Anda di halaman 1dari 19

AKUNTANSI DESA KEUANGAN DESA DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

STANDAR DAN PERATURAN Akuntansi desa adalah pencatatan dari proses transaksi yang terjadi di
desa, dibuktikan dengan nota-nota kemudian dilakukan pencatatan dan pelaporan keuangan
sehingga akan menghasilkan informasi dalam bentuk laporan keuangan yang digunkan pihak-piihak
yang berhubungan dengan desa.

Pihak-pihak yang menggunakan informasi keuangan desa diantaranya adalah:

Masyarakat desa.

Perangkat desa.

Pemerintahan daerah.

Pemerintahan pusat.

Laporan keuangan desa menurut Permendagri No 113 tahun 2014 yang wajib dilaporkan oleh
pemerintahan desa berupa:

Anggaran.

Buku kas.

Buku pajak.

Buku bank.

Laporan Realisasi Anggaran (LRA).

Menurut Permendagri No 113 Tahun 2014 Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban desa
yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa.

Menurut Permendagri No 113 tahun 2014 Pengelolaan Keuangan Desa adalah keseluruhan kegiatan
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban
keuangan desa.
Standar Pelaporan Keuangan Desa diperlukan dalam menyikapi kewajiban akuntabilitas dan
transparansi keuangan desa. Sebagaimana amanat Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa
yang menyatakan bahwa desa menjadi subyek pembangunan, menyebabkan aliran dana APBN
kepada desa.

Setiap desa memperoleh alokasi dana dari APBN sebesar Rp1 miliar ditambah sumber dana lain,
yang ditinjau dari sisi manfaat sangat luar biasa. Dengan adanya dana desa, diharapkan
pengangguran dan kemiskinan berkurang. Apabila desa sejahtera terwujud semua masyarakat
bahagia maka dapat dikatakan ekonomi kerakyatan sudah berhasil.

Dana desa ini harus didukung terus agar masyarakat desa tidak perlu urbanisasi ke kota. Pertanyaan
yang muncul sehubungan dengan adanya dana desa yang besar, dengan kondisi desa yang
bermacam-macam, dengan berbagai dana pendamping yang masih banyak permasalahan serta
penguatan kelembagaan yang masih baru, adalah bagaimana dengan akuntabilitasnya?

Pada 2016 (tahun kedua) ini, DJPK akan menyalurkan dana desa dengan skema 60% pada bulan
Maret dan 40% di bulan Agustus yang berubah dari tahun sebelumnya yaitu 40%, 40%, dan 20%.
Sampai saat ini belum banyak disalurkan karena belum ada pertanggungjawaban dana desa tahun
sebelumnya (tahun 2015) yang merupakan salah satu syarat pencairan dana. Artinya, yang
dibutuhkan masyarakat desa adalah laporannya dulu, sistemnya dulu, yang sesederhana mungkin.
Uang masuk dari mana dan digunakan untuk apa.

Beberapa pertanyaan dari sisi akuntansi desa :

Pertama, desa sebagai entitas yang harus diaudit atau tidak? Apakah entitas akuntansi atau entitas
pelaporan?

Kedua, jika memang sebagai entitas yang diaudit, apakah desa itu sendiri? Ada opini BPK untuk
masing-masing desa? Atau desa bagian integral dari kabupaten/kota?

Bahwa perlu akuntabilitas keuangan desa. Namun, masalahnya siapa yang meng-approve
akuntabilitasnya. Inilah yang perlu dikembangkan. Kalau pertanggungjawaban keuangan pemerintah
desa diaudit BPK maka harus ada standar, apabila tidak maka cukup dengan pedoman sistem
keuangan saja.
Bahwa desa itu sebagai entitas pelaporan, artinya harus membuat laporan keuangan dan
melaporkannya. Pertanggungjawaban keuangan desa selama ini mengacu pada Permendagri. Desa
membuat Peraturan Desa APBDes untuk penyusunan dan pertanggungjawaban.

Peran Camat akhir-akhir ini seperti tidak berfungsi, gaji besar namun tidak punya peran apa-apa. Ke
depan koordinasi dan evaluasi dana desa akan diarahkan ke Camat. Apabila nanti standar akuntansi
desa sudah dibuat, siapa yang meyakini bahwa desa dalam membuat laporan keuangan telah sesuai
dengan standar. Telah terjadi beberapa kali sosialisasi Ikatan Akuntan Indonesia dan Kementerian
Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan tertengarai bahwa semangat desa itu
luar biasa. Tertengarai pula bahwa di antara berbagai desa, terdapat kompetisi yang sehat.
Tertengarai bahwa kompetisi tersebut berakibat baik pada pembangunan dan pemeliharaan fasos-
fasum, antara lain ditemukan bahwa kualitas pekerjaan jalan desa menjadi lebih baik karena
dikerjakan sendiri oleh desa tersebut daripada diborongkan. Dengan demikian dana desa berpotensi
memberi dampak biliar atau multiplier effect. Pembangunan desa juga bertujuan memerangi
pengangguran, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.

