Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KDRT

Disusun Oleh:
Kelompok FK UWKS PROBOLINGGO C
Dokter Muda Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
(Periode 30 Januari 2017 - 26 Februari 2017)

Cokorda Gede Bagus Pradnyana Sanjaya 16710021


I Made Mega Kencana Putra 16710034
Syndi Mayestikaning Dyas 16710040
Andronikus Wibowo Fallo 16710070
Gede Abi Yoga Pramana 16710073
I Putu Adi Palguna 16710112
Popy Mega Wati 16710017

Pembimbing:
dr. H. Hoediyanto, Sp.F(K)

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK & MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
2017

i
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul Undang-Undang Penghapusan KDRT telah


disetujui dan disahkan oleh Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya pada:
Hari :
Tanggal :
Tempat : Ruang Kuliah Dokter Muda Departemen Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Surabaya
Pembimbing : dr.H. Hoediyanto, Sp.F(K)
Penyusun : Dokter Muda FK UWKS Probolinggo C
(Periode 30 Januari 2017 - 26 Februari 2017)
1. Cokorda Gede Bagus Pradnyana Sanjaya 16710021
2. I Made Mega Kencana Putra 16710034
3. Syndi Mayestikaning Dyas 16710040
4. Andronikus Wibowo Fallo 16710070
5. Gede Abi Yoga Pramana 16710073
6. I Putu Adi Palguna 16710112
7. Popy Mega Wati 16710017

Surabaya, Februari 2017


Koordinator Pendidikan Dokter Muda Dosen Pembimbing
Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal

Nilly Sulistyorini, dr., Sp.F dr.H. Hoediyanto, Sp.F(K)


NIP. 1982041520091220202 NIP.195207071980031004

ii
KATAPENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul UNDANG-
UNDANG PENGHAPUSAN KDRT. Penulis menyusun referat ini untuk
mengkaji permasalahan yang timbul dalam implementasi undang-undang rumah
sakit dan sebagai salah satu syarat dalam menempuh Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kedokteran Forensik Universitas Airlangga di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
dokter-dokter pembimbing di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, antara lain:
1. dr. H. Edi Suyanto, Sp.F, SH, MH.Kes selaku Ketua Depertemen
Kedokteran Forensik & Medikolegal RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan
Ketua SMF Kedokteran Forensik & Medikolegal
2. dr. Abdul Aziz, Sp.F selaku Kepala Instalasi Forensik & Medikolegal
RSUD Dr. Soetomo Surabaya
3. dr. Nily Sulistyorini, Sp.F selaku Koordinator Pendidikan Kedokteran
Forensik & Medikolegal RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
4. dr. H. Hoediyanto, Sp.F(K) selaku dokter pembimbing referat.
5. Seluruh staf pengajar dan pada dokter PPDS Depertemen Kedokteran
Forensik & Medikolegal RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Penulis sadar pembuatan referat ini masih jauh dari sempurna. Saran dan
kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, kami mengharapkan
semoga referat ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Surabaya, Februari 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


LEMBARPENGESAHAN ................................................................................. ii
KATAPENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv

BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1


A. LatarBelakang.......................................................................................................................... 1
B. Tujuan .............................................................................................................. 3
1. Tujuan Umum ............................................................................................ 3
2. Tujuan Khusus ........................................................................................... 3
C. Manfaat ............................................................................................................ 3
1. Manfaat teoritis .......................................................................................... 3
2. Manfaat Praktis .......................................................................................... 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 5
A. KDRT ............................................................................................................... 5
1. Definisi ...................................................................................................... 5
2. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya KDRT .............................................. 7
3. Bentuk-Bentuk KDRT .............................................................................. 8
4. Dampak KDRT ......................................................................................... 9
B. Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga ...................................... 14
1. Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasandalam Rumah Tangga ...................................................... 15
2. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan .................................. 15
3. Kualifikasi Luka .. . 20
C. Contoh Kasus ................................................................................................ 22
BAB 3. PENUTUP .................................................................................... 25
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 25

B. Saran 25
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 28

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. LatarBelakang
Setiap keluarga memimpikan dapat membangun keluarga harmoni,
bahagia, dan saling mencintai, namun pada kenyataannya banyak keluarga
yang merasa tidak nyaman, tertekan, dan sedih karena terjadi kekerasan
dalam keluarga, baik kekerasan yang bersifat fisik, psikologis, seksual,
emosional, maupun penelantaran. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal, baik secara sendiri-
sendiri maupun bersama-sama, terlebih-lebih di era terbuka dan informasi
yang kadangkala budaya kekerasan yang muncul lewat informasi tidak bisa
tersaring pengaruh negatifnya terhadap kenyamanan hidup dalam rumah
tangga. Kondisi yang demikian cenderung mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan anak, sehingga mereka tidak bisa tumbuh dan berkembang
secara natural, bahkan menghambat anak berprestasi di sekolahnya. Untuk
dapat menyelamatkan pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal,
kiranya perlu dilakukan penanganan secara psikologis dan edukatif terhadap
kasus KDRT, baik yang sifatnya kuratif maupun preventif, sehingga bukan
saja bagi pelaku KDRT, melainkan utamanya bagi korban KDRT dan
masyarakatnya secara lebih luas.
Menurut Taringan, Sutjipto, Wibowo, Yudhan, Soenaryo (2001),
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah segala bentuk tindakan
kekerasan baik fisik maupun psikis yang terjadi dalam rumah tangga, baik
antara suami dan isteri maupun orang tua dan anak yang berakibat menyakiti
secara fisik, psikis, seksusal, dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan
kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga.
Almira At-Thahirah (2006) menjelaskan bahwa sekitar 24 juta
perempuan dari 217 juta penduduk Indonesia terutama di pedesaan mengakui
pernah mengalami kekerasan dan yang terbesar adalah KDRT. Komnas
perempuan pada tahun 2001 melakukan survei pada 14 daerah di Indonesia

