Anda di halaman 1dari 25

TUGAS AKHIR MODUL 3 DARING 2

OLEH :
NOPIDA HARAHAP

TUGAS AKHIR MODUL 3

1. Jelaskan secara umum 12 karakteristik/ciri-ciri bahasa!

2. Bacalah penjelasan berikut ini!


Pemerolehan dan pembelajaran merupakan konsep yang berbeda. Pemerolehan bahasa
diartikan sebagai penguasaan bahasa pertama seorang anak di mana dia tinggal. Proses
pemerolehan bahasa ini berlangsung secara ambang sadar. Pembelajaran adalah proses
penguasaan bahasa target (bahasa kedua) yang dilakukan oleh seseorang guna kepentingan
tertentu, misalnya untuk tujuan pekerjaan, akademis, ekonomi, dan lain-lain.

Berdasarkan penjelasan tersebut, setujukah Anda dengan pendapat tersebut? Jelaskan!

3. Uraikan fase-fase pemerolehan bahasa tersebut sesuai dengan pemahaman Anda!

4. Uraikan enam dimensi pemerolehan bahasa!

JAWABAN No. 1

12 Karakteristik/ Ciri-ciri Bahasa

Penjelasan :

1. Bahasa sebagai Sistem


Sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang
bermakna atau berfungsi. Suatu sistem dibentuk oleh sejumlah unsur atau komponen yang
satu dengan lainnya berhubungan secara fungsional. Sebagai contoh, kita dapat mengamati
yang terdapat dalam tubuh kita. Tubuh manusia sebagai suatu sistem terdiri atas bagian-
bagian yang saling berhubungan. Ketika salah satu bagian mengalami suatu gangguan, hal
tersebut akan mengganggu kinerja sistem. Suatu contoh ketika kepala kita pusing karena
migrain atau karena flu yang berat, hal tersebut akan mengganggu keseluruhan kinerja tubuh
kita. Tubuh menjadi lemas dan tidak bersemangat. Demikian pula yang terjadi dengan sistem
yang bekerja pada sebuah sepeda motor misalnya, ketika ban sepeda motor kempes, sepeda
motor tersebut tidak dapat berfungsi secara maksimal.
Seperti halnya, tubuh manusia dan sepeda motor. Sebagai suatu sistem, bahasa terdiri
atas komponen-komponen yang membangun dan saling berhubungan. Dalam bahasa
terdapat komponen bunyi, morfem, kata, kalimat, dan makna. Komponen-komponen
tersebut dihubungkan sehingga terbentuk suatu ujaran yang bermakna. Sebagai contoh dapat
kita amati bentuk berikut.
- Anak kecil itu lucu sekali.
- *Kecil itu lucu anak sekali.
Dua konstruksi tersebut sama-sama terdiri atas lima kata. Konstruksi pertama dapat
diterima sebagai ujaran yang sesuai dengan sistem bahasa Indonesia, sedangkan ujaran yang
kedua tidak dapat berterima karena tidak sesuai dengan sistem bahasa Indonesia. Dalam
suatu sistem, terdapat kaidah-kaidah yang menata sehingga hubungan antara satu unsur yang
satu dengan unsur yang lain dalam suatu bahasa dapat berterima. Terdapat kaidah yang
mengatur hubungan antarunsur secara linear (mendatar) yang mengatur hubungan unsur
yang hadir dengan unsur yang mendaha\ului atau yang menyertai. Kaidah ini disebut sebagai
kaidah sintagmatik. Misalnya hubungan antara bunyi /a/, /u/, /k/, dan /t/. Empat unsur bunyi
tersebut dapat bergabung membentuk suatu konstruksi sebagai berikut.

- /takut/ - */aukt/
- /kuta/ - */uakt/
- /kuat/ - */ktua/
- /akut/ - */tkua/
- */tkau/

Deretan bunyi sebelah kiri dapat berterima karena sesuai dengan kaidah sistagmatik
bahasa Indonesia. Sedangkan deretan bunyi sebelah kanan yang diberi tanda asterik (*) tidak
dapat berterima karena tidak sesuai dengan kaidah sintagmatik bahasa Indonesia.
Berbeda dengan kaidah sintagmatik, kaidah paradigmatik mengatur hubungan antara unsur yang
ada dengan unsur yang belum ada. Misalnya dari konstruksi /kuta/ dapat berubah menjadi /kita/.
Bunyi /u/ pada kuta diganti dengan bunyi /i/. Demikian pula dari /kita/ dapat diubah menjadi
/kota/ dengan menggantikan bunyi /i/ dengn bunyi /o/.
Dari paparan tersebut dapat diketahui sebagai sebuah sistem, bahasa sekaligus bersifat
sistematis dan sistemis. Sistematis artinya bahasa itu tersusun menurut suatu pola; tidak tersusun
secara acak dan secara sembarangan. Sedangkan sistemis artinya bahasa itu bukan merupakan
sistem tunggal, tetapi terdiri atas subsistem atau sistem bawahan. Terdapat subsistem fonologi,
morfologi, sintaksis, leksikon dan semantik. Subsistem fonologi, morfologi, dan sintaksis
bersifat hierarkial, dan terkait dengan subsistem semantik. Subsistem leksikon berada di luar
subsistem struktural namun tetap terkait dengan subsistem semantik. Sistem bahasa yang bersifat
hierarkial inilah yang membedakannya dengan sistem yang lain. Sistem lain umumnya tidak
mempunyai sifat tersebut.
Dalam sistem bahasa yang hierarkis, tataran paling kecil adalah bunyi. Bunyi bergabung
dengan bunyi membentuk morfem. Morfem bergabung dengan morfem membentuk kata. Kata
bergabung dengan kata membentuk frase. Frase dengan frase membentuk konstruksi klausa. Satu
klausa atau beberapa kalimat dapat bergabung membentuk suatu kalimat. Kalimat yang satu
dirangkai dengan kalimat yang lain membangun konstruksi wacana. Tataran dalam bahasa
tersebut dapat dibagankan sebagai berikut.

fonem m
morfem a
k
kata
frase
klausa
kalimat n
wacana a

2. Bahasa sebagai Lambang


Dalam studi semiotik (ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan
manusia), tanda dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu tanda (sign), lambang (symbol),
isyarat/sinyal (signal), gejala (symptom), gerak isyarat (gesture), kode (code), indeks (index),
dan ikon (icon).

a. Tanda
Tanda adalah suatu atau sesuatu yang dapat menandai atau mewakili ide, pikiran,
perasaan, benda, dan tindakan secara langsung dan alamiah. Tanda bisa dianggap sebagai
istilah umum dalam studi semiotik. Misalnya ketika kita melihat adanya pecahan kaca
berserakan di jalan, hal itu secara langsung dapat menjadi tanda kalau baru saja terjadi
kecelakaan. Contoh lain ketika kita melihat banyak lumpur di jalan dan bahkan masuk ke
dalam rumah, hal tersebut dapat menjadi tanda kalau baru saja terjadi banjir. Ketika
banyak dahan berjatuhan dan beberapa pohon roboh, hal tersebut dapat menjadi tanda
kalau baru terjadi angin ribut.

b. Lambang atau simbol


Lambang atau simbol adalah suatu atau sesuatu yang menandai hal lain tidak secara
langsung dan alamiah, tetapi bersifat konvensional. Misalnya warna merah secara
konvensional dianggap melambangkan keberanian, sedangkan warna putih
melambangkan kesucian. Tetapi dalam dunia perpolitikan di Indonesia, warna merah
dianggap melambangkan PDI Perjuangan, warna hijau identik dengan PKB atau partai
Islam, warna biru melambangkan Partai Amanat Nasional, dan warna kuning identik
dengan Partai GOLKAR.
Bunyi-bunyi suatu bahasa dilambangkan dengan menggunakan huruf-huruf tertentu.
Setiap bahasa mempunyai konvensi tersendiri berkaitan dengan sistem huruf yang
digunakan untuk melambangkan bunyi bahasanya. Bunyi-bunyi bahasa Indonesia
dilambangkan dengan menggunakan huruf latin. Bahasa Jawa menggunakan huruf Jawa.
Bahasa Arab menggunakan huruf Arab. Bahasa Jepang menggunakan huruf hiragana dan
katakana.

