Anda di halaman 1dari 28

ASPEK MEDIKOLEGAL LESBIAN GAY BISEKSUAL DAN TRANSGENDER

Disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan senior Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

Disusun oleh :

1. Adinda Annisari 1765050030 FK UKI


2. Ardita Hartanti 22010118220032 FK UNDIP
3. Evialy Hady 112017047 FK UKRIDA
4. Nur Syifa Fikri 22010117220092 FK UNDIP
5. Qothrinnada Muslim 22010118220113 FK UNDIP
6. Ray Guardchia S 1865050011 FK UKI
7. Veronica Meidy 1765050234 FK UKI
8. Vionika Vitasari 22010117220022 FK UNDIP

Residen Pembimbing
dr Hendrik S

Dosen Pembimbing
dr Intarniati Nur Rohmah, Sp.KF,M.Si,Med(K)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP DR. KARIADI SEMARANG
Periode 17 Juni 2019 – 13 Juli 2019

LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui oleh dosen pembimbing referat dari :


Nama NIM Asal
1. Adinda Annisari 1765050030 FK UKI
2. Ardita Hartanti 22010118220032 FK UNDIP
3. Evialy Hady 112017047 FK UKRIDA
4. Nur Syifa Fikri 22010117220092 FK UNDIP
5. Qothrinnada Muslim 22010118220113 FK UNDIP
6. Ray Guardchia S 1865050011 FK UKI
7. Veronica Meidy 1765050234 FK UKI
8. Vionika Vitasari 22010117220022 FK UNDIP
Universitas : Universitas Diponegoro
Universitas Kristen Indonesia
Universitas Kristen Krida Wacana
Bagian : Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Residen Pembimbing : dr. Hendrik S
Dosen Pembimbing : dr Intarniati Nur Rohmah, Sp.KF,M.Si,Med(K)

Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal selama
di Bagian Forensik RSUP dr. Kariadi, Semarang.
Semarang, 23 Juni 2019

Dosen Penguji, Residen Pembimbing,

dr Intarniati Nur Rohmah, Sp.KF,M.Si,Med(K) dr Hendrik S

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunianya sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat
ini dengan baik.
Adapun tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memperdalam pengetahuan tentang
“Aspek Medikolegal Lesbian Gay Biseksual dan Transgender” khususnya bagi dokter-dokter
muda yang sedang menjalankan kepaniteraan klinik. Adapun tujuan lain dari penulisan referat ini
adalah untuk memenuhi tugas referat kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal di RSUP Dokter Kariadi Semarang.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dorongan dari semua pihak, maka
penulisan referat ini tidak akan sempurna. Oleh karena itu pada kesempatan ini izinkanlah penulis
menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. dr Intarniati Nur Rohmah, Sp.KF,M.Si,Med(K)
2. dr. Hendrik S selaku pembimbing referat ini yang telah memberikan waktu, kritik, dan
saran yang membangun
3. Rekan-rekan yang telah memberikan bantuan baik secara material maupun spiritual bagi
penulis.

Pada akhirnya penulis berharap penulisan referat ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan berbagai pihak pada umumnya. Demi kesempurnaan penulis dimasa yang akan
datang, penulis memohon saran dan kritik yang membangun.

Semarang, 23 Juni 2019

Tim Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi LGBT
2.2 Sejarah dan Perkembangan LGBT
2.3 Dasar ilmu kedokteran mengenai LGBT
2.4 Pandangan agama terhadap LGBT
2.5 Pandangan aspek sosial dan budaya terhadap LBGT
2.6 Dasar hukum LGBT
2.7 Peran Dokter dalam menangani LGBT
2.8 Peran Ilmu Forensik pada Kasus LGBT
BAB III PEMBAHASAN
BAB IV KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

A. Jumlah LGBT di Indonesia


Jumlah LGBT di Indonesia belum memiliki angka pasti namun demikian jumlahnya
diperkirakan meningkat setiap tahun. Kelompok lgbt merupakan kelompok populasi yang
merujuk pada kelompok – kelompok penyebar virus HIV/AIDS. Dari tabel 1
Homoseks/LGBT pengidap HIV/AIDS tahun 2016 mencapai 28.640 jiwa. Dilihat dari
angkanya mengalami peningkatan setiap tahun. Tahun 2011-2012 angkanya meningkat
sebesar 2.301 jiwa, Tahun 2012-2013 meningkat sebesar 2.616 jiwa, Tahun 2013-2014
meningkat sebesar 28.533 jiwa menjadi 22.352 jiwa, Tahun 2014-2015 meningkat sebesar
3.060 jiwa menjadi 25.412 jiwa dan tahun 2015-2016 angkanya meningkat sebesar 3.228
jiwa. Dari angka ini rata – rata pertambahannya sekitar 2.500 jiwa pertahun.
Angka jumlah Homoseks/LGBT penderita HIV AIDS ini merupakan data kondisi
real bahwa kelompok LGBT meyumbang angka tertinggi penularan HIV/AIDS, dan angka
ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam melihat jumlah LGBT di Indonesia
pertahunnya.
Tahun 2015 total jumlah penduduk Indonesia adalah 258,2 juta jiwa. Angka 3% dari
total jumlah penduduk Indonesia yang di asumsikan sebagai kelompok sebesar 7.746 jiwa.
Bedasarkan estimasi Kemenkes pada 2012, terdapat 1.095.970 LSL baik yang tampak
maupun tidak. Lebih dari lima persennya (66.180) mengidap HIV.

Tabel 1 Jumlah Infeksi HIV Pada Populasi di Indonesia Tahun 2011-2016


B. Jumlah populasi LGBT di Dunia
Temuan yang ditunjukkan dalam tabel 2 mempertimbangkan perkiraan persentase
orang dewasa yang mengidentifikasi diri sebagai lesbian, gay, atau biseksual di sembilan
survei yang dilakukan dalam tujuh tahun terakhir. Lima dari survei tersebut diserahkan di
Amerika Serikat dan yang lainnya dari Kanada, Inggris, Australia, dan Norwegia. Semua
survei berbasis populasi orang dewasa, meskipun beberapa memiliki batasan usia seperti
yang tercantum.
Persentase keseluruhan terendah berasal dari Norwegia dengan survei di 1,2%,
dengan survei nasional kesehatan seksual dan perilaku, dilakukan di Amerika Serikat,
menghasilkan perkiraan tertinggi di 5,6%. Secara umum, survei non-AS, yang bervariasi
dari 1,2% menjadi 2,1%, memperkirakan persentase yang lebih rendah dari individu yang
diidentifikasi LGB daripada survei AS, yang berkisar dari 1,7% sampai 5,6%.
Sumber data federal yang dirancang untuk memberikan taksiran populasi di
Amerika Serikat (misalnya, sensus Decennial atau survei komunitas Amerika) tidak
menyertakan pertanyaan langsung mengenai orientasi seksual atau identitas gender.
Temuan yang ditunjukkan pada gambar 1 menunjukkan bahwa tidak ada survei tunggal
yang menawarkan perkiraan definitif untuk ukuran komunitas LGBT di Amerika Serikat.
Tabel 2. Persentase orang dewasa yang mengidentifikasi sebagai lesbian, gay, atau
biseksual
Sebagai gantinya, Gambar 5 menyajikan perkiraan terpisah untuk jumlah orang
dewasa LGB dan jumlah orang dewasa transgender. Analisis menunjukkan bahwa ada
lebih dari 8 juta orang dewasa di AS yang LGB, yang terdiri 3,5% dari populasi orang
dewasa. Ini dibagi hampir merata antara lesbian/gay dan biseksual diidentifikasi individu,
1,7% dan 1,8%, masing-masing. Ada juga hampir 700.000 transgender individu di
Amerika Serikat. Mengingat Temuan ini, tampaknya masuk akal untuk menegaskan bahwa
sekitar 9.000.000 orang Amerika mengidentifikasi sebagai LGBT.

Tabel 3. Persentase dan jumlah orang dewasa yang mengidentifikasi sebagai


LGBT di Amerika Serikat

Isu mengenai LGBT saat ini sudah berada pada tatanan global, keberhasilan
penyebarannya dicapai melalui serangkaian gerakan pro-LGBT yang telah ada sejak lama.
Fenomena ini didukung dengan adanya deklarasi HAM universal (Universal Declaration of
Human Rights) pada tahun 1948, serta reformasi politik dan demokratisasi yang sering
“disalahpahami” sebagai proses liberalisasi dan kebebasan mengekspresikan diri. Secara
keseluruhan, semakin makmur dan sekuler suatu bangsa, maka semakin besar
kemungkinannya untuk merangkul hak-hak kaum LGBT. Sebaliknya, semakin miskin dan
religius suatu bangsa, maka semakin besar kemungkinannya untuk menekan kaum LGBT.
Saat ini, semakin banyak orang yang secara terbuka mengekspresikan orientasi
seksual mereka dan menuntut hak-hak mereka. Berkat kinerja para pelaku dan pendukung
pendukungnya, penerimaan hak LGBT di seluruh dunia semakin meningkat. Pemerintah di
beberapa negara mulai membuat undang-undang yang menerima LGBT serta undang-
undang anti diskriminasi, seperti Belanda, Prancis, Denmark, dan Inggris. Belanda
merupakan salah satu negara yang berhasil menjadi pelopor di Uni Eropa dalam
mempromosikan dan memperjuangkan hak-hak kaum LGBT dengan membuktikan
beberapa program yang pro terhadap kaum LGBT yang didukung oleh negara negara Uni
Eropa. belanda juga berhasil meningkatkan penerimaan sosial terhadap LGBT (Saskia,
David, 2007). Globalisasi LGBT terus meningkat, sehingga diperkirakan di tahun-tahun
mendatang, akan ada perkembangan isu utama hak-hak LGBT dalam skala global
seperti:Pemberantasan penganiayaan berdasarkan orientasi seksual; Perlindungan hukum
kaum LGBT dari kebencian dan propaganda kebencian; Hak-hak istimewa yang sama
(pernikahan, kemitraan, pengambilan keputusan medis, kehendak, pengasuhan dan adopsi);
serta sosialisasi terhadap orang lain yang cenderung homofobia dan heteroseksisme
(Subhrajit, 2014).
Data Pusat Kontrol dan pencegahan penyakit pada tahun 2014 menunjukkan bahwa
sebanyak 83% laki-laki gay dan bisexual terdiagnosis HIV baru dengan rata-rata umur
lebih dari 13 tahun. Laki-laki gay memiliki risiko tinggi terkena berbagai macam kanker
seperti kanker prostat, testis, kolon, anorectal. Pada LSL (Lelaki Sex Lelaki) memiliki
risiko tinggi untuk terkena penyakit menular seksual (PMS) seperti sifilis, infeksi Human
Papillomavirus (HPV), dan hepatitis. Pada beberapa literature juga menyebutkan adanya
risiko tinggi terhadap terjadinya kanker payudara, kanker ovarium, dan kanker
endometrium pada para lesbian dan wanita biseksual karena masih sedikit populasi yang
hamil dan melakukan mamografi, dan banyak yang terkena obesitas. Pada komunitas
Afrika-Amerika menyebutkan bahwa prevalensi tertinggi penderita obesitas terjadi pada
wanita lesbian yang kebanyakan dari mereka berstatus ekonomi rendah. (Hudaisa Hafeez,
2017)
Laporan status seksual penganut LGBT muda masih sangat sulit ditemukan di
beberapa tenaga kesehatan, karena para klinisi belum mendapat pelatihan yang baik dalam
menghadapi komunitas LGBT. Sebuah penelitian yang dilakukan di Washington DC
menunjukkan sekitar 68% kaum seksual minoritas muda memilih tidak melaporkan
mengenai orientasi seksual mereka dan 90% memilih melaporkannya kepada para
klinisi/tenaga kesehatan. Sebuah penelitian lain dengan menggunakan metode purposing
sampling melakukan perekutan terhadap sembilan wanita dengan rentang umur 18-24
tahun dan mengakui dirinya termasuk golongan pelajar seksual minoritas di Universitas
Southwestern United States. Rekaman wawancara para sampel megungkapkan bahwa
pengakuan orientasi seksual dan sikap provider sangat berpengaruh terhadap pengalaman
buruk mereka dengan pelayanan kesehatan. Pelatihan tenaga kesehatan yang kurang dapat
menyulitkan hubungan terapetik antara provider dan pasien, sehingga berdampak pada
kualitas pelayanan dan ketepatan terapi pelayanan kesehatan. (Hudaisa Hafeez, 2017)
Dari sudut pandang agama, menurut Hukum Pidana Islam, homoseksual atau
penyimpangan seksual termasuk dosa besar karena bertentangan dengan norma agama,
norma susila dan bertentangan pula dengan hukum Tuhan dan fitrah manusia. Kitab suci
beberapa agama menjelaskan bahwa aktivitas seksual yang melibatkan jenis kelamin yang
sama merupakan hal yang tidak wajar dan dilarang oleh Tuhan. (Musa, 2014).
Undang Undang nomor 1 tahun 1974 pasal 1 menyebutkan definisi
perkawinanialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Pada kaum LGBT, hal ini menjadi masalah hukum
karena mereka menghendaki untuk berpasangan dengan sesama jenis.
Peraturan Menteri Sosial tahun 2012 (Permensos No. 8/2012) mengatur tentang
orang yang disebut sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial. Di antaranya adalah
mereka yang karena perilaku seksualnya menjadi terhalang dalam kehidupan sosial, yaitu
waria (pria transgender tidak disebutkan), pria gay dan wanita lesbian. Solusi untuk hal ini
secara kurang jelas disebut sebagai "rehabilitasi." Hal yang sering terjadi di banyak tempat
adalah pelaksanaan razia terhadap orang-orang seperti itu, yang kemudian dikirim ke
pusat-pusat rehabilitasi yang melakukan pembinaan bagi mereka untuk "berintegrasi ke
dalam masyarakat"(Dede Oetomo, 2013).
Ada argumen yang masih lantang dan banyak dikatakan jika gay dan lesbian itu
sebuah penyakit, penyakit jiwa. Tahun 1973, asosiasi psikiater di Amerika mencabut
kategori homoseksualitas dari semua kategorinya dari buku Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders Source (DSM-IV). Kemudian tahun 1990, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) mencabut homoseksualitas dari Klasifikasi Penyakit
Internasional (ICD). Ini diikuti Kementerian Kesehatan mencabut LGBT sebagai penyakit
kejiwaan di Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) edisi III pada
1993.Yang masih mereka cantumkan sampai sekarang, kebingungan identitas, tetapi
LGBT sebagai gangguan jiwa sudah dihapus.Homoseksual dianggap sebagai perilaku
biasa, namun menjadi masalah ketika orang homoseks tersebut mengalami kerugian atau
ketidaknyamanan hingga harus diterapi.(sinyo,2014)

