OLEH :
NOPIDA HARAHAP
JAWABAN No. 1
Penjelasan :
- /takut/ - */aukt/
- /kuta/ - */uakt/
- /kuat/ - */ktua/
- /akut/ - */tkua/
- */tkau/
Deretan bunyi sebelah kiri dapat berterima karena sesuai dengan kaidah sistagmatik
bahasa Indonesia. Sedangkan deretan bunyi sebelah kanan yang diberi tanda asterik (*) tidak
dapat berterima karena tidak sesuai dengan kaidah sintagmatik bahasa Indonesia.
Berbeda dengan kaidah sintagmatik, kaidah paradigmatik mengatur hubungan antara unsur yang
ada dengan unsur yang belum ada. Misalnya dari konstruksi /kuta/ dapat berubah menjadi /kita/.
Bunyi /u/ pada kuta diganti dengan bunyi /i/. Demikian pula dari /kita/ dapat diubah menjadi
/kota/ dengan menggantikan bunyi /i/ dengn bunyi /o/.
Dari paparan tersebut dapat diketahui sebagai sebuah sistem, bahasa sekaligus bersifat
sistematis dan sistemis. Sistematis artinya bahasa itu tersusun menurut suatu pola; tidak tersusun
secara acak dan secara sembarangan. Sedangkan sistemis artinya bahasa itu bukan merupakan
sistem tunggal, tetapi terdiri atas subsistem atau sistem bawahan. Terdapat subsistem fonologi,
morfologi, sintaksis, leksikon dan semantik. Subsistem fonologi, morfologi, dan sintaksis
bersifat hierarkial, dan terkait dengan subsistem semantik. Subsistem leksikon berada di luar
subsistem struktural namun tetap terkait dengan subsistem semantik. Sistem bahasa yang bersifat
hierarkial inilah yang membedakannya dengan sistem yang lain. Sistem lain umumnya tidak
mempunyai sifat tersebut.
Dalam sistem bahasa yang hierarkis, tataran paling kecil adalah bunyi. Bunyi bergabung
dengan bunyi membentuk morfem. Morfem bergabung dengan morfem membentuk kata. Kata
bergabung dengan kata membentuk frase. Frase dengan frase membentuk konstruksi klausa. Satu
klausa atau beberapa kalimat dapat bergabung membentuk suatu kalimat. Kalimat yang satu
dirangkai dengan kalimat yang lain membangun konstruksi wacana. Tataran dalam bahasa
tersebut dapat dibagankan sebagai berikut.
fonem m
morfem a
k
kata
frase
klausa
kalimat n
wacana a
a. Tanda
Tanda adalah suatu atau sesuatu yang dapat menandai atau mewakili ide, pikiran,
perasaan, benda, dan tindakan secara langsung dan alamiah. Tanda bisa dianggap sebagai
istilah umum dalam studi semiotik. Misalnya ketika kita melihat adanya pecahan kaca
berserakan di jalan, hal itu secara langsung dapat menjadi tanda kalau baru saja terjadi
kecelakaan. Contoh lain ketika kita melihat banyak lumpur di jalan dan bahkan masuk ke
dalam rumah, hal tersebut dapat menjadi tanda kalau baru saja terjadi banjir. Ketika
banyak dahan berjatuhan dan beberapa pohon roboh, hal tersebut dapat menjadi tanda
kalau baru terjadi angin ribut.
e. Gejala
Gejala adalah suatu tanda yang tidak disengaja, yang dihasilkan tanpa maksud tetapi
secara almiah menunjukkan atau mengungkapkan bahwa sesuatu akan terjadi. Misalnya
ketika seseorang bersin-bersin. Hal itu menunjukkan gejala flu; panas yang tinggi
merupakan gejala penyakit tipus.
f. Kode
Kode adalah tanda baik berupa simbol, sinyal, maupun gerak isyarat yang dapat
mewakili pikiran, perasaan, ide, benda, tindakan yang disepakati untuk maksud tertentu.
