCl3
Alat dan bahan disiapkan serta 3 tabung yang teah ditandai dengan label asam salisital,
my aspirin ( hasil sintesis yang dilakukan) dan komersial aspirin. Ditempatkan masing-masing
sejumlah sampel dalam tabung reaksi sesuai dengan labelnya. Ditambahkan 20 tetes aqua dm ke
dalamtiap tabung dan digoyangkan untuk melarutkan sampel dalam tabung. larutan 10 % FeCl3
ditambahkan sebanyak 10 tetes ke tiap tabung. perubahan warna larutan di amati dan di catat
hasilnya. Warna ungu menunjukkan adanya asam salisilat dalam sampel.
B. Penentuan Titik Leleh Asam Salisilat dan Aspirin
Alat dan bahan disiapkan. Satu tabung kapiler diisi dengan sampel asam salisilat dan
tabung kapiler yang kedua diisi dengan aspirin hasil sisntesis. Salah satu tabung kapiler di
pasang ke lubang melting blok,kemudian dipanaskan secara perlahan alat melting block di atas
bursen. Thermometer dipasangkan pada alat melting block. Perubahan suhu di amatai dan dicatat
suhu awal padatan leleh dan berubah seluruhnya menjadi cair. Percobaan diulangi kembali untuk
tabung kapiler yang ke dua. Kedua suhu ini merupakan trayek titik leleh zay padat yang diukur.
Pengerjaan diulangi untuk tabung kapiler yang kedua, tetapi melting block harus didinginkan
terlebih dahulu. Titik leleh aspirin pada literature 136°C. Hasil dibandingkan saampel aspirin
yang diperoleh dengan data ini. Semakin kecil trayek titik leleh, semakin murni sampel
anda.semakin dekat hasil pengukuran titik leleh sampel dengan literature, menunjukkan semakin
baik dan teliti praktikan saat bekerja.
C. Analisis Kandungan Aspirin dalam Tablet Aspirin Komersial
Alat dan bahan disiapkan terlebih dahulu. Tablet aspirin sebanyak 2 tablet di hancurkan
terlebih dahulu menggunakan mortar dan stamper, lalu ditempatkan dalam sebuah labu erlemeye
125 ml. serbuk dilarutkan dengan 10 ml etanol. Setelah larut seluruhnya, ditambahkan 3 teteh
fenoftalein dan aqua dm secukupnya sehingga volume total larutan menjadi 50 ml.
Dilakukan titrasi menggunakan larutan baku NaOH 0,1 M sampai mencapai titik
akhirtitrasi yaitu kerita terjadi perubahan warna indicator didalamlarutan. Volume NaOH yang
digunakan di catat. Massa asam asetilsalisilat ( aspirin) di hitung. Menurut peraturan FDA,
Kekuatan tablet aspirin ditenttukan oleh minimal 5 grains asam asetisalisilat ( 1 grains = 0,0638
gram). Aspirin ( asam asetilsalisilat, C9H7O4 bereaksi dengan NaOH dengan perbandingan mol 1
: 1, sehingga jumlah mol NaOH yang digunakan dalam titrasi sama dengan jumlah mol aspirin
dalam tablet.
