Disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan senior Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang
Disusun oleh :
Residen Pembimbing
dr Hendrik S
Dosen Pembimbing
dr Intarniati Nur Rohmah, Sp.KF,M.Si,Med(K)
LEMBAR PENGESAHAN
Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal selama
di Bagian Forensik RSUP dr. Kariadi, Semarang.
Semarang, 23 Juni 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunianya sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat
ini dengan baik.
Adapun tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memperdalam pengetahuan tentang
“Aspek Medikolegal Lesbian Gay Biseksual dan Transgender” khususnya bagi dokter-dokter
muda yang sedang menjalankan kepaniteraan klinik. Adapun tujuan lain dari penulisan referat ini
adalah untuk memenuhi tugas referat kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal di RSUP Dokter Kariadi Semarang.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dorongan dari semua pihak, maka
penulisan referat ini tidak akan sempurna. Oleh karena itu pada kesempatan ini izinkanlah penulis
menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. dr Intarniati Nur Rohmah, Sp.KF,M.Si,Med(K)
2. dr. Hendrik S selaku pembimbing referat ini yang telah memberikan waktu, kritik, dan
saran yang membangun
3. Rekan-rekan yang telah memberikan bantuan baik secara material maupun spiritual bagi
penulis.
Pada akhirnya penulis berharap penulisan referat ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan berbagai pihak pada umumnya. Demi kesempurnaan penulis dimasa yang akan
datang, penulis memohon saran dan kritik yang membangun.
Tim Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi LGBT
2.2 Sejarah dan Perkembangan LGBT
2.3 Dasar ilmu kedokteran mengenai LGBT
2.4 Pandangan agama terhadap LGBT
2.5 Pandangan aspek sosial dan budaya terhadap LBGT
2.6 Dasar hukum LGBT
2.7 Peran Dokter dalam menangani LGBT
2.8 Peran Ilmu Forensik pada Kasus LGBT
BAB III PEMBAHASAN
BAB IV KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Isu mengenai LGBT saat ini sudah berada pada tatanan global, keberhasilan
penyebarannya dicapai melalui serangkaian gerakan pro-LGBT yang telah ada sejak lama.
Fenomena ini didukung dengan adanya deklarasi HAM universal (Universal Declaration of
Human Rights) pada tahun 1948, serta reformasi politik dan demokratisasi yang sering
“disalahpahami” sebagai proses liberalisasi dan kebebasan mengekspresikan diri. Secara
keseluruhan, semakin makmur dan sekuler suatu bangsa, maka semakin besar
kemungkinannya untuk merangkul hak-hak kaum LGBT. Sebaliknya, semakin miskin dan
religius suatu bangsa, maka semakin besar kemungkinannya untuk menekan kaum LGBT.
Saat ini, semakin banyak orang yang secara terbuka mengekspresikan orientasi
seksual mereka dan menuntut hak-hak mereka. Berkat kinerja para pelaku dan pendukung
pendukungnya, penerimaan hak LGBT di seluruh dunia semakin meningkat. Pemerintah di
beberapa negara mulai membuat undang-undang yang menerima LGBT serta undang-
undang anti diskriminasi, seperti Belanda, Prancis, Denmark, dan Inggris. Belanda
merupakan salah satu negara yang berhasil menjadi pelopor di Uni Eropa dalam
mempromosikan dan memperjuangkan hak-hak kaum LGBT dengan membuktikan
beberapa program yang pro terhadap kaum LGBT yang didukung oleh negara negara Uni
Eropa. belanda juga berhasil meningkatkan penerimaan sosial terhadap LGBT (Saskia,
David, 2007). Globalisasi LGBT terus meningkat, sehingga diperkirakan di tahun-tahun
mendatang, akan ada perkembangan isu utama hak-hak LGBT dalam skala global
seperti:Pemberantasan penganiayaan berdasarkan orientasi seksual; Perlindungan hukum
kaum LGBT dari kebencian dan propaganda kebencian; Hak-hak istimewa yang sama
(pernikahan, kemitraan, pengambilan keputusan medis, kehendak, pengasuhan dan adopsi);
serta sosialisasi terhadap orang lain yang cenderung homofobia dan heteroseksisme
(Subhrajit, 2014).
