Anda di halaman 1dari 106

KATA PENGANTAR

Buku ini ditulis dengan tujuan untuk menambah wacana dan publikasi mengenai
Perubahan Organisasi yang dapat digunakan bagi para mahasiswa untuk menjadi acuan
dalam pembuatan tugas kuliah, maupun tugas akhirnya. Hal ini dirasakan perlu, karena
topik mengenai Perubahan Organisasi saat ini sudah tidak asing lagi dibahas, serta
dilakukan berbagai penelitian, tetapi buku yang membahas konsep tersebut serta yang
dapat menjadi acuan dari penelitian dan penulisan, khususnya yang ditulis dalam Bahasa
Indonesia, yang disertai dengan penelitian yang dilakukan di Indonesia, adalah masih
sangat terbatas. Selain itu, buku ini juga dapat digunakan oleh para dosen dan peneliti yang
akan melakukan penelitian mengenai perubahan organisasi, khususnya peran individu dan
perilaku individu terhadap keberhasilan perubahan organisasi, karena pada saat ini masih
terbatas referensi yang membahas mengenai perubahan organisasi, khususnya dengan
kondisi dan situasi Indonesia.

Disamping itu, dengan adanya pembahasan kasus maupun hasil penelitian yang
telah dilakukan di Indonesia, hal ini juga akan dapat memperkaya dan menjadi referensi
bagi para praktisi perubahan dan pengembangan organisasi. Untuk itu, Penulis berharap
dengan adanya buku kecil ini akan dapat menambah wawasan pembaca di bidang
Perubahan Organisasi, dan khususnya mengenai peran manusia dalam menyukseskan
perubahan organisasi.

Penulis berusaha membahas konsep maupun hasil penelitian dalam buku ini,
meskipun demikian penulis menyadari bahwa buku ini jauh dari sempurna, untuk itu
Penulis akan berterima kasih bila ada yang memberikan umpanbalik positif untuk dapat
menyempurnakan buku ini.

Jakarta, 1 November 2014

Penulis,

Wustari L. H. Mangundjaya
UCAPAN TERIMA KASIH

Diperlukan berbagai pihak untuk mewujudkan sebuah karya tulis berupa buku. Untuk itu,
pada kesempatan ini penulis pertama-tama ingin mengucapkan terima kasih kepada
Universitas Indonesia, melalui DRPM yang memberikan dukungan bagi penulis untuk
menulis buku ini, hal ini merupakan bentuk dukungan nyata bagi perkembangan penulisan
buku di kalangan akademisi. Terima kasih juga penulis tujukan pada Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, yang telah memberikan dukungan sepenuhnya dalam penyusunan
naskah ini.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada para mahasiswa Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia, yang melalui penelitian payung memberikan masukan
yang berharga mengenai penelitian Perubahan Organisasi di Indonesia. Begitu juga halnya
kepada mitra organisasi yang selama ini bersedia untuk menjadi responden penelitian
untuk kepentingan penelitian ilmiah.

Pada kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada
para Staf Performacita, khususnya Enny, yang telah banyak membantu Penulis dalam
mencari sumber referensi maupun menyusun buku ini, juga Nana dan Fibri, yang telah
membantu dalam penyelesaian buku ini.

Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan kepada Bapak


Hanartono yang selalu berperan sebagai editor dalam berbagai artikel yang ditulis oleh
Penulis. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan dari anak-anak tercinta
Krishna, Vidya, Werdhi, dan Swasthi yang selalu mengerti dan memberikan dukungan
sebesar-besarnya bagi penulis untuk berkarya.

Jakarta, 1 November, 2014

Penulis,
Wustari L. H. Mangundjaya

1
TENTANG PENULIS

Wustari L. H. Mangundjaya atau biasa dipanggil dengan Iwus adalah seorang Psikolog
Organisasi lulusan dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan mengambil Master of
Organizational Psychology dari Department of Psychology, University of Queensland,
Australia. Sejak tahun 1986, sampai sekarang, beliau bekerja sebagai Staf Pengajar di
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia di bidang Psikologi Industri dan Organisasi.
Keinginannya untuk menimba ilmu, membuatnya selalu berusaha untuk mengembangkan
diri, antara lain dengan cara mengambil kuliah di Fakultas Ekonomi, Jurusan Manajemen
Universitas Indonesia, yang telah diselesaikannya pada tahun 2013, di sela-sela waktunya
sebagai pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Minatnya yang besar di bidang Organisasi dan Manajemen, ditunjang dengan


penguasaan pengetahuan, maupun pengalaman praktisinya sebagai Konsultan
Pengembangan Organisasi dan Pengembangan Sumberdaya Manusia pada di perusahaan
konsultan maupun di beberapa perusahaan terkemuka di Indonesia, membuatnya menjadi
Konsultan Senior di bidang Pengembangan Organisasi dan Pengembangan Sumberdaya
Manusia.

Untuk menunjang minatnya tersebut, beliau telah banyak melakukan penelitian di


bidang Psikologi Kerja dan Organisasi, dan juga dalam bidang Perubahan dan
Pengembangan Organisasi. Selain itu, tidak lupa beliau berusaha untuk mensosialisasikan
penelitian yang telah dilakukannya dengan cara mempresentasikan makalah-makalahnya
di berbagai forum dan konferensi internasional, maupun menulis di jurnal serta menulis
buku tentang Organisasi dan Pengembangan Sumberdaya Manusia. Buku ini merupakan
buku ke-enam yang telah ditulisnya. Saat ini penulis berdomisili di Jakarta dengan suami
dan ke empat anaknya.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i


UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................... ii
TENTANG PENULIS ............................................................................................ iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB 2. PERUBAHAN DAN TRANSFORMASI ORGANISASI ......................... 5
2.1. Pengertian perubahan organisasi ........................................................ 5
2.2. Jenis perubahan organisasi ................................................................. 6
2.3. Persiapan melakukan perubahan organisasi ....................................... 8
2.4. Tahapan Proses Perubahan Organisasi ............................................... 9
2.5. Sumber Terjadinya Perubahan Organisasi ....................................... 10
2.5.1.Sumber eksternal perubahan organisasi .................................. 11
2.5.2.Sumber internal perubahan organisasi .................................... 11
2.6. Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Perubahan Organisasi ....... 13
2.7. Penutup ............................................................................................. 15
2.8. Daftar Pustaka Bab 2 ........................................................................ 15
BAB 3. REAKSI INDIVIDU PADA PERUBAHAN ORGANISASI…………..17
3.1. Sikap dan reaksi terhadap perubahan ............................................... 17
3.1.1.Keinginan versusu kemampuan untuk berubah ...................... 17
3.2. Jenis-jenis reaksi terhadap perubahan .............................................. 19
2.2.1. Reaksi efektif dalam menghadapi perubahan......................... 19
2.2.2. Reaksi tidak efektif dalam menghadapi perubahan ................ 20
3.3. Tahapan reaksi individu dalam proses perubahan organisasi .......... 22
3.4. Ciri-ciri sikap menghadapi perubahan ............................................. 26
3.5. Penelitian Reaksi terhadap Perubahan.. ........................................... 27
3.6. Penutup.. ........................................................................................... 27
3.7. Daftar Pustaka Bab 3 ........................................................................ 27
BAB 4. KESIAPAN UNTUK BERUBAH… ....................................................... 32
4.1. Pengertian kesiapan individu untuk berubah.................................... 32
4.2. Dimensi kesiapan individu untuk berubah ....................................... 33
4.3. Faktor yang mempengaruhi kesiapan individu untuk berubah ........ 37
4.4. Faktor individu dalam kesiapan individu untuk berubah ................. 39
4.5. Faktor Organisasi dalam kesiapan individu untuk berubah ............. 42
4.6. Tahapan dalam kesiapan individu pada perubahan .......................... 44
4.7. Cara mengukur kesiapan untuk berubah ......................................... 45
4.8. Penelitian mengenai kesiapan individu untuk berubah .................... 46
4.9. Penutup ............................................................................................. 47
4.10.Daftar Pustaka Bab 4 ....................................................................... 47
BAB 5. KOMITMEN PERUBAHAN .................................................................. 50
5.1. Pengertian Komitmen Perubahan ..................................................... 50
5.2. Dimensi komitmen perubahan.......................................................... 50
5.3. Faktor yang mempengaruhi komitmen perubahan ........................... 52
5.3.1. Bersumber dari individu ......................................................... 52
5.3.2. Bersumber dari luar individu.................................................. 54
5.4. Dampak komitmen perubahan.......................................................... 56
5.5. Manfaat komitmen perubahan .......................................................... 57
5.6. Penelitian mengenai komitmen perubahan....................................... 58
5.7. Penutup ............................................................................................. 58
5.8. Daftar Pustaka Bab 5 ........................................................................ 58
BAB 6. PENOLAKAN TERHADAP PERUBAHAN .......................................... 62
6.1. Prinsip penolakan ............................................................................. 62
6.2. Sumber penolakan perubahan .......................................................... 62
6.2.1. Masalah pribadi ...................................................................... 63
6.2.2. Perubahan itu sendiri .............................................................. 64
6.2.3. Prosedur perubahan ................................................................ 64
6.2.4. Sistem manajemen dan iklim organisasi ................................ 65
6.3. Reaksi dan perilaku penolakan ......................................................... 66
6.4. Bentuk penolakan terhadap perubahan............................................. 67
6.5. Piramida penolakan .......................................................................... 69
6.6. Manfaat yang diperoleh dalam mengatasi penolakan ...................... 71
6.7. Mengelola penolakan perubahan ...................................................... 71
6.8. Penelitian Penolakan terhadap Perubahan ........................................ 71
6.9. Penutup.. ........................................................................................... 71
6.10. Daftar Pustaka Bab 6 ...................................................................... 72
BAB 7. MENGELOLA PERUBAHAN................................................................ 73
7.1. Prinsip dalam mengelola perubahan................................................. 73
7.2. Tahapan mengelola perubahan ......................................................... 74
7.3. Tantangan dan antisipasi kendala dalam perubbahan organisasi ..... 79
7.4. Pemimpin dalam perubahan organisasi ............................................ 80
7.5. Kepercayaan organisasi dalam perubahan organisasi ...................... 82
7.6. Penutup ............................................................................................. 82
7.7. Daftar Pustaka Bab 7 ........................................................................ 82
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 85
GLOSSARY .......................................................................................................... 92
INDEKS .............................................................................................................. 104
Indeks Kata ............................................................................................ 104
Indeks Nama .......................................................................................... 111
BAB 1
PENDAHULUAN

Kalimat Change or Die, tidak asing lagi di telinga pada sekitar 10 tahun terakhir ini. Hal
ini disebabkan karena dengan perkembangan teknologi, serta berbagai perubahan yang
terdapat di lingkungan, baik perubahan yang berasal dari faktor ekonomi, sosial, budaya,
serta dengan tuntutan globalisasi maupun kompetisi yang ketat, membuat perubahan sudah
merupakan suatu keharusan bila suatu organisasi, baik organisasi profit maupun organisasi
nirlaba ingin tetap eksis dan berkembang.

Hal ini membuat organisasi harus menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap
berbagai tuntutan yang berasal dari faktor eksternal/lingkungan, seperti perubahan
ekonomi, perubahan peraturan pemerintah, teknologi baru, selera dan perilaku konsumen,
kompetitor, kondisi pasar baik lokal maupun global, kompetisi, pemasok, geografi, dan
perubahan sosial (Burke, 2008; Herold & Fedor, 2008; Martin, 2008; Ivancevich,
Konopaske, & Matteson, 2005; Kreitner & Kinicki, 2008; Smith, 2005; Dess & Beard,
1984). Selain itu, perubahan yang terdapat pada kondisi internal (Herold & Fedor, 2008;
Burke, 2008), seperti komposisi tenaga kerja, kepemilikan organisasi, maupun kondisi
internal lainnya menuntut organisasi untuk berubah dan berkembang. Perubahan organisasi
tersebut harus berhasil, karena hal ini sangat penting bagi kehidupan organisasi di masa
mendatang (Burke, 2008; Smith, 2005). Meskipun demikian, hasil penelitian menunjukkan
bahwa dalam proses perubahan tidak semua organisasi dapat melakukannya dengan lancar,
banyak yang mengalami berbagai rintangan, dan membuat program perubahan yang telah
direncanakan tidak berhasil secara efektif. Miller (2004) menyatakan bahwa terdapat 70%
program perubahan yang tidak berhasil dilakukan secara efektif. Untuk itu, moto dari
kalimat change or die, harus dapat dirubah menjadi change and success.

Lebih lanjut, penelitian terdahulu menunjukkan bahwa banyak perubahan


organisasi yang mengalami kegagalan disebabkan karena individu atau anggota
organisasinya menolak perubahan organisasi (Eriksson, 2003; Furst & Cable, 2008; Ford et
al., 2008). Pembahasan mengenai perubahan organisasi, konsep, sumber maupun faktor
yang mempengaruhi efektivitas perubahan organisasi akan dibahas pada Bab 2.

Lebih lanjut, Eby et al. (2000) dan Wittenstein (2008) menyatakan bahwa agar
perubahan yang terjadi di organisasi dapat berhasil, maka perubahan tersebut harus
didukung oleh seluruh karyawan (individu) di dalam organisasi tersebut (Vokic, 2005).
Untuk itu, individu harus memiliki sikap dan reaksi yang positif terhadap perubahan. Sikap
dan reaksi individu dalam menghadapi perubahan organisasi akan di bahas pada Bab 3.

Selain itu, individu harus terbuka dan mempersiapkan diri untuk berubah. Kesiapan
individu terhadap perubahan organisasi merupakan anteseden kognitif untuk munculnya
perilaku, baik yang sifatnya menolak (resistensi) maupun menerima perubahan organisasi
(Armenakis & Harris, 1993, 2002). Berbagai penelitian terdahulu menyatakan bahwa
kesiapan individu untuk berubah diperlukan untuk dapat mencapai keberhasilan dari
program perubahan organisasi. Kesiapan individu untuk berubah akan dibahas pada Bab 4.

Meskipun demikian, tidak hanya kesiapan individu terhadap perubahan yang


diperlukan dalam perubahan organisasi, tetapi hal lain yang lebih penting lagi adalah
komitmen dari anggota terhadap perubahan organisasi. Komitmen merupakan hal yang
penting dalam perubahan organisasi, karena kurangnya komitmen pada karyawannya
seringkali menjadi salah satu alasan dan gagalnya perubahan organisasi (Herscovitch &
Meyer, 2002), sehingga komitmen perubahan merupakan hal penting yang diperlukan
organisasi agar perubahan dapat berhasil (Stjernen, 2009; Fedor et al., 2006). Komitmen
perubahan organisasi penting diperoleh oleh organisasi yang melakukan perubahan, karena
dengan adanya komitmen perubahan, maka hal ini akan dapat mempercepat perubahan
organisasi, dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan kinerja organisasi (Parish et al.,
2008). Untuk itu, komitmen perubahan akan dibahas lebih lanjut pada Bab 5.

Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa banyak program perubahan yang tidak


berhasil, dan salah satu penyebabnya adalah tidak adanya dukungan dari karyawan, bahkan
karyawan cenderung menolak atau resisten terhadap perubahan organisasi. Untuk itu,
pemahaman mengenai penolakan perubahan perlu dibahas. Pembahasan ini akan
dilakukan pada Bab 6.

Selanjutnya dibahas mengenai bagaimana mengelola suatu perubahan organisasi,


supaya dapat mencapai sasaran, faktor-faktor apa saja yang harus diperhatikan, hal itu
semua dibahas pada Bab 7.

Bab 8, yang merupakan bab penutup membahas mengenai tantangan perubahan


organisasi di masa mendatang, serta hal-hal apa yang perlu diperhatikan dalam usaha
mensukseskan program perubahan organisasi yang dicanangkan,

Buku ini adalah mengenai perubahan organisasi, khususnya mengenai sikap dan
reaksi individu terhadap perubahan organisasi. Tujuan buku ini adalah untuk menambah
wawasan pembaca mengenai perubahan organisasi, khususnya mengenai peran manusia
dalam perubahan organisasi. Buku ini ditujukan tidak hanya bagi para mahasiswa program
Sarjana dan program Pasca Sarjana Psikologi (khususnya Psikologi Organisasi) dan
Manajemen, tetapi juga bagi para staf pengajar dan peneliti yang ingin meneliti mengenai
perubahan organisasi, maupun para praktisi yang berkecimpung dalam perubahan
organisasi.

Buku ini selain akan membahas berbagai konsep yang berhubungan dengan
perubahan organisasi serta sikap dan perilaku manusia di dalamnya, juga dilengkapi
dengan berbagai penelitian yang telah dilakukan di Indonesia maupun di manca negara,
serta diperkaya pula dengan gambaran kasus perubahan organisasi di Indonesia.

Daftar Pustaka

Armenakis, A. A. & Harris, S. G. (2002). Crafting a change message to create


transformational readiness. Journal of Organizational Change Management, 15(2),
169-183.

Armenakis, A. A., Harris, S. G., Mossgolder, K. W. (1993). Creating readiness for


organizational change. Human Relations, 46, 681-703.

Burke, W. W. (2008). Organization change: Theory & practice, (2nd ed.). Los Angeles:
Sage Publications.

Dess, G. G. & Beard, D. W. (1984). Dimensions of organizational task environments,


Administrative Science Quarterly, 29(1), 52-73.

Eby, L. T., Adams, D. M., Russel, J. E. A., & Gaby, S. H. (2000). Perceptions of
organizational readiness: Factor related to employees’ reactions to the
implementation of team based selling. Human Relation, 53, 419-442.
Fedor, D. B., Caldwell, S., & Herold, D. M. (2006). The effect of organizational change on
employee commitment: A multilevel investigation. Personnel Psychology, 59(1), 1-
29.
Herold, D. M., Fedor, D. B., & Liu, Yi (2008). The effects of trasnformational and change
leadership employees’ commitment to a change: A multilevel study. Journal of
Applied Psychology, 93(2), 346-357.

Herscovitch, L. & Meyer, J. P. (2002). Commitment to organizational change: Extension


of a three-component model. Journal of Applied Psychology, 87, 474-487.
Herscovitch, L. & Meyer, J. P. (2001). Commitment in the workplace: Toward a general
model. Human Resource Management Review, 11, 299-326, doi: 10.1016/S1053-
4822(00)00053-X.
Ivancevich, J. M., Konopaske, R., & Matteson, M. T. (2005). Organisational Behaviour
and Management. McGraw-Hill, Irwin.
Jick, T. D. & Peiperl, M. A. (2011), Managing change: Cases and concepts (3rd ed.).
McGraw Hill, International Edition.
Kreitner, R. & Kinicki, A. (2008). Organizational Behavior (8th ed.). USA: McGraw-Hill.

Miller, D. (2004). Building sustainable change capability. Industrial and Commercial


Training, 36(1), 9-12.

Parish, T. J., Cadwallader, S., & Bush, P. (2008). Want to, need to, and ought to: Employee
commitment to organizational change. Journal of Organizational Change
Management, 21(1), 32-52.
Smith, I. (2005). Achieving readiness for organizational change. Library Management,
26(6/7) 408-412.
Stjernen, A. (2009). Perceived fairness and resistance to organizational change in relation
to change commitment. Master’s thesis in Work and Organizational Psychology.
University of Oslo.

Vokic, P. & Hernaus, T. (2005). Interpersonal relations at work perceived by Croatian and
worldwide employees and by different age, gender, education, hierarchical and
company size groups − empirical evidence. Management Journal of Contemporary
Management Issues, 10(1), 23-49.
Wittenstein, R. D. (2008). Factors influencing individual readiness for change in a health
care environment. UMI Number 2396851.
BAB 2
PERUBAHAN DAN TRANSFORMASI ORGANISASI

Bab ini akan membahas mengenai perubahan dan transformasi organisasi, baik mengenai
pengertian, sumber-sumber, jenis-jenis perubahan, maupun faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan organisasi.

2.1. Pengertian perubahan organisasi

Bila berbicara mengenai perubahan atau transformasi organisasi, maka seringkali orang
berpikir mengenai perubahan yang besar antara lain: merger, akuisisi, penciutan organisasi,
pembuatan produk baru, dsb. Disisi lain, ada juga yang menghubungkan isu mengenai
perubahan dengan hal-hal yang lebih kecil cakupannya, misalnya: reorganisasi, pembuatan
sistem dan prosedur yang baru, dsb. Dalam hal ini, apapun jenis perubahan yang
dilakukan, perubahan organisasi merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan dinamis.
Perubahan tidak hanya berhenti ketika sebuah inisiatif perubahan telah sukses
diimplementasikan, tapi akan selalu terjadi karena lingkungan yang terus menerus berubah
akan memunculkan inisiatif-inisiatif perubahan lainnya. Hal tersebut membuat organisasi
harus melakukan perubahan yang berkelanjutan untuk tetap bertahan. Meskipun demikian,
dalam prosesnya banyak organisasi yang tenggelam karena tidak dapat menghadapi
tantangan, tetapi ada juga yang berhasil mempertahankan eksistensinya.

Dalam sejarah pengembangan organisasi (organizational development), perubahan


telah diakui sebagai faktor yang penting dan dominan. Hal ini membuat fenomena
perubahan organisasi ini menjadi suatu bidang menarik bagi para ahli pengembangan
organisasi. Dalam hal ini, Jones (2007) menyatakan bahwa perubahan organisasi adalah
proses dimana organisasi bergerak dari keadaan saat ini menuju keadaan yang diinginkan
agar dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Lebih lanjut, Cawsey, Deszca, & Ingols
(2012), menyatakan bahwa perubahan organisasi adalah merupakan alterasi perencanaan
dari komponen organisasi untuk meningkatkan efektivitas organisasi.

Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat bahwa perubahan organisasi


merupakan suatu proses yang terdiri dari berbagai aktivitas yang direncanakan serta
berkelanjutan dengan tujuan untuk mencapai efektivitas organisasi.

2.2. Jenis Perubahan Organisasi

Secara umum, jenis perubahan dapat terbagi kedalam:


1) Perubahan terencana.
Yaitu muncul ketika agen perubahan memiliki tujuan untuk menanamkan prosedur yang
baru yang biasanya dilakukan dengan alasan kebutuhan akan perubahan sesuai dengan
lingkungan yang juga berubah atau untuk mencapai peluang bisnis (Cummings &
Worley, 2001; Anderson, 2002).
2) Perubahan tidak terencana.
Yaitu tindakan yang merupakan respons terhadap lingkungan, dan tindakan tersebut
dipertimbangkan sebagai solusi dan masalah yang belum dapat diprediksi (Anderson,
2002). Dalam hal ini, perubahan organisasi dapat bermacam-macam bentuk dan
sumbernya, serta memberikan dampak baik yang dapat diramalkan maupun yang tidak
dapat diramalkan (Delavigne & Robertson, 1994 dalam Mangundjaya, 2011a).

Selain pembagian tersebut di atas, Kreitner & Kinicki (2008) membagi jenis perubahan
organisasi derajat kompleksitas, biaya yang dibutuhkan, dan ketidakpastian yang
ditimbulkan. Jenis perubahan organisasi menurut Kreitner & Kinicki (2008) dapat
digolongkan menjadi 3 yaitu:
a) Perubahan Adaptif, adalah perubahan dengan derajat kompleksitas, biaya, dan
ketidakpastian yang paling rendah dibandingkan dua jenis perubahan lain. Perubahan
jenis ini mencakup implementasi ulang perubahan pada unit organisasi yang sama
namun dalam waktu yang berbeda atau imitasi perubahan yang sama pada unit
organisasi yang berbeda (Kreitner & Kinicki, 2008).
b) Perubahan Inovatif, merupakan jenis perubahan dengan derajat kompleksitas, biaya,
dan ketidakpastian yang menengah (Kreitner & Kinicki, 2008). Perubahan ini dilihat
sebagai perubahan dalam skala kecil dan terbatas pada individu atau proyek perubahan
lokal (Breu & Benwell, 1999, dalam Marsh, 2009).
c) Perubahan Radikal, adalah perubahan dengan derajat kompleksitas, biaya, dan
ketidakpastian yang paling tinggi. Perubahan jenis ini adalah yang paling sulit untuk
diimplementasikan dan cenderung dilihat paling mengancam rasa percaya diri
manajemen maupun rasa aman karyawan (Kreitner & Kinicki, 2008). Breu & Benwell
(1999 dalam Marsh, 2009) menyatakan bahwa perubahan radikal atau revolusioner,
merupakan perubahan dalam skala besar, yang membutuhkan transformasi organisasi
secara lebih luas. Perubahan ini ditandai dengan perubahan pada struktur dan budaya
organisasi yang lebih dalam (Marsh, 2009). Oleh karena itu perubahan Inovatif Radikal
memiliki kemungkinan besar memunculkan resistensi yang paling tinggi dibandingkan
dengan Perubahan Adaptif dan Perubahan Inovatif. Pada umumnya istilah transformasi
seringkali dihubungkan dengan perubahan yang bersifat radikal. Salah satu contoh
perubahan radikal yang paling nyata adalah pada perubahan yang berbentuk merger
dan/atau akuisisi.

Di samping itu pula, Burke (2008) dan Jick & Peiperl (2011) menyatakan bahwa terdapat
beberapa jenis perubahan, yaitu:
1) Perubahan yang bersifat revolusi vs Evolusi

Perubahan dapat bersifat revolusioner maupun evolusioner, yang menuntut perbedaan


peralatan dan teknik yang berbeda bagi tiap-tiap jenis perubahan. Perubahan yang
bersifat revolusioner adalah yang berskala besar dan menuntut adanya perubahan sistem
secara total, yang kadangkala menuntut perubahan yang dramatis, yang dilakukan
dalam jangka waktu yang relatif cepat. Sedangkan perubahan yang bersifat evolusioner,
adalah perubahan yang menuntut adanya perbaikan dan pengembangan, dan
dilakukannya secara bertahap. Perubahan evolusioner disebut juga dengan istilah
perubahan transitional (Jick & Peiperl, 2011).

2) Transformasi vs. Pengembangan Kontinyu

Perubahan yang bersifat transformasional menuntut adanya perhatian yang besar dari
seluruh anggota organisasi, sedangkan pengembangan kontinyu hanya menuntut
perhatian dari mereka yang terdapat pada departemen atau bagian dimana perubahan
tersebut dilakukan. Menurut Jick & Peiperl (2011) perubahan transformasi menuntut
adanya lompatan yang memerlukan adanya keyakinan bersama dari seluruh anggota
organisasi. Perubahan transformasi, biasanya bersifat radikal, dan berhubungan dengan
perubahan pada visi, misi, budaya organisasi, dsb.

3) Strategik vs. Operasional.

Perubahan organisasi juga dapat terjadi pada aspek strategik atau aspek operasional
sehari-hari. Pada umumnya bila perubahan bersifat radikal dan transformasional maka
biasanya hal tersebut terdapat pada perubahan yang bersifat strategik, sedangkan
perubahan operasional hanya berdampak pada kegiatan operasional sehari-hari.
Misalnya Semen Indonesia, dengan melakukan perubahan organisasi menjadikan 3
perusahaan semen (Semen Gresik, Semen Padang dan Semen Tonasa), menjadi satu
bergabung kedalam Semen Indonesia dalam bentuk Strategic Holding. Hal ini membuat
berbagai kebijakan manajemen ditentukan bersama-sama pada tingkatan manajemen
holding, dan tidak hanya ditentukan oleh manajemen operasional masing-masing
perusahaan.

4) Sistem Total vs. Lokal

Perubahan dapat juga bersifat menyeluruh (total system) atau biasa disebut dengan
Whole System atau Whole Scale Change, dimana perubahannya melibatkan serta
berdampak pada keselutuhan organisasi, sedangkan Lokal hanya pada departemen atau
bagian tertentu saja. Biasanya perubahan yang bersifat transformasi dan radikal masuk
kedalam perubahan yang bersifat sistem total atau menyeluruh. Misalnya pada saat
perusahaan melakukan merger dan/atau akusisi biasanya perubahan terdapat pada
keseluruhan organisasi, baik di sistem, prosedur, struktur organisasi, kebijakan
manajemen, kebijakan manajemen SDM dsb.

