Anda di halaman 1dari 3

Trismus adalah keterbatasan pergerakan rahang, yang berhubungan dengan gangguan sendi rahang dan

otot-otot wajah di sekitarnya yang mengontrol pergerakan rahang dan pengunyahan serta bersifat
sementara. Bukaan mulut pada tiap orang bervariasi berkisar 4-6 cm

Etiologi trismus:

1. Intraaurikuler : ankilosis, atritis sinotrosis, kelainan patologis diskus,


2. Ekstraaurikuler :
 Infeksi gigi
 Infeksi non odontogenik : peritonsiler, abses parotis, infeksi corda timpani, tetanus
 Trauma : fraktur mandibular, fraktur zigoma dan adanya benda asing
 Faktor iatrogenic (post ekstraksi) :local anestesi, temporo mandibular disease, trauma,
miofasialmuscle spasme, internal disarangement
 Tumor : pada epipharingeal,parotis
 Kongenital : hipertrofi prosesus koronoideus
 Radioterapi : post radiasi vibrosis, osteo radio nekrosis

Otot untuk mengunyah:

1. Menutup mulut : m. temporalis sinistra dan dextra, m. masseter dextra dan sinistra, m
pterygoideus medialis dextra dan sinista
2. Membuka mulut : m. temporalis sinistra dan dextra, m.masseter dextra dan sinistra,
m.infrahyoidei dextra dan sinistra

The muscles responsible for mouth closure, namely the masseter, temporalis, and medial pterygoid
muscles, exert a force 10 times greater than exerted by the muscles that open the mouth, which include
the lateral pterygoid, digastric and hyoid muscles. Innervation for the majority of these muscles is
provided by the mandibular division of the fifth cranial nerve. The muscle groups that control jaw
opening and closure act in antagonism, as neurogenic stimulation of one group causes reflex neural
inhibition of the other. While the inciting insult may be unilateral, the reflex activated is bilateral.

Trismus pada abses

Otot mastikasi atau pengunyah terdiri dari otot temporalis, masseter, pterygoid medial dan pterygoid
lateral. Masing-masing otot memiliki peranan tersendiri dalam proses mengunyah, dan saat terjadi
kerusakan pada otot tersebut akan menimbulkan rasa nyeri, keadaan ini disebut dengan muscle
guarding yaitu penegangan pada otot yang timbul sebagai kompensasi terhadap nyeri yang timbul pada
otot tersebut (Okeson, 1998). Nyeri ini akan menyebabkan otot akan berkontraksi, dan menyebabkan
berkurangnya lebar pembukaan mulut yang dapat dihasilkan oleh gerakan otot mastikasi. Kontraksi ini
merupakan suatu gerakan reflek, sehingga penderita tidak dapat mengontrolnya. Setiap tindakan yang
dipaksakan untuk meregangkan otot tersebut akan menimbulkan kontraksi yang makin kuat. Untuk
melakukan terapi pada penderita trismus lebih efisien dilakukan dengan melakukan gerakan yang halus
dan perlahan.

Trismus pada tetanus

Tetanolisin dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah merah tetapi tidak menimbulkan tetanus
secara langsung melainkan menambah optimal kondisi lokal untuk berkembangnya bakteri.
Tetanospasmin terdiri dari protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf.

Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif bila dalam lingkungan
yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan
menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan
beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul
sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf
autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside
dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang
belakang. Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap susunan
saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi
kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak
mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan gamma aminobutyric acid
(GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin,
menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon motorik terhadap rangsangan sensoris.
Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin
masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot bergari pada
dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan mulai
mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi
umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi
terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta
kekakuan dari otot leher.
Tetanospasmin pada system saraf otonom juga verpengaruh, sehingga terjadi gangguan pernapasan,
metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuscular. Spasme
larynx, hipertensi, gangguan irama janjung, hiperflexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat
gangguan saraf ototnom, yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul.
Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun
gangguan saraf otonom harus dikenali dan di kelola dengan teliti.

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level dari susunan
syaraf pusat, dengan cara :

· Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan acethyl-


choline dari terminal nerve di otot.

· Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di
spinal cord.

· Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.

Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS ) dengan gejala :
berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian
cathecholamine dalam urine.

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya aktifitas dari
neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot
yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan
kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme
otot yang khas .

Anda mungkin juga menyukai