Data Pusat Kontrol dan pencegahan penyakit pada tahun 2014 menunjukkan bahwa
sebanyak 83% laki-laki gay dan bisexual terdiagnosis HIV baru dengan rata-rata umur
lebih dari 13 tahun. Laki-laki gay memiliki risiko tinggi terkena berbagai macam kanker
seperti kanker prostat, testis, kolon, anorectal. Pada LSL (Lelaki Sex Lelaki) memiliki
risiko tinggi untuk terkena penyakit menular seksual (PMS) seperti sifilis, infeksi Human
Papillomavirus (HPV), dan hepatitis. Pada beberapa literature juga menyebutkan adanya
risiko tinggi terhadap terjadinya kanker payudara, kanker ovarium, dan kanker
endometrium pada para lesbian dan wanita biseksual karena masih sedikit populasi yang
hamil dan melakukan mamografi, dan banyak yang terkena obesitas. Pada komunitas
Afrika-Amerika menyebutkan bahwa prevalensi tertinggi penderita obesitas terjadi pada
wanita lesbian yang kebanyakan dari mereka berstatus ekonomi rendah. (Hudaisa Hafeez,
2017)
Laporan status seksual penganut LGBT muda masih sangat sulit ditemukan di
beberapa tenaga kesehatan, karena para klinisi belum mendapat pelatihan yang baik dalam
menghadapi komunitas LGBT. Sebuah penelitian yang dilakukan di Washington DC
menunjukkan sekitar 68% kaum seksual minoritas muda memilih tidak melaporkan
mengenai orientasi seksual mereka dan 90% memilih melaporkannya kepada para
klinisi/tenaga kesehatan. Sebuah penelitian lain dengan menggunakan metode purposing
sampling melakukan perekutan terhadap sembilan wanita dengan rentang umur 18-24
tahun dan mengakui dirinya termasuk golongan pelajar seksual minoritas di Universitas
Southwestern United States. Rekaman wawancara para sampel megungkapkan bahwa
pengakuan orientasi seksual dan sikap provider sangat berpengaruh terhadap pengalaman
buruk mereka dengan pelayanan kesehatan. Pelatihan tenaga kesehatan yang kurang dapat
menyulitkan hubungan terapetik antara provider dan pasien, sehingga berdampak pada
kualitas pelayanan dan ketepatan terapi pelayanan kesehatan. (Hudaisa Hafeez, 2017)
Dari sudut pandang agama, menurut Hukum Pidana Islam, homoseksual atau
penyimpangan seksual termasuk dosa besar karena bertentangan dengan norma agama,
norma susila dan bertentangan pula dengan hukum Tuhan dan fitrah manusia. Kitab suci
beberapa agama menjelaskan bahwa aktivitas seksual yang melibatkan jenis kelamin yang
sama merupakan hal yang tidak wajar dan dilarang oleh Tuhan. (Musa, 2014).
Undang Undang nomor 1 tahun 1974 pasal 1 menyebutkan definisi
perkawinanialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Pada kaum LGBT, hal ini menjadi masalah hukum
karena mereka menghendaki untuk berpasangan dengan sesama jenis.
Peraturan Menteri Sosial tahun 2012 (Permensos No. 8/2012) mengatur tentang
orang yang disebut sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial. Di antaranya adalah
mereka yang karena perilaku seksualnya menjadi terhalang dalam kehidupan sosial, yaitu
waria (pria transgender tidak disebutkan), pria gay dan wanita lesbian. Solusi untuk hal ini
secara kurang jelas disebut sebagai "rehabilitasi." Hal yang sering terjadi di banyak tempat
adalah pelaksanaan razia terhadap orang-orang seperti itu, yang kemudian dikirim ke
pusat-pusat rehabilitasi yang melakukan pembinaan bagi mereka untuk "berintegrasi ke
dalam masyarakat"(Dede Oetomo, 2013).
Ada argumen yang masih lantang dan banyak dikatakan jika gay dan lesbian itu
sebuah penyakit, penyakit jiwa. Tahun 1973, asosiasi psikiater di Amerika mencabut
kategori homoseksualitas dari semua kategorinya dari buku Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders Source (DSM-IV). Kemudian tahun 1990, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) mencabut homoseksualitas dari Klasifikasi Penyakit
Internasional (ICD). Ini diikuti Kementerian Kesehatan mencabut LGBT sebagai penyakit
kejiwaan di Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) edisi III pada
1993.Yang masih mereka cantumkan sampai sekarang, kebingungan identitas, tetapi
LGBT sebagai gangguan jiwa sudah dihapus.Homoseksual dianggap sebagai perilaku
biasa, namun menjadi masalah ketika orang homoseks tersebut mengalami kerugian atau
ketidaknyamanan hingga harus diterapi.(sinyo,2014)
2. RUMUSAN MASALAH
Apa definisi LGBT?
Bagaimana sejarah dan perkembangan LGBT?
Bagaimana dasar ilmu kedokteran mengenai LGBT?
Bagaimana pandangan agama terhadap LGBT?
Bagaimana LGBT ditinjau dari aspek sosial dan budaya?
Bagaimana dasar hukum LGBT?
Bagaimanakah peran dokter dalam menangani LGBT?
Bagaimana peran ilmu forensik pada kasus LGBT?
