Anda di halaman 1dari 73

BAB II

KEGAWATAN PADA AIRWAY, BREATHING, CIRCULATION, DISSABILITY


2.1 Kegawatan Airway (Jalan Napas)
Kurangnya pasokan oksigen yang dibawa oleh darah ke otak dan organ vital lainnya
merupakan penyebab kematian tercepat pada penderita gawat. Oleh sebab itu
pencegahan
kekurangan oksigen jaringan (hipoksia) yang meliputi pembebasan jalan napas yang
terjaga
bebas dan stabil, ventilasi yang adekuat, serta sirkulasi yang normal (tidak shock)
menempati
prioritas pertama dalam penanganan kegawatdaruratan.
Sifat gangguan yang terjadi pada jalan napas bisa mendadak oleh karena sumbatan
total,
atau bisa juga perlahan oleh karena sumbatan parsial (dengan berbagai sebab).
Sumbatan
pada jalan napas dapat terjadi pada pasien tidak sadar atau pasien dengan kesadaran
menurun
atau korban kecelakaan yang mengalami trauma daerah wajah dan leher.
Penanganan airway mendapat prioritas pertama karena jika tidak ditangani akan
mengakibatkan kematian yang cepat, dan penanganan segera perlu dilakukan.
Pembebasan
jalan napas dapat dilakukan dengan dua cara yaitu tanpa alat (manual) maupun dengan
alat.
Alat bantu pembebasan jalan napas yang digunakan ada berbagai macam disesuaikan
dengan
jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien yang pada intinya bertujuan
mempertahankan
jalan napas agar tetap bebas.
2.1.1 Sumbatan Jalan Napas
Ada beberapa keadaan di mana adanya sumbatan jalan napas harus diwaspadai, yaitu:
a.

Trauma pada wajah

b.

Fraktur ramus mandibula, terutama bilateral, dapat menyebabkan lidah jatuh ke


belakang dan gangguan jalan napas pada posisi terlentang.

c.

Perlukaan daerah leher mungkin menyebabkan gangguan jalan napas karena


rusaknya laring atau trakea atau karena perdarahan dalam jaringan lunak yang
menekan jalan napas.

d.

Adanya cairan berupa muntahan, darah, atau yang lain dapat menyebabkan aspirasi

e.

Edema laring akut karena trauma, alergi, atau infeksi.

2.1.2 Pembebasan Jalan Napas


Pembebasan jalan napas adalah tindakan untuk menjamin pertukaran udara secara
normal dengan cara membuka jalan napas sehingga pasien tidak jatuh dalam kondisi
hipoksia dan atau hiperkarbia.
Prioritas utama dalam manajemen jalan napas adalah membebaskan jalan napas dan
mempertahankan agar jalan napas tetap bebas untuk menjamin jalan masuknya udara ke
paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigen tubuh. Pengelolaan jalan
napas dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan alat dan tanpa alat (cara manual).
Cara
manual dapat dilakukan di mana saja, dan kapan saja, walaupun hasil lebih baik bila
menggunakan alat namun pertolongan cara manual yang cepat dan tepat dapat
menghindarkan resiko kematian atau kecacatan permanen. Pada kasus trauma,
pengelolaan jalan napas tanpa alat dilakukan dengan tetap memperhatikan kontrol
tulang
leher.
Langkah yang harus dikerjakan untuk pengelolaan jalan napas yaitu:
1. Pasien diajak berbicara. Jika pasien dapat menjawab dengan jelas itu berarti
jalan
napasnya bebas. Pasien yang tidak sadar berpotensi terjadi sumbatan jalan napas
sehingga memerlukan tindakan pembebasan jalan napas. Penyebab obstruksi pada
pasien tidak sadar umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah ke belakang.
2. Berikan oksigen. Oksigen diberikan dengan sungkup muka (simple masker) atau
masker dengan reservoir (rebreathing/non rebreathing mask) atau nasal kateter atau
nasal prong walaupun belum sepenuhnya jalan napas dapat dikuasai dan
dipertahankan bebas. Jika memang dibutuhkan pemberian ventilasi bisa menggunakan
jackson-reese atau BVM.
3. Nilai jalan napas. Sebelum melakukan tindakan untuk membebaskan jalan napas
lanjut maka yang harus dilakukan pertama kali yaitu memeriksa jalan napas sekaligus
melakukan pembebasan jalan napas secara manual apabila pasien tidak sadar atau
kesadaran menurun berat (coma). Cara pemeriksaan #Look-Listen-Feel (LLF)
dilakukan secara simultan, menilai jalan napas sekaligus fungsi pernapasan:
L – Look (lihat) Lihat pengembangan dada, adakah retraksi sela iga otot-otot
napas tambahan lain, warna mukosa/kulit dan kesadaran. Lihat apakah korban
mengalami kegelisahan (agitasi), tidak dapat berbicara, penurunan kesadaran,
sianosis (kulit biru dan keabu-abuan) yang menunjukkan hipoksemia. Sianosis
dapat dilihat pada kuku, lidah, telinga, dan bibir.
L – Listen (dengar). Dengar aliran udara pernapasan. Adanya suara napas
tambahan adalah tanda ada sumbatan parsial pada jalan napas. Suara
mendengkur, berkumur, dan stridor mungkin berhubungan dengan sumbatan
parsial pada daerah faring sampai laring. Suara parau (hoarseness, disfonia)
menunjukkan sumbatan pada faring.
F – Feel (rasakan). Rasakan ada tidaknya udara yang hembusan ekspirasi dari
hidung dan mulut. Hal ini dapat dengan cepat menentukan apakah ada
sumbatan pada jalan napas. Rasakan adanya aliran udara pernapasan dengan
menggunakan pipi penolong.
4. Obstruksi jalan napas
Obstruksi jalan napas dibagi macam, obtruksi parsial dan obstruksi total.
a. Obstruksi partial dapat dinilai dari ada tidaknya suara napas tambahan yaitu:
 Mendengkur (snoring), disebabkan oleh pangkal lidah yang jatuh ke
posterior. Cara mengatasinya dengan head tilt, chin lift, jaw thrust,
pemasangan pipa orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal,
pemasangan Masker Laring (Laryngeal Mask Airway).
 Suara berkumur (gargling), penyebabnya adalah adanya cairan di daerah
hipofaring. Cara mengatasi: finger sweep, suction atau pengisapan.
 Crowing Stridor, oleh karena sumbatan di plika vokalis, biasanya karena
edema. Cara mengatasi: cricotirotomi, trakeostomi.
b. Obstruksi total, dapat dinilai dari adanya pernapasan “see saw” pada menitmenit
pertama terjadinya obstruksi total, yaitu adanya paradoksal breathing
antara dada dan perut. Dan jika sudah lama akan terjadi henti napas yang
ketika diberi napas buatan tidak ada pengembangan dada.
Menjaga stabilitas tulang leher, ini jika ada dugaan trauma leher, yang ditandai
dengan adanya trauma wajah/maksilo-facial, ada jejas di atas clavicula, trauma
dengan riwayat kejadian ngebut (high velocity trauma), trauma dengan defisit
neurologis dan multiple trauma.
Pembebasan Jalan Napas Tanpa Alat.
Pada pasien yang tidak sadar, lidah akan terjatuh ke posterior, yang jika
didengarkan
seperti suara orang ngorok (snoring). Hal ini mengakibatkan tertutupnya trakea
sebagai jalan
napas. Untuk penanganannya ada tiga cara yang lazim digunakan untuk membuka jalan
napas,
yaitu head tilt, chin lift dan jaw thrust.

head-tilt (dorong kepala ke belakang).

chin-lift Maneuver (tindakan mengangkat dagu).

jaw-thrust Maneuver (tindakan mengangkat sudut rahang bawah ke atas).

Head Tilt
Dilakukan dengan cara meletakkan 1 telapak tangan pada dahi pasien, pelan-pelan
tengadahkan kepala pasien dengan mendorong dahi ke arah belakang sehingga kepala
menjadi sedikit tengadah (slight Extention).
Chin Lift
Dilakukan dengan cara menggunakan jari tengah dan jari telunjuk untuk memegang
tulang dagu pasien, kemudian angkat dan dorong tulangnya ke depan. Jika korban
anak-anak, gunakan hanya jari telunjuk dan diletakkan di bawah dagu, jangan terlalu
menengadahkan kepala.
Chin lift dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan.
Tindakan ini sering dilakukan bersamaan dengan tindakan head tilt. Tehnik ini
bertujuan membuka jalan napas secara maksimal.
Perhatian : Head Tilt dan Chin Lift sebaiknya tidak dilakukan pada pada pasien
dengan dugaan adanya patah tulang leher; dan sebagai gantinya bisa digunakan teknik
jaw thrust.
Jaw Thrust
Jika dengan head tilt dan chin lift pasien masih ngorok (jalan napas belum terbuka
sempurna) maka teknik jaw thrust ini harus dilakukan. Begitu juga pada dugaan patah
tulang leher, yang dilakukan adalah jaw thrust (tanpa menggerakkan leher). Walaupun
tehnik ini menguras tenaga, namun merupakan yang paling sesuai untuk pasien
trauma dengan dugaan patah tulang leher.
Caranya adalah dengan mendorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah atas sehingga
barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas. Tetap pertahankan mulut
korban
sedikit terbuka, bisa dibantu dengan ibu jari.
Gambar 2.1 Manuver jaw thrust hanya dilakukan oleh orang terlatih
Pembebasan Jalan Napas Dengan Alat
Cara ini dilakukan bila pengelolaan tanpa alat yaitu secara manual tidak berhasil
sempurna atau pasien memerlukan bantuan untuk mempertahankan jalan napas dalam
jangka waktu lama bahkan ada indikasi pasien memerlukan definitive airway. Alat
yang
digunakan bermacam-macam sesuai dengan jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien
yang intinya bertujuan mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka.
a. Oropharyngeal Tube (pipa orofaring)
Pipa orofaring digunakan untuk mempertahankan jalan napas tetap terbuka
dan menahan pangkal lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan
napas pada pasien tidak sadar. Yang perlu diingat adalah bahwa pipa orofaring ini
hanya boleh dipakai pada pasien yang tidak sadar atau penurunan kesadaran yang
berat (GCS ≤ 8).
Teknik Pemasangan Oropharyngeal Tube
Siapkan pipa orofaring yang tepat ukurannya. Bersihkan dan basahi agar licin.
Ukuran yang tepat dapat diperoleh dengan cara mencari pipa orofaring yang
panjangnya sama dengan jarak dari sudut bibir sampai ke tragus atau dari
tengah bibir sampai ke angulus mandibula pasien.
Buka mulut pasien (chin lift atau gunakan ibu jari dan telunjuk).
Arahkan lengkungan menghadap ke langit-langit (ke palatum). Masuk
separoh, putar 180º (sehingga lengkungan mengarah ke arah lidah).
Dorong pelan-pelan sampai posisi tepat. Pada anak-anak arah lengkungan
tidak perlu menghadap ke palatum tapi langsung menghadap bawah dan
untuk lidahnya ditekan dengan tongue spatle.
Yakinkan lidah sudah tertopang pipa orofaring, lihat, dengar, dan raba
napasnya.
b. Nasopharyngeal Tube (pipa nasofaring)
Untuk pipa nasofaring kontra indikasi relatifnya adalah adanya fraktur basis cranii
yang ditandai dengan adanya brill hematon, bloody rhinorea, bloody otorea, dan
battle sign.