1
(Aceh, Palembang, Jambi, Bengkulu, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi Utara,
Sulawesi Selatan, dan NTT) menunjukkan bahwa kaum perempuan paling
banyak mengalami kekerasan dan penganiayaan oleh orang-orang terdekatnya
serta tindak perkosaan di lingkungan komunitasnya sendiri. Selain itu
terdapat 60% kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orang tua mereka (Seto
Mulyadi, Komnas Anak). (Zastrow & Bowker, 1984) menegaskan bahwa
jumlah ini memang tidak sebanyak angka KDRT di AS yang melebihi dari
50% dari keluarga Amerika Serikat mengalami KDRT. Ada dua faktor yang
menyebabkan timbulnya KDRT, yaitu faktor internal dan eksternal. Secara
internal, KDRT dapat terjadi sebagai akibat dari semakin lemahnya
kemampuan adaptasi setiap anggota keluarga di antara sesamanya, sehingga
setiap anggota keluarga yang memiliki kekuasaan dan kekuatan cenderung
bertindak deterministik dan eksploitatif terhadap anggota keluarga yang
lemah. Secara eksternal, KDRT muncul sebagai akibat dari intervensi
lingkungan di luar keluarga yang secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi sikap anggota keluarga, terutama orang tua atau kepala
keluarga yang terwujud dalam perlakuan eksploitatif terhadap anggota
keluarga yang sering kali ditampakkan dalam pemberian hukuman fisik dan
psikis yang traumatik baik kepada anaknya maupun pasangannya.
KDRT dengan alasan apapun dari waktu ke waktu akan berdampak
terhadap keutuhan keluarga yang pada akhirnya bisa membuat keluarga
berantakan. Jika kondisinya demikian, yang paling banyak mengalami
kerugian adalah anak-anaknya terlebih bagi masa depannya. Oleh itu perlu
terus diupayakan mencari jalan terbaik untuk menyelamatkan institusi
keluarga dengan tetap memberikan perhatian yang memadai untuk
penyelamatan terutama anggota keluarga dan umumnya masyarakat
sekitarnya.
Pada tanggal 22 September 2004 Pemerintah RI memberlakukan
Undang Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (UU PKDRT). Undang Undang PKDRT diberlakukan untuk

2
memenuhi tuntutan masyarakat khususnya perempuan untuk menjadikan
tindakan KDRT sebagai bagian dari tindak pidana yang memungkinkan
pelakunya dihukum, serta menyelamatkan korban dari keberlanjutan menjadi
korban sekaligus sebagai upaya mencegah agar tidak lagi terjadi KDRT
dalam keluarga Indonesia (Zulfatun, 2012).
Setelah hampir 12 tahun diberlakukan, UU ini di satu sisi menuai
banyak pujian karena dianggap dapat mengatasi sebagian persoalan KDRT
dengan lebih mudah, namun di sisi lain mengundang kritik yang tidak sedikit.
Hal ini mengundang pertanyaan bagaimana penegakan humum KDRT,
apakah aparat hukum serius menerapkan UU ini atau justru semangat
melindungi korban KDRT hanya ada sebatas teks tertulis saja tanpa disertai
upaya konkret dan sistematis untuk mewujudkanya. Tulisan ini bermaksud
memepelajari lebih dalam tentang penegakan hukum terhadap UU PKDRT
dan peran dokter terhadap adanya kejadian KDRT dalam masyarakat.

B. Tujuan
Tujuan Umum
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang Undang-Undang Penghapusan
KDRT.
TujuanKhusus
1. Untuk mengetahui definisi KDRT
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dan dampak KDRT
3. Untuk mengetahui tentang Undang-Undang Penghapusan KDRT yang
diberlakukan
4. Untuk mengetahui kasus dan pembahasan kasus tentang KDRT

C. Manfaat
Manfaat Teoritis
Memberikan pengembangan terhadap studi kedokteran tentang hukum di
Indonesia khususnya terkait Undang-Undang Penghapusan KDRT dalam
Kedokteran Forensik dan Medikolegal dari segi etik, disiplin, dan hukum.

3
Manfaat praktis
1. Bagi Dokter
Menambah pengetahuan dokter mengenai Undang-Undang Penghapusan
KDRT
2. Bagi masyarakat
Menambah kesadaran masyarakat terhadap dampak KDRT dan sanksi-
sanksi yang ada.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)


1. Definisi
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah segala bentuk
tindakan kekerasan baik fisik maupun psikis yang terjadi dalam rumah
tangga, baik antara suami dan isteri, maupun orang tua dan anak yang
berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual, dan ekonomi, termasuk
ancaman dan perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga
atau keluarga (Tarigan, dkk, 2001).
Selanjutnya, yang dimaksud dengan kekerasan-kekerasan fisik,
psikologis, seksual, ekonomi, dan perampasan kemerdekaan dirumuskan
sebagai berikut:
a. Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa
sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh seseorang dan/atau
menyebabkan kematian.
b. Kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan dan ucapan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya pada seseorang.
c. Kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup
pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk
melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat
korban tidak menghendaki dan/atau melakukan hubungan seksual
dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban dan/atau
menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya.
d. Kekerasan ekonomi adalah tiap-tiap perbuatan yang membatasi
seseorang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang

5
menghasilkan uang dan atau barang, dan atau membiarkan korban
bekerja untuk dingeksploitasi, atau menelantarkan anggota keluarga.
e. Perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang adalah semua
perbuatan yang menyebabkan terisolirnya seseorang dari lingkungan
sosialnya (misalnya larangan keluar rumah, larangan berkomunikasi
dengan orang lain, dll).
Dapat dikatakan pula bahwa kekerasan dalam rumah tangga terhadap
perempuan adalah tindakan yang menghambat, melanggar, atau
meniadakan kenikmatan dan pengabaikan hak asasi manusia atas dasar
gender (Subhan, 2004).
Menurut Selviana (2010) KDRT adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atas penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah
tangga.
Rumah tangga, menurut KBBI adalah segala sesuatu yang berkenaan
dengan urusan kehidupan dalam rumah dan berkenaan dengan keluarga.
Keluarga adalah bapak dan ibu berserta anak-anaknya dan merupakan
satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah segala bentuk tindakan
kekerasan yang dilakukan suami, isteri, atau orang tua secara fisik
maupun psikis yang terjadi dalam rumah tangga yang berakibat menyakiti
secara fisik, psikis, seksual, dan ekonomi, termasuk ancaman dan
perampasan kebebasan.
Menurut pasal 1 UU RI No.23 Tahun 2004 yang dimaksud dengan
kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga. Yang termasuk dalam lingkup rumah tangga meliputi:

6
a. Suami, istri, dan anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orangf
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap
dalam rumah tangga.
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.

2. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya KDRT


Secara teoritis faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam
rumah tangga adalah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan
dalam lingkup rumah tangga yang dikategorikan berdasarkan pada suatu
teori para ahli. Beberapa ahli mendefenisikan kekerasan dalam rumah
tangga sebagai pola perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa yang
menciptakan ancaman atau mencederai secara fisik yang dilakukan oleh
pasangan atau mantan pasangannya. Secara khusus, ruang lingkup
kekerasan dalam rumah tangga dibatasi kepada Child Abuse (kekerasan
kepada anak) dan wife abuse (kekerasan kepada isteri) sebagai korban,
namun secara umum pola tindak kekerasan terhadap anak maupun isteri
sesungguhnya sama (Neil Alan, dkk, 2008). Penyebab tinggi angka
kekerasan dalam rumah tangga masih belum diketahui secara pasti karena
kompleksnya permasalahan, tetapi beberapa ahli sudah melakukan
penelitian untuk menemukan apa sebenarnya menjadi faktor penyebab
tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Sedangkan seacara empiris faktor-faktor penyebab terjadinya tindak
kekerasan dalam rumah tangga adalah faktor-faktor yang menjadi
penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan
pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan percobaan atau
pengamatan yang telah dilakukan. Masalah kekerasan dalam rumah
tangga bukanlah merupakan masalah yang baru, tetapi tetap aktual dalam
peredaran waktu dan tidak kunjung reda, bahkan cenderung meningkatan.

7
Untuk mengungkap kasus kekerasan dalam rumah tangga ini ternyata
tidak segampang membalikkan telapak tangan.
Masih banyak kasus yang sengaja ditutupi hanya karena takut
menjadi aib keluarga. Padahal tindak kekerasan yang dilakukan sudah
tergolong tindak pidana. Malu mengungkapkan kasus kekerasan dalam
rumah tangga karena aib keluarga atau persoalan anak dan perasaan masih
cinta merupakan hal yang kerap dirasakan korban kekerasan dalam rumah
tangga di negara kita.

3. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)


Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat
memiliki bentuk yang beragam. Diantara bentuk-bentuk KDRT, antara
lain kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan
penelantaran rumah tangga (Selviana, 2010). Kekerasan bisa dalam
bentuk fisik (physical abuse) seperti tamparan, tendangan, dan pukulan;
kekerasan seksual (sexual abuse) seperti melakukan hubungan seks
dengan paksa, rabaan yang tidak berkenan, pelecehan seksual, atau
penghinaan seksual; dan kekerasan emosional (emotional abuse) seperti
rasa cemburu atau rasa memiliki berlebihan, merusak barang-barang milik
pribadi, dan caci maki (Yayasan Jurnal Perempuan Indonesia, 2002).
Bentuk-bentuk KDRT antara lain: (Hawari, 2009)
1. Diskriminasi
2. Ketidakadilan
3. Tekanan psikologis
4. Kekejaman
5. Penganiayaan
6. Pelecehan seksual
7. Pemerkosaan
8. Eksploitasi ekonomi atau sosial
9. Pembunuhan
10. Perdagangan

8
11. Perlakuan salah, dan sebagainya
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diantaranya fisik, psikis, seksual,
dan ekonomi. Yang mengakibatkan luka fisik seperti lebam-lebam pada
tubuh, luka psikis seperti hilangnya harga diri, derita ekonomi merampas
hak isteri, dan luka secara seksual seperti mengabaikan kebutuhan seksual
isteri.

4. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga


a. Dampak Pada Perempuan/isteri
Rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi korban. Rasa
takut tersebut mengendalikan perilakunya dan mewarnai segala tindak
tanduknya bahkan ketakutan dapat mengganggu tidurnya,
memunculkan insomnia dan mimpi-mimpi buruk. Gangguan tidur
dapat memunculkan kebergantungan kepada obat-obat tidur dan obat
penenang. Pasangannya dapat mengancam keselamatan dirinya,
bahkan akan mengancam jiwanya, kalau sampai ia berusaha membuka
mulut atau bila ia berusaha meninggalkan lelaki itu. Dengan dasar
dominasi perasaan takut, respondan pengalaman psikologis yang
sering muncul dari korban kekerasan domestik maka muncul sikap
seperti:
1) Meminimalkan kejadian kekerasan yang dialami karena beberapa
alasan, yaitu:
a) Ketakutannya jika membicarakan kekerasan tersebut akan
membuatnya berada dalam situasi lebih buruk.
b) Kurangnya informasi akurat mengenai apa yang
sesungguhnya terjadi padanya, siapa yang sesungguhnya
bermasalah, dan siapa yang menjadi korban.
c) Kebutuhannya untuk meyakini itu tidak seberat yang
dibayangkan adalah cara beradaptasi terhadap kekerasan

9
yang dialami, sampai ia siap menghadapi realitas dan mampu
mengambil tindakan-tindakan pengamanan.
d) Perasaan malu dan kebingungannya menghadapi kekerasan.
e) Keyakinannya bahwa ia bertanggung jawab atas kejadian
tersebut.
2) Terisolasi
Perempuan korban kekerasan memiliki akses sangat sedikit akan
jaringan dan dukungan personal. Ketakutannya bahwa orang-
orang yang disayanginya akan menjadi sasaran dan berada dalam
bahaya membuatnya menutup mulut. Rasa malu dan
kebingungannya menghadapi pemukulan-pemukulan atau
kekerasan membuatnya menjaga jarak dari orang lain. Sedikit
kenalan dan teman dekat yang tahu teror yang dihadapinya di
rumahnya sendiri.
Jika ia berupaya berhubungan dengan orang lain, pasangannya
akan mematahkan usahanya dengan mengendalikan aktivitasnya
dan membatasi kontaknya dengan orang-orang di luar
perkawinan. Ia mungkin secara sengaja bersikap kasar pada
keluarga dan teman-teman perempuan tersebut. Korban jarang
punya hubungan positif dengan tempat-tempat yang dapat
menyediakan pekerjaan yang baik, tempat penitipan anak,
ataupun aktivitas-aktivitas terapetik, rekreasi, dan pendidikan
yang dapat meningkatkan harga dirinya. Isolasi sosialnya juga
menyebabkan sangat sedikit memperoleh umpan balik mengenai
kondisinya, suatu hal yang sesungguhnya dapat mengubah
persepsinya.
3) Perasaan tidak berdaya
Perempuan korban kekerasan sering berada dalam situasi
fenomena learned helplessness yang dideskripsikan secara detil
oleh Lenore Walker (1979). Yang dimaksud adalah mereka
belajar bahwa upaya-upaya mereka untuk mengendalikan,

10
menghindari atau melarikan diri dari situasinya ternyata tidak
berhasil. Akhirnya, yang muncul adalah perasaan tidak berdaya
(powerlessness) dan keyakinan bahwa tiada suatupun dapat
dilakukannya untuk mengubah keadaannya.
4) Menyalahkan diri (internalizes blame)
Perempuan korban kekerasan, sama seperti kita dan orang-orang
lain, sering mempercayai mitos-mitos tentang kekerasan dalam
hubungan intim dan dalam rumah tangga. Ia berpikir dialah yang
menyebabkan kekerasan terjadi karena pasangannya tidak jarang
bertanya Mengapa kamu membuat saya terpaksa memukuli
kamu? Kalau kamu melakukan apa yang saya inginkan, hal
seperti ini tidak akan terjadi. Sementara itu orang luar juga
mungkin bertanya Suamimu lelaki yang baik, apa sih yang kamu
lakukan sampai ia memukul kamu?. Ia berusaha untuk menjadi
makin sempurna, tidak menyadari bahwa kekerasan tersebut
sesungguhnya lekat dan menjadi tanggung jawab pelaku.
5) Ambivalensi
Pasangan yang melakukan kekerasan tidak setiap saat melakukan
kekerasan. Kadang kala ada saat bahwa ia merasa pasangannya
adalah laki-laki yang baik dan mencintainya. Inilah yang menjadi
ambivalensi dan kebingungan korban. Ia ingin kekerasan itu
berakhir, tetapi tidak perkawinannya. Ia sangat berharap
pasangannya akan berubah, ia ingin mempercayai janji-janji
pasangannya. Ia berpikir bahwa ia mencintai laki-laki itu. Ia juga
sangat takut membayangkan hidup sendiri. Perpisahan dengan
pasangan mungkin akan menyebabkan banyak sekali perubahan
hidup. Bila sebelumnya tinggal di rumah sepanjang hari
mengurus anak, mungkin ia harus bekerja, menitip anak, atau
malahan harus meminta bantuan. Untuk perempuan dari kelas
menengah atas, menurun drastisnya tingkat kehidupan
memerlukan banyak sekali penyesuaian.

11
6) Harga diri rendah
Akhir dari kekerasan yang berulang adalah rusaknya harga diri.
Perasaan berharga dan keyakinan diri, kepercayaan akan
kemampuan diri dirusakkan. Yang sangat merendahkan adalah
bahwa ia mendapat kekerasan dari orang yang dipilih menjadi
pasangan, orang yang seharusnya menyayangi, menghormati, dan
menyenangkannya. Perempuan korban kekerasan merasakannya
sebagai pukulan yang paling parah, pengkhianatan paling besar.
Semakin parah kekerasan yang dialami dan semakin lama
berlangsung, semakin buruklah citra diri yang dimiliki korban. Ia
mempercayai panggilan-panggilan yang ditujukan pasangannya
padanya seperti buruk, tidak mampu, bodoh, tidak menarik, dst.