2.3. Sumber Perubahan Organisasi

Terdapat berbagai faktor pendorong terjadinya perubahan organisasi yang berasal dari
sumber eksternal maupun internal organisasi.

2.3.1. Sumber Eksternal Perubahan Organisasi


Robbins (2007), Palmer, Dunford, & Akin (2009), Jick & Peiperl (2011), Myers, Hulk, &
Wiggins (2012), menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor pendorong yang menjadi
stimulus bagi perubahan organisasi, yaitu:
1. Globalisasi, Burke (2008) menyatakan bahwa pengaruh globalisasi sudah tidak dapat
dihindari, tetapi merupakan fakta yang harus dihadapi yang berdampak pada berbagai
hal, antara lain persaingan pasar, tenaga kerja, sumberdaya, pengaruh dampak
peraturan, dan kondisi luar negeri. Misalnya dengan adanya pasar.
2. Teknologi dan Inovasi, misalnya perkembangan teknologi informasi dan alat
komunikasi yang semakin canggih, serta program process reengineering untuk
mengurangi beban kerja yang berlebihan akan berpengaruh pada kondisi internal
organisasi (Jick & Peiperl, 2011; Robbins, 2007).
3. Perubahan ekonomi, misalnya kenaikan harga minyak dunia, kondisi krisis ekonomi
juga berdampak pada kondisi internal organisasi.
4. Kompetisi, dengan semakin banyaknya para kompetitor, baik lokal maupun global, hal
ini dapat mempengaruhi kebijakan organisasi, misalnya melakukan merger, konsolidasi
antar organisasi (Myers, Hulks, & Wiggins, 2012).
5. Kekuasaan, faktor sosial dan politik, dalam hal ini kondisi sosial, politik dan kekuasaan
juga berpengaruh terhadap organisasi, misalnya dengan pergantian kekuasaan
pemerintahan maka ada organisasi yang menjadi berkembang, tetapi ada juga yang
menjadi tidak aktif atau tutup.
6. Karakteristik tenaga kerja, misalnya perbedaan budaya antar tenaga kerja,
bertambahnya tenaga ahli, serta staf baru yang kemampuannya tidak mencukupi.

7. Tren atau mode baru, dalam hal ini banyak terjadi organisasi melakukan perubahan,
karena adanya keinginan untuk mengikuti mode baru yang terdapat di komunitas
organisasi, sehingga tidak ingin dikatakan ketinggalan jaman (Palmer, Dunford, & Akin
(2009). Misalnya: pada waktu konsep kompetensi dalam manajemen SDM
diperkenalkan, maka banyak organisasi membuat sistem kebijakan SDM berbasis
kompetensi (CBHRM), atau pada waktu konsep Balance Scorecard diperkenalkan,
banyak organisasi juga berusaha menerapkan hal ini di organisasinya, terlepas apakah
mereka merasa tepat dan sesuai atau tidak.

2.3.2. Sumber Internal Perubahan Organisasi

Faktor internal organisasi, menurut Palmer, Dunford, & Akin (2009), serta Myers, Hulks,
& Wiggins (2012) antara lain meliputi:
1. Visi, misi, filosofi baru.
Dalam hal ini organisasi melakukan perubahan visi, misi maupun filosofi, dan nilai-nilai
yang mendasarinya. Misalnya: bila dahulu visinya adalah hanya sekedar ingin menjadi
salah sebuah organisasi terkemuka di ASEAN, sekarang berkembang untuk menjadi
salah sebuah organisasi terkemuka di Asia Pacific, dsb.
2. Kebutuhan untuk berkembang.
Dalam hal ini, dengan semakin tumbuh dan berkembangnya suatu organisasi, maka
perubahan harus dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan tersebut.
Misalnya: Bakmi Gajah Mada (GM), yang tadinya hanya sebuah restoran yang menjual
bakmi di jalan Gajah Mada, kemudian dengan berkembangnya perusahaan tersebut,
maka saat ini telah berubah menjadi restoran yang modern, memiliki cabang di berbagai
tempat di Jakarta, maupun menyediakan sistem pelayanan antaran (delivery).
3. Tekanan untuk melakukan integrasi dan kolaborasi.
Beberapa perubahan dilakukan dalam usaha untuk membuat integrasi dan kolaborasi
dalam organisasi menjadi lebih baik, misalnya dengan merubah struktur organisasi,
merubah kebijakan SDM, dsb.
4. Kepemimpinan Baru.
Adanya pemimpin baru membuat perubahan baru, fenomena ini sering terjadi, dimana
dengan adanya kepemimpinan baru, maka akan terjadi berbagai perubahan baru, baik
dalam ide-ide, manajemen baru maupun personnel manajerial yang baru, yang dianggap
lebih cocok dengan kepemimpinan yang baru.
5. Kondisi Keuangan.
Kondisi keuangan suatu organisasi juga merupakan salah satu variabel yang dapat
menjadi sumber perubahan. Misalnya bila kondisi keuangan organisasi sedang tidak
baik, maka akan dilakukan berbagai efisiensi di berbagai bidang.
6. Strategi.
Yaitu dimana organisasi memiliki strategi baru untuk pengembangannya. Misalnya
dahulu bersikap pasif, sekarang lebih agresif dalam memasuki pasar.
7. Restrukturisasi organisasi.
Sebagai salah satu usaha pengembangan organisasi, organisasi melakukan
restrukturisasi organisasi. Misalnya struktur organisasi sebelumnya banyak atau tinggi
jenjang hirarkhinya, sekarang lebih sederhana atau datar (flat).
8. Kondisi sumberdaya manusia,
Sumberdaya manusia yang terdapat di dalam organisasi juga dapat berubah, misalnya:
bila dahulu mayoritas adalah mereka yang berusia 45 tahun keatas, sekarang dengan
adanya strategi baru maka sekarang mayoritas sumberdaya manusia menjadi lebih muda
yaitu berusia di bawah 40 tahun.
9. Perubahan budaya organisasi.
Budaya organisasi juga dapat menjadi salah satu pemicu perubahan, misalnya bila
sebelumnya nilai yang dianut adalah nilai kekeluargaan, dengan adanya kepemimpinan
baru, maka nilai-nilai yang dianut organisasi lebih bersifat profesionalisme.

2.4. Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Perubahan Organisasi


Efektivitas perubahan organisasi dipengaruhi berbagai faktor. Menurut Walker dkk (2007)
faktor-faktor tersebut adalah:
1. Konten (Content).
Yaitu merupakan jenis atau bentuk perubahan organisasi. Jenis atau bentuk perubahan
organisasi akan mempengaruhi bagaimana seseorang akan menyikapi suatu perubahan.
Misalnya perubahan yang dilakukan adalah tidak besar dampaknya, maka penerimaan
karyawan akan menjadi lebih besar.
2. Konteks (Context).
Kondisi internal organisasi (konteks) yang antara lain tercermin dari iklim maupun
budaya organisasi, akan turut berpengaruh pada bagaiman penerimaaan dan reaksi
seseorang terhadap perubahan organisasi.
3. Proses Perubahan.
Bagaimana perubahan organisasi dilakukan dan diterapkan, hal ini akan mempengaruhi
keberhasilan perubahan tersebut. Hal ini disebabkan bila proses dalam implementasi
perubahan organisasi dianggap kurang efektif, maka akan mempengaruhi efektivitas
dari suatu perubahan.
4. Manusia (People).
Perubahan tidak dapat berhasil bila tanpa ditunjang dengan manusia, sehingga
karakterikstik individu sangat berperan terhadap keberhasilan suatu perubahan.

Lebih lanjut, Holt dkk (2007), menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi efektivitas perubahan, yaitu:
1. Pemimpin sebagai Agen Perubahan.
Memiliki agen perubahan internal yang sangat peduli terhadap pelaksanaan perubahan
adalah faktor kritis untuk mencapai kesuksesan perubahan, sebab mereka bertugas
untuk memfasilitasi individu dalam mengembangkan, menerapkan, dan mendukung
tingkah laku/performa baru.
2. Tujuan.
Para anggota organisasi dan stakeholder yang akan melakukan perubahan harus
memahami tantangan yang dihadapi organisasi dalam melaksanakan misi dan tugasnya.
Mereka harus menyetujui bahwa tantangan tersebut terjadi disebabkan oleh pelaksanaan
perubahan yang tidak efektif.
3. Motivasi dan dukungan dari para anggota organisasi.
Dalam proses perubahan diperlukan dukungan dari para anggota organisasi yang dapat
membantu berjalannya proses perubahan yang ada. Oleh karena itu, ketika dukungan
mereka meningkat, maka diperlukan strategi untuk mempertahankan dedikasi mereka
selama proses perubahan dilakukan.
4. Pemberian dan penerimaan tanggung jawab.
Dengan diberikannya tanggung jawab dan adanya penerimaan tanggung jawab tersebut,
maka para anggota organisasi akan lebih konsisten melakukan perubahan.
5. Lingkungan yang mendorong perubahan.
Dalam hal ini diperlukan budaya kerja yang dapat mempertahankan eksistensi dan
menjadi pertimbangan sebagai cara yang benar dalam melakukan interaksi dan aktivitas
sehari-hari.
Box 1:
Bank Mandiri adalah merupakan hasil penggabungan (merger) dari 4 Bank Peruba
milik negara, yaitu Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO), Bank han
Ekspor Impor, Bank Dagang Negara (BDN), dan Bank Bumi Daya. Merger
menjad
tersebut dilakukan karena pada saat itu, pada tahun 1999 kondisi ekonomi
Indonesia sangat sulit, dan jumlah bank yang beroperasi pada saat itu i Bank
dianggap sudah terlalu banyak, tetapi tidak ada bank yang kuat, sehingga Mandir
dengan kondisi perekonomian dunia maupun Indonesia yang kurang baik
tersebut, hal ini berpengaruh pada banyaknya bank yang terpaksa gulung i
tikar. Untuk itu, pemerintah kemudian mengambil kebijakan untuk
melakukan perubahan organisasi yang sifatnya radikal dan
transformasional, yaitu dengan cara menggabungkan 4 bank tersebut
menjadi Bank Mandiri. Dalam hal ini, meskipun perubahan organisasi ini
termasuk kedalam perubahan radikal, tetapi program ini berjalan dengan
mulus dan lancar. Hal ini antara lain disebabkan karena perubahan
tersebut didukung oleh para pekerja di 4 bank tersebut, dan antara lain
karena change leader, yaitu Robby Johan, mampu menyelesaikan
permasalahan yang terkait dengan perubahan dan memenuhi semua
kebutuhan pekerja sehingga pada waktu melakukan perubahan tersebut
tidak terjadi gejolak yang berarti, meskipun harus memberhentikan cukup
banyak pekerja, sebagai konsekwensi dari penyatuan 4 bank tersebut.
Dengan keberhasilan merger tersebut, pada tahun 2012 menjadi bank
terbesar di Indonesia dalam hal Total Aset yang dimiliki.

2.5. Penutup

Pada pembahasan di atas mengenai konsep dan pengertian perubahan organisasi, jenis-
jenis perubahan, sumber-sumber maupun efektivitas perubahan. Terlihat pula bahwa
manusia dalam hal ini karyawan memiliki peran penting dalam keberhasilan perubahan
organisasi. Untuk itu, pada bab selanjutnya akan dibahas mengenai sikap maupun reaksi
individu dalam menghadapi perubahan, karena berdasarkan berbagai riset terdahulu,
individu dalam hal ini karyawan memiliki peran penting dalam kesuksesan suatu
perubahan organisasi, apalagi bila perubahan tersebut bersifat transformasional yang
memerlukan komitmen penuh dari individu yang terlibat di dalamnya.
Daftar Pustaka

Anderson, B. (2002). Readiness for Change: An Individual Perspective. Northern


Carribean University, Business Administration. Jamaica: Lethbridge.
Armenakis, A. A., Self, D. R., & Schaninger, W. S. (2001). Social exchange variables as
mediators of the relationship between organizational commitment and employee
reaction to change initiatives. Paper Presented at the Sixty-first Annual Meeting of
the Academy of Management, Washington, DC, August 3-8, 2001.
Armenakis, A. A. & Harris, S. G. (2002). Crafting a change message to create
transformational readiness. Journal of Organizational Change Management, 15(2),
169-183.
Burke, Wyatt Warner (2008). Organization change: Theory & practice, (2nd ed.). Los
Angeles: Sage Publications.
Cawsey, T. F., Deszca, G. & Ingols, C. (2012). Organizational change: An action-oriented
toolkit. Los Angeles, USA: Sage.
Hellriegel, Don, Slocum, John W. Jr. (2007). Organizational Behavior. Mason, USA:
Thomson Higher Education.
Holt, D., Armenakis, A., Field, H., & Harris, S. (2007). Toward a comprehensive
definition of readiness for change: A review of research and instrumentation.
Research in Organizational Change and Development, 16, 289-336.
Jick, T. D. & Peiperl, M. A. (2011). Managing change: Cases and concepts, (3rd ed.).
Boston: McGraw-Hill/Irwin.
Jones, G. R. (2007). Organizational theory: Design and change. Upper-Saddle River, NJ:
Pearson Prentice Hall.
Kreitner, R. & Kinicki, A. (2008). Organizational Behavior (8th ed.). USA: McGraw-Hill.
Madsen, S. R., John, C. R., & Miller, D. (2005). Work-family conflict and health: A study
of workplace, psychological, and behavioral correlates. Journal of Behavioral and
Applied Management, 6(3), 225-247.
Mangundjaya, W. H. (2011). Organisasi: Struktur, Proses, dan Desain, Edisi Kedua,
Jakarta: Swascita.
Marsh, J. D. (2009). Resistance to change: An analysis between observed behaviors and
espoused perception. Thesis. Capella University.
Myers, P., Hulks, S. & Wiggins, L. (2012). Organizational change: Perspectives on theory
and practice. United Kingdom: Oxford University Press.
Palmer, I., Dunford, R., & Akin, G. (2009). Managing Organizational Change: A Multiple
Perspectives Approach. New York: McGraw-Hill.
Robbins, S. P. & Judge (2007). Organizational Behaviour, (11th Ed). New York: John
Wiley and Sons.
Walker, H. J., Armenakis, A. A., & Bernerth, J. B. (2007). Factors influencing
organizational change efforts: An integrative investigation of change content,
context, process, and individual differences. Journal of Organizational Change,
20(6), 761-773
BAB 3
REAKSI INDIVIDU TERHADAP PERUBAHAN ORGANISASI

Setiap perubahan pasti akan menimbulkan reaksi, baik reaksi positif maupun reaksi
negatif, dan yang memberikan reaksi tersebut adalah manusia. Hal ini disebabkan karena
menurut Smith (1996) hanya manusia/individulah yang dapat merubah keterampilan,
perilaku, dan hubungan interpersonal dan hal ini hanya dapat dilakukan pada situasi kerja
nyata. Dalam hal ini, bukan sistem, strategi, struktur, visi, budaya, maupun proses yang
dapat berubah, tetapi individu itu sendiri. Hal ini disebabkan karena tidak ada seorangpun
yang dapat bertanggung jawab pada perilaku orang lain melainkan hanya individu tersebut
sendiri yang dapat bertanggung jawab pada perilakunya masing-masing sehingga untuk itu
perlu mengetahui tentang reaksi seseorang dalam menghadapi perubahan. Pada bab ini
akan dibahas mengenai sikap dan reaksi individu dalam menghadapi perubahan, serta
berbagai faktor yang mempengaruhinya.

3.1. Sikap dan reaksi terhadap perubahan

Sebelum membahas mengenai sikap dan reaksi terhadap perubahan, maka terdapat
beberapa aspek yang mempengaruhi sikap dan reaksi seseorang untuk berubah, antara lain
adalah yang berhubungan dengan kemauan dan kemampuan seseorang untuk berubah.

3.1.1. Keinginan vs. Kemampuan untuk berubah


Hultman (1988) menyatakan bahwa terdapat 4 karakteristik individu dalam menghadapi
perubahan, yaitu:

1. Mau dan mampu untuk berubah (Willing and able to change).


Karakteristik ini menunjukkan individu mau dan mampu untuk berubah, Kombinasi
kedua faktor ini, sangat berhubungan dengan kesiapan untuk berubah. Kondisi ini
adalah kondisi yang sangat ideal dalam perubahan organisasi, dan biasanya pada saat
diluncurkannya program perubahan organisasi pertama kali, tidak banyak individu yang
masuk dalam kategori ini, dan perlu adanya program advokasi maupun sosialisasi untuk
dapat menghimpun banyak individu yang masuk dalam kategori ini.

2. Mampu tetapi tidak mau untuk berubah (Able but unwilling to change).
Karakteristik ini menunjukkan kondisi dimana seseorang memiliki kemampuan untuk
berubah tetapi tidak mau melakukan perubahan tersebut yang disebabkan karena
berbagai hal. Hal ini biasanya berhubungan dengan isu resistensi terhadap perubahan.
Misalnya: di kelas pasca sarjana di sebuah perguruan tinggi, diberlakukan sistem baru
dimana dosen harus mengecek kehadiran mahasiswa dua kali, yaitu pada awal kuliah
dan pada akhir kuliah. Sebenarnya hal ini tidak menuntut kemampuan yang tinggi,
hanya membuka komputer yang terdapat di kelas, memanggil nama mahasiswa,
memberikan tanda kehadiran ketidak-hadiran, dan melakukannya lagi pada waktu akhir
kuliah. Meskipun demikian, hal ini dianggap memberatkan bagi para dosen, sehingga
mereka segan melakukannya. Pekerjaan tersebut dilakukan para dosen secara terpaksa,
karena mereka menganggap hal ini merupakan suatu kegiatan yang kurang bermanfaat
dan memberatkan.

3. Mau tetapi tidak mampu untuk berubah, (Willing but unable to change).
Karakteristik ini menunjukkan seseorang ingin untuk berubah, tetapi tidak dapat
melakukan perubahan tersebut, yang disebabkan oleh berbagai faktor, antar lain, karena
individu tersebut kurang memiliki pengetahuan, keterampilan, kemampuan, keahlian
tertentu, kepercayaan diri, maupun disebabkan karena kurangnya sumberdaya yang
diperlukan untuk menunjang perubahan tersebut. Pada kondisi ini, sangat penting untuk
diketahui alasan mengapa seseorang tidak mampu melakukan perubahan tersebut,
sehingga dapat dilakukan intervensi untuk mengatasinya, karena dari segi kemauan ia
telah memiliki kemauan dan keinginan untuk berubah. Misalnya: dengan kemajuan
teknologi yang ada, maka berbagai sistem dilakukan secara komputerisasi, hal ini
membuat semua pekerja harus menguasai IT/komputer. Pekerja dalam kasus ini
memiliki kemauan untuk berubah, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk
menggunakan komputer.

4. Tidak mau dan tidak mampu untuk berubah (Unwilling and unable to change).
Pada situasi ini seseorang tidak mau serta tidak mampu untuk berubah. Kondisi ini
menarik, karena biasanya jelas diketahui apakah seseorang itu tidak berubah karena
disebabkan faktor ketidakinginan untuk berubah atau karena aspek ketidakmampuan
untuk berubah. Hal yang seringkali terjadi adalah, seseorang menyatakan mereka tidak
dapat berubah tetapi sebenarnya adalah mereka tidak mau berubah. Bila terdapat
kondisi demikian, maka mereka akan tetap menolak perubahan meskipun telah
dilengkapi dengan berbagai keahlian, kemampuan dan keterampilan maupun berbagai
sumberdaya yang diperlukan untuk mensukseskan perubahan tersebut. Disisi lain,
seseorang mau berubah bila mereka memiliki kemampuan untuk berubah.
Untuk itu membantu mereka memiliki pengetahuan, keterampilan,
mengembangkan rasa percaya diri maupun sumberdaya yang diperlukan akan membuat
mereka merasa siap untuk berubah.

(2) (1)
Mampu tetapi tidak Mau Mampu dan Mau untuk
untuk Berubah Berubah

(3) (4)
Tidak Mampu dan tidak Mau tetapi tidak Mampu
Mau untuk berubah untuk Berubah

Tidak mau berubah Mau berubah

Gambar 1. Hubungan antara kemauan dan kemampuan untuk berubah


Sumber: Hultman (1998).

3.2. Jenis reaksi terhadap perubahan

Berbagai reaksi dapat muncul ke permukaan pada waktu seseorang menghadapi


perubahan, hal ini menurut Galpin (1996) dapat terbagi ke dalam:

3.2.1. Reaksi efektif dalam menghadapi perubahan

Sikap dan reaksi seseorang yang masuk kedalam reaksi efektif biasanya adalah
berhubungan dengan sikap menerima dalam perubahan, dan hal ini tercermin pada:

1) Memberikan bantuan/dukungan.

Seseorang yang menerima perubahan organisasi, serta memiliki komitmen supaya


perubahan tersebut akan berhasil, maka ia akan cenderung untuk memberikan dukungan
sepenuhnya pada semua aktivitas yang berhubungan dengan perubahan, serta membantu
agar tujuan dari perubahan akan tercapai.
2) Meningkatkan kerjasama.

Seseorang yang menerima perubahan juga menunjukkan sikap mendukungnya dengan


cara bekerjasama dengan semua yang terlibat dalam proses perubahan tersebut.

3) Menanggapi penolakan secara serius.

Seseorang yang memiliki komitmen terhadap tercapainya perubahan organisasi, akan


berusaha untuk ikut menerangkan situasi, kondisi, dan proses perubahan kepada rekan-
rekannya di organisasi supaya mereka dapat mengetahui kondisi yang ada serta tidak
menolaknya. Selain itu pula, ia akan berusaha untuk memunculkan masalah penolakan
terhadap perubahan ke permukaan sehingga dapat dibahas bersama apa yang menjadi
penyebab penolakan terhadap perubahan.

4) Melakukan Negosiasi.

Seseorang yang mendukung perubahan, akan berusaha untuk membahas bersama


mengenai penolakan terhadap perubahan dan melibatkan mereka yang menolak
perubahan serta bila perlu turut melakukan negosiasi.

3.2.2. Reaksi tidak efektif dalam menghadapi perubahan

Selain dari reaksi efektif yang tercantum di atas, maka kebalikan dari reaksi tersebut
ditampilkan dalam perilaku penolakan perubahan. Tampilan tersebut antara lain adalah:

1) Mempertahankan diri.

Seseorang yang menolak perubahan, pada umumnya cenderung untuk bertahan pada
pendapatnya sendiri, hal ini membuat mereka cenderung akan mempertahankan diri dan
kurang mau terbuka pada pendapat orang lain yang berhubungan dengan masalah
perubahan.

2) Mempengaruhi orang lain dengan berbagai informasi.

Seseorang yang kurang menerima perubahan akan berusaha mempengaruhi orang lain
dengan menyatakan bahwa perubahan yang dilakukan adalah tidak diperlukan. Hal ini
dilakukan dengan cara memberikan nasihat yang tidak diperlukan, maupun dengan cara
membujuk orang lain dengan berbagai informasi yang dimilikinya, yang tujuannya
menolak perubahan.
3) Memaksakan kehendak.

Pada tahapan selanjutnya, seseorang yang menolak perubahan tidak hanya sekedar
mempertahankan diri maupun mempengaruhi orang lain, tetapi juga cenderung untuk
memaksakan kehendak, bahwa pendapatnya yang paling benar.

Dari berbagai reaksi dan perilaku yang dimunculkan tersebut, hal ini
menggambarkan sikap dan reaksinya dalam menghadapi perubahan, yaitu menerima atau
menolak perubahan. Dalam hal ini, terdapat beberapa reaksi dalam menghadapi perubahan
yaitu yang berhubungan dengan aktivitas serta penerimaan/penolakan perubahan.

(2) (1)
AKTIF Aktif dan menolak Aktif dan menerima
perubahan perubahan

(3) (2)
PASIF Pasif dan menolak Pasif dan menerima
perubahan Perubahan

MENERIMA MENOLAK
PERUBAHAN PERUBAHAN

Gambar 2. Reaksi dalam menghadapi perubahan

Dari Gambar 2 tersebut di atas, terdapat empat jenis sikap dan reaksi yang
ditampilkan individu dalam menghadapi perubahan, yaitu:
1) Aktif dan menerima perubahan.
Sikap yang ditampilkan individu pada kuadran ini adalah menerima perubahan yang
terjadi di organisasi, serta sikap penerimaannya tersebut ditampilkan secara terbuka
dan aktif dalam mendukung dan menunjang adanya perubahan. Misalnya dengan cara
ikut berpartisipasi dalam mensosialisasikan perubahan, menjadi mitra
perubahan/change agent, dsb.
2) Pasif dan menerima perubahan.
Sikap yang ditampilkan individu pada kuadran ini adalah menerima perubahan yang
terjadi di organisasi, tetapi sikap penerimaannya tersebut tidak ditampilkan secara
terbuka, dan cenderung pasif dalam menerima perubahan. Misalnya: hanya menerima
perubahan, tanpa melakukan penolakan.
3) Pasif dan menolak perubahan.
Sikap yang ditampilkan individu pada kuadran ini adalah menolak perubahan, tetapi
penolakannya tersebut tidak ditampilkan secara terbuka, tetapi lebih cenderung dalam
bentuk pasif, atau biasa disebut dengan pasif-agresif. Misalnya: dengan cara tidak
melakukan apa yang diperintahkan, tetapi tidak membantahnya.
4) Aktif dan menolak perubahan.
Sikap yang ditampilkan individu pada kuadran ini adalah menolak perubahan, dan
penolakannya tersebut ditampilkan secara aktif dan terbuka. Misalnya: melakukan
demo anti perubahan dsb.

3.3. Tahapan reaksi individu dalam proses perubahan organisasi


Dalam menghadapi dan bereaksi terhadap perubahan organisasi, maka sebelum
menyatakan menerima perubahan, maka terdapat tahapan reaksi yang dikeluarkan oleh
individu (Hultman, 1998), yaitu:

1. Terkejut dan menolak (Shock and denial).


Respon pertama yang muncul pada diri seseorang mengenai perubahan yang tidak
diinginkan adalah ketidakpercayaan dan keterkejutan. Mereka terkejut dan tidak percaya
akan dilakukannya perubahan.

2. Tawar menawar (Bargaining).


Seseorang yang melihat bahwa perubahan merupakan suatu ancaman, sehingga reaksi
yang dilakukannya adalah dengan cara untuk menghindar dan menolak serta melakukan
berbagai perbuatan yang tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya perubahan.
Tujuan dari perilakunya adalah untuk mengendalikan kerusakan yang mungkin terjadi
dan perasaan utama yang ada dalam diri mereka adalah rasa takut.
3. Marah (Anger).
Pada fase ini yang terjadi adalah setelah melakukan tawar menawar tidak berhasil, dan
perubahan akan tetap dilakukan, maka individu menjadi marah terhadap manajemen
maupun terhadap kondisi dan situasi yang ada. Hal ini biasanya terkait dengan sikap
dan reaksi penolakan (resistensi).
4. Depresi (Depression).
Kemarahan berkelanjutan yang diikuti dengan rasa tidak berdaya dalam menghadapi
situasi dan kondisi yang ada, akhirnya akan membuat seseorang menjadi merasa
tertekan dan depresi. Hal ini disebabkan karena ia merasa tidak mampu mengatasi dan
menghadapi perubahan yang ada.

5. Penerimaan (Acceptance).
Pada tahap ini seseorang akhirnya memahami tujuan dan pentingnya dilakukannya
perubahan, dan memiliki pandangan positif terhadap perubahan serta menerima
perubahan.