Kode bersifat sistematis yang dipahami oleh mereka yang sudah sepakat
menggunakannya. Karena untuk menjaga kerahasiaan, sekelompok penutur tertentu
menggunakan kode-kode agar tidak dipahami oleh orang lain.
g. Indeks
Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya sesuatu yang lain. Misalnya adanya asap
menunjukkan adanya api; suara gemuruh air menunjukkan adanya suatu air terjun atau
datangnya banjir bandang.
h. Ikon
Ikon adalah gambar/patung dari wujud yang diwakilinya. Misalnya: denah jalan,
gambar monumen, patung pahlawan.
A : lambang
B : makna
C : acuan / referen
Sebagai contoh kata kuda dilambangkan dengan deretan bunyi /k u d a/ (A). Deretan
bunyi tersebut mempunyai makna B : ‘kuda’ yang merujuk pada binatang yang biasanya
digunakan untuk tunggangan atau menarik sado (C). Kebermaknaan bahasa tersebut
tidak hanya pada tataran kata, tetapi juga pada tataran bunyi, morfem, frase, klausa,
kalimat, dan wacana. Pada tataran kalimat misalnya, urutan kata dapat mempengaruhi
makna yang dihasilkan. Misalnya pada kalimat berikut.
- Adik sedang membacakan temannya puisi.
- Temannya sedang membacakan adik puisi.
Kedua kalimat tersebut mempunyai unsur pembentuk yang sama, tetapi karena
perbedaan urutan kata, makna kalimatnya jadi berbeda. Meskipun berbeda, kedua
kalimat tersebut masih berterima dalam bahasa Indonesia.
JAWABAN No 2
Jawabannya SETUJU
Penjelasan :
4) Ujaran Telegrafis
Pada usia 2 dan 3 tahun, anak mulai menghasilkan ujaran kata-ganda (multiple-word
utterances) atau disebut juga ujaran telegrafis. Anak juga telah mampu membentuk kalimat
dan mengurutkan bentuk-bentuknya dengan benar. Pun kosakata anak berkembang dengan
pesat mencapai beratus-ratus kata dan cara pengucapan kata-kata semakin mirip dengan
bahasa orang dewasa.
Ada teori yang menyatakan bahwa anak memperoleh bahasa adalah dengan cara
menirukan. Namun, Fromkin dan Rodman (1993: 403) menyebutkan hasil peniruan yang
dilakukan oleh si anak tidak akan sama seperti yang diinginkan oleh orang dewasa. Ada lagi
teori yang mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan cara penguatan (reinforcement),
yakni apabila anak belajar ujaran yang benar akan mendapat pujian, begitupun sebaliknya.
Namun teori ini belum disetujui seratus persen oleh para ahli psikologi dan ahli
psikolinguistik. Yang benar adalah anak membentuk aturan-aturan dan menyusun tata bahasa
sendiri.
1) Faktor Alamiah.
Yang dimaksudkan di sini adalah setiap anak lahir dengan seperangkat prosedur dan
aturan bahasa yang dinamakan oleh Chomsky Language Acquisition Divice (LAD). Anak
tidak dirangsang untuk mendapatkan bahasa, anak tersebut akan mampu menerima apa yang
terjadi di sekitarnya.
4) Faktor Keturunan.
Faktor keturunan meliputi:
a. Intelegensia.
Pemerolehan bahasa anak turut juga dipengaruhi oleh intelegensia yang dimiliki
anak. Ini berkaitan dengan kapasitas yang dimiliki anak dalam mencerna sesuatu melalui
pikirannya. Setiap anak memiliki struktur otak yang mencakup IQ yang berbeda antara satu
dengan yang lain. Semakin tinggi IQ seseorang, semakin cepat memperoleh bahasa,
sebaliknya semakin rendah IQ-nya, semakin lambat memperoleh bahasa. Namun hal ini
tidak terlalu berpengaruh karena semuanya dikembalikan kepada si anak.
2 Pengertian Pembelajaran
Sedangkan kegiatan pembelajaran (ta’liim/ at tadris) adalah proses yang identik
dengan kegiatan mengajar yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi kegiatan belajar. Dalam
KBBI edisi V, pembelajaran berarti proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk
hidup belajar. Bahauddin (2007 : 116) menjelaskan bahwa pembelajaran adalah proses untuk
membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Sehingga dapat kita tarik
kesimpulan, bahwa pembelajaran bahasa adalah prosses penguasaan bahasa, baik pada
bahasa pertama ataupun bahasa kedua. Proses penguasaan bahasa sendiri, meliputi
penguasaan secara alamiah (acquisition) maupun secara formal (learning) (krashen, 1981 :
40).