c. Sinyal atau isyarat


Sinyal atau isyarat adalah tanda yang sengaja dibuat oleh pemberi sinyal agar si
penerima sinyal melakukan sesuatu. Sinyal bersifat imperatif, memberikan suatu perintah
kepada penerima sinyal untuk melakukan sesuatu. Misalnya ketika memberangkatkan
lomba gerak jalan, ketua panitia memberi isyarat dengan melambaikan bendera. Seorang
guru meniup peluit untuk memberi aba-aba muridnya lari 100 meter. Lampu lalulintas
(traffic light) juga merupakan suatu perintah bagi pengguna jalan. Merah sebagai aba-aba
berhenti; kuning sebagai aba-aba untuk mengurangi kecepatan; dan hijau sebagai aba-aba
untuk jalan.
d. Gerak isyarat (gesture)
Gerak isyarat adalah tanda yang dilakukan dengan gerakan anggota badan dan tidak
bersifat imperatif. Gerak isyarat ini juga merupakan sebuah konvensi. Misalnya gerakan
mengangguk pada suatu masyarakat tertentu digunakan untuk menyatakan tanda setuju
tetapi pada masyarakat lain justru sebaliknya digunakan untuk menyatakan
ketidaksetujuan. Demikian juga dengan gerakan menggeleng, pada masyarakat tertentu
untuk menyatakan tanda tidak setuju, tetapi pada masyarakat lain justru untuk
menyatakan setuju.

e. Gejala
Gejala adalah suatu tanda yang tidak disengaja, yang dihasilkan tanpa maksud tetapi
secara almiah menunjukkan atau mengungkapkan bahwa sesuatu akan terjadi. Misalnya
ketika seseorang bersin-bersin. Hal itu menunjukkan gejala flu; panas yang tinggi
merupakan gejala penyakit tipus.

f. Kode
Kode adalah tanda baik berupa simbol, sinyal, maupun gerak isyarat yang dapat
mewakili pikiran, perasaan, ide, benda, tindakan yang disepakati untuk maksud tertentu.
Kode bersifat sistematis yang dipahami oleh mereka yang sudah sepakat
menggunakannya. Karena untuk menjaga kerahasiaan, sekelompok penutur tertentu
menggunakan kode-kode agar tidak dipahami oleh orang lain.

g. Indeks
Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya sesuatu yang lain. Misalnya adanya asap
menunjukkan adanya api; suara gemuruh air menunjukkan adanya suatu air terjun atau
datangnya banjir bandang.

h. Ikon
Ikon adalah gambar/patung dari wujud yang diwakilinya. Misalnya: denah jalan,
gambar monumen, patung pahlawan.

3. Bahasa adalah bunyi


Bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga
yang bereaksi karena perubahan-perubahan tekanan udara. Bunyi bahasa dihasilkan oleh
alat ucap manusia (bersifat artikulatoris). Tetapi tidak semua bunyi yang dihasilkan alat ucap
manusia adalah bunyi bahasa (speech sound). Bunyi yang dihasilkan oleh seseorang yang
sedang bersin atau sedang batuk bukan bunyi bahasa. Bunyi bahasa dapat dilambangkan
dengan tanda-tanda tertentu yang disepakati oleh penutur bahasa tersebut. Setiap bahasa
mempunyai kekhasan tersendiri berkaitan dengan bunyi-bunyi bahasa yang dimilikinya.
Bunyi tertentu bisa jadi bersifat universal, ada dalam setiap bahasa. Tetapi, bunyi-bunyi
tertentu hanya ditemukan dalam bahasa tersebut.

4. Bahasa itu bermakna


Dalam suatu bahasa, ujaran atau kata-kata itu mempunyai makna. Ujaran sebagai lambang
(A) mempunyai makna (B) dan dalam realita kehidupan ditemukan rujukannya (C).
Hubungan ketiganya dapat digambarkan sebagai berikut.
B
A ------------------------------ C

A : lambang
B : makna
C : acuan / referen
Sebagai contoh kata kuda dilambangkan dengan deretan bunyi /k u d a/ (A). Deretan
bunyi tersebut mempunyai makna B : ‘kuda’ yang merujuk pada binatang yang biasanya
digunakan untuk tunggangan atau menarik sado (C). Kebermaknaan bahasa tersebut
tidak hanya pada tataran kata, tetapi juga pada tataran bunyi, morfem, frase, klausa,
kalimat, dan wacana. Pada tataran kalimat misalnya, urutan kata dapat mempengaruhi
makna yang dihasilkan. Misalnya pada kalimat berikut.
- Adik sedang membacakan temannya puisi.
- Temannya sedang membacakan adik puisi.
Kedua kalimat tersebut mempunyai unsur pembentuk yang sama, tetapi karena
perbedaan urutan kata, makna kalimatnya jadi berbeda. Meskipun berbeda, kedua
kalimat tersebut masih berterima dalam bahasa Indonesia.

5. Bahasa itu arbitrer


Arbitrer berarti sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka. Istilah arbitrer
berarti tidak ada hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi) dengan
acuan, konsep atau pengertian yang dimaksud. Misalnya mengapa harus /kuda/ bukan
/akud/ atau /kadu/. Dalam bahasa Indonesia, kita menyebutnya dengan /kuda/, dalam bahasa
Inggris disebut /horse/, dalam bahasa Jepang disebut /uma/, dan dalam bahasa Jawa
disebut /jaran/. Perbedaan dalam menyebutkan tersebut menunjukkan bahwa bahasa itu
bersifat arbitrer.
Namun demikian, kita juga menemukan beberapa kata yang antara lambang bunyi dengan
rujukannya seolah-olah mempunyai hubungan. Misalnya pada bunyi-bunyi onomatope (kata
yang berasal dari tiruan bunyi). Kucing disebut meong karena dalam telinga kita kucing
mengeluarkan bunyi seperti itu. Seekor binatang dinamakan tokek karena mengeluarkan
bunyi tokek, tokek, tokek. Dalam bahasa Jawa misalnya ditemukan kata-kata yang jika
diotak-atik mempunyai hubungan dengan rujukannya. Misalnya kata kodok, tebu, kathok,
cangkir. Kodok diartikan sebagai teko-teko ndodok; tebu, antebing kalbu; kathok, ngangkate
sitok-sithok, dan cangkir diartikan sebagai panyancanging pikir.

6. Bahasa itu konvensional


Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkan bersifat arbitrer,
tetapi penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep bersifat konvensional, artinya
semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu
digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Misalnya dalam bahasa Indonesia
terdapat kata saya yang sudah disepakati oleh penutur bahasa Indonesia. Kata tersebut tidak
bisa diubah menjadi ayas.
Dalam masyakarat tutur tertentu karena untuk suatu kepentingan kadang-kadang kata-kata
ang sudah disepakati tersebut diubah. Misalnya bahasa balikan yang dilakukan oleh
kelompok tutur dari Malang, atau kelompok tutur tertentu yang tidak ingin ujarannya
diketahui oleh orang lain. Para waria misalnya, menciptakan kata-kata tertentu agar
ujarannya hanya dipahami oleh komunitas tuturnya saja. Jika sudah diketahui banyak orang,
maka mereka akan melakukan inovasi lagi.

7. Bahasa itu produktif


Bahasa memiliki unsur yang terbatas, tetapi dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu
dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara relatif sesuai
dengan sistem yang berlaku dalam bahasa tersebut. Bahasa Indonesia hanya mempunyai
lima vokal dan sejumlah konsonan tetapi dengan jumlah bunyi yang terbatas tersebut
penutur bahasa Indonesia dapat berbahasa dalam waktu yang sangat lama dan mereka tidak
pernah kehabisan kata dalam bahasa Indonesia. Karena dengan jumlah unsur yang terbatas
dapat dihasilkan ujaran yang tidak terbatas inilah bahasa dikatakatan bersifat produktif.