2. RUMUSAN MASALAH
 Apa definisi LGBT?
 Bagaimana sejarah dan perkembangan LGBT?
 Bagaimana dasar ilmu kedokteran mengenai LGBT?
 Bagaimana pandangan agama terhadap LGBT?
 Bagaimana LGBT ditinjau dari aspek sosial dan budaya?
 Bagaimana dasar hukum LGBT?
 Bagaimanakah peran dokter dalam menangani LGBT?
 Bagaimana peran ilmu forensik pada kasus LGBT?
3. TUJUAN
a. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan ini adalah menjelaskan mengenai peran dokter terhadap lesbian,
gay, biseksual dan transgender ditinjau dari aspek medikolegal
b. Tujuan Khusus
 Mengetahui definisi lesbian, gay, biseksual dan transgender
 Mengetahu sejarah dan perkembangan lesbian, gay, biseksual dan transgender
 Mengetahui dasar ilmu kedokteran mengenai lesbian, gay, biseksual dan
transgender
 Mengetahui pandangan agama terhadap lesbian, gay, biseksual dan transgender
 Mengetahui sudut pandang sosial dan budaya mengenai lesbian, gay, biseksual dan
transgender
 Mengetahui dasar ilmu hukum lesbian, gay, biseksual dan transgender
 Mengetahui peran dokter dalam menangani lesbian, gay, biseksual dan transgender
3. MANFAAT
b. Manfaat bagi mahasiswa
 Menambah pengetahuan serta wawasan yang berhubungan dengan ilmu kedokteran
forensik dalam bidang hukum dan medis
 Menambah pengetahuan mengenai Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender
 Menambah pengetahuan mengenai peran dokter terhadap Lesbian, Gay, Biseksual
dan Transgender
c. Manfaat bagi masyarakat
 Menambah pengetahuan mengenai aspek medikolegal Lesbian, Gay, Biseksual dan
Transgender
d. Manfaat bagi institusi
 Menambah wawasan bagi fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas maupun
rumah sakit dalam hal peran dokter terhadap lesbian, gay, biseksual dan
transgender ditinjau dari aspek medikolegal

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi LGBT
LGBT adalah akronim dari “lesbian, gay, biseksual dan transgender”. Istilah ini
digunakan sejak tahun 1990-an. Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan
adanya keanekaragaman budaya yang berasal dari berbagai ekspresi gender. Istilah LGBT
ini banyak digunakan sebagai penunjukan diri yang diterapkan oleh mayoritas komunitas
yang berkaitan dengan identitas gender dan orientasi seksual di Amerika Serikat dan
beberapa negara Barat lainnya.(Megan, 2016).
Ekspresi gender merupakan pengungkapan seseorang mengenai jenis kelamin yang
sudah dimiliki sejak lahir melalui tingkah laku atau perilaku sosial. Biasanya dapat dilihat
melalui cara memilih berpakaian, berbicara atau bahkan cara berjalan. Sedangkan identitas
gender mencerminkan kesadaran individu mengenai gendernya sendiri (WHO, 2016).
Orientasi seksual adalah kapasitas yang dimiliki oleh setiap manusia yang berkaitan
dengan ketertarikan emosi, rasa kasih sayang dan hubungan seksual. Orientasi seksual
merupakan kodrat yang sudah diberikan Tuhan dan tidak dapat diubah, setiap manusia
tidak memiliki hak untuk memilih dilahirkan dengan orientasi seksual tertentu. Sedangkan
perilaku seksual menggambarkan cara seseorang mengekspresikan hubungan seksualnya
yang terlibat dengan orang lain.(WHO, 2016) Mengenai orientasi seksual yang bersifat
kodrat, ada beberapa varian orientasi seksual diantaranya heteroseksual, homoseksual,
biseksual dan aseksual.
Di Indonesia, lesbian sering juga dipanggil lesbi atau lines. Lesbian dikenal melalui
Sappho yang hidup di Pulau Lesbos pada abad ke-6 SM. Dia adalah tokoh yang
memperjuangkan hak-hak wanita sehingga banyak yang menjadi pengikutnya. Akan tetapi,
dia kemudian jatuh cinta kepada pengikutnya dan menulis puisi tentang cinta. Menurut
Sappho, kecantikan wanita itu tidak mungkin dipisahkan dari aspek seksualnya. Oleh
karena itu, kepuasan seksual juga mungkin diperolehnya dari sesama wanita. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lesbian adalah wanita yang mencintai atau
merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya. Lesbian adalah istilah bagi perempuan
yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada perempuan atau disebut juga
perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional, atau secara
spiritual. (Dhea, 2014)
Pria homoseksual yang berperilaku kemayu seperti wanita, atau pria yang
berpakaian seperti perempuan disebut sebagai banci, bencong atau waria. Pria
homoseksual yang berperilaku jantan selayaknya pria biasa jarang teridentifikasi, akan
tetapi jika ditemukan biasanya mereka dipanggil homo atau gay, sedangkan gigolo
homoseksual biasanya dipanggil kucing. Gay adalah seorang laki-laki yang secara fisik,
emosional dan atau spiritual tertarik pada laki-laki lain. Istilah-istilah banci, bencong,
kucing dan homo memang memiliki makna konotatif yang merendahkan atau menghina,
kecuali untuk istilah waria, gay dan lesbian yang memperoleh persepsi netral. Ejekan,
perundungan, dan serangan terhadap kaum gay biasanya terjadi selama masa-masa remaja,
tapi jarang melibatkan kekerasan fisik, dan terutama hanya dilakukan secara verbal
(Alexander, 2017).
Seperti di negara lain, stereotip terhadap kaum homoseksual terjadi cukup umum di
Indonesia. Mereka biasanya mengambil peran, pekerjaan, dan karier tertentu; seperti
sebagai pemilik atau pekerja salon kecantikan, ahli kecantikan, make-up artist, pengamen
(musisi jalanan) berpakaian perempuan, sampai kegiatan cabul seperti menjadi pelacur
transeksual. Namun laki-laki homoseksual yang tidak berpenampilan seperti banci, sulit
untuk dideteksi dan sering berbaur dalam masyarakat.(Meier, 2013) Biseksual adalah
seorang laki-laki ataupun perempuan yang mempunyai ketertarikan seksual terhadap laki-
laki sekaligus perempuan dalam waktu yang bersamaan. Transgender adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki identitas gender atau ekspresi
gender yang berbeda dengan gender yang ditunjuk sedari lahir. Keadaan transgender ini
tidak terikat dengan orientasi seksual. Orang transgender bisa saja memiliki orientasi
homoseksual, biseksual dan lain-lain.(WHO, 2016)