1. Tipe naturalistik
Hampir sama dengan pemerolehan bahasa pertama, tipe naturalistik berlangsung secara
alami yakni di lingkungan. Hanya saja yang membedakannya adalah kesadaran atau
kesengajaannya.
2. Tipe Formal
Formal maksudnya adalah berlangsung dalam pendidikan dan memiliki sarana prasarana
penunjang, seperti sekolah ataupun kursus.
a. Faktor motivasi
Dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa kedua, motivasi mempunyai dua
fungsi, yaitu (1) fungsi integratif dan (2) fungsi instrumental. Berfungsi integratif jika
motivasi itu mendorong seseorang untuk mempelajari suatu bahasa karena adanya keinginan
untuk berkomunikasi dengan masyarakat. sedangkan motivasi berfungsi instrumental adalah
jika motivasi itu mendorong pembelajar untuk memiliki kemauan untuk mempelajari bahasa
kedua itu karena tujuan yang bermanfaat atau karena ingin memperoleh suatu pekerjaan atau
mobilitas sosial pada masyarakat tersebut (gardner, 1972: 3.)
b. Faktor usia
Dalam hal kecepatan dan keberhasilan bahasa kedua, dapat disimpulkan: (1) anak-
anak lebih berhasil dalam pemerolehan sistem fonologi atau pelafalan dibandingkan orang
dewasa; (2) orang dewasa tampaknya maju lebih cepat daripada kanak-kanak dalam bidang
morfologi dan sintaksis, paling tidak pada permulaan masa belajar; (3) kanak-kanak lebih
berhasil dibandingkan orang dewasa, tetapi tidak selalu lebih cepat (‘oyama, 1976; dulay,
burt, dan krashen, 1982; asher dan gracia, 1969).
d. Faktor lingkungan
Lingkungan bahasa dapat dibedakan menjadi lingkungan formal seperti di kelas dalam
proses belajar-megajar dan artifisial dan lingkungan informal atau natural (krshen, 1981:
40).
5 Proses Pembelajaran
1. Proses Belajar Bahasa Model Krashen (1976)
a. Hipotesis Pemerolehan Dan Pembelajaran Bahasa
Yaitu hipotesis yang menyatakan bahwa anak kecil dalam meguasai bahasa
pertama terjadi secara ambang sadar (sub-consiusness) dan bersifat alamiah. Proses
ini disebut pemerolehan(acquisition). Orang dewasa dalam proses menguasai
bahasa kedua atau bahasa asing terjadi secara sadar (consiusness) melalui bentuk-
bentuk bahasa dan mewujudkannya dalam bentuk verbal. Orang dewasa mengusai
bahasa melalui kaidah-kaidah formal bahasa. Proses ini disebut dengan belajar
(learning). Adapun identifikasi proses penguasaan bahasa oleh kanak-kanak dan
orang dewasa adalah sebagai berikut:
a). Proses Penguasaan Bahasa Anak
Proses terjadi secara ambang sadar pada pemerolehan bahasa pertama
Komunikasi terjadi secara alamiah
Keberhasilan belajar bahasa bagi anak tidak mungkin dihindari
Pembelajar tidak dapat menyebut aturan tata bahasa
Tidak diperkuat oleh pengajaran, uraian tentang tatabahasa, dan tidak ada
koreksi
Proses diatur oleh strategi universal yang disebut LAD (Language
Acquisition Device)
c. Hipotesis Monitor
Bahwa kegiatan berbahasa melalui kaidah-kaidah kebahasaan yang dipelajari secara
sadar hanya berfungsi sebagai monitor dan editor.proses moniyor hanya dapat
berlangsung apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
a) Ada waktu yang cukup bagi pembelajar untuk memilih dan menerapkan
kaidah yang dipelajarinya
b) Difokuskan pada bentuk-bentuk bahasa yang benar menurut kaidah
c) Pembelajar harus memahami dan menguasai kaidah bahasa yang
dipelajarinya secara benar
d. Hipotesis Input
Menyatakan bahwa kemampuan berbahasa (out put) seseorang bergantung
kepada masukannya. Jika masukannya benar, maka keluarannya pun juga akan
benar.dalam proses penguasaan bahasa pada aspek menyimak dan membaca
pemahaman memiliki peranan penting dalam progam belajar bahasa, dan
kemampuan berbicara dan menulis dalam bahasa kedua akan mengair dari kedua
aspek tersebut.