8. Bahasa itu unik


Setiap bahasa mempunyai ciri khas yang spesifik tidak dimiliki oleh bahasa yang lain. Ciri
khas tersebut dapat menyangkut sistem bunyi, sistem pembentukan kata, sistem
pembentukan kalimat, dan sistem lainnya. Dalam sistem bunyi misalnya, penutur bahasa
Indonesia dari Bali akan kesulitan melafalkan /t/, mereka biasa melafalkannya sebagai /th/.
Itulah keunikan lafal dalam bahasa Bali yang berbeda dengan bahasa Indonesia. Dalam
bidang kalimat, kalimat bahasa Indonesia mempunyai struktur S-P-O yang berbeda dengan
kalimat bahasa Jepang yang berstruktur S-O-P.

9. Bahasa itu universal


Selain bersifat unik, bahasa juga bersifat universal. Artinya ada ciri-ciri yang sama yang
dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Misalnya semua bahasa mempunyai bunyi
vokal dan konsonan, setiap bahasa mempunyai satuan-satuan yang bermakna baik berupa
leksikon, frase, klausa, kalimat, dan wacana.

10. Bahasa itu dinamis


Bahasa itu mengalami perubahan karena keterkaitan bahasa dengan manusia dan
kehidupannya. Ketika kehidupan berubahan, bahasa pun ikut berubah. Perubahan tersebut
bisa terjadai pada semua tataran, baik fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun
leksikon. Misalnya: /f/ - /p/ : faham – paham; /kh/ - /k/: - khabar – kabar; memper – kan,
diper – kan, diber – kan; sarjana, berlayar, saudara, bapak, ibu (kata-kata tersebut mengalami
perubahan makna).

11. Bahasa itu manusiawi


Bahasa itu hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia. Manusia
adalah homo sapien ‘mahkluk yang berpikir’, homo sosio ‘ mahkluk yang
bermasyarakat’; homo faber ‘mahkluk pencipta alat-alat’; animal rationale ‘makhluk
rasional yang berakal budi’. Semua karakteristik manusia tersebut tidak bisa dilepaskan dari
bahasa. Selain manusia, simpanse juga memiliki kemampuan untuk mengingat dan
melafalkan sejumlah kata tetapi binatang tersebut tidak mampu menggunakan apa yang
dilafalkannya itu untuk berkomunikasi. Dengan demikian semakin mempertegas bahwa
bahasa benar-benar hanya milik manusia. Binatang mempunyai alat komunikasinya sendiri
dan itu bukan bahasa seperti bahasa yang dimiliki oleh manusia.

12. Bahasa itu bervariasi


Bahasa digunakan oleh suatu masyarakat tutur. Anggota masyarakat tutur tersebut berasal
dari berbagai status sosial dan latar belakang budaya yang berbeda. Hal tersebut
menyebabkan terjadi variasi bahasa. Berkaitan dengan ini terdapat berbagai istilah idiolek,
dialek, dan ragam. Idiolek adalah variasi atau ragam bahasa yang bersifat perseorangan.
Dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada
suatu tempat dan suatu waktu. Ragam adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi,
keadaan, atau untuk kepentingan tertentu. Dengan mencermati cara berbahasa Indonesia
seseorang misalnya, kita dapat menduga orang tersebut berasal dari mana. Hal ini sangat
dimungkinkan karena penutur bahasa Indonesia sering dipengaruhi oleh bahasa daerahnya.
Kelompok etnis tertentu memiliki karakteristik yang kuat sehingga dapat menunjukkan
dialeknya. Misalnya etnis Batak, Bali, Madura. Pada kelompok masyarakat tutur tersebut
pemakaian bahasa Indonesia memiliki kekhasan tersendiri.
Ragam bahasa juga menunjukkan kebervariasian suatu bahasa. Ragam bahasa
tersebut dapat dilihat dari pemakai dan pemakaiannya. Dilihat dari pemakainya dapat
dibedakan bahasa Indonesia ragam dokter, pengacara, pejabat, guru, politikus, insiyur,
pramuniaga, dan lain-lain. Dari pemakainya tersebut memunculkan ragam bahasa
berdasarkan pemakaiannya, yaitu ragam bahasa kedokteran, hukum, politik, teknik,
perdagangan, pendidikan, dan lain-lain.

JAWABAN No 2

Bacalah penjelasan berikut ini!


Pemerolehan dan pembelajaran merupakan konsep yang berbeda. Pemerolehan bahasa
diartikan sebagai penguasaan bahasa pertama seorang anak di mana dia tinggal. Proses
pemerolehan bahasa ini berlangsung secara ambang sadar. Pembelajaran adalah proses
penguasaan bahasa target (bahasa kedua) yang dilakukan oleh seseorang guna kepentingan
tertentu, misalnya untuk tujuan pekerjaan, akademis, ekonomi, dan lain-lain.

Berdasarkan penjelasan tersebut, setujukah Anda dengan pendapat tersebut? Jelaskan!

Jawabannya SETUJU

Penjelasan :

1. Pengertian pemerolehan bahasa


Dalam kamus besar bahasa Indonesia pemerolehan diartikan sebagai proses, cara
atau perbuatan memperoleh . Pemerolehan bahasa adalah proses yang berlangsung didalam
otak anak-anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya (Chaer,
2009:167). Istilah pemerolehan dipakai untuk padanan istilah inggris acquisition, yakni
proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar
bahasa ibunya (native language). Bahasa yang diperoleh bisa berupa vokal yakni pada
bahasa lisan atau bunyi ujaran dan bisa berupa isyarat. Manusia memiliki warisan biologi
yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupannya untu berkomunikasi dengan bahasa
khusus manusia dan itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran.
Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia. Kemampuan
berbahasa anak yang normal sama dengan anak-anak yang cacat. Kemampuan berbahasa
sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fisiologi manusia, seperti
bagian otak tertentu yang mendasari bahasa dan topografi korteks yang khusus untuk
bahasa.

2. Tahap Pemerolehan bahasa


Sudah menjadi kepastian jika seorang anak yang lahir tidak dapat langsung
berbahasa dengan merangkai kata menjadi kalimat sesuai kaidah bahasa tersebut. Selalu ada
tahap untuk mendekati tata bahasa orang dewasa.
Ada sementara ahli bahasa yang membagi tahap pemerolehan bahasa ke dalam tahap
pralinguistik dan linguistik. Akan tetapi, pendirian ini disanggah oleh banyak orang yang
berkata bahwa tahap pralinguistik itu tidak dapat dianggap bahasa yang permulaan karena
bunyi-bunyi seperti tangisan dan rengekan dikendalikan oleh rangsangan (stimulus) semata-
mata, yaitu respons otomatis anak pada rangsangan lapar, sakit, keinginan untuk digendong,
dan perasaan senang. Oleh karena itu, tahap-tahap pemerolehan bahasa yang dibahas dalam
makalah ini adalah tahap linguistik yang terdiri atas beberapa tahap, yaitu:

1) Tahap Pengocehan (babbling).


Tahap ini juga dikenal sebagai tahap vokalisasi. Anak menghasilkan vokal dan
konsonan yang berbeda seperti frikatif dan nasal. Adapun umur si bayi mengoceh tak dapat
ditentukan dengan pasti, Sedangkan kemampuan anak berceloteh tergantung pada
perkembangan neurologi seorang anak. Begitu anak melewati periode mengoceh, mereka
mulai menguasai segmen-segmen fonetik yang dipergunakan untuk mengucapkan perkataan.
Mereka belajar bagaimana mengucapkansequence of segmen, yaitu silabe-silabe dan kata-
kata. Cara anak-anak mencoba menguasai segmen fonetik ini adalah dengan menggunakan
teori hypothesis-testing (Clark & Clark dalam Mar’at 2005:43). Menurut teori ini anak-anak
menguji coba berbagai hipotesis tentang bagaimana mencoba memproduksi bunyi yang
benar.