Tahapan tersebut dilanjutkan oleh berbagai pakar yang menyatakan bahwa setelah tahap
penerimaan masih terdapat beberapa tahapan lainnya yaitu:
1. Percobaan (Testing).
Yaitu tahap dimana seseorang berusaha mengetes dan mencoba perubahan yang ada
dengan sikap yang tidak lagi melakukan penolakan, tetapi belum sampai pada tahap
penerimaan sepenuhnya.
2. Internalisasi (Internalizing).
Yaitu tahap dimana seseorang mulai melakukan internalisasi dari perubahan yang
terdapat di organisasi, dan menerimanya karena perubahan tersebut dianggap sudah
sesuai dengan kebutuhan maupun nilai-nilai yang dianutnya.
3. Integrasi (Integration).
Pada tahap ini, seseorang telah melakukan berbagai kegiatan dan perilaku yang
tujuannya adalah mengintegrasikan sikap dan perbuatannya dengan perubahan yang
dilakukan organisasi.

Tinggi

7. Integration
2. Denil 6. Internalizing

KINERJA 1. Shock 3. Self-doubt


5. Testing

4. Acceptance

Rendah
Transisi WAKTU Transisi
Mulai Mulai

Gambar 3: Transisi Perubahan


Pada Gambar 3 di atas terlihat bahwa tahap penerimaan perubahan, merupakan tahap awal
dari perilaku nyata yang ditampilkan seseorang dalam bereaksi positif terhadap perubahan
yang dilakukan oleh organisasi.

Tahapan mengenai reaksi terhadap perubahan juga dibahas oleh Cawsey, Descza,
& Ingols (2012), yang di jabarkan dalam bentuk tabel dibawah ini:

Tabel 1: Tahapan reaksi individu dalam perubahan.

Sebelum Perubahan Selama perubahan Setelah Perubahan


Antisipasi dan anxiety Shock, penolakan, dan Penerimaan
penarikan
Isu: Isu: Isu:
Mengatasi masalah Mengatasi dengan Menempatkan sisa-sisa
ketidak pastian mengumumkan adanya efek traumatis perubahan
(uncertainty), rumor perubahan, mengatasi dibelakang, menerima
tentang apa yang akan masalah ketidak pastian perubahan, mencapai
terjadi atau tidak akan dan rumor, serta bereaksi tujuan, dan bergerak terus
terjadi. terhadap realitas baru. untuk mencapai kondisi
baru, serta adaptasi
terhadap perubahan.
Reaksi Reaksi Reaksi
1. Kecemasan sebelum Reaksi yang dimunculkan Secara umum individu
perubahan (prechange pada waktu perubahan berusaha untuk mengatasi
anxiety), yaitu antara lain adalah: perasaan kecemasan serta
mencemaskan tentang 2. Terkejut (Shock) depresi dan belajar untuk
apa yang mungkin 3. Melakukan Perlawanan menerima kondisi yang
akan terjadi, (defensive), serta ada dengan sikap positif,
kebingungan, dan mundur (retreat) serta memiliki komitmen
mungkin adanya 4. Melakukan Negosiasi terhadap perubahan.
penolakan mengenai 5. Perasaan Depresi dan
perubahan. bersalah.
Sumber: Cawsey, Descza, & Ingols (2012).

3.4. Sikap menghadapi perubahan

Selain itu, terdapat pandangan lain mengenai sikap terhadap perubahan seperti yang
dibahas oleh Eales & White (1994) di bawah ini, yaitu: Dalam menghadapi perubahan,
setiap individu memiliki pilihan sikapnya yang dan hal ini mewarnai sikap serta perilaku
yang ditampilkannya dalam menghadapi perubahan serta memiliki dampak terhadap
efektivitas perubahan. Untuk itu, Eales-White (1994) membagi sikap individu ke dalam 4
kategori, yaitu: 1. Logika rasional; 2. Kontrol negatif; 3. Fokus terhadap manusia; dan 4.
Positif dan kreatif. Keempat sikap tersebut dinyatakan dalam Gambar 4 berikut ini.

Analisis dan Evaluasi Eksplorasi dan Penemuan


INTELEKTUAL
(Logika dan Rasional) (Positif dan Kreatif)

Menerima dan Membantu


Menolak dan Bertahan
EMOSIONAL Orang Lain
(Kontrol Negatif)
(Fokus terhadap Manusia)

OTAK KIRI OTAK KANAN


Sumber: Eales & White (1994)

Gambar 4. Sikap dalam menghadapi perubahan

3.4.1. Ciri-ciri sikap dalam menghadapi perubahan

Eales-White (1994), menyatakan bahwa dari 4 jenis sikap individu dalam menghadapi
perubahan ciri-cirinya adalah sebagai berikut:

1. Logika Rasional (LR).


Yaitu seseorang yang cenderung untuk berlandaskan pada aspek logika dan rasional
dalam bersikap dan bertindak. Ciri-cirinya antara lain adalah: a) Tidak emosional; b)
Terfokus pada logika dan rasional; c) Tertarik pada fakta dan implementasi; d) Terfokus
pada analisis peristiwa dan implikasinya; dan e) Cenderung untuk mengevaluasi dan
mencari jawaban/alasan.
2. Kontrol Negatif (KN).
Yaitu sikap dan perilaku seseorang yang cenderung kurang mau melakukan perubahan,
dan ditampilkan dengan sikap yang emosinal. Ciri-cirinya antara lain adalah: a)
Emosional; b) Berpikir dan bersikap negatif; c) Orientasi pada diri sendiri; d) Ingin
tetap pada kondisi lama (rasa aman); e) Menolak adanya perubahan; f) Melawan
organisasi dan lingkungan; dan g) Melawan dengan cara yang logis maupun tidak logis
3. Fokus terhadap Manusia (FM).
Yaitu sikap seseorang terhadap perubahan yang cenderung untuk membela orang lain
dengan berlandaskan pada aspek emosi. Ciri-cirinya antara lain adalah: a) Menjajagi
pengalaman perubahan; b) Lebih bereaksi emosional daripada intelektual; c) Tidak
terfokus pada diri sendiri tetapi lebih pada orang lain yang terpengaruh perubahan; d)
Kebutuhan emosional terpenuhi dengan cara bertukar pengalaman dengan orang lain;
dan e) Memperoleh dan memberikan dukungan bagi mereka yang terpengaruh atau
terkena akibat adanya perubahan.
4. Positif dan Kreatif (PK).
Yaitu sikap seseorang yang cenderung untuk melihat perubahan secara positif dan
berusaha untuk menerima serta berperan pada perubahan tersebut. Ciri-cirinya antara
lain adalah: a) Menikmati adanya perubahan; b) Berani mengambil risiko; c) Ingin
berperan pada perubahan dan masa yang akan datang; d) Cenderung untuk tidak terlibat
secara emosional terhadap konsekuensi dari perubahan tersebut, baik pada diri sendiri
maupun orang lain; e) Lebih terfokus pada dinamika perubahan; f) Memiliki banyak ide
dan pertanyaan; dan g) Melakukan penjajagan mengenai kemungkinan konsekuensi dari
perubahan.

Beradasarkan kategori jenis sikap dan reaksi yang ditampilkan tersebut, akan dapat
terlihat pula apakah individu cenderung menerima atau menolak perubahan, dan reakasi
apa yang ditampilkan baik dalam penerimaan atau penolakan perubahan tersebut.

3.5. Penelitian mengenai sikap dan reaksi terhadap Perubahan


Penelitian mengenai sikap serta reaksi individu terhadap perubahan organisasi di
Indonesia, dilakukan oleh Mangundjaya (2001, 2002a, 2002b), pada BUMN dengan
jumlah responden 663, menunjukkan hasil bahwa pada umumnya sikap dominan yang
ditampilkan individu dalam menghadapi perubahan adalah cenderung logika dan rasional
(68,8%). Lebih lanjut, penelitian juga menunjukkan bahwa reaksi dominan kedua (21,1%)
yang ditampilkan seseorang dalam menghadapi perubahan adalah bersifat negatif
(kontrol negatif), yaitu cenderung untuk bereaksi secara emosional terhadap perubahan
yang dianggapnya kurang positif, sedangkan reaksi Fokus pada Manusia dan positif
kreatif hanya terdapat pada 5.3% dan 5% responden. Hasil ini diperoleh pada semua
tingkatan jabatan, dan tidak terbatas pada aspek pendidikan maupun usia. Berdasarkan
hasil tersebut, Mangundjaya (2001) menyatakan bahwa pendekatan yang terbaik dalam
suatu proses perubahan adalah dengan cara mengkomunikasikan, mensosialisasikan, dan
meyakinkan orang lain baik melalui fakta maupun informasi yang dapat diterima oleh akal
pikiran.

Hal ini tampaknya berhubungan dengan piramida penolakan Galpin (1996) yang
menyatakan bahwa seringkali orang menolak suatu perubahan karena memang tidak tahu.
Selain itu, untuk mengasi sikap dan reaksi negatif dari individu terhadap perubahan, maka
bila dihubungkan dengan piramida penolakan dari Galpin (1996), hal ini tampaknya berada
pada sikap penolakan yang disebabkan karena tidak/kurang adanya keinginan. Jenis ini
biasanya memunculkan sikap negatif terhadap perubahan. Untuk itu yang perlu dilakukan
antara lain adalah melakukan pendekatan individual dengan cara memberikan
penghargaan, pengakuan, persuasi, dan negosiasi tanpa harus ikut terlibat menjadi
emosional.

3.6. Penutup

Seperti pembahasan sebelumnya, dinyatakan bahwa kesuksesan suatu perubahan


organisasi, antara lain disebabkan karena sikap maupun reaksi individu terhadap
perubahan, dalam hal ini bila sikap dan reaksi seseorang adalah positif, maka hal ini akan
berdampak pula pada jalannya proses perubahan organisasi. Untuk itu, penanggung jawab
perubahan organisasi harus berusaha sedapat mungkin menciptakan sikap dan reaksi positif
karyawan terhadap perubahan organisasi.

Daftar Pustaka

Cawsey, T. F., Deszca, G. & Ingols, C. (2012). Organizational Change: An Action-


Oriented Toolkit. Los Angeles, USA: Sage.
Eales-White, R. (1994). Creating Growth from Change – How You React, Develop and
Grow. McGraw Hill International (UK) Ltd.
Galpin, T. (1996). The Human Side of Change. San Francisco, USA: Jossey-Bass
Publishers.
Hultman, K. (1998). Making change iresistable, overcoming resistance to change in your
organization, Palo Alto, California, USA: Davies-Black Publishing.
Mangundjaya, W. H. (2002a). Mempersiapkan individu di organisasi untuk menghadapi
perubahan. Makalah di presentasikan pada konferensi I, APIO Surabaya, 2-3
Agustus, 2002
Mangundjaya, W. H. (2002b), Dimensi sikap kerja dan hubungannya dengan sikap
terhadap perubahan. Publikasi terbatas, penelitian Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Mangundjaya, W. H. (2001). Memanajemeni Perubahan, dalam Syabadhini dkk, dalam
Pengembangan Kualitas Sumberdaya Manusia dari Perspektif PIO, Bagian PIO,
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.
Smith, D. K. (1996). Taking Charge of Change, USA: Perseus Books.
BAB 4
KESIAPAN UNTUK BERUBAH

Untuk mengetahui apa saja yang dapat mempengaruhi sikap serta reaksi seseorang
terhadap perubahan ini, maka pada bab ini akan dibahas variabel organisasi dan variabel
individual yang mempengaruhi sikap dan reaksi seseorang.

4.1. Pengertian kesiapan individu untuk berubah


Kesiapan untuk berubah telah dikonseptualisasikan dan didefinisikan melalui berbagai cara
(Madsen, Miller, & John, 2005). Hal ini antara lain didukung dengan sifat dasar dari
kesiapan untuk berubah yang kompleks sehingga menyebabkan banyak penelitian
mengenai konstruk ini memuat banyak definisi kesiapan untuk berubah yang berbeda-beda
(Holt et al., 2007).
Beberapa definisi mengenai kesiapan individu untuk berubah adalah sebagai
berikut:
Armenakis, dkk (1993) mendefinisikan kesiapan untuk berubah sebagai:
“as people’s beliefs, attitudes, and intentions regarding the extent to which changes
are needed and their perception of individual and organizational capacity to
successfully make those changes.”

Dengan kata lain, kesiapan untuk berubah merupakan keyakinan, perilaku dan
intensi seseorang terhadap perubahan yang dibutuhkan dan terkait dengan persepsi mereka
terhadap kapasitas individual dan organisasinya untuk mencapai keberhasilan dalam
perubahan tersebut. Lebih lanjut, Armenakis, Harris, & Mossholder (1993) mendefinisikan
kesiapan untuk berubah, sebagai: the cognitive to behaviors of either resistance to or
support for change efforts”.
Disisi lain, Hanpachern (1997) mendefinisikan kesiapan untuk berubah sebagai
berikut:
readiness for change is the extent to which individuals are mentally,
psychologically, or physically ready, prepared, or primed, to participate in
organization development activities.

Armenakis, (1993); Anderson, (2002), lebih lanjut menyatakan bahwa


Employee readiness is the cognitive precursor the behaviours that support
the change effort and is reflected ini organizational members’ willingnesss
to adopt the change.

Hal ini ditunjang pula oleh Holt, Armenakis, Field, & Harris (2007) yang
menyatakan bahwa: kesiapan untuk berubah adalah seberapa besar individu secara kognitif
dan emosional menampilkan penerimaan dan usaha untuk dapat melaksanakan rencana
dalam rangka melakukan perubahan terhadap kondisi saat ini (Holt, Armenakis, Field, &
Harris, 2007). Lebih lanjut, Bouckenooghe & Devos (2007) menyatakan bahwa didalam
kesiapan untuk berubah sesungguhnya terdapat pengaruh emosional individu terhadap
perubahan. Kesiapan untuk berubah adalah sebuah sikap terhadap perubahan yang terdiri
dari dua komponen utama yang terdiri dari segi afektif dan intensi. Kedua komponen
tersebut merupakan evaluasi seseorang terhadap suatu objek atau keadaan tertentu.
Komponen afektif merujuk pada perasaan seseorang terhadap perubahan yang ada,
sedangkan komponen intensi dipengaruhi oleh intensi berperilaku seseorang terhadap
perubahan.

Berdasarkan berbagai pengertian yang telah disampaikan sebelumnya dapat dilihat


bahwa dalam kesiapan untuk berubah terdapat kesiapan mental, psikologis, ataupun fisik
dari individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan organisasi.

4.2. Dimensi kesiapan individu untuk berubah


Secara umum, Hanpachern (1997) mengungkapkan tiga dimensi kesiapan untuk berubah,
yaitu:
1. Mempromosikan perubahan (Promoting Change).
Dimensi ini menggambarkan sikap atau respon individu terhadap perubahan organisasi,
dimana dirinya menunjukkan dukungan terhadap perubahan organisasi yang dilakukan,
dengan cara mempromosikan perubahan terhadap orang lain.
2. Berpartisipasi pada perubahan (Participating Change).
Dimensi ini mencerminkan tindakan individu yang mendukung keberhasilan
implementasi perubahan organisasi, dengan cara melakukan berbagai usaha untuk
mencapai keberhasilan tersebut.
3. Menolak Perubahan (Resisting Change).
Dimensi ini mencerminkan respon atau sikap individu yang menolak perubahan yang
ditunjukkan dengan adanya sikap negatif terhadap perubahan organisasi.
Selain apa yang dibahas di atas, Holt dkk (2007) menyatakan bahwa terdapat
berbagai dimensi dari kesiapan berubah, yaitu sebagai berikut:
1. Ketepatan untuk melakukan perubahan (Appropriateness)
Untuk bersedia melakukan perubahan, individu memerlukan alasan yang logis
mengenai kenapa dirinya harus berubah. Selain itu individu harus merasakan kebutuhan
yang bertujuan pada manfaat positif dan memiliki prospek baik dan perubahan itu,
efisiensi yang diperoleh dari perusahaan, dan kongruensi tujuan perusahaan dengan
tujuan perubahan.
2. Kepercayaan diri terhadap kemampuan untuk berubah (Change Efficacy)
Individu yang akan berubah harus merasa bahwa ia akan dapat menyelesaikan tugas-
tugas yang diberikan kepadanya yang berhubungan dengan perubahan yang terjadi.
Kepercayaan ini penting untuk dimiliki karena individu akan merasa dirinya membantu
pelaksanaan perubahan yang prospektif.
3. Dukungan manajemen (Management Support)
Individu dalarn organisasi merasakan bahwa tidak hanya dirinya berusaha untuk
melaksanakan perubahan, akan tetapi juga pemimpin dan pihak manajemen dalam
organisasi ikut memberikan dukungan dan komitmen yang mengarahkan pelaksanaan
perubahan.
4. Manfaat bagi Individu (Personal Valence)
Individu merasakan bahwa dirinya akan mendapatkan manfaat yang positif dari
pelaksanaan perubahan prospektif yang dilakukan oleh diri sendiri dan pihak organisasi.

Keempat dimensi di atas diturunkan dari definisi yang dinyatakan oleh Holt dkk
(2007) dimana dimensi ketepatan untuk berubah berkaitan dengan apa yang berubah.
Individu dalam organisasi akan memperhatikan hal-hal yang berubah dalam organisasi dan
memutuskan apakah perubahan tersebut tepat dengan kebutuhan organisasinya. Dimensi
kedua mengenai kepercayaan diri individu dalam menghadapi perubahan mengenai
pernyataan dalam definisi Holt dkk (2007) mengenai karakteristik individu yang diminta
untuk berubah, dimana kepercayaan diri penting karena individu yang merasa mampu
untuk melaksanakan perubahan akan membantu pelaksanaan perubahan yang prospektif.
Disisi lain, dimensi dukungan manajemen dan manfaat bagi individu menguraikan
mengenai keadaan dimana perubahan akan berlangsung dan bagaimana prosesnya.
Individu dalam organisasi akan mengetahui apakah pihak manajemen memberikan
dukungan terhadap perubahan yang sedang berlangsung atau tidak, dan apakah perubahan
tersebut membawa keuntungan personal baginya.

Disamping itu, Holt, Armenakis, Field, & Harris, (2007) mengungkapkan adanya 5
dimensi yang mempengaruhi kesiapan individu dalam menghadapi perubahan yaitu:
1. Perbedaan (Discrepancy)
Aspek dan diskrepansi dan pesan dan informasi yang dikomunikasikan mencakup
kebutuhan untuk berubah dan harus konsisten dengan faktor kontekstual yang relevan
(Armenakis, 1993). Lebih lanjut, Armenakis (1993) menambahkan bahwa diskrepansi
berhubungan dengan perasaan seseorang terhadap sejauh mana perubahaan perlu
dilakukan dengan ada atau tidaknya alasan dan kebutuhan untuk masa depan.
Memahami suatu untuk berubah memfasilitasi individu untuk siapa menghadapi
perubahan (Anderson, 2002). Informasi yang diberikan kepada individu bertujuan untuk
menciptakan kesadaran bahwa perubahan perlu dilakukan untuk mencapai tujuan dan
cita-cita yang diinginkan. Individu perlu mengetahui keadaan saat ini dan tujuan yang
diharapkan.

Sehubungan dengan individu dan motivasi untuk berubah, maka individu harus
terlebih dahulu percaya bahwa perubahan perlu dilakukan (Armenakis, 2002).
Kepercayaan akan perbedaan dibutuhkan untuk menunjukkan bagaimana keadaan saat
ini dan sebuah organisasi berbeda dengan keinginan akhir (Katz & Kahn, 1978;
Armenakis, 1993). Diskrepansi yang disampaikan perlu mencakup kemana arah dan
organisasi, sikap yang diinginkan, dan mengapai tujuan tersebut perlu dilakukan
(Armenakis, 1993).

2. Keyakinan terhadap perubahan (Efficacy)


Keyakinan terhadap perubahan mengacu pada sejauh mana seseorang merasa memiliki
keterampilan dan mampu melaksanakan tugas yang berhubungan dengan pencapaian
perubahan di masa depan (Armenakis, 1993). Lebih lanjut, keyakinan terhadap
perubahan mengarah dalam kemampuan seseorang untuk sukses (Bandura dalam
Armenakis, 2002). Untuk itu, dalam menciptakan kesiapan terhadap perubahan,
seseorang tidak hanya mengkomunikasikan perbedaan yang ada, tetapi juga mendukung
keyakinan anggota organisasi terhadap perubahan untuk mengurangi penolakan
terhadap perubahan (Holt, Armenakis, Field, & Harris, 2007). Holt dkk (2007)
menambahkan bahwa keyakinan terhadap perubahan juga dipengaruhi oleh pola pikir,
tindakan dan emosional.
3. Keuntungan Organisasi (Organizational Valence)
Keuntungan organisasi mengacu pada perasaan seseorang mengenai sejauh mana
organisasi akan mendapatkan keuntungan dari implementasi perubahan yang ada (Holt,
Armenakis, Field, & Harris, 2007).
4. Dukungan Atasan (Principal Support)
Dalam dimensi ini dukungan atasan merupakan perasaan dimana seseorang merasa
bahwa kepemimpinannya berkomitmen dan mendukung proses perubahan yang sedang
terjadi (Armenakis, 1993). Perubahan memerlukan sumberdaya dan komitmen dalam
prosesnya (Armenakis, 2002). Untuk itu, karyawan diharapkan dapat turut bertanggung
jawab terhadap perubahan yang sedang terjadi, khususnya ketika perubahan tersebut
membawa dampak yang negatif (Anderson, 2002). Disisi lain, karyawan telah melihat
banyak perubahan yang kurang mendapatkan dukungan, sehingga mereka menjadi
skeptik dan tidak ingin berpartisipasi secara aktif (Armenakis, 2002).
5. Kepentingan Pribadi (Personal valence)
Karyawan yang menghadapi perubahan pada umumnya memikirkan manfaat dari
perubahan tersebut (Anderson, 2002). Mereka kadang kala memilih untuk menolak
perubahan karena merasa takut terhadap perubahan yang akan membawa ketidakpastian
atau hasil yang negatif (Vroom dalam Anderson, 2002). Selama terjadi perubahan
organisasi (Cobb dalam Armenakis 2002) mengemukakan bahwa anggota dan target
perubahan akan melihat dampak negatif dan positif dan hasil terhadap perubahan baik
bagi organisasi maupun bagi dirinya sendiri. Perubahan yang membawa dampak
ancaman terhadap individu akan membuat terjadinya penolakan terhadap perubahan
(Armenakis, 2002). Lebih lanjut, ketika perubahan tersebut dirasakan membawa
manfaat, maka individu akan termotivasi untuk bekerja lebih keras untuk menjalani
proses perubahan tersebut.

Faktor-faktor ini berkontribusi untuk membuat seseorang menjadi siap dalam


menerima dan mempromosikan perubahan. Ketika karyawan diperlakukan secara
hormat serta mendapat dukungan dan atasannya, karyawan akan membalasnya dengan
performa kerja yang lebih baik, extra-role behavior, serta kesetiaannya cenderung
meningkat. Sebaliknya karyawan yang direndahkan dan tidak dihargai akan sangat
kurang terlibat dalam pekerjaaannya.
4.3. Faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Individu untuk Berubah
Wittenstein (2008) melakukan studi literatur dan menemukan adanya konsistensi dalam
identifikasi faktor-faktor besar yang mempengaruhi kesiapan untuk berubah, yaitu
merupakan kombinasi antara faktor individu dengan faktor organisasi. Bouckenooghe dkk
(2007) merangkum beberapa studi mengenai kesiapan untuk berubah menjadi dua faktor
besar yaitu faktor konteks dan faktor proses. Lebih lanjut, Cunningham dkk. (2002 dalam
Wittenstein, 2008) menyatakan bahwa cara terbaik untuk memprediksi kesiapan untuk
berubah adalah dengan mengombinasikan faktor-faktor individual dengan faktor-faktor
organisasi. Meskipun faktor individual turut berpengaruh, secara keseluruhan, faktor
organisasi merupakan prediktor kesiapan untuk berubah yang paling baik (Cunningham
dkk, 2002 dalam Wittenstein, 2008).

Menurut Walker, Armenakis, & Bernerth (2007), terdapat 4 variabel yang dapat
mempengaruhi kesiapan untuk berubah, yang bahkan akan mempengaruhi keberhasilan
suatu perubahan, yaitu sebagai berikut:
1. Konten (Isi Perubahan)
Pada variabel konten, perubahan mencakup pada sikap yang sedang berubah dan
karakteristiknya. Konten biasanya diarahkan melalui administratif prosedural,
teknologi, atau karakteristik dan struktur dan organisasi. Perubahan ini digambarkan
sebagai fundamental atau incremental (Walker, Armenakis & Bernerth, 2007).
Perubahan secara fundamental muncul dalam rangka menghadapi permintaan dan
lingkungan seperti kompetisi atau regulasi pemerintahan yang baru, sedangkan
perubahan secara incremental merupakan langkah-langkah yang dilakukan untuk
berubah sesuai dengan organisasi yang ideal (Walker, Armenakis, & Bernerth, 2007).
Isu konten juga dapat didefinisikan sebagai perubahan episodik atau kontinu, dimana
perubahan secara episodik mencakup stuktur atau kepemilikan perusahaan, sedangkan
perubahan secara kontinu dianggap sebagai perubahan yang terus berjalan dan terus
berkembang (Walker, Armenakis, & Bernerth, 2007).
2. Konteks
Konteks dalam organisasi mencakup pada kondisi dan lingkungan dimana karyawan
bekerja. Isu konteks mengacu pada apa yang ada di dalam lingkungan eksternal maupun
internal sebuah organisasi (Walker, Armenakis, & Bernerth, 2007). Lebih lanjut,
lingkungan eksternal mencakup tekanan dan kompetitor (Meyer dalam Walker,
Armenakis, & Bernerth, 2007), deregulasi pemerintahan (Amburgey, Walker,
Armenakis, & Bernerth, 2007), atau perubahan teknologi dan legislatif (Haveman,
Walker, Armenakis, & Bernerth, 2007) juga dapat dikategorikan kedalam aspek konteks
lingkungan eksternal. Disisi lain, lingkungan internal dapat mencakup level
profesionalisme, sikap terhadap perubahan, tekanan manajerial, sumber pengetahuan
teknikal, dan kurangnya sumber daya (Walker, Armenakis, & Bernerth, 2007).
3. Proses
Proses perubahan adalah tahapan dalam mengimplementasikan perubahan dimana
tingkat partisipasi setiap karyawan dapat berbeda pada setiap tahap. Proses perubahan
juga mencakup bagaimana perubahan tersebut dilakukan (Holt dkk, 2007). Antara lain,
bagaimana sosialisasi mengenai perubahan tersebut dilakukan, bagaimana manajemen
mengkomunikasikan perubahan serta bagaimana caranya agen perubahan (change
agent) atau pemimpin perubahan melakukan implementasi perubahan tersebut.
4. Karakteristik Individu
Aspek atribut dan adanya individu juga mempengaruhi perubahan. Hal ini disebabkan
karena perbedaan antar individu, misalnya: sebagian individu lebih memilih untuk
mendukung perubahan, sedangkan yang lain belum tentu mendukung perubahan
tersebut. Dalam usaha menghadapi perubahan organisasi, perbedaan individu dapat
mempengaruhi reaksi terhadap perubahan dan berdampak pada komitmen karyawan
terhadap perubahan (Walker, Armenakis, & Bernerth, 2007).