e. Hipotesis Filter Afektif
Semakin besar saringan afektif pembelajar akan semakin sukar menguasai
bahasa kedua.wujud dari saringan afektif yang semakin besar adalah berupa
hambatan psikologis (inhibisi) seseorang, misalnya rasa malu, cemas, rasa takut.
2. Proses Belajar Bahasa Model Bialystok
Proses belajar bahasa model bialystok (1978) diorganisasikan dalam 3 tataran, yaitu
input, knowladge dan out put.
a. Tataran input
berupa pengalaman berbahasa pembelajar yang telah dipajan (expouser) melalui
belajar membaca dan berbicara.
b. Tataran knowledge
Berupa cara penyimpanan informasi.cara penyimpanannya meliputi
penyimpanan implisit berupa pengetahuan intuitif.cara penyimpanan eksplisit
berupa pengetahuan bahasa secara sadar dan cara penyimpanan informasi eksplisit
berupa pengetahuan bahasa secara sadar.pengetahuan eksplisit mempunyai 3 fungsi,
yaitu :
a) Sebagai dasar informasi baru sebelum disimpan dalam pengetahuan implisit
b) Sebagai gudang informasi
c) Sebagai sistem artikulasi untuk pengethuan implisit yang mungkin dipakai
secara eksplisit.
Sedang oengetahuan implisit hanya mempunyai satu fungsi, yaitu untuk
menyimpan semua informasi tentang bahasa target yang diperlukan untuk
mengungkapkan dan memahami bahasa.
Pemerolehan bahasa:
Proses terjadi secara ambang sadar pada pemerolehan bahasa pertama
Komunikasi terjadi secara alamiah
Keberhasilan belajar bahasa bagi anak tidak mungkin dihindari
Pembelajar tidak dapat menyebut aturan tata bahasa
Tidak diperkuat oleh pengajaran, uraian tentang tatabahasa, dan tidak ada koreksi
Proses diatur oleh strategi universal yang disebut LAD (Language Acquisition Device)
Pembelajaran Bahasa:
Proses ini terjadi pada saat orang dewasa belajar bahasa kedua
Proses terjadi secara sadar dan terjadi secara internalisasi aturan tatabahasa
Kemampuan yang dimiliki merupakan hasil dari pengajaran
Proses penguasaan bahasa tidak mungkin dihindari
Pembelajar memiliki rumusan-rumusan aturan tatabahasa
JAWABAN No 3
Penjelasan :
b. 1 tahun
- Mulai mengoceh
Bentuk ucapan hanya satu kata, sederhana, mudah diucapkan dan memiliki arti konkrit
(nama benda, kejadian atau orang-orang di sekitar anak).
c. 2 tahun
Kebanyakan mulai mencapai kombinasi dua kata yang dikombinasikan dalam ucapan-
ucapan pendek tanpa kata penunjuk, kata depan atau bentuk lain yang seharusnya
digunakan.
Mulai mengenal berbagai makna kata tetapi tidak dapat menggunakan bentuk bahasa
yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu terjadinya peristiwa.
d. Taman Kanak-kanak
e. Sekolah Dasar
Penggunaan bahasa yang khas sebagai bagian dari terbentuknya identitas diri (merupakan
usia yang sensitif untuk belajar berbahasa) (Gleason, 1985: 6)
g. Dewasa
Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara individu yang satu dengan yang lainnya
dalam perkembangan bahasa (sesuai dengan tingkat pendidikan, peranan dalam
masyarakat, dan jenis pekerjaan.