Bahwa untuk menyusun standar akuntansi desa, satu satunya standar setter yang dibentuk berdasar
amar UU Keuangan Negara memang Komite Standar Akuntanasi Pemerintahan (KSAP). KSAP yang
mesti menyusun Standar Akuntansi Pelaporan Keuangan Desa. Perlu sekali standar keuangan desa.
Kemudian dasar hukumnya yaitu harus Peraturan Pemerintah.

Standar ideal adalah standar yang dibuat agar diterima (general accepted) desa se-Indonesia dengan
segala heterogonitasnya. Dalam UU Desa, pendidikan minimal perangkat desa SMA sedangkan
kepala desa yaitu SMP. Jadi standar dibuat sesederhana mungkin, artinya standar SMP. Yang paling
penting bahwa penyusunan laporan keuangan bukan paksaan tetapi sukarela, bukan pada rule based
tetapi principle based dan voluntary based. Standar Pelaporan Keuangan Desa harus dibuat se-low
level mungkin, diterima semua pihak tanpa bantuan konsultan atau pakar.

Selain BPKP yang bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dalam membuat komputerisasi
pedoman dan aplikasi pertanggungjawaban keuangan sesuai Permendagri, IAI juga telah
memfasilitasi dan mendampingi desa. Direncanakan bahwa pada bulan Mei 2016 akan diresmikan
kelembagaan atau fungsi pendamping desa, yang akan diwisuda oleh Gubernur di depan Presiden
NKRI.

IAI sudah memiliki Quality Assurance, supaya terjadi sinkronisasi antar semua perwakilan IAI. Apabila
ada perbedaan, dapat disamakan dalam Panduan Pendamping Desa, dengan pelatihan dan sertifikasi
IAI. Bahwa KSAP sedang dalam proses penyusunan standar yang sudah dikomunikasikan dengan
BPK.
Dalam area governance, KSAP membahas beberapa hal yang menyangkut aturan yang sebaiknya
disusun sebagai panduan berbentuk Standar Akuntansi bagi aparat desa. Siapa dan bagaimana yang
akan menyusun standar akuntansi. Meski dalam aturan UU, jelas bahwa KSAP sudah diberi tugas dan
mandat untuk menyusun standar akuntansi pemerintahan (SAP). Jika bicara pemerintahan maka
lingkupnya Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Namun karena kesantunannya, KSAP ingin
mengajak bicara agar keputusan yang diambil ownershipnya disemua regulator. Apakah implikasinya
kemudian desa itu tidak akan diaudit jika tidak ada standar? Jika desa merupakan entitas sendiri
yang terpisah dari kabupaten/kota, suka tidak suka harus diaudit. KSAP meneruskan rencana yang
telah dilakukan. Rencana untuk terus melakukan konsultasi pada stakeholder akan terus dilakukan.
Pada saatnya nanti jika akan dilakukan public hearingtentu akan disampaikan kepada stakeholder.

Bahwa kita melihat adanya fenomena dana-dana dari pemerintah ke desa. Aturan-aturan yang telah
dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri perlu dipayungi oleh standar. Praktik yang ada harus
ada standarnya. Secara Undang-undang, standar akuntansi pemerintahan (SAP) disusun oleh Komite
Standar. Dari sudut pandang proses, KSAP sudah menyiapkan tim dan melakukan riset sebagai
persiapan menyusun standar akuntansi pelaporan keuangan desa. Sebagai langkah selanjutnya,
KSAP ingin memastikan bahwa setiap stakeholder mempunyai kesamaan pendapat dan pikiran.
Bahwa KSAP sudah menghubungi Dirjen Bina Pemerintahan Desa, untuk bersama-sama mendorong
akuntabilitas di desa. Pertanggungjawaban keuangan desa diatur dalam Permendagri Nomor 113
Tahun 2014, namun belum ada standarnya. Bagaimana kita menyamakan persepsi perlu atau tidak
membuat standar. Bahwa Permendagri telah mengatur mengenai penatausahaan keuangan dan
aset desa, suatu praktik yang mengarah pada sistem di desa.

Bahwa desa adalah entitas pelaporan. Dalam kerangka konseptual jelas disebutkan yang
membedakan entitas akuntansi dan entitas pelaporan. Salah satu ciri dari entitas pelaporan bahwa
pemimpinnya dipilih melalui pemilihan, terlepas bagaimana nanti auditnya. Desa itu adalah entitas
pelaporan ada pada Paragraf 11 PSAP 11. Sebagai entitas pelaporan adalah dibiayai oleh
APBN/APBD, dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, pimpinan adalah pejabat
pemerintah yang diangkat dan dipilih oleh rakyat, entitas membuat pertanggungjawaban, baik
langsung atau tidak langsung kepada wakil rakyat.