3. TUJUAN
a. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan ini adalah menjelaskan mengenai peran dokter terhadap lesbian,
gay, biseksual dan transgender ditinjau dari aspek medikolegal
b. Tujuan Khusus
Mengetahui definisi lesbian, gay, biseksual dan transgender
Mengetahu sejarah dan perkembangan lesbian, gay, biseksual dan transgender
Mengetahui dasar ilmu kedokteran mengenai lesbian, gay, biseksual dan
transgender
Mengetahui pandangan agama terhadap lesbian, gay, biseksual dan transgender
Mengetahui sudut pandang sosial dan budaya mengenai lesbian, gay, biseksual dan
transgender
Mengetahui dasar ilmu hukum lesbian, gay, biseksual dan transgender
Mengetahui peran dokter dalam menangani lesbian, gay, biseksual dan transgender
3. MANFAAT
b. Manfaat bagi mahasiswa
Menambah pengetahuan serta wawasan yang berhubungan dengan ilmu kedokteran
forensik dalam bidang hukum dan medis
Menambah pengetahuan mengenai Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender
Menambah pengetahuan mengenai peran dokter terhadap Lesbian, Gay, Biseksual
dan Transgender
c. Manfaat bagi masyarakat
Menambah pengetahuan mengenai aspek medikolegal Lesbian, Gay, Biseksual dan
Transgender
d. Manfaat bagi institusi
Menambah wawasan bagi fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas maupun
rumah sakit dalam hal peran dokter terhadap lesbian, gay, biseksual dan
transgender ditinjau dari aspek medikolegal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi LGBT
LGBT adalah akronim dari “lesbian, gay, biseksual dan transgender”. Istilah ini
digunakan sejak tahun 1990-an. Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan
adanya keanekaragaman budaya yang berasal dari berbagai ekspresi gender. Istilah LGBT
ini banyak digunakan sebagai penunjukan diri yang diterapkan oleh mayoritas komunitas
yang berkaitan dengan identitas gender dan orientasi seksual di Amerika Serikat dan
beberapa negara Barat lainnya.(Megan, 2016).
Ekspresi gender merupakan pengungkapan seseorang mengenai jenis kelamin yang
sudah dimiliki sejak lahir melalui tingkah laku atau perilaku sosial. Biasanya dapat dilihat
melalui cara memilih berpakaian, berbicara atau bahkan cara berjalan. Sedangkan identitas
gender mencerminkan kesadaran individu mengenai gendernya sendiri (WHO, 2016).
Orientasi seksual adalah kapasitas yang dimiliki oleh setiap manusia yang berkaitan
dengan ketertarikan emosi, rasa kasih sayang dan hubungan seksual. Orientasi seksual
merupakan kodrat yang sudah diberikan Tuhan dan tidak dapat diubah, setiap manusia
tidak memiliki hak untuk memilih dilahirkan dengan orientasi seksual tertentu. Sedangkan
perilaku seksual menggambarkan cara seseorang mengekspresikan hubungan seksualnya
yang terlibat dengan orang lain.(WHO, 2016) Mengenai orientasi seksual yang bersifat
kodrat, ada beberapa varian orientasi seksual diantaranya heteroseksual, homoseksual,
biseksual dan aseksual.
Di Indonesia, lesbian sering juga dipanggil lesbi atau lines. Lesbian dikenal melalui
Sappho yang hidup di Pulau Lesbos pada abad ke-6 SM. Dia adalah tokoh yang
memperjuangkan hak-hak wanita sehingga banyak yang menjadi pengikutnya. Akan tetapi,
dia kemudian jatuh cinta kepada pengikutnya dan menulis puisi tentang cinta. Menurut
Sappho, kecantikan wanita itu tidak mungkin dipisahkan dari aspek seksualnya. Oleh
karena itu, kepuasan seksual juga mungkin diperolehnya dari sesama wanita. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lesbian adalah wanita yang mencintai atau
merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya. Lesbian adalah istilah bagi perempuan
yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada perempuan atau disebut juga
perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional, atau secara
spiritual. (Dhea, 2014)
Pria homoseksual yang berperilaku kemayu seperti wanita, atau pria yang
berpakaian seperti perempuan disebut sebagai banci, bencong atau waria. Pria
homoseksual yang berperilaku jantan selayaknya pria biasa jarang teridentifikasi, akan
tetapi jika ditemukan biasanya mereka dipanggil homo atau gay, sedangkan gigolo
homoseksual biasanya dipanggil kucing. Gay adalah seorang laki-laki yang secara fisik,
emosional dan atau spiritual tertarik pada laki-laki lain. Istilah-istilah banci, bencong,
kucing dan homo memang memiliki makna konotatif yang merendahkan atau menghina,
kecuali untuk istilah waria, gay dan lesbian yang memperoleh persepsi netral. Ejekan,
perundungan, dan serangan terhadap kaum gay biasanya terjadi selama masa-masa remaja,
tapi jarang melibatkan kekerasan fisik, dan terutama hanya dilakukan secara verbal
(Alexander, 2017).
Seperti di negara lain, stereotip terhadap kaum homoseksual terjadi cukup umum di
Indonesia. Mereka biasanya mengambil peran, pekerjaan, dan karier tertentu; seperti
sebagai pemilik atau pekerja salon kecantikan, ahli kecantikan, make-up artist, pengamen
(musisi jalanan) berpakaian perempuan, sampai kegiatan cabul seperti menjadi pelacur
transeksual. Namun laki-laki homoseksual yang tidak berpenampilan seperti banci, sulit
untuk dideteksi dan sering berbaur dalam masyarakat.(Meier, 2013) Biseksual adalah
seorang laki-laki ataupun perempuan yang mempunyai ketertarikan seksual terhadap laki-
laki sekaligus perempuan dalam waktu yang bersamaan. Transgender adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki identitas gender atau ekspresi
gender yang berbeda dengan gender yang ditunjuk sedari lahir. Keadaan transgender ini
tidak terikat dengan orientasi seksual. Orang transgender bisa saja memiliki orientasi
homoseksual, biseksual dan lain-lain.(WHO, 2016)
Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara pribadi yang
berjenis kelamin sama secara situasional atau berkelanjutan. Pada penggunaan mutakhir,
kata sifat homoseks digunakan untuk hubungan intim dan/atau hubungan seksual di antara
orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri mereka
sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas, sebagai suatu pengenal, pada umumnya
dibandingkan dengan heteroseksualitas dan biseksualitas. Istilah gay adalah suatu istilah
tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada pria homoseks. Sedangkan Lesbian adalah
suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada wanita homoseks.(American
Definisi tersebut bukan definisi mutlak mengingat hal ini diperumit dengan adanya
beberapa komponen biologis dan psikologis dari seks dan gender, dan dengan itu
seseorang mungkin tidak seratus persen pas dengan kategori dimana ia digolongkan.
