Konsep kepercayaan kepada roh nenek moyang sudah ada sejak masa prasejarah dan hingga kini
masih berlaku pada masyarakat Dayak seperti halnya pada sebagian besar suku bangsa yang masih
tinggal di pedalaman. Hampatong berkaitan dengan kematian dan leluhur, dianggap sebagai
representasi dari individu yang sudah meninggal atau secara umum dikenal sebagai figur nenek
moyang.
Patung-patung ini, dipercaya menjadi penjaga untuk melindungi masyarakat setempat dari penyakit
dan gangguan roh jahat. Figur yang menggambarkan nenek moyang ini umumnya diletakkan di pintu
masuk desa, di tepi sungai atau di depan sebelah kiri rumah Panjang (rumah adat suku dayak).
Pada masyarakat Ngaju di Kalimantan Tengah, Hampatong diletakkan di dalam rumah karena
dipercaya akan memberikan keuntungan dalam keluarga, memberi kesehatan dan hasil panen yang
melimpah. Pada masyarakat Dayak Benuaq, Hampalong biasanya menggambarkan figur manusia
yang sedang memegang ular. Patung ini digunakan pada saat upacara pengobatan yang disebut
‘balian senteu’ dalam upaya mengusir roh-roh jahat yang mengganggu orang-orang yang sakit.
Adapula Hampatong yang dibuat dengan ukuran kecil yang berfungsi sebagai jimat. Hampatong
tersebut biasanya digunakan sebagai liontin kalung yang dipercaya dapat melindungi si pemakai dari
kekuatan jahat dan melapetaka.
PANTAK
Patung Pantak merupakan karya seni yang hadir dari hasil produk budaya Suku Dayak Kanayatn.
Keberadaan patung Pantak dalam kehidupan masyarakat Suku Dayak Kanayatn merupakan tindakan
sosial masyarakat untuk mengekpresikan budaya melalui sebuah patung. Berubahnya budaya bertani
masyarakat memberikan dampak terhadap bentuk dan fungsi patung Pantak. Penelitian ini bertujuan
menganalisis dan memahami masalah bentuk dan fungsi pada patung Pantak dalam konteks
perubahan sosial budaya masyarakat Suku Dayak Kanayatn. Metode penelitian menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif. Data penelitian dikumpulkan dengan teknik pengamatan, wawancara
mendalam, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukan perubahan sosial budaya masyarakat Suku
Dayak Kanayatn dari beberapa aspek kehidupan mempengaruhi aspek yang berhubungan dengan
budaya serta orientasi nilai budayanya. Salah satu aspek kebudayaan yang dipengaruhi dengan
terjadinya perubahan sosial budaya itu adalah karya seni, termasuk disini karya seni patung. Tegasnya
bentuk dan fungsi karya seni patung Pantak Dayak Kanayatn berubah seiring dengan tejadinya
perubahan sosial budaya masyarakatnya. Tampaknya peran budayawan dan bidang pendidikan yang
sejatinya menjaga, mempertahankan serta melestarikan suatu produk budaya belum terlihat jelas,
sehingga dalam hal ini Perlu memberikan pengetahuan kepada masyarakat yang menjadi pemilik
suatu kebudayaan untuk secara bijak dalam menyikapi setiap kemajuan yang berdampak dalam
sebuah kebudayaan dan perlunya untuk memasukkan karya seni patung Pantak sebagai materi ajar
untuk memperkenalkan salah satu produk budaya dari Suku Dayak Kanayatn.
PATUNG BLONTANG
Blontang adalah patung ukir terbuat dari kayu ulin yang merupakan patung simbol
pada upacara kematian Kwangkey Suku Dayak Benuaq. Ukiran pada Blontang
biasanya berbentuk sosok manusia yang merupakan gambaran sosok yang
meninggal.
Seperti contohnya Blontang yang ditemukan di Tanjung Issuy, Kalimantan Timur,
Blontang tersebut berbentuk sosok manusia dengan wajah laki-laki yang bersedekap
tanganya di dada seperti orang meninggal.[3] Digambarkan sebagai seorang yang
mengenakan baju, ikat pinggang, celana panjangan dan sepatu. Di atas kepalanya
terdapat remaung atau harimau, sedangkan di bagian bawah kaki berpijak
pada antakng atau tempayan.