Mengapa perlu Standar Pelaporan Keuangan Desa. Untuk desa dibuat standar sendiri, namun, jika
setara Standar ETAP DSAK-IAI mungkin terlalu tinggi, lebih tepat selevel dengan standar akuntansi
UMKM yang disusun IAI. Laporan ini akan memberikan gambaran tentang performance namun
hanya highlight. Tidak cukup dari sisi keuangan, ada kinerja kunci dari laporan keuangan ini. Mungkin
cover muka 1-2 lembar cerita apa yang dikerjakan desa dalam aspek kinerja.
Mengapa Perlu Standar Pelaporan Keuangan Desa:

Desa melakukan pengelolaan keuangan desa dan membuat pertanggungjawaban;

Terdapat alokasi Dana Desa dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah;

Tuntutan akuntabilitas dari masyarakat atas pengeloaan keuangan Desa;

Desa adalah unit pemerintahan daerah terkecil, sebagai bagian integral dari akuntansi pemerintah
daerah Kabupaten atau Kota dalam NKRI, maka pertanggungjawaban keuangan Desa sebaiknya
diatur secara nasional.

Akuntabilitas merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan Desa.

Dari perspektif Kementerian Dalam Negeri, Kemendagri telah membuat Permendagri Nomor 113
Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa dan Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Pengelolaan Aset Desa. Desa berkewajiban untuk menyampaikan laporan desa (LRA dan neraca)
untuk dievaluasi oleh Kabupaten/Kota. Laporan Keuangan Desa lepas, tidak terintegrasi dan tidak
digabungkan, dilampirkan juga tidak. Dalam perspektif seperti itu, desa tidak diletakkan sebagai
entitas akuntansi namun entitas pelaporan. Yang minus dari regulasi adalah standar. Betul-betul
baru dalam tataran sistem dan prosedur, standar pelaporan keuangan desa belum ada. Peraturan
Desa ada dua ; yaitu Peraturan tentang APBDes yang dibuat dengan Badan Permusyawaratan Desa
dan peraturan tentang pelaporan keuangan Desa. Permendagri memang tidak menyinggung tentang
audit dan standar, hanya terbatas pada sistem.

Jika dilihat dari naturenya – transaksi bisnis pendapatan dan belanja – pemerintah desa itu
independen, desa sebagai entitas pelaporan. Terpisah dari entitas kabupaten/kota. Dari sisi
peraturan perundang-undangan, desa sebagai pemerintah tersendiri. Bahkan proses
penganggarannya pun ada badan tersendiri. Jadi tidak masuk dalam APBD Kab/Kota. Dalam
peraturan disebutkan bahwa pertanggungjawaban sampai pelaporannya di Menteri Dalam Negeri.
Namun, tidak ada pernyataan harus diaudit oleh BPK dan tidak dibilang disusun sesuai standar. Hal
itu menjadi salah satu lubang dari sisi peraturan perundang-undangan. Aspek ketiga yaitu kapasitas.
Adanya Standar Pelaporan Keuangan Desa supaya ada acuan dalam membuat laporan keuangan
desa. Jika berbentuk standar, KSAP harus melihat PSAP Nomor 01, Kerangka Konseptual dan melihat
lagi aturan Pemerintah, apakah ada pembatasan ruang lingkup atau bisa dibuat standar sendiri.
Walaupun di bawah kabupaten/kota tapi desa merupakan entitas sendiri yang mandiri.
Kekhawatiran jika tidak ada aturan/standar – seperti pemerintah pada saat pertama kali membuat
laporan keuangan – repot dalam mengisi angka-angka di neraca. Terakhir tentang kapasitas desa,
jangan sampai akuntansi justru membebani penyelenggaraan pembangunan di desa. Jangan sampai
sumber daya di desa habis untuk menyusun laporan keuangan saja. Desa merupakan entitas
independen dan entitas pelaporan maka harus diaudit. Yang masih jadi pertanyaan, mengapa
pertanggungjawabannya ke kabupaten/kota, seharusnya pertanggungjawaban keuangan desa
disampaikan kepada semacam DPR/Badan Permusyawaratan Desa.

Perlunya standar pemerintah desa lebih tepat ditanggapi oleh Ditjen Bina Pemerintahan Desa
sebagai end user. Dulu desa hanya mengelola 50 juta, namun sekarang mengelola hampir 800 juta.
Terjadi gungangan budaya (culture shock) dalam pemerintahan desa Gubernur Jawa Timur sampai
menyampaikan kepada aparat desa agar tidak takut menggunakan dana desa. Jika dibuat standar
maka standar tidak terlalu tinggi dan perlu pentahapan. Jangan sampai uang di desa itu habis untuk
konsultannya.