Kristal :
Setelah rekristalisasi :
kertas perkamen kosong = 0,49 gram
kertas perkamen + Kristal = 1,51 gram
Kristal = ( kertas perkamen +krital) – ( kertas perkamen kosong )
Kristal = 1,51 gram – 0,49 gram = 1,02 gram
ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑐𝑜𝑏𝑎𝑎𝑛
% rendemen = ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠 𝑏𝑒𝑟𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑡𝑜𝑖𝑘𝑖𝑜𝑚𝑒𝑡𝑟𝑖 x 100 %
1,02 𝑔𝑟𝑎𝑚
% rendemen kristal sebelum di rekristalisasi = x 100% = 72, 85 %
1,4 𝑔𝑟𝑎𝑚
B. Titrasi Asam-Basa
Bobot tablet ke 1 = 0,33 gram
Bbot tablet ke 1 setelah digerus = 0,30 gram
Bobot tablet ke 2 = 0,31 gram
Bobot tablet ke 2 setelah digerus = 0,31 gram
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡 𝑘𝑒 1+𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡 𝑘𝑒 2 0,33 𝑔𝑟𝑎𝑚+0,31 𝑔𝑟𝑎𝑚
Rata-rata bobot = = = 0,32 gram
2 2
V1 titrasi = 12,5 mL
V2 titrasi = 12,4 mL
V1+V2 12,5 𝑚𝑙+12,4 𝑚𝑙
Rata-rata volume titrasi = = = 12 ml
2 2
V1 . N1 = V2. N2
12,45 ml . 0,1 = 50 ML . N2
1,245 ml = 50 ml . N2
1,245 𝑚𝑙
N2 = = 0,0249 mol
50 𝑚𝑙
Selanjutnya dilakukan rekristalisasi untuk mendapatkan Kristal yang lebih murni, dengan
cara melarutkan Kristal yang sudah terbentuk didalam 5 ml etanol. Penambahan etanol untuk
mencuci atau membilas Kristal sehingga etanol panas dapat larut dengan Kristal. Kemudian
ditambahkan 20 ml air hangat. Larutan dipanaskan sampai semua Kristal larut, dan kemudian
dibiarkan larutan dingin sampai kembali terbentuk Kristal. Kristal disaring kembali dengan
corong Buchner. Penggunaan corong buchner bertujuan agar pemurnian yang didapat murni
kristalnya saja yang didapat. Apabila kristal dengan air yang terbawa maka rendemen yang
didapat menunjukan rendemen yang tidak murni. Agar proses rekristalisasi ini dapat berjalan
dengan baik, zat pengotor mempunyai kelarutan lebih besar dari senyawa yang diinginkan. Jika
hal ini tidak terpenuhi maka zat pengkotor akan ikut mengkristal bersama senyawa yang
diinginkan. Dampaknya menyebabkan kristal yang diperoleh tidak murni lagi, dimana kemurnian
suatu zat ditentukan oleh rendemen yang diperoleh, semakin tinggi rendemen suatu zat maka
tingkat kemurnian akan semakin tinggi sedangkan semakin kecil nilai rendemen yang diperoleh
dari suatu zat maka tingkat kemurnian semakin rendah. Setelah Kristal dicuci dalam corong
buchner dengan sedikit pelarut dingin. Didapat berat Kristal saat proses rekristalisasi sebanyak
1,02 gram dan rendemen sebebsar 135%. Saat rendemen turun antara hasil rendemen kristalisasi
dan reedmen rekristlalisasi kemungkinan besar terjadikehilangan zat pengotor.
Pada tabung ke tiga saat ditambahkan 20 tetes aqua dan 10 tetes larutan 10% FeCL3
terjadi perubahan warna dimana larutan berubah menjadi berwarnacoklat dan terdapat endapan
putih, yang berarti mengandung asam salisilat dalam jumlah yang sangat sedikit. Menurut
literature, idealnya warna yang didapat adalah kuning coklat kegelapan.
Ditempatkan masing-masing sejumlah sampel dalam tabung reaksi sesuai dengan
labelnya. Ditambahkan 20 tetes aqua dm ke dalamtiap tabung dan digoyangkan untuk
melarutkan sampel dalam tabung. larutan 10 % FeCl3 ditambahkan sebanyak 10 tetes ke tiap
tabung. perubahan warna larutan di amati dan di catat hasilnya. Warna ungu menunjukkan
adanya asam salisilat dalam sampel
B. Penentuan titik leleh asam salisilat dan aspirin
Pengujian titik leleh dilakukan untuk melihat kemurnian suatu sampel, dengan prinsip
mengamati suhu awal dan suhu akhir ketika Kristal berubah bentuk dari padat ke cair.
Pada pengujian titik leleh, didapat pada pipa kapiler yang berisis asam salisilat, titik lelehan
pertama sebesa 141°C dan titik leleh seluruhnya 165°C sedangkan menurut literatur titik lelelh
asam salisilat antara 156°C-161°C ( FI edisi 5, 2014, hal : 163) . Dari hasil percobaan ini
tergolong sesuai, terdapat sedikit perbedaan dengan literatur karena ketidak telitian pengukuran
titik leleh.