7) Harapan
Perempuan yang menjadi korban berharap suaminya akan
berubah menjadi pasangan seperti yang diimpikannya. Penting
bahwa konselor menghormati mimpi-mimpinya akan kehidupan
rumah tangga yang bahagia. Mimpinya tidak aneh, mimpi
tersebut umum diimpikan orang. Sering kita menyalahkan
perempuan dengan pertanyaan Kenapa sih dia masih terus
bertahan dalam situasi demikian?, kembali mempersalahkannya.
Kita perlu melihatnya secara lebih positif, lebih bermanfaat untuk
menganggapnya sebagai perempuan pemberani, yang dapat
bertahan meskipun adanya banyak permasalahan. Dengan kata
lain, seharusnya kita bertanya: Bagaimana ia dapat memperoleh
kekuatan untuk terus bertahan dalam hubungan penuh kekerasan
demikian? (Luhulima, 2000).

b. Dampak pada anak-anak


Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak
terbatas kepada isteri saja, tetapi menimpa anak-anak juga. Anak-anak

12
bisa mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan
penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya.
Paling tidak, setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah
tangga yang di dalamnya terjadi kekerasan, juga mengalami perlakuan
kejam. Sebagian besar tidak diperlakukan kejam secara fisik, sebagian
lagi secara emosional maupun seksual. Kehadiran anak di rumah tidak
membuat suami tidak menganiaya isterinya. Bahkan dalam banyak
kasus, lelaki penganiaya memaksa anaknya menyaksikan pemukulan
ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara tambahan
untuk menyiksa dan menghina pasangannya. Menyaksikan kekerasan
merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-anak.
Mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat
sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibu mereka. Sebagian berusaha
menghentikan tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain.
Menurut data yang terkumpul dari seluruh dunia, ada anak-anak yang
sudah besar yang akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun
tidak bisa membantu ibunya yang diperlakukan kejam.
Akibat kekerasan tidak sama pada semua anak. Diantara ciri-ciri
anak yang menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam rumah
tangga adalah:
1) Sering gugup
2) Suka menyendiri
3) Cemas
4) Sering ngompol
5) Gelisah
6) Gagap
7) Sering menderita gangguan perut
8) Sakit kepala dan asma
9) Kejam pada binatang
10) Ketika bermain meniru bahasa dan perilaku kejam
11) Suka memukul teman

13
Kekerasan dalam rumah tangga ternyata merupakan pelajaran
kepada anak bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah
bagian yang wajar dari sebuah kehidupan. Anak akan belajar bahwa
cara menghadapi tekanan adalah dengan melakukan kekerasan.
Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan adalah
sesuatu yang biasa dan baik-baik saja. Kekerasan dalam rumah tangga
memberi pelajaran kepada anak lelaki untuk tidak menghormati kaum
perempuan (Ciciek, 1999).
Mengingat bahwa orangtua lebih sibuk dengan permasalahan dan
ketegangannya sendiri, sering terjadi bahwa orangtua tidak
memberikan perhatian pada kebutuhan anak, khususnya kebutuhan
psikologisnya untuk merasa aman, dicintai, dan didengarkan
(Luhulima, 2000).

B. Undang-undang Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Semakin besarnya peranan lembaga-lembaga sosial dalam
menanamkan kesadaran akan hak dan memberikan pendampingan serta
perlindungan kepada korban kasus KDRT dipengaruhi oleh lahirnya
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Lahirnya UU No.23 Tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT, Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 2006 tentang
Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT, Peraturan
Presiden No.65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Terhadap
Perempuan, Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, dan peraturan perundangan lainnya yang memberikan
tugas dan fungsi kepada lembaga-lembaga yang terkoordinasi
memberikan perlindungan hukum terhadap kasus KDRT dan termasuk
lembaga-lembaga sosial yang bergerak dalam perlindungan terhadap
perempuan. Bahkan dalam rencana pembentukan peraturan perundang-
undangan tersebut tidak terlepas dari peran lembaga sosial.

14
1. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
Undang-undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga ini selanjutnya disebut sebagai UU PKDRT yang
diundangkan pada tanggal 22 September 2004 dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 2004 No.95 fokus UU PKDRT ini ialah kepada
upaya pencegahan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan dalam
rumah tangga.
Dilaksanakan berdasarkan:
a. Penghormatan hak asasi manusia
b. Keadilan dan kesetaraan gender
c. Nondiskriminasi
d. Perlindungan korban
UU PKDRT pasal 4 menyebutkan penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga bertujuan:
a. Mencegah segala sesuatu kekerasan dalam rumah tangga
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera

2. Peraturan Presiden No.65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti


Kekerasan terhadap Perempuan
Peraturan Presiden No.65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan yang selanjutnya disebut sebagai Perpres
Komnas Perempuan merupakan penyempurnaan Keputusan Presiden
No.181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan. Perpres Komnas Perempuan Pasal 24 telah mencabut dan
menyatakan tidak berlaku Keppres No.181 Tahun 1998 tentang
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Komnas Perempuan ini dibentuk berdasarkan prinsip negara hukum yang
menyadari bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan

15
merupakan salah satu bentuk pelanggaran atas hak-hak asasi manusia
sehingga dibutuhkan satu usaha untuk mencegah dan menanggulangi
terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
a. Ketentuan pidana
Ketentuan pidana terhadap pelanggaran KDRT diatur oleh Undang-
undang Republik Indonesia No.23 tahun 2004 tentang penghapusan
KDRT sebagai berikut:
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga.

Pasal 44
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas
juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak
Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

16
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-
hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah).

Pasal 45
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta
rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-
hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta
rupiah).

Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan
pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling
banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah
tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud

17
dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).

Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan
Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi
harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir
atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-
menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya
janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat
reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau
denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)
dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah),
setiap orang yang :
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2).

Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat
menjatuhkan pidana tambahan berupa :

18
a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk
menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu,
maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah
pengawasan lembaga tertentu.

b. Peranan Dokter Menyikapi Korban Kekerasan dalam Rumah


Tangga (KDRT)
Pasal 21 UU RI No.23 Tahun 2004 disebutkan :
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga
kesehatan harus :
a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar
profesinya;
b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban
dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian
atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum
yang sama sebagai alat bukti.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah
daerah, atau masyarakat.

Pasal 40 UU RI No.23 Tahun 2004


(1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan
standar profesinya.
(2) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan
wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.

19
Maka jelas disini bahwa dalam kasus KDRT seorang dokter harus:
(Hariadi dan Hoediyanto, 2011)
a. Memberikan pelayanan kesehatan terhadap korban termasuk
memeriksa dan mengobati serta merawat korban baik di rumah
sakit ataupun di klinik milik swasta atau pribadi.
b. Membuat visum et repertum atas dasar SPVR (Surat
Permohonan Visum et Repertum) dari pihak kepolisian.
c. Berusaha memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.

Untuk membuat Visum et Repertum jika memungkinkan


tergantung atau sesuai dengan keahlian/spesialisasinya. Misalkan
kekerasan fisik oleh dokter bedah, kekerasan mata oleh dokter mata,
kekerasan psikis oleh psikiater, kekerasan seksual oleh dokter
obstetri dan ginekologi. Hal ini akan sulit dilakukan didaerah
terpencil karena dokter spesialis tidak banyak sehingga dokter umum
pun diperbolehkan melakukannya.

3. Kualifikasi Luka
Dikenal 3 macam kualifikasi luka :
a. KUHP pasal 352 : Penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian.
b. KUHP pasal 351 ayat 1 : Penganiayaan yang menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian.
c. KUHP pasal 351 ayat 2 : Penganiayaan yang menimbulkan luka
berat.
Menurut KUHP pasal 90 maka luka berat berarti:
a. Jumlah sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.
b. Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan
atau pekerjaan pencaharian.

20
c. Kehilangan salah satu mata penca indra.
d. Mendapat cacat berat.
e. Menderita sakit lumpuh.
f. Terganggu daya piker selama 4 minggu lebih
g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Kata penganiayaan merupakan istilah hukum dan tidak dikenal
dalam istilah kedokteran. Dan karena penganiayaan biasanya
menimbulkan luka, maka dalam kesimpulan visum et repertum kata
penganiayaan diganti dengan kata luka.
Menurut UU RI No.23 Tahun 2004 beberapa tindak pidana yang
merupakan delik aduan adalah:
a. Pasal 51 : Kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri
atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan, atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari.
b. Pasal 52 : Kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami terhadap istri
atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari.
c. Pasal 53 : Kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap
istri atau sebaliknya.
Jadi dalam hal ini jika tidak ada laporan atau pengaduan, atau
dicabut laporannya oleh salah satu pihak maka tidak bisa diproses atau
dituntut secara hukum. Jika kekerasan tersebut menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari maka ini termasuk delik dan bukan
delik aduan. Dalam hal pemaksaan hubungan seksual dengan tujuan
komersil juga merupakan delik (pasal 47). Dalam hal ini walau tidak ada
laporan/pengaduan dari korban maka polisi harus mengusutnya.

21
Contoh Kasus
Beberapa tahun lalu ada berita panas/gosip hot menimpa salah seorang artis
papan atas dan sekaligus sebagai penyanyi dangdut yaitu CP mengalami KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Dimana dalam kasus KDRT nya ini,
wajah CP babak belur akibat peristiwa penabarakan yang diduga dilakukan
suaminya, SB. Wajah CP kini tak lagi cantik dan CP pun terlihat makin sendu.
Dan berikut sedikit "kronologi tindakan SB (suami) terhadap CP".
JAKARTA - Setelah beberapa hari bungkam dan tak keluar rumah, CP
akhirnya mengadakan jumpa pers di Hotel CNP, Jakarta (19/6). CP menceritakan
kronologi tindak kriminal suaminya (SB) saat tepergok selingkuh Minggu
(14/6). Mengenakan blus lengan panjang berwarna abu-abu, CP yang didampingi
tiga pengacaranya tiba sekitar pukul 17.40 WIB. Wajahnya masih terlihat memar.
Di pelipis dan rahang kanan tampak bekas-bekas memar. CP memulai jumpa pers
dengan memohon maaf kepada media. Begitu membuka mulut, suara CP
terdengar agak bergetar seperti menahan tangis. ''Mohon maaf, saya baru bisa
muncul karena keadaan saya mulai stabil,'' katanya mengawali. Dia juga
menyampaikan terima kasih kepada polisi yang telah menangani kasusnya secara
profesional. Sambil mencucurkan air mata, perempuan yang menghilangkan tahi
lalat di pipinya itu memberikan penjelasan. Menurut CP, saat itu dirinya melihat
dengan mata kepala sendiri bahwa SB menyetir di kawasan Puncak, Bogor, dari
arah Jakarta. ''Saat itu arah puncak agak padat merayap. Lalu, saya turun dari
mobil, mengetuk kacanya (mobil sang suami) karena memang dia yang bawa
sendiri. Di sampingnya, ada seorang wanita yang tidak saya kenal,'' kisahnya
sambil menangis. CP menuturkan, saat itu SB menengok ke arah dirinya. CP pun
berteriak, ''Pa, buka. Pa, buka, buka!'' Tapi, kata CP, teriakan itu tidak dihiraukan.
Karena itu, CP bergerak ke depan. Dia berharap agar mobil yang dikemudikan
sang suami berhenti. ''Tapi, nggak menyangka kalau mobil itu melaju cepat
dan menabrak. Akhirnya, saya tersungkur ke aspal,'' ujarnya pilu. CP tersungkur
setelah badannya terkena spion kanan mobil yang ditumpangi SB. ''Sejak
menikah, ini kali pertama kekerasan yang saya alami dari suami,'' katanya. Tak
lama kemudian, sepupu CP yang bernama SR membangunkan dia yang terkapar