NKRI perlu standar desa dan harus ada opini dari BPK untuk Laporan Keuangan Desa. Bahwa Desa
merupakan entitas independen bukan bagian dari kabupaten/kota. Berita baik bagi Pemda
Kabupaten/Kota, bahwa opininya tidak dipengaruhi oleh Laporan Keuangan Desa. Independensi
desa menyebabkan tidak dikaitkan dengan kabupaten/kota. Apabila laporan keuangan desa
dilampirkan juga indah, tapi tanpa pengaruh opini atas kabupaten/kota.

Standar Laporan Keuangan Desa sebaiknya dibuat seringan mungkin. Mengambil hikmah bahwa
standar syariah dan standar ETAP tidak perlu menggunakan fair value accounting seperti SAK (besar),
Laporan Keuangan desa tak perlu akrual paripurna, apabila KSAP nanti sepakat membuat sebuah set
standar lebih sederhana seperti Standar ETAP dibanding SAK (besar). KSAP selalu berjuang untuk
tidak mempersulit desa, sebaliknya kalau dapat Standar Laporan Keuangan Desa meningkatkan
kedigdayaan desa – sebagai ujung tombak NKRI. Dalam sejarah pembangunan standar, KSAP selalu
bersinergi dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. Terkait akuntansi
pemerintahan, semua pihak sadar, bahwa derajat dari Peraturan Pemerintah (Standar) akan
mengungguli Peraturan Menteri. Maka jika ada perbedaan maka Peraturan Menteri tersebut
diamandemen sesuai dengan Peraturan Pemerintah (Standar). Dalam praktik yang ada sebelumnya,
sudah biasa Peraturan Menteri muncul lebih dahulu daripada Peraturan Pemerintah.

Konsultan akuntansi desa sebaiknya dibatasi, jangan sampai konsultan oportunis yang
memanfaatkan kesempatan aliran dana desa. Desa membutuhkan aplikasi/sistem akuntansi gratis.

Masalah sumber daya, sebagai masalah utama, APBDes dapat mengalokasikan dana pengadadaan
SD Desa. Untuk pengadaan SDM, desa mungkin bisa mempekerjakan akuntan khusus yang mengurus
pelaporan desa.

Gagasan pembuatan Standar Akuntansi Desa. Bahwa terkait standar pelaporan keuangan desa
menurut Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi harus melihat SDM
yang ada di desa, karena itu seyogyanya standar yang dibuat mewakili desa dari Sabang sampai
Merauke. Bahwa Laporan Keuangan Desa itu penting, pelaporan keuangan tersebut tidak hanya
sekedar pelaporan aliran dana APBN karena desa sendiri punya kepemilikan atas desa itu sendiri.
Dalam pembangunan transparansi, siapa pun di desa dan masyarakat dapat melihat laporan
tersebut. Standar akuntansi & pelaporan memang harus sederhana. Kementerian Desa PDTT telah
menyiapkan pendamping desa, untuk kabupaten ada 4-6 orang, kecamatan 2 orang, dan 1 orang
untuk mendampingi 3 desa, sehingga standar akuntansi sederhana dapat disampaikan dan dilatihkan
oleh para pendamping tersebut kepada aparat dan kepala desanya.

BPKP telah bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mengembangkan Sistem
Informasi Keuangan Desa (SISKEUDES). Dalam aplikasi sekali entry sumber dana bisa terinput.
SISKEUDES telah diuji coba di Kabupaten Mamasa. Dirjen Bina Pemerintahan Desa mengeluarkan
Surat Edaran (SE) ke seluruh Gubernur dan walikota untuk mengimplementasikan SISKEUDES ke
seluruh desa. Jika KSAP ingin berdiskusi BPKP membuka tangan lebar.

KSAP dapat meneruskan rencana penyusunan Standar Akuntansi Pelaporan Keuangan Desa, dan
agar dalam penyusunan standar senantiasa berkoordinasi dengan para stakeholders keuangan Desa.
Standar diharapkan sederhana sehingga mudah diterapkan oleh Desa.

Amar UU Keuangan Negara tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual dan tentang
pendirian Komite Standar nan indipenden menghasilkan PP 24/2005 dan PP 71/2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). UU Keuangan Negara tidak memberi batasan tentang entitas
Laporan Keuangan. Pada tahun 2003 KSAP menetapkan entitas pelaporan Laporan Keuangan adalah
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu kementerian, lembaga nonkementerian, kabupaten
dan kota.