Teknik Pemasangan Nasopharyngeal Tube


1. Nilai lubang hidung, septum nasi, tentukan pilihan ukuran pipa.
2. Ukuran pipa yang tepat dapat diperoleh dengan cara mencari pipa
nasofaring yang panjangnya sama dengan jarak dari ujung hidung sampai
ke tragus dan diameternya sesuai dengan jari kelingking tangan kanan
pasien.
3. Pakai sarung tangan.
4. Beri jelly pada pipa dan kalau ada tetesi lubang hidung dengan obat tetes
hidung atau larutan vasokonstriktor (efedrin).
5. Hati-hati dengan kelengkungan tube yang menghadap ke arah depan,
ujungnya diarahkan ke arah telinga.
6. Masukkan pipa nasofaring ke lubang hidung dengan posisi ujung yang
tajam menjauhi septum nasi. Masukkan sekitar 2 cm.
7. Kemudian lihat arah lengkungan dari pipa nasofaring, jika sudah
menghadap bawah maka pipa nasofaring tinggal dimasukkan secara tegak
lurus dengan dasar. Tapi jika arah lengkungan pipa nasofaring menghadap
atas maka putar pipa nasofaring tersebut 180º sehingga lengkungannya
menghadap ke bawah.
8. Kemudian dorong pelan-pelan hingga seluruhnya masuk, lalu pasang
plester (kalau perlu).
Bila dengan pemasangan jalan napas buatan pipa orofaring atau pipa
nasofaring ternyata masih tetap ada obstruksi jalan napas, pernapasan belum juga
baik atau karena indikasi cedera kepala berat; maka dilakukan pemasangan definitive
airway yaitu pipa endotrachea (ETT – Endotracheal Tube). Pemasangan pipa
endotrachea akan menjamin jalan napas tetap terbuka, menghindari aspirasi dan
memudahkan tindakan bantuan pernapasan.
c. Endotracheal Tube

Pipa Endotracheal berbagai ukuran


Intubasi endotrachea adalah gold standard untuk pembebasan jalan napas.
Sehingga Intubasi endotrachea disebut juga definitive airway. Intubasi endotrakhea
adalah proses memasukkan pipa endotrakheal ke dalam trakhea, bila dimasukkan
melalui mulut disebut intubasi orotrakhea, bila melalui hidung disebut intubasi
nasotrakhea. Intubasi endotrakhea hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
terlatih dan berpengalaman.
Peralatan Intubasi
1. Pipa oro/nasofaring.
2. Suction/alat pengisap.
3. Sumber Oksigen
4. Kanula dan masker oksigen.
5. BVM/Ambu bag, atau jackson reese.
6. Pipa endotrakheal sesuai ukuran dan stylet.
7. Pelumas (jelly).
8. Forcep magill.
9. Laringoscope (handle dan blade sesuai ukuran, selalu periksa baterai&lampu)
10. Obat-obatan sedatif i.v.
11. Sarung tangan.
12. Plester dan gunting.
13. Bantal kecil tebal 10 cm (bila tersedia)
Teknik Intubasi
1. Sebelum intubasi berikan oksigen, sebaiknya gunakan bantal dan pastikan jalan
napas terbuka (hati-hati pada cedera leher).
2. Siapkan endotracheal tube (ETT), periksa balon (cuff), siapkan stylet, beri
jelly.
3. Siapkan laringoskop (pasang blade pada handle), lampu harus menyala terang.
4. Pasang laringoskop dengan tangan kiri, masukkan ujung blade ke sisi kanan
mulut pasien, geser lidah pasien ke kiri.
5. Tekan tulang rawan krikoid (untuk mencegah aspirasi = Sellick Maneuver).
6. Lakukan traksi sesuai sumbu panjang laringoskop (hati-hati cedera gigi, gusi,
bibir).
7. Lihat adanya pita suara. Bila perlu isap lendir/cairan lebih dahulu.
8. Masukkan ETT sampai batas masukny di pita suara.
9. Keluarkan stylet dan laringoskop secara hati-hati.
10. Kembangkan balon (cuff) ETT.
11. Pasang pipa orofaring.
12. Periksa posisi ETT apakah masuk dengan benar (auskultasi suara pernapasan atau
udara yang ditiupkan). Hubungkan dengan pipa oksigen.
13. Amankan posisi (fiksasi) ETT dengan plester.
d. Laringeal Mask Airway (LMA)
LMA adalah alat pembebasan jalan napas yang non-invasif yang dipasang di
supraglotis. Secara umum terdiri dari 3 bagian: airway tube, mask, dan Inflation
line.
LMA disebut juga sebagai alternative airway, karena bagi tenaga yang belum
berpengalaman melakukan intubasi endotrachea maka LMA inilah yang menjadi
alternatif pilihan yang paling baik untuk membebaskan jalan napas.

Indikasi penggunaan LMA:


 Keadaan di mana terjadi kesulitan menempatkan masker (BVM) secara tepat
 Dipergunakan sebagai back up apabila terjadi kegagalan dalam intubasi
endotracheal
 Dapat dipergunakan sebagai “second-last-ditch airway“ apabila pilihan
terakhir untuk secure airway adalah dengan pembedahan
Kontraindikasi pemasangan LMA:
 Usia kehamilan lebih dari 14-16 minggu
 Pasien dengan trauma masif atau multipel
 Cedera dada masif
 Trauma maksilofasial yang masif
 Pasien dengan risiko aspirasi lebih besar dibandingkan keuntungan
pemasangan LMA
Catatan :
Tidak ada kontraindikasi yang bersifat absolut
Efek Samping Pemasangan LMA:
 Nyeri tenggorokan
 Rasa kering pada ternggorokan ataupun mukosa sekitarnya
 Efek samping lebih banyak berhubungan dengan penempatan LMA yang tidak
tepat
Peralatan yang diperlukan untuk pemasangan LMA:
 LMA dengan ukuran yang sesuai
 Syringe untuk mengembangkan cuff LMA
 Water soluble lubricant
 Perlengkapan ventilasi
 Stetoskop
 Tape
Persiapan untuk pemasangan LMA:
1. Pemilihan Ukuran sesuai dengan pasien
Ukuran yang direkomendasikan (disesuaikan dengan berat badan):

Size 1

: < 5 kg

Size 1.5

: 5 s.d 10 kg

Size 2

: 10 s.d 20 kg

Size 2.5

: 20 s.d 30 kg

Size 3

: 30 kg s.d Small adult

Size 4

: Adult/Dewasa

Size 5
: Large adult(dewasa besar)/poor seal with size 4

2. Pengecekan LMA
Sebelum digunakan, periksa dulu apakah ada kebocoran/tidak dengan cara
mengembang kempiskan cuffnya
3. Pemberian jelly (water soluble) pada bagian belakang Mask LMA
4. Ekstensikan kepala dan fleksikan daerah leher
Teknik Pemasangan LMA:
1. Pegang tube LMA, seperti memegang pena sedekat mungkin dengan bagian
akhir masker LMA.
2. Letakkan ujung LMA pada bagian dalam mulut pasien, di atas gigi (hard
palate)
3. Dengan sedapat mungkin melihat secara langsung Tekan ujung masker ke arah
atas menyusuri hard palate
4. Dengan jari telunjuk, tetap susuri searah dengan palatum sampai masker LMA
masuk faring. Pastikan ujung LMA tetap kempes dan hindari mengenai lidah
5. Jaga leher tetap dalam posisi fleksi dan kepala eksntensi, Tekan masker ke
arah dinding faring posterior dengan menggunakan jari telunjuk
6. Lanjutkan mendorong LMA dengan jari telunjuk, arahkan mask LMA ke
bawah sesuai posisi yang diharapkan
7. Pegang tube LMA dengan tangan yang lain, Tarik jari telunjuk dari faring
8. Secara gentle tangan yang lain menekan LMA ke bawah sampai benar-benar
mask LMA sudah masuk sepenuhnya.
9. Kembangkan masker LMA sesuai dengan udara sesuai volume yang
direkomendasikan. Berikut volume maksimal dari pengembangan cuff:

Size 1

: 4 ml

Size 1.5

: 7 ml

Size 2

: 10 ml

Size 2.5

: 14 ml

Size 3

: 20 ml

Size 4

: 30 ml

Size 5

: 40 ml
10. Jangan sampai masker LMA over-inflate
11. Jangan menyentuh tube LMA selama dikembangkan, kecuali posisinya tidak
stabil.
12. Secara normal Masker LMA akan naik ke hipofaring saat dikembangkan 
berada pada posisi yang tepat.
13. Hubungkan LMA dengan BVM atau low pressure ventilator
14. Ventilasi pasien sambil mendengarkan suara napas  simetris atau tidak,
pastikan tidak ada suara udara masuk ke lambung
15. Masukkan bite block atau kasa gulung untuk mencegah oklusi tube karena
tergigit pasien
16. Fiksasi LMA
e. Krikotiroidotomy
Untuk sumbatan yang terjadi karena masalah di laring/plica vocalis, maka
dapat dilakukan krikotiroidotomy.
Ada 2 jenis krikotiroidotomy:
-

Krikotiroidotomy dengan jarum (Needle Cricothyroidotomy).