2) Tahap Satu-Kata atau Holofrastis


Tahap ini berlangsung ketika anak berumur 12-18 bulan yang mana seorang anak mulai
menggunakan serangkaian bunyi berulang-ulang untuk makna yang sama. Mereka telah
mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna dan mulai menggunakan kata-kata
pertama meski ucapan mereka mengacu pada benda-benda yang ditemui sehari-hari.
Menurut pendapat beberapa peneliti bahasa anak, kata-kata dalam tahap ini mempunyai tiga
fungsi, yaitu kata-kata itu dihubungkan dengan perilaku anak itu sendiri atau suatu
keinginan untuk suatu perilaku, untuk mengungkapkan suatu perasaan, untuk memberi nama
kepada suatu benda. Dalam bentuknya, kata-kata yang diucapkan itu terdiri dari konsonan-
konsonan yang mudah dilafalkan seperti m, p, s, k dan vokal-vokal seperti a, i, u, e.

3) Tahap Dua-Kata, Satu Frase


Tahap ini berlangsung pada umur 18-20 bulan. Di usia ini, ujaran anak harus
ditafsirkan sesuai dengan konteksnya. Pada tahap ini mereka mulai berpikir “subyek +
predikat” sederhana biasanya terdiri dari kata-kata benda. Misalnya, kata “Ani mainan” yang
berarti “Ani sedang bermain dengan mainan” atau kata sifat + kata benda, seperti “kotor
patu” yang artinya “Sepatu ini kotor” dan sebagainya.

4) Ujaran Telegrafis
Pada usia 2 dan 3 tahun, anak mulai menghasilkan ujaran kata-ganda (multiple-word
utterances) atau disebut juga ujaran telegrafis. Anak juga telah mampu membentuk kalimat
dan mengurutkan bentuk-bentuknya dengan benar. Pun kosakata anak berkembang dengan
pesat mencapai beratus-ratus kata dan cara pengucapan kata-kata semakin mirip dengan
bahasa orang dewasa.

Ada teori yang menyatakan bahwa anak memperoleh bahasa adalah dengan cara
menirukan. Namun, Fromkin dan Rodman (1993: 403) menyebutkan hasil peniruan yang
dilakukan oleh si anak tidak akan sama seperti yang diinginkan oleh orang dewasa. Ada lagi
teori yang mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan cara penguatan (reinforcement),
yakni apabila anak belajar ujaran yang benar akan mendapat pujian, begitupun sebaliknya.
Namun teori ini belum disetujui seratus persen oleh para ahli psikologi dan ahli
psikolinguistik. Yang benar adalah anak membentuk aturan-aturan dan menyusun tata bahasa
sendiri.

3. Faktor pemerolehan bahasa


Anak dalam memperoleh bahasa pertama bervariasi, ada yang lambat, sedang,
bahkan ada yang cepat. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang
dikemukakan oleh Chomsky, Piaget, Lenneberg dan Slobin berikut ini :

1) Faktor Alamiah.
Yang dimaksudkan di sini adalah setiap anak lahir dengan seperangkat prosedur dan
aturan bahasa yang dinamakan oleh Chomsky Language Acquisition Divice (LAD). Anak
tidak dirangsang untuk mendapatkan bahasa, anak tersebut akan mampu menerima apa yang
terjadi di sekitarnya.

2) Faktor Perkembangan Kognitif.


Perkembangan bahasa seseorang seiring dengan perkembangan kognitifnya. Keduanya
memiliki hubungan yang komplementer. Piaget dalam Brainerd seperti dikutip Ginn (2006)
mengartikan kognitif sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pengenalan berdasarkan
intelektual dan merupakan sarana pengungkapan pikiran, ide, dan gagasan. Termasuk,
kegiatan kognitif; aktivitas mental, mengingat, memberi simbol, mengkategorikan atau
mengelompokkan, memecahkan masalah, menciptakan, dan berimajinasi. Hubungannnya
dengan mempelajari bahasa, kognitif memiliki keterkaitan dengan pemerolehan bahasa
seseorang.

3) Faktor Latar Belakang Sosial.


Latar belakang sosial mencakup struktur keluarga, afiliasi kelompok sosial, dan
lingkungan budaya memungkinkan terjadinya perbedaan serius dalam pemerolehan bahasa
anak (Vygotsky, 1978). Semakin tinggi tingkat interaksi sosial sebuah keluarga, semakin
besar peluang anggota keluarga (anak) memperoleh bahasa. Sebaliknya semakin rendah
tingkat interaksi sosial sebuah keluarga, semakin kecil pula peluang anggota keluarga (anak)
memperoleh bahasa. Hal lain yang turut berpengaruh adalah status sosial. Anak yang berasal
dari golongan status social ekonomi rendah rnenunjukkan perkembangan kosakatanya lebih
sedikit sesuai dengan keadaan keluarganya.

4) Faktor Keturunan.
Faktor keturunan meliputi:
a. Intelegensia.
Pemerolehan bahasa anak turut juga dipengaruhi oleh intelegensia yang dimiliki
anak. Ini berkaitan dengan kapasitas yang dimiliki anak dalam mencerna sesuatu melalui
pikirannya. Setiap anak memiliki struktur otak yang mencakup IQ yang berbeda antara satu
dengan yang lain. Semakin tinggi IQ seseorang, semakin cepat memperoleh bahasa,
sebaliknya semakin rendah IQ-nya, semakin lambat memperoleh bahasa. Namun hal ini
tidak terlalu berpengaruh karena semuanya dikembalikan kepada si anak.

b. Kepribadian dan Gaya/Cara Pemerolehan Bahasa.


Kreativitas seseorang dalam merespon sesuatu sangat menentukan perolehan bahasa,
daya bertutur dan bertingkah laku yang menjadi kepribadian seseorang turut mempengaruhi
sedikit banyaknya variasi-variasi tutur bahasa.

4. Teori pemerolehan bahasa


Mengikuti penelitan secara empiris, tedapat dua teori utama tentang bagaimana manusia
memperoleh bahasa pertamanya yang diperbincangkan dikalangan para peneliti.
a. Nativist Theory (hipotesis nurani)
Nativist Theory adalah teori yang menyebutkan bahwa manusia mmemperoleh
bahasa secara alamiteori ini kemudian dikenal dengan hipotesis nurani yang dipelopri oleh
leneberg dan chomsky. Teori chomsky ini menegaskan bahwa bahasa merupakan warisan,
manusia sejak lahir sudah dibekali genetik untuk berbahasa. Maka hipotesis naluri berbahsa
merupakan suatu asumsi yang menyatakan bahwa sebagian atau semua bagian bahasa
tidaklah diperoleh atau dipelajari, akan tetapi ditentukan oleh fitur fitur nurani yang khusus
dari organisme manusia.[4]
b. Learning teory
Teori yang menyatakan bahwa pemerolehan bahasa melalui proses mempelajari.
Sebagai penjelasan lebih lanjut dari teori ini bisa digambarkan tentang bagaimana seorang
bayi mulai berbahasa. Pada tahapan ketika anak memperoleh sistem sistem bunyi bahasa
ibunya, semula dia mengucapkan sistem bunyi yang ada disemua bahasa yang ada didunia
ini.akan tetapi karena lingkungan telah memberikan contoh terus menerus terhadap sistem
bunyi yang ada pada bahasa ibunya, dan dimotivasi terus untuk menirukan sistem bahasa
ibunya, maka yang akhirnya dikuasai adalah sistem bahasa ibunya.
1. Pengertian Belajar
Pengertian belajar sendiri bermacam-macam menurut para ahli. Al Khuli (1981)
mengatakan, “al ta’liimmu iktisaabi suluuk jadiid au taqwiyah suluuk saabiq natiijatan li
khubrah maa, zhahiiron kaana au kaaminan”. Artinya, bahwa belajar adalah terjadinya
prilaku baru atau penguatan prilaku lama sebagai hasil dari pengalaman baik terjadi secara
eksplisit maupun implisit. McGeoch (1956) mengatakan, learning is a change in
performance as a result of practice, yaitu perubahan dalam performance yang
disebabkabkan oleh proses latihan. Witting (1981) berpendapat learning is relativity
permanent change in an organism’s behavioral repertoire that occure as a result of
experience, artinya bahwa belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam
segala tingkah laku dalam suatu organisme sebagai hasil pengalaman. Dari beberapa
pendapat tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa belajar adalah proses terjadinya
perubahan yang relatif menetap yang dihasilkan dari suatu pengalaman berupa latihan-
latihan atau interaksi dengan lingkungan.