Desa dan kelurahan tidak disebut-sebut secara eksplisit dalam SAP umumnya, pada konsep entitas
akuntansi dan/atau entitas pelaporan Laporan Keuangan Pemerintahan khususnya. Rancang bangun
SAP secara eksplisit mewajibkan pemerintah pusat cq kementerian, lembaga negara non
kementerian, pemerintah daerah cq kabupaten dan/atau kota mandiri.

SAP sebaliknya, juga tidak menyebut secara eksplisit bahwa entitas Desa dan Kelurahan berada di
luar ruang lingkup tugas KSAP.

Sejak awal (yaitu 2003), KSAP menyadari bahwa desa (sekitar 72.944 desa), kelurahan (8.309
kelurahan) dan dusun (mungkin sekitar 150.000 dusun) merupakan bagian integral pemerintah
daerah otonom. Pada cetak biru atau rancang bangun 2003 menuju PP 24/2005, KSAP menentukan
batas terbawah entitas adalah Kabupaten dan Kota, bukan desa apalagi dusun, dengan
pertimbangan sebagai berikut:

Sebuah standar akuntansi harus mencakupi berbagai kegiatan keuangan entitas Laporan Keuangan.
Karena itu dasar standar adalah entitas yang diwajibkan melaksanakan standar. KSAP membatasi
dengan sengaja pada tataran KL, Kabupaten dan Kota saja.

KSAP secara sengaja tidak menyebut-nyebut desa sebagai batasan entitas Laporan Keuangan karena
menengarai senjang kemampuan desa untuk tatakelola keuangan dan perbendaharaan. Apabila
Desa berdampingan dengan K/L, Kabupaten/Kota dipertimbangkan sebagai entitas dalam rancang
bangun PP 24/2005, maka desain tiap nomor PSAP (dengan memertimbangkan ukuran dan SD Desa
yang jauh lebih kecil dari Kabpuaten/ Kota) menjadi tidak mungkin dilakukan (impossible design).

Sebaliknya, tingkat resistensi pelaku akuntansi dan KL membawahi pemda akan optimal, apabila
pada PP 24/2005 SAP telah mewajibkan desa untuk mengikuti PP tersebut, dipastikan berakibat SAP
akan ditolak untuk diterapkan. Dugaan tersebut amat benar, karena tanpa memasukkan entitas
desapun terjadi resistensi tinggi penerapan PP 24/2005 pada berbagai kabupaten atau kota.

Terdapat kemungkinan besar BPK akan menolak bakalan PP 24/2005 apabila Desa masuk sebagai
entitas Laporan Keuangan.

Perlu dicatat, ada era 2005/2010, desa masih berstatus obyek, bukan subyek pembangunan. Dengan
UU Desa 2014, Desa menjadi subyek, menjadi aktor pembangunan NKRI.

Pada era waktu 2007-2010, rancang bangun bakalan PP 71/2010 akrual disusun KSAP berdasar
pemantauan KSAP akan tingkat keterterapan PP 24/2005 pada tataran K/L, Kabupaten dan Kota,
disimpulkan bahwa penerapan SAP belum memuaskan, belum merata, belum diterapkan sebagian
entitas, dan perolehan opini WTP masih amat sedikit. Hal ini menyebabkan PP 71/2010 juga belum
memasukkan Desa dalam definisi entitas.

Tujuan utama KSAP adalah agar seluruh entitas pelaporan berbentuk K/L dan Pemerintah Daerah
(belum termasuk desa) mampu menerapkan PP 24/2005 dan selanjutnya mampu melaksanakan
akuntansi berbasis akrual mulai tahun buku 2015.KSAP bekerja keras melengkapi PSAP dan memberi
sarana kemudahan dengan pembuatan berbagai buletin teknis.

Tiba tiba pada tahun 2014/2015 muncul fenomena baru yaitu (1) DPR mengesahkan UU Desa, (2)
Kabinet mendirikan Kementerian Desa dan (3) alokasi APBN kepada desa. Maka muncul kebutuhan
sarana pertanggungjawaban keuangan desa, mungkin dalam bentuk Administrasi Keuangan atau
Perbendaharaan Desa atau Standar Akuntansi Pemerintah Desa.

Risalah urgensi sebuah Standar Akuntansi Pemerintah Desa:


Bahwa pembangunan GCG pemerintah Desa adalah perwujudan pemerintahan NKRI berbasis
tatakelola nan baik dan UU Desa.

Bahwa pertanggungjawaban keuangan Desa sesuai UU Keuangan Negara, Perbendaharaan,


Pemeriksaan Keuangan Negara umumnya, alokasi APBN kepada Desa khususnya merupakan tolok
ukur sukses PP dan Pemerintahan Daerah.

Bahwa pertanggungjawaban Keuangan Desa termasuk dalam pertanggungjawaban pemerintah


daerah, karena itu harus selaras dengan Laporan Keuangan Pemerintahan cq Standar Akuntansi
Pemerintah NKRI.