Krikotiroidotomy

dengan

pembedahan,

dengan

pisau

(Surgical

Cricothyroidotomy).
Cara ini dipilih pada kasus pemasangan pipa endotracheal tidak mungkin
dilakukan, dipilih tindakan krikotiroidotomy dengan jarum. Untuk petugas medis
yang terlatih dan terampil dapat melakukan krikotiroidotomy dengan pisau.
Krikotiroidotomy Dengan Jarum
Alat
1. Jarum infus ukuran besar, no 14
2. Sput 10 cc
3. Aquades/PZ
4. Alkohol swab
5. Sumber Oksigen dan selang
Teknik
1. Cari titik tusuknya dengan cara: dari jakun (Thyroid Cartilage, Adam’s Apple)
raba ke bawah sampai ada cekungan yang disebut membrana cricothyroidea,
inilah titik tusuknya. Di bawah titik tusuk ini ada ring yang agak lebih besar dari
ring tulang trakhea (Cricoid Cartilage).
2. Isi Spuit dengan Aquades/PZ
3. Desinfeksi daerah tusukan dengan alkohol swab
4. Tusuk di membrana cricothyroidea dengan arah ke bawah untuk menghindari
melukai pita suara. Menusuk sambil menaril piston dari spuit. Jika sudah keluar
gelembung berarti sudah masuk jalan napas.
5. Selanjutnya cabut jarum sisakan kanul infus yang di dalamnya.
6. Sambungkan kanul tersebut dengan selang oksigen untuk selanjutnya pasien diberi
oksigen aliran 10 lpm dengan sistem jet insuflasi (4:1).
7. Teknik ini hanya bertahan 10 menit karena jika terlalu lama akan terjadi
penumpukan karbondioksida.
8. Untuk

itu

tindakan

ini

perlu

dilanjutkan

dengan

teknik

Surgical

Cricothyroidotomy, kemudian disambungkan dengan selang yang lebih besar atau


dipasang canul trakeostomi.
Kritotirotomi dengan Pisau (Surgical Crycothyrotomy)
Alat

Sarung tangan, pisau/skalpel no. 1, no. 20.

Obat anti septik/desinfektan.

Obat anestesi lokal.

Kasa.

Kanula trakheostomi no. 5 – 7.

Baju steril, masker.

Gunting.

Teknik
1. Jelaskan pada penderita bila pasien masih sadar (inform consent).
2. Pilih ukuran kanula trakheostomi yang sesuai.
3. Atur posisi pasien
a. Netral, pasang penyangga leher (collar splint) pada pasien dengan cedera leher.
b. Ekstensi pada kasus tanpa cedera leher.
4. Pakai baju, masker, kaca mata, sarung tangan.
5. Desinfeksi leher, tutup leher dengan kain steril berlubang.
6. Berikan anestesi lokal.
7. Tentukan letak membran krikoid.
Insisi pada membran 2 – 3 cm menembus sampai rongga trakhea dengan sudut
30 – 40 derajat ke bawah untuk menghindari cedera pita suara.
8. Perlebar dengan pangkal scalpel putar tegak lurus atau pergunakan klem atau
spekulum (dilatator).
9. Pasang kanula trakheostomi/kembangkan balon (cuff).
10. Berikan ventilasi dengan 100% O2.
11. Cek segera patensi jalan napas.
12. Pasang pita pengikat kanula.
13. Cek foto X-ray (bila fasilitas memungkinkan).
2.1.3

Membersihkan Jalan Napas


Untuk memeriksa jalan napas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan teknik

Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang disilangkan
dan
menekan gigi atas dan bawah. Bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing
dalam
rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari(finger sweep).
Kegagalan
membuka napas dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan jalan
napas
di daerah faring atau adanya henti napas (apnea). Bila hal ini terjadi pada
penderita tidak
sadar, lakukan peniupan udara melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka
kemungkinan ada sumbatan total pada jalan napas dan dilakukan pijat jantung.
a. Membersihkan Jalan Napas karena Cairan
Membersihkan Jalan Napas Secara Manual (Finger Sweep)
Membersihkan jalan napas secara manual dapat dilakukan dengan sapuan jari (finger
sweep). Dilakukan bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing pada rongga
mulut
belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya
sehingga
hembusan napas hilang (tersumbat).
Cara melakukannya :
 Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher) kemudian buka
mulut
dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot rahang lemas (maneuver emaresi)
 Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus dengan
sarung
tangan/kassa/kain (jangan tisu atau kertas karena mudah hancur dan malah akan
memperburuk sumbatan jalan napas) untuk membersihkan rongga mulut dengan gerakan
menyapu.
Gambar 1.6 Teknik finger sweep
Membersihkan benda asing cair dalam jalan napas menggunakan alat pengisap
(suction)
Bila terdapat sumbatan jalan napas karena benda cair yang ditandai dengan
terdengar suara tambahan berupa “gargling”, maka
(suctioning).

harus dilakukan pengisapan

Digunakan alat pengisap yang lebih populer dengan nama “suction”

(pengisap/ manual portable, pengisap dengan sumber listrik). Masukkan kanula


pengisap
tidak boleh lebih dari lima sampai sepuluh detik.
Teknik Suctioning
1. Pengisap dihubungkan dengan pipa kecil/ suction catheter (dapat digunakan
Naso Gastric Tube - NGT atau pipa lainnya) yang bersih.
2. Gunakan sarung tangan bila memungkinkan.
3. Buka mulut pasien kalau perlu tengadahkan kepala agar jalan napas terbuka.
4. Lakukan pengisapan (tidak boleh lebih dari 5 detik)
5. Cuci pipa pengisap dengan memasukkannya pada air bersih/ cairan infus untuk
membilas selang suction, ulangi lagi bila diperlukan.
b. Mengatasi Sumbatan Jalan Napas Karena Benda Padat (Sumbatan Total)
Dapat digunakan tehnik manual thrust

Abdominal thrust.

Chest thrust.

Back blow.

Back Blow dan Abdominal Thrust/Heimlich Maneuver pada Pasien Dewasa


Untuk penderita sadar dengan sumbatan jalan napas parsial/total karena benda padat
boleh dilakukan tindakan Back Blow dan abdominal thrust (pada pasien dewasa).
Bantu / tahan penderita tetap berdiri atau condong ke depan dengan merangkul dari
belakang.
a. Lakukan hentakan mendadak dan keras pada titik silang garis antar
belikat dan garis punggung tulang belakang (Back Blows).
b. Rangkul korban dari belakang dengan ke dua lengan dengan mempergunakan
kepalan ke dua tangan, hentakan mendadak pada ulu hati, di tengah-tengah
antara Peocessus Xiphoid dengan pusar (abdominal thrust). Setiap hentakan
harus terpisah dan gerakan yang jelas.
c. Ulangi secara bergantian antara Back Blow dan Abdominal Thrust masingmasing 5
kali hingga jalan napas bebas atau hentikan bila korban jatuh tidak
sadar dan ganti dengan tindakan RJPO, pijat jantung napas buatan.
d. Segera panggil bantuan, call for help.

Abdominal Thrust (Heimlich Maneuver) yang dilakukan pada diri sendiri


Pertolongan terhadap diri sendiri jika mengalami obstruksi jalan napas.
Caranya : kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut di atas pusar
dan di bawah ujung tulang sternum, genggam kepalan itu dengan kuat, beri tekanan
ke atas ke arah diafragma dengan gerakan yang cepat, jika tidak berhasil dapat
dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja atau belakang kursi.
Back Blows Pada Bayi
Bayi masih sadar :
1. Bila penderita dapat batuk keras, observasi ketat.
2. Bila napas tidak efektif/ berhenti.
Lakukan Back blow 5 kali (hentakan keras mendadak pada punggung korban
di titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung/ vertebra).
Chest Thrust
Usaha untuk membebaskan jalan napas dari sumbatan parsial/total oleh karena
benda padat. Untuk bayi, anak, orang gemuk, dan wanita hamil.
Penderita sadar :
Penderita anak lebih dari satu tahun :
Lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari kedua dan ketiga
kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi antar puting susu).
Penderita tak sadar :

Tidurkan terlentang.

Lakukan chest thrust.

Tarik lidah dan lihat adakah benda asing.

Berikan pernapasan buatan.

Bila jalan napas tersumbat di bagian bawah, lanjutkan dengan


krikotiroidotomy jarum

Membersihkan Benda Asing Padat Dengan Alat


Bila pasien tidak sadar dan terdapat sumbatan benda padat di daerah
hipofaring yang tak mungkin dilakukan dengan sapuan jari, maka digunakan alat
bantu berupa :
-

laringoskop

alat pengisap (suction)

alat penjepit (forcep)


Teknik
1. Buka jalan napas lurus/ lebar dengan memperbaiki posisi kepala
2. Gunakan laringoskop dengan tangan kiri.
3. Masukkan blade-laryngoscope pada sudut mulut kanan dan menyusur tepi
lidah sampai pangkal lidah, geser ujung blade perlahan ke tengah dan angkat
tangkai laringoskop ke atas depan (sesuai sumbu handle laringoskop)
sehingga terlihat hipofaring dan rima glotis.
4. Gunakan pengisap untuk benda cair dan liur.
Gunakan forcep bila terdapat benda padat.