4.4. Faktor individu dalam kesiapan untuk berubah


Buku ini adalah mengenai peran faktor individu/manusia dalam perubahan organisasi.
Untuk itu, dibahas mengenai kesiapan untuk berubah (readiness, for change), yaitu:
1. Percaya pada Diri Sendiri (Self-Efficacy)
Percaya pada diri sendiri (self-efficacy) merujuk pada keyakinan individu bahwa ia
mampu untuk menghadapi tingkah laku perubahan spesifik yang diharapkan sepanjang
waktu. Karyawan yang mempercayai kemampuannya dalam mengatasi perubahan,
berpartisipasi dalam perubahan, cenderung memiliki kesiapan untuk berubah yang
tinggi dalam menghadapi perubahan organisasi (Readiness, 2002). Dengan kata lain,
percaya pada diri sendiri (self-efficacy) berkorelasi secara positif dengan kesiapan untuk
berubah (Wittenstein, 2008).
2. Keberdayaan Psikologis (Psychological Empowerment)
Konsep keberdayaan psikologis hampir sama dengan efikasi diri, dalam hal ini pada
keberdayaan psikologis konsep efikasi diri merupakan salah satu dimensi yang terdapat
pada keberdayaan psikologis. Sprietzer (1995, 1996, 1997), dalam hal ini menyatakan
bahwa keberdayaan psikologis adalah suatu konstruk motivasi yang dapat dilihat dari 4
variabel yaitu: a) kebermaknaan (meaning), yaitu sejauh mana seseorang merasa bahwa
pekerjaannya adalah bermakna; b) kompetensi (competence) yaitu sejauh mana
seseorang merasa memiliki kompetensi atau merupakan kesadaran sejauh mana
kepercayaan seseorang atas kapasitas yang dimilikinya; c) penentuan diri (self-
determination), yaitu merupakan suatu kondisi yang hendak melihat sejauh mana
seseorang dapat menentukan dan mengambil keputusan; dan d) dampak (impact), yaitu
sejauh mana seseorang merasa akan dapat memberikan pengaruh pada lingkungan
organisasi.

Hasil penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Lizar, Mangundjaya & Rachmawan
(2014) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara
keberdayaan psikologis dan kesiapan individu untuk berubah. Dengan perkataan lain,
semakin tinggi keberdayaan psikologis seseorang maka akan semakin tinggi
kesiapannya dalam menghadapi perubahan.
3. Modal/Kapital Psikologis (Psychological Capital)
Istilah psychological capital diperkenalkan dan didefinsikan oleh Luthans dkk (2007),
sebagai berikut Psychological Capital adalah suatu kondisi perkembangan dan kondisi
psikologis positif dan seseorang yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (1)
memilliki kepercayaan diri (self-efficacy) untuk mengambil dan mengerahkan usaha
yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang; (2) membuat
atribusi yang positif (optimism) tentang kesuksesan di masa kini dan masa depan; (3)
tidak mudah menyerah dalam mencapai tujuan dan mencari jalan lain untuk mencapai
tujuan (hope); dan (4) ketika dihadapkan pada masalah dan halangan dapat bertahan dan
bangkit kembali, bahkan melebihi (resiliency), untuk mencapai kesuksesan. Penelitian
di Indonesia yang dilakukan oleh Fachruddin & Mangundjaya (2012); Rindang &
Mangundjaya (2013), serta Lizar, Mangundjaya & Rachmawan (2014) memperoleh
hasil bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara kapital psikologis dengan
kesiapan individu untuk berubah, sehingga semakin tinggi kapital psikologis yang
dimiliki oleh seseorang maka akan semakin tinggi pula kesiapannya untuk menghadapi
perubahan.
4. Pengetahuan dan keterampilan kerja
Pengetahuan dan keterampilan kerja menurut Hanpachern, Morgan, & Griego (dalam
Madsen et al., 2005) mempengaruhi kesiapan individu untuk berubah. Dalam arti,
semakin tinggi atau semakin baik kemampuan yang dimiliki oleh seseorang, maka
kesiapannya dalam menghadapi perubahan juga akan menjadi lebih tinggi.
5. Locus of Control
Orang-orang dengan internal locus of control, mereka memiliki kontrol pada
lingkungan serta keberhasilan. Sebaliknya orang-orang dengan external locus of control
mempercayai bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidup mereka diakibatkan oleh faktor
luar. Mengenai perubahan, orang dengan internal locus of control melihat diri mereka
agen perubahan yang aktif. Sedangkan orang dengan external locus of control. Dengan
kata lain, orang dengan internal locus of control memiliki kesiapan untuk berubah yang
lebih baik dibandingkan orang dengan external locus of control (Bouckenooghe, 2007).
6. Kepuasan kerja
Kesiapan untuk berubah juga ditemukan berhubungan dengan kepuasan kerja dan
performa kerja yang efektif (McNabb & Sepic dalam Madsen dkk., 2005). Dalam hal
ini penelitian di Indonesia mengenai hubungan antara kepuasan kerja dan kesiapan
individu untuk berubah juga telah dilakukan oleh Mangundjaya dkk (2014) dengan hasil
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan
kerja dengan kesiapan individu untuk berubah, sehingga semakin tinggi kepuasan kerja
seseorang, maka akan semakin tinggi pula kesiapannya untuk menghadapi perubahan.
7. Kesejahteraan di tempat kerja (Workplace well-being)
Konsep Workplace well-being (kesejahteraan di tempat kerja) merupakan konsep yang
tren saat ini, yang sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep kepuasan kerja.
Dalam hal ini Page (2005) menyatakan bahwa,“The sense of well-being that employees
gain from their work. It is conceptualised as core affect plus the satisfaction of intrinsic
and/or extrinsic work values” (Page, 2005). Lebih lanjut, Page (2005, 2009)
menyatakan bahwa terdapat beberapa dimensi dari kesejahteraan di tempat kerja, yaitu:
a) Besarnya tanggung jawab; b) Perasaaan berprestasi yang berasal dari pekerjaan; c)
Kondisi kerja; 4) Fleksibilitas jam kerja; 5) Kesempatan Promosi; dan 6) Kemandirian
dalam bekerja. Dalam hubungannya dengan konsep kesejahteraan di tempat kerja,
Mangundjaya (2014b), dalam penelitiannya di institusi perbankan mengenai hubungan
antara kesejahteraan di tempat kerja (Workplace well-being), dengan kesiapan individu
untuk berubah, memperoleh hasil bahwa kesejahteraan di tempat kerja memiliki
hubungan yang positif dan signifikan dengan kesiapan individu untuk berubah.
Konsekwensinya adalah semakin tinggi kesejahteraan di tempat kerja, maka akan
semakin tinggi pula kesiapan individu untuk berubah.
8. Komitmen Organisasi
Meyer & Allen (1991, 1997) mengukur komitmen organisasi seseorang sebagai ikatan
psikologis karyawan dengan organisasinya. Individu yang memiiliki komitmen
organisasi yang tinggi akan lebih terlibat dalam perubahan serta memiliki tingkah laku
yang lebih konsisten dengan tujuan organisasi. Madsen, dkk. (2005) mendukung bahwa
komitmen organisasi berkorelasi secara signifikan dengan kesiapan untuk berubah
(readiness for change). Madsen, Miller, & John (2005) menemukan faktor komitmen
yang terdiri dari identifikasi terhadap organisasi, loyalitas, serta keterlibatan karyawan
berkorelasi positif dengan kesiapan untuk berubah.
9. Keterikatan kerja (Employee Engagement)
Konsep keterikatan kerja (Employee engagement), saat ini merupakan konsep yang
sering dibahas di manajemen sumberdaya manusia, karena menurut penelitian terdahulu
dengan adanya keterikatan kerja, maka pekerja akan menjadi lebih produktif dan pada
akhirnya akan menghasilkan kinerja organisasi yang tinggi. Melihat pentingnya hal
tersebut, Mangundjaya, (2011b), melakukan penelitian yang tujuannya hendak melihat
hubungan antara keterikatan kerja dengan kesiapan individu untuk berubah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara
keterikatan kerja dengan kesiapan individu untuk berubah, sehingga semakin tinggi
keterikatan kerja seseorang, hal ini akan menghasilkan kesiapan individu untuk
berubah yang tinggi pula (Mangundjaya,2011b).
10. Demografi
Usia memiliki dampak negatif terhadap perubahan (Cordery dkk, Ellis & Child, dalam
Burris, 2008); menyatakan bahwa karyawan dengan usia yang relatif lebih muda akan
lebih mudah untuk menerima perubahan dibandingkan karyawan yang lebih tua. Selain
itu semakin sedikit karyawan menghabiskan waktu dalam organisasi, memiliki
kecenderungan untuk menerima perubahan yang terjadi dalam perubahan. Setelah itu,
tingkat pendidikan juga memiliki relasi yang positif dengan penerimaan terhadap
perubahan organisasi, karyawan dengan pendidikan yang tinggi memiliki kesempatan
untuk menggunakan keahliannya (Cordery dkk, dalam Burris, 2008). Peningkatan
dalam pengguñaan keahliannya memungkinkan karyawan untuk menghadapi tantangan-
tantangan baru dalam pekerjaan mereka. Lebih lanjut, faktor demografis, seperti
pendidikan dan posisi jabatan berhubungan dengan tingkat kesiapan untuk berubah pada
karyawan (Bouckenooghe, dkk 2007). Karyawan yang memiliki pendidikan akhir
sarjana ditemukan memiliki tingkat kesiapan untuk berubah lebih tinggi daripada
karyawan yang memiliki pendidikan akhir sekolah dasar. Begitu pula dengan jabatan,
karyawan yang berada pada posisi manajer senior ditemukan memiliki kesiapan lebih
tinggi daripada karyawan dengan posisi staf. Dari hasil penelitian tersebut, terlihat
bahwa semakin tinggi pendidikan dan jabatan akan semakin tinggi pula tingkat
kesiapannya untuk berubah (Bouckenooghe, dkk, 2007).

Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Mangundjaya dkk (2014a) memperoleh


hasil sebagai berikut:
Penelitian yang dilakukan di dua BUMN di Indonesia mengenai aspek demografis dalam
kaitannya dengan kesiapan Individu untuk berubah, menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara profil demografis, baik pada aspek gender (pria/wanita;
latar belakang pendidikan, masa kerja maupun posisi). Meskipun demikian, tidak terdapat
perbedaan signifikan dalam hal usia. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat
korelasi yang positif dan signifikan, antara lama kerja, dan posisi terhadap kesiapan
individu untuk berubah (Mangundjaya dkk, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa semakin
lama seseorang bekerja, semakin tinggi latar belakang pendidikan serta semakin tinggi
jabatannya maka ia akan semakin siap dalam menghadapi perubahan. Selain itu, terlihat
bahwa pria memilki kesiapan individu untuk berubah yang lebih tinggi dibandingkan para
wanita.

4.5. Faktor organisasi dalam kesiapan individu untuk berubah


Salah satu faktor organisasi yang memiliki pengaruh pada kesiapan untuk berubah adalah
Dalam hal ini, faktor organisasi yang berperan pada kesiapan untuk berubah antara lain
adalah:
1) Hubungan Sosial di tempat kerja
Hubungan sosial di tempat kerja menurut Madsen dkk (2005), akan memiliki dampak
terdapat kesiapan individu untuk berubah. Menurutnya hubungan sosial yang baik dalam
tempat kerja akan membantu karyawan untuk lebih siap dalam menghadapi perubahan.
2) Keadilan Prosedural (Procedural Justice)
Keadilan prosedural (procedural justice) merefleksikan keadilan dalam proses
pengambilan keputusan yang dirasakan oleh karyawan terhadap atasannya. Pemimpin
meningkatkan persepsi keadilan prosedural (procedural justice) ketika mereka membuat
keputusan berdasarkan konsistensi diantara individu dan waktu, mengurangi terjadinya
bias, ketepatan (keputusan didasari informasi yang baik dan opini yang ada), dapat
diperbaiki (keputusan bisa diprotes atau diperbaiki), respresentativeness (prosedur
mereflesikan perhatian, nilai, dan cara berpikir), dan ethicality. Dengan adanya keadilan
procedural maka karyawan atau bawahan bisa terlibat secara langsung dalam pengambilan
keputusan. Hal ini disebabkan karena organisasi terbuka terhadap kritikan ataupun saran
dan bawahan. Bawahan yang terlibat dalam pengambilan keputusan biasanya lebih siap
dengan perubahan yang terjadi (Krause, 2008).
3) Leader-Member Exchange
Leader-member exchange merefleksikan hubungan yang dimiliki karyawan dengan
atasannya. Terutama leader member exchange mengukur level kepercayaan karyawan
bahwa atasannya akan memperhatikan minat mereka. Pimpinan bisa meningkatkan
persepsi leader-member exchange dengan mengembangkan hubungan kerja yang
positifdan memberi kesempatan pada masing-masing individu untuk melihat bagaimana
cara mencapai tujuan organisasi akan bisa terpenuhi atau tercapai dengan adanya
kerjasama antara atasan dan bawahan. Leader member exchange yang tinggi akan
memudahkan bawahan dalam menghadapi perubahan.

4) Kredibilitas Manajemen (Management Credibility)


Kredibilitas manajemaen (management credibility) merefleksikan persepsi karyawan
mengenai konsistensi antara apa yang manajemen ucapkan dengan apa yang manajemen
lakukan. Tingkah laku atasan yang mempengaruhi kepercayaan adalah konsistensi,
integritas (mencakup mengatakan yang sejujurnya, memegang janji), membagi kekuasaan
dalam pembuatan keputusan melalui pedelegasian, komunikasi dan kebaikan hati
(mendemontrasikan kepedulian). Dengan demikian adanya kredibilitas manajemen
(management credibility) yang tinggi pada pihak manajemen maka karyawan akan Iebih
siap untuk berubah.

5) Dukungan Organisasi (Perceived Organizational Support)


Persepsi dukungan organisasi (perceived organizational support) dideskripsikan sebagai
persepsi dan karyawan bahwa organisasi peduli, menghargai, dan mendukung mereka.
Secara lebih luas karyawan mempercayai organisasi memperhatikan kebutuhan dan minat
mereka, rasa percaya ini akan mempengaruhi cara karyawan bekerja. Pemimpin bisa
mendemontrasikan dukungan organisasi dengan berkomunikasi sesuai dengan kebutuhan
yang ada. Dukungan organisasi yang tinggi akan menyiapkan bawahan (karyawan) dalam
menghadapi perubahan. Dalam hal ini, faktor dukungan serta lingkungan organisasi yang
kondusif untuk melakukan inovasi ditemukan mempengaruhi kesiapan untuk berubah (Huy
dalam Wittenstein, 2008).
6) Kepercayaan terhadap manajemen.
Penelitian dari Weber dan Weber (dalam Wittenstein, 2008) menunjukkan bahwa
kepercayaan terhadap manajemen, persepsi tentang dukungan penyelia, memiliki
hubungan dengan kesiapan individu untuk berubah.

4.6. Faktor yang mempengaruhi kesiapan individu untuk berubah

Armenakis, Harris, & Mossholder (1993) menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang
mempengaruhi kesiapan untuk berubah, yaitu:
1. Kebutuhan untuk berubah;
Pekerja mengetahui bahwa organisasi perlu berubah menurut Kotter (1997) merupakan
hal utama yang harus dilakukan dalam mengelola perubaha, dan hal ini diperkuat oleh
Armenakis et al. (1993) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan dan pengaruh
antara pengetahuan mengenai kebutuhan untuk berubah dengan kesiapan individu untuk
berubah.
2. Kemampuan untuk melakukan perubahan (self-efficacy);
Rasa percaya diri, percaya memeliki kemampuan untuk melakukan perubahan menjadi
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya kesiapan individu untuk
berubah Armenakis et al. (1993).
3. Kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses perubahan.
Kesempatan bagi pekerja untuk berpartisipasi pada perubahan merupakan salah satu
faktor penting dalam perubahan, dan hal ini diperkuat oleh Armenakis et al. (1993) yang
menyatakan bahwa kesempatan untuk berpartisipasi dalam perubahan akan memberikan
kontribusi terhadap munculnya kesiapan individu untuk berubah.

4.7. Penelitian di Indonesia mengenai Kesiapan Individu untuk berubah


Berbagai penelitian mengenai kesiapan individu untuk berubah di Indonesia telah
dilakukan oleh Mangundjaya dkk sejak tahun 2011, seperti yang telah dibahas sebelumnya,
rangkuman dari berbagai penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
a) Penelitian Mangundjaya (2011b), pada organisasi yang bergerak di lembaga keuangan
dan perbankan, tampak bahwa komitmen organisasi memberikan kontribusi yang
positif dan signifikan terhadap kesiapan Individu untuk berubah. Dengan kata lain,
semakin tinggi komitmen organisasi yang dimiliki oleh seseorang, hal ini akan diikuti
oleh peningkatan kesiapan individu untuk berubah.
b) Hasil penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Mangundjaya (2011b) dan
Mangundjaya (2014a). menunjukkan bahwa keterikatan pegawai memiliki kontribusi
positif dan signifikan terhadap kesiapan individu utnuk berubah. Dengan kata lain,
semakin tinggi keterikatan pegawai yang dimiliki oleh seseorang, hal ini akan diikuti
oleh peningkatan kesiapan individu untuk berubah.
c) Penelitian mengenai hubungan antara kepuasan kerja dengan kesiapan individu untuk
berubah, yang dilakukan oleh Mangundjaya dkk (2014), menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang positif dan signifikan atara kepuasan kerja dengan kesiapan individu
untuk berubah, sehingga semakin tinggi kepuasan kerja seseorang, maka akan semakin
tinggi kesiapan individu untuk berubah.
d) Mangundjaya (2014b), dalam penelitiannya di institusi perbankan mengenai hubungan
antara kesejahteraan di tempat kerja (Workplace Well-Being), dengan kesiapan
individu untuk berubah, memperoleh hasil bahwa kesejahteraan ditempat kerja
memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kesiapan individu untuk berubah.
Konsekwensinya adalah semakin tinggi kesejahteraan ditempat kerja, maka akan
semakin tinggi pula kesiapan individu untuk berubah.
e) Penelitian mengenai hubungan antara Psychological Capital yang dilakukan oleh
Fachruddin & Mangundjaya (2012); Rindang & Mangundjaya (2013), serta Lizar,
Mangundjaya & Rachmawan (2014) memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan
positif dan signifikan antara kapital psikologis dengan kesiapan individu untuk
berubah, sehingga semakin tinggi kapital psikologis yang dimiliki oleh seseorang maka
akan semakin tinggi pula kesiapannya untuk berubah.
f) Profil demografis memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kesiapan
individu untuk berubah (Mangundjaya, 2014a). Penelitian Mangundjaya dkk,
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara profil demografis, baik
pada aspek gender (pria/wanita; latar belakang pendidikan, masa kerja maupun
posisi). Meskipun demikian, tidak terdapat perbedaan signifikan dalam hal usia. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif dan signifikan,
antara lama kerja, dan posisi terhadap kesiapan individu untuk berubah
(Mangundjaya dkk, 2014a).

4.8. Penutup
Salah satu variabel penting dalam keberhasilan suatu perubahan organisasi adalah manusia,
sehingga kesiapan manusia, dalam hal ini individu yang terkena dampak perubahan harus
diperhatikan. Kesiapan individu untuk berubah, merupakan langkah pertama yang harus
diidentifikasi untuk mengetahui sejauh mana pekerja telah siap untuk berubah dan
menghadapi perubahan organisasi yang dicanangkan oleh manajemen.

Daftar pustaka

Anderson, B. (2002). Readiness for Change: An Individual Perspective. Northern


Carribean University, Business Administration. Jamaica: Lethbridge.
Armenakis, A. A., & Harris, S. G. (2002). Crafting a change message to create
transformational readiness. Journal of Organizational Change Management, 15(2),
169-183.
Armenakis, A. A., Harris, S. G., & Mossholder, K. W. (1993). Creating readiness for
organizational change. Human Relations, 46(6), 681-703.
Bouckenooghe, D. & Devos, G., Buelens, M. (2007). Contribution of content, context, and
process to understanding openness to organizational change: Two experimental
simulation studies. Journal of Social Psychology, 147(6), 607–629.
Fachruddin, Dini F. & Mangundjaya, Wustari (2012). The Impact of Workplace Well-
Being and Psychological Capital to the Individual Readiness for Change, 4th Asian
Psychological Association, Jakarta, 5-7 July 2012, Proceedings. ISBN: 978-602-
17678-0-1.
Hanpachern, C. (1997). The extension of the theory of margin: A framework for assessing
readiness for change. Unpublished Doctoral Dissertation, Colorado State
University, Fort Collins.
Holt, D. T., Armenakis, A. A., Field, H., & Harris, S. G. (2007). Toward a comprehensive
definition of readiness for change: A review of research and instrumentation.
Research in Organizational Change and Development, 16, 289-336.
Holt, D. T., Armenakis, A. A., Field, H. S., & Harris, S. G. (2007). Readiness for
Organizational Change: the systematic development of a scale. Journal of Applied
Behavioral Science, 43, 232.
Kotter, J. P. (1996). Leading Change. Boston: Harvard Business Scholl Press.
Kotter, J. P. (1998). Why Transformation efforts fall in Harvard Business Review on
change, A. Harvard Business Review Paperback. Harvard Business School Press,
USA.
Lizar, A. A., Mangundjaya, W., Rachmawan, W. (2014). The Role of Psychological
Capital and Psychological Empowerment on Individual Readiness for Change,
Proceedings AABSS Conference, August, 25-26, 2014, Kuala Lumpur, ISBN
Luthans dkk (2007). Psychological Capital. McGraw Hill, USA.
Madsen, S. R., John, C. R., & Miller, D. (2005). Work-family conflict and health: A study
of workplace, psychological, and behavioral correlates. Journal of Behavioral and
Applied Management,6(3), 225-247.
Mangundjaya, W., Utoyo, D., & Permata, W. (2014a). The Role of Leadership and
Employee’s Condition on Reaction to Organizational Change, Proceedings
GCBSS Coneference, Kuala Lumpur, December 2014.
Mangundjaya, W. (2014b). Is Workplace Well-Being important for Individual Readiness
for Change? Proceedings AICAP, Surakarta, January 10-11, 2014, ISBN.
Mangundjaya, dkk. (2011a). The role individual characteristics to individual readiness for
change. Unpublished research report. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.
Mangundjaya, W. (2011b). The role of organizational commitment, and employee
engagement to individual readiness for change. Makalah dipresentasikan pada Asia
Organization Development Summit (AODN), October, 22-24, 2011, Business
School of Hohai University, Nanjing, China.
Meyer, J. P. & Allen, N. J. (1991). “A three-component conceptualization of
organizational commitment”, Human Resources Management Review, 1991, 1(1),
61-89.
Meyer, J. P. & Allen, N. J. (1997). Commitment in the workplace: Theory, research, and
application advanced topics in organizational behavior. Thousand Oaks: Sage
Publications, Inc.
Page, K. M. & Vella-Brodrick, D. A. (2009). The ’what’, ’why’, and ’how’ of employee
well-being: A new model. Social Indicators Research, 90, 441-458.
Page, K. M. (2005). Subjective well-being in the workplace. Unpublished thesis.
Melbourne University, Australia.
Rindang, A., & Mangundjaya, W. (2013). The impact of individual perception to
organizational readiness for change, individual readiness for change and
psychological empowerment toward the commitment to organizational change,
Paper Presented at APIO International Conference, Jakarta, 5 Oktober 2013.
Spreitzer, G. M., Kizilos, M. A.,& Nason, S. W. (1997). A Dimensional Analysis of the
Relationship between Psychological Empowerment and Effectivenes, Satisfaction,
and Strain. Journal of Management, 23(5), 679.
Spreitzer, G. M. (1996). Social Structural Characteristics of Psychological Empowerment.
Academy of Management Journal, 39(2), 483-504.
Spreitzer, G. M. (1995). "Psychological Empowerment in the Workplace: Dimensions,
Measurement and Validation." Academy of Management Journal, 38(5), 1442-
1465.
Walker, H. J., Armenakis, A. A., & Bernerth, J. B. (2007). Factors Influencing
Organizational Change Efforts: An integrative investigation of change content,
context, process, and individual differences. Journal of Organizational Change,
20(6). 761-773.
Wittenstein, R. D. (2008). Factors influencing individual readiness for cahange in a health
care environment. Dissertation, George Washington University. USA. UMI
Number 2396851.
BAB 5
KOMITMEN PERUBAHAN

Sikap maupun reaksi seseorang terhadap perubahan yang paling membantu kesuksesan
perubahan organisasi adalah komitmen perubahan. Untuk itu, pada bab ini akan dibahas
mengenai konsep, pengertian manfaat serta faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen
perubahan.

5.1. Pengertian Komitmen Perubahan


Komitmen perubahan seperti yang dinyatakan oleh Herscovitch & Meyer (2002) adalah
sebagai berikut:
Commitment to change as a force (mind-set) that binds an individual to a course of
action deemed necessary for the successful implementation of a change initiative.
This mind-set can be reflected to varying degree in three dimensions: a) desire to
provide support for the change based on a belief in its inherent benefits to change
(affective commitment); b). a recognition that there are costs associated with
failure to provide support for the change (continuance commitment to change); and
c) sense of obligation to provide support for the change (normative commitment to
change. In other words, individuals can feel bound to support a change initiative
because they want to, have to, and/or ought to (Herscovitch & Meyer, 2002, hal.
302).

Berdasarkan definisi tersebut terlihat bahwa Herscovitch dan Meyer (2002)


menyatakan bahwa komitmen perubahan sebagai suatu dorongan yang mengikat seseorang
untuk melakukan tindakan yang dianggap sangat penting untuk kesuksesan implementasi
dari suatu inisiatif perubahan.
5.2. Dimensi Komitmen Perubahan
Terdapat tiga komponen komitmen perubahan yang diajukan oleh Herscovitch dan Meyer
(2002), yaitu komitmen afektif perubahan, komitmen kontinuans perubahan, dan komitmen
normatif perubahan. Ketiga komponen komitmen perubahan tersebut dimensinya adalah
sebagai berikut:
1. Komitmen Afektif terhadap perubahan.
Herscovith & Meyer (2002) memberikan definisi sebagai berikut:
Affective Commitment to Change refers to a desire to support a specific change
being introduced in the workplace. (Based on positive feelings, forwards the
change being implemented in the organization). This variable can be explained by
stating that employees will stay with the organization because they are emotionally
attached to it-they feel it is best option for them to continue employment with the
particular organization and this feeling is based on emotional choice. Employees
stay with the organization because they want to (Herscovitch & Meyer, 2002, hal.
302).

Herscovith & Meyer (2002) menyatakan bahwa komitmen afektif perubahan sebagai
suatu keinginan untuk memberikan dukungan terhadap perubahan yang dilandasi pada
kepercayaan bahwa perubahan memiliki manfaat atau perubahan adalah merupakan hal
yang baik. Cara yang dapat dilakukan oleh organisasi yang sedang melakukan
perubahan untuk menumbuhkan komitmen afektif antara lain adalah melalui pelatihan
dan partisipasi, yang cenderung dapat meningkatkan efektivitas perubahan berdasarkan
rasa kepemilikan anggota organisasi terhadap organisasinya. Dalam hal ini, berbagai
penelitian menyatakan bahwa yang memberikan dampak yang besar terhadap
peningkatan kinerja, keberhasilan, dan proses pembelajaran adalah komitmen afektif
perubahan (Parish dkk., 2008).

2. Komitmen Kontinuans Perubahan.


Herscovith & Meyer (2002) memberikan definisi sebagai berikut:
Continuance Commitment to Change refers to the employees understanding that
resistance to change is associated with specific costs to the company and to
themselves; they remain committed due to the high cost of leaving. In other words,
the employees stay with the organization because they need to and because it would
be too costly (financially or otherwise) to leave.

Berdasarkan definisi tersebut di atas, tampak bahwa komitmen kontinuans


perubahan terjadi karena anggota organisasi akan merasakan suatu situasi yang
merugikan, seperti penurunan pangkat bila tidak mengikuti tuntutan perubahan, atau
dapat juga terjadi jika anggota organisasi tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti
tuntutan organisasi. Dengan kata lain, komitmen kontinuans merupakan suatu kesadaran
akan terdapatnya biaya yang dihubungkan dengan tidak berpartisipasinya anggota
organisasi dalam memberikan dukungan terhadap perubahan. Misalnya: komitmen
kontinuans akan terjadi pada saat organisasi menggunakan strategi penggunaan imbalan
untuk anggota organisasi yang patuh dan hukuman bagi yang tidak patuh.
3. Komitmen Normatif Perubahan
Komitmen normatif perubahan menurut Herscovitch & Meyer (2002) adalah:
Normative Commitment to Change reflects a sense of obligation to be supportive
This variable can be explained by stating that the employees will stay with the
organization because they feel they must do so, this is the feeling of external
obligation-in other words, the employees stay with the organization they believe
they have to (Herscovitch & Meyer, 2002).
Dengan kata lain, komitmen normatif perubahan merupakan suatu komitmen
yang terjadi karena adanya perasaan wajib pada individu dalam memberikan dukungan
terhadap perubahan. Dalam hal ini, komitmen normatif perubahan berkembang melalui
sosialisasi. Hal ini terjadi ketika anggota organisasi merasa perlu untuk mengembalikan
sesuatu kepada organisasinya karena mereka telah dipenuhi harapannya, atau ketika
anggota organisasi telah setuju untuk memiliki komitmen perubahan yang dibuat
berdasarkan kontrak psikologis, yang merupakan kesepakatan tak tertulis antara anggota
organisasi dengan organisasinya.

