Kaidah Fiqh Ekonomi
Kaidah Fiqh Ekonomi
MAKALAH
oleh:
Muhamad Abidin 181002053
Fauzi Rahman 181002062
Devi Resti 181002076
Makalah ini diterima pada hari ............... tanggal ........... bulan .......... tahun ........
oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. yang telah
kehendak dan Izin-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “K”
tersebut dapat dibantu oleh beberapa pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan berupa
1. Hj. Heni Sukmawati., S.Ag., M.Pd., selaku Dosen Mata Kuliah Pengantar
2. semua pihak yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk pembuatan
makalah ini.
maupun dari segi alur pembahasan serta tata bahasanya. Hal ini disebabkan karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang
dan bermanfaat untuk Jurusan Ekonomi Syariah untuk lebih luasnya. Aamiin.
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENERIMAAN
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Simpulan .......................................................................................
B. Saran ..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
mukallaf dengan objek kajiannya yaitu mukallaf baik dalam konteks muamalah,
qawaid berbeda dengan ushul fiqh karena ushul fiqh lebih kepada penggalian suatu
hukum sehingga menghasilkan hukum (halal, haram, makruh, sunnah, dan mubah).
Kaidah fiqh digunakan untuk memudahkan kita dalam mencari dasar atau landasan
suatu kegiatan muamalah karena Al-Quran dan Hadits tidak menjelaskan semua
kegiatan muamalah. Oleh karena itu, kita membutuhkan kaidah fiqh terutama jika
persoalan yang terjadi tidak terdapat di dalam nash hukum dan ketetapannya maka
bisa menggunakan kaidah fiqh. Salah satu alasan Qawaid Fiqh digunakan karena
sudah tidak banyak orang yang hafal Al-Quran dan hadits beserta maknanya, maka
Qawaid Fiqh mempunyai 5 dasar kaidah umum antara lain kaidah “Al-
Umuru bimaqashidiha” segala perkara tergantung pada niatnya. Niat menjadi hal
utama dalam setiap perbuatan kita, dengan niat kita akan terarah maksud dan tujuan
perbuatan yang dilakukan. Maka penting bagi kita mengetahui kaidah ini, agar kita
mempunyai landasan dalam melakukan suatu hal baik sosial, ekonomi maupun
ibadah. Banyak orang mengatakan niat terletak dalam hati maupun dengan
ibadah dan kebiasaan. Oleh karena itu kita harus membedakan bagaimana bentuk
C. Tujuan Makalah
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan
D. Kegunaan Makalah
teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis makalah ini berguna sebagai Teori
yang digunakan adalah metode deskriptif. Melalui metode ini penulis akan
teoretis dalam makalah ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi pustaka,
artinya penulis mengambil data melalui kegiatan membaca berbagai literatur yang
relevan dengan tema makalah. Data tersebut diolah dengan teknik analisisis malalui
tema makalah.
BAB II PEMBAHASAN
1.
“Niat seorang mukmin lebih baik dari pada amalnya” (HR. Thabrani dari
sahal bin Sa’id al-Sa’idi)
Sehubungan dengan kaidah tentang niat ini ada dhabith yang ruang
lingkupnya lebih kecil dari kaidah tersebut di atas dan biasanya disebut dhabith,
antara lain:
ى ى ى
والمبان
ي والمعان لأللفاظ
ي ا ر
لعبة ف العقــود للمقاصد
“Pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-mata kata-
kata dan ungkapannya”.
Apabila dalam suatu akad terjadi suatu perbedaan antara niat atau maksud
si pembuat dengan lafadz yang diucapkannya, maka harus dianggap sebagai suatu
akad yaitu dari niat atau maksudnya, selama yang demikian itu masih dapat
diketahui.
Contoh : apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu
selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah,
tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan
akad jual beli dengan segala akibatnya.
2. ِﻻَ ﺜَﻮَاﺐَ ﺇِﻻﱠ ﺒِﺎﻟﻨﱢﻴَﺔ
“Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat”.
Kaidah ini dimasukkan kedalam al-qawa’id al-kulliyah yang pertama
sebelum al-umur bimaqashidiha.
Sedangkan dikalangan mazhab maliki, kaidah tersebut menjadi cabang dari
kaidah al-umur bimaqashidiha, seperti diungkapkan oleh Qadhi Abd Wahab al-
Baqdadi al-Maliki. Tampaknya pendapat mazhab maliki ini lebih bisa
diterima,karena kaidah di atas, asalnya:
7.
“maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang
yang mengucapkan”
Maksud kata-kata seperti : hibah, nazar, shalat, sedekah dan seterusnya
harus dikembalikan kepada niat orang yang mengucapkan kata tersebut, apa yang
dimaksud olehnya, apakah sedekah itumaksudnya zakat, atau sedekah sunnah.
Apakah shalat itu maksudnya shalat fardhu atau shalat sunnah.
8.
“Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud”
Khusus untuk sumpah ada kata-kata yang khusus yang digunakan yaitu,
“wallahi” atau “demi allah saya bersumpah” baahwa saya ... dan seterusnya. Selain
itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan sumpahnya itu.
Dalam hukum islam antara niat, cara dan tujuan harus ada dalam garis lurus,
artinya niatnya harus ikhlas, caranya harus benar dan baik, dan tujuannya harus
mulia untuk mencapai keridhaan allah SWT.