2.2 Kegawatan Breathing (Pernapasan)


Gangguan fungsi pernapasan (gangguan ventilasi) dapat berupa hipoventilasi sampai
henti
napas yang disebabkan oleh bermacam-macam faktor. Apapun penyebabnya bila tidak
dilakukan penanganan dengan baik akan menyebabkan hipoksia dan hiperkarbia. Jalan
napas
yang tersumbat akan menyebabkan gangguan ventilasi karena itu langkah yang pertama
yang
harus dilakukan pada pasien dengan gangguan adalah meyakinkan bahwa jalan napas
bebas
dan pertahankan agar tetap bebas. Setelah jalan napas bebas tetapi tetap ada
gangguan
ventilasi maka harus dicari penyebab lain.
Trauma thorax merupakan penyebab mortalitas yang bermakna. Sebagian besar pasien
trauma thoraks meninggal saat datang ke Rumah Sakit, disamping itu, banyak kematian
yang
dapat dicegah dengan upaya diagnosis dan tata laksana yang akurat. Kurang dari 10%
kasus
trauma tumpul thoraks dan sekitar 15-30% trauma tembus thoraks memerlukan tindakan
torakotomi. Sebagian besar pasien trauma toraks memerlukan tindakan torakotomi.
Penilaian dan tatalaksana awal pasien dengan trauma toraks terdiri dari primary
survey,
resusitasi fungsi vital, secondary survey yang teliti dan penanganan definitif.
Trauma toraks dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan harus dikenali dan
ditangani
saat primary survey termasuk adanya tension pneumothorax, open pneumothorax
(sucking
chest wound), flail chest, kontusio paru dan hemotorax masif.
Gangguan pernapasan juga dapat disebabkan oleh keadaan yang non trauma seperti
acute
lung oedem(ALO),acute respiratory disstres syndrome (ARDS) .
2.2.1 Trauma Thoraks
A. Tension Pneumothoraks
Tension pneumothoraks terjadi akibat kebocoran udara “one-way valve” dari paru
atau melalui dinding toraks. Udara didorong masuk kedalam rongga toraks tanpa ada
celah
untuk keluar sehingga memicu paru kolaps. Mediastinum terdorong ke sisi berlawanan.
Terjadi penurunan aliran darah balik vena dan penekanan pada paru di sisi yang
berlawanan.
Penyebab utama tension pneumothoraks adalah ventilasi mekanik dengan ventilasi
tekanan positif pada pasien dengan trauma pleural visceral. Tension pneumothoraks
juga
dapat terjadi sebagai komplikasi dari simple pneumothoraks pasca trauma tumpul atau
tembus toraks dimana parenkim paru gagal untuk mengembang atau pascca penyimpangan
pemasangan kateter vena subklavia atau jugularis interna. Defek traumatik pada
toraks juga
dapat memicu tension pneumotoraks jika tidak ditutup dengan benar dan jika defek
tersebut
memicu tejadinya mekanisme flap-valve. Tension pneumothoraks juga dapat terjadi
akibat
penyimpangan letak pasca fraktur tulang belakang torakal.
Tension pneumothoraks merupakan diagnosis klinis yang mencermikan kondisi udara
dibawah tekanan dalam ruang pleura. Tatalaksana tidak boleh ditunda karena menunggu
konfirmasi radiologi selesai. Tension pneumothoraks ditandai dengan beberapa tanda
dan
gejala berikut ini : nyeri dada, air hunger, distress napas, hipotensi, takikardia,
deviasi trakhea,
hilangnya suara napas pada salah satu sisi atau unilateral, distensi vena leher dan
sianosis
sebagai manifestasi lanjut. Tanda tension pneumothoraks ini dapat dikacaukan oleh
tamponade jantung akibat adanya kemiripan. Kedua kasus ini dapaat dibedakan dengan
adanya hipersonansi pada perkusi atau suara napas yang menghilang pada hemithoraks
yang
sakit.
Tension pneumothoraks memerlukan dekompresi segera dan ditatalaksana awal
dengan cepat melalui penusukan jarum kaliber besar pada ruang interkostal kedua
pada garis
midklavikular dari hemithoraks yang sakit.
B. Open Pneumothoraks
Defek besar dinding toraks yang tetap terbuka dapat memicu open pneumotoraks atau
sucking chest wound. Keseimbangan antara tekanan intratorakal dan atmosfer segera
tercapai.
Jika lubang dinding toraks berukuran sekitar dua pertiga dari diameter trakea,
udara mengalir
melalaui defek dinding toraks pada setiap upaya pernapasan karena udara cenderung
mengalir kelokasi yang tekanan nya lebih rendah. Ventilasi efektif akan terganggu
sehingga
memicu terjadinya hipoksia dan hiperkarbia. Penatalaksanaan awal dari open
pneumotoraks
dapat tercapai dengan menutup defek tersebut dengan occlusive dressing yang steril.
Penutup
ini harus cukup besar untuk menutupi seluruh luka dan kemudian direkatkan pada tiga
sisi
untuk memberikan feel “flutter type valve”.
C. Flail Chest dan Kontusio Paru
Flail chest terjadi saat sebuah segmen dinding toraks tidak memiliki kontinuitas
tulang sehingga terjadi defek pada thoracic cage. Kondisi ini biasanya terjadi
akibat trauma
terkait fraktur costae multipel- yaitu dua atau lebih tulang iga mengalami fraktur
pada dua
tempat atau lebih. Adanya segment flail chest menyebabkan gangguan pergerakan
dinding
dada yang normal. Jika trauma yang mengenai paru cukup bermakna maka dapat terjadi
hipoksia. Kesulitan utama flail chest diakibatkan oleh trauma pada paru (kontusio
paru).
Walaupun instabilitas dinding dada memicu pergerakan paradoksal dinding dada pada
saat
inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri tidak menyebabkan hipoksia. Ketrebatasan
pergerakan dinding dada disertai nyeri dan trauma paru yang mendasari merupakan
penyebab
penting hipoksia.
Flail chest mungkin tampak kurang jelas pada awalnya karena adanya “splinting”
pada dinding toraks. Pernapasan pasien berlangsung lemah dan pergerakan toraks
tampak
asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi dari gangguan pergerakan respirasi dan
krepitasi
tulang iga atau fraktur kartilago dapat menyokong diagnosis. Pada pemeriksaan
rontgen
toraks akan ditemui fraktur costae multipel tetapi dapt juga tidak dijumpai
pemisahan
costochondral. Analis gas darah arteri yang menunjukkan ada hipoksia juga akan
membantu
menegakkkan diagnosis flail chest.
Penatalaksanaan definitif meliputi pemberian oksigenasi secukupnya, pemberian
cairan secara bijaksana dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Pemberian
analgesia
dapat dilakukan dengan pemberian narkotikaintravena atau berbagai metode anestesi
lokal
yang tidak berpotensi memicu depresi pernapasan seperti pada pemberian narkotika
sistemik.
Pemilihan anestesi lokal yang meliputi blok saraf intermitten pada intercostal,
intrapleural,
ekstrapleural, dan anetesi epidural. Bila digunakan dengan tepat agen anestesi
lokal dapat
memberikan analgesia yang sempurna dan menekan perlunya dilakukan intubasi.
Pencegahan hipoksia juga merupakan bagian penting dalam penanganan pasien
trauma dimana intubasi dan ventilasi pada periode waktu yang singkat diperlukan
hingga
diagnosis pola trauma secara keseluruhan lengkap. Penilaian yang teliti akan
kecepatan
pernapasan, tekanan oksigen arterial dan kemampuan pernapasan menjadi indikasi
waktu
pemasangan intubasi dan ventilasi.
D. Hemotoraks Masif
Hemotoraks masif terjadi akibat akumulasi cepat lebih dari 1500 ml darah atau satu
pertiga atau lebih volume darah pasien dalam rongga toraks. Biasanya terjadi akibat
luka
tembus yang merobek pembuluh darah sistemik atau hilar. Hemotoraks masif juga dapat
terjadi akibat trauma tumpul.
Akumulasi darah dan cairan dalam hemitoraks dapat mengganggu upaya pernapasan
dengan menekan paru dan mencegah ventilasi yang adekuat. Akumulasi akut darah
secara
dramatis dapat bermanifestasi sebagai hipotensi dan syok.
2.2.2 Non-Trauma
A. Acute Lung Oedem (ALO)
Acute Lung Oedema (ALO) adalah terjadinya penumpukan cairan secara masif di
rongga alveoli yang menyebabkan pasien berada dalam kedaruratan respirasi dan
ancaman
gagal napas.
Etiologi:
1. Edema Paru Kardiogenik
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem
kardiovaskuler.
a. Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya
deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah
pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai
oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak mampu
memompa darah lagi seperti biasa.
b. Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa
ahli diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh
infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun
dari obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan
ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu mengkompensasi suatu keadaan
dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih berat pada keadaan infeksi.
Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi beban tersebut, maka darah
akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk
di paru-paru (flooding).
c. Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk
mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak
mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah
mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru.
d. Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot
ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.
2. Edema Paru Non Kardiogenik
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi paru itu
sendiri. Pada non-kardiogenik, ALO dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
a. Infeksi pada paru
b. Lung injury, seperti emboli paru, smoke inhalation dan infark paru.
c. Paparan toxic
d. Reaksi alergi
e. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
f. Neurogenik
ALO kardiogenik dicetuskan oleh peningkatan tekanan atau volume yang mendadak
tinggi di atrium kiri, vena pulmonalis dan diteruskan (peningkatan tekanannya) ke
kapiler
dengan tekanan melebihi 25 mmHg. Mekanisme fisiologis tersebut gagal mempertahankan
keseimbangan sehingga cairan akan membanjiri alveoli dan terjadi oedema paru.
Jumlah
cairan yang menumpuk di alveoli ini sebanding dengan beratnya oedema paru. Penyakit
jantung yang potensial mengalami ALO adalah semua keadaan yang menyebabkan
peningkatan tekanan atrium kiri >25 mmHg.
Sedangkan ALO non-kardiogenik timbul terutama disebabkan oleh kerusakan dinding
kapiler paru yang dapat mengganggu permeabilitas endotel kapiler paru sehingga
menyebabkan masuknya cairan dan protein ke alveoli. Proses tersebut akan
mengakibatkan
terjadinya pengeluaran sekret encer berbuih dan berwarna pink froty. Adanya sekret
ini akan
mengakibatkan gangguan pada alveolus dalam menjalankan fungsinya.
ALO dapat dibagi menurut stadiumnya (3 stadium),
a. Stadium 1
Adanya distensi pada pembuluh darah kecil paru yang prominen akan mengganggu
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi CO. Keluhan pada
stadium
ini biasanya hanya berupa sesak napas saat melakukan aktivitas.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi oedema paru interstisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi
kabur, demikian pula hilus serta septa interlobularis menebal. Adanya penumpukan
cairan di
jaringan kendor interstisial akan lebih mempersempit saluran napas kecil, terutama
di daerah
basal karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi reflek bronkokonstriksi yang
dapat
menyebabkan sesak napas ataupun napas menjadi berat dan tersengal.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi oedema alveolar. Pertukaran gas mengalami gangguan secara
berarti, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita tampak mengalami sesak napas
yang
berat disertai batuk berbuih kemerahan (pink froty). Kapasitas vital dan volume
paru yang
lain turun dengan nyata.
Pemeriksaan Fisik:
1. Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
2. Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan
paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat
bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale.
3. Takikardia dengan S3 gallop.
4. Murmur bila ada kelainan katup.
Elektrokardiografi : Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau
fibrilasi atrium,
tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau
aritmia
bisa ditemukan.
Laboratorium :
1. Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
2. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
3. Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG,
enzim jantung
(CK-MB, Troponin T), angiografi koroner
Rontgen Dada : X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin
menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada
biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan
opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang
minimal
dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli
sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang
minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
Penatalaksanaan Pengobatan :
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
3. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
4. Infus emergensi, monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
5. Menurunkan preload dan mengeluarkan volume cairan intra paru. Nitrogliserin
(NTG) dan Furosemide merupakan obat pilihan utama.
6. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya
dihindari).
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit
atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis
dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard
9. Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan
oksigen.
10. Penggunaan Aminophyline, berguna apabila oedema paru disertai bronkokonstriksi
atau pada penderita yang belum jelas oedema parunya oleh karena faktor
kardiogenik atau non-kardiogenik, karena selain bersifat bronkodilator juga
mempunyai efek inotropok positif, venodilatasi ringan dan diuretik ringan.
11. Penggunaan Inotropik. Pada penderita yang belum pernah mendapatkan pengobatan,
dapat diberikan digitalis seperti Deslano-side (Cedilanide-D). Obat lain yang dapat
dipakai adalah golongan Simpatomi-metik (Dopamine, Dobutamine) dan golongan
inhibitor Phos-phodiesterase (Amrinone, Milrinone, Enoxumone, Piroximone)
B. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Acute respiratory distress syndroem (ARDS) adalah kondisi kedaruratan paru yang
tiba-tiba dan bentuk kegagalan napas berat, biasanya terjadi pada orang yang
sebelumnya
sehat yang telah terpajan pada berbagai penyebab pulmonal atau non-pulmonal.
Menurut Hudak & Gallo (1997), gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya ARDS
adalah
1. Sistemik:

Syok karena beberapa penyebab

Sepsis gram negative

Hipotermia

Hipertermia

Takar lajak obat ( Narkotik, Salisilat, Trisiklik, Paraquat, Metadone, Bleomisin )

Gangguan hematology ( DIC, Transfusi massif, Bypass kardiopulmonal )

Eklampsia

Luka bakar

2. Pulmonal :
 Pneumonia ( Viral, bakteri, jamur, penumosistik karinii )
 Trauma ( emboli lemak, kontusio paru )
 Aspirasi ( cairan gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon )
 Pneumositis
3. Non-Pulmonal :

Cedera kepala

Peningkatan TIK

Pascakardioversi


Pankreatitis

Uremia

Secara pathofisiologi terjadinya ARDS dapat dijelaskan sebagai berikut :


Kerusakan sistemik menyebabkan penurunan perfusi jaringan sehingga terjadi Hipoksia
seluler dan terjadi Pelepasan faktor-faktor biokimia( enzim lisosom, vasoaktif,
system
komplemen, asam metabolic, kolagen, histamine ) yang menyebabkan Peningkatan
permiabilitas kapiler paru yang berakibat terhadap Penurunan aktivitas surfaktan
sehingga
terjadi Edema interstisial alveolar paru dan menyebabkan Kolaps alveolar yang
progresif
sehingga compliance paru menurun (Stiff lung) dan meningkatkan shunting sehingga
terjadi
Hipoksia arterial.
Penatalaksanaan :

Pasang jalan napas yang adekuat

Pencegahan infeksi

Ventilasi mekanik

Dukungan nutrisi

TEAP

Monitor system terhadap respon

Pemantauan Oksigenasi Arteri

Perawatan kondisi dasar

Cairan

Farmakologi (O2,diuretik,antibiotik)

Pemeliharaan jalan napas

2.3 Kegawatan Circulation (Sirkulasi)

2.3.1

Syok

A. Definisi dan Patofisiologi


Syok adalah kumpulan gejala yang diakibatkan oleh gangguan perfusi jaringan, yaitu
aliran darah ke organ tubuh tidak dapat mencukupi kebutuhannya. Gangguan perfusi
tersebut
mengakibatkan jaringan kekurangan oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan untuk
pembentukan
energi. Bila tidak diterapi dengan segera, metabolisme sel secara anaerobic akan
menyebabkan terjadinya asidosis asam laktat yang akan mengganggu fungsi sel dan sel
tersebut akan mati. Demikian, syok dapat pula diartikan sebagai gangguan oksigenasi
sel/
jaringan.
Mekanisme kompensasi tubuh bila terjadi syok adalah vasokonstriksi untuk
mempertahankan tekanan darah, terutama untuk syok jenis hipovolemi. Pada syok
septic atau
cardiogenic dapat terjadi vasodilatasi. Selain vasokonstriksi, dapat pula terjadi
rangsangan
pada baroreceptor yang berakibat pada meningkatnya sekresi katekolamin. Kompensasi
lain
adalah terjadinya shift cairan dari interstitial kedalam intravaskuler. Pada tahap
dekompensasi,
akan terjadi peningkatan permeabilitas membrane kapiler, pengelompokan leukosit dan
trombosit yang menyebabkan sumbatan pada mikrovaskuler, dan jika proses berlanjut
akan
menyebabkan gangguan fungsi organ.

B. Macam – Macam Penyebab Syok


Terdapat banyak pembagian penyebab syok misalnya:
A.

1. Syok hipovolemi
2. Syok cardiogenic
3. Syok septic
4. Syok neurogenic

B.

1. Syok hipovolemik
2. Syok cardiogenic
3. Syok obstruktif
4. Syok distributif

C.

1. Syok hemorrhagic
2. Syok non hemorrhagic

Adanya banyak macam pembagian syok dapat merupakan tanda bahwa pemahaman
tentang syok masih belum lengkap. Pembagian menurut klasifikasi A cukup banyak
digunakan.
B.1 Syok Hipovolemik
Syok dapat disebabkan karena tubuh kehilangan darah, plasma atau cairan tubuh yang
lain, misalnya: pembedahan, trauma, luka bakar, muntah atau diare. Kehilangan
cairan pada
rongga ketiga tubuh yang biasa disebut dengan third space loss juga dapat
mengakibatkan
syok, misalnya: peritonitis, pancreatitis, dan ileus obstuksi.
B.2 Syok Kardiogenik
Gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena disfungsi jantung, misalnya
karena: Akut Miokard Infark, Cardiomyopati, Aritmia, Payah jantung, Tamponade
jantung
dan Trauma jantung.
B.3 Syok Septic
Syok septic didefinisikan sebagai sepsis yang menyebabkan hipotensi yang tidak
respon terhadap resusitasi cairan yang adekuat.
B.4 Syok Neurogenik
Gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena disfungsi system saraf simpatis,
sehingga tejadi vasodilatasi pembuluh darah, misalnya pada: Trauma tulang belakang,
spinal
syok dan anestesi yang terlalu dalam.
B.5 Syok Anafilaktik
Gangguan perfusi jaringan sebagai respon dari masuknya allergen (misal: antibiotic)
kedalam tubuh yang dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas tipe I. Gejala dapat
timbul sangat
cepat, yang ditandai dengan distress napas akut, syok, maupun keduanya. Mediator
terpenting
yang terlibat dalam proses anafilaktik adalah histamine, leukotriene, basophil
kalikrein (BKA), and platelet- activating factor. Mediator – mediator tersebut
mengakibatkan peningkatan
permeabilitas vaskuler dan kontraksi otot polos. Aktivasi dr reseptor H1
menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus, sedangkan reseptor H2 sebabkan vasodilatasi,
meningkatkan
sekresi mucus, takikardi, dan meningkatkan kontraktilitas miokard; BK- A memecah
bradikinin dari kininogen, bradikinin menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskuler,
vasodilatasi dan kontraksi otot polos. Aktivasi dari factor Hageman juga terlibat
dalam
mengawali koagulasi intravaskuler. Eosinophil chemotactic factor, neutrophil
chemotactic
factor, dan leukotriene B menyebabkan terjadinya proses inflamasi sel yang
berakibat pada
injury jaringan. Angioedem yang terjadi pada laring, faring dan trakea menyebabkan
sumbatan jalan napas bagian atas, sedangkan bronkospasme dan edema mukosa berakibat
pada sumbatan jalan napas bagian bawah. Transudasi cairan dari kulit (angioedema)
dan
visera, menyebabkan hipovolemia dan syok, dimana vasodilatasi arterial menurunkan
tahanan vaskuler sistemik. Hipoperfusi coroner dan hipoksia arteri menyebabkan
aritmia dan
iskemik miokard. Leukotrien dan prostaglandin juga dapat menyebabkan vasospasme
dari
pembuluh darah coroner. Syok dari sirkulasi yang berkepanjangan dapat berakibat
pada
asidosis asam laktat dan iskemia dari organ – organ vital.
Jenis syok ini dapat diakibatkan oleh kontras media, obat, makanan, reaksi
transfusi,
sengatanserangga maupun gigitan ular berbisa.
C. Tanda dan Gejala Syok
Sistem pernapasan

: Napas cepat dan dangkal

Sistem sirkulasi

: Perfusi ekstrimitas pucat, dingin, basah.