Pada pipa kapiler yang berisi my aspirin didapat titik lelehan pertama sebesar 190°C dan
titik leleh seluruhnya 210°C sedangkan menurut literatur titik leleh my aspirin antara 141°C –
144°C (FI edisi III, 1994). Dari hasil percobaan ini sangat jauh berbeda dengan literatur karena
masih adanya sedikit pengotor pada kristal aspirin dan kesalahan yang sangat tidak teliti oleh
praktikan.
C. analisis kandungan aspirin dalam tablet aspirin komersial
Alat dan bahan disiapkan terlebih dahulu. Tablet aspirin sebanyak 2 tablet di
hancurkan terlebih dahulu menggunakan mortr dan stamper untuk mempermudah proses
analisis, lalu ditempatkan dalam sebuah labu erlemeye 125 ml. serbuk dilarutkan dengan 10 ml
etanol. Setelah larut seluruhnya, ditambahkan 3 teteh fenoftalein. Fungsi indikator dalam proses
titrasi adalah untuk menentukan titik ekivalen ketika dua larutan telah mencapai netralisasi.
Indikator dapat berupa internal maupun eksternal. Indikator internal dicampur dengan reaktan
dan biasanya menyediakan tampilan visual segera, sementara indikator eksternal adalah alat
elektrokimia. Dalam kimia, titrasi merupakan teknik analitis yang digunakan untuk memastikan
konsentrasi larutan tidak dikenal. Metode ini melibatkan larutan standar konsentrasi dikenal
disebut titran serta larutan lain dengan konsentrasi diketahui disebut analit. ( ) Fenolftalein
adalah indikator titrasi yang lain yang sering digunakan, dan fenolftalein ini merupakan bentuk
asam lemah yang lain.
Pada kasus ini, asam lemah tidak berwarna dan ion-nya berwarna merah muda terang.
Penambahan ion hidrogen berlebih menggeser posisi kesetimbangan ke arah kiri, dan mengubah
indikator menjadi tak berwarna. Penambahan ion hidroksida menghilangkan ion hidrogen dari
kesetimbangan yang mengarah ke kanan untuk menggantikannya – mengubah indikator menjadi
merah muda. Lalu Ditambahkan aqua dm secukupnya sehingga volume total larutan menjadi 50
ml. Dilakukan titrasi menggunakan larutan baku NaOH 0,1 M sampai mencapai titik akhirtitrasi
yaitu kerita terjadi perubahan warna indicator didalamlarutan.
Didapat massa aspirin sebesar 224,1 mg. Standar kelayakan berdasarkan FDA adalah
minimal 5 grains asam asetil salisilatdalam 1 tablet (1 grains = 0,0648 g). berarti minimal harus
terdapat 0,324 gram / 324 mg asetil alisilat dalam 1 tablet. Jadi berdasarkan uji ini, kandungan
aspirin dalam tablet belum memenuhi standar FDA. Hal ini terjadi karena adanyakemungkinan
kesalahan dalam percobaan. Salah satunya adalah sepertiketidaktelitian praktikan dalam
melakukan percobaan, seperti: tidak tepatdalam melakukan penimbangan serta adanya zat
pengotor yang dapatmengakibatkan hasil yang diperoleh kurang valid.
VIII. Kesimpulan
Aspirin dapat disintesis dari asam salisilat dan asetat anhidrat dengan cra
esterifikasifenol. Didapat hasil Kristal dari kristalisasi sebanyak 1,89 dengan rendemen 135%
dan didapat Kristal dari rekristalisasi sebanyak 1,02 gram dengan rendemen 72,85%.
Pada pengujian titik leleh, didapat pada pipa kapiler yang berisis asam salisilat, titik
lelehan pertama sebesa 141°C dan titik leleh seluruhnya 165°C. Pada pipa kapiler yang berisi my
aspirin didapat titik lelehan pertama sebesar 190°C dan titik leleh seluruhnya 210°C. hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa pengujian kemurnian sampel tidak murni, rentan nilai titik leleh
dengan literature sangatlah berbeda jauh.
Pada uji reaksi pengkompleksan, tablet aspirin dan hasil sintesis masih banyak
mengandung fenol. Pada uji kandungan aspirin dalam tablet aspirin komersial dengan titrasi
asama basa, kadar yang diperoleh dari tablet komersial aspirin didapat rendemen sebesar
70,03%.
DAFTAR PUSTAKA