2. Sejarah dan perkembangan LGBT


a. Perkembangan LGBT di Dunia
Menurut Sinyo (2014) perkembangan dunia homoseksual berkembang pada abad
XI Masehi. Istilah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau yang biasa dikenal
dengan LGBT mulai tercatat sekitar tahun 1990-an. Sebelum masa “Revolusi Seksual”
pada tahun 60-an tidak ada istilah khusus untuk menyatakan homoseksual. Kata yang
paling mendekati dengan orientasi selain heteroseksual adalah istilah “third gender” sekitar
tahun 1860-an. Kata revolusi seksual adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
perubahan sosial politik (1960-1970) mengenai seks. Dimulai dengan kebudayaan
freelove, yaitu jutaan kaum muda menganut gaya hidup sebagai hippie. Mereka
menyerukan kekuatan cinta dan keagungan seks sebagai bagian dari hidup yang alami atau
natural. Para hippie percaya bahwa seks adalah fenomena biologi yang wajar sehingga
tidak seharusnya dilarang dan ditekan (Sinyo, 2014).
Singkatan dari homoseksual dikenal dengan istilah LGB (Lesbian, Gay, Biseksual).
Kata gay dan lesbian berkembang secara luas menggantikan istilah homoseksual sebagai
identitas sosial dalam masyarakat. Kata gay dan lesbian ini lebih disukai dan dipilih oleh
banyak orang karena simpel dan tidak membawa kata seks. Istilah biseksual muncul
belakangan setelah diketahui bahwa ada orang yang mempunyai orientasi seksual terhadap
sesama jenis dan lawan jenis. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan psikologi
muncul istilah baru yang tidak termasuk gay, lesbian, dan biseksual, yaitu transgender.
Semakin lengkap istilah sebelumnya menjadi LGBT. Istilah ini dipakai untuk
menerangkan orientasi seksual non-heteroseksual. Istilah LGBT sudah dikenal dan atau
diakui oleh banyak negara. Sebagian besar gerakan mereka mengatasnamakan HAM (Hak
Asasi Manusia). Pada abad 18 dan 19 Masehi beberapa negara mengkategorikan aktivitas
homoseksual merupakan suatu tindak kriminalitas sebagai kejahatan sodomi (Sinyo, 2014).
Perilaku pada hubungan seks sesama jenis atau yang disebut homoseksual ini tidak
dapat diterima secara sosial dan masyarakat. Situasi dan kondisi ini membuat komunitas
dan kehidupan sosial homoseksual hidup secara rahasia dan tertutup agar tidak diketahui
oleh orang lain dan tidak dianggap dimasyarakat, beberapa orang kemudian mulai
memperjuangkan kaum homoseksual. Salah satunya adalah Thomas Cannon. Ia
diperkirakan menjadi orang pertama yang memulai perjuangan kaum tersebut dengan buku
berjudul Ancient and Modern Pederasty Investigated and Exemplify’d ( Tahun 1749) di
Inggris. Tulisannya yaitu tentang gosip dan antologi lelucon yang membela kaum
homoseksual. Cannon dipenjara karena tulisan tersebut yang akhirnya Ia dibebaskan
dengan uang jaminan (Sinyo, 2014).
Jeremy Bentham ( 1785) seorang tokoh filsuf reformis dibidang sosial juga
membela kaum homoseksual. Bentham sering memberikan masukan tentang hukum
homoseksual di Inggris. Pemikiran Bentham menyumbangkan inspirasi perubahan aturan
hukum terhadap kaum homoseksual mengenai homoseksual bukan suatu tindakan kriminal
di Negara Eropa lainnya. Pada tahun 1791 Perancis adalah negara pertama yang
menerapkan hukum bahwa homoseksual bukan termasuk tindakan kriminal (Sinyo, 2014).
Gerakan Free Love yang membangkitkan kaum feminis dan kebebasan hidup juga turut
memperjuangkan kaum homoseksual kepada publik. Gerakan ini kerap memandang
budaya sucinya pernikahan yang dianggap membatasi kebebasan hidup dan pilihan. Pada
masa ini hampir semua negara di Eropa dan Amerika melahirkan tokoh reformis yang
membela hak-hak kaum feminis, kehidupan bebas, dan komunitas homoseksual (Sinyo,
2014).
Beberapa gerakan sosial seperti The Black Power yaitu gerakan untuk
memperjuangkan hak kaum berkulit hitam dan Anti-Vietnam War mempengaruhi
komunitas gay untuk lebih terbuka. Masa ini dikenal dengan Gay Liberation Movement
atau gerakan kemerdekaan gay. Pada masa ini terjadi huru-hara yang terkenal dengan
sebutan Stonewall Riots, yaitu keributan sporadis antara polisi dan para pendemo yang
memperjuangkan kebebasan kaum gay. Keributan ini terjadi di Stonewell Inn, Greenwich
Village, Amerika Serikat pada 28 Juni 1969. Kejadian 28 Juni 1969 tersebut tercatat dalam
sejarah sebagai pemicu gerakan perjuangan hak asasi kaum gay di Amerika Serikat dan
dunia, sehingga muncul komunitas-komunitas gay baru seperti Gay Liberation Front
(GLF), The Gay Activits’Allainace (GAA), dan Front Homosexsual d’Action
Revolutionnaire. Pada tanggal tersebut juga dijadikan hari perayaan bagi kaum LGBT di
seluruh dunia dan pada hari tersebut mereka menggelar pawai dijalan utama untuk
menunjukan eksistensi kaum gay (Sinyo, 2014).
Tahun 1970 aktivis LGBT protes kepada American Psychiatric Association (APA)
karena menetapkan homoseksual sebagai bagian dari gangguan jiwa. Hal tersebut tertuang
dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Banyaknya akan protes
karena rasa tidak setuju tentang hal tersebut. APA secara resmi menghapus homoseksual
dari masalah mental disorders (gangguan jiwa) pada tahun 1974. Tindakan ini kemudian
disebarluaskan kepada hampir semua asosiasi psikiatri di dunia. Setelah itu dengan adanya
perbedaan dalam berkarya dan mendapatkan pekerjaan dalam hal identitas gender di
masyarakat luas, muncul gerakan untuk memperjuangkan hak asasi kaum gay (Gay Rights
Movement) (Sinyo, 2014).
Pada tahun 1978 dibentuk International Lesbian and Gay Association (ILGA) di
Conventry, Inggris. Institusi ini memerjuangkan hak asasi kaum lesbian dan gay secara
internasional. Pada masa itu dikenal simbol LGBT yaitu berupa bendera pelangi (the
rainbow flag atau pride flag) sebagai simbol pergerakan hak asasi komunitas LGBT.
Awalnya simbol ini hanya untuk komunitas gay di Amerika Serikat, namun sekarang
dipakai secara meluas di seluruh dunia sebagai lambang pergerakan kaum LGBT dalam
meraih hak-hak mereka. Berikut gambar salah satu bendera LGBT (Sinyo, 2014).