JAWABAN No. 4
Uraian :
Dalam penjelasan Tarigan (1988:164) terdapat enam dimensi pemerolehan bahasa, yaitu
propensity (kecenderungan), language faculty (kemampuan berbahasa), acces (jalan masuk),
sructure (struktur), tempo (kecepatan), dan end state (keadaan akhir atau tujuan akhir).
Berikut ini penjelasan dimensi pemerolehan bahasa.(disarikan dari Klein, 1986 : 35-46)
Dan terdapat tiga pula kategori yang memberi ciri kepada proses tersebut, yaitu :
4. Structure “struktur”
5. Tempo “kecepatan”
6. End state “keadaan akhir” atau “tujuan akhir”
Dimensi Pemerolehan Bahasa
Dalam penjelasan Tarigan (1988:164) terdapat enam dimensi pemerolehan bahasa, yaitu
propensity (kecenderungan), language faculty (kemampuan berbahasa), acces (jalan masuk),
sructure (struktur), tempo (kecepatan), dan end state (keadaan akhir atau tujuan akhir).
Berikut ini penjelasan dimensi pemerolehan bahasa.
end state
"keadaan Enam
akhir" Dimensi
atau
"tujuan akhir" PB2
Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa, yaitu propensity
(“kecenderungan”), language faculty (“kemampuan berbahasa”), dan acces (“jalan masuk”)
ke bahasa. Dan terdapat tiga pula kategori yang memberi ciri kepada proses tersebut, yaitu
struktur, tempo, dan end state (“keadaan akhir”).
1. Propensity (Kecenderungan)
Dimensi kecenderungan dapat mempengaruhi pelajar bahasa dalam memperoleh sesuatu
bahasa, dan itu merupakan hasil interaksi mereka yang menentukan kecenderungan aktual
pelajar bahasa. Ada dua alasan dimesi kecenderungan mempengaruhi pemerolehan bahasa.
Pertama, selama mereka tidak mempengaruhi segala aspek pemerolehan bahasa pada taraf
yang sama, maka tidaklah bijaksana mengaitkan kecenderungan dengan proses
pemerolehan dalam suatu cara yang umum (sebenarnya, hanya unsur-unsur kecenderungan
yang khusus sajalah yang dapat dikembangkan secara sensibel dengan aspek-aspek khusus
proses itu); kedua, elemen-elemen kompenen kecenderungan dapat dipengaruhi oleh faktor-
faktor eksternal (misalnya, pengajaran) sampai pada taraf-taraf tertentu. Empat komponen
kecenderungan menurut Tarigan digambarkan sebagai berikut:
Social
Education integration
'Pendidikan' 'Integrasi sosial'
Empat
Komponen
Kecenderungan
Communicative
Attitude
needs
'Sikap'
'Kebutuhan
Komunikatif'
Berdasarkan diagram di atas ada empat komponen kecenderungan, yaitu integrasi sosial,
sikap, kebutuhan komunikatif, dan pendidikan. Dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1)
integrasi sosial seakan-akan merupakan sesuatu yang dominan, karena akan membentuk
suatu identitas sosial yang mempengaruhi personal sang anak. Kebutuhan komunikatif harus
dibedakan dengan cermat dan tepat dari integrasi sosial, karena kebutuhan komunikatif lebih
menitikberatkan kepada suatu pemahaman dalam masyarakat dengan ucapan – ucapan atau
bahasa yang berbeda. Sedang sikap merupakan karakter yang beranekaragam yang timbul
atas bahasa yang dipelajari serta terhadap orang yang berbicara dengan bahasa tersebut,
pada umumnya dianggap sebagai suatu faktor penting belajar bahasa, karena anak dapat
juga tumbuh di dalam lingkungan bahasa yang berbeda saat memperoleh bahasa dari kedua
orang tuanya.
Yang terakhir, komponen pendidikan, dapat dijelaskan bahwa bahasa kedua dapat dipelajari
dengan cara yang sama seperti perangkat teori atau biologi, hanya karena bahasa itu
termasuk organisasi pendidikan suatu masyarakat tertentu. Misalnya seseorang yang telah
berpendidikan dapat menelaah bahasa latin atau beberapa bahasa modern lainnya.