Beberapa orang bahkan menganggap ofensif perihal pembedaan gender (dan pembedaan
üOrientasi seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan orang lain
mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas gender yang sama.
ü Perilaku seksual melingkupi aktivitas untuk menemukan dan menarik perhatian pasangan
(perilaku mencari dan menarik pasangan), interaksi antar individu, kedekatan fisik atau
emosional, dan hubungan seksual dengan gender yang sama, tidak peduli orientasi
ü Identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu kepada perilaku homoseksual
atau orientasi homoseksual. Aspek ini mengarah pada identitas seksual sebagai gay atau lesbian.
Penyebab perilaku homoseksualitas antara lain : Genetik, Traumatik, Pola asuh yang salah,
Lingkungan, Teman dekat, Film, Explorasi. Menurut Prof. DR. Wimpie Pangkahila (Pakar
Andrologi dan Seksologi), beberapa faktor penyebab orang menjadi homoseksual dapat dilihat
dari :
1) Faktor Biologi
ü Susunan Kromosom
yang berbeda. Seorang wanita akan mendapatkan satu kromosom x dari ibu dan satu
kromosom x dari ayah. Sedangkan pada pria mendapatkan satu kromosom x dari ibu
dan satu kromosom y dari ayah. Kromosom y adalah penentu seks pria.
Jika terdapat kromosom y, sebanyak apapun kromosom x, dia tetap berkelamin pria.
Seperti yang terjadi pada pria penderita sindrom Klinefelter yang memiliki tiga
kromosom seks yaitu xxy. Dan hal ini dapat terjadi pada 1 diantara 700 kelahiran bayi.
Misalnya pada pria yang mempunyai kromosom 48xxy. Orang tersebut tetap berjenis
kelamin pria, namun pada pria tersebut mengalami kelainan pada alat kelaminnya.
ü Ketidakseimbangan Hormon
Seorang pria memiliki hormon testoteron, tetapi juga mempunyai hormon yang
dimiliki oleh wanita yaitu estrogen dan progesteron. Namun kadar hormon wanita ini
sangat sedikit. Tetapi bila seorang pria mempunyai kadar hormon esterogen dan
progesteron yang cukup tinggi pada tubuhnya, maka hal inilah yang menyebabkan
ü Struktur Otak
Struktur otak pada straight females dan straight males serta gay females dan gay males
terdapat perbedaan. Otak bagian kiri dan kanan dari straight males sangat jelas terpisah
dengan membran yang cukup tebal dan tegas. Straight females, otak antara bagian kiri
dan kanan tidak begitu tegas dan tebal. Dan pada gay males, struktur otaknya sama
dengan straight females, serta pada gay females struktur otaknya sama dengan straight
Berdasarkan hasil penelitian terakhir, diketahui bahwa kelainan susunan saraf otak
susunan saraf otak ini disebabkan oleh radang atau patah tulang dasar tengkorak.
2) Faktor Psikodinamik, yaitu adanya gangguan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak.
4) Faktor Lingkungan, dimana memungkinkan dan mendorong hubungan para pelaku homoseksual
menjadi erat.
Dari keempat faktor tersebut, penderita homoseksual yang disebabkan oleh faktor biologis
Namun jika seseorang menjadi homoseksual karena faktor sosiokultural dan lingkungan,
maka dapat disembuhkan menjadi heteroseksual, asalkan orang tersebut mempunyai tekad
Demikian pula, segelintir orang yang dikenal sebagai lesbian, gay atau biseksual
oleh orang-orang di sekitar mereka cenderung ditolerir oleh orang yang belum tentu dapat
menunjukkan toleransi yang sama bagi anggota keluarga mereka sendiri. Namun secara
konseptual, banyak orang Indonesia akan menyatakan bahwa mereka menentang
homoseksualitas. Laporan Global Attitudes Project oleh Pew Research mengenai sikap
terhadap homoseksualitas menunjukkan adanya penolakan terhadap homoseksualitas oleh
93% responden survei di dalam negeri dan hanya ada 3% yang bersikap menerima. Di lain
pihak, semakin banyak orang yang bersikap progresif dan liberal serta memahami prinsip-
prinsip hak asasi manusia, atau pernah membaca tentang keragaman identitas dan ekspresi
gender serta orientasi seksual, dan dapat menerima keragaman dalam segala aspeknya.