Gambar 1. Rainbow flag atau bendera LGBT


Gerakan hak asasi kaum gay dimulai pada era tahun 1980-an. Penyakit AIDS dan
kaum gay dianggap sebagai penyebar utamanya, Kata “queer” dikenal sebagai istilah orang
yang berorientasi seksual atau gender minoritas dimasyarakat. Pada masa ini perjuangan
kaum LGBT sudah begitu meluas dengan banyaknya organisasi (legal atau ilegal) disetiap
negara. Salah satunya adalah hilangnya homosexsuality dari International Classification of
Diseases yang dibuat oleh WHO pada tanggal 17 Mei 1990, sehingga pada tanggal tersebut
dijadikan sebagai International Day Against Homophobia and Transphobia (IDAHO).
Komunitas LGBT mencari pengesahan hukum pernikahan di negara-negara yang telah
melegalkan nikah sesama jenis. Belanda merupakan negara pertama yang melegalkan
pernikahan pasangan sesama jenis tahun 2001. Pada tahun 2008 diikuti oleh Belgia,
Kanada, Norwegia, Afrika Selatan, dan Spanyol (untuk Amerika Serikat ada di dua negara
bagian yaitu Massachusetts dan Connecticut) (Sinyo, 2014).
b. Perkembangan LGBT di Indonesia
Identitas homoseksual baru mulai muncul di kota-kota besar di Indonesia pada
beberapa dasawarsa awal abad ke-20. Sebelumnya, keragaman perilaku seksual di antara
sesama pria diketahui telah dilakukan dalam konteks seni pertunjukan dan seni bela diri,
ritual kebatinan dan perdukunan, ritus bagian inisiasi atau dalam lingkungan pergaulan
sehari-hari khusus pria di banyak golongan etnis bahasa (etnolinguistik) nusantara, dengan
identitas kadang-kadang dikaitkan pada konteks ini. Dalam kajian pustaka lebih sedikit
disebutkan tentang fenomena ini di kaum wanita, meskipun sesekali dapat dibaca tentang
perilaku seks di antara para wanita di keputren (tempat tinggal para wanita dalam istana)
dan pesantren. Fakta bahwa seksualitas pria dan wanita dapat beragam sementara terdapat
tekanan sangat kuat untuk mendirikan keluarga heteroseksual, artinya biseksualitas adalah
hal yang cukup umum meskipun tidak demikian halnya dengan identitas biseksual (Dede
Oetomo, 2013).
Demikian pula, cerita-cerita legenda tentang dewa interseks cukup dikenal dan
beragam ungkapan dan identitas gender menjadi hal yang umum dan ditolerir di banyak
kelompok etnis dalam konteks budaya yang serupa. Beberapa kelompok etnis bahasa telah
mengatur kemungkinan perubahan transgender dan memberi peran khusus kepada mereka
yang melakukan hal tersebut. Namun demikian, identitas transgender, yaitu transgender
dengan pria menjadi wanita (banci atau bencong), yang belum tentu terkait dengan konteks
yang telah disebutkan di atas, baru muncul pada paruh kedua abad kedua puluh dan sekali
lagi hanya di kota-kota besar. Secara signifikan, identitas transgender wanita-ke-pria,
kurang begitu jelas. Yang perlu ditambahkan secara singkat di sini adalah bahwa bagi
orang Indonesia secara umum, waria dalam kehidupan nyata lebih banyak dikenal daripada
orang gay, lesbian atau biseksual. Dengan kata lain, orientasi atau perilaku seksual yang
tidak konformis seringkali dipersepsi sebagai identitas atau ekspresi gender non-
conforming (Oetomo, 2000).
Cikal bakal advokasi LGBT di Indonesia dimulai pada akhir tahun 1960-an dengan
pendirian Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad), yang difasilitasi oleh Gubernur DKI
Jakarta pada waktu itu, Jenderal Marinir Ali Sadikin. Istilah wadam (wanita Adam)
diperkenalkan sebagai pengganti kata banci atau bencong yang bersifat menghina. Istilah
ini kemudian pada tahun 1978 diganti dengan waria (wanita pria) karena Majelis Ulama
Indonesia menilai tidak patut nama seorang nabi (Adam) dijadikan bagian pada istilah
untuk kaum laki-laki yang mengekspresikan jendernya dengan cara yang lebih menyerupai
perempuan. Organisasi yang berfungsi sebagai ruang sosial budaya yang aman ini, dengan
cepat disusul oleh organisasi serupa di kota-kota besar lain. Beberapa di antaranya masih
eksis hingga sekarang. Banyak yang mendapatkan dukungan dari pemda setempat, yang
umumnya diberikan melalui Dinas Sosial, berdasarkan pemahaman bahwa kaum waria
merupakan golongan yang kurang mampu atau cacat psikologis. Berbagai organisasi ini
berusaha mendukung moral dan mata pencaharian kaum waria dengan menunjukkan
bahwa mereka adalah anggota masyarakat yang berguna. Dengan demikian masyarakat
diharapkan dapat menerima mereka dan memperlakukan secara manusiawi (Dede Oetomo,
2013).
Kalangan pria homoseksual pada tahun 1982 mulai merintis usaha
pengorganisasian dengan mendirikan Lambda Indonesia. Pendirinya mengumumkan
pendirian organisasi tersebut dalam rubrik surat kepada redaksi sejumlah surat kabar
terkemuka, di samping mengirimkan surat secara langsung kepada puluhan pria gay yang
telah membalas surat sebelumnya yang mengajak mereka untuk merintis organisasi secara
terbuka. Meskipun para pendiri gay dari awal berusaha juga mengajak kaum lesbian,
namun organisasi ini berikut cabang-cabangnya yang terbentuk kemudian lebih didominasi
oleh kaum pria. Ketidakikutsertaan kaum waria juga cukup signifikan, meskipun di
beberapa daerah mereka membantu menyebarluaskan berita tentang organisasi tersebut
(Dede Oetomo, 2013).
Meskipun menggunakan konsep dari Barat seperti "coming out" dan "pembebasan",
para pendiri tetap menyadari bahwa organisasi ini harus membina hubungan dengan
komunitas setempat dan menghadapi permasalahan setempat. Istilah kunci yang digunakan
dalam dokumen pendirian adalah "emansipasi," yang merujuk pada emansipasi perempuan
yang dimulai lebih awal di abad ke-dua puluh. Tanpa secara eksplisit menyebutkan hak
asasi manusia, artikel-artikel yang dimuat dalam majalah Lambda Indonesia, yaitu G: gaya
hidup ceria (1982-1986), mendorong kaum pria gay dan wanita lesbian untuk
mengungkapkan identitasnya, karena homoseksualitas bukan merupakan gangguan jiwa
atau penyakit, dan perbuatan homoseksual bukan merupakan kejahatan menurut hukum
pidana (KUHP). Terkait dengan budaya, organisasi ini menyoroti penerimaan atau
pelembagaan homoseksualitas dan transgender dalam berbagai masyarakat yang kemudian
membentuk negara dan bangsa Indonesia (seperti diuraikan di atas). Berbagai upaya juga
dilakukan untuk menafsirkan kembali ajaran-ajaran dasar Kristiani dan Islam, demikian
pula dalam lingkup yang lebih sempit ajaran Budha dan Hindu, dengan maksud
menunjukkan bahwa homoseksualitas tidak melanggar ajaran-ajaran tersebut. Pada tahun
1986 beberapa lesbian Jakarta sempat mendirikan Persatuan Lesbian Indonesia (Perlesin),
karena merasa terdorong oleh perkawinan dua wanita pada tahun 1981 yang mendapatkan
liputan media massa dan terinspirasi dari keikutsertaan mereka di organisasi Lambda
Indonesia cabang Jakarta. Organisasi ini tidak terkenal secara luas sebagaimana halnya
organisasi gay, dan hanya bertahan kurang dari satu tahun (Agustine, 2008).
Kepimpinan nasional Lambda Indonesia juga sempat mengalami kemunduran pada
tahun 1986, meskipun beberapa cabang organisasi masih melanjutkan kegiatan. Pada tahun
1985, cabang Yogyakarta membentuk dirinya sebagai organisasi mandiri setempat dengan
nama Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY) yang juga menerbitkan majalah Jaka.
Beberapa mantan aktivis cabang Lambda Indonesia di Surabaya mendirikan Kelompok
Kerja Lesbian dan Gay Nusantara, disingkatkan menjadi GAYa NUSANTARA, dan
menerbitkan majalah yang juga diberi nama GAYa NUSANTARA. Organisasi ini memiliki
tujuan antara lain mendorong pendirian komunitas dan organisasi di berbagai daerah di
Indonesia. Selanjutnya PGY mengganti namanya pada tahun 1988 menjadi Indonesian Gay
Society, dan melanjutkan publikasi majalah Jaka-Jaka serta menyelenggarakan pertemuan
dan diskusi di Yogyakarta secara berkala, yang tidak hanya menarik pria gay setempat
tetapi juga peserta lain dari berbagai daerah di Jawa Tengah (Dede Oetomo, 2013).
Sejak tahun 1983, media massa sudah mulai meliput pergerakan ini, ada yang
sekedar menyoroti aspek seksual dalam pemberitaan sensasional, dan ada pula yang berisi
pembahasan lebih serius. Media massa sudah memuat laporan tentang gerakan waria sejak
awal berkembangnya pada akhir tahun 1960-an. Walaupun pada masa awal para aktivis
berjaga-jaga agar tidak selalu mengungkapan identitasnya, ada beberapa pada pertengahan
tahun 1980-an yang memberanikan diri untuk diwawancarai dan juga diundang ke
seminar-seminar yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi dan organisasi
kemasyarakatan. Semakin banyak pria gay dan beberapa lesbian menulis surat kepada
penerbit majalah untuk dihubungkan dengan organisasi-organisasi tersebut. Banyak di
antara mereka kemudian berlangganan majalah melalui pos atau membelinya di tempat-
tempat tertentu. Para pembaca majalah G: gaya hidup ceria, Jaka, GAYa NUSANTARA
dan Jaka-Jaka juga menyumbang karangan fiksi maupun non-fiksi, gambar sketsa dan foto
sampul. Media massa dan jaringan layanan pos berperan besar dalam mendukung
perkembangan pergerakan awal dan organisasi-organisasi ini, yang juga berusaha
menjangkau komunitas setempat yang sudah ada (Dede Oetomo, 2013).
Pada awal dasawarsa 1990-an, meningkatnya liputan media tentang HIV yang
hampir selalu menyebutkan tentang pria homoseksual dan waria, membuka peluang lain
bagi beberapa organisasi yang tampil di media massa untuk menjangkau konstituen
mereka. Dalam beberapa tahun awal dasawarsa tersebut berdiri berbagai organisasi di
Bandung, Jakarta, Pekanbaru, Denpasar, Malang dan Makassar. Para lesbian dan pria
transgender juga berusaha mengorganisir diri lagi di Jakarta, Makassar dan Singaraja.
Chandra Kirana, yang merupakan kumpulan lesbian di Jakarta, membuat majalah sendiri,
yaitu Gaya Lestari, yang selama sekitar dua tahun terbit sebagai sisipan dalam majalah
GAYa NUSANTARA (Dede Oetomo, 2013).
Menjelang akhir tahun 1993, terdapat cukup banyak organisasi dan aktivis individu
sehingga mampu menyelenggarakan Kongres Lesbian dan Gay Indonesia pertama (KLGI
I) di Kaliurang, dekat Yogyakarta. Semakin banyak organsasi didirikan di berbagai
wilayah Indonesia, yaitu: Medan, Batam, Ambon dan lain sebagainya. Diadakan dua
kongres lagi, yaitu: KLGI II di Lembang, dekat Bandung (tahun 1995) dan KLGI III di
Denpasar (tahun 1997). Jumlah peserta pertemuan berkembang semakin besar, terdiri dari
wakil-wakil organisasi, aktivis individu dan mereka yang berperan aktif dalam berbagai
kaukus organisasi kesehatan dan hak-hak yang seksual dan reproduksi. Namun hanya
sedikit kaum lesbian yang berpartisipasi dan sama sekali tidak ada aktivis transgender yang
hadir. Kongres 1997 merupakan yang pertama mendapatkan liputan koran daerah (Dede
Oetomo, 2013).
Selain mereka yang aktif di berbagai organisasi, anggota komunitas seringkali
bersama para aktivis organisasi, mengadakan pesta-pesta kecil dan besar di café atau
restoran di kota atau di tempat peristirahatan di lereng gunung. Sejumlah peserta bahkan
datang dari pulau-pulau di luar Jawa untuk menghadiri pesta yang lebih besar. Pesta paling
terkenal selama tahun 1990-an adalah September Ceria, yang diselenggarakan pada malam
minggu pertama setiap bulan September di kota wisata Tawangmangu di daerah
pergunungan dekat Solo. Dengan demikian pada Kongres ketiga diputuskan untuk tidak
lagi mengadakan kongres di berbagai daerah di Indonesia, tetapi mulai tahun 1999,
pertemuan para aktivis diadakan dalam bentuk rapat kerja di Solo beberapa hari sebelum
acara September Ceria (Dede Oetomo, 2013)..
Selama tahun 1990-an, komunitas lesbian mengadakan pertemuan dan acara-acara
lain di berbagai kota di Indonesia. Di samping itu terdapat beberapa upaya mendirikan
organisasi. Menjelang akhir tahun 1990-an, didirikan organisasi Swara Srikandi di Jakarta,
dengan cabang atau penghubung di kota-kota lain. Kaum lesbian di Singaraja dan
Makassar melanjutkan berbagai kegiatan yang dimulai pada dasawarsa sebelumnya. Kaum
lesbian, baik secara terbuka maupun terselubung, juga berperan aktif dalam gerakan
feminis yang semakin giat berkembang, yang juga dimulai pada tahun 1980-an (Dede
Oetomo, 2013).
Masa tahun 1990-an diwarnai berbagai perkembangan yang terkait dengan
dukungan dari berbagai organisasi sekutu, baik nasional maupun lokal (Dede Oetomo,
2013)..
1. Banyak organisasi feminis, meskipun tidak semua, yang memberikan dukungan semakin
besar bagi wacana tentang lesbian, pekerja seks wanita dan mantan tahanan politik
perempuan.
2. Sejumlah organisasi kesehatan seksual dan reproduksi, khususnya asosiasi Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan organisasi layanan penanggulangan HIV,
menyediakan ruang yang aman dan dukungan bagi kegiatan yang kadang-kadang
diadakan, yang seringkali disamarkan sebagai kegiatan bagi kaum muda.
3. Saat organisasi pro-demokrasi dan hak asasi manusia mulai mengangkat permasalahan hak
LGBT sebagai bagian dari permasalahan hak asasi manusia, hal ini semakin mengangkat
derajat dan legitimasi gerakan.
4. Sejumlah akademisi menyelenggarakan kelompok studi dan seminar dengan
mengandalkan kebebasan akademis. Mereka juga mengadakan pelatihan jender dan
seksualitas, dan seringkali membahas tentang keragaman jender dan seksualitas.
Perubahan dramatis yang terjadi dalam sistem politik dan pemerintah pada bulan
Mei 1998, membuka pintu bagi gerakan ini untuk semakin berkembang dengan cakupan
lebih luas (Dede Oetomo, 2013):
1. Kongres Perempuan Indonesia pada bulan Desember 1998 secara resmi
mengikutsertakan perwakilan dari kaum lesbian, wanita biseksual dan pria
transgender (LBT). Dalam Kongres tersebut, Koalisi Perempuan Indonesia untuk
Keadilan dan Demokrasi (KPI) menegaskan bahwa mereka secara resmi termasuk
Sektor XV, yang terdiri dari orang-orang LBT. Meskipun di beberapa provinsi
yang lebih konservatif terjadi sentimen yang keberatan terhadap pengikutsertaan
orang-orang LBT, di wilayah yang mengenal kerangka ini, orang LBT dapat
diberdayakan untuk mengorganisir diri.
2. Pendekatan yang berbasis hak asasi manusia menjadi semakin nyata dalam karya
banyak organisasi LGBT, baik yang sudah lama maupun yang baru muncul. Hal ini
membuka peluang kerja sama lebih lanjut dengan organisasi-organisasi hak asasi
manusia arus utama.
3. Sementara wacana media massa seputar HIV selama dasawarsa sebelumnya telah
meningkatkan visibilitas permasalahan di seputar pria gay dan waria, tanggapan ad
hoc terhadap masalah HIV diganti dengan penyelenggaraan berbagai program yang
strategis, sistematis dan didanai secara memadai. Pada 2001 dan 2004 diadakan
konsultasi nasional dan pada awal 2007 berdiri Jaringan Gay, Waria dan Laki-Laki
yang Berhubungan Seks dengan Laki-Laki Lain (GWL-INA) dengan dukungan
dari mitra kerja baik nasional, bilateral maupun internasional (Anonim, 2012).
4. Setelah Konferensi International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex
Association (ILGA) tingkat Asia yang ke-3 di Chiang Mai, Thailand, yang
diselenggarakan pada Januari 2008, enam organisasi LGBT yang berkantor pusat di
Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta bergabung untuk memperkuat gerakan mereka.
Langkah ini menjadi awal Forum LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender,
Intersex & Queer) Indonesia.
Jaringan GWL-INA berhasil menjadi mitra kerja Komisi AIDS Nasional dalam
rangka perumusan dan pelaksanaan peningkatan kapasitas yang menjangkau komunitas
dan organisasi di berbagai daerah di Indonesia, walaupun tentu saja kekuatan dan kualitas
program dapat bervariasi. Jaringan yang luas ini cukup berhasil dalam upaya memperluas
kegiatan penanggulangan HIV, tetapi kurang berhasil di bidang advokasi hak asasi
manusia yang terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Pendekatan berbasis
hak asasi manusia, walapun merupakan bagian integral dalam Strategi AIDS Nasional
2011-2014, pada pelaksanaannya belum banyak dapat diterjemahkan menjadi tindakan
nyata. Sebuah laporan atas permintaan Hivos membahas evaluasi program pelatihan dua
tahun dalam rangka pemantauan dan dokumentasi hak asasi manusia LGBT, dengan dua
puluh organisasi LGBT yang bekerja berdampingan bersama organisasi yang disebut-sebut
sebagai arus utama di bidang hak asasi manusia (2011-2012).4 Dalam laporan disimpulkan
bahwa sebagian besar aktivis LGBT di Indonesia umumnya lebih cenderung untuk
berusaha mengadaptasi diri terhadap keadaan yang telah ada, daripada mengubah tatanan
sosial. Dengan demikian, yang secara kultural lebih mereka sukai adalah upaya mengakali
hambatan yang ada, daripada membawa perubahan mendasar pada tatanan sosial agar lebih
memperlakukan mereka secara setara dan sederajat atau menjadi lebih menerima (Dede
Oetomo, 2013).
Forum LGBTIQ Indonesia yang terorganisir lebih longgar dan kurang
mendapatkan sumber dana yang pasti seperti halnya Jaringan GWL-INA masih berhasil
mengorganisir kegiatan di tingkat nasional maupun regional (ASEAN). Forum ini berhasil
mengintegrasikan satu bagian tentang orientasi seksual serta identitas gender (SOGI)
dalam laporan masyarakat madani yang dikoordinasi oleh Human Rights Working Group
(HRWG) dalam kerangka Universal Periodic Review (Tinjauan Universal Berkala) kedua
untuk Indonesia (2012) di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.5 Demikian pula Forum
memasukkan bagian tersebut dalam peninjauan pada tahun 2013 di Komite Hak Asasi
PBB tentang Indonesia, sebagai penanda tangan Konvensi Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik (ICCPR). Dalam hal ini Forum mendapatkan dukungan dari GAYa
NUSANTARA and Arus Pelangi sebagai dua organisasi yang mempunyai komitmen
berkarya di bidang hak asasi manusia, sedangkan HRWG merupakan koalisi organisasi
hak asasi manusia yang berkarya di tingkat internasional. Forum ini juga berperan aktif
pada ASEAN SOGI Caucus (Kaukus Orientasi Seksual dan Identitas Gender ASEAN),
termasuk perdebatan sepanjang tahun 2012 seputar penyusunan Deklarasi Hak Asasi
Manusia ASEAN (Dede Oetomo, 2013).
Meskipun telah berhasil meraih pencapaian ini di tingkat internasional, namun
upaya di tingkat lokal dan nasional tidak selalu berhasil sebagaimana diharapkan. Ada
kepahaman yang sedang berkembang tentang masalah hak asasi manusia dalam kaitan
dengan orientasi seksual serta identitas gender, terutama di kalangan aktivis muda. Namun
masih banyak yang belum bisa membayangkan realitas atau keadaan yang berbeda
mengenai keberadaan LGBT di masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, status quo masih
kuat. Kemampuan aktivis untuk berpikir atau bertindak dengan cara yang berbeda
dihambat oleh wacana sangat konservatif dan heteronormatif yang mempertahankan
norma-norma budaya dan agama yang telah ada. Contoh wacana ini dapat mencakup
pembahasan tentang apakah pengungkapan jati diri (coming out) merupakan hal yang patut
dilakukan dalam konteks Indonesia, atau tentang tekanan opresif agar menikah secara
heteroseksual. Inilah konteks obyektif yang dihadapi oleh para aktivis dan organisasi hak
LGBT dalam karya mereka. Konteks inilah yang perlu diubah untuk menciptakan kondisi
di dalam masyarakat yang lebih kondusif bagi perlindungan dan pemajuan hak-hak asasi
manusia bagi kaum LGBT Indonesia (Dede Oetomo, 2013).
3. Dasar Ilmu Kedokteran tentang LGBT
Aspek Medis LGBT

Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara pribadi yang

berjenis kelamin sama secara situasional atau berkelanjutan. Pada penggunaan mutakhir,

kata sifat homoseks digunakan untuk hubungan intim dan/atau hubungan seksual di antara

orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri mereka

sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas, sebagai suatu pengenal, pada umumnya

dibandingkan dengan heteroseksualitas dan biseksualitas. Istilah gay adalah suatu istilah

tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada pria homoseks. Sedangkan Lesbian adalah

suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada wanita homoseks.(American

Psychological Association, 2009)

Definisi tersebut bukan definisi mutlak mengingat hal ini diperumit dengan adanya

beberapa komponen biologis dan psikologis dari seks dan gender, dan dengan itu

seseorang mungkin tidak seratus persen pas dengan kategori dimana ia digolongkan.

Beberapa orang bahkan menganggap ofensif perihal pembedaan gender (dan pembedaan

orientasi seksual). (American Psychological Association, 2011)

Menurut V. Adsley, S.Psi,terdapat tiga aspek homoseksualitas, yaitu:

üOrientasi seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan orang lain

mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas gender yang sama.
ü Perilaku seksual melingkupi aktivitas untuk menemukan dan menarik perhatian pasangan

(perilaku mencari dan menarik pasangan), interaksi antar individu, kedekatan fisik atau

emosional, dan hubungan seksual dengan gender yang sama, tidak peduli orientasi

seksual atau identitas gender.

ü Identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu kepada perilaku homoseksual

atau orientasi homoseksual. Aspek ini mengarah pada identitas seksual sebagai gay atau lesbian.

(John Wiley & Son, 1994)

Penyebab perilaku homoseksualitas antara lain : Genetik, Traumatik, Pola asuh yang salah,

Lingkungan, Teman dekat, Film, Explorasi. Menurut Prof. DR. Wimpie Pangkahila (Pakar

Andrologi dan Seksologi), beberapa faktor penyebab orang menjadi homoseksual dapat dilihat

dari :

1) Faktor Biologi

ü Susunan Kromosom

Perbedaan homoseksual dan heteroseksual dapat dilihat dari susunan kromosomnya

yang berbeda. Seorang wanita akan mendapatkan satu kromosom x dari ibu dan satu

kromosom x dari ayah. Sedangkan pada pria mendapatkan satu kromosom x dari ibu

dan satu kromosom y dari ayah. Kromosom y adalah penentu seks pria.

Jika terdapat kromosom y, sebanyak apapun kromosom x, dia tetap berkelamin pria.

Seperti yang terjadi pada pria penderita sindrom Klinefelter yang memiliki tiga

kromosom seks yaitu xxy. Dan hal ini dapat terjadi pada 1 diantara 700 kelahiran bayi.

Misalnya pada pria yang mempunyai kromosom 48xxy. Orang tersebut tetap berjenis

kelamin pria, namun pada pria tersebut mengalami kelainan pada alat kelaminnya.

ü Ketidakseimbangan Hormon

Seorang pria memiliki hormon testoteron, tetapi juga mempunyai hormon yang

dimiliki oleh wanita yaitu estrogen dan progesteron. Namun kadar hormon wanita ini

sangat sedikit. Tetapi bila seorang pria mempunyai kadar hormon esterogen dan
progesteron yang cukup tinggi pada tubuhnya, maka hal inilah yang menyebabkan

perkembangan seksual seorang pria mendekati karakteristik wanita.

ü Struktur Otak

Struktur otak pada straight females dan straight males serta gay females dan gay males

terdapat perbedaan. Otak bagian kiri dan kanan dari straight males sangat jelas terpisah

dengan membran yang cukup tebal dan tegas. Straight females, otak antara bagian kiri

dan kanan tidak begitu tegas dan tebal. Dan pada gay males, struktur otaknya sama

dengan straight females, serta pada gay females struktur otaknya sama dengan straight

males, dan gay females ini biasa disebut lesbian.

ü Kelainan susunan saraf

Berdasarkan hasil penelitian terakhir, diketahui bahwa kelainan susunan saraf otak

dapat mempengaruhi perilaku seks heteroseksual maupun homoseksual. Kelainan

susunan saraf otak ini disebabkan oleh radang atau patah tulang dasar tengkorak.

2) Faktor Psikodinamik, yaitu adanya gangguan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak.

3) Faktor Sosiokultural, yaitu adanya adat-istiadat yang memberlakukan hubungan homoseksual

dengan alasan yang tidak benar.

4) Faktor Lingkungan, dimana memungkinkan dan mendorong hubungan para pelaku homoseksual

menjadi erat.

Dari keempat faktor tersebut, penderita homoseksual yang disebabkan oleh faktor biologis

dan psikodinamik memungkinkan untuk tidak dapat disembuhkan menjadi heteroseksual.

Namun jika seseorang menjadi homoseksual karena faktor sosiokultural dan lingkungan,

maka dapat disembuhkan menjadi heteroseksual, asalkan orang tersebut mempunyai tekad

dan keinginan kuat untuk menjauhi lingkungan tersebut. (Vaughan, 2007)

4. Pandangan Agama mengenai LGBT


5. Pandangan sosial dan budaya terhadap LGBT
Kita ketahui bersama mayoritas masyarakat tidak menyukai kelompok ini atau
perkumpulan para LGBT dikarenakan sangat mengganggu perkembangan zaman terutama
untuk anak-anak dan remaja yang mulai tumbuh gairah sekssualnya. Hal ini sangat
memprihatinkan di dalam masyarakat karena bukan hanya dampak terhadap anak tapi
kaum LGBT ini mengancam kesehatan masyarakat pada umumnya, dan dalam kondisi
kateraturan Kaum lesbian, gay, biseksual, dan trangender (LGBT) di Indonesia akan
menghadapi tantangan hukum dan perasangka yang tidak dialami oleh penduduk non-
LGBT. Banyak orang tahu tentang konsep orientasi seksual yang beragam, namun tidak
banyak yang mengenal orang yang secara terbuka homoseksual atau orang yang merasa
dirinya tertarik atau melakukan hubungan seks dengan orang dengan gender sejenis.Secara
sepintas, orang transgender terutama waria, mendapatkan toleransi dan dapat ditemukan di
banyak lingkungan pergaulan masyarakat. Yang tidak disadari adalah keadaan bahwa
banyak orang seperti ini mungkin dapat "ditoleransi" tetapi belum tentu mereka diterima
oleh keluarga sendiri. Penerimaan berarti orang transgender dapat mengikuti seluruh
kegiatan keluarga dan masyarakat tanpa rasa enggan atau ragu-ragu. Sedangkan toleransi
biasanya diberikan secara kurang rela atau karena suatu keharusan.(suhery,2016)