2 Pengertian Pembelajaran
Sedangkan kegiatan pembelajaran (ta’liim/ at tadris) adalah proses yang identik
dengan kegiatan mengajar yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi kegiatan belajar. Dalam
KBBI edisi V, pembelajaran berarti proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk
hidup belajar. Bahauddin (2007 : 116) menjelaskan bahwa pembelajaran adalah proses untuk
membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Sehingga dapat kita tarik
kesimpulan, bahwa pembelajaran bahasa adalah prosses penguasaan bahasa, baik pada
bahasa pertama ataupun bahasa kedua. Proses penguasaan bahasa sendiri, meliputi
penguasaan secara alamiah (acquisition) maupun secara formal (learning) (krashen, 1981 :
40).

3 Tipe Pembelajaran Bahasa


Menurut Ellis (986 : 215), tipe pembelajaran bahasa terbagi menjai dua, yaitu tipe
naturalistik dan tipe formal.

1. Tipe naturalistik
Hampir sama dengan pemerolehan bahasa pertama, tipe naturalistik berlangsung secara
alami yakni di lingkungan. Hanya saja yang membedakannya adalah kesadaran atau
kesengajaannya.

2. Tipe Formal
Formal maksudnya adalah berlangsung dalam pendidikan dan memiliki sarana prasarana
penunjang, seperti sekolah ataupun kursus.

4 Faktor-Faktor Penentu dalam Pembelajaran Bahasa


Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran bahasa terbagi menjadi 5[5], yaitu
sebagai berikut :

a. Faktor motivasi
Dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa kedua, motivasi mempunyai dua
fungsi, yaitu (1) fungsi integratif dan (2) fungsi instrumental. Berfungsi integratif jika
motivasi itu mendorong seseorang untuk mempelajari suatu bahasa karena adanya keinginan
untuk berkomunikasi dengan masyarakat. sedangkan motivasi berfungsi instrumental adalah
jika motivasi itu mendorong pembelajar untuk memiliki kemauan untuk mempelajari bahasa
kedua itu karena tujuan yang bermanfaat atau karena ingin memperoleh suatu pekerjaan atau
mobilitas sosial pada masyarakat tersebut (gardner, 1972: 3.)

b. Faktor usia
Dalam hal kecepatan dan keberhasilan bahasa kedua, dapat disimpulkan: (1) anak-
anak lebih berhasil dalam pemerolehan sistem fonologi atau pelafalan dibandingkan orang
dewasa; (2) orang dewasa tampaknya maju lebih cepat daripada kanak-kanak dalam bidang
morfologi dan sintaksis, paling tidak pada permulaan masa belajar; (3) kanak-kanak lebih
berhasil dibandingkan orang dewasa, tetapi tidak selalu lebih cepat (‘oyama, 1976; dulay,
burt, dan krashen, 1982; asher dan gracia, 1969).

c. Faktor peyajian formal


Penyajian bahasa secara formal berpengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan
dalam memperoleh bahasa kedua karena berbagai faktor dan variabel yang telah
dipersiapkan dan diadakan dengan sengaja melalui berbagai perangkat formal
pembelajarannya.

d. Faktor lingkungan
Lingkungan bahasa dapat dibedakan menjadi lingkungan formal seperti di kelas dalam
proses belajar-megajar dan artifisial dan lingkungan informal atau natural (krshen, 1981:
40).

5 Proses Pembelajaran
1. Proses Belajar Bahasa Model Krashen (1976)
a. Hipotesis Pemerolehan Dan Pembelajaran Bahasa
Yaitu hipotesis yang menyatakan bahwa anak kecil dalam meguasai bahasa
pertama terjadi secara ambang sadar (sub-consiusness) dan bersifat alamiah. Proses
ini disebut pemerolehan(acquisition). Orang dewasa dalam proses menguasai
bahasa kedua atau bahasa asing terjadi secara sadar (consiusness) melalui bentuk-
bentuk bahasa dan mewujudkannya dalam bentuk verbal. Orang dewasa mengusai
bahasa melalui kaidah-kaidah formal bahasa. Proses ini disebut dengan belajar
(learning). Adapun identifikasi proses penguasaan bahasa oleh kanak-kanak dan
orang dewasa adalah sebagai berikut:
a). Proses Penguasaan Bahasa Anak
 Proses terjadi secara ambang sadar pada pemerolehan bahasa pertama
 Komunikasi terjadi secara alamiah
 Keberhasilan belajar bahasa bagi anak tidak mungkin dihindari
 Pembelajar tidak dapat menyebut aturan tata bahasa
 Tidak diperkuat oleh pengajaran, uraian tentang tatabahasa, dan tidak ada
koreksi
 Proses diatur oleh strategi universal yang disebut LAD (Language
Acquisition Device)

b). Proses Penguasaan Bahasa Orang Dewasa


 Proses ini terjadi pada saat orang dewasa belajar bahasa kedua
 Proses terjadi secara sadar dan terjadi secara internalisasi aturan tatabahasa
 Kemampuan yang dimiliki merupakan hasil dari pengajaran
 Proses penguasaan bahasa tidak mungkin dihindari
 Pembelajar memiliki rumusan-rumusan aturan tatabahasa
Berdasarkan pendapat krashen tersebut secara jelas dapat dilihat bahwa proses
pemerolehan dan pembelajaran bahasa benar-benar dipisahkan. Tapi dalam
kenyataannya dalam proses belajar di sekolah pun sesungguhnya terjadi proses
pemerolehan di sela-sela proses belajar.

b. Hipotesis Urutan Alamiah


Hipotesis yang menyatakan bahwa kemampuan berbahasa seseorang itu berjenjang
secara alamiah dan bersifat universal.penjejahan alamiah menunjukkan bahwa
bentuk-bentuk bahasa yang sederhana akan dikuasai terlebih dulu oleh anak
sebelum menguasai bentuk-bentukyang lebih rumit.

c. Hipotesis Monitor
Bahwa kegiatan berbahasa melalui kaidah-kaidah kebahasaan yang dipelajari secara
sadar hanya berfungsi sebagai monitor dan editor.proses moniyor hanya dapat
berlangsung apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
a) Ada waktu yang cukup bagi pembelajar untuk memilih dan menerapkan
kaidah yang dipelajarinya
b) Difokuskan pada bentuk-bentuk bahasa yang benar menurut kaidah
c) Pembelajar harus memahami dan menguasai kaidah bahasa yang
dipelajarinya secara benar

d. Hipotesis Input
Menyatakan bahwa kemampuan berbahasa (out put) seseorang bergantung
kepada masukannya. Jika masukannya benar, maka keluarannya pun juga akan
benar.dalam proses penguasaan bahasa pada aspek menyimak dan membaca
pemahaman memiliki peranan penting dalam progam belajar bahasa, dan
kemampuan berbicara dan menulis dalam bahasa kedua akan mengair dari kedua
aspek tersebut.
e. Hipotesis Filter Afektif
Semakin besar saringan afektif pembelajar akan semakin sukar menguasai
bahasa kedua.wujud dari saringan afektif yang semakin besar adalah berupa
hambatan psikologis (inhibisi) seseorang, misalnya rasa malu, cemas, rasa takut.
2. Proses Belajar Bahasa Model Bialystok
Proses belajar bahasa model bialystok (1978) diorganisasikan dalam 3 tataran, yaitu
input, knowladge dan out put.