5.3. Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Perubahan


Berbagai pakar melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
komitmen perubahan, yaitu antara lain: a) yang bersumber dari dalam invidu dan b) yang
bersumber dari luar individu/lingkungan eksternal.
5.3.1. Bersumber dari Individu.
Faktor yang mempengaruhi komitmen perubahan yang berasal dari individu antara lain
adalah:
1. Keyakinan (efficacy).
Efikasi adalah keyakinan dalam kemampuan seseorang untuk mencapai suatu sukses
(Bandura 1986 dalam Armenakis 2001). Untuk itu, dalam menciptakan kesiapan
individu, maka pemimpin sebaiknya tidak hanya mengkomunikasikan perbedaan yang
ada, tetapi juga mendukung keyakinan anggota organisasi mengenai perubahan
organisasi (Holt dkk., 2007).
2. Keberdayaan psikologis (Psychological Empowerment)
Seperti dibahas pada bab sebelumnya keberdayaan psikologis, menurut Spreitzer (1995,
1996, 1997) terdiri dari 4 dimensi, yang salah satunya adalah self-efficay, dan yang
lainnya adalah bermakna (meaning); dampak dan determinasi (choice). Dalam
hubungannya dengan komitmen perubahan, penelitian di Indonesia mengenai
hubungan antara keberdayaan psikologis dan komitmen perubahan, telah dilakukan
antara lain oleh Mangundjaya (2014a, 2014b), yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang positif dan signifikan antara keberdayaan psikologis dan komitmen
perubahan.
3. Kesesuaian dengan Kepentingan Pribadi (Personal valence, Self-preserverance).
Umumnya pada setiap perubahan organisasi, individu akan selalu memikirkan manfaat
dari perubahan tersebut (Anderson, 2002). Cobb dkk., (1995 dalam Armenakis 2001)
lebih lanjut mengemukakan bahwa individu akan melihat dampak negatif dan positif
dari hasil perubahan baik bagi organisasi maupun bagi dirinya sendiri. Hal ini membuat
mereka kadangkala memilih untuk menolak perubahan karena merasa takut terhadap
perubahan yang membawa ketidakpastian atau hasil yang negatif (Vrooom 1964, dalam
Anderson, 2002). Dalam hal ini, perubahan yang membawa dampak ancaman terhadap
individu akan membuat terjadinya penolakan terhadap perubahan (Armenakis, 2002),
dan sebaliknya bila perubahan tersebut dirasakan akan membawa manfaat, maka
individu akan merasa termotivasi untuk bekerja lebih keras dalam menjalani perubahan
tersebut (Pritchett, 1997; Armenakis, 2002).
4. Kepuasan kerja.
Kepuasan kerja menurut Spector (1997, 2002) adalah derajad dimana seseorang merasa
suka (puas) maupun tidak suka (tidak puas) dengan pekerjaannya. Dalam hal ini
penelitian di Indonesia mengenai hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen
perubahan telah dilakukan oleh Mangundjaya dkk (2014) dengan hasil yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja
dengan kesiapan individu untuk berubah, sehingga semakin tinggi kepuasan kerja
seseorang, maka akan semakin tinggi pula kesiapannya untuk menghadapi perubahan.
5. Komitmen Organisasi (Organizational Commitment).
Komitmen organisasi adalah suatu kondisi psikologis yang mengikat individu dengan
organisasi (Meyer & Allen, 1990). Lebih lanjut, Meyer & Allen (1990) menyatakan
bahwa komitmen organisasi terdiri dari 3 dimensi yaitu: a) Komitmen Afektif, yang
merupakan keterikatan emosional, identifikasi dan keterlibatan individu terhadap
organisasi; b) Komitmen Kontinuans (Continuance), yaitu adanya kesadaran individu
yang terkait dengan biaya bila meninggalkan organisasi; dan c) Komitmen Normatif,
yaitu adanya perasaan tanggung jawab untuk tetap bekerja di organisasi. Penelitian yang
dilakukan Rashid & Zhao (2010) memperlihatkan bahwa komitmen organisasi memiliki
hubungan yang positif dan signifikan terhadap komitmen perubahan organisasi. Di
Indonesia, penelitian yang menghubungkan antara komitmen organisasi dengan
komitmen perubahan antara lain dilakukan oleh Mangundjaya (2013c). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Mangundjaya (2013c) tersebut tampak bahwa terdapat
hubungan yang positif dan signifikan antara komitmen organisasi dan komitmen
perubahan. Dengan perkataan lain, semakin tinggi komitmen organisasi maka akan
semakin tinggi pula komitmen terhadap perubahan yang ditampilkan oleh
individu/pekerja.

6. Kesiapan individu untuk berubah (Individual Readiness for Change).


Kesiapan individu untuk berubah merupakan salah satu tahapan menuju komitmen
perubahan. Untuk itu kesiapan individu untuk berubah seharusnya memiliki dampak
positif terhadap komitmen perubahan. Hubungan keduanya tersebut, telah diuji oleh
Mangundjaya (2013a) dan Rindang & Mangundjaya (2013) pada penelitian yang
dilakukan di perusahaan di Indonesia, yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
positif dan signifikan antara kesiapan individu untuk berubah dan komitmen
perubahan.
7. Keterikatan Kerja (Employee Engagament).
Keterikatan pekerja pada organisasi, diasumsikan akan memiliki hubungan yang positif
dan signifikan dengan komitmen perubahan, ternyata pada penelitian yang dilakukan
oleh Mangundjaya dkk (2014) maupun Mangundjaya (2013c) memberikan hasil yang
berbeda. Pada penelitian yang dilakukan di perusahaan yang begerak di BUMN bidang
keuangan, tampak bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keterikatan
pekerja dengan komitmen perubahan (Mangundjaya dkk, 2014), sedangkan pada
penelitian Mangundjaya (2013c), yang dilakukan pada BUMN yang bergerak di bidang
sumberdaya energi, ditemukan adanya hubungan yang signifikan dan positif antara
keterikatan kerja dengan komitmen perubahan. Diduga perbedaan budaya organisasi,
maupun jenis perubahan organisasi, serta karakteristik pegawai mempengaruhi hasil
tersebut. Untuk itu, penelitian lanjutan masih tetap diperlukan.

5.3.2. Bersumber dari luar Individu.


Dalam hal ini, faktor-faktor yang berada di luar individu (organisasi antara lain adalah:
1. Keadilan Organisasi (Organizational Justice).
Adanya persepsi bahwa keadilan organisasi turut berperan dalam komitmen perubahan.
Hal ini antara lain terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Fuchs & Edward (2011)
serta Cobb dkk. (1995, dalam Shum dkk., 2008) yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan positif dan signifikan antara organizational justice dengan komitmen afektif
perubahan. Di Indonesia penelitian mengenai hubungan antara keadilan organisasi
dengan komitmen perubahan telah dilakukan oleh Mangundjaya (2013c) yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara keadilan
organisasi dengan komitmen perubahan, sehingga semakin tinggi persepsi mengenai
keadilan organisasi, maka akan semakin tinggi komitmen individu terhadap perubahan
organisasi.

2. Dukungan Atasan (Pemimpin).


Dukungan atasan memegang peran penting dalam meningkatkan komitmen perubahan.
Hal ini disebabkan karena bila bawahan atau karyawan melihat bahwa perubahan
organisasi kurang mendapat dukungan dari pemimpin mereka, maka hal ini membuat
mereka menjadi skeptis dan tidak ingin berpartisipasi secara aktif terhadap perubahan
(Armenakis, 2002). Dalam hal ini, pemimpin dalam perubahan organisasi perlu
berperilaku sebagai agen perubahan, yang dapat memunculkan komitmen dan perilaku
dalam menghadapi tantangan pada perubahan organisasi, sehingga pemimpin dapat
mengajak dan memotivasi bawahannya untuk berpartisipasi dalam perubahan yang
terjadi (Smith, 2005). Sashkin & Sashkin (2003) menyatakan bahwa hal penting yang
harus dilakukan oleh seorang pemimpin terhadap bawahannya adalah menciptakan
suatu visi. Lebih lanjut Vokic (2005) menyatakan bahwa pengaruh yang paling kuat
pada kinerja dan produktivitas seseorang adalah hubungan individu tersebut dengan
atasan langsungnya (Buckingham, 1999 dalam Vokic, 2005). Berbagai penelitian yang
dilakukan disebutkan bahwa pemimpin memiliki pengaruh positif terhadap komitmen
afektif perubahan (Herold dkk., 2008; Shoemaker, 2001; Shum dkk., 2008). Selain itu,
hubungan antara atasan dan bawahan terlihat memiliki hubungan yang positif dan
signifikan dengan komitmen afektif perubahan (Parish dkk., 2008).
3. Komunikasi perubahan.
Bagaimana dan sejauh mana perubahan organisasi dikomunikasikan akan
mempengaruhi efektivitas perubahan organisasi. Chawla & Kelloway (2004), dalam
penelitiannya menyatakan mengenai hal tersebut. Dalam hal ini, penelitian mengenai
hubungan antara komunikasi perubahan dan komitmen perubahan di Indonesia telah
diteliti oleh Mangundjaya (2014d) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara komunikasi perubahan dengan komitmen perubahan, sehingga
semakin baik komunikasi perubahan maka akan semakin baik pula komitmen
perubahan dari individu yang bekerja di perusahaan tersebut.
4. Kepercayaan terhadap organisasi.
Kepercayaan terhadap pihak manajemen/organisasi (Trust in management), merupakan
salah satu faktor yang berperan dalam efektivitas perubahan. Hal ini antara lain
dinyatakan oleh penelitian Kalyal dan Saha (2008) yang menunjukkan bahwa
kepercayaan pada organisasi/manajemen dapat mempengaruhi komitmen terhadap
perubahan. Dalam hal ini, kepercayaan pada organisasi memiliki hubungan yang positif
dengan komitmen perubahan, terutama pada komponen afektif. Hasil yang sama juga
diperoleh pada penelitian yang dilakukan di BUMN di Indonesia yang dilakukan oleh
Mangundjaya (2014c, 2014a), yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif
dan signifikan antara kepercayaan terhadap organisasi dengan komitmen perubahan.
5. Keikutsertaan dalam pengambilan keputusan.
Sejauh mana anggota organisasi dilibatkan dalam pengambilan keputusan, khususnya
yang berkaitan dengan perubahan akan dapat meningkatkan komitmen anggota
organisasi tersebut terhadap perubahan organisasi. Hal ini seperti yang terlihat pada
penelitian yang dilakukan oleh Chawla & Kelloway (2004).
6. Keadilan organisasi.
Persepsi anggota organisasi mengenai keadilan organisasi juga turut mempengaruhi
komitmen perubahan dari anggota organisasi tersebut. Hal ini seperti yang terlihat pada
penelitian yang dilakukan oleh Stjernen (2009) maupun penelitian yang dilakukan di
BUMN di Indonesia oleh Mangundjaya (2014d) yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang positif dan signifikan antara keadilan organisasi dan komitmen
perubahan.
7. Hubungan atasan dan bawahan.
Hubungan antara atasan dan bawahan terlihat turut berpengaruh pada komitmen
anggota organisasi atau karyawan pada perubahan (Parish, dkk., 2008). Dari hasil
penelitian tersebut tampak bahwa semakin baik hubungan atasan dengan bawahan,
maka komitmen yang ditampilkan karyawan (dalam hal ini bawahan) juga akan
semakin baik.
8. Kepemimpinan.
Kesuksesan suatu perubahan tidak dapat lepas dari peran pemimpinnya, hal ini antara
lain terlihat dari peran Change leadership (Herold dkk., 2008; Liu, 2010), dan
kepemimpinan transformasional (Herold dkk., 2008), tampak bahwa peran
kepemimpinan perubahan dalam mempersiapkan kesiapan organisasi untuk berubah,
peran pemimpin dengan gaya kepemimpinan Change Leadership, dan peran individu,
yaitu kesiapan individu untuk berubah terhadap komitmen perubahan. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Herold dkk., (2008), mengenai hubungan dan kontribusi
dari kepemimpinan transformasional terhadap komitmen perubahan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara
kepemimpinan transformasional dengan komitmen perubahan. Hal ini diperkuat pula
oleh hasil penelitian yang dilalukan oleh Ariyantiwi & Mangundjaya (2013), pada
penelitian yang dilakukan di BUMN di Indonesia yang memperoleh hasil yang sama,
sehingga semakin tinggi, persepsi yang positif mengenai kepemimpinan
transformasional atasannya, maka akan semakin tinggi pula komitmen perubahan yang
terdapat pada individu di organisasi. Disisi lain, penelitian mengenai kepemimpinan
perubahan (change leadership) dengan komitmen perubahan memberikan hasil yang
bervariasi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mangundjaya (2013) pada perusahaan
konstruksi maupun perusahaan keuangan memperoleh hasil bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara kepemimpinan perubahan dengan komitmen
perubahan (Mangundjaya, 2014a), sedangkan penelitian yang dilakukan di perusahaan
telekomunikasi ternyata terdapat hubungan yang signifikan antara kepemimpinan
perubahan dengan komitmen perubahan.
9. Kesiapan Organisasi untuk berubah (Organizational Readiness for change)
Tidak hanya pada level individu yang harus siap dalam menghadapi perubahan, tetapi
yang lebih penting lagi adalah kesiapan organisasi secara keseluruhan dalam
menghadapi perubahan. Ramnarayan & Rao (2011), menyatakan bahwa untuk dapat
berhasil dalam perubahan organisasi maka organisasi harus siap dalam menghadapi
perubahan. Untuk menguji pernyataan tersebut, Rindang & Mangundjaya (2013)
melakukan penelitian di perusahaan konstruksi di Indonesia, dan memperoleh hasil
bahwa kesiapan organisasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan
komitmen perubahan, semakin tinggi persepsi mengenai kesiapan organisasi maka
akan semakin tinggi pula komitmen seseorang pada perubahan organisasi.
5.4. Manfaat Komitmen Perubahan
Selain dari dampak positif tersebut, maka terdapat manfaat lainnya yang dihasilkan dari
komitmen perubahan, yaitu:
1. Peningkatan performa organisasi.
Peningkatan performa organisasi dalam hal ini dapat melibatkan persepsi anggota
organisasi mengenai efek finansial dan non-finasial dari performa organisasi (Homburg
dkk., 2002 dalam Parish dkk., 2008). Paton dan McCalman (2008, dalam Parish dkk.,
2008) mcnyatakan bahwa performa yang efektif akan dapat diperoleh dari adanya
anggota organisasi yang memiliki komitmen perubahan. Hal ini terjadi, ketika terdapat
perubahan organisasi, komitmen anggota organisasi untuk menjalankan perubahan
tersebut akan membuat keberhasilan perubahan yang berdampak pada peningkatan
performa organisasi, baik secara finansial maupun non-finansial (Parish dkk., 2008).
2. Kesuksesan Implementasi Perubahan.
Efektivitas implementasi suatu perubahan adalah merupakan salah satu dampak dari
komitmen perubahan. Dalam hal ini, Paton & McCalman (2008 dalam Parish dkk.,
(2008) mengidentifikasikan kesuksesan implementasi perubahan sebagai hasil utama
dari komitmen anggota organisasi terhadap strategi yang ditetapkan, dan hal ini
didefinisikan sebagai seberapa jauh usaha implementasi dianggap sukses oleh
organisasi. Implementasi tersebut dapat terlaksana dengan efektif hanya jika anggota
organisasi memiliki komitmen (Paton & McCalman, 2008 dalam Parish dkk., 2008).
3. Keterikatan Emosional Pekerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Herscovitch & Meyer (2002), Schweiger (2002), dan
Cummingham (2006), menyatakan bahwa komitmen perubahan organisasi (dalam hal
ini komitmen afektif perubahan organisasi) memiliki dampak positif dan signifikan
terhadap keterikatan emosional pekerja.
4. Memfasilitasi Pembelajaran Individual.
Komitmen afektif perubahan individu memiliki dampak positif dan signifikan terhadap
kegiatan memfasilitasi pembelajaran individual (Parish dkk., 2008).
5. Mempercepat Perubahan Organisasi.
Komitmen Afektif Individu perubahan memiliki dampak positif dan signifikan terhadap
percepatan perubahan organisasi (Summer & Yoga, 2004; Summer dkk, 2001).
6. Meningkatkan Kinerja.
Parish dkk. (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif
dan signifikan antara komitmen afektif perubahan terhadap peningkatan kinerja dari
para pekerja.

5.5. Penelitian Komitmen Perubahan di Indonesia


Penelitian mengenai komitmen perubahan di Indonesia akan dibagi kedalam faktor
eksternal (faktor organisasi) dan faktor individu (dalam diri seseorang). Dalam hal ini
pada bagian ini akan dirangkum hasil pembahasan terdahulu, sebagai berikut:
Tabel 3. Penelitian mengenai komitmen perubahan dari faktor individu
No Variabel Peneliti Hasil
1. Keberdayaan Mangundjaya Terdapat hubungan yang
psikologis (2014), positif dan signifikan
(Psychological antara keberdayaan
Empowerment). Mangundjaya dkk. psikologis dan komitmen
(2014) perubahan. Penelitian
dilakukan di BUMN
keuangan dan BUMN
telekomunikasi.
2. Komitmen Mangundjaya Terdapat hubungan yang
Organisasi (2013) positif dan signifikan
antara keberdayaan
psikologis dan komitmen
perubahan. Penelitian
dilakukan di BUMN
yang bergerak di sumber
daya energi.
3. Kepuasan Kerja Mangundjaya dkk Terdapat hubungan yang
(2014) positif dan signifikan
antara keberdayaan
psikologis dan komitmen
perubahan. Penelitian
dilakukan di BUMN
yang bergerak dibidang
keuangan.
4. Kesiapan Individu Rindang & Terdapat hubungan yang
untuk berubah Mangundjaya positif dan signifikan
(2013) antara keberdayaan
psikologis dan komitmen
perubahan. Penelitian
dilakukan di BUMN
yang bergerak dibidang
konstruksi.
5. Keterikatan Kerja Mangundjaya dkk Terdapat hubungan yang
(Employee (2014) positif dan signifikan
Engagement) antara keberdayaan
Mangundjaya psikologis dan komitmen
(2013) perubahan (Mangundjaya
2013). Penelitian
dilakukan di BUMN
yang bergerak dibidang
sumber daya energi
Tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara
keterikatan pekerja
dengan komitmen
perubahan (Mangundjaya
2013). Penelitian
dilakukan di perusahaa
BUMN keuangan.

Tabel 4. Penelitian mengenai komitmen perubahan dari faktor organisasi


No Variabel Peneliti Hasil
1. Keadilan Organisasi Mangundjaya Terdapat hubungan yang
(Organizational (2014) positif dan signifikan
Justice) antara persepsi mengenai
keadilan organisasi
dengan komitmen
perubahan. Penelitian
dilakukan di perusahaa
BUMN yang bergerak
dibidang telekomunikasi.
2. Kepercayaan Mangundjaya Terdapat hubungan yang
terhadap Organisasi (2014 positif dan signifikan
(Organizational antara persepsi mengenai
Trust) kepercayaan organisasi
dengan komitmen
perubahan. Penelitian
dilakukan di perusahaan
BUMN yang bergerak
dibidang telekomunikasi
(Mangundjaya, 2014)
dan perusahaan BUMN
yang bergerak di
lembaga keuangan
(Mangundjaya 2014)
3. Kepemimpinan Ariyantiwi & Terdapat hubungan yang
Transformasional Mangundjaya positif dan signifikan
(2013) antara persepsi mengenai
kepemimpinan
trasnformasional dengan
komitmen perubahan.
Penelitian dilakukan di
perusahaan BUMN yang
bergerak dibidang
telekomunikasi
4. Kepemimpinan Mangundjaya Terdapat perbedaan hasil
perubahan (Change (2013) antara hubungan
Leadership) kepemimpinan
Mangundjaya perubahan dengan
(2014). komitmen perubahan,
ada yang positif
signifikan, ada juga yang
tidak signifikan, atau ada
juga yang negatif tetai
signifikan.
5. Kesiapan organisasi Rindang & Terdapat hubungan yang
untuk berubah Mangundjaya positif dan signifikan
(2013) antara kesiapan
organisasi untuk berubah
dengan komitmen
perubahan.

5.6. Penutup

Untuk dapat berhasil dalam mencapai tujuan perubahan organisasi yang telah dicanangkan,
maka perubahan tersebut harus ditunjang oleh individu yang terlibat dalam perubahan
tersebut. Dukungan ini penting, karena tanpa adanya dukungan tersebut hal ini akan
mempengaruhi jalannya proses perubahan organisasi. Dalam hal ini, bentuk dukungan
tersebut tidak cukup dengan adanya kesiapan untuk berubah, tetapi sudah harus mencapai
pada tahapan memiliki komitmen perubahan. Untuk itu, dengan mengetahui berbagai
variabel yang dapat digunakan untuk memperoleh komitmen perubahan, hal ini akan
sangat berguna bagi organisasi, khususnya para penangung jawab perubahan untuk
memperhatikan faktor-faktor tersebut dalam rangka mencapai komitmen perubahan.

Daftar Pustaka

Anderson, D. (2001). Beyond Change Management: Advanced Strategies for Today’s


Transformational Leaders. San Francisco: Wiley, USA
Anderson, B. (2002). Readiness for Change: An Individual Perspective. Northern
Carribean University, Business Administration. Jamaica: Lethbridge.
Ariyantiwi & Mangundjaya, W. (2013). The impact of transformational leadership
and organizational justice to commitment to change, Paper Presented at APIO
International Conference, Jakarta, 5 October 2013.
Armenakis, A. A. & Harris, S. G. (2002). Crafting a change message to create
transformational readiness. Journal of Organizational Change Management, 15(2),
169-183.
Armenakis, A. A., Self, D. R., & Schaninger, W. S. (2001). Social exchange variables as
mediators of the relationship between organizational commitment and employee
reaction to change initiatives. Paper Presentated at the Sixty-first Annual Meeting
of the Academy of Management, Washington, DC, August 3-8, 2001.
Chawla & Kelloway (2004). Predicting opennes and commitment to change. Leadership
and Organization Development Journal, 25(5/6).
Cummingham, G. (2006). The Relationships among commitment to change, coping with
change, and turnover intentions. European Journal of Work and Organizational
Psychology, 15(1), 29-45.
Daif, Khalid & Yusof, Norhafezah (2011). Change in Higher Learning Institutions:
Lecturers’ Commitment to Organizational Change (C2C). International Journal of
Business and Social Science, 2(21), 182-194, Special Issues Nov. 2011.
Fuchs, Sebastian & Edwards, Martin, R. (2011). Predicting Pro-Change Behaviour: The
Role of Perceived Organisational Justice and Organisational Identification. Human
Resource Management Journal, 22(1).
Herold, D. M. & Fedor, D. B. (2008). Change the way you lead change: Leadership
strategies that really work. Stanford, California: Stanford University Press.
Herold, D. M., Fedor, D. B., & Liu, Yi (2008). The effects of transformational and change
leadership employees’ commitment to a change: A multilevel study. Journal of
Applied Psychology, 93(2), 346-357.
Herscovitch, L. & Meyer, J. P. (2002). Commitment to Organizational change: Extension
of a three-component model. Journal of Applied Psychology, 87, 474-487.
Holt, D. T, Armenakis, A. A., Field, H., & Harris, S. G. (2007a). Toward a comprehensive
definition of readiness for change: a review of research and instrumentation.
Research in Organizational Change and Development, 16, 289-336.
Holt, D. T., Armenakis A. A., Field, H. S., & Harris, S. G. (2007b), Readiness for
Organizational Change: the systematic development of a scale. Journal of Applied
Behavioral Science, 43, 232.
Kalyal, H. J. & Saha, S. K. (2008). Factors affecting commitment to change in a public
sector in Pakistan. NUST Business and Economic Review, 1, 1-10.
Liu, Y. (2010). When Change Leadership Impacts Commitment to Change and When it
Doesn’t: A Multi-dimensional Investigation. Dissertation. Limited publication.
USA: Georgia Institute of Technology.
Mangundjaya, W., Utoyo, D. & Permata, W. (2014). The Role of Leadership and
Employee’s Condition on Reaction to Organizational Change, Proceedings GCBSS
Coneference, Kuala Lumpur, December 2014.
Mangundjaya, W. (2014a). People or trust in developing commitment to change?.
Proceedings AABSS Conference, August 25-26, 2014, Kuala Lumpur.
Mangundjaya, W. (2014b). Psychological empowerment and organizational task
environment in commitment to change, International Journal of Business and
Management, II(2), 119.
Mangundjaya, W. L. (2014c). The Role of Employee Engagement on the Commitment to
Change (During Large-Scale Organizational Change in Indonesia), International
Journal of Multidisciplinary Thought, (IJMT), (04)1, 375-384, 2014, ISSN 2156-
6882, University Publications.
Mangundjaya, W. (2014d). International Conference on Business management The Role of
Communication, Trust and Justice in Commitment to Change,and Corporate Social
responsibility (ICBMCSR 14), February 14-15, 2014, Conference Proceedings
ISBN No 978-93-82242-78-9.
Mangundjaya, W. (2013a). Attitude vs individual readiness for change in relation with
commitment to change, Proceedings, International Leadership and Management
Conference, Bucharest, Romania, 8-9 August, 2013.
Mangundjaya, W. (2013b). Leadership, Readiness for change and commitment to change,
International Management Conference, Bucharest, Romania, 7-8 November, 2013.
Proceedings ISSN 22861440, ISSN-L 22861440,
Mangundjaya, W. (2013c). Organizational Commitment’s Profile during the
Transformation and its Relation to Employee Commitment to Change (a Study at
Oil Company in Indonesia during Large-Scale Organizational Change), INBAM
(International Business and Management) Conference, June , 17-19 2013, Lisbon,
Portugal. Proceedings. ISBN: 978-84-695-7914-5.
Parish, J. T. dkk. (2008). Want to, need to, and ought to: Employee Commitment to
Organizational Change. Journal of organizational Change Management, 21(1), 32-
52.
Pritchett, P., Robinson, D. & Clarkson, R. (1997). After The Merger, The Authoritative
Guide for Integration Success. Revised Edition, New York: McGraw-Hill.
Ramnarayan, S., Rao, T. V. (2011). Organization Development: Accelerating Learning
and Transformation, Sage Publications, Incorporated.
Rashid, H. & Zhao, L. (2010). The significance of career commitment in generating
commitment to organizational change among information technology personnel.
Academy of Information and Management Sciences Journal, 13(1), 111-131.
Rindang, A., Mangundjaya, W. (2013). The impact of individual perception to
organizational readiness for change, individual readiness for change and
psychological empowerment toward the commitment to organizational change,
Paper presented at APIO International Conference, Jakarta, 5 October 2013.
Sashkin, M. & Sashkin M. (2003). Leadership that Matters. San Fransisco: Berret-Kohler
Publisher Inc.
Schweiger, David M. (2002). M&A Integration, a Framework for Executive and
Managers. New York: McGraw-Hill.
Shoemaker, M. E. (2001). A Framework for examining IT-enabled market relationships.
Journal of Personal Selling & sales management, 21(2), 77-85.
Shum, P., Bove, L., & Seigyoung, A. (2008). Employees' affective commitment to change
The key to successful CRM implementation. European Journal of Marketing, 42,
1346-1371.
Smith, I. (2005). Achieving readiness for organizational change. Library Management,
26(6/7). 408-412.
Spector, P. E. (2002). Industrial & Organizational Psychology: Research and Practice, 2nd
ed. NY: John Wiley & Sons, Inc.
Spector, Paul E. (1997). Job Satisfaction: Application, Assessment, Causes and
Consequences. USA: Sage Publication Inc.
Spreitzer, G. M. (1996). Social Structural Characteristics of Psychological Empowerment.
Academy of Management Journal, 39(2), 483-504.
Spreitzer, G. M., Kizilos, M. A., & Nason, S. W. (1997). A Dimensional Analysis of the
Relationship between Psychological Empowerment and Effectivenes, Satisfaction,
and Strain. Journal of Management, 23(5), 679.
Spreitzer, G. M. (1995). "Psychological Empowerment in the Workplace: Dimensions,
Measurement and Validation." Academy of Management Journal, 38(5), 1442-
1465.
Stjernen, A. (2009). Perceived Fairness and Resistance to Organizational Change in
Relation to Change Commitment. Master’s thesis in Work and Organizational
Psychology. University of Oslo.
Vokic, P. & Hernaus, T. (2005). Interpersonal relations at work perceived by Croatian and
worldwide employees and by different age, gender, education, hierarchical and
company size groups − empirical evidence. Management Journal of Contemporary
Management Issues, 10(1), 23-49.
BAB 6
PENOLAKAN TERHADAP PERUBAHAN

Perubahan tidak dapat berjalan dengan lancar bila menghadapi berbagai kendala, dalam hal
ini kendala yang paling sering dihadapi adalah penolakan terhadap perubahan.
6.1. Prinsip Penolakan
Sebelum berespon terhadap penolakan perubahan, maka yang perlu disadari adalah
beberapa prinsip penolakan sebagai berikut;
1) Merupakan bagian dari proses transisi, sesuai dengan pembahasan sebelumnya, yang
menyatakan pada proses perubahan, maka salah satu tahapan yang perlu dilalui dalam
masa transisi adalah yang berhubungan dengan penolakan perubahan;
2) Pada umumnya penolakan tidak disadari, seseorang seringkali menolak suatu
perubahan tanpa dia sendiri menyadari apa alasannya (apakah karena faktor ketidak
mampuan, ataukah karena faktor ketidakmauan); dan
3) Tidak/kurang adanya informasi, seringkali seseorang menolak adanya perubahan
karena ia sendiri tidak mengetahui dengan pasti perubahan apa yang akan terjadi
(what), apa alasannya perlu dilakukan perubahan (why), dan bagaimana caranya untuk
menghadapi perubahan tersebut (how). untuk itu, sejauh 3 faktor ini disosialisasikan
dengan baik, maka penolakan terhadap perubahan akan dapat di minimalisasi.