Agar sinkronisasi Pelaporan Keuangan Desa dgn Laporan Keuangan pemerintahan selebihnya,
pengaturan pertanggungjawaban keuangan Desa harus dirumuskan dalam bentuk Standar.

Bahwa KSAP harus melaksanakan tugas tersebut dalam tempo sesingkat – singkatnya dalam bentuk
PSAP Desa dalam rumpun PP 71 Akuntansi Pemerintahan.

Lima Belas alasan mengapa KSAP sebaiknya diminta pemangku kepentingan untuk menyusun PP
tentang Akuntansi keuangan Desa adalah sebagai berikut :

Karena KSAP satu-satunya standard setter SAP NKRI didirikan berdasar UU Keuangan Negara, karena
Desa adalah unit pemerintahan daerah terkecil, sebagai bagian integral dari akuntansi pemerintah
daerah Kabupaten atau Kota dalam NKRI, maka pertanggungjawaban keuangan Desa sebaiknya
diatur oleh sebuah PSAP dalam SAP yang telah memberi standar akuntansi bagi Kabupaten/Kota.

Pertanggungjawaban keuangan desa sudah diatur dalam UU Desa, yang akan menjadi dasar
penyusunan PSAP Desa. Terdapat dua kemungkinan PSAP Desa, (1) PSAP tentang Laporan Keuangan
Desa, atau (2) PSAP tentang Pertanggungjawaban Keuangan Desa sebagai Lampiran Laporan
Keuangan Kabupaten/Kota.

Sinkronisasi aturan akuntabilitas desa dengan SAP adalah penting, karena terdapat kemungkinan
Laporan Keuangan Desa dilampirkan kepada Laporan Keuangan Kabupaten atau Laporan Keuangan
Kota Mandir, apabila KSAP menetapkan Laporan Keuangan Desa dalam PSAP Desa.

Apabila terdapat kemungkinan Desa tidak membuat Laporan Keuangan Desa, apabila KSAP – dalam
PSAP Desa – menetapkan Pertanggungjawaban Administrasi Keuangan Desa sebagai lampiran
Laporan Keuangan Kabupaten/Kota.

Agar akuntansi Desa terintegrasi dengan SAP, yaitu agar akuntansi desa koheren, harmonis, tidak
bertentangan dengan SAP,PSAP atau Buletin Teknis. Apabila penyusun standar akuntansi desa bukan
KSAP, maka muncul dua standard setter akuntansi pemerintahan, yang tak selalu dapat seiring
sejalan, akan menjadi fenomena buruk bagi NKRI. Apabila sebuah kementerian berinisiatif
membangun pedoman akuntansi desa, atau sistem akuntansi desa, dikhawatirkan rancang bangun
tersebut tak selaras dengan SAP dan Buletin teknis PSAP. Karena penerima amar UU Keuangan
Negara untuk urusan akuntansi pemerintahan adalah sebuah komite yang dibentuk pemerintah
NKRI cq KSAP, maka sebaiknya pertanggungjawaban keuangan desa berderajat PSAP.
Apabila diserahkan kepada KSAP, draft PSAP Desa akan ( sesuai UU Keuangan Negara) mendapat
pertimbangan BPK sebelum disahkan KSAP, karena itu memeroleh legitimasi sesuai UU Keuangan
Negara.

Apabila diserahkan kepada KSAP, maka proses penyusunan akan sesuai dengan due process KSAP
yang mencakupi dengar pendapat publik dan gugus kendali mutu paripurna, sebelum disahkan
sebagai standar.

Apabila diserahkan kepada KSAP, pengaturan tentang keuangan desa tersebut berderajat Peraturan
Pemerintah yang berlegitimasi & diakui lintas K/L dan pemerintah daerah. Standar Akuntansi Desa
tidak mungkin dibuat suatu kementerian.

KSAP telah berpengalaman dalam penyusunan dan memikul beban moral dan teknis akibat
pemberlakuan suatu produk KSAP sepanjang 10 tahun, sehingga merupakan lembaga paling ideal di
Indonesia untuk ditugasi menyusun peraturan akuntansi dan pelaporan keuangan Desa.

Kemampuan akuntansi dan bahasa adalah utama. Penyusunan suatu produk hukum berdimensi
akuntansi membutuhkan kumpulan pakar (1) berpengetahuan standar akuntansi dunia dan NKRI, (2)
berpengalaman praktik akuntansi pemerintahan sebagai pekerjaan sehari hari, dan (3) berkesadaran
bahasa nan tinggi, mengetahui konsekuensi pembuatan kalimat dan berkemampuan memilih
kosakata akuntansi dan kosakata hukum tatanegara. Kumpulan pakar tersebut terbagi menjadi
Komite Konsultatif, Komite Kerja, Kelompok Kerja, Manajemen KSAP berjumlah kurang lebih 50
orang melalui seleksi ketat perilaku negarawan nan berhati hati dan kepakaran akuntansi yang
kemudian dibuktikan oleh IKU dan IKI nan memuaskan.