a. Tataran input
berupa pengalaman berbahasa pembelajar yang telah dipajan (expouser) melalui
belajar membaca dan berbicara.

b. Tataran knowledge
Berupa cara penyimpanan informasi.cara penyimpanannya meliputi
penyimpanan implisit berupa pengetahuan intuitif.cara penyimpanan eksplisit
berupa pengetahuan bahasa secara sadar dan cara penyimpanan informasi eksplisit
berupa pengetahuan bahasa secara sadar.pengetahuan eksplisit mempunyai 3 fungsi,
yaitu :
a) Sebagai dasar informasi baru sebelum disimpan dalam pengetahuan implisit
b) Sebagai gudang informasi
c) Sebagai sistem artikulasi untuk pengethuan implisit yang mungkin dipakai
secara eksplisit.
Sedang oengetahuan implisit hanya mempunyai satu fungsi, yaitu untuk
menyimpan semua informasi tentang bahasa target yang diperlukan untuk
mengungkapkan dan memahami bahasa.

c. Tataran Out put


Merupakan gambaran pemahaman dan pengungkapan bahasa.pengungkapan
bahasa dibedakan dalam dua tipr yaitu pengungkapan spontan dan pengungkapan
lamban.

Adapun strategi yang disarankan oleh balystok ada 4 tipe, yaitu :


a) Praktek formal yaitu pembelajar membaca untuk menambah pajanan bahasa
b) Praktek informal yaitu pajanan bahasa yang diperoleh dalam komunikasi
alamiah
c) Strategi monitoring, yaitu pengetahuan sadar pemakaian bahasa oleh
pembelajar untuk memperbaiki pengungkapan bahasa
d) Inferensi (penyimpulan), yaitu proses pengujian hipotesis mengenai
pengetahuan bahasa yang tidak dikenal sebelumnya.

3. Proses Belajar Model Steviks


Steviks (1980) mengikuti jejak krashen dan bialystok untuk menggeluti tori
monitor.istilah steviks untuk menggambarkan prose penguasaan bahasa digambarkan
dalam bentuk diagram Levertove Machine (mesin tenaga).
Diagram penguasaan bahasa yang digambarkan oleh Steviks menggambarkan ciri-ciri
sebagai berikut:
a) Hasil belajar disimpan dalam gudang pemerolehan
b) Belajar bahasa bisa menjadi bahan out put
c) Peranan dan fungsi pemerolehan dan belajar tidak terlalu terpisah secara ketat
d) Dalam situasi tertentu seseorang mungkin dapat berbicara sangat lancar, tetapi
pada waktu lain mekn sangat lamban.hal ini terjadi jika proses monitor sedang
berlangsung.

Perbedaan Pemerolehan Dan Pembelajaran Bahasa


Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa:
 Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang
kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi,
pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa
berkenaan dengan bahasa kedua.
 Pemerolehan secara bawah sadar dan alamiah, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja.
 Pemerolehan bahasa lebih dominan makna proses mengetahui, sedangkan pembelajaran
dominan kepada proses memahami setelah mengetahui.
Melihat dari pendapat krashen (1976), dapat disimpulkan juga perbedaan pemerolehan dan
pembelajaran bahasa:

Pemerolehan bahasa:
 Proses terjadi secara ambang sadar pada pemerolehan bahasa pertama
 Komunikasi terjadi secara alamiah
 Keberhasilan belajar bahasa bagi anak tidak mungkin dihindari
 Pembelajar tidak dapat menyebut aturan tata bahasa
 Tidak diperkuat oleh pengajaran, uraian tentang tatabahasa, dan tidak ada koreksi
 Proses diatur oleh strategi universal yang disebut LAD (Language Acquisition Device)

Pembelajaran Bahasa:
 Proses ini terjadi pada saat orang dewasa belajar bahasa kedua
 Proses terjadi secara sadar dan terjadi secara internalisasi aturan tatabahasa
 Kemampuan yang dimiliki merupakan hasil dari pengajaran
 Proses penguasaan bahasa tidak mungkin dihindari
 Pembelajar memiliki rumusan-rumusan aturan tatabahasa

JAWABAN No 3

Uraikan fase-fase pemerolehan bahasa tersebut sesuai dengan pemahaman Anda!

Penjelasan :

 Tahap Pemerolehan Bahasa


a. Kurang dari 1 tahun

• Belum dapat mengucapkan kata-kata,


• Belum menggunakan bahasa dalam arti yang sebenarnya
• Dapat membedakan beberapa ucapan orang dewasa. (Eimas, lewat Gleason, 1985: 2,
dalam Zuchdi, 1996: 4

b. 1 tahun
- Mulai mengoceh

• Bermain dengan bunyi (bermain dengan jari-jari tangan dan kakinya)


• Perkembangan pada tahap ini disebut pralinguistik. (Gleason, 1985: 2)
• Ketika bayi dapat mengucapkan beberapa kata, mereka memiliki ciri-ciri perkembangan
yang universal.

Bentuk ucapan hanya satu kata, sederhana, mudah diucapkan dan memiliki arti konkrit
(nama benda, kejadian atau orang-orang di sekitar anak).

- Mulai pengenalan semantik (pengenalan makna).

c. 2 tahun

- Mengetahui kurang lebih memiliki 50 kata.

Kebanyakan mulai mencapai kombinasi dua kata yang dikombinasikan dalam ucapan-
ucapan pendek tanpa kata penunjuk, kata depan atau bentuk lain yang seharusnya
digunakan.

Mulai mengenal berbagai makna kata tetapi tidak dapat menggunakan bentuk bahasa
yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu terjadinya peristiwa.

- Mulai dapat membuat kalimat-kalimat pendek.

d. Taman Kanak-kanak

• Memiliki dan memahami sejumlah besar kosa kata,


• Mampu membuat pertanyaan-pertanyaan, kalimat majemuk dan berbagai bentuk kalimat,
• Dapat berbicara dengan sopan dengan orang tua dan guru.

e. Sekolah Dasar

- Peningkatan perkembangan bahasa, dari bahasa lisan ke bahasa tulis,

- Peningkatan perkembangan penggunaan bahasa.


f. Remaja

Penggunaan bahasa yang khas sebagai bagian dari terbentuknya identitas diri (merupakan
usia yang sensitif untuk belajar berbahasa) (Gleason, 1985: 6)

g. Dewasa

Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara individu yang satu dengan yang lainnya
dalam perkembangan bahasa (sesuai dengan tingkat pendidikan, peranan dalam
masyarakat, dan jenis pekerjaan.

JAWABAN No. 4

Uraikan enam dimensi pemerolehan bahasa!

Uraian :

Enam Dimensi Pemerolehan bahasa :


1. Propensity “kecenderungan”
2. End state “keadaan akhir” atau “tujuan akhir”
3. Tempo “kecepatan”
4. Structure “struktur”
5. Acees “jalan masuk”
6. Language fakulty “kemampuan berbahasa”

Dimensi Pemerolehan Bahasa

Dalam penjelasan Tarigan (1988:164) terdapat enam dimensi pemerolehan bahasa, yaitu
propensity (kecenderungan), language faculty (kemampuan berbahasa), acces (jalan masuk),
sructure (struktur), tempo (kecepatan), dan end state (keadaan akhir atau tujuan akhir).
Berikut ini penjelasan dimensi pemerolehan bahasa.(disarikan dari Klein, 1986 : 35-46)

Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa, yaitu


1. Propensity “kecenderungan”
2. Language fakulty “kemampuan berbahasa”
3. Acees “jalan masuk”

Dan terdapat tiga pula kategori yang memberi ciri kepada proses tersebut, yaitu :
4. Structure “struktur”
5. Tempo “kecepatan”
6. End state “keadaan akhir” atau “tujuan akhir”
Dimensi Pemerolehan Bahasa

Dalam penjelasan Tarigan (1988:164) terdapat enam dimensi pemerolehan bahasa, yaitu
propensity (kecenderungan), language faculty (kemampuan berbahasa), acces (jalan masuk),
sructure (struktur), tempo (kecepatan), dan end state (keadaan akhir atau tujuan akhir).
Berikut ini penjelasan dimensi pemerolehan bahasa.

end state
"keadaan Enam
akhir" Dimensi
atau
"tujuan akhir" PB2

(disarikan dari Klein, 1986 : 35-46)

Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa, yaitu propensity
(“kecenderungan”), language faculty (“kemampuan berbahasa”), dan acces (“jalan masuk”)
ke bahasa. Dan terdapat tiga pula kategori yang memberi ciri kepada proses tersebut, yaitu
struktur, tempo, dan end state (“keadaan akhir”).