Pemerolehan bahasa spontan mencakup belajar di dalam dan melalui interaksi sosial. Pelajar
bahasa diharuskan mempergunakan sebaik-baiknya segala pengetahuan yang tersedia
padanya agar dapat memahami apa yang dikatakan orang lain dan menghasilkan ucapan-
ucapannya sendiri. Hal ini ditunjang observasi pertama, pelajar disajikan dengan lebih banyak
masukan linguistik dengan frekuensi yang meningkat dan dalam jangkauan yang lebih luas;
kedua mendapat lebih banyak kesempatan menguji produksi ujaranya sendiri yang berasal
dari lingkungannya untuk membuktikan hipotesis-hipotesisnya mengenai stuktur bahasa
sasaran.
Dalam dimensi struktur proses ada dua hal yang dibicarakan, yaitu sinkronasi dan
variabilitias.
a. Sinkronasi
Penguasaan suatu bahasa mencakup pemerolehan terhadap segala jenis pengetahuan
linguistik. Mengetahui suatu bahasa, sang pembicara harus mampu membuat
penggunaan yang pantas terhadap tipe-tipe informasi berikut ini:
1) Pengetahuan Fonologis
Bahasa Inggris, bahkan terlebih-lebih bahasa Jerman, membedakan antara vokal pendek
dan vokal panjang: live – leave, kin – keen, atau Mitte – Miete dalam kontras misalnya
dengan bahasa Spanyol. Berbeda dengan bahasa Inggris, bahasa Jerman justru
memperlihatkan perbedaan-perbedaan antara plosif akhir yang bersuara dan yang tidak
bersuara (hat – had).
2) Pengetahuan Morfologis
Verba-verba bahasa Inggris mempunyai infleksi yang sangat terbatas (-ed buat waktu, -s
untuk orang ketiga tunggal), dengan variasi-variasi tertentu bagi verba yang tidak reguler,
sedangkan bahasa-bahasa Eropa lainnya lebih rumut dari itu.
3) Pengetahuan Sintaksis
Adjektiva atributif ditempatkan di muka nomina dalam bahasa Inggris dan bahasa Jerman,
sedangkan susuanan itu justru sebaliknya dalam bahasa Perancis.
4) Pengetahuan Leksikal
Setiap bahasa mengasosiasikan pola-pola bunyi tertentu dengan makna-makna tertentu,
yaitu mempunyai kosakata (atau leksikon) yang terdiri dari kata tugas (di, ke ,dari, pada)
dan kata penuh (nasi, rumah, saya, besok, kucing); sebagai tambahan juga mempunyai
idiomatik dan gaya bahasa. Kebanyakan bahasa mengenal gabungan-gabungan kata
(pemerolehan bahasa kedua; second language acquisition); sedangkan bahasa Jerman
memperlakukannya sebagai kata-kata tunggal (Zweitspracherwerb).
Pengetahuan bahasa merupakan suatu keseluruhan fungsional, yang tersusun dari
berbagai unsur tetapi tetap merupakan keterpaduan elemen-elemen.
Kesalingtergantungan fungsional menjadi masalah bagi pelajar bahasa. Setiap tahap
pemerolehan memerlukan hubungan keseimbangan yang baik antara berbagai aspek
pengetahuan linguistik.
b. Variabilitas
Proses pemerolehan bahasa terjadi berbagai variasi pada diri para pelajar bahasa. Faktor-
faktor penyebabnya tentu banyak, di antaranya adalah komponen-komponen kecakapan
yang berbeda-beda, perangkat biologis pelajar bahasa, pengetahuannya, ketersediaan
masukan linguistik tertentu; semua ini membentuk suatu konsistensi dan tidak akan
pernah sama pada setiap pelajar bahasa. Walaupun terdapat variabilitas itu, namun
pemerolehan bahasa jelas merupakan subjek bagi regulitas-regulitas tertentu. Dengan ini
dapat dikatakan bahwa pemerolehan bahasa dikendalikan oleh hukum-hukum
deterministik seperti halnya proses-proses biologis atau fisik.