6.2. Sumber Penolakan Perubahan


Penolakan/resistansi terhadap suatu perubahan bukan tanpa alasan. Menurut Galpin (1996),
dan Plant (1997), beberapa sumber penolakan terhadap perubahan adalah sebagai berikut:
1. Masalah Pribadi
Masalah utama yang menjadi sumber penolakan perubahan adalah yang berhubungan
dengan masalah pribadi, yaitu antara lain:
a) Ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui
Setiap perubahan membuat seseorang cemas, hal ini disebabkan karena perubahan
membuat sesuatu yang sudah pasti menjadi tidak pasti, hal ini menimbulkan perasaan
cemas dan takut dalam menghadapi hal-hal yang tidak diketahui. Misalnya:
seseorang menolak perubahan yang dicaangkan oleh perusahaannya, tetapi pada
waktu ditanyakan mengapa dia menolak perubahan tersebut, ia juga bingung untuk
menjawabnya.
b) Ketakutan akan kehilangan sesuatu yang berharga
Perubahan selain menimbulkan perasaan cemas akan hal-hal yang tidak pasti, juga
menimbulkan perasaan takut akan kehilangan sesuatu yang berharga pada dirinya,
misalnya status, kekuasaan, posisi, fasilitas serta hal-hal lain yang berharga yang
menurutnya akan hilang bila dilakukan suatu perubahan.
c) Enggan untuk mencoba hal-hal baru
Dengan dilakukannya perubahan organisasi, otomatis hal ini membuat hal-hal yang
sudah biasa dilakukan harus dirubah. Untuk itu, bagi seseorang yang terlalu
terikat/terpaku pada cara-cara lama akan mengalami keengganan untuk melepasakan
kebiasaan lama serta mencoba hal-hal baru.
d) Ketakutan akan kegagalan
Perubahan juga akan membuat seseorang merasa kurang nyaman terhadap
keterampilan dan kompetensi yang dimilikinya selama ini. Ia juga merasa tidak
mampu untuk menghadapi kritikan, serta mengalami ketakutan untuk terlihat bodoh,
dan mengalami kegagalan dalam beradaptasi pada perubahan dan persyaratannya.
Hal ini biasanya berhubungan dengan masalah kemampuan.
e) Tidak melihat adanya keuntungan
Seseorang juga akan menolak adanya perubahan karena menganggap bahwa
perubahan yang akan dilakukan tidak menghasilkan manfaat, atau dengan perkataan
lain tidak melihat adanya keuntungan. Hal ini biasanya berhubungan dengan masalah
kurangnya informasi pada saat sosialisasi perubahan.
2. Perubahan itu sendiri
Disamping itu, menurut Galpin (1996), penolakan dapat terjadi karena berhubungan
dengan perubahan itu sendiri, yaitu antara lain:
1) Tidak adanya kejelasan arah perubahan
Dalam hal ini, bila perubahan dianggap tidak jelas visi maupun arah dan tujuan yang
akan dicapai, maka hal ini akan menimbulkan penolakan. Misalnya seseorang
menolak perubahan yang dicanangkan oleh organisasi, karena menurutnya perubahan
tersebut tidak jelas mau kemana.
2) Perbedaan persepsi tentang kebutuhan untuk berubah
Bila seseorang memiliki persepsi bahwa sebenarnya tidak diperlukan perubahan, dan
persepsi ini berbeda dengan manajemen yang ingin melakukan perubahan, maka
orang tersebut cenderung akan menolak perubahan.
3) Kurangnya kepercayaan bahwa tujuan dapat tercapai
Dalam hal ini, bila seseorang kurang memiliki kepercayaan bahwa tujuan dapat
tercapai, maka ia akan cenderung untuk menolak perubahan. Hal ini bisa terjadi
pada awal perubahan maupun pada proses perubahan.
4) Perubahan yang diusulkan tidak menunjukkan adanya kemajuan
Kondisi ini terjadi pada proses perubahan, dan perubahan tersebut tidak
menunjukkan adanya kemajuan. Hal ini membuat seseorang menjadi apatis dan
menolak perubahan.
3. Prosedur Perubahan
Prosedur yang dilakukan dalam melakukan perubahan juga dapat merupakan salah satu
faktor penolakan perubahan. Hal tersebut antara lain adalah:
1. Tidak/kurang adanya partisipasi
Bila perubahan dilakukan sepihak, dalam arti hanya dilakukan oleh pihak anajemen
tanpa melibatkan pegawai, maka kecenderungan untuk menolak perubahan adalah
besar.

2. Tidak/kurang/salah informasi
Salah satu keberhasilan dari perubahan organisasi adalah sosialisasi mengenai proses
perubahan tersebut. Hal ini menyebabkan salah atau kurangnya informasi yang
diberikan dalam menangani proses perubahan akan membuat reaksi penolakan.
3. Waktu yang kurang tepat
Perubahan organisasi dilakukan pada waktu yang kurang tepat, sehingga pegawai
cenderung untuk menolak perubahan tersebut.
4. Proses yang terlalu cepat
Proses perubahan dilakukan sangat cepat, karena dengan cepatnya perubahan
organisasi yang dilakukan, maka hal ini membuat orang sukar untuk mencerapnya
dan melakukan penyesuaian terhadapnya, sehingga akan rentan terhadap penolakan
perubahan.
5. Tidak ada persetujuan dan komitmen tentang tujuan untuk berubah
Hal ini hampir sama dengan pelibatan karyawan. Dalam hal ini, tanpa adanya
persetujuan dari pegawai maupun komitmen untuk berubah, maka keberhasilan suatu
proses perubahan akan terancam dengan penolakan dari pegawainya.
4. Sistem manajemen dan iklim organisasi
Selain dari faktor pribadi (manusia) dan prosedur perubahan, sistem manajemen
maupun iklim organisasi juga berperan terhadap diterima atau ditolaknya suatu
perubahan.
a) Kurang adanya keyakinan & kepercayaan pada manajemen
Kepercayaan terhadap manajemen sangat penting dalam suatu keberhasilan proses
perubahan organsiasi. Hal ini menyebabkan dengan kurang adanya keyakinan dan
kepercayaan terhadap manajemen, maka penolakan terhadap perubahan akan sangat
mungkin terjadi.
b) Kurang adanya model perilaku
Pemimpin atau mitra perubahan (change agent), sebagai model perilaku sangat
diperlukan dalam suatu proses perubahan. Untuk itu, bila kurang terdapat model
perilaku maka kecenderungan untuk terjadinya penolakan perubahan akan besar.
c) Faktor sejarah yang kurang mendukung
Hal yang dimaksud dengan sejarah disini adalah sejarah mengenai perubahan
organisasi. Bila selama ini, pengalaman dan sejarah menunjukkan bahwa perubahan
yang dilakukan kurang dan tidak berhasil, maka kepercayaan menjadi menurun dan
penolakan terhadap perubahan tersebut akan muncul.
d) Hambatan yang disebabkan karena iklim dan budaya organisasi
Iklim maupun budaya organisasi yang kurang kondusif juga akan turut
mempengaruhi keberhasilan suatu proses perubahan organisasi.

Dari pembahasan tersebut di atas, tampak bahwa faktor manusia yang paling
banyak dihadapi dalam hal penolakan perubahan.
6.3. Reaksi dan Perilaku Penolakan
Reaksi dan perilaku penolakan menurut Maurer (1996) dapat dibagi ke dalam
beberapa kategori sebagai berikut:
1. Tertutup
Penolakan dapat dilakukan secara tertutup atau memang secara sengaja ditutupi
sehingga kurangnya dukungan untuk berubah dapat tersembunyi atau tidak dapat
dijelaskan.
2. Terbuka
Perubahan dapat juga terbuka sehingga mereka yang menolak perubahan
mengekspresikan pandangan mereka secara terbuka dan memberikan alasan ketidak-
setujuan mereka. Meskipun penolakan secara terbuka mengarah untuk terjadinya debat,
dan konflik pada saat-saat tertentu, hal ini lebih mudah untuk dimanajemeni daripada
penolakan yang tertutup. Dalam hal penolakan terbuka, manajemen dapat melihat dan
mendengar lawan-lawan mereka. Hal ini mentolerir mereka untuk bekerja secara
langsung serta mencari pemecahannya.
3. Tidak disadari
Penolakan dapat dilakukan secara tidak sadar. Pada saat tersebut pada umumnya mereka
tidak menyadari bahwa perilaku mereka menolak perubahan. Dalam hal ini, tindakan
mereka pada umumnya didasarkan pada informasi yang salah, kurangnya pelatihan,
atau rutinitas kerja sebelumnya yang telah tertanam dengan kuat. Biasanya, mereka
mungkin menyadari bahwa perilaku mereka tidak selalu sesuai dengan persyaratan yang
telah disetujui, tetapi kecenderungannya pada saat-saat tertentu secara rasional kembali
kepada kebiasaan lama seperti “mengerjakan sesuatu yang dapat merugikan
perusahaan”. Penolakan yang tidak disadari membuat manajemen mengalami kesulitan
dalam melakukan perencanaan tindakan karena mereka yang menolak percaya bahwa
dirinya tidak bersalah. Dalam hal ini mereka merasa mengerjakan tugas-tugasnya dan
tidak menolak perubahan.
4. Disadari
Penolakan yang termotivasi secara sadar adalah juga sebuah tantangan yang serius. Para
penolak ini mengadopsi posisi mereka setelah menganggap bahwa perubahan tersebut
adalah suatu hal yang negatif. Mereka mungkin saja salah mendapatkan informasi, atau
melayani sendiri, tetapi opini mereka harus didengar. Jika tidak, maka penolakan
mereka akan semakin meningkat.
6.4. Bentuk Penolakan terhadap Perubahan
Dari beberapa kategori penolakan tersebut, (baik disadari, tidak disadari, terbuka, maupun
tertutup) maka bentuk-bentuk penolakan yang ditampilkan menurut Galpin (1996) antara
lain adalah sebagai berikut:
a) Mempertanyakan teori, pendekatan, dan metode.
Sikap yang ditampilkan adalah menanyakan apakah memang terdapat teori yang
mendasari peribahan tersebut, apa metode yang akan digunakan serta apakah metode
tersebut sudah tepat digunakan.
b) Menolak adanya masalah.
Hal ini dilakukan dengan cara menghubungkan adanya suatu masalah dengan perlunya
dilakukan perubahan, sehingga dengan asumsi tidak adanya masalah maka perubahan
juga tidak perlu dilakukan.
c) Secara terus menerus menanyakan mengenai detil dan keterangan.
Seseorang yang menolak perubahan, hal ini antara lain disampaikannya dengan cara
berualng kali menanyakan mengenai hal-hal detil derta rincian dari proses perubahan
yang akan dilakukan, alasan mengapa perlu dilakukan hal tersebut, serta faktor-faktor
apa yang mempengaruhinya, bagaimana bila gagal, apakah ada alternatif lainnya dsb.
d) Memberikan berbagai macam alasan penolakan.
Berbagai macam alasan diberikan oleh seseorang yang menolak perubahan untuk dapat
mendukung pernyataan maupun sikap penolakannya.
e) Menyatakan bahwa waktu perubahan tersebut tidak tepat.
Seseorang menyatakan penolakan terhadap perubahan antara lain dengan cara
menyatakan bahwa perubahan yang dilakukan saat ini adalah kurang tepat, yang
disebabkan karena berbagai hal.
f) Menanyakan masalah pratis atau kelayakan dari rencana.
Reaksi yang ditampilkan oleh seorang individu yang menolak perubahan juga dilakukan
dengan cara menanyakan berbagai hal yang terkait dengan masalah praktis maupun
kelayakan dari rencara perubahan yang akan dilakukan.
g) Menyatakan bahwa hal ini pernah dilakukan sebelumnya dan tidak berhasil.
Seseorang juga menyatakan penolakan terhadap suatu perubahan dengan cara
membandingkan dengansejarah perubahan pada masa lalu, yang dianggapnya juga tidak
berhasil. Hal ini dijadikan bahan argumentasi bagi dirinya untuk melakukan penolakan
terhadap perubahan yang akan dilakukan.
h) Menanyakan mengenai penelitian awal, dalam skala yang besar.
Seseorang menyatakan penolakannya terhadap perubahan antara lain dengan cara
menanyakan apakah terdapat berbagai penelitian awal yang telah dilakukan beberapa
waktu sebelumnya, dan apakah hal tersebut dapat diaplikasikan kedalam skala yang
lebih besar.
i) Pasif, diam dan mengacuhkan rencana perubahan.
Salah satu bentuk penolakan yang tertampil adalah dengan cara menolak, bersikap pasif
dan diam dalam menghadapi perubahan.
j) Berpura-pura tidak punya waktu marah, kesal, dan mencari kambing hitam.
Seperti halnya dengan pasif tetapi menerima, kondisi berpura-pura juga merupakan
salah satu bentuk penolakan yang tidak terungkap.

Bentuk-bentuk penolakan yang tertampil dari sikap dan perilaku tersebut di atas
akan memberikan dampak pada proses perubahan maupun hasil yang diperoleh dari proses
tersebut.

6.5. Piramida Penolakan


Selain kategori dan bentuk penolakan seperti apa yang disebutkan di atas, Galpin
(1996) mengatakan bahwa sebenarnya penolakan terhadap perubahan dapat disebabkan
karena: a. Tidak mengetahui; b. Tidak dapat; dan c. Tidak mau yang tercermin pada
piramida penolakan seperti tampak pada Gambar 2 di bawah ini.

Not willing

Not able

Not knowing

Sumber: Timothy J. Galpin (1996), The Human Side of Change;

Gambar 2. Piramida penolakan.

Galpin (1996) lebih lanjut mengatakan bahwa dari piramida tersebut tingkatan
resistensi pertama adalah yang berhubungan dengan pengetahuan (tidak mengetahui).
Dalam hal ini pengetahuan dapat diberikan melalui informasi mengenai proses perubahan.
Informasi tersebut harus berdasarkan atas apa yang pihak manajemen dan pegawai ingin
tahu. Orang pada umumnya ingin mengetahui pertanyaan mendasar, seperti, apa yang
terjadi, mengapa melakukan hal ini, bagaimana cara melakukannya, kapan akan dilakukan,
dampak apa yang akan terjadi. Tingkatan kedua dari piramida adalah kemampuan yang
dapat diatasi melalui pelatihan dan pendidikan. Dalam rangka proses perubahan, maka
individu pada umumnya memerlukan keterampilan baru. Tingkatan tertinggi dari piramida
tersebut adalah keinginan. Dengan adanya pengetahuan dan kemampuan akan membantu
seseorang untuk menjadi lebih bersedia untuk berubah. Meskipun demikian, faktor-faktor
lain juga harus diperhatikan antara lain keterlibatan senior manajemen dalam proses
komunikasi akan menjadi suatu tanda bahwa perubahan merupakan salah satu prioritas dari
organisasi.

6.6. Tindakan untuk Mengatasi Penolakan


Galpin (1996) dalam hal ini tidak hanya menyebutkan mengenai tingkatan
resistensi/penolakan, tetapi juga bagaimana cara mengatasi penolakan tersebut, seperti
yang tercermin pada Gambar 3.

Menetapkan tujuan, melakukan peng-ukuran,


melakukan pembinaan dan umpanbalik,
memberikan penghargaan dan pengakuan.
Not willing

Mendidik dan melatih hal-hal baru


Not able dalam keterampilan, teknik
manajemen, dsb.

Mengkomunikasikan Apa,
Not knowing Mengapa, Bagaimana,
Bilamana, Siapa, dsb

Gambar 3. Tindakan untuk mengatasi penolakan

Sumber: Timothy J. Galpin (1996). The Human Side of Change, Jossey-Bass Publishers, San Fransisco

6.7. Manfaat yang diperoleh dalam mengatasi penolakan


Meskipun reaksi penolakan tidak menyenangkan, tetapi sebenarnya dengan melakukan
kegiatan untuk mengatasi penolakan, maka dapat diperoleh beberapa manfaat yang
menurut Maurer (1996) adalah sebagai berikut:
1. Dengan menggunakan kekuatan penolakan/resistensi dapat meningkatkan tingkat
keberhasilan dan kecepatan waktu implementasi dari ide.
2. Menunjukkan respek/rasa hormat terhadap mereka yang menentang akan membuat
hubungan menjadi lebih kuat, tidak hanya meningkatkan proses perubahan, tetapi juga
membuat dasar yang kuat untuk perubahan di masa yang akan datang.
3. Bekerja mengatasi penolakan akan meningkatkan semua pihak dalam menemukan dan
memenuhi tujuannya masing-masing.
4. Dengan adanya penolakan memungkinkan manajemen untuk terhindar dari tindakan
yang kurang baik atau waktu yang tidak tepat.

6.8. Mengelola penolakan perubahan


Di bawah ini akan dibahas tentang bagaimana cara memanajemeni perubahan yang pada
intinya adalah memanajemeni perilaku.
1. Mengidentifikasi sumber penolakan terhadap perubahan.
Pertama kali yang harus dilakukan oleh penangung jawab perubahan adalah melakukan
identifikasi mengapa seseorang menolak perubahan, apakah karena masalah pribadi
(dan tepatnya masalah apa); masalah organisasi, atau masalah yang terkait dengan
proses perubahan. Dengan mengetahui sumber penolakan perubahan tersebut, maka
penanggung jawab perubahan akan dapat menentukan kebijakan dan strategi apa untuk
mengatasi penolakan tersebut.
2. Melakukan komunikasi secara terbuka.
Penolakan terhadap suatu perubahan seringkali disebabkan karena orang tersebut tidak
mengetahui perlunya dilakukan diperubahan, untuk itu yang paling penting dilakukan
adalah melakukan komunikasi, dan sosialiasi mengenai perubahan organisasi yang akan
dan sedang dilakukan. Selain itu, disediakan pula forum komunikasi untuk
menanmpung ketidak jelasan atau ketidak setujuan seseorang terhadap program
perubahan organisasi yang dicanangkan.
3. Melakukan revisi program perubahan organisasi.
Penangung jawab program perubahan juga harus terbuka dalam menerima kiritik dan
saran, bahkan bila perlu melakukan revisi program perubahan bila ternyata memang ada
yang lebih baik.
4. Melakukan pendekatan personal.
Hubungan interpersonal yang baik serta pendekatan personal sebaiknya dilakukan untuk
mengetahui sumber penolakan, serta mempengaruhi, melakukan persuasi maupun
melakukan negosiasi mengenai perubahan organisasi yang dicanangkan.
6. Menerapkan konsep ganjaran (reward) dan hukuman (punishment).
Cara mengatasi penolakan perubahan antara lain dapat dilakukan dengan menerapkan
konsep ganjaran serta hukuman, dalam arti bila mencapai sesuai dengan program
perubahan maka diberikan ganjaran, sedangkan bila tidak mengikuti program perubahan
akan dapat diberikan hukuman, bahkan bila ternyata sangat menghambat perubahan
organisasi, maka pengenaan hukuman yang berat (misalnya PHK) dapat dilakukan,
meskipun demikian itu adalah jalan terakhir yang akan ditempuh, bila sudah tidak ada
jalan lain.

6.9. Penutup
Berdasarkan pembahasan terdahulu, tampak bahwa penolakan perubahan akan dapat
mempengaruhi kelancaran implementasi perubahan, untuk itu pemahaman mengenai
sumber-sumber penolakan perubahan serta bagaimana kiat-kiat dalam mengatasi
penolakan perubahan tersebut perlu diketahui. Hal yang perlu dipahami adalah, penolakan
terhadap perubahan itu adalah hal yang biasa, jadi tidak perlu terlalu panik dalam
menghadapinya, hanya bila penolakan yang dilakukan sudah bersifat terbuka, dan anarkhis
maka ketegasan dalam bersikap diperlukan.

Daftar Pustaka

Galpin, T. (1996). The human side of change. San Francisco, USA: Jossey-Bass
Publishers.
Plant, R. (1997). Managing change and making it stick. London, United Kingdom: Harper
Collins Publishers.
BAB 7
MENGELOLA PERUBAHAN

Untuk dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang perubahan dan cara
memanajemeninya, maka perlu pula diketahui tentang prinsip dan langkah-langkah dalam
memanajemeni perubahan. Pada bab ini akan dibahas mengenai berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi efektvitas perubahan dan bagaimana mengelola perubahan secara efektif.

7.1. Prinsip dalam Mengelola Perubahan


Firth (1999), menyatakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang perlu diikuti dalam
memanajemeni perubahan, yaitu:
1) Perubahan tersebut benar-benar diinginkan.
Perubahan adalah bukan pilihan, tetapi suatu keharusan karena tidak ada alternatif
lain, sehingga meskipun bagaimana sibuknya suatu organisasi, perubahan harus tetap
dilakukan.
2) Adanya penanggung jawab.
Seseorang harus bertanggung jawab untuk menciptakan apa yang telah direncanakan,
karena bila tidak akan tidak terlaksana.
3) Realistis.
Perubahan akan menyakitkan dan memerlukan biaya. Hal tersebut terjadi pada waktu
sebelum, selama, dan sesudah perubahan terjadi. Sehingga pertanyaan yang harus
dijawab adalah seberapa jauh kita mau menerimanya.
4) Mengetahui kendala yang dihadapi.
Pelajari mengenai kebiasaan yang ada, serta perkiraan perilaku penolakan yang
mungkin terjadi.
5) Memiliki sikap positif.
Sikap positif dan rasa percaya diri merupakan pendorong utama terjadinya perubahan
sehingga perkataan tetapi mungkin harus dihindari.
6) Adanya sikap optimistik.
Keputusan untuk melakukan perubahan dapat dilakukan secepat mungkin, tetapi
proses perubahan tersebut dapat memakan waktu yang lama. Untuk itu, manajemen
dan organisasi juga harus memperhatikan proses perubahan tersebut dan harus tetap
merasa optimis bahwa hal tersebut dapat terjadi.
7) Bersyukur.
Rasa syukur akan apa yang telah terjadi/diperoleh harus tetap dilakukan, meskipun
kadangkala yang didapatkan adalah aspek negatif dengan adanya penolakan. Dalam
hal ini manajemen dan organisasi harus tetap berterima kasih kepada semua orang
yang terlibat, karena perubahan tidak akan dapat terjadi sendiri tanpa adanya bantuan
orang lain.