Sepanjang hampir 15 tahun KSAP biasa bekerja sepenuh tahun, dengan pertemuan minimum
mingguan, biasanya hari Rabu, sehingga rancang bangun PSAP Desa dipastikan berkualitas. KSAP
mengadakan rapat luar bniasa, temuwicara dengan pemangku kepentingan, dalam pola tidak
dipastikan, sepanjang tahun. Dengan demikian, aspirasi dan kesulitan lapangan dari kepala Desa dan
aparatnya, dapat ditampung oleh KSAP.

Dari aspek moral dan etika, KSAP memenuhi syarat sebagai petugas penyusun akuntansi dan
pelaporan keuang desa karena persyaratan indipendensi dari kepentingan kelompok (jabatan, K/L
atau Pemda tempat kerja) atau pribadi (vested interest), menyebabkan rancang bangun produk
berciri pengutamaan kepentingan nasional NKRI.

Pada waktu UU Desa terbit tahun 2014, Ketua KSAP meminta studi pustaka, studi lapangan dan
naskah akademis tentang keuangan Desa, sebagian sudah dimuat pada majalah maya KSAP. Dengan
demikian, KSAP kini berada dalam posisi siap ditugasi untuk menyusun PSAP Desa. Sesuai butir 7
tersebut di atas, KSAP akan melakukan Dengar Pendapat Publik untuk menampung berbagai aspirasi
sebagai bahan penyusunan dan/atau finalisasi PSAP Desa. Di dalamnya termaktub kepedulian dan
pertimbangan KSAP akan kondisi SDM Desa, besar desa, endowmen desa dan besar aliran APBN
pertahun ke desa.

Apabila KSAP tidak mengatur dan/atau membuat PSAP Desa, KSAP berwenang untuk membuat
BuletinTeknis PSAP CALK tentang Informasi Keuangan Desa Yang Wajib Dilaporkan dalam Laporan
Keuangan cq CALK Kabupaten.
Dalam tugasnya, KSAP akan selalu berkoordinasi dengan Kemenkeu, Kemendagri dan Kementerian
Desa sedemikian rupa agar PSAP Desa menjadi semacam nota kesepahamanan tentang
pertanggungjawaban keuangan desa.
BERANDA

ARTIKEL

BERITA

PELUANG

REFERENSI

TANYA JAWAB

UNDUH

PROFIL ANGGOTA

INDEKS ARTIKEL

Posisi Anda: Home > Artikel > Umum > Artikel saat ini

Akuntansi Desa, Keuangan Desa dan Pengelolaan Keuangan Desa

Oleh Webadmin / Senin 22 Mei 2017 / Tidak ada komentar

Menurut Permendagri No 113 tahun 2014 Pengelolaan Keuangan Desa adalah keseluruhan kegiatan
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban
keuangan desa.

Akuntansi Desa, Keuangan Desa dan Pengelolaan Keuangan Desa

Akuntansi desa adalah pencatatan dari proses transaksi yang terjadi di desa, dibuktikan dengan
nota-nota kemudian dilakukan pencatatan dan pelaporan keuangan sehingga akan menghasilkan
informasi dalam bentuk laporan keuangan yang digunakan pihak-pihak yang berhubungan dengan
desa.

Pihak-pihak yang menggunakan informasi keuangan desa diantaranya adalah:

Masyarakat desa
Perangkat desa

Pemerintahan daerah

Pemerintahan pusat

Laporan keuangan desa menurut Permendagri No 113 tahun 2014 yang wajib dilaporkan oleh
pemerintahan desa berupa:

Anggaran

Buku kas

Buku pajak

Buku bank

Laporan Realisasi Anggaran (LRA)

Menurut Permendagri No 113 Tahun 2014 Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban desa
yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa.

Menurut Permendagri No 113 tahun 2014 Pengelolaan Keuangan Desa adalah keseluruhan kegiatan
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban
keuangan desa.