1. Propensity (Kecenderungan)
Dimensi kecenderungan dapat mempengaruhi pelajar bahasa dalam memperoleh sesuatu
bahasa, dan itu merupakan hasil interaksi mereka yang menentukan kecenderungan aktual
pelajar bahasa. Ada dua alasan dimesi kecenderungan mempengaruhi pemerolehan bahasa.
Pertama, selama mereka tidak mempengaruhi segala aspek pemerolehan bahasa pada taraf
yang sama, maka tidaklah bijaksana mengaitkan kecenderungan dengan proses
pemerolehan dalam suatu cara yang umum (sebenarnya, hanya unsur-unsur kecenderungan
yang khusus sajalah yang dapat dikembangkan secara sensibel dengan aspek-aspek khusus
proses itu); kedua, elemen-elemen kompenen kecenderungan dapat dipengaruhi oleh faktor-
faktor eksternal (misalnya, pengajaran) sampai pada taraf-taraf tertentu. Empat komponen
kecenderungan menurut Tarigan digambarkan sebagai berikut:

Social
Education integration
'Pendidikan' 'Integrasi sosial'

Empat
Komponen
Kecenderungan

Communicative
Attitude
needs
'Sikap'
'Kebutuhan
Komunikatif'

(disarikan dari Klein : 35 - 48)

Berdasarkan diagram di atas ada empat komponen kecenderungan, yaitu integrasi sosial,
sikap, kebutuhan komunikatif, dan pendidikan. Dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1)
integrasi sosial seakan-akan merupakan sesuatu yang dominan, karena akan membentuk
suatu identitas sosial yang mempengaruhi personal sang anak. Kebutuhan komunikatif harus
dibedakan dengan cermat dan tepat dari integrasi sosial, karena kebutuhan komunikatif lebih
menitikberatkan kepada suatu pemahaman dalam masyarakat dengan ucapan – ucapan atau
bahasa yang berbeda. Sedang sikap merupakan karakter yang beranekaragam yang timbul
atas bahasa yang dipelajari serta terhadap orang yang berbicara dengan bahasa tersebut,
pada umumnya dianggap sebagai suatu faktor penting belajar bahasa, karena anak dapat
juga tumbuh di dalam lingkungan bahasa yang berbeda saat memperoleh bahasa dari kedua
orang tuanya.
Yang terakhir, komponen pendidikan, dapat dijelaskan bahwa bahasa kedua dapat dipelajari
dengan cara yang sama seperti perangkat teori atau biologi, hanya karena bahasa itu
termasuk organisasi pendidikan suatu masyarakat tertentu. Misalnya seseorang yang telah
berpendidikan dapat menelaah bahasa latin atau beberapa bahasa modern lainnya.

2. Language Faculty (Kemampuan Berbahasa)


Manusia diberkahi dengan kapasitas alamiah dalam pemrosesan bahasa, baik sebagai
pembicara, maupun sebagai penyimak. Dalam melatih kecakapan atau kemampuan
berbahasa, mereka mempergunakan sistem bernorma sosial yang mengacu pada bahasa
alamiah (natural language), karenanya kemampuan berbahasa terdiri dari kemampuan
menyesuaikan kapasitas pemrosesan bahasa pada suatu sistem sosial. Yang diatur oleh
pemroses bahasa pada bagian otak manusia, sistem motor, serta perangkat konseptual yang
telah disistem untuk memperoleh bahasa, di samping untuk pemahaman dan menghasilkan
bahasa, serta juga mengatur produksi dan pemahaman bahasa pada materi linguistik yang
bersifat lebih khusus.
Fungsi pemrosesan bahasa itu tergantung pada dua hal, yaitu:
a) Determinan – determinan biologis tertentu
Determinan biologis merupakan komponen biologis berupa organ periferal seperti alat
ucap mulai dari tenggorokan sampai bibir, alat dengar, serta sistem yang menangani
persepsi, memori dan fungsi kognitif lainnya.
b) Pengetahuan yang tersedia
Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui pengetahuan sadar yang diperoleh dari orang
lain, sekolah, serta buku. Selain itu, pengetahuan juga dapat diperoleh secara tidak sadar,
yang diperoleh secara diam-diam, yang secara normal tidak dapat diucapkan namun
merupakan dasar dalam pemerolehan keterampilan lisan. Dalam penggunaan bahasa
kita, kita tidak harus menyandarkan diri hanya pada pengetahuan linguistik, tetapi juga
kemampuan bahasa yang bersifat nonverbal.

Pemahaman ini merupakan pemahaman konseptual yang membedakan antara produksi


ucapan dan pengetahuan ucapan, yang terletak pada tergantung pengetahuan nonlinguistik
penyimak serta pengetahuan nonlinguistik pelajar. Pengetahuan pelajar secara konstan
berubah – ubah terus, paling sedikit berkenaan dengan pengetahuan nonlinguistik. Namun
pelajar bahasa kedua paling sedikit telah menguasai bahasa pertamanya.

2. Access (Jalan Masuk) ke Bahasa


Pemrosesan bahasa tidak dapat beroperasi tanpa jalan masuk menuju bahan mentah, atau
bahan kasarnya. Pada dasarnya mencakup dua komponen yang berbeda, yaitu :
1) jumlah masukan yang tersedia
2) jarak kesempatan – kesempatan komunikasi.
Anak yang belajar B2 harus dapat membedakan variasi-variasi tekanan, suara, nada, intonasi
dari bahasa lain. Kosakata anak seringkali didapat karena melibatkan pemahamannya
tentang siapa berbicara dengan siapa, di mana, kapan, sambil mengamat, gerak tubuh para
tokoh dan reaksinya.
Walaupun masukan dalam pemerolehan bahasa bersifat spontan, tetapi pada umumnya
terdiri dalam fonologi, kosakata, morfologi, sintaksis dan dalam komunikasi pada umumnya.
Dengan bertindak demikian pembicara dapat berbuat kesalahan dalam dua hal, yaitu :
1) Modifikasi. Modifikasi-modifikasinya dapat menghalangi pemahaman kalau sang
pelajar semakin maju dalam bahasa itu
2) Pelajar mungkin menginterpretasikannya sebagai suatu tanda jarak sosial dan rasa
rendah diri, dan merasa terhina dengan terlihat berbicara dalam logat khusus seperti
ini.

Pemerolehan bahasa spontan mencakup belajar di dalam dan melalui interaksi sosial. Pelajar
bahasa diharuskan mempergunakan sebaik-baiknya segala pengetahuan yang tersedia
padanya agar dapat memahami apa yang dikatakan orang lain dan menghasilkan ucapan-
ucapannya sendiri. Hal ini ditunjang observasi pertama, pelajar disajikan dengan lebih banyak
masukan linguistik dengan frekuensi yang meningkat dan dalam jangkauan yang lebih luas;
kedua mendapat lebih banyak kesempatan menguji produksi ujaranya sendiri yang berasal
dari lingkungannya untuk membuktikan hipotesis-hipotesisnya mengenai stuktur bahasa
sasaran.