Waktu pengisian kapiler > 2 detik.
Nadi cepat dan lemah.
Tekanan darah turun. (bila kehilangan darah >30 %)
Vena tampak kolaps (CVP < 2 cm H2O)

Sistem syaraf pusat

: Gelisah sampai tidak sadar (tegantung derajat syok)

Sistem ginjal

: Produksi urin menurun ( Normal = 0,5 -1 cc/kg BB/ jam)

Sistem pencernaan

: Mual, muntah.

Sistem otot/ kulit

: Turgor menurun, mata cowong, mukosa lidah kering.

D. Tatalaksana
Tatalaksana syok tergantung pada penyebabnya, namun terdapat prinsip penanganan
utama
pada syok, yakni:
1.

Memperbaiki system pernapasan


a. Bebaskan jalan napas
b. Terapi oksigen
c. Bantuan napas

2.

Memperbaiki system sirkulasi


a. Posisi syok
b. Pemberian cairan
c. Monitoring nadi, tekanan darah, perfusi perifer dan produksi urin

3.

Menghilangkan dan mengatasi penyebab syok

D.1 Syok Hipovolemi


Segera pasang infus dengan jarum ukuran besar (#14,16) pasang di dua tempat. Jumlah
cairan
yang diberikan tergantung derajat syok, rata- rata untuk awal pengobatan diberikan
10002000cc cepat.
Usaha untuk mempercepat pemberian cairan infus dapat dilakukan dengan cara:
1.

Gunakan IV kateter ukuran besar dan pendek

2.

Botol cairan ditempatkan setinggi mungkin

3.

Gunakan pompa

Macam cairan yang digunakan:


1. Kristaloid: Ringer Lactate, Normal Saline 0,9%
Cairan Kristalod diberikan sebanyak 2-4x perkiraan jumlah perdarahan,
karena sifatnya yang tidak dapat bertahan lama di intravaskuler. Sehingga juga
berfungsi mengisi cairan interstitial yang hilang. RL lebih fisiologis dibandingkan
normal saline, sehingga lebih banyak dipilih RL untuk resusitasi initial cairan
pada
syok hipovolemi, kecuali pada pasien dengan kelainan ginjal dan cidera kepala.
2. Kolloid
Terbagi menjadi golongan protein: albumin atau plasma dan golongan non
protein: dextran atau gelatin. Cairan kolloid lebih stabil berada dalam rongga
intravaskuler sehingga diberikan sesuai dengan perkiraan jumlah perdarahan.
3. Darah: Whole Blood – fresh or stored, PRC.
Tahap awal dalam resusitasi cairan digunakan cairan kristaloid dan dilanjutkan
dengan koloid. Penelitan membuktikan pemberian darah pada tahap awal resusitasi
cairan angka kematian yang berhubungan dengan reaksi transfusi.
Hemodilusi adalah mengganti kehilangan darah dengan larutan kristaloid atau koloid
sampai
hemodinamik stabil yang ditandai dengan nadi <100x/ menit, tekanan darah systole
>100
cmHg, perfusi perifer hangat kering merah, serta waktu pengisian kapiler <2 detik.
Syok Hipovolemi, Dehidrasi
(Diare, muntaber, peritonitis)
Klasifikasi
Dehidrasi Ringan:

Klinis
Nadi normal/ sedikit meningkat

Pengelolaan
Penggantian volume cairan

Kehilangan cairan tubuh Selaput lendir kering

yang

3-5% BB

Haus terus menerus

kristaloid

Dehidrasi Sedang:

Nadi cepat

Penggantian volume cairan


Kehilangan cairan tubuh Tekanan darah turun

yang

6-8% BB

kristaloid

Selaput lendir sangat kering


Oliguria
Status mental tampak lesu, lemas

hilang

hilang

dengan

dengan
Dehidrasi Berat:

Nadi cepat, kecil, sampai tidak Penggantian volume cairan

Kehilangan cairan tubuh teraba

yang

>8% BB

kristaloid

Tekanan darah turun


Perfusi perifer lambat
Anuria
Kesadaran menurun

Cara pemberian terapi infus pada kasus dehidrasi adalah:


1. Infus cepat untuk mengisi kembali IVF
2. Infus lambat untuk mengisi kembali ISF
3. Memberikan juga cairan maintenance

hilang

dengan
Syok Hipovolemi, Perdarahan
Perdarahan dalam jumlah besar melebihi 15% volume darah, akan menyebabkan perubahan
fungsi tubuh sehingga jatuh dalam kondisi syok. Satu jam pertama masa syok sering
disebut
“the golden hour”. Pertolongan harus cepat dilakukan, yakni dengan menghentikan
perdarahan dan mengganti kehilangan darah dengan infuse cairan.
Tabel. Klasifikasi perdarahan berdasar ATLS

D.2 Syok Kardiogenik


Permasalahan utama pada syok kardiogenik adalah berkurangnya kekuatan pompa
jantung, maka terapi paling utama adalah memperkuat pompa jantung dengan
menggunakan
inotropic yakni: dopamine, dobutamin, isoprenolol atau nor-adrenalin. Pemilihan
obat-obatan
tersebut kembali disesuaikan dengan gejala klinis dan performance jantung masing –
masing
penderita dengan tidak melupakan permasalahan airway, breathing dan circulation.
Syok kardiogenik dapat juga terjadi akibat trauma, yakni kontusio jantung,
tamponade
jantung dan tension pneumothorax. Sehingga perlu dilakukan tindakan terhadap
penyebab
tersebut, sebagai contoh; pericardiosentesis pada tamponade jantung dan
thoracosentesis pada
tension pneumothorax.
D.3 Syok Septic
Tatalaksana syok septic berdasar guideline Surviving Sepsis Campaign 2012:
D.4 Syok Anafilaktik
Terapi syok anafilaktik harus dilakukan segera dan bergantung pada derajat
keparahan
dari reaksi yang terjadi. Meliputi:
1. Penghentian segera dari pemberian agen penyebab. (misal: obat)
2. Berikan oksigen 100%
3. Adrenalin (0,01-0,5 mg IV atau IM; tergantung pada derajat keparahan)
4. Pertimbangkan untuk intubasi
5. Bolus cairan intravena
6. Antihistamin: Diphenhydramine (50-75 mg IV)
7. Ranitidine (150 mg IV)
8. Kortikosteroid: Hydrocortisone (sampai 200 mg IV) atau methylprednisolone (1-2
mg/kg BB)

2.3.2

Terapi Cairan Pengganti Perdarahan


Perdarahan dan hemorrhagic syok sering terjadi pada kasus trauma berat dan

merupakan salah satu penyulit selama anestesi dan pasca bedah dini. Perdarahan
dapat
ditolong dengan memberikan larutan Ringer Laktat atau Normal Saline dalam jumlah
besar.
Lahir istilah ”Hemodilusi” karena selama darah yang hilang diganti cairan,
terjadilah
pengenceran darah dan unsur-unsurnya. Hemodilusi bukan keadaan fisiologik, tetapi
sutau
yang berguna untuk menyelamatkan penderita dengan perdarahan hebat. Darah diberikan
pada saat yang tepat sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
A. Dasar-dasar pemikiran
Penderita yang berdarah, menghadapi dua masalah yaitu berapa sisa volume darah
yang beredar dan berapa sisa eritrosit untuk mengangkut oksigen ke jaringan.

Volume darah
Bila volume darah hilang 1/3, penderita akan meninggal dalam waktu beberapa jam.
Penyebab kematian adalah syok progresif yang menyebabkan hipoksia jaringan.
Hipovolemia
menyebabkan beberapa perubahan:
a. Vasokonstroksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan
morgan primer (otak, jantung) dengan aliran darah yang tersisa
b. Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolisme anaerobic
dengan produk asam laktat yang menyebabkan lactic acidosis
c. Lactic acidosis menyebabkan perubahan-perubahan sekunder pada organ-organ
primer dan organ-organ sekunder sehingga terjadi kerusakan merata.
d. Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskuler sampai
10% EBV tidak mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan
yang lebih dari 25% atau bila terjadi syok/hipotensi maka sekaligus
kompartemen interstitial dan intrasel ikut terganggu. Bila dalam terapi hanya
diberikan sejumlah kehilangan plasma volume (intra vaskuler), penderita masih
mengalami defisit yang menyebabkan syoknya irreversible dan berakhir
kematian.
Eritrosit untuk transportasi oksigen
Dalam keadaan normal, jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan adalah = Cardiac
output x Saturasi O2 x Hb x 1,34 + CO pO2 x 0.003 (5,9). Kalau unsur CO x pO2 x
0.003
karena kecil diabaikan, maka tampak bahwa persediaan oksigen untuk jaringan
tergantung
pada Cardiac Output, saturasi dan kadar Hb. Karena kebutuhan oksigen tubuh tidak
dapat
dikurangi kecuali dengan hipotermia atau anestesi dalam, maka jika eritrosit
hilang, total Hb
berkurang Cardiac Output harus naik agar penyediaan oksigen jaringan tidak
terganggu.
Orang normal dapat menaikkan Cardiac output 3x normal dengan cepat, asalkan volume
sirkulasi cukup (normovolemia). Faktor-faktor Hb dan saturasi jelas tidak dapat
naik.
Hipovolemea akan mematahkan kompensasi Cardiac output. Dengan mengembalikan volume
darah yang telah hilang dengan apa saja asal segera normovolemia, CO akan mampu
berkompensasi. Jika Hb turun sampai tinggal 1/3, tetapi CO dapat naik sampai 3x,
maka
penyediaan oksigen ke jaringan masih tetap normal. Pengembalian volume, mutlak
diprioritaskan daripada pengembalian eritrosit.
B. Cara mengatasi perdarahan
Penderita datang dengan perdarahan
Pasang infus jarum besar
Ambil sample darah

catat tekanan darah, nadi,


perfusi, (produksi urine)