Disarikan dari buku: Akuntansi Desa, Penulis: V.Wiratna Sujarweni, Halaman: 17

Artikel Terkait:

Pelaporan, Pertanggungjawaban, Pembinaan dan Pengawasan Desa

Peran Masyarakat dalam Penyusunan APB-Desa

Dana Desa Menurut Undang-Undang No 6 Tahun 2014

Struktur Organisasi dan Administrasi Desa


Hal-Hal yang dapat Diwujudkan dalam Pelaksanaan UU Desa No 6 Tahun 2014

Azaz Pengelolaan Keuangan Desa

Pengelolaan Keuangan Desa dalam Kerangka UU No.6 Tahun 2014

Pengelolaan Keuangan bagi UKM


Struktur Organisasi Pengelola Keuangan Desa

Oleh␣ Ayi Sumarna|Telah Terbit 22/12/2015

Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa dipegang oleh Kepala Desa. Namun demikian dalam
pelaksanaannya, kekuasaan tersebut sebagian dikuasakan kepada perangkat desa sehingga
pelaksanaan pengelolaan keuangan dilaksanakan secara bersama-sama oleh Kepala Desa dan
Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD). Ilustrasi Struktur Organisasi Pengelolaan
Keuangan pada pemerintah desa dapat digambarkan sebagai berikut:

Ilustrasi Struktur Organisasi Pengelolaan Keuangan Desa

Ilustrasi Struktur Organisasi Pengelolaan Keuangan Desa [Sumber: diolah dari PP 43/2014 Pasal 62
dan 64 serta Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 pasal 13, Penamaan Seksi bersifat tidak mengikat,
disesuaikan dengan ketentuan SOTK Desa yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah].

Dalam siklus pengelolaan keuangan desa, tanggung jawab dan tugas dari Kepala Desa dan Pelaksana
Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD) digambarkan dalam bagan tugas dan tanggung jawab
pengelola keuangan desa di bawah ini:

Bagan Tugas dan Tanggung Jawab Pengelola Keuangan Desa

Bagan Tugas dan Tanggung Jawab Pengelola Keuangan Desa

1. Kepala Desa

Kepala Desa adalah Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa dan mewakili pemerintah
desa dalam kepemilikan kekayaan milik desa yang dipisahkan. Dalam hal ini, Kepala Desa memiliki
kewenangan:

Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APB Desa;

Menetapkan Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD);

Menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa;

Menyetujui pengeluaran atas kegiatan yang ditetapkan dalam APB Desa;

Melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APB Desa.

Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung tanggal pelantikan dan dapat
menjabat paling lama 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-
turut. Dalam melaksanakan kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa menguasakan
sebagian kekuasaannya kepada perangkat desa.

2. Sekretaris Desa

Sekretaris Desa selaku Koordinator PTPKD membantu Kepala Desa dalam melaksanakan Pengelolaan
Keuangan Desa, dengan tugas:

Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APB Desa;

Menyusun rancangan peraturan desa mengenai APB Desa, perubahan APB Desa dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa;

Melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan dalam APB Desa;

Menyusun pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa;

Melakukan verifikasi terhadap Rencana Anggaran Belanja (RAB), bukti-bukti penerimaan dan
pengeluaran APB Desa (SPP).

Sekretaris Desa mendapatkan pelimpahan kewenangan dari Kepala Desa dalam melaksanakan
Pengelolaan Keuangan Desa, dan bertanggungjawab kepada Kepala Desa.

3. Kepala Seksi

Kepala Seksi merupakan salah satu unsur dari PTPKD yang bertindak sebagai pelaksana kegiatan
sesuai dengan bidangnya. Sesuai pasal 64 PP Nomor 43 Tahun 2014 dinyatakan bahwa desa paling
banyak terdiri dari 3 (tiga) seksi.

Kepala Seksi mempunyai tugas:

Menyusun RAB kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya;

Melaksanakan kegiatan dan/atau bersama Lembaga Kemasyarakatan Desa yang telah ditetapkan di
dalam APB Desa;

Melakukan tindakan pengeluaran yang menyebabkan atas beban anggaran belanja kegiatan;

Mengendalikan pelaksanaan dengan melakukan pencatatan dalam Buku Pembantu Kas Kegiatan;
Melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan kepada Kepala Desa;

Mengajukan SPP dan melengkapinya dengan bukti-bukti pendukung atas beban pengeluaran
pelaksanaan kegiatan.

4. Bendahara Desa

Bendahara Desa merupakan salah satu unsur dari PTPKD yang dijabat oleh kepala/staf urusan
keuangan dan memiliki tugas untuk membantu Sekretaris Desa. Bendahara Desa mengelola
keuangan desa yang meliputi penerimaan pendapatan desa dan pengeluaran/pembiayaan dalam
rangka pelaksanaan APB Desa. Penatausahaan dilakukan dengan menggunakan Buku Kas Umum,
Buku Kas Pembantu Pajak, dan Buku Bank. Penatausahaan yang dilakukan antara lain meliputi yaitu:

Menerima, menyimpan, menyetorkan/membayar;

Memungut dan menyetorkan PPh dan pajak lainnya;

Melakukan pencatatan setiap penerimaan dan pengeluaran serta melakukan tutup buku setiap akhir
bulan secara tertib;

Mempertanggungjawabkan uang melalui laporan pertanggungjawaban.

Anda mungkin juga menyukai