Demikian pula, segelintir orang yang dikenal sebagai lesbian, gay atau biseksual
oleh orang-orang di sekitar mereka cenderung ditolerir oleh orang yang belum tentu dapat
menunjukkan toleransi yang sama bagi anggota keluarga mereka sendiri. Namun secara
konseptual, banyak orang Indonesia akan menyatakan bahwa mereka menentang
homoseksualitas. Laporan Global Attitudes Project oleh Pew Research mengenai sikap
terhadap homoseksualitas menunjukkan adanya penolakan terhadap homoseksualitas oleh
93% responden survei di dalam negeri dan hanya ada 3% yang bersikap menerima. Di lain
pihak, semakin banyak orang yang bersikap progresif dan liberal serta memahami prinsip-
prinsip hak asasi manusia, atau pernah membaca tentang keragaman identitas dan ekspresi
gender serta orientasi seksual, dan dapat menerima keragaman dalam segala aspeknya.
(Dede oetomo,2013)
Masyarakat Indonesia mempunyai budaya yang sangat beragam. Di satu sisi, dapat
ditemukan bukti peninggalan zaman dulu tentang penerimaan beragam gender dan
sekualitas pada banyak kelompok etnis dan bahasa. Namun di sisi lain terdapat
heteronormativitas dan binarisme gender yang konservatif yang berasal dari modernitas
sekuler dan religius pada awal abad ke-20, yang berpaling dari nilai-nilai leluhur. Ada juga
berbagai kelompok masyarakat yang memandang Indonesia sebagai bangsa yang modern
dengan nilai liberal, demokratis dan humanis. Mereka mempertanyakan dan mengkritik
berbagai aspek budaya tradisional maupun modern yang bersifat opresif, dan berusaha
membangun masyarakat yang dapat sepenuhnya menerima hal-hal yang berbeda, termasuk
perbedaan orientasi seksual dan identitas gender.
Secara umum, tantangan terbesar yang harus diatasi orang individu LGBT sebelum
mereka dapat sepenuhnya menjalani hidup sebagai lesbian, pria gay, orang biseksual atau
orang transgender, adalah keluarga sendiri. Ada keluarga yang sangat mengasihi anggota
keluarganya, sampai pada tingkat bahwa apapun yang mereka lakukan atau apapun yang
terjadi, mereka tetap diterima penuh sebagai anggota keluarga. Dalam keluarga yang
demikian, jika orang tua atau saudara mendapati orientasi seksual atau identitas gender
yang berbeda pada anak atau sesama saudaranya, mereka dapat menerimanya, meskipun
mungkin sulit pada awalnya. Ada yang bahkan berusaha memahami permasalahan yang
terkait dengan keragaman orientasi seksual dan identitas gender ini, dengan mencari-cari
informasi, yang saat ini menjadi lebih mudah dengan adanya akses internet yang semakin
baik.
Keluarga lain mungkin terkejut pada awalnya dan bereaksi keras terhadap anggota
keluarganya yang LGBT. Namun seiring berjalannya waktu, mereka menjadi lebih terbiasa
dengan pengungkapan orientasi seksual atau identitas gender ini, terlebih apabila anggota
keluarga tersebut bisa memperoleh penghasilan untuk membantu menafkahi keluarganya.
Namun ada juga keluarga yang sampai mengusir anak atau saudaranya yang LGBT, hal
yang tentunya sangat menyakitkan perasaan mereka. Dalam banyak kasus, hubungan yang
retak ini tidak dapat dipulihkan kembali.
Ada dua alasan utama yang menyebabkan kaum LGBT tidak diterima oleh
keluarganya:
1. Desakan besar untuk menikah secara heteroseksual dan mendirikan keluarga,
yang sangat kuat terlihat dalam masyarakat Indonesia. Salah satu pertanyaan umum
yang biasa diajukan saat berkenalan dengan orang baru adalah, "Sudah menikah?"
Praktek kawin paksa sudah jarang terjadi, namun penjodohan masih dipandang
sebagai hal yang baik, sementara wanita yang belum menikah dan wanita menikah
yang belum punya anak dianggap sebagai hal yang harus dikasihani. Banyak orang
mengungkapkan rasa kasihan tersebut secara terang-terangan. Bagi kelompok
LGBT, meskipun kebiasaan ini dapat mereka abaikan sebagai basa-basi saja,
namun apabila terjadi di dalam keluarga sendiri bisa dirasakan cukup mengganggu.
Bahkan ada yang sampai pindah menjauhi keluarganya dan menghindar untuk tidak
terlalu sering mengunjungi mereka. Takut ketahuan sebagai orang LGBT juga
menambah alasan terjadinya perpisahan ini.
2. Karakteristik lain yang cukup penting bagi sebagian besar orang Indonesia, entah
dianut dengan sungguh-sungguh atau tidak, adalah agama. Dalam hal ini, banyak
orang mengenal doktrin harafiah yang menyangkut hal-hal lahiriah saja, dan
berusaha mentaatinya. Ajaran ini seringkali dicampur-adukkan dengan budaya,
sekali lagi yang pada zaman dulu menunjukkan penerimaan yang kaya dan
beragam terhadap berbagai gender dan seksualitas, namun terhapus oleh arus
modern abad kedua puluh. Penekanan pada penampilan religius mulai muncul
setelah pemberantasan kekuatan sayap kiri pada tahun 1965-1966, yang menyoroti
kaum komunis yang dicap sebagai kafir. Bahkan sampai sekarang sebagian besar
politisi tidak bersedia berpenampilan sekuler karena khawatir tidak akan
memperoleh suara dalam pemilu. Doktrin-doktrin harafiah agama Kristen dan
Islam hanya mengenal dua jenis gender saja dan mengecam seksualitas di luar
nikah. Agama besar lain menolak perbedaan orientasi seksual dan identitas gender
dengan merujuk pada budaya heteronormatif.
6. Dasar Hukum LGBT
a. Dasar hukum international

b. Dasar hukum di Indonesia


Beberapa dasar hukum yang melarang LGBT di Indonesia diantaranya adalah sebagai

berikut. (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

· Pasal 289 KUHP

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan

atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang

menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

· Pasal 290 KUHP

Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.


· Pasal 291 KUHP
1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya
bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau kalau
umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin:
3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus
diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas yang
bersangkutan atau kutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan
orang lain.
· Pasal 292 KUHP
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara tegas mendefinisikan
perkawinan sebagai pemersatuan antara seorang pria dan seorang perempuan. Belum ada
usaha advokasi terpadu yang pernah dilakukan oleh aktivis LGBT untuk menuntut
reformasi undang-undang tersebut. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974)
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
 Pasal 64 “Pengisian kolom jenis kelamin seorang warga Negara Indonesia harus
diisi dengan laki-laki atau perempuan. Hal tersebut dapat diartikan bahwa jenis
kelamin yang diakui di Indonesia hanyalah laki-laki dan perempuan, serta belum
mengatur tentang pengakuan status kaum Transgender”
 Pasal 56 tentang pencatatan peristiwa penting lainnya dimana yang
dimaksudkan antara lain adalah tentang hal perubahan jenis kelamin. Pencatatannya
dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan Penduduk yang
bersangkutan setelah adanya penetapan pengadilan negeri yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana disebutkan
bahwa pernikah yang diakui oleh Negara adalah pernikahan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan.
· Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi memasukkan istilah
"persenggamaan yang menyimpang" sebagai salah satu unsur pornografi. Dalam penjelasan
pengertian istilah ini mencakup antara lain "persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan
mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual." Meskipun larangan berlaku
terhadap produksi dan penyebaran pornografi, undang-undang ini dipahami oleh banyak pria gay
dan perempuan lesbian sebagai hukum yang memidanakan hubungan seks homoseksual. Sekali
lagi, cukup menarik bahwa kaum transgender tidak disebutkan.
· Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Adopsi secara tegas menetapkan
bahwa orang tua yang mengadopsi tidak boleh berupa pasangan homoseksual. Adopsi oleh
orang yang belum kawin tidak diperkenankan.
Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 diatur tentang orang yang disebut
sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial. Di antaranya adalah mereka yang
karena perilaku seksualnya menjadi terhalang dalam kehidupan sosial, yaitu waria (pria
transgender tidak disebutkan), pria gay dan perempuan lesbian. Solusi untuk hal ini secara
kurang jelas disebut sebagai "rehabilitasi." Penyusunan peraturan ini tampaknya dilakukan
tanpa berkonsultasi dengan orang-orang yang dimaksudkan untuk dibantu dalam ketentuan
tersebut. Selain itu masih belum jelas pula tentang pelaksanaannya. Yang sering terjadi di
banyak tempat adalah pelaksanaan razia terhadap orang-orang seperti itu, yang kemudian
dikirim ke pusat-pusat rehabilitasi yang melakukan pembinaan bagi mereka untuk
"berintegrasi ke dalam masyarakat". Seperti yang akan dijelaskan kemudian, tindakan ini
seringkali terkait dengan praktek korupsi oleh aparat penegak hukum.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Widhiatmoko B dan Suyanto E tahun 2013
menyebutkan bahwa menurut undang-undang kependudukan, data kependudukan tidak
dapat dirubah tanpa hak oleh siapapun, bila ada penggantiaan data, misalnya nama atau
karena peristiwa penting lainnya, dapat dilakukan tetapi harus melalui ketetapan
pengadilan negeri. Namun, untuk perubahan jenis kelamin tidak dicantumkan secara
khusus dalam undang-undang yang ada. Hal ini menyebabkan kekosongan hukum.Dengan
adanya Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman maka hakim harus membuat sebuah keputusan.Keputusan
ini harus didasari pertimbangan yang kuat dan didapat dari berbagai ahli selain para dokter
yang menangani kasus ambiguous genetalia ini. Tindakan pembedahan untuk
menyempurnakan atau menyesuaikan (mengganti) bentuk alat kelamin agar sesuai kelamin
sebenarnya tidak melanggar undang-undang yang ada dan etika kedokteran di Indonesia
Keputusan hakim mengenai pengambilan putusan mengenai pergantian kelamin ini
didasarkan terhadap dua aspek yaitu aspek hukum dan non-hukum (medik). Aspek hukum
yang dijadikan acuan adalah Pasal 50 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat”.
Sedangkan pertimbangan dari aspek medis mengenai penentuan jenis kelamin seseorang,
sekurang-kurangnya ada 5 aspek penting yang perlu dipertimbangkan, yaitu: (a) Aspek
Kromosom, (b)Aspek alat kelamin primer (organ kelamin dalam yaitu testis dan ovarium),
(c) Aspek alat kelamin sekunder (organ kelamin luar yaitu penis serta vulva dan vagina),
(d)Aspek Hormonal dan (e) Aspek psikologik.

Beberapa Peraturan Daerah mengenai LGBT antara lain sebagai berikut.


a. Perda Provinsi tentang Pemberantasan Maksiat Nomor 13 Tahun 2002 di Provinsi
Sumatera Selatan. Perda ini menggolongkan perilaku homoseksual dan anal seks oleh laki-laki
(tanpa menyebutkan apakah bersifat penetratif atau menerima) sebagai perbuatan tidak bermoral,
sebagaimana halnya prostitusi, perzinahan, perjudian dan konsumsi minuman beralkohol.
b. Perda Kota tentang Pemberantasan Pelacuran Nomor 2 Tahun 2004 di Palembang,
ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Perda ini serupa dengan Perda Provinsi, hanya
menggunakan istilah "pelacuran" dan bukan "maksiat."
c. Perda Kabupaten tentang Ketertiban Masyarakat Nomor 10 Tahun 2007 di Banjar,
Provinsi Kalimantan Selatan. Perda ini dalam definisinya tentang "pelacur" menyebutkan
perbuatan homoseksual dan heteroseksual yang "tidak normal" (di samping perbuatan yang
"normal"). Tidak ada penjelasan tentang apa yang merupakan perbuatan "normal" atau "tidak
normal." Perda ini juga melarang pembentukan organisasi "yang mengarah kepada perbuataan
asusila" yang "tidak bisa diterima oleh budaya masyarakat [setempat]." Hal ini kemudian
dijelaskan dengan menyebutkan contoh organisasi lesbian dan gay "dan sejenisnya”.
d. Perda Kota tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang
Berlandaskan Pada Ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial Masyarakat Nomor 12
Tahun 2009 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Perda ini melarang perzinahan dan pelacuran, baik
heteroseksual maupun homoseksual.
e. Perda Kota tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Sosial
Nomor 9 Tahun 2010 di Padang Panjang, Sumatera Barat.
Bagian definisi istilah secara tegas menyebutkan hubungan "homoseksual dan lesbian" dan
selanjutnya melarang hubungan tersebut serta melarang orang yang "menawarkan diri
untuk terlibat dalam hubungan homoseksual maupun lesbian, baik dengan atau tanpa
menerima upah."
Keempat Perda pertama di atas hanya mengatur tentang hukuman atas perbuatan asusila
tersebut.Secara umum disebutkan tentang "ketentuan perundang-undangan yang berlaku",
yang dimaksud sebagai perundang-undang nasional.Namun, Perda kelima secara tegas
menetapkan hukuman bagi berbagai perbuatan asusila sampai setinggi-tingginya tiga bulan
penjara atau denda sebesar Rp 10,000,000 (sekitar USD835). Terdapat Perda lain tentang
perbuatan asusila yang telah disahkan oleh DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
pada tahun 2009, yang memidanakan seks atas dasar suka sama suka oleh pria dewasa dan
perempuan dewasa, namun rancangan Perda ini belum ditandatangani oleh Gubernur
provinsi tersebut. Menarik untuk perhatikan bahwa waria (perempuan transgender) sama
sekali tidak disebutkan dalam Perda-Perda tersebut. Hal ini tampaknya menjadi
konsekuensi logis dari asumsi keberadaan hanya dua gender saja dalam undang-undang
negara. Menurut Undang-undang Republik Indonesia, mereka tetap dianggap sebagai pria.
Lima Perda diatas dapat dianggap sebagai pengecualian terhadap peraturan yang berlaku
umum. Namun, kalangan aktivis LGBT dan para sekutunya dalam gerakan hak asasi
manusia, baik arus utama maupun feminis, seringkali mengkhawatirkan bahwa tuntutan
dari para anggota legislatif dan kelompok-kelompok penekan berhaluan konservatif dapat
menjadi semakin vokal, dengan berdasarkan penafsiran mereka terhadap syariah Islam. Hal
ini dapat diterjemahkan ke dalam semakin banyak Perda, atau bahkan perundang-undang
nasional, yang serupa.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,