22
di jalan. Setelah masuk mobil Toyota Alphard, CP meminta sopir mengejar SB,
suaminya. Tapi, dia kesulitan karena mobil suami CP berjalan agak jauh.
Lantas, SR turun dan meminta bantuan pengendara motor. Tidak begitu jauh,
kata CP, ada polisi yang sedang bertugas di jalan. SR meminta tolong agar ikut
mengejar. ''Polisi itulah yang mengejar mobil suami saya dan menghentikan dia,''
tuturnya. Saat bertemu sang suami di Mapolres Bogor, bahkan hingga saat ini, CP
menyatakan belum sekali pun SB meminta maaf. Namun, ketika ditanya mengapa
menabrak, SB beralasan tidak melihat. ''Katanya, dia tak melihat (saya di depan
mobil). Tetapi, saya yakin, nggak mungkin seorang suami tidak melihat isteri
sendiri. Apalagi, jaraknya sangat dekat,'' kata CP.
Dua hari sebelum insiden tersebut, tambah CP, SB pamit kepada dirinya
akan bepergian ke Demak. Saat itu ada kyainya yang meninggal. ''Dia bilang sama
saya pulang Minggu malam. Ternyata, dia tidak bermalam di sana, hanya pergi
pulang. Sudah ada di Jakarta, tapi tidak bilang,'' terangnya.
CP tidak membantah bahwa belakangan ini rumah tangganya bermasalah.
Bahkan, mereka lama pisah ranjang. Tepatnya, itu terjadi 1,5 bulan setelah
menikah. ''Setelah resepsi, saya merasakan keganjilan. Saya shock. Keluarga besar
pun begitu. Itu terjadi setelah ada pemberitaan bahwa seorang wanita mengaku
masih isterinya,'' ujar CP. ''Om AD (saksi pernikahannya, Red) yang menerima
lamaran merasa dibohongi,'' lanjutnya.
Menurut Kasatreskrim Polres Bogor AKP, MS, penahanan SB telah sesuai
dengan UU. ''Tersangka telah kami tahan. Sebab, pasal KDRT yang kami kenakan
bukan delik aduan,'' katanya. Dia menyebutkan, bukti-bukti berupa hasil visum
dan hasil pemeriksaan sudah bisa dijadikan bukti untuk menjadikan SB sebagai
tersangka. Dia diancam hukuman penjara lima tahun.
Dalam perkembangan lain, SB akhirnya ditahan Polres Bogor Kamis
(18/6). Dia dijerat dengan pelanggaran UU No.23 Tahun 2004 Pasal 44 ayat 1
tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Pengusaha batu bara itu tidak
diperlakukan secara istimewa. Dia mendekam di sel bersama tersangka kasus
pemerkosaan.

23
Untuk memperkuat bukti, polisi juga melakukan cek fisik kendaraan
Range Rover Nopol B 8308 YN milik SB. Mobil itu dijadikan barang bukti. Di
kendaraan tersebut, polisi menemukan goresan di bagian kiri.

Pembahasan kasus:
Pada kasus diatas, pelaku kekerasan dapat dikenakan pelanggaran Undang-
undang No.23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga pasal 5 (a) dan pasal 6 yakni mengenai tindakan kekerasan dalam rumah
tangga berupa kekerasan fisik (pasal 5 huruf a) yang mengakibatkan rasa sakit
dan luka berat pada korban (pasal 6). Atas perbuatannya tersebut pelaku
kekerasan terancam hukuman pidana sebagaimana yang sudah tertera diatas dan
tercantum dalam UU PKDRT. Pelaku kekerasan akan dikenakan pasal 44 ayat (1)
yang berbunyi : Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik
dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu
bentuk kekerasan terhadap perempuan karena korban KDRT pada umumnya
ialah perempuan. Kekerasan terhadap perempuan berarti kekerasan yang
melanggar hak asasi perempuan yang berarti juga kekerasan yang melanggar hak
asasi manusia.
Dengan dikeluarkannya UU PKDRT No. 23 Tahun 2004, masalah KDRT
tidak lagi menjadi masalah privat tetapi sudah menjadi masalah publik. Hal ini
dibuktikan dengan meningkatnya angka KDRT yang dilaporkan. Peningkatan
angka KDRT yang dilaporkan tersebut merupakan salah satu perubahan cara
pandang masyarakat Indonesia yang tidak lagi menganggap KDRT merupakan
masalah pribadi yang orang lain tidak boleh mengetahuinya. Peningkatan data
yang dilaporkan dan perubahan cara pandang masyarakat mengenai KDRT adalah
merupakan hasil kerja keras beberapa pihak, salah satunya ialah lembaga sosial.
Perlindungan korban berarti perlindungan untuk tidak menjadi korban
tindak pidana dan perlindungan terhadap korban setelah terjadi tindak pidana.
Bahkan tujuan penghapusan KDRT mengandung pengertian tersebut yaitu
mencegah terjadinya KDRT, melindungi korban KDRT
Sikap pelaku kekerasan yang melanggar perjanjian yang telah
disepakati bersama antara korban, pelaku, keluarga, dan/atau lembaga sosial
menjadi kendala bagi lembaga sosialuntuk mengerjakan peran yang dimilikinya.
Pandangan masyarakat secara khusus laki-laki yang tidak percaya kepada
lembaga sosial, anggapan masyarakat bahwa lembaga sosial mengajari
perempuan untuk melawan suami, dan instansi lain seperti pengadilan dan
kejaksaan yang sulit untuk bekerjasama menjadi adalah alasan-alasan
eksternal yang menghambat lembaga sosial untuk mewujudkan tercapainya
tujuan penghapusan KDRT.