Ringer laktat atau NaCl 0.9%


20 ml/kg bb cepat, ulangi
1000-2000 ml dalam – 1 jam

Hemodinamik baik

Hemodinamik buruk

Tekanan darah 100, nadi 100


Perfusi hangat, kering

teruskan cairan

Urine ½ ml/kg/jam

2-4 x estimated loss

Hemodinamik buruk Hemodinamik baik

Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada kasus
B, jika
hemoglobin kurang dari 8 gm% atau hematokrit kurang dari 25%, transfusi sebaiknya
diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pembedahan untuk menghentikan suatu
perdarahan, transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber perdarahan terkuasai
dulu. Pada
kasus C, transfusi harus segera diberikan. Ada tiga kemungkinan penyebab yaitu
perdarahan
masih berlangsung terus (continuing loss), syok terlalu berat, hipoksia jaringan
terlalu lama
dan anemia terlalu berat, terjadi hipoksia jaringan.
Pada 1/2 jam pertama, kalau diukur Hb/Hct, hasil yang diperoleh mungkin
masih ”normal”. Harga Hb yang benar adalah yang diukur setelah penderita kembali
normovolemik dengan pemberian cairan. Penderita didalam keadaan anestesi, dengan
napas
buatan atau dengan hipotermia, dapat mentolerir hematocrit 10% - 15%. Tetapi
penderita
biasa, sadar, napas sendiri, memerlukan Hb 8 gm% atau lebih agar cadangan
kompensasinya
tidak terkuras habis.
C. Jumlah cairan
Lebih dulu dihitung Estimated Blood Volume penderita, 65-70 ml/kg berat badan.
Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10% - 30% EBV
memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat. Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV
masih dapat ditunjang untuk sementara dengan cairan saja sampai darah transfusi
tersedia.
Total volume cairan yang dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar
antara 24 x volume yang hilang.
Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Trauma Status dari
Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit sesudah infusi, cairan Ringer Laktat akan
meresap keluar vaskuler menuju interstitial. Demikian sampai terjadi keseimbangan
baru
antara Plasma Volume (IVF) dan ISF. Expansi ISF ini merupakan ’interstitial edema”
yang
tidak berbahaya. Bahaya edema paru-paru dan edema otak dapat terjadi jika semula
organorgan tersebut telah terkena trauma. Dua puluh empat jam kemudian akan terjadi
diuresis
spontan. Jika keadaan terpaksa, dieresis dapat dipercepat lebih awal dengan
frusemide setelah
transfusi diberikan.
Tabel. Traumatic status dari Giesecke
TANDA

TS I

TS II

TS III

Sesak napas

Ringan

++

Tekanan darah

Turun

Tak teratur

Nadi
Cepat

Sangat cepat

Tak teraba

Urine

Oliguria

Anuria

Kesadaran

Disorientasi

 / coma
Gas darah

pO2  / pCO2 

pO2  / pCO2 

CVP

Rendah

Sangat Rendah

Blood loss% EBV

Sampai

Sampai 30%

Lebih 50%

10%

D. Macam cairan
Ada 4 pilihan pokok yang bertahun-tahun menjadi perbantahan sengit:
a.

Transfusi darah

Ini adalah pilihan pokok kalau donor yang cocok ada. Hemodilusi dengan cairan tidak
bertujuan meniadakan transfusi, tetapi mempertahankan hemodinamik dan perfusi yang
baik
sementara darah donor belum tersedia, menghemat jumlah darah donor yang perlu
ditransfusikan dan memberikan koreksi ECF defisit. Bila darah golongan yang sesuai
tidak
tersedia, dapat digunakan universal donor yaitu golongan 0 dengan titer anti A
rendah (Rh
negatif) atau Packed Red Cells-O. Sebaiknya darah universal ini selalu tersedia di
UGD.
b.

Plasma expander

Cairan koloid ini mempunyai nilai oncotic yang tinggi (dextran, gelatin,
hydroxyethyl starch) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal lebih
lama
intravaskuler. Sayang ECF deficit tidak dapat dikoreksi oleh plasma expander.
Selain itu
harga plasma expander adalah 10x lebih mahal daripada Ringer. Reaksi anaphylactoid
dapat
terjadi baik karena dextran maupun gelatin (0.03-0.08% pemberian). Penulis
mengalami 2
kasus reaksi ini dengan syok, yang memerlukan adrenaline untuk mengatasinya. Reaksi
ini
dapat berakhir fatal. Dextran juga menyebabkan gangguan pada cross match darah dan
pada
dosis lebih dari 10-15 ml/kg BB akan menyebabkan gangguan pembekuan darah.
c.

Albumin

Albumin 5% ataupun Plasma Protein Fraction adalah alternatif yang baik dari segi
volume effect. Tetapi harganya adalah 70x harga Ringer laktat untuk volume effect
yang
sama.
d.

Ringer laktat atau NaCl 0,9%


Cairan ini paling mirip komposisinya dengan cairan ECF. Meskipun pemberian infusi
IVF diikuti perembesan, namun akhirnya tercapai keseimbangan juga setelah ISF
jenuh.
Idealnya cairan ini hanya digunakan pada perdarahan yang tidak melebihi 15% volume
darah
penderita. Cairan lain seperti Dextrose, 0,45 NaCl tidak dapat digunakan.
E. Penyulit
Penyulit akibat pemberian cairan dapat terjadi pada jantungnya sendiri, pada proses
metabolisme atau pada paru.
Dekompensasi Jantung
Dekompensasi ditandai oleh kenaikan PCWP (Pulmonary Capillary Wedge Pressure).
Bahaya terjadinya dekompensasi jantung sangat kecil, kecuali pada jantung yang
sudah sakit
sebelumnya. Pada pemberian colloid dapat mengalami kenaikkan PCWP 50% yang
potensial
akan mengalami dekompensasi jantung.
Edema paru
Adanya edema paru dapat dinilai antara lain dengan meningkatnya rasio Qs/ Qt.
Pemberian colloid yang diharapkan tidak merembes keluar IVF ternyata mengalami
kenaikan
Qs/Qt yang sama yaitu 16 + 1%. Akibat pengenceran darah, terjadi transient
hypoalbuminemia 2.5 + 0.1 mg% dari harga pre op sebesar 3.5 + 0.1 mg%. Penurunan
albumin ini diikuti penurunan tekanan oncotic plasma dari 21 + 0.4 menjadi 13 +
1.0.
Penurunan selisih tekanan COP –PCWP dari nilai pre op tidak selalu menyebabkan
edema.
Giesecke memberi batasan bahwa kadar albumin terendah yang masih aman adalah 20 –
25%
dapat diberikan dengan tetesan lambat 2 jam/100 ml. Dosis ini akan menaikkan kadar
0.250.50 gm%
Jika masih terjadi edema paru, berikan frusemide, 1-2 mg/kg. Gejala sesak napas
akan
berkurang setelah urine keluar 1000 – 2000 ml. Lakukan digitalisasi atau berikan
Dopamin
drip 5-10 microgram/kg/menit. Sebagai terapi simptomatik berikan oksigen, atau bila
diperlukan mendesak lakukan napas buatan + PEEP. Insiden pulmonary insufficiency
post
resusitasi cairan adalah 2.1%.
Lactic Acidosis
Pemberian Ringer laktat tidak menambah buruk acidosis laktat karena syok. Laktat
dirubah hepar menjadi bicarbonate yang menetralisir metabolic acidosis pada syok.
Perbaikan
sirkulasi akibat pemberian volume justru menurunkan kadar laktat darah karena
perbaikan
transport oksigen ke jaringan, metabolisme aerobik bertambah.
Gangguan hemostasis
Gangguan karena pencgenceran ini mungkin terjadi jika hemodilusi sudah mencapai
1,5 x EBV. Faktor pembekuan yang terganggu adalah thrombocyt. Pemberian Fresh
Frozen
Plasma tidak berguna karena tidak mengandung thrombocyt, sedang faktor V dan VIII
dibutuhkan dalam jumlah sedikit (5-30% normal). Thrombocyt dapat diberikan sebagai
fresh
blood, platelet rich plasma atau thrombocyt concentrate dengan masa simpan kurang
dari 6
jam jika suhu 4oC. Untuk hemostasis yang baik diperlukan kadar thrombocyt 100.000
per
mm3. Dextran juga dapat menimbulkan gangguan jika dosis melebihi 10 ml/kg BB.
F. Rangkuman
Ringer Laktat dan NaCl 0,9% selain harganya murah, tersedia dengan mudah sampai
ketingkat Puskesmas, tanpa perlu cross match, tanpa reaksi allergi, waktu simpan
tak terbatas,
tak perlu lemari es, dan dapat menyelamatkan nyawa dengan pasti. Dengan kemasan
botol
plastik, paket-paket cairan ini dapat didrop dengan cepat dari helikopter dan
langsung
digunakan untuk stabilisasi korban, dimanapun dia berada.
Jika pedoman-pedoman pemberian cairan diikuti, pemberian cairan berlebih sekalipun
tidak mudah menyebabkan kematian penderita. Jika toh akan menyebabkna kematian,
prosesnya jauh lebih lama daripada proses syok perdarahan. Sehingga kita cukup
waktu
untuk melakukan koreksi terhadap penyulit yang mengancam jiwa tersebut.