Tinggi Blontang pada umumnya antara 2,5 meter sampai dengan 3,5 meter dengan
diameter 30 cm. Patung Blontang sendiri di buat bersamaan waktunya dengan
prosesi upacara Kwangkey, sehingga ada orang yang mengatakan lamanya proses
pembuatan Blontang menjadi tolak ukur lamanya waktu upacara Kwangkey itu
sendiri.
Blontang selain menjadi simbol orang yang di upacarain juga berfungsi sebagai
tempat mengikat hewan yang akan di kurbankan pada saat acara Kwangkey
berlangsung, biasanya berupa kerbau ataupun sapi.
PATUNG BALI
Salah satu ciri khas patung Asmat adalah bentuk atau motif ukirannya. Masing-masing mengandung
keunikan dan makna tersendiri yang dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat Asmat sampai sekarang.
MOTIF MANUSIA
Motif manusia adalah salah satu motif yang paling sering diukir oleh orang Asmat dalam seni ukir
patungnya. Dari mulai patung yang menyerupai manusia hingga bagian-bagian tubuh manusia seperti alat
kelamin yang mengandung makna kesuburan, telapak tangan sebagai lambang kehidupan roh nenek
moyang, mata dan mulut yang menyatakan perhatian pada nenek moyang, hingga perut manusia yang
menyatakan kemakmuran.
MOTIF BINATANG
Orang Asmat juga kerap menggunakan binatang sebagai simbol-simbol atas kepercayaan mereka.
Misalnya sirip buaya yang melambangkan keberanian, kelelawar yang melambangkan kebaikan atau
keburukan manusia, dan burung kasuari sebagai lambang keselamatan.
Semua motif tersebut diukir sendiri oleh orang Asmat menggunakan keterampilan tangan yang seperti
sudah mendarah daging. Uniknya kebudayaan dan seni ukir patung kayu Asmat ini lah yang
menghantarkan Indonesia pernah meraih gelar juara pada pentas seni budaya internasional. Patung ukir
Asmat oleh mancanegara dianggap sebagai sesuatu yang kreatif, unik, dan tidak tertandingi. Kayu pohon
biasa yang tadinya tidak begitu bernilai bisa disulap menjadi suatu karya seni yang tinggi sekali nilainya.
Patung ukir Asmat bahkan bisa dihargai milyaran rupiah oleh dunia, dilihat dari tingkat kerumitan ukiran
dan motif yang unik serta kandungan nilai budaya di dalamnya.
Salah satu tokoh sentral dalam kebudayaan suku Asmat ialah dewa Fumeripits. Mereka percaya bahwa
Fumeripits adalah makhluk pertama yang turun dan menjelajah bumi. Ia muncul dari ufuk barat saat
tenggelamnya matahari. Dalam hikayat Sang Dewa, Fumeripits bertarung dengan seekor buaya raksasa.
Meski Fumeripits unggul, ia terluka parah dan terdampar di sebuah tepian sungai.
Nyawanya selamat berkat seekor burung Flaminggo yang merawat Sang Dewa hingga kembali pulih.
Merasa bosan paska pulih, Fumeripits membuat dua ukiran patung. Selain itu ia juga membuat genderang-
tifa yang ia tabuh tanpa henti sembari menari. Berselang kemudian, kedua ukiran patung itu pun ikut
menari dan bergerak mengikuti Fumeripits. Kedua patung tersebut adalah pasangan manusia pertama yang
menjadi nenek moyang para pemahat suku Asmat yang dikenal sebagai wow-ipits atau wow iwir.
Fumeripits juga dipercaya sebagai pencipta rumah Jeu (sebuah rumah untuk pria beranjak dewasa. Rumah
Jeu juga digunakan sebagai wadah untuk mereka berdiskusi, sebagai sanggar seni, dan perencanaan
upacara adat). Legenda Fumeripits dianggap sakral oleh Suku Asmat, salah satu suku yang terbesar di
tanah Papua. Mitos ini menjadi kebanggaan dan identitas suku Asmat bahwa mereka merupakan anak-anak
dewa.
Seni Ukir Patung Asmat
TUGAS KLIPING
PATUNG
DISUSUN
NAMA : WIRANTO
KELAS : IX - B
YAYASAN ANUGERAH
SMP SHALOM BENGKAYANG
TAHUN AJARAN 2019 / 2020