(Dede oetomo,2013)
Masyarakat Indonesia mempunyai budaya yang sangat beragam. Di satu sisi, dapat
ditemukan bukti peninggalan zaman dulu tentang penerimaan beragam gender dan
sekualitas pada banyak kelompok etnis dan bahasa. Namun di sisi lain terdapat
heteronormativitas dan binarisme gender yang konservatif yang berasal dari modernitas
sekuler dan religius pada awal abad ke-20, yang berpaling dari nilai-nilai leluhur. Ada juga
berbagai kelompok masyarakat yang memandang Indonesia sebagai bangsa yang modern
dengan nilai liberal, demokratis dan humanis. Mereka mempertanyakan dan mengkritik
berbagai aspek budaya tradisional maupun modern yang bersifat opresif, dan berusaha
membangun masyarakat yang dapat sepenuhnya menerima hal-hal yang berbeda, termasuk
perbedaan orientasi seksual dan identitas gender.
Secara umum, tantangan terbesar yang harus diatasi orang individu LGBT sebelum
mereka dapat sepenuhnya menjalani hidup sebagai lesbian, pria gay, orang biseksual atau
orang transgender, adalah keluarga sendiri. Ada keluarga yang sangat mengasihi anggota
keluarganya, sampai pada tingkat bahwa apapun yang mereka lakukan atau apapun yang
terjadi, mereka tetap diterima penuh sebagai anggota keluarga. Dalam keluarga yang
demikian, jika orang tua atau saudara mendapati orientasi seksual atau identitas gender
yang berbeda pada anak atau sesama saudaranya, mereka dapat menerimanya, meskipun
mungkin sulit pada awalnya. Ada yang bahkan berusaha memahami permasalahan yang
terkait dengan keragaman orientasi seksual dan identitas gender ini, dengan mencari-cari
informasi, yang saat ini menjadi lebih mudah dengan adanya akses internet yang semakin
baik.
Keluarga lain mungkin terkejut pada awalnya dan bereaksi keras terhadap anggota
keluarganya yang LGBT. Namun seiring berjalannya waktu, mereka menjadi lebih terbiasa
dengan pengungkapan orientasi seksual atau identitas gender ini, terlebih apabila anggota
keluarga tersebut bisa memperoleh penghasilan untuk membantu menafkahi keluarganya.
Namun ada juga keluarga yang sampai mengusir anak atau saudaranya yang LGBT, hal
yang tentunya sangat menyakitkan perasaan mereka. Dalam banyak kasus, hubungan yang
retak ini tidak dapat dipulihkan kembali.
Ada dua alasan utama yang menyebabkan kaum LGBT tidak diterima oleh
keluarganya:
1. Desakan besar untuk menikah secara heteroseksual dan mendirikan keluarga,
yang sangat kuat terlihat dalam masyarakat Indonesia. Salah satu pertanyaan umum
yang biasa diajukan saat berkenalan dengan orang baru adalah, "Sudah menikah?"
Praktek kawin paksa sudah jarang terjadi, namun penjodohan masih dipandang
sebagai hal yang baik, sementara wanita yang belum menikah dan wanita menikah
yang belum punya anak dianggap sebagai hal yang harus dikasihani. Banyak orang
mengungkapkan rasa kasihan tersebut secara terang-terangan. Bagi kelompok
LGBT, meskipun kebiasaan ini dapat mereka abaikan sebagai basa-basi saja,
namun apabila terjadi di dalam keluarga sendiri bisa dirasakan cukup mengganggu.
Bahkan ada yang sampai pindah menjauhi keluarganya dan menghindar untuk tidak
terlalu sering mengunjungi mereka. Takut ketahuan sebagai orang LGBT juga
menambah alasan terjadinya perpisahan ini.
2. Karakteristik lain yang cukup penting bagi sebagian besar orang Indonesia, entah
dianut dengan sungguh-sungguh atau tidak, adalah agama. Dalam hal ini, banyak
orang mengenal doktrin harafiah yang menyangkut hal-hal lahiriah saja, dan
berusaha mentaatinya. Ajaran ini seringkali dicampur-adukkan dengan budaya,
sekali lagi yang pada zaman dulu menunjukkan penerimaan yang kaya dan
beragam terhadap berbagai gender dan seksualitas, namun terhapus oleh arus
modern abad kedua puluh. Penekanan pada penampilan religius mulai muncul
setelah pemberantasan kekuatan sayap kiri pada tahun 1965-1966, yang menyoroti
kaum komunis yang dicap sebagai kafir. Bahkan sampai sekarang sebagian besar
politisi tidak bersedia berpenampilan sekuler karena khawatir tidak akan
memperoleh suara dalam pemilu. Doktrin-doktrin harafiah agama Kristen dan
Islam hanya mengenal dua jenis gender saja dan mengecam seksualitas di luar
nikah. Agama besar lain menolak perbedaan orientasi seksual dan identitas gender
dengan merujuk pada budaya heteronormatif.
6. Dasar Hukum LGBT
a. Dasar hukum international
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang
menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
hukuman awal.