3. Dimensi Struktur Proses

Dalam dimensi struktur proses ada dua hal yang dibicarakan, yaitu sinkronasi dan
variabilitias.
a. Sinkronasi
Penguasaan suatu bahasa mencakup pemerolehan terhadap segala jenis pengetahuan
linguistik. Mengetahui suatu bahasa, sang pembicara harus mampu membuat
penggunaan yang pantas terhadap tipe-tipe informasi berikut ini:
1) Pengetahuan Fonologis
Bahasa Inggris, bahkan terlebih-lebih bahasa Jerman, membedakan antara vokal pendek
dan vokal panjang: live – leave, kin – keen, atau Mitte – Miete dalam kontras misalnya
dengan bahasa Spanyol. Berbeda dengan bahasa Inggris, bahasa Jerman justru
memperlihatkan perbedaan-perbedaan antara plosif akhir yang bersuara dan yang tidak
bersuara (hat – had).
2) Pengetahuan Morfologis
Verba-verba bahasa Inggris mempunyai infleksi yang sangat terbatas (-ed buat waktu, -s
untuk orang ketiga tunggal), dengan variasi-variasi tertentu bagi verba yang tidak reguler,
sedangkan bahasa-bahasa Eropa lainnya lebih rumut dari itu.
3) Pengetahuan Sintaksis
Adjektiva atributif ditempatkan di muka nomina dalam bahasa Inggris dan bahasa Jerman,
sedangkan susuanan itu justru sebaliknya dalam bahasa Perancis.
4) Pengetahuan Leksikal
Setiap bahasa mengasosiasikan pola-pola bunyi tertentu dengan makna-makna tertentu,
yaitu mempunyai kosakata (atau leksikon) yang terdiri dari kata tugas (di, ke ,dari, pada)
dan kata penuh (nasi, rumah, saya, besok, kucing); sebagai tambahan juga mempunyai
idiomatik dan gaya bahasa. Kebanyakan bahasa mengenal gabungan-gabungan kata
(pemerolehan bahasa kedua; second language acquisition); sedangkan bahasa Jerman
memperlakukannya sebagai kata-kata tunggal (Zweitspracherwerb).
Pengetahuan bahasa merupakan suatu keseluruhan fungsional, yang tersusun dari
berbagai unsur tetapi tetap merupakan keterpaduan elemen-elemen.
Kesalingtergantungan fungsional menjadi masalah bagi pelajar bahasa. Setiap tahap
pemerolehan memerlukan hubungan keseimbangan yang baik antara berbagai aspek
pengetahuan linguistik.

b. Variabilitas
Proses pemerolehan bahasa terjadi berbagai variasi pada diri para pelajar bahasa. Faktor-
faktor penyebabnya tentu banyak, di antaranya adalah komponen-komponen kecakapan
yang berbeda-beda, perangkat biologis pelajar bahasa, pengetahuannya, ketersediaan
masukan linguistik tertentu; semua ini membentuk suatu konsistensi dan tidak akan
pernah sama pada setiap pelajar bahasa. Walaupun terdapat variabilitas itu, namun
pemerolehan bahasa jelas merupakan subjek bagi regulitas-regulitas tertentu. Dengan ini
dapat dikatakan bahwa pemerolehan bahasa dikendalikan oleh hukum-hukum
deterministik seperti halnya proses-proses biologis atau fisik.

4. Dimensi Tempo
Dimensi tempo pemerolehan bahasa berkaitan dengan waktu, kesempatan, dan kondisi
pembelajar saat memperoleh bahasa. Kebutuhan-kebutuhan komunikatif yang sifatnnya
mendesak akan mempercepat kemajuan pemerolehan bahasa bagi pelajar bahasa,
sedangkan jalan masuk yang terbatas bagi bahan linguistik atau kesempatan-kesempatan
berkomunikasi yang terbatas akan memperlambat kemajuan pemerolehan bahasa. Tempo
pemerolehan bahasa juga tidak lepas dari pengaruh faktor lain. Misalnya, ingatan yang kurang
baik dapat menjadi rintangan atau kendala yang serius. Sama masuk akalnya dengan ide
bahwa ada orang yang mempelajari bahasa ke-41 akan memperoleh waktu dan kesempatan
yang lebih mudah daripada seseorang yang bergumul dengan bahasa keduanya. Tapi hal ini
merupakan kasus-kasus yang luar biasa ekstrim.
5. Dimensi Keadaan Akhir/Tujuan Akhir (End State)

Secara ideal, tujuan akhir menggambarkan suatu target yang sempurna mengenai
pemerolehan bahasa. Istilah “bahasa” hendaknya tidak mengaburkan atau menyembunyikan
fakta, bahwa setiap bahasa terdiri dari berbagai ragam varian seperti: dialek, register,
sosiolek, dan sebagainya. Tidak mungkin seorang pembicara yang dapat menguasai seluruh
varian ini. Sesungguhnya para pelajar bahasa kedua dapat berbahasa layaknya pembicara
pribumi dalam penguasaan bahasa, paling tidak dalam bidang-bidang tertentu, seperti
kosakata atau sintaksis. Akan tetapi, sebagai kaidah, proses pemerolehan bahasa akan
berhenti pada titik lama sebelum penguasaan bahasa yanga sebenarnya dapat dikuasai
secara sempurna menjadi ‘fosilisasi’. Ada dua aspek “fosilisasi”, yaitu:

a. Selektivitas dalam Fosilisasi

Fosilisasi dapat mempengaruhi komponen-komponen pengetahuan bahasa tertentu


(dalam pengertian kecakapan) dalam berbagai butir dalam hal waktu: dia bersifat selektif.
Ada berbagai alasan, diantaranya:

• Seorang pelajar bahasa hanya merasa tidak perlu meningkatkan mutu ucapannya
lebih jauh dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan komunikatifnya
• Dia mungkin merasakan kebutuhan atau perlunya membuat suatu jarak dari
lingkungan sosialnya, yaitu memelihara paling sedikit sebagian dari identitas sosialnya
sebelumnya
• Pemroses bahasa itu sendiri mungkin saja telah melalui perubahan-perubahan
fisiologis dengan usia (alam sistem syaraf pusat) yang mencegah pelajar dari
memperoleh ucapan asli bahasa sasaran
• Pelajar bahasa mungkin tidak memperhatikan lebih lama perbedaan antara
produksinya sendiri dan yang dari lingkungannya, dan lagi kegagalan ini mungkin
mempunyai alasan yang agak berbeda. Meskipun demikian, para pelajar pada
prinsipnya mampu menguasai fonologi suatu bahasa asing sampai tingkat yang
mencegah para pembicara asli dari mengenal mereka sebagai yang non-asli atau non-
pribumi.
b. Kembali mengerjakan kebiasaan lama yang ‘tercela’ (backsliding) terhadap varietas
bahasa terdahulu.

Pada saat tertentu, seorang pelajar mungkin tiba-tiba mundur kembali ke tahap
pemerolehan terdahulu, di tengah perjalanan atau di tengah-tengah pertukaran penggunaan
bahasa. Ini mungkin berlangsung pada beberapa kalimat saja, pada saat pelajar bahasa
mengabaikan hal-hal penting mengenai nomina, verba infleksi, dan sebagainya. Secara
relatif pembicara yang lancar berbahasa kedua kerapkali mencatat bahwa kelelahan setelah
waktu percakapan yang diperpanjang mengakibatkan timbulnya sejumlah kesalahan dan
rasa kegelisahan yang umum dalam bahasa tersebut. Ini mungkin merupakan suatu tanda
kehadiran varietas-varietas bahasa terdahulu yang terpendam. Yang belakangan itu tidak
akan hilang tanpa jejak, tetapi agaknya dikesampingkan oleh varietas-varietas baru,
sehingga yang terakhir itu merupakan keadaan akhir.

Anda mungkin juga menyukai