7.2. Tahapan Mengelola Perubahan


Terdapat beberapa pendekatan dalam mengelola perubahan, salah satunya adalah tahapan
yang perubahan organisasi yang disampaikan oleh Kotter (1996), yang menyatakan bahwa
terdapat 8 tahapan dalam mengelola perubahan sebagai berikut:
1) Menciptakan urgensi.
Untuk membuat perubahan berhasil, maka hal ini harus didukung oleh seluruh pegawai,
yaitu berusaha untuk menciptakan bahwa seluruh organisasi menginginkan perubahan
tersebut. Hal ini akan dapat memotivasi semua orang terlibat pada perubahan. Meskipun
demikian, hal ini tidak mudah dilakukan, manajemen dan mitra perubahan harus
menerangkan apa yang terjadi di organisasi dan di luar organisasi, serta mulai
membahas mengenai perlunya dilakukan perubahan. Kotter (1996), lebih lanjut
menyatakan bahwa hal-hal ini dibawah ini akan dapat membantu terciptanya rasa
urgensi tersebut, yaitu: a) Identifikasi potensi kendala yang ada, serta membangun
skenario gambaran apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang; b) Mempelajari
serta mencari berbagai peluang yang ada; c) melakukan diskusi terbuka serta
meyakinkan pegawai mengenai kondisi yang ada saat ini dan masa depan; dan d)
meminta dukungan dari pelanggan maupun pemangku kepentingan dari pihak luar
organisasi maupun dunia industri untuk memperkuat argumentasi yang diberikan pada
pegawai.
2) Membentuk Koalisasi yang kuat.
Meyakinkan pegawai bahwa perubahan itu penting adalah suatu kegiatan yang
diperlukan. Hal ini harus diikuti dengan kepemimpinan yang kuat, dan dukungan dari
orang-orang yang berpengaruh di perubahan. Mengelola perubahan saja tidak cukup,
tetapi juga harus memimpinnya. Untuk membuat perubahan berhasil, maka harus
dibentuk sekelompok orang kuat yang dapat mendukung perubahan, yang terdiri dari
berbagai unit kerja, yang dapat mempengaruhi orang lain. Hal ini antara lain dapat
dilakukan dengan cara: a) mengidentifikasi pemimpin di organisasi (termasuk
pemimpin informal yang dapat mempengaruhi orang lain); b) meminta komitmen dari
para pemimpin yang tergabung dalam tim ini; c) membangun kerjasama tim dalam
koalisi perubahan tersebut; dan d) memperhatikan titik lemah dalam tim yang ada, serta
meyakinkan bahwa tim mitra perubahan tersebut mewakili berbagai orang di
perusahaan, baik dari berbagai departemen maupun posisi.
3) Menciptakan visi perubahan.
Untuk dapat menciptakan perubahan yang berhasil, maka perubahan harus memiliki
visi. Visi yang jelas akan dapat membantu setiap orang untuk memahami mengapa
perubahan perlu dilakukan. Untuk menciptakan hal tersebut, yang perlu dilakukan
antara lain adalah: a) menentukan nilai-nilai sentral dari perubahan; b) membuat
ringkasan gambaran masa depan organisasi; c) menciptakan strategi untuk
mengimplementasikan perubahan; d) meyakinkan bahwa koalisi perubahan dapat
menjelaskan visi perubahan yang akan dicapai dalam waktu yang singkat; dan e) sering
melatih apa yang akan disampaikan.
4) Mengkomunikasikan visi.
Untuk dapat mendukung suatu perubahan, pegawai harus dapat memahami perubahan.
Untuk itu manajemen dan mitra perubahan harus mampu mensosialisasikan dan
mengkomunikasikan sesering mungkin mengenai perubahan organisasi, sehingga orang
akan dapat mengingatnya, Jelaskan dan demonstrasikan apa yang diinginkan dilakukan
oleh para pegawai. Untuk itu yang dapat dilakukan antara lain adalah: a)
membicarakansesering mungkin mengenai visi perubahan; b) membahas secara terbuka
dan jujur mengenai semua hal dan kecemasan yang ada yang terkait dengan perubahan;
c) Hubungkan semua kegiatan yang dilakukan dengan visi yang akan dicapai; dan d)
Memimpin melalui contoh dan tindakan.
5) Menghilangkan hambatan.
Untuk memuluskan perubahan organisasi, maka manajemen harus membuat struktur
dari perubahan yang akan dilakukan, mengidentifikasi apa kira-kira yang akan menjadi
kendala dari perubahan, serta berusaha untuk menghilangkan hambatan tersebut. Hal
yang dapat dilakukan antara lain adalah: a) menunjuk atau mencari agen perubahan
yang perannya hanya untuk membuat perubahan; b) mempelajari struktur organisasi,
uraian jabatan, kinerja dan sistem remunerasi untuk meyakinkan bahwa semua itu
sejalan dengan visi yang akan dicapai; c) menhormati dan memberikan ganjaran bagi
mereka yang membantu perubahan; d) identifikasi mereka yang melakukan resistensi
perubahan dan membantu mereka untuk melihat kebutuhan yang ada; dan e) mengambil
tindakan secara cepat untuk mengatasi berbagai hambatan yang ada (sumberdaya
manusia maupun sumberdaya lainnya).
6) Menciptakan tujuan jangka pendek.
Berdasarkan penelitian, dinyatakan bahwa tidak ada yang lebih memotivasi seseorang
dari keberhasilan. Ciptakan tujun/sasaran jangka pendek, jangan langsung jangka
panjang, karena sasaran jangka pendek akan dapat cepat tercapai, dan setiap
keberhasilan akan memotivasi dan meningkatkan semangat tim. Hal yang dapat
dilakukan antara lain adalah: a) mencari kegiatan perubahan yang dapat
diimplementasikan tanpa adanya banyak kritik; b) Jangan memilih target awal yang
mahal, karena mitra perubahan harus melakukan justifikasi mengenai proses dan
investasi yang dikeluarkan; c) secara cermat lakukan analisis mengenai potensi adanya
dukungan atau pertentangan dari target yang akan dicapai. Dalam hal ini bila
mengalamai kegagalan pada tahap awal, maka hal ini akan mengecewakan para
pendukung perubahan; dan d) memberikan insentif/ganjaran bagi mereka yang
membantu pencapaian target.
7) Membangun Perubahan.
Kotter (1996) menyatakan bahwa perubahan seringkali mengalami kegagalan bila
kemenangan/keberhasilan di umumkan terlalu awal. Dalam hal ini perubahan
sebenarnya perlu waktu. Perubahan cepat hanya suatu awal dari apa yang harus
dilakukan untuk mencapai perubahan jangka panjang. Untuk mencapai hal tersebut
maka peningkatan program perubahan harus dilakukan. Dalam hal ini setiap
keberhasilan, merupakan kesempatan untuk membangun apa yang benar dan apa yang
harus ditingkatkan. Hal yang harus dilakukan untuk hal ini antara lain adalah: a) setiap
keberhasilan, harus dianalisis dan di evaluasi apa yang sudah benar dan mana yang
masih memerlukan peningkatan; b) menentukan tujuan dan sasaran untuk melanjutkan
perubahan yang telah dilakukan; c) mempelajari mengenai bagaimana cara melakukan
peningkatan secara terus menerus; dan d) untuk dapat memperoleh ide-ide baru,
merekruit mitra perubahan baru menjadi anggota tim koalisi perubahan organisasi.
8) Mengaitkan perubahan dengan budaya organisasi.
Sebagai tahap terakhir, untuk dapat membuat perubahan melkat, maka hal tersebut
harus menjadi bagian dari organisasi. Untuk itu, hal ini harus dihubungkan dengan
nilai-nilai organisasi, yang diungkapkan pada perilaku sehari-hari. Hal yang penting
pula adalah pemimpin organisasi harus tetap mendukung perubahan, termasuk juga
semua staf serta pegawai baru.
7.3. Kiat memperoleh komitmen dari individu

Untuk itu, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: a) membahas mengenai hasil kemajuan
dari perubahan, menceritakan mengenai cerita keberhasilan dari proses perubahan dan
ulangi cerita keberhasilan tersebut; b) memasukkan aspek nilai-nilai pada waktu menerima
dan melakukan pelatihan pada pegawai baru; c) secara terbuka memperkenalkan siapa
yang menjadi mitra perubahan baik yang sudah menjadi anggota tim ataupun yang baru;
dan d) membuat rencana untuk mengganti para mitra perubahan karena harus berkembang,
hal ini juga membuat mereka tahu bahwa apa yang telah dilakukan tidak akan dilupakan.

Disamping tahapan tersebut di atas, Wilson (1994) dan Heifetz (1995), menyatakan
langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam meengelola perubahan sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi kebutuhan untuk berubah.
Hal pertama kali yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi adanya kebutuhan untuk
dilakukan suatu perubahan. Misalnya: karena tuntutan pasar, maka visi dan misi
organisasi dibuat baru.
2. Memilih target dan menentukan tujuan.
Hal ini sangat perlu untuk dilakukan karena ketidak-jelasan tujuan akan membuahkan
ketidak-jelasan hasil yang dicapai. Tujuan yang jelas akan dapat mengarahkan energi
dan memberikan suatu gambaran untuk menyelesaikan masalah.
3. Menyadari konteks organisasi.
Menyadari akan kejadian di lingkungan sekitar, merupakan hal yang penting untuk
menentukan visi manajemen dan organisasi di masa yang akan datang. Dalam hal ini
manajemen dan organisasi harus luwes dalam menyesuaikan rencana dengan kondisi
tersebut.
4. Merencanakan perubahan
Perencanaan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran akan kondisi
organisasi secara keseluruhan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menanyakan
beberapa hal sebagai berikut: a) Apa yang terjadi untuk dapat mencapai tujuan?; b) Apa
yang terjadi sebelumnya yang mengakibatkan kegagalan yang mengakibatkan perlu
adanya perubahan?; dan c) Apa yang secara spesifik harus dilakukan untuk dapat
mencapai tujuan?.
5. Mengimplementasikan perubahan.
Setelah dilakukan perencanaan, maka langkah selanjutnya adalah
mengimplementasikan perubahan, yaitu:
a) Mengubah perilaku, sistem, dan sikap sehingga terdapat adanya kesesuaian dengan
apa yang diinginkan.
b) Memelihara kesadaran individu untuk membantu mengetahui perkembangan proses
perubahan.
c) Bekerja sesuai dengan apa yang dapat dikerjakan, dan belajar dari pengalaman yang
ada.
6. Mengevaluasi hasil.
Langkah terakhir dari suatu perubahan adalah mengevaluasi hasil yang diperoleh dari
perubahan tersebut dalam waktu tertentu dari waktu ke waktu. Apa ada yang perlu
dirubah atau direvisi dari proses perubahan tersebut.

7.4. Persiapan Melakukan Perubahan Organisasi.


Sebelum melakukan perubahan organisasi, berbagai persiapan dapat dilakukan untuk
melakukan perubahan organisasi (Cawsey, Deszca, & Ingols, 2012), yaitu:
1) Mengidentifikasi lingkungan, baik sebelum, awal maupun pada proses implementasi
perubahan, khususnya adalah:
a) Bagaimana lingkungan luas bisa bercerita tentang kondisi ekonomi, sosial, teknologi
di masa mendatang.
b) Apa pendapat klien/pelanggan (baik dari luar maupun dari dalam) tentang organisasi.
c) Apa yang dilakukan oleh kompetitor dan bagaimana mereka berespon terhadap
organisasi?
d) Apa yang dilakukan mitra yang terdapat pada jejaring yang ada dan bagaimana
mereka berespon terhadap organisasi.
e) Apa kebutuhan dan keinginan dari orang-orang yang merupakan calon pemimpin,
manager di masa mendatang maupun para penerima perubahan.
2) Mengapa perubahan diperlukan? Siapa yang melihat kebutuhan ini?
3) Apa tujuan dan agenda dari pemimpin perubahan? Bagaimana caranya
mensosialisasikan visi dan tujuan perubahan ke penerima perubahan?
4) Bagaimana rencana untuk mengimplementasikan perubahan?
a) Darimana sumberdaya untuk mensponsori perubahan?
b) Bagaimana cara memilih dan bekerjasama dengan mitra perubahan?
c) Bagaimana cara kerjanya dengan organisasi yang lebih luas.
d) Bagaimana cara memonitor kemajuan, dan merubah serta mempercepat perubahan
(bila diperlukan).
e) Bagaimana cara meyakinkan bahwa pemimpin perubahan bertindak berdasarkan
etika maupun integritas?
5) Apa yang telah dipelajari mengenai perubahan dan bagaimana cara mengingatnya
dimasa mendatang? Bagaimana cara mentransfer apa yang telah dipelajari?
6) Setelah perubahan selesai dilakukan, apa program selanjutnya? (Karena selesainya satu
perubahan, merupakan awal dari program yang baru).

7.5. Tahapan Proses Perubahan Organisasi


Teori mengenai perubahan organisasi menjelaskan bahwa proses perubahan terdiri dari
beberapa tahapan atau fase. Lewin (1947, dalam Armenakis, 2001) mengungkapkan bahwa
perubahan yang efektif membutuhkan fase persiapan (unfreezing), implementasi
(changing), dan perilaku yang menetap (refreezing).
1. Kesiapan (readiness).
Tahapan ini sejalan dengan tahapan unfreezing yang dikemukakan Lewin (1947 dalam
Armenakis, 2001). Kesiapan terjadi ketika lingkungan, struktur, dan sikap anggota
organisasi menerima/menolak perubahan organisasi yang akan dilakukan.
2. Adopsi (adoption).
Tahapan ini sejalan dengan tahapan perubahan atau changing yang dikemukakan Lewin
(1947 dalam Armenakis, 2001). Adopsi/penyesuaian terjadi ketika anggota organisasi
secara sementara mengubah sikap dan perilaku sehingga dapat sesuai dengan harapan
perubahan. Penyesuaian terjadi ketika anggota organisasi mengubah sikap dan perilaku
agar sesuai dengan harapan perubahan. Untuk dapat memasuki fase adopsi, individu
harus mampu memenuhi fase pertama secara utuh, yaitu fase kesiapan. Hal inilah yang
membuat kesiapan sangat penting dalam proses perubahan.
3. Institusionalisasi (institutionalization).
Tahapan ini sejalan dengan tahapan freezing yang dikemukakan Lewin (1947 dalam
Armenakis, 2001). Institusionalisasi terjadi ketika perubahan menjadi sebuah bagian
yang menetap dari perilaku karyawan.

Madsen dkk (2006) menjelaskan bahwa penolakan terhadap perubahan berkaitan


dengan tidak adanya proses kesiapan yang memadai sebelum proses perubahan dilakukan.
Lebih lanjut, mereka menyatakan bahwa jika proses kesiapan individu tidak tercapai
dengan baik, maka proses perubahan jangka panjang juga tidak akan mencapai kesuksesan.
Ketiga tahapan tersebut harus dilalui oleh sebuah organisasi demi mencapai perubahan
yang berhasil. Para anggota organisasi harus menyadari perlunya perubahan, percaya pada
nilai potensial dari perubahan itu, dan bersedia mengubah perilaku mereka untuk membuat
tim, departemen, dan organisasi berjalan lebih maksimal dalam implementasi perubahan.
Selain itu, dibutuhkan suatu kondisi yang baik untuk membuat perubahan yang efektif, di
antaranya: anggota organisasi harus menjadi pihak yang paling utama dalam melakukan
perubahan organisasi, bukan dari pihak eksternal; anggota organisasi harus mengakui
perlunya perubahan dan tertarik dengan hasil yang akan dibawa oleh program perubahan;
adanya kemauan untuk berubah dan prosedur yang tepat dalam melakukan perubahan
(Hellriegel & Slocum, 2007). Disamping itu, organisasi itu sendiri juga harus memiliki
kesiapan untuk berubah.

7.6. Tahapan dalam perubahan


Secara umum perubahan meliputi tiga tahap yaitu:
a. Persiapan. Inti dari tahap ini adalah membangkitkan kesadaran mengenai pentingnya
perubahan (change awareness). Jelas atau tidaknya tujuan perubahan akan berpengaruh
terhadap pembentukan komitmen target perubahan.
b. Penerimaan. Bermuara pada persepsi positif atau persepsi negatif. Persepsi positif akan
mendukung perubahan, sedangkan persepsi yang negatif akan tidak mendukung
perubahan.
c. Komitmen. Tahap komitmen terdiri dari: instalasi, adopsi, institusionalisasi, dan
internalisasi. Langkah instalasi merupakan periode percobaan terhadap perubahan
(preliminary testing) yang menghasilkan dua konsekuensi, yakni: mengadopsi
perubahan atau menolak perubahan (yang mungkin disebabkan oleh masalah ekonomi
dan politik, perubahan dalam tujuan strategis, maupun adanya kepentingan pribadi).

7.7. Tantangan dan Antisipasi kendala dalam perubahan organisasi


Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perubahan, antara lain:
1) Sistem dan proses perubahan
Sistem dan proses perubahan, antara lain tertampil dari bagaimana perubahan
disosialisasikan dan dikomunikasikan pada seluruh organisasi akan mempengaruhi
efektivitas perubahan organisasi. Hal ini terlihat dipengaruhi oleh tujuan organisasi baik
jangka pendek maupun jangka panjang.
2) Sumberdaya manusia
Sumberdaya manusia sangat berpengaruh pada efektivitas suatu perubahan, hal ini
disebabkan karena sebagaian besar keberhasilan dari perubahan organisasi disebabkan
karena manusia. Hal ini antara lain tertampil pada: a) sikap penerimaan/penolakan dari
SDM yang terlibat, dalam hal ini semakin pegawai menerima perubahan organisasi,
maka perubahan organisasi akan semakin sukses; b) keterbatasan sumberdaya manusia,
keterbatasan sumberdaya manusia baik dari sudut kuantitas maupun kualitas memeiliki
peran penting terhadap perubahan organisasi, karena dengan kuantitas yang kurang
memadai serta kualitas yang kurang memenuhi persyaratan maka hal ini berpengaruh
pada efektivitas perubahan organisasi; c) pemahaman yang kurang tepat, bila SDM
yang terlibat di perubahan organisasi kurang memiliki perubahan yang tepat, maka hal
ini dapat membuat perubahan organisasi menjadi kurang efektif; dan d) mitra perubahan
(change agent), mitra perubahan sangat berperan pada efektivitas perubahan organisasi,
karena mitra perubahan yang memiliki peran aktif terhadap keberhasilan yang ada.
3) Sistem dan lingkungan organisasi
Sistem dan lingkungan organisasi antara lain tercermin pada: a) iklim dan budaya
organisasi, yaitu dengan iklim dan budaya organisasi yang kondusif terhadap
perubahan, maka hal ini akan dapat mempercepat perubahan organisasi; selain itu pula
b) struktur, proses, dan sistem organisasi, yaitu bagaimana operasionalisasi dari
organisasi itu sehari-hari, juga akan turut mempengaruhi proses serta kecepatan dari
perubahan organisasi.

Hal tersebut di atas dapat menjadi kendala dan hambatan bila tidak ditangani dan
diperhatikan dengan baik.

7.8. Pemimpin dalam perubahan organisasi


Peran pemimpin dalam suatu perubahan tidak dapat diragukan lagi, hal ini karena
pemimpin adalah lebih dari sekedar individu/pekerja yang berperan pada posisinya tetapi
merupakan suatu proses dimana ia harus mengambil inisiatif yang dapat mengakomodasi
semua pemangku kepentingan (stakeholders) (Randall & Coakley, 2007). Tobias (1995)
lebih lanjut menyatakan bahwa pemimpin berpengaruh terhadap kinerja organisasi dan
efektivitas perubahan organisasi (Tobias, 1995; Fulan, 2008).

Bila dihubungkan dengan perannya dalam perubahan organisasi, berbagai penelitian


menyatakan sebagai berikut:
a. Dengan adanya kepemimpinan yang tepat, maka hal ini akan dapat membuat seseorang
merasa terlibat dalam perubahan yang dilakukan organisasi (Reinhard, 2007).
b. Pemimpin dianggap dapat mengarahkan individu dan organisasi untuk mencapai
perubahan organisasi yang telah direncanakan (Chew dkk, 2006; Hawkins, 2005).
c. Keberadaan pemimpin di dalam sebuah organisasi merupakan motor penggerak yang
menentukan laju perusahaan (Robbins & Judge, 2007).
d. Pemimpin dalam perubahan organisasi seringkali dianggap menjadi faktor penentu
keberhasilan (Gill, 2003),
e. Pemimpin dianggap bertanggung jawab terhadap keberhasilan perubahan organisasi dan
berperan sebagai sebagai Change Agent (Ahn, Adamson, & Donsbusch, 2004; Nannus
1992),
f. Pemimpin dianggap dapat mengarahkan dan mencapai keberhasilan perubahan
organisasi (Jones, 2011). Untuk itu, sebagai seorang pemimpin dan agen perubahan, ia
diharapkan dapat memberikan pengaruh yang lebih besar kepada orang lain, dan
melalui pengaruhnya tersebut, pemimpin dapat mengarahkan, mendorong dan
menguatkan yang dipimpinnya untuk memunculkan perilaku yang efektif dalam
organisasi (Gibson et al., 2012).

Disamping itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa peran pemimpin puncak


penting dalam terciptanya suatu perubahan, baik ia bertindak sebagai penggagas, coach,
maupun pendukung utama dari perubahan tersebut (Randall, L & Coakley L, 2007;
Quackenbush, 2009; Fahy Rodc, 2009; Hawk, 2005; Musteen dkk, 2010), karena dengan
komitmen dari pemimpin puncak maka proses perubahan akan menjadi lebih optimal (Belt,
2007). Peran pemimpin dalam suatu perubahan tidak dapat diragukan lagi, hal ini karena
pemimpin adalah lebih dari sekedar individu atau karyawan yang berperan pada posisinya
tetapi merupakan suatu proses dimana ia harus mengambil inisiatif yang dapat
mengakomodasi semua pemangku kepentingan (stakeholders) (Randall & Coakley, 2007).
Tobias (1995) lebih lanjut menyatakan bahwa pemimpin berpengaruh terhadap kinerja
organisasi dan efektivitas perubahan organisasi (Tobias, 1995; Fulan, 2008).
Kepemimpinan dan sikap pemimpin memiliki dampak yang besar terhadap sikap pegawai
(Antoni, 2004), sehingga dukungan pemimpin maupun kepemimpinannya pada saat
terdapat perubahan organisasi merupakan faktor yang penting dalam terciptanya suatu
perubahan yang efektif (Roda, 2007).

7.9. Penutup
Dalam usaha untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan eksternal, kompetitor maupun
tuntutan internal, setiap organisasi baik profit maupun nirlaba, harus melakukan
perubahan, dan perubahan yang dicanangkan tersebut harus berhasil. Meskipun demikian,
pada prakteknya tidak semua perogram perubahan organisasi berjalan dengan mulus dan
berhasil, banyak aspek yang harus diperhatikan. Untuk itu, dengan mengetahui prinsip dari
perubahan organisasi, serta langkah-langkah yang perlu dilakukan, dharapkan perubahan
organisasi dapat dilakukan secara efektif dan optimal.

Daftar Pustaka

Ahn, M. J., Adamson, J. S. A., & Dornbusch, D. (2004). From leaders to leadership:
Managing change. Journal of Leadership and Organizational Studies, 10(4), 112-
123.
Antoni, C. H. (2004), Research Note: A motivational perspective on change processes and
outcomes. European Journal of Work and organizational Psychology, 13, 197-
216.
Belt, J. L. N. (1997). An Evaluation Study of Fortune 500 Organizational Change
Program, Limited Publication, Dissertation, Graduate School of Education and
Psychology, Pepperdine University.
Chew, M. M. M., Cheng, J. S. L., & Petrovic-Lazarevic, S. (2006). Managers’ Role in
implementing organizational change: Case of the restaurant industry in Melbourne.
Journal of Global Business and Technology, 2(1).
Fahy R. T. (2009). Executive Coaching as an Accelerator for Whole System
Organizational Change. Dissertation. Benedictine University, USA.
Firth, David (1999). Smart Things to Know about Change USA: Capstone Publishing Ltd.
Fullan, Michael (2008). The Six Secrets of Change, What the Best Leaders Do to Help
Their Organization Survive and Thrive. USA: Jossey-Bass.
Gibson, J. L., Ivancevich, J. M., & Donnely, J. H. (2012). Organizations: Behavior,
Structure, Processes (14th ed.). USA: Mc Graw-Hill.
Hawkins, A. (2005), Leaders as Facilitators of organizational Learning, Dissertation,
School of Leadership Studies, Regent University, February 2005.
Heifetz, Michael L., (1995). Leading Change Overcoming Chaos, S. Abdul Majeed & Co.,
Malaysia.
Herold, D. M. & Fedor, D. B. (2008). Change the way you lead change: Leadership
strategies that really work. Stanford, California: Stanford University Press.
Jones, David C. (2011). The Role of Servant Leadership in Establishing a Participative
Business Culture Focused on Profitability, Employee Satisfaction and
Empowerment. Dissertation. Limited Publication. Walden University.
Kotter, John P. (1996). Leading Change. Boston: Harvard Business Scholl Press.
Liu, Y. (2010). When Change Leadership Impacts Commitment to Change and When it
Doesn’t: A Multi-dimensional Investigation. Dissertation. Limited publication.
USA: Georgia Institute of Technology.
Musteen, Martina, Barker III, Vincent L., Baeten, Virginia (2010). The Influence of CEO
tenure and attitude toward change on organizational approaches to innovation. The
Journal of Applied Behavioral Science, 46, 360, 2010.
Nannus, B. (1992). Visionary Leadership. San Fransisco, California: Jossey-Bass Inc.
Quackenbush, Jennifer Suarez (2009). A Qualitative Analysis of leadership Style and The
selection of Quality Improvement in Primary Care Practice, Dissertation The
University of Texas School of Public health, Houston Texas.
Randall, L. & Coakley L. (2007). Applying adaptive leadership to successful change
initiatives in academia. Leadership and Organization Development Journal, 28(4),
225 – 235.
Reinhard, Tess (2007). A Grounded Theory Investigation of Change Leadership During
Turbulent Times. Limited Publication. A Dissertation, Northern Illinois University.
USA.
Robbins, S. P., & Judge (2007). Organizational Behaviour, (11th Ed). New York: John
Wiley and Sons.
Roda, Julianne (2007). A Multi-Level Examination of Employee Reactions to
Organizational Change, A Dissertation, Department of Psychology College of
Liberal Arts and Sciences, De Paul University, Chicago University, Chicago,
Illinois.
Tobias, B.A. (1993). An Evaluation of Culture Change: An Organization Development and
Action Research Approach, Limited Publication, Dissertation Paper. Walden
University.
Wilson, Terry (1994). A Manual for Change, Gower England.
GLOSSARY