7. Peran Dokter dalam menangani kelompok LGBT
Kaum LGBT seringkali menerima pelayanan kesehatan yang kurang memadai
karena stigma, kurangnya kesadaran penyedia layanan kesehatan dan dari kaum LGBT
sendiri bahwa mereka memerlukan pelayanan kesehatan rutin yang disebabkan oleh
aktifitas seksual (Hafeez,2017).
LGBT merupakan minoritas yang seringkali mendapat perlakuan diskriminatif
karena orientasi seksualnya berbeda, sehingga terciptakan stigma dalam masyarakat untuk
di kucilkan. Hal ini yang membuat kaum LGBT menjadi tidak percaya diri untuk muncul
dalam masyarakat, terutama dalam memeriksakan kesehatan padahal risiko penularan
penyakit seksual lebih tinggi dibandingkan non LGBT (Everett,2013).
Penyedia kesehatan juga diperlukan edukasi yang lebih dalam menangani kaum
LGBT. Stigma yang melekat dalam kaum LGBT menuntut penyedia pelayanan kesehatan
untuk memiliki strategi yang berbeda dalam menangani masalah kesehatan kaum LGBT.
Pemerintah Indonesia dalam menangani hal ini memiliki program Voluntary
Counseling and Testing (VCT) bagi kaum LGBT untuk screening rutin yang dapat
dilakukan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer (FKTP). Saat melakukan VCT, dokter
juga melakukan edukasi mengenai pencegahan seperti antara lain menggunakan kondom
saat berhubungan seksual, menekankan manfaat tes HIV sedini mungkin serta pengobatan
ARV.
Penyedia pelayanan kesehatan di FKTP tersebut bekerjasama dengan LSM,
Komunitas ODHA dan para kader kesehatan untuk menyebarkan luas informasi mengenai
program ini.
Pada FKTP Puskesmas Halmahera, kota Semarang membuat program khusus VCT
pada malam hari setelah jam pelayanan secara rutin. Program ini diterapkan dengan
harapan kaum LGBT lebih percaya diri untuk ke puskesmas, menjaga kerahasiaan dan
meminimalisir prasangka dari masyarakat karena pada saat malam hari puskesmas dibuka
hanya untuk program VCT.
Kejiwaan juga perlu di perhatikan terutama pada kaum LGBT yang masih dibawah
umur (kurang dari 18 tahun). Remaja pada saat masa pubertas berusaha mencoba mencari
“identitas” maka para remaja sangat memperhatikan seksualitas dan jenis kelamin, karena
ini juga para remaja pada umumnya sangat menghakimi satu dengan yang lain (Mulvey,
2015). Remaja lebih rentan untuk memiliki sikap eksklusi sosial s sedangkan pada remaja
yang beranjak dewasa memiliki kemampuan untuk berpikir atau evaluasi terlebih dahulu
dalam menentukan penilaian sosial (Horn, 2006). Maka dari itu, kaum LGBT sering
mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai LGBT pada saat remaja. Pengidentifikasian diri
inilah yang menyebabkan kaum remaja LGBT rentan terhadap pengucilan dan pengasingan
sosial / isolasi sehingga memiliki dampak terhadap kesehatan jiwa pada remaja.
Kaum LGBT remaja mempunyai suatu hambatan dalam mengakses layanan
kesehatan, baik dari kaum LGBT remaja sendiri karena isolasi sosial serta dari tenaga
medis sendiri. Dalam pelayanan kesehatan LGBT sering kali dipengaruhi oleh prasangka,
ras dan kepercayaan sosial, agama (Rowe,2017).
Dokter dalam menangani kaum LGBT di perlukan pelayanan tidak hanya dari
aspek medis namun dari aspek kejiwaan. Kaum LGBT lebih rentan karena sering kali
mengalami penghakiman sosial, dalam melayani kaum LGBT harus diperhatikan dalam
penggunaan bahasa selayaknya etika Dokter dalam melayani pasien.
Anamnesis Riwayat
Riwayat Umum meliputi hal berikut:
· Riwayat penyakit masa lalu
· Operasi bedah
· Pengobatan yang sedang digunakan atau penggunaan alkohol
· Dalam hal agen pasif wanita, detail persalinan atau instrumentasi selama persalinan yang dapat
mengubah anatomi anal dan perineum.
· Kebiasaan buang air besar dan apakah ada operasi atau instrumentasi pada usus besar
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan khusus pada area di dalam dan sekitar anus dan alat kelamin: Pertama,
rambut kemaluan perlu diperhatikan. Setiap area yang kusut, jika ada, harus dipotong
sedekat mungkin dengan kulit dan dikirim untuk pemeriksaan laboratorium. Setiap rambut
asing yang terjerat atau jejak bukti harus dicari. Penis juga dilakukan pemeriksaan karena
pada beberapa kasus adanya kontak oropenile dapat terjadi sebelum hubungan seks anal.
Dilakukan pemeriksaan swab pada batang penis dan glans penis untuk mencari apakah
terdapat jejak saliva atau jejak bukti lain. Perineum perlu diobservasi dengan perhatian
khusus pada anal di bawah cahaya yang baik dan pasien dalam posisi lutut-siku (knee
elbow). Sebelum pemeriksaan digital dilanjutkan, perlu diambil usap dari perineum dan
daerah yang lebih dalam. Area anal: penampilan anal harus diperhatikan secara hati-hati.