4. Dimensi Tempo
Dimensi tempo pemerolehan bahasa berkaitan dengan waktu, kesempatan, dan kondisi
pembelajar saat memperoleh bahasa. Kebutuhan-kebutuhan komunikatif yang sifatnnya
mendesak akan mempercepat kemajuan pemerolehan bahasa bagi pelajar bahasa,
sedangkan jalan masuk yang terbatas bagi bahan linguistik atau kesempatan-kesempatan
berkomunikasi yang terbatas akan memperlambat kemajuan pemerolehan bahasa. Tempo
pemerolehan bahasa juga tidak lepas dari pengaruh faktor lain. Misalnya, ingatan yang kurang
baik dapat menjadi rintangan atau kendala yang serius. Sama masuk akalnya dengan ide
bahwa ada orang yang mempelajari bahasa ke-41 akan memperoleh waktu dan kesempatan
yang lebih mudah daripada seseorang yang bergumul dengan bahasa keduanya. Tapi hal ini
merupakan kasus-kasus yang luar biasa ekstrim.
5. Dimensi Keadaan Akhir/Tujuan Akhir (End State)
Secara ideal, tujuan akhir menggambarkan suatu target yang sempurna mengenai
pemerolehan bahasa. Istilah “bahasa” hendaknya tidak mengaburkan atau menyembunyikan
fakta, bahwa setiap bahasa terdiri dari berbagai ragam varian seperti: dialek, register,
sosiolek, dan sebagainya. Tidak mungkin seorang pembicara yang dapat menguasai seluruh
varian ini. Sesungguhnya para pelajar bahasa kedua dapat berbahasa layaknya pembicara
pribumi dalam penguasaan bahasa, paling tidak dalam bidang-bidang tertentu, seperti
kosakata atau sintaksis. Akan tetapi, sebagai kaidah, proses pemerolehan bahasa akan
berhenti pada titik lama sebelum penguasaan bahasa yanga sebenarnya dapat dikuasai
secara sempurna menjadi ‘fosilisasi’. Ada dua aspek “fosilisasi”, yaitu:
• Seorang pelajar bahasa hanya merasa tidak perlu meningkatkan mutu ucapannya
lebih jauh dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan komunikatifnya
• Dia mungkin merasakan kebutuhan atau perlunya membuat suatu jarak dari
lingkungan sosialnya, yaitu memelihara paling sedikit sebagian dari identitas sosialnya
sebelumnya
• Pemroses bahasa itu sendiri mungkin saja telah melalui perubahan-perubahan
fisiologis dengan usia (alam sistem syaraf pusat) yang mencegah pelajar dari
memperoleh ucapan asli bahasa sasaran
• Pelajar bahasa mungkin tidak memperhatikan lebih lama perbedaan antara
produksinya sendiri dan yang dari lingkungannya, dan lagi kegagalan ini mungkin
mempunyai alasan yang agak berbeda. Meskipun demikian, para pelajar pada
prinsipnya mampu menguasai fonologi suatu bahasa asing sampai tingkat yang
mencegah para pembicara asli dari mengenal mereka sebagai yang non-asli atau non-
pribumi.
b. Kembali mengerjakan kebiasaan lama yang ‘tercela’ (backsliding) terhadap varietas
bahasa terdahulu.
Pada saat tertentu, seorang pelajar mungkin tiba-tiba mundur kembali ke tahap
pemerolehan terdahulu, di tengah perjalanan atau di tengah-tengah pertukaran penggunaan
bahasa. Ini mungkin berlangsung pada beberapa kalimat saja, pada saat pelajar bahasa
mengabaikan hal-hal penting mengenai nomina, verba infleksi, dan sebagainya. Secara
relatif pembicara yang lancar berbahasa kedua kerapkali mencatat bahwa kelelahan setelah
waktu percakapan yang diperpanjang mengakibatkan timbulnya sejumlah kesalahan dan
rasa kegelisahan yang umum dalam bahasa tersebut. Ini mungkin merupakan suatu tanda
kehadiran varietas-varietas bahasa terdahulu yang terpendam. Yang belakangan itu tidak
akan hilang tanpa jejak, tetapi agaknya dikesampingkan oleh varietas-varietas baru,
sehingga yang terakhir itu merupakan keadaan akhir.