A
Adopsi (adoption): Tahapan yang terjadi ketika anggota organisasi mengubah sikap dan
perilaku agar sesuai dengan harapan perubahan.
Aktif dan menerima perubahan : Sikap yang ditampilkan individu dengan cara menerima
perubahan yang terjadi di organisasi, serta sikap penerimaannya tersebut
ditampilkan secara terbuka dan aktif dalam mendukung dan menunjang adanya
perubahan.
Aktif dan menolak perubahan: Sikap yang ditampilkan individu dengan cara menolak
perubahan, dan penolakannya tersebut ditampilkan secara aktif dan terbuka.
B
Berpartisipasi pada perubahan (participating change): Dimensi perubahan yang
mencerminkan tindakan individu yang mendukung keberhasilan implementasi
perubahan organisasi, dengan cara melakukan berbagai usaha untuk mencapai
keberhasilan tersebut.
D
Demografi: Faktor demografis, seperti pendidikan dan posisi jabatan berhubungan dengan
tingkat kesiapan untuk berubah pada karyawan
Depresi (depression): Rasa tidak berdaya dalam menghadapi situasi dan kondisi yang ada,
akhirnya akan membuat seseorang menjadi merasa tertekan dan depresi. Hal ini
disebabkan karena orang tersebut merasa tidak mampu mengatasi dan menghadapi
perubahan yang ada.
Dukungan atasan (pemimpin) : Sikap pemimpin dalam perubahan organisasi yang dapat
memunculkan komitmen dan perilaku dalam menghadapi tantangan pada
perubahan organisasi.
Dukungan atasan (principal support) : Dukungan atasan merupakan perasaan dimana
seseorang merasa bahwa kepemimpinannya berkomitmen dan mendukung proses
perubahan yang sedang terjadi
Dukungan manajemen (management support) : Pemimpin dan pihak manajemen dalam
organisasi ikut memberikan dukungan dan komitmen yang mengarahkan
pelaksanaan perubahan.
Dukungan organisasi (perceived organizational support) : Persepsi karyawan bahwa
organisasi peduli, menghargai, dan mendukung mereka.
F
Focus Group : Sarana yang bisa digunakan oleh pendidik dalam menghasilkan informasi
yang berarti untuk kemajuan suatu program, komunitas, dan organisasi.
Fokus terhadap manusia (FM): sikap seseorang terhadap perubahan yang cenderung untuk
membela orang lain dengan berlandaskan pada aspek emosi.
Force field analysis : Sesi mengungkapkan pendapat yang digunakan untuk menganalisis
faktor-faktor apa saja yang mendorong untuk dilakukan perubahan serta
mengidentifikasikan hambatan untuk melakukan perubahan.
G
Globalisasi: Salah satu sumber eksternal perubahan yang jenisnya antara lain persaingan
pasar, tenaga kerja, sumber daya, pengaruh dampak peraturan dan kondisi luar
negeri.
H
Harga diri (self esteem) : Karakteristik yang terkait dengan konsep individual mengenai
kompetensi dan seberapa berharganya dirinya
I
Institusionalisasi (institutionalization): Tahapan yang terjadi ketika perubahan menjadi
sebuah bagian yang menetap dari perilaku karyawan.
Integrasi (integration): Tahap dimana seseorang telah melakukan berbagai kegiatan dan
perilaku yang tujuannya adalah mengintegrasikan sikap dan perbuatannya dengan
perubahan yang dilakukan organisasi.
Internalisasi (internalizing): Tahap dimana seseorang mulai melakukan internalisasi dari
perubahan yang terdapat di organisasi, dan menerimanya karena perubahan tersebut
dianggap sudah sesuai dengan kebutuhan maupun nilai-nilai yang dianutnya.
K
Karakteristik individu: Perbedaan individu yang dapat mempengaruhi reaksi terhadap
perubahan dan berdampak pada komitmen karyawan terhadap perubahan.
Keadilan organisasi (organizational justice): Persepsi keadilan organisasi yang memiliki
hubungan positif dan signifikan dengan komitmen afektif perubahan.
Keadilan organisasi (organizational justice): Persepsi anggota organisasi mengenai
keadilan organisasi yang dapat mempengaruhi komitmen perubahan dari anggota
organisasi tersebut.
Keadilan prosedural (procedural justice): Keadilan dalam proses pengambilan keputusan
yang dirasakan oleh karyawan terhadap atasannya.
Keikutsertaan dalam pengambilan keputusan (participative decision making): Sejauh mana
anggota organisasi dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Kepemimpinan perubahan (change leadership) : Konsep kepemimpinan pada masa
perubahan organisasi.
Kepentingan pribadi (personal valence): Dimensi perubahan dimana bahwa anggota dan
target perubahan akan melihat dampak negatif dan positif dan hasil terhadapp
perubahan baik bagi perusahaan maupun bagi dirinya sendiri.
Kepercayaan diri terhadap Kemampuan untuk Berubah (change efficacy): Dimensi
kesiapan untuk berubah dimana individu memerlukan alasan bahwa ia akan dapat
menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya yang berhubungan dengan
perubahan yang terjadi.
Kesesuaian dengan kepentingan pribadi (personal valence, self-preserverance): Faktor
yang mempengaruhi komitmen perubahan dimana individu akan melihat dampak
negatif dan positif dari hasil perubahan baik bagi organisasi maupun bagi dirinya
sendiri.
Kesiapan (readiness): Tahapan perubahan yang terjadi ketika lingkungan, struktur, dan
sikap anggota organisasi menerima/menolak perubahan organisasi yang akan
dilakukan.
Kesiapan untuk berubah: Kesiapan mental, psikologis, ataupun fisik dari individu untuk
bepartisipasi dalam kegiatan pengembangan organisasi.
Kesuksesan implementasi perubahan: Hasil utama dari komitmen anggota organisasi
terhadap strategi yang ditetapkan.
Ketepatan untuk melakukan perubahan (appropriateness): Dimensi kesiapan individu
untuk berubah yang memerlukan alasan yang logis mengenai kenapa dirinya harus
berubah.
Keuntungan organisasi (organizational valence): Perasaan seseorang mengenai sejauh
mana organisasi akan mendapatkan keuntungan dari implementasi perubahan yang
ada
Keyakinan (efficacy): Keyakinan terhadap kemampuan seseorang untuk mencapai suatu
sukses
Keyakinan terhadap perubahan (efficacy): Sejauh mana seseorang merasa memiliki
keterampilan dan mampu melaksanakan tugas yang berhubungan dengan
pencapaian perubahan di masa depan.
Komitmen afektif perubahan: Suatu keinginan untuk memberikan dukungan terhadap
perubahan yang dilandasi pada kepercayaan bahwa perubahan memiliki manfaat
atau perubahan adalah merupakan hal yang baik.
Komitmen kontinuans perubahan : Suatu kesadaran akan terdapatnya biaya yang
dihubungkan dengan tidak berpartisipasinya anggota organisasi dalam memberikan
dukungan terhadap perubahan.
Komitmen normatif perubahan : suatu komitmen yang terjadi karena adanya perasaan
wajib pada individu dalam memberikan dukungan terhadap perubahan.
Komitmen organisasi (organizational commitment): Faktor yang memiliki hubungan yang
positif dan signifikan terhadap komitmen perubahan organisasi.
Komitmen organisasi : Faktor individu yang mempengaruhi keterlibatan dalam perubahan
serta memiliki konsistensi tingkah laku dengan tujuan organisasi.
Komitmen perubahan: Dorongan yang mengikat seseorang untuk melakukan tindakan
yang dianggap sangat penting untuk kesuksesan implementasi dari suatu inisiatif
perubahan.
Komunikasi perubahan: Bagaimana dan sejauh mana perubahan organisasi
dikomunikasikan sehingga akan mempengaruhi efektivitas perubahan organisasi.
Konteks (context): Kondisi dan lingkungan dimana karyawan bekerja.
Konten (content): Jenis atau, isi perubahan bentuk perubahan organisasi misalnya
administratif prosedural, teknologi, atau karakteristik dan struktur dan organisasi.
Kontrol negatif (KN): Sikap dan perilaku seseorang yang cenderung kurang mau
melakukan perubahan, dan ditampilkan dengan sikap yang emosinal.
Kredibilitas manajemen (management credibility) : Persepsi karyawan mengenai
konsistensi antara apa yang manajemen ucapkan dengan apa yang manajemen
lakukan.
L
Leader-Member Exchange : Hubungan yang dimiliki karyawan dengan atasannya.
Locus of Control : Pusat kondisi yang terdapat dalam diri manusia, pada umumnya terbagi
kedalam External Locus of Control (pusat kondisi eksternal) dan Internal Locus of
Control (pusat kondisi Internal)
Logika Rasional (LR) : Sikap seseorang yang cenderung untuk berlandaskan pada aspek
logika dan rasional dalam bersikap dan bertindak.
M
Mampu tetapi tidak mau untuk berubah (able but unwilling to change): Jenis karakteristik
yang menunjukkan seseorang yang mampu untuk berubah tetapi tidak mau
melakukan perubahan. Kombinasi dari kedua faktor ini berhubungan dengan issue
resistensi terhadap perubahan.
Manfaat bagi individu (personal valence): Dimensi kesiapan untuk berubah dimana
Individu merasakan bahwa dirinya akan mendapatkan manfaat yang positif dari
pelaksanaan perubahan prospektif yang dilakukan oleh diri sendiri dan pihak
organisasi.
Marah (anger): Respon seseorang terhadap perubahan yang dilakukan setelah melakukan
tawar menawar tidak berhasil, tetapi perubahan akan tetap dilakukan, maka
individu menjadi marah terhadap manajemen maupun terhadap kondisi dan situasi
yang ada.
Masalah pribadi : Ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui, ketakutan akan kehilangan
sesuatu yang berharga, enggan untuk mencoba hal-hal baru, ketakutan akan
kegagalan, tidak melihat adanya keuntungan.
Mau dan mampu untuk berubah (both willing and able to change): Jenis karakteristik yang
menunjukkan individu mau dan mampu untuk berubah, Kombinasi kedua faktor
ini, sangat berhubungan dengan kesiapan untuk berubah.
Mau tetapi tidak mampu untuk berubah, (willing but unable to change) : Jenis karakteristik
yang menunjukkan seseorang ingin untuk berubah, tetapi tidak dapat melakukan
perubahan tersebut, yang disebabkan oleh berbagai faktor.
Melakukan negosiasi: kegiatan berkomunikasi seseorang yang tugasnya untuk membahas
bersama mengenai sesuatu yang belum menjadi kesepakatan bersama untuk
mencapai kesepakatan bersama.
Membangun perubahan: Tahapan mengelola perubahan dengan cara meningkatkan
program perubahan agar dapat mencapai tujuan jangka panjang.
Membentuk koalisasi yang kuat: Meyakinkan pegawai bahwa perubahan itu penting adalah
suatu kegiatan yang diperlukan.
Mempromosikan perubahan (Promoting Change): Sikap yang menunjukkan dukungan
terhadap perubahan organisasi yang dilakukan, dengan cara mempromosikan
perubahan terhadap orang lain.
Menciptakan tujuan jangka pendek: Menyusun tujuan dan sasaran yang akan dicapai agar
memotivasi dan meningkatkan semangat tim.
Menciptakan urgensi: Berusaha untuk menciptakan bahwa seluruh organisasi
menginginkan perubahan agar memotivasi semua orang terlibat pada perubahan.
Menciptakan visi perubahan: Menyusun visi perubahan yang akan dicapai untuk dapat
menciptakan perubahan yang berhasil.
Mengaitkan perubahan dengan budaya organisasi: Tahap terakhir pengelolaan perubahan
dengan cara menghubungkan perubahan dengan nilai-nilai organisasi yang
diungkapkan pada perilaku sehari-hari.
Mengevaluasi hasil: Langkah terakhir dari suatu perubahan. Apa ada yang perlu dirubah
atau direvisi dari proses perubahan tersebut.
Menghilangkan hambatan: Merencanakan perubahan yang akan dilakukan,
mengidentifikasi apa kira-kira yang akan menjadi kendala dari perubahan, serta
berusaha untuk menghilangkan hambatan tersebut.
Mengidentifikasi kebutuhan untuk berubah: Langkah yang dilakukan dalam meengelola
perubahan dengan cara mengidentifikasi adanya kebutuhan untuk dilakukan suatu
perubahan.
Mengimplementasikan perubahan: Mengubah perilaku, sistem, dan sikap, memelihara
kesadaran individu, bekerja sesuai dengan apa yang dapat dikerjakan.
Mengkomunikasikan visi: Mensosialisasikan dan mengkomunikasikan mengenai
perubahan organisasi dengan jelas sehingga karyawan dapat memahami perubahan.
Meningkatkan kooperasi/kerjasama: Salah satu jenis reaksi efektif seseorang yang
menerima perubahan dan menunjukkan sikap mendukungnya dengan cara
bekerjasama dengan semua yang terlibat dalam proses perubahan tersebut.
Menolak perubahan (resisting change): dimensi perubahan yang mencerminkan respon
atau sikap individu yang menolak perubahan yang ditunjukkan dengan adanya
sikap negatif terhadap perubahan organisasi.
Menyadari konteks organisasi: Menyadari akan kejadian di lingkungan sekitar untuk
menentukan visi manajemen dan organisasi di masa yang akan datang.
Merencanakan perubahan: Membuat perencanaan perubahan yang akan dilakukan dengan
cara meningkatkan kesadaran akan kondisi organisasi secara keseluruhan.
P
Pasif dan menerima perubahan: Sikap yang ditampilkan individu dengan cara menerima
perubahan yang terjadi di organisasi, tetapi sikap penerimaannya tersebut tidak
ditampilkan secara terbuka, dan cenderung pasif dalam menerima perubahan.
Pasif dan menolak perubahan: Sikap yang ditampilkan individu dengan cara menolak
perubahan, tetapi penolakannya tersebut tidak ditampilkan secara terbuka, tetapi
lebih cenderung dalam bentuk pasif, atau biasa disebut dengan pasif-agresif.
Pemimpin dalam perubahan organisasi: Lebih dari sekedar individu/pekerja yang berperan
pada posisinya tetapi merupakan suatu proses dimana ia harus mengambil inisiatif
yang dapat mengakomodasi semua pemangku kepentingan (stakeholders).
Penerimaan: Persepsi positif atau persepsi negatif terhadap perubahan.
Pengembangan kontinyu: Pengembangan terus menerus yang biasanya menuntut perhatian
dari mereka yang terdapat pada departemen atau bagian dimana perubahan tersebut
dilakukan.
Perbedaan (discrepancy): Berhubungan dengan perasaan seseorang terhadap sejauh mana
perubahaan perlu dilakukan dengan ada atau tidaknya alasan dan kebutuhan untuk
masa depan.
Percaya pada diri sendiri (Self-Efficacy): keyakinan individu bahwa ia mampu untuk
menghadapi tingkah laku perubahan spesifik yang diharapkan sepanjang waktu.
Percobaan (testing): Tahap dimana seseorang berusaha mengetes dan mencoba perubahan
yang ada, dengan sikap yang tidak lagi melakukan penolakan, tetapi belum sampai
pada tahap penerimaan sepenuhnya.
Perilaku komitmen discretionary (discretionary commitment-relevant behaviour): Perilaku
yang dapat terjadi akibat adanya sikap kesukarelaan dari diri anggota organisasi,
termasuk dalam jenis perilaku ini adalah kerjasama (cooperation) dan
championing.
Perilaku komitmen fokal (focal commitment-relevant behaviour): Perilaku yang terjadi
karena individu memiliki komitmen terhadap perubahan, antara lain adalah
kepatuhan terhadap syarat eksplisit yang dibutuhkan dalam perubahan yang sedang
berjalan.
Persiapan: Tahap kesiapan terhadap perubahan dimana bangkitnya kesadaran mengenai
pentingnya perubahan (change awareness).
Perubahan adaptif: Perubahan dengan derajat kompleksitas, biaya, dan ketidakpastian yang
paling rendah dibandingkan dua jenis perubahan lain.
Perubahan inovatif: Jenis perubahan dengan derajat kompleksitas, biaya, dan
ketidakpastian yang menengah. Perubahan ini dilihat sebagai perubahan dalam
skala kecil dan terbatas pada individu atau proyek perubahan lokal
Perubahan itu sendiri: Salah satu sumber penolakan karena tidak adanya kejelasan arah
perubahan, perbedaan persepsi tentang kebutuhan untuk berubah, kurangnya
kepercayaan bahwa tujuan dapat tercapai, perubahan yang diusulkan tidak
menunjukkan adanya kemajuan.
Perubahan organisasi: Suatu proses yang terdiri dari berbagai aktivitas yang direncanakan
serta berkelanjutan dengan tujuan untuk mencapai efektivitas organisasi.
Perubahan radikal: Perubahan dengan derajat kompleksitas, biaya, dan ketidakpastian yang
paling tinggi. Perubahan dalam skala besar yang membutuhkan transformasi
organisasi secara lebih luas.
Perubahan terencana: Muncul ketika agen perubahan memiliki tujuan untuk menanamkan
prosedur yang baru yang biasanya dilakukan dengan alasan kebutuhan akan
perubahan sesuai dengan lingkungan yang juga berubah atau untuk mencapai
peluang bisnis
Perubahan tidak terencana: Tindakan yang merupakan respons terhadap lingkungan, dan
tindakan tersebut dipertimbangkan sebagai solusi dan masalah yang belum dapat
diprediksi
Perubahan yang bersifat evolusi: Perubahan yang menuntut adanya perbaikan dan
pengembangan, dan dilakukannya secara bertahap.
Perubahan yang bersifat revousioner: Berskala besar dan menuntut adanya perubahan
sistem secara total.
Perubahan yang bersifat transfomasional: Perubahan yang menuntut adanya perhatian yang
besar dari seluruh anggota organisasi.
Positif dan kreatif (PK): Sikap seseorang yang cenderung untuk melihat perubahan secara
positif dan berusaha untuk menerima serta berperan pada perubahan tersebut.
Positive and Negative Affectivity: Kecenderungan seseorang untuk memiliki pandangan
terhadap dunia dan membuat dirinya apakah menjadi lebih percaya diri, enerjik,
serta menjadi orang yang menyenangkan sepanjang waktu atau justru tertekan dan
kurang memiliki kemampuan dalam mengatasi perubahan.
Prinsip dalam mengelola perubahan: Perubahan tersebut benar-benar diinginkan, adanya
penanggung jawab, realistis, mengetahui kendala yang dihadapi, memiliki sikap
positif, adanya sikap optimistik, bersyukur
Prinsip penolakan: Merupakan bagian dari proses transisi, pada umumnya tidak disadari,
tidak/kurang adanya informasi.
Prosedur perubahan: Salah satu sumber penolakan karena tidak/kurang adanya partisipasi,
tidak/kurang/salah informasi, waktu yang kurang tepat, proses yang terlalu cepat,
tidak ada persetujuan dan komitmen tentang tujuan untuk berubah.
Proses: Tahapan dalam mengimplementasikan perubahan dimana tingkat partisipasi setiap
karyawan dapat berbeda pada setiap tahap. Proses perubahan juga mencakup
bagaimana perubahan tersebut dilakukan
R
Reaksi dan perilaku penolakan: Dibagi ke dalam beberapa kategori; tertutup, terbuka, tidak
disadari, disadari.
Restrukturisasi organisasi: Salah satu usaha pengembangan organisasi yang dilakukan
dengan cara melakukan perubahan sruktur organisasi.

S
Sinisme terhadap perubahan: Hilangnya kepercayaan terhadap atasan, hasil dan sejarah
perubahan organisasi yang tidak berbasil, serta kecenderungan untuk melihat
sesuatu dengan sudut pandang
Sistem dan proses perubahan: Bagaimana perubahan disosialisasikan dan dikomunikasikan
pada seluruh organisasi sehingga mempengaruhi efektivitas perubahan organisasi.
Sistem manajemen dan iklim organisasi: Salah satu sumber penolakan karena kurang
adanya keyakinan & kepercayaan pada manajemen, kurang adanya model perilaku,
faktor sejarah yang kurang mendukung, hambatan yang disebabkan karena iklim
dan budaya organisasi.
Sumber penolakan perubahan: Masalah pribadi, perubahan itu sendiri, prosedur perubahan,
sistem manajemen dan iklim organisasi.
T
Tahapan dalam kesiapan individu pada perubahan: Tahapan yang terdapat dalam kesiapan
individu untuk berubah yang terdiri dari persiapan, penerimaan, dan komitmen.
Tahapan mengelola perubahan: Menciptakan urgensi, membentuk koalisasi yang kuat,
menciptakan visi perubahan, mengkomunikasikan visi, menghilangkan hambatan,
menciptakan tujuan jangka pendek, membangun perubahan, mengaitkan perubahan
dengan budaya organisasi
Tantangan dan kendala dalam perubahan organisasi: Tantangan yang dihadapi dalam
perubahan organisasi terdiri dari faktor sistem dan proses perubahan, sumberdaya
manusia, sistem dan lingkungan organisasi.
Tawar menawar (bargaining): Respon seseorang yang melihat bahwa perubahan
merupakan suatu ancaman, sehingga reaksi yang dilakukannya adalah dengan cara
untuk menghindar dan menolak serta melakukan berbagai perbuatan yang
tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya perubahan.
Terkejut dan menolak (shock and denial): Respon pertama yang muncul pada diri
seseorang mengenai perubahan yang tidak diinginkan adalah ketidak percayaan,
dan keterkejutan.
Tidak mau dan tidak mampu untuk berubah, (both unwilling and unable to change): Jenis
karakteristik seseorang yang tidak mau serta tidak mampu untuk berubah.
W
Whole system atau whole scale change: Perubahan yang melibatkan serta berdampak pada
keselutuhan organisasi.
INDEKS KATA

A
Adopsi (adoption)
Aktif dan menerima perubahan
Aktif dan menolak perubahan
B
Bentuk-bentuk penolakan terhadap perubahan,
Berpartisipasi pada perubahan (participating change)
Bersyukur,
C
Cara mengukur kesiapan untuk berubah
Ciri-ciri sikap dalam menghadapi perubahan
D
Dampak komitmen perubahan
Demografi
Depresi (depression)
Dimensi kesiapan individu untuk berubah
Dimensi komitmen perubahan
Dukungan atasan (principal support)
Dukungan manajemen (management support)
E
Enggan untuk mencoba hal-hal baru
External locus of control
F
Faktor individu
Faktor organisasi
Faktor pendorong terjadinya perubahan organisasi
Faktor sejarah yang kurang mendukung
Faktor yang mempengaruhi komitmen perubahan
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas perubahan organisasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan individu untuk berubah
Focus group discussion
Fokus terhadap manusia (FM)
Force Field Analysis
G
Globalisasi
H
Harga diri (Self esteem)
Hubungan atasan dan bawahan
I
Institusionalisasi (Institutionalization)
Integrasi (Integration)
Internal locus of control
Internalisasi (Internalizing)
J
Jenis-jenis reaksi terhadap perubahan
K
Karakteristik individu
Karakteristik tenaga kerja
Keadilan organisasi (Organizational justice)
Keadilan prosedural (Procedural justice)
Kebutuhan untuk berkembang,
Kebutuhan untuk berubah
Keikutsertaan dalam pengambilan keputusan
Keinginan versus kemampuan untuk berubah
Kekuasaan, faktor sosial dan politik,
Kepemimpinan perubahan (change leadership)
Kepemimpinan
Kepentingan pribadi (personal valence)
Kepercayaan diri terhadap kemampuan untuk berubah (change efficacy)
Kepercayaan terhadap manajemen/organisasi (trust in management)
Kesesuaian dengan kepentingan pribadi (personal valence, self-preserverance)
Kesesuaian dengan visi dan pentingnya strategi
Kesiapan (readiness)
Kesiapan individu untuk berubah (IRFC)
Kesiapan untuk berubah
Kesuksesan implementasi perubahan
Ketakutan akan kegagalan
Ketakutan akan kehilangan sesuatu yang berharga
Ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui
Ketepatan untuk melakukan perubahan (appropriateness)
Keterikatan emosional pekerja
Keuntungan organisasi (organizational valence)
Keyakinan (efficacy)
Kepuasan kerja
Komitmen afektif terhadap perubahan
Komitmen kontinuans perubahan
Komitmen normatif perubahan
Komitmen organisasi (organizational commitment)
Komitmen perubahan
Kompetisi,
Komunikasi perubahan
Kondisi sumber daya manusia,
Konteks (Context)
Konten (Content- isi perubahan)
Kontrol negatif (KN)
Kredibilitas manajemen (management credibility)
Kurang adanya keyakinan & kepercayaan pada manajemen
Kurang adanya model perilaku
Kurangnya kepercayaan bahwa tujuan dapat tercapai
L
Leader-member exchange
Lingkungan yang mendorong perubahan
Locus of control
Logika rasional (LR)
M
Mampu tetapi tidak mau untuk berubah
Manfaat bagi individu (personal valence)
Manfaat komitmen perubahan
Manfaat yang diperoleh dalam mengatasi penolakan
Marah (anger)
Masalah pribadi
Mau dan mampu untuk berubah
Mau tetapi tidak mampu untuk berubah
Melakukan negosiasi
Memaksakan kehendak
Membentuk koalisasi yang kuat
Memberikan bantuan/dukungan
Memberikan berbagai macam alasan penolakan
Memfasilitasi pembelajaran individual
Memilih target dan menentukan tujuan
Memiliki sikap positif
Mempengaruhi orang lain
Mempercepat perubahan organisasi
Mempertahankan diri
Mempertanyakan teori, pendekatan, dan metode
Mempromosikan perubahan (promoting change)
Menciptakan tujuan jangka pendek
Menciptakan urgensi
Menciptakan visi perubahan
Mengelola penolakan perubahan
Mengelola perubahan
Mengetahui kendala yang dihadapi
Mengevaluasi hasil
Menghilangkan hambatan
Mengidentifikasi kebutuhan untuk berubah
Mengimplementasikan perubahan
Mengkomunikasikan visi
Meningkatkan kinerja
Meningkatkan kooperasi/kerjasama
Menolak adanya masalah
Menolak perubahan (resisting change)
Menyadari konteks organisasi
Merencanakan perubahan
Motivasi dan dukungan
Motivasi kerja dan otonomi peran
O
Observasi
Operasional
P
Pasif dan menerima perubahan
Pasif dan menolak perubahan
Pasif, diam dan mengacuhkan rencana perubahan
Pemimpin dalam perubahan organisasi
Pemimpin sebagai agen perubahan
Penelitian sikap dan reaksi terhadap perubahan
Penelitian penolakan perubahan
Penerimaan (acceptance)
Pengembangan kontinyu
Pengembangan organisasi (organizational development)
Peningkatan performa organisasi
Penolakan terhadap perubahan
Penolakan/resistensi terhadap perubahan
Peran kepercayaan organisasi pada perubahan organisasi
Perbedaan (discrepancy)
Perbedaan persepsi tentang kebutuhan untuk berubah
Percaya pada diri sendiri (self efficacy)
Perilaku komitmen discretionary
Perilaku komitmen fokal
Persepsi Dukungan organisasi (perceived organizational support)
Perubahan adaptif
Perubahan budaya organisasi
Perubahan ekonomi
Perubahan inovatif
Perubahan organisasi
Perubahan radikal
Perubahan terencana
Perubahan tidak terencana,
Perubahan transformasi,
Perubahan revolusi vs evolusi,
Piramida penolakan,
Positif dan kreatif (PK),
Positive and negative affectivity,
Prinsip dalam mengelola perubahan,
Prinsip penolakan,
Prosedur perubahan,
Proses perubahan,
Proses transisi,
R
Reaksi dan perilaku penolakan,
Reaksi efektif dalam menghadapi perubahan,
Realistis,
Restrukturisasi organisasi,
S
Sikap dan reaksi terhadap perubahan,
Sinisme terhadap perubahan,
Sistem dan lingkungan organisasi,
Sistem dan proses perubahan,
Sistem manajemen dan iklim organisasi,
Sistem total vs lokal,
Strategi baru,
Strategik,
Sumber eksternal perubahan organisasi,
Sumber internal perubahan organisasi,
Sumber penolakan perubahan,
Sumberdaya manusia,
T
Tahapan dalam kesiapan individu pada perubahan,
Tahapan mengelola perubahan,
Tahapan proses perubahan organisasi,
Tahapan reaksi individu dalam proses perubahan organisasi,
Tantangan dan antisipasi kendala dalam perubahan organisasi,
Tawar menawar (bargaining),
Teknologi dan inovasi,
Terbuka,
Terkejut dan menolak
Tertutup,
Tidak ada persetujuan dan komitmen tentang tujuan untuk berubah,
Tidak adanya kejelasan arah perubahan,
Tidak dapat,
Tidak disadari,
Tidak mau dan tidak mampu untuk berubah
Tidak melihat adanya keuntungan,
Tidak mengetahui,
Tidak/kurang adanya partisipasi,
Tidak/kurang informasi,
Tidak/kurang/salah informasi,
Tindakan untuk mengatasi penolakan,
Tren atau mode baru,
Tujuan,
V
Visi, misi, filosofi baru,
W
Wawancara,
Workplace well-being,
INDEKS NAMA

A
Adamson,
Ahn,
Akin,
Allen,
Amburgey,
Anderson,
Anderson, B.,
Antoni,
Ariyantiwi,
Armenakis,
Armenakis, A. A.,
Ashkanasy,
B
Banans, J. T.,
Belt,
Benwell,
Bernerth,
Blanco, K.,
Bolero,
Bouckenooghe,
Bove, L.,
Breu,
Buelen,
Burke,
C
Caldwell, S. D.,
Cawsey,
Cawsey, T. F.,
Chawla,
Chew,
Clark,
Clarke,
Clarkson,
Coakley L.,
Cobb,
Coopersmith,
Cordery.,
Cummingham,
Cummings,
D
Daif, Khalid,
Damonpour;
David M.,
Delavigne,
Deszca, G.,
Devos, T.,
Donald,
Donsbusch,
Drucker,
Dunford,
Dunn, R.,
E
Eby,
Edwards, Martin, R.,
F
Fahy Rodc,
Fedor, D. B.,
Field,
Field, H. S.,
Firth,
Fuchs,
Fuchs,
Fulan,
G
Galpin, T.,
Gibson,
Gill,
Griego,
Griego, O. V.,
H
Hanpachern, C.,
Harris, S. G.,
Harvie,
Haveman,
Hawkins,
Heifetz,
Hellriegel Don,
Herold, D. M.,
Herscovitch, L.,
Holt, D. T.,
Homburg ,
Hulks,
Hultman, Ken,
I
Ingols, C.,
Irani,
J
Jick,T.D.,
John W. Jr.,
John, C. R.,
Jones, G.R.,
Judge,
K
Kahn,
Kalyal, H.J.,
Katz,
Kavanagh,
Kelloway,
Kinicki,
Kotter, John P.,
Kreitner,
L
Leiter,
Lewin,
Liu,
Liu, Yi,
M
Madsen, S. R.,
Mangundjaya, W. H.,
Marsh,
Maurer,
Meyer, J. P.,
Miller, D.,
Morgan, G. A.,
Mossholder, K. W.,
Musteen,
Myers,
N
Nannus,
P
Palmer,
Parish, J.T.,
Peiperl, M.A.,
Plant,
Price,
Pritchett,
Q
Quackenbush,
R
Randall, L.,
Rashid, H.,
Reinhard,
Rico, F.,
Rindang Ayu,
Robbins,
Robbins, S. P.,
Robertson,
Robinson,
Roda,
Russell,
S
Saha, S. K.,
Sashkin,
Schweiger,
Sebastian,
Seigyoung, A.,
Shah,
Shoemaker, M. E.,
Shum, P.,
Slocum,
Smith, Ian,
Stjernen,
Summer,
T
Timothy J. Galpin,
Tobias,
V
Vokic,
Vrooom,
W
Walker,
Wanberg, C. R.,
Weber,
Wiggins,
Wilson,
Wittenstein,
Worley,
Y
Yoga,
Yusof Norhafezah,
Z
Zhao, L.,

Anda mungkin juga menyukai