Biasanya, lubang anus seperti celah, berjalan anteroposterior; kulit di sekitarnya
menunjukkan lipatan alami yang dari otot cutis ani corrugator. Dalam kasus di mana anal
telah terjadi hubungan intim, umumnya ada perubahan dalam anatomi normal, dan luasnya
perubahan seperti itu tergantung pada faktor-faktor berikut:
· Frekuensi tindakan hubungan seks anal
· Interval waktu antara terakhir berhubungan seks dengan pemeriksaan
· Umur dan ukuran lubang pada individu tertentu
· Ukuran organ penis
· Penggunaan pelumas
Hubungan intim pertama kali menghasilkan perubahan pada penampilan anal yang
bervariasi dari robek terbuka pada kulit anal dan otot sphincter yang mendasarinya atau
fisura ani atau abrasi / memar. Hal ini diakibatkan oleh gesekan dari penis tetapi mungkin
juga disebabkan oleh kuku selama tindakan menggaruk karena kebersihan area yang buruk.
Pelumasan yang efektif akan mengurangi produksi lecet ini. Memar dapat terjadi di dalam
dan sekitar anus pada beberapa kasus. Robeknya sfingter jarang terjadi pada orang dewasa,
tetapi bisa terjadi pada anak-anak. Karena kontraksi hebat dari sfingter, penis jarang
menembus lebih dalam dan akibatnya menyebabkan sobekkan yang berbentuk segitiga dan
memanjang ke dalam rektum secara vertikal. Dalam hal wanita yang sudah memiliki anak,
kekuatan berkurang di sisi anterior ani, dan karena itu fisura anterior juga dapat terjadi.
Jika ada spasme sfingter, pemeriksaan dapat dilakukan dengan anestesi.
Homoseksualitas
Istilah 'homoseksualitas' menunjukkan pikiran dan perasaan erotis terhadap orang
yang berjenis kelamin sama serta perilaku seksual terkait lainnya. Dalam kasus wanita,
istilah 'lesbianisme' dan 'safir' berasal dari Pulau Lesbos di laut Aegea, yang saat itu
diperintah oleh Ratu Sappho. Dalam kasus pria, hubungan fisik homoseksual termasuk
kontak genital oral, saling masturbasi, dan anal. Dan dalam hal wanita, biasanya hubungan
fisik termasuk membelai, stimulasi payudara, saling masturbasi dan kontak genital-oral
(cunnilingus). Beberapa wanita mungkin berlatih kontak seluruh tubuh dengan gesekan
atau tekanan genital (tribadisme), atau gunakan vibrator atau lingga buatan (dildo).
Pasangan aktif dan pasif biasanya ditukar. Lesbian aktif yang istimewa (yang paling sering
seorang waria atau waria) dikenal sebagai butch atau gili, sementara agen pasif yang biasa
disebut femme.
Identifikasi Seminal
Apakah bahan / noda berasal dari mani mungkin dinilai melalui pemeriksaan pendahuluan
oleh pemeriksaan fisik dan kimia :
A. Pemeriksaan fisik
Tampilan dengan mata telanjang pada noda mani di kain tergantung pada latar
belakang di mana ia berada. Noda kain putih tampak kuning dengan batas tampak lebih
gelap dari pusat. Pada kain berwarna atau kotor, tidak ada warna. Pada permukaan
nonabsorben seperti kulit manusia dan kulit sintetis, dapat terlihat bersisik. Pada
permukaan yang mudah menyerap seperti kapas, sutra atau wol, mungkin noda tidak
berwarna atau abu-abu. Saat diperiksa di bawah sinar ultraviolet, noda mani
menunjukkan fluoresensi putih kebiruan. Noda bercampur darah mungkin tidak
berfluoresensi. Zat seperti noda makanan, sekresi vagina, urin, nanah, dll. juga dapat
menunjukkan fluoresensi. Noda pada sutra sintetis tidak menunjukkan fluoresensi.
B. Pemeriksaan Kimia
Merupakan salah satu rapid test yaitu tes Florence (kristal jarum kolin peryodida,
berwarna coklat tua, tersusun dalam kelompok) dan tes Barberio (menunjukkan kristal
berbentuk jarum kuning dari spermine picrate). Kedua tes ini hanya sugestif. Hasil
negatif tidak langsung menyingkirkan kemungkinan adalah air mani.
Tes kimia lain yaitu tes enzim asam fosfatase. Namun, saat ini tes tersebut
digunakan hanya sebagai tes penyaringan. Perlu ditambahkan di sini bahwa di dalam
konteks medikolegal, faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas enzim dalam saluran
vagina saat pemeriksaan, yaitu. (i) gangguan somato-seksual, (ii) prostatitis kronis
(mengarah ke rendahnya tingkat enzim dalam semen), (iii) jumlah cairan mani yang
diendapkan ke dalam vagina, (iv) aktivitas korban (apakah dia telah mencuci, atau
melakukan banyak berjalan, dll) dan (v) lingkungan vagina (bakteri, konsentrasi ion
hidrogen,dll.)