tercantum bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dimana undang-undang ini membahas
tentang perlindungan anak, yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.Seperti yang tertera pada pasal 15 bahwa setiap anak berhak
untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual. Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan
Perlindungan Khusus kepada Anak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
kepada: Anak korban kejahatan seksual. Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau
ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian
kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul. Tertera bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan
paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00. Kemudian apabila
pelaku merupakan orang tua atau wali pelaku, hukum akan dikenakan /3 lebih berat dari
1

hukuman awal.
7. Peran Dokter dalam menangani kelompok LGBT
Kaum LGBT seringkali menerima pelayanan kesehatan yang kurang memadai
karena stigma, kurangnya kesadaran penyedia layanan kesehatan dan dari kaum LGBT
sendiri bahwa mereka memerlukan pelayanan kesehatan rutin yang disebabkan oleh
aktifitas seksual (Hafeez,2017).
LGBT merupakan minoritas yang seringkali mendapat perlakuan diskriminatif
karena orientasi seksualnya berbeda, sehingga terciptakan stigma dalam masyarakat untuk
di kucilkan. Hal ini yang membuat kaum LGBT menjadi tidak percaya diri untuk muncul
dalam masyarakat, terutama dalam memeriksakan kesehatan padahal risiko penularan
penyakit seksual lebih tinggi dibandingkan non LGBT (Everett,2013).
Penyedia kesehatan juga diperlukan edukasi yang lebih dalam menangani kaum
LGBT. Stigma yang melekat dalam kaum LGBT menuntut penyedia pelayanan kesehatan
untuk memiliki strategi yang berbeda dalam menangani masalah kesehatan kaum LGBT.
Pemerintah Indonesia dalam menangani hal ini memiliki program Voluntary
Counseling and Testing (VCT) bagi kaum LGBT untuk screening rutin yang dapat
dilakukan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer (FKTP). Saat melakukan VCT, dokter
juga melakukan edukasi mengenai pencegahan seperti antara lain menggunakan kondom
saat berhubungan seksual, menekankan manfaat tes HIV sedini mungkin serta pengobatan
ARV.
Penyedia pelayanan kesehatan di FKTP tersebut bekerjasama dengan LSM,
Komunitas ODHA dan para kader kesehatan untuk menyebarkan luas informasi mengenai
program ini.
Pada FKTP Puskesmas Halmahera, kota Semarang membuat program khusus VCT
pada malam hari setelah jam pelayanan secara rutin. Program ini diterapkan dengan
harapan kaum LGBT lebih percaya diri untuk ke puskesmas, menjaga kerahasiaan dan
meminimalisir prasangka dari masyarakat karena pada saat malam hari puskesmas dibuka
hanya untuk program VCT.
Kejiwaan juga perlu di perhatikan terutama pada kaum LGBT yang masih dibawah
umur (kurang dari 18 tahun). Remaja pada saat masa pubertas berusaha mencoba mencari
“identitas” maka para remaja sangat memperhatikan seksualitas dan jenis kelamin, karena
ini juga para remaja pada umumnya sangat menghakimi satu dengan yang lain (Mulvey,
2015). Remaja lebih rentan untuk memiliki sikap eksklusi sosial s sedangkan pada remaja
yang beranjak dewasa memiliki kemampuan untuk berpikir atau evaluasi terlebih dahulu
dalam menentukan penilaian sosial (Horn, 2006). Maka dari itu, kaum LGBT sering
mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai LGBT pada saat remaja. Pengidentifikasian diri
inilah yang menyebabkan kaum remaja LGBT rentan terhadap pengucilan dan pengasingan
sosial / isolasi sehingga memiliki dampak terhadap kesehatan jiwa pada remaja.
Kaum LGBT remaja mempunyai suatu hambatan dalam mengakses layanan
kesehatan, baik dari kaum LGBT remaja sendiri karena isolasi sosial serta dari tenaga
medis sendiri. Dalam pelayanan kesehatan LGBT sering kali dipengaruhi oleh prasangka,
ras dan kepercayaan sosial, agama (Rowe,2017).
Dokter dalam menangani kaum LGBT di perlukan pelayanan tidak hanya dari
aspek medis namun dari aspek kejiwaan. Kaum LGBT lebih rentan karena sering kali
mengalami penghakiman sosial, dalam melayani kaum LGBT harus diperhatikan dalam
penggunaan bahasa selayaknya etika Dokter dalam melayani pasien.

8. Peran Ilmu Forensik pada kasus LGBT


Kedokteran forensik dapat dianggap sebagai ilmu kedokteran yang menerapkan
prinsip-prinsip dan praktik kedokteran dalam penjelasan dari berbagai pertanyaan dalam
proses peradilan. Oleh karena itu, tidak tepat untuk melihat subjek kedokteran forensik dari
tabel otopsi saja. Aspek pemeriksaan orang hidup untuk keperluan medikolegal dapat
disebut sebagai Kedokteran Forensik Klinis, karena terdapat sejumlah keadaan untuk
pemeriksaan medikolegalnya. Para korban serangan, pelanggaran seksual, kecelakaan,
kemabukan, dll., Semua memerlukan pemeriksaan dan laporan tentang kondisi mereka
sehingga proses hukum dapat dimulai.
Pelanggaran seksual dapat dianggap sebagai tindakan hubungan seksual dan / atau
gangguan seksual dengan seseorang atau hewan yang melanggar ketentuan hukum. Ini
dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok:
A. Pelanggaran Seksual Alami
1. Perkosaan
2. Incest
B. Pelanggaran Seksual Tidak Alami
1. Sodomi
2. Koitus oral
3. Lesbianisme / tribadisme
4. Bestiality
C. Pelanggaran yang Berhubungan Seks Lainnya
1. Beberapa tindakan mesum melanggar hukum
2. Penculikan wanita, pelacuran tidak sah, dll.

Pelanggaran Seksual Unnatural


Kata ‘carnal’ adalah kata kuno yang digunakan untuk menunjukkan 'seksual' dalam
bahasa hukum. Namun, kata tersebut berasal dari bahasa Latin 'caro carnis' yang berarti
'tubuh atau daging'. Oleh karena itu, bagian ini, secara umum dipahami sebagai bentuk
penetrasi perannum, menempatkan organ ke dalam mulut manusia (coitus per os),
melakukan hubungan intim di ketiak, lipatan submamma, dll.
Sodomi
Sodomi berarti hubungan seks anal antara dua pria (homoseksual) atau antara pria
dan wanita (heteroseksual). Dulu dipraktekkan di kota Sodom. Orang-orang Yunani dari
Zaman Keemasan juga mempraktikkannya dan karena itu disebut Cinta Yunani. Hal ini
juga disebut Buggery. Di Inggris, tindakan hubungan seks anal tidak lagi merupakan tindak
pidana jika terjadi di antara persetujuan pria dewasa (dari dan di atas usia 21 tahun) dan
tindakan tersebut dilakukan secara pribadi. Sodomi secara populer disebut sebagai
paederasty ketika agen pasif adalah seorang anak, yang dikenal sebagai catamite. Jika agen
pasif dewasa, seseorang tersebut disebut gerontophilia. Seorang pedofil adalah orang
dewasa yang sering melakukan kegiatan seksual dengan anak-anak. Sodomi dapat terjadi
di asrama, penjara, barak militer, dll., Hal ini dapat dilihat secara umum di mana anak laki-
laki atau tahanan dapat bertindak atau sebagai agen pasif untuk kepuasan seksual.

Pemeriksaan Agen Pasif


Syarat :
(a) Permintaan untuk pemeriksaan dari orang yang berwenang.
(b) Identifikasi korban oleh orang tua atau wali dan mencatat tanda identifikasi.
(c) Persetujuan untuk pemeriksaan dari individu atau orang tua atau wali sebagaimana
kasusnya.
(d) Kehadiran petugas wanita saat memeriksa agen pasif wanita.

Anamnesis Riwayat
Riwayat Umum meliputi hal berikut:
· Riwayat penyakit masa lalu
· Operasi bedah
· Pengobatan yang sedang digunakan atau penggunaan alkohol
· Dalam hal agen pasif wanita, detail persalinan atau instrumentasi selama persalinan yang dapat
mengubah anatomi anal dan perineum.
· Kebiasaan buang air besar dan apakah ada operasi atau instrumentasi pada usus besar

Riwayat spesifik mencakup hal berikut:


· Tanggal, tempat, dan waktu dari tindakan yang dituduhkan
· Tindakan kekerasan
· Penggunaan lubrikan atau pelumas
· Riwayat nyeri, perdarahan dari saluran anus
· Apakah pasien buang air besar sejak tindakan
· Apakah ada pakaian ganti sejak tindakan
· Apakah agen pasif telah mandi atau mencuci area anal setelah tindakan

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan khusus pada area di dalam dan sekitar anus dan alat kelamin: Pertama,
rambut kemaluan perlu diperhatikan. Setiap area yang kusut, jika ada, harus dipotong
sedekat mungkin dengan kulit dan dikirim untuk pemeriksaan laboratorium. Setiap rambut
asing yang terjerat atau jejak bukti harus dicari. Penis juga dilakukan pemeriksaan karena
pada beberapa kasus adanya kontak oropenile dapat terjadi sebelum hubungan seks anal.
Dilakukan pemeriksaan swab pada batang penis dan glans penis untuk mencari apakah
terdapat jejak saliva atau jejak bukti lain. Perineum perlu diobservasi dengan perhatian
khusus pada anal di bawah cahaya yang baik dan pasien dalam posisi lutut-siku (knee
elbow). Sebelum pemeriksaan digital dilanjutkan, perlu diambil usap dari perineum dan
daerah yang lebih dalam. Area anal: penampilan anal harus diperhatikan secara hati-hati.
Biasanya, lubang anus seperti celah, berjalan anteroposterior; kulit di sekitarnya
menunjukkan lipatan alami yang dari otot cutis ani corrugator. Dalam kasus di mana anal
telah terjadi hubungan intim, umumnya ada perubahan dalam anatomi normal, dan luasnya
perubahan seperti itu tergantung pada faktor-faktor berikut:
· Frekuensi tindakan hubungan seks anal
· Interval waktu antara terakhir berhubungan seks dengan pemeriksaan
· Umur dan ukuran lubang pada individu tertentu
· Ukuran organ penis
· Penggunaan pelumas
Hubungan intim pertama kali menghasilkan perubahan pada penampilan anal yang
bervariasi dari robek terbuka pada kulit anal dan otot sphincter yang mendasarinya atau
fisura ani atau abrasi / memar. Hal ini diakibatkan oleh gesekan dari penis tetapi mungkin
juga disebabkan oleh kuku selama tindakan menggaruk karena kebersihan area yang buruk.
Pelumasan yang efektif akan mengurangi produksi lecet ini. Memar dapat terjadi di dalam
dan sekitar anus pada beberapa kasus. Robeknya sfingter jarang terjadi pada orang dewasa,
tetapi bisa terjadi pada anak-anak. Karena kontraksi hebat dari sfingter, penis jarang
menembus lebih dalam dan akibatnya menyebabkan sobekkan yang berbentuk segitiga dan
memanjang ke dalam rektum secara vertikal. Dalam hal wanita yang sudah memiliki anak,
kekuatan berkurang di sisi anterior ani, dan karena itu fisura anterior juga dapat terjadi.
Jika ada spasme sfingter, pemeriksaan dapat dilakukan dengan anestesi.