25
Untuk mengatasi kendala yang dihadapi lembaga sosial baik internal
maupun eksternal, lembaga sosial melakukan beberapa tindakan untuk
mengatasinya. Upaya-upaya mengatasi kendala tersebut lebih bersifat kondisional,
maksudnya berdasarkan kasus yang terjadi. Untuk mengatasi kendala yang
berasal dari dalam lembaga ialah memperluas jaringan kerjasama dengan
lembaga donor atau lembaga sosial lainnya, menanamkan visi perjuangan kaum
feminis kepada aktivis-aktivis muda dan menantang untuk berkorban demi
kepentingan korban. Untuk mengatasi kendala dari luar lembaga ialah memberi
ketegasan kepada korban untuk melakukan dan memilih pilihan yang baik
menurutnya dan melakukan pilihan tersebut memberdayakan korban dengan
menumbuhkan rasa percaya diri kepada korban dan keberanian untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya, memperkenalkan lembaga kepada
masyarakat dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga.

3.2 Saran
Setelah mengkaji beberapa aspek tentang kekerasan dalam rumah tangga,
maka kamimenyarankan :
1. Bagi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
Pada umumnya dapat berbagi dengan anggota keluarga, teman, atau
melapor ke LSM bahkan langsung ke pihak berwajib mengenai apa yang
sudah dialaminya. Korban dapat bercerita dengan pihak yang dianggapnya
mampu untuk menjaga dan membantu memecahkan masalah yang sedang
dihadapi. Bagi Masyarakat yang mengetahui adanya tindak kekerasan
diharapkan dapat membantu. Masyarakat mengadakan kesepakatan antar
warga untuk mengatasi masalah-masalah kekerasan dalam rumah tangga
yang terjadi di lingkungan sekitar, melalui penyuluhan warga. Masyarakat
dapat membantu korban untuk melaporkan kepada ketua RT dan polisi.
2. Bagi Instansi Terkait seperti, LSM, LBH, dan Kepolisian
Karena belum meratanya sosialisasi ketentuan hukum, tidak berimbangnya
fasilitas hukum yang tersedia dengan kasus yang terjadi, belum optimalnya
kesadaran hukum masyarakat serta adanya pergesekan nilai yang dianut

26
oleh undang-undang ini dengan nilai yang berlaku dalam sebagian
masyarakat. Dan agar dapat cepat tanggap mengatasi masalah korban
kekerasan. Maka hal tersebut diharapkan dapat membantu korban-korban
kekerasan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

27
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, H. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Balai Pustaka .Jakarta.


Amiruddin, M. 2003. Kesehatan dan Hak Reproduksi Perempuan. Yayasan Jurnal
Perempuan. Jakarta.
At-Thahirah, Almira. 2006. Kekerasan Rumah Tangga Produk Kapitalisme
(Kritik Atas Persoalan KDRT). Bandung: UIN.
Ciciek, F. 1999. Ikhtisar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga Belajar
dari Kehidupan Rasulullah SAW. PT. Lemabaga Kajian Agama dan
Gender. Jakarta.
Hawari. D. 2009.Penyiksaan Fisik dan Mental dalam Rumah Tangga (Domestic
Violance).Balai Penerbit FK UI. Jakarta.
Hoediyanto., Hariadi, A. 2012. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik &
Medikolegal Edisi 8. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.
Lenore, W. 1979.The Battered Woman. Harper and Row. New York.
Luhulima, A. 2000.Pemahaman Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan
dan Alternatif Pemecahannya.PT. Alumni. Jakarta.
Neil Alan, et. Al. 2008.(Ed.) Violence: Pattern, Causes, Public Policy. Harcourt
Brace Jovanovich (HBJ) Publisher. USA.
Selviana, M. 2010. Sikap Isteri terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga
(studidi wilayah kampung x Jakarta). Fakultas Psikologi Esa Unggul.
Jakarta.
Subhan, Z. 2004. Kekerasan Terhadap Perempuan. Pustaka Pesantren.
Yogjakarta.
Tarigan, A., Sutjipto, A., Wibawa, D., Yudhan, E., Soenaryo, H., Harsono, I., &
Tjambang, J., dkk. 2001. Perlindungan terhadap perempuan dan anak
yang menjadi korban kekerasan: (Bacaan bagi awak ruang pelayanan
khusus -police women desk) Derap -warapsari psikologi feminins.
Paradigma Indonesia.Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Zastrow, Charles dan Browker, Lee. 1984. SosialProblems : Issues and Solutions.
Nelson-Hall. Chicago.
Zastrow, Charles, Bowker, Lee. 1984. Sosial Problem: Issues and Solution,
Chicago: Nelson-Hall.
Zulfatun, N. 2012.Efektivitas Penegakkan Hukum Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Tulungagung. Tulungagung.

28

Anda mungkin juga menyukai