LGBT adalah akronim dari “lesbian, gay, biseksual dan transgender”. Dimana gay adalah
seorang laki-laki yang secara fisik, emosional dan atau spiritual tertarik pada laki-laki lain, lesbian
adalah seorang perempuan yang secara fisik, emosional dan atau spiritual tertarik pada perempuan
lain, Biseksual adalah seorang laki-laki ataupun perempuan yang mempunyai ketertarikan seksual
terhadap laki-laki sekaligus perempuan dalam waktu yang bersamaan. Transgender adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki identitas gender atau ekspresi
gender yang berbeda dengan gender yang ditunjuk sedari lahir. LGBT merupakan salah satu
keberagaman orientasi seksual
Hingga saat ini belum ada hukum spesifik yang mengatur mengenai LGBT sehingga
LBGT masih belum di legalkan di Indonesia. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan secara tegas mendefinisikan perkawinan sebagai pemersatuan antara seorang pria dan
seorang perempuan. Belum ada usaha advokasi terpadu yang pernah dilakukan oleh aktivis LGBT
untuk menuntut reformasi undang-undang tersebut. Sama halnya yang teretulis pada Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 64 “Pengisian kolom
jenis kelamin seorang warga Negara Indonesia harus diisi dengan laki-laki atau perempuan. Hal
tersebut dapat diartikan bahwa jenis kelamin yang diakui di Indonesia hanyalah laki-laki dan
perempuan, serta belum mengatur tentang pengakuan status kaum Transgender”.
LBGT termasuk dalam pelanggaran seksual, tertera dalam Undang-undang Nomor 44
Tahun 2008 tentang Pornografi memasukkan istilah "persenggamaan yang menyimpang" sebagai
salah satu unsur pornografi. Dalam penjelasan pengertian istilah ini mencakup antara lain
"persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks,
lesbian, dan homoseksual."
Dampak dari perilaku LGBT yaitu meningkatnya angka infeksi menular seksual dan
masalah kesejahteraan sosial. dalam aspek masalah medis dibutuhkan peran dokter dalam
menangani kaum LGBT karena mereka lebih rentan akibat sering kali mengalami penghakiman
sosial, sehingga perlu diperhatikan dalam penggunaan bahasa selayaknya etika Dokter dalam
melayani pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yusuf, Dr. Musa. 2014. LGBT, Nature or Ideology? : Sharing the Experience of a Former
Practitioner in Malaysia. Malaysia: Journal of Humanities and Social Science. Hal 62-69
2. Springate, Megan. 2016. A Theme Study of Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender and
Queer History. Washington: National Park Foundation. Hal 5-11
3. FAQ on health and sexual diversity: The Basics. 2016. World Health Organization
4. Marthilda, Dhea. 2014. Faktor-Faktor Pemilihan Orientasi Seksual (Studi Kasus Pada
Lesbian). Semarang: Jurusan Psikologi, Universitas Negeri Semarang. Developmental and
Clinical Psychology. Hal 18-23
5. Pratama, Rizki Akbar. 2018. Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender : Tinjauan Teori
Psikoseksual, Psikologi Islam dan Biopsikologi. Banda Aceh: UIN Ar-Raniry. Jurnal
Psikologi Islami Vol 4 hal 27-34.
6. Martos, Alexander. 2017. Lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT) health services
in the United States: Origins, evolution and contemporary landscape. United States:
Columbia University Mailman School of Public Health, New York. Hal 2-18
7. FAQ on Health and Sexual Diversity-An Introduction to Key Concepts. 2016. Geneva:
World Health Organization.
8. Meier. 2013. Key Terms and Concepts in Understanding Gender Diversity and Sexual
Orientation Among Students. A Publication of the American Psychological Association
Divisions.
9. Oetomo. 2000. “Masculinity in Indonesia: Genders, Sexualities and Identities in a
Changing Society.” Dalam Richard Parker et al. (eds), Framing the Sexual Subject: The
Politics of Gender, Sexuality, and Power. Berkeley dll.: Univ. of California Press, hal 46–
59.
10. Agustine, RR Sri. 2008. “Rahasia Sunyi: Gerakan Lesbian di Indonesia,” Jakarta:
Ardhanary Institute. Jurnal Perempuan 58 (Maret), hal 59–72.
11. Dédé Oetomo, Khanis Suvianita. 2013. Hidup sebagai LGBT di Asia; Laporan Nasional
Indonesia. UNDP, hal 18-22.
12. Anonim. 2012. “The GWL‐INA: The Story of a Network: The History and Developments
of the Network of Gay, Transgender and Men Who Have Sex with Men in
Indonesia.”Kesehatan Lesbian: Fakta dan Mitos. Jakarta: Ardhanary Institute.
13. Sinyo. 2014. Anakku Bertanya Tentang LGBT. Jakarta : PT. Elex Media. Komputindo
14. Suhery, dkk. 2016. Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) Dalam Perspektif
Masyarakat dan Agama. Jurnal Aristo Vol 4 hal 91.
15. Vij K. 2011. Textbook of Forensic Medicinde and Toxicology Principles and Practice. 5th
ed. India: Elsevier. P. 306-325.