Tanda-tanda Hubungan Seks Anal Habitual


Tanda-tanda yang ditemukan di agen pasif yang terbiasa dengan tindakan sodomi sebagai
berikut:
· Kondisi anus melebar, lipatan normal pada tepi anus cenderung hilang sehingga margin anal
tampil jauh lebih halus.
· Penebalan kulit pada tepi anus, yang dapat memanjang kedalam kanalis anal sampai
mucocutaneous junction
· Bekas luka dari celah yang sembuh dapat terlihat.
· Dalam kasus ekstrim (habitualis anal intercourse), area anal tampak seolah-olah terletak dalam
seperti berbentuk corong. Dapat dilakukan tes habituasi untuk hubungan seks anal yaitu tes traksi
bokong lateral. Di mana ibu jari ditempatkan di bokong pada kedua sisi anus dan traksi ke arah
lateral secara lembut. Pada pasien yang tidak terbiasa dengan penetrasi anal (penis atau
instrumental atau lainnya), traksi menghasilkan penyempitan refleks sfingter anal, sebaliknya bagi
yang terbiasa dengan penetrasi anal terjadi refleks dilatasi sfingter.

Buccal Coitus (Dosa Gomorrah)


Pelanggaran ini disebutkan dalam Alkitab. Dulu dipraktikkan di kota Gomora dan
karenanya nama ‘dosa Gomorrah 'dikaitkan dengan praktik ini. Koitus oral mungkin
dipraktikkan oleh kedua jenis kelamin. Ketika organ pria dihisap oleh seorang perempuan
atau laki-laki lain, disebut fellatio. Saat bercinta organ wanita (termasuk klitoris) dihisap
oleh laki-laki atau perempuan lain, itu disebut cunnilingus. Dengan demikian praktik ini
dapat terjadi ada homoseksual atau heteroseksual. Mungkin tidak ada sperma/cairan
mani/lendir vagina di wajah atau mulut agen pasif karena telah dicuci, tetapi tanda-tanda
dalam bentuk cedera ringan dapat terjadi pada wajah dan di tempat lain tubuh. Penis dari
terdakwa mungkin menunjukkan lecet yang disebabkan oleh gigi dan mungkin memiliki
noda air liur.

Homoseksualitas
Istilah 'homoseksualitas' menunjukkan pikiran dan perasaan erotis terhadap orang
yang berjenis kelamin sama serta perilaku seksual terkait lainnya. Dalam kasus wanita,
istilah 'lesbianisme' dan 'safir' berasal dari Pulau Lesbos di laut Aegea, yang saat itu
diperintah oleh Ratu Sappho. Dalam kasus pria, hubungan fisik homoseksual termasuk
kontak genital oral, saling masturbasi, dan anal. Dan dalam hal wanita, biasanya hubungan
fisik termasuk membelai, stimulasi payudara, saling masturbasi dan kontak genital-oral
(cunnilingus). Beberapa wanita mungkin berlatih kontak seluruh tubuh dengan gesekan
atau tekanan genital (tribadisme), atau gunakan vibrator atau lingga buatan (dildo).
Pasangan aktif dan pasif biasanya ditukar. Lesbian aktif yang istimewa (yang paling sering
seorang waria atau waria) dikenal sebagai butch atau gili, sementara agen pasif yang biasa
disebut femme.

Aspek Medikolegal Semen


Semen adalah cairan kental dengan kuning keabu-abuan warna dan bau khas.
Volume rata-rata dari satu ejakulasi berkisar antara 1,5 dan 5,0 ml. Biasanya ada antara 60
dan 150 juta sperma per mililiter ejakulasi, di mana sekitar 80% bergerak di waktu
ejakulasi. Kelangsungan hidup sperma tergantung pada konsentrasi, motilitas dan
kecepatan sperma bagian. Tingkat motilitas selanjutnya dapat dilaporkan dalam istilah
hipokinetik, normokinetik dan hiperkinetik. Tarif biasa kecepatan 1-4 mm per menit.

Identifikasi Seminal
Apakah bahan / noda berasal dari mani mungkin dinilai melalui pemeriksaan pendahuluan
oleh pemeriksaan fisik dan kimia :
A. Pemeriksaan fisik
Tampilan dengan mata telanjang pada noda mani di kain tergantung pada latar
belakang di mana ia berada. Noda kain putih tampak kuning dengan batas tampak lebih
gelap dari pusat. Pada kain berwarna atau kotor, tidak ada warna. Pada permukaan
nonabsorben seperti kulit manusia dan kulit sintetis, dapat terlihat bersisik. Pada
permukaan yang mudah menyerap seperti kapas, sutra atau wol, mungkin noda tidak
berwarna atau abu-abu. Saat diperiksa di bawah sinar ultraviolet, noda mani
menunjukkan fluoresensi putih kebiruan. Noda bercampur darah mungkin tidak
berfluoresensi. Zat seperti noda makanan, sekresi vagina, urin, nanah, dll. juga dapat
menunjukkan fluoresensi. Noda pada sutra sintetis tidak menunjukkan fluoresensi.
B. Pemeriksaan Kimia
Merupakan salah satu rapid test yaitu tes Florence (kristal jarum kolin peryodida,
berwarna coklat tua, tersusun dalam kelompok) dan tes Barberio (menunjukkan kristal
berbentuk jarum kuning dari spermine picrate). Kedua tes ini hanya sugestif. Hasil
negatif tidak langsung menyingkirkan kemungkinan adalah air mani.
Tes kimia lain yaitu tes enzim asam fosfatase. Namun, saat ini tes tersebut
digunakan hanya sebagai tes penyaringan. Perlu ditambahkan di sini bahwa di dalam
konteks medikolegal, faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas enzim dalam saluran
vagina saat pemeriksaan, yaitu. (i) gangguan somato-seksual, (ii) prostatitis kronis
(mengarah ke rendahnya tingkat enzim dalam semen), (iii) jumlah cairan mani yang
diendapkan ke dalam vagina, (iv) aktivitas korban (apakah dia telah mencuci, atau
melakukan banyak berjalan, dll) dan (v) lingkungan vagina (bakteri, konsentrasi ion
hidrogen,dll.)

Uji Konfirmasi Untuk Semen


A. Pemeriksaan mikroskopis
Deteksi mikroskopis dari noda mani untuk menentukan morfologi spermatozoa,
dengan demikian menawarkan keuntungan tambahan dari mana asalnya. Tes ini berfungsi
sebagai tes konfirmasi untuk semen di mana pun sperma terbukti, dan berharga dalam
menentukan potensi sperma. Sehubungan dengan penentuan potensi, jumlah sperma dan
motilitas sperma harus ditentukan. Cairan semen yang baik biasanya mengandung tidak
kurang dari 60 juta sperma per mililiter. Cara kerja: 1 tetes lendir vagina/ air mani pada
obyek glass +/- 1 tetes NaCl 0.9%. Lalu periksa di bawah mikroskop dengan pembesaran
400x. Intepretasi hasil jika ditemukan sperma masih bergerak menandakan 2-3 jam pasca
coitus, jika tidak bergerak 3-6 hari pasca persetubuhan/, jika negatif lanjutkan pemeriksaan
dengan pewarnaan
BAB III
KESIMPULAN

LGBT adalah akronim dari “lesbian, gay, biseksual dan transgender”. Dimana gay adalah
seorang laki-laki yang secara fisik, emosional dan atau spiritual tertarik pada laki-laki lain, lesbian
adalah seorang perempuan yang secara fisik, emosional dan atau spiritual tertarik pada perempuan
lain, Biseksual adalah seorang laki-laki ataupun perempuan yang mempunyai ketertarikan seksual
terhadap laki-laki sekaligus perempuan dalam waktu yang bersamaan. Transgender adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki identitas gender atau ekspresi
gender yang berbeda dengan gender yang ditunjuk sedari lahir. LGBT merupakan salah satu
keberagaman orientasi seksual
Hingga saat ini belum ada hukum spesifik yang mengatur mengenai LGBT sehingga
LBGT masih belum di legalkan di Indonesia. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan secara tegas mendefinisikan perkawinan sebagai pemersatuan antara seorang pria dan
seorang perempuan. Belum ada usaha advokasi terpadu yang pernah dilakukan oleh aktivis LGBT
untuk menuntut reformasi undang-undang tersebut. Sama halnya yang teretulis pada Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 64 “Pengisian kolom
jenis kelamin seorang warga Negara Indonesia harus diisi dengan laki-laki atau perempuan. Hal
tersebut dapat diartikan bahwa jenis kelamin yang diakui di Indonesia hanyalah laki-laki dan
perempuan, serta belum mengatur tentang pengakuan status kaum Transgender”.
LBGT termasuk dalam pelanggaran seksual, tertera dalam Undang-undang Nomor 44
Tahun 2008 tentang Pornografi memasukkan istilah "persenggamaan yang menyimpang" sebagai
salah satu unsur pornografi. Dalam penjelasan pengertian istilah ini mencakup antara lain
"persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks,
lesbian, dan homoseksual."
Dampak dari perilaku LGBT yaitu meningkatnya angka infeksi menular seksual dan
masalah kesejahteraan sosial. dalam aspek masalah medis dibutuhkan peran dokter dalam
menangani kaum LGBT karena mereka lebih rentan akibat sering kali mengalami penghakiman
sosial, sehingga perlu diperhatikan dalam penggunaan bahasa selayaknya etika Dokter dalam
melayani pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Yusuf, Dr. Musa. 2014. LGBT, Nature or Ideology? : Sharing the Experience of a Former
Practitioner in Malaysia. Malaysia: Journal of Humanities and Social Science. Hal 62-69
2. Springate, Megan. 2016. A Theme Study of Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender and
Queer History. Washington: National Park Foundation. Hal 5-11
3. FAQ on health and sexual diversity: The Basics. 2016. World Health Organization
4. Marthilda, Dhea. 2014. Faktor-Faktor Pemilihan Orientasi Seksual (Studi Kasus Pada
Lesbian). Semarang: Jurusan Psikologi, Universitas Negeri Semarang. Developmental and
Clinical Psychology. Hal 18-23
5. Pratama, Rizki Akbar. 2018. Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender : Tinjauan Teori
Psikoseksual, Psikologi Islam dan Biopsikologi. Banda Aceh: UIN Ar-Raniry. Jurnal
Psikologi Islami Vol 4 hal 27-34.
6. Martos, Alexander. 2017. Lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT) health services
in the United States: Origins, evolution and contemporary landscape. United States:
Columbia University Mailman School of Public Health, New York. Hal 2-18
7. FAQ on Health and Sexual Diversity-An Introduction to Key Concepts. 2016. Geneva:
World Health Organization.
8. Meier. 2013. Key Terms and Concepts in Understanding Gender Diversity and Sexual
Orientation Among Students. A Publication of the American Psychological Association
Divisions.
9. Oetomo. 2000. “Masculinity in Indonesia: Genders, Sexualities and Identities in a
Changing Society.” Dalam Richard Parker et al. (eds), Framing the Sexual Subject: The
Politics of Gender, Sexuality, and Power. Berkeley dll.: Univ. of California Press, hal 46–
59.
10. Agustine, RR Sri. 2008. “Rahasia Sunyi: Gerakan Lesbian di Indonesia,” Jakarta:
Ardhanary Institute. Jurnal Perempuan 58 (Maret), hal 59–72.
11. Dédé Oetomo, Khanis Suvianita. 2013. Hidup sebagai LGBT di Asia; Laporan Nasional
Indonesia. UNDP, hal 18-22.
12. Anonim. 2012. “The GWL‐INA: The Story of a Network: The History and Developments
of the Network of Gay, Transgender and Men Who Have Sex with Men in
Indonesia.”Kesehatan Lesbian: Fakta dan Mitos. Jakarta: Ardhanary Institute.
13. Sinyo. 2014. Anakku Bertanya Tentang LGBT. Jakarta : PT. Elex Media. Komputindo
14. Suhery, dkk. 2016. Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) Dalam Perspektif
Masyarakat dan Agama. Jurnal Aristo Vol 4 hal 91.
15. Vij K. 2011. Textbook of Forensic Medicinde and Toxicology Principles and Practice. 5th
ed. India: Elsevier. P. 306-325.

Anda mungkin juga menyukai