2.3.3 Tranfusi Darah


Transfusi sebenarnya bukan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan anemia pada
seorang pasien yang kehilangan darah, baik itu kehilangan akut ataupun kronis.
Kehilangan
kronis dapat mudah diatasi dengan terapi Fe (besi) dan perbaikan nutrisi, kecuali
beberapa
pasien kelainan sistim hemopoetik. Kehilangan darah akut dapat diganti volumenya
dengan
cairan pengganti (larutan elektrolit atau plasma expander). Pada hakekatnya ”blood
is RED”,
selain merah, RED berarti Rare-Expensive-Dengerous (Langka, mahal, berbahaya)
A. Resiko Transfusi
Resiko transfusi yang banyak dikenal adalah reaksi transfusi. Jenis yang sering
terjadi
adalah reaksi transfusi panas, yang disebut leukosit donor/leukoaglutinin resipien
atau bahan
pirogen. Reaksi ini tak berbahaya dan berhenti dengan penghentian transfusi atau
pemberian
antiretika. Kebiasaan memberikan “premedikasi” dengan antipiretika + antihistamin
pra
transfusi tidak dapat dibenarkan. Prevalensi reaksi ini hanya sekitar 1%, prevensi
yang
diberikan adalah pemborosan dan menambah resiko alergi obat atas diri pasien yang
semestinya tidak akan mengalami resiko. Obat-obat tersebut dapart memberikan
masking
effect pada tanda-tanda awal reaksi transfusi jenis berbahaya.
Reaksi transfusi alergi adalah akibat kontak dengan protein asing dan terbentuknya
immune-complex, aktivasi komplemen yang diiukti degranulasi sel-sel mast dan
basofil yang
melepaskan histamine. Reaksi yang ringan berupa pruritus dan urticaria. Reaksi yang
berat
berupa bronchospasme, sesak napas atau bahkan reaksi anafilaktik yang fatal.
Reaksi transfusi hemolitik adalah hemolisis akut intravaskuler karena
inkompatibilitas
golongan darah ABO. Jika hemolisis tidak berat dan jumlah darah yang mismatch masih
sedikit (< 250 ml), pasien masih dapat diselamatkan jika ditangani dengan baik.
Reaksi tranfusi bakteremia/septik terjadi karena darah donor tercemar umumnya dari
bakteria dari jenis: E. Coli, proteus spp, P. aeruginosa, A. Aerogenes, K.
Pneumoniae. Darah
yang tercemar plasmanya keruh, berwarna abu-abu atau coklat hitam. Angka kematian
pada
reaksi ini sangat tinggi karena endotoksin kuman-kuman ini menyebabkan shock.
Resiko transfusi yang lain adalah transmisi penyakit. Dari survey di Surabaya
didapatkan prevalensi hepatitis B pada lebih kurang dua persen dari donor, sedang
di Jakarta
dilaporkan 5%. Sebanyak 5-10% pasien hepatitis B menjadi carrier yang menular.
Screening
hepatitis B tidak tersedia disetiap kota dimana darah ditransfusikan. Timbulnya
gejala antara
2 minggu samapi 6 bulan setelah transfusi. 50-70% pasien hepatitis NANB ini menjadi
khronis dan 10-20% dari yang khronis ini akan menjadi cirrhosis. Screening test
yang terbaru
sekalipun masih belum memiliki sensitivitas 100%. Prevalensi Hepatitis non A – non
B
adalah 2-3 x lebih besar daripada Hepatitis B dan test untuk NANB belum ada yang
dapat
diandalkan dengan harga terjangkau.
Masalah AIDS yang dapat ditularkan dari donor asimptomatik (tanpa gejala). Masa
inkubasi bertahun-tahun, tanpa gejala, sampai pada saat timbulnya ”AIDS Related
Complex ”
lalu ”Full Blown AIDS”. Jarak anatar transfusi sampai diagnosis AIDS (+) pada orang
dewasa rata-rata 30 bulan dan pada anak 13,5 bulan. Pencegahan diupayakan dengan
seleksi
menyingkirkan calon donor yang beresiko tinggi (homosex dan pecandu narkotik) dan
melakukan test Elisa untujk menyingkirkan mereka yang seropositif. Test ini masih
mahal.
B. Langkah-langkah rasionalisasi
Untuk melakukan transfusi yang aman dilakukan dengan indikasi transfusi, batas awal
dan akhir yang tepat, penggunaan komponen yang tepat, penggunaan cairan pengganti
(teknik hemodilusi) dan transfusi darah sendiri (autologous)
Indikasi Transfusi, Batas Awal dan Akhir yang tepat
Pada perdarahan akut, pasien kehilangan volume darah dan eritrosit yang berisi
Hemoglobulin. Penggantian volume yang hilang harus didahulukan karena defisit 30%
sudah
menyebabkan shock berat dan kematian. Toleransi kehilangan Hb lebih besar. Kadar Hb
yang
tinggal 50% masih dapat diatasi tubuh dengan mekanisme kompensasi, karena itu tidak
semua kehilangan darah harus diganti transfusi.
Bagi pasien tanpa penyakit jantung, Hb 8-10 gm/dl masih cukup memberikan oksigen
jaringan dengan baik, asal volume sirkulasi dipertahankan normal. Terapi cairan
yang
bertujuan mengembalikan volume sirkulasi menjadi normal, dengan kadar Hb dalam
batas 68 gm/dl, dengan demikian transfusi dapat ditunda. Apabila diperlukan
transfusi, maka kadar
Hb akan dikembalikan menjadi 10 gm/dl dan tidak perlu sampai Hb jadi ”normal” 15
gm/dl,
karena dengan Hb 10 gm/dl oksigenasi jaringan sudah cukup. Transfusi 250-500 ml (1-
2
kantong) pada pasien dewasa, tidak diperlukan pemberian transfusi, tetapi dengan
diberikan
Ringer Laktat atau NaCl 500-1000 ml saja. Pemberian satu kantong darah menaikkan Hb
0,25 gm/dl, peningkatan sebesar ini dapat dicapai dengan pemberian gizi yang baik
dan terapi
Fe++. Manfaat kenaikan Hb 0,25 gm/dl tidak layak dibandingkan dengan resiko
penyakit
yang mungkin ditularkan.
Penggunaan Komponen yang Tepat dan Dosis yang Tepat
Palang Merah Indonesia menyediakan darah utuh, darah yang dihadapkan, trombosit
dan plasma. Darah utuh (whole blood = WB), memiliki faktor koagulasi labil (Labile
Factor)
dan trombosit jika belum lewat jam 6. lewat batas 6 jam itu, hanya Hb dan faktor
pembekuan
stabil lainnya yang masih cukup banyak.
Darah diendapkan/dipadatkan
Packed Red Cell (PCR), digunakan untuk anemia yang tidak disertai hipovolemia.
Misalnya anemia khronis, atau anemia karena perdarahan akut yang sudah mendapat
penggantian volume sirkulasi. Dari 250 cc darah utuh diperoleh 125 cc PRC maka dari
250 cc
PCR didapat peningkatan Hb 2x lebih banyak dan resiko circulatiory overload dapat
dikurangi.
Trombosit
Dalam penyediaan transfusi ada 2 macam ialah plasma kaya trombosit (platelet Rich
Plasma) atau konsentrat trombosit (Thrombocyte Concentrate = TC). Satu unit PRP (50
cc)
bearsal dari 250 cc darah utuh, teoritis akan meningkatkan jumlah trombosit
5000/mm3.
Pemberian trobosit dilakukan pada trombositopenia (kadar 50.000 – 80.000/mm3)
misalnya
pada edema hemoragik dan hemodilusi (penggantian perdarahan dengan cairan).
Trombosit
diberikan cukup sampai perdarahan berhenti atau masa perdarahan (bleeding time)
mendekati
2x nilai normal.
Plasma
Diberikan untuk mengatasi hipovolemia akibat kehilangan plasma seperti pada
demam hemoragik Dengue dan luka bakar yang luas. Untuk DHF diberikan 10-20 cc/kg
sampai shock teratasi, berupa plasma segar, plasma segar atau plasma biasa. Plasma
segar
beku (Fres Frozen Plasma = FFP) dan plasma segar (Fresh Plasma kurang dari 24 jam)
dapat
digunakan mengatasi defisiensi faktor pembekuan. Diberikan 10 cc/kg satu jam
pertama,
dilanjutkan 1 cc/kg BB per jam sampai hasil PPT dan APTT mencapai nilai kurang atau
sama
dengan 1,5 x nilai kontrol yang normal. Plasma tidak dapat digunakan untuk
menaikkan
kadar albumin pasien hipo-albuminemia.
C. Penggunaan Cairan Pengganti (Teknik Hemodilusi)
Volume darah normal adalah 67-70 cc/kgBB. Kehilangan sampai 25% volume darah
masih dapat diganti cairan RL, NaCl 0,9% atau kombinasi dengan cairan koloid
seperti
Dextran, Expafusin. Jika kehilangan mencapai 30-50%, maka selain RL/NaCl 0,9% harus
ditambahkan Darah Endap (PRC) terutama jika kadar Hb mencapai kurang 6-8 gm/dl atau
hematokrit 20-25%. Teknik hemodilusi ini tidak sesuai bagi pasien trauma kepala dan
trauma
thorax karena bahaya edema otak atau edema paru.
D. Transfusi Autologous
Cara ini menggunakan darah pasien sendiri untuk mengganti perdarahan pada
pembedahan yang terencana (elektif). Cara yang dipakai adalah dengan menabung darah
sendiri atau retarnsfusi darah yang keluar.
E. Menabung darah sebelum pembedahan
Dalam waktu 2-7 hari sebelum pembedahan, 250-500 ml darah dapat diambil dari
pasien itu sendiri 8 ml/kg yang setara dengan 10-15% volume darahnya. Darah ini
disimpan
untuk kemudian ditransfusikan kembali setelah pembedahan selesai. Jika perlu
persiapan
darah lebih banyak maka prosedur dimulai dua minggu prabedah dengan mengambil 450
ml.
Pasien diberi makanan bergizi, F2++ dan vitamin yang cukup. Hari ketujuh prabedah,
diambil lagi 900 ml dan pada saat itu darah pengambilan ke I ditransfusikan
kembali. Pasien
jadi hanya ”kehilangan” volume 450 ml saja, tetapi kita mempunyai 900 ml diluar
tubuh
pasien tersebut. Darah pengambilan ke II disimpan untuk pembedahan dan
diretransfusikan
setelah pembedahan selesai. Transfusi autologous ini dapat dilakukan jika kondisi
umum
pasien baik, Hb kurang dari 10 gm/dl dan tidak ada penyakit Diabetes lanjut,
penyakit
jantung koroner dan penyakit cerebrovaskuler.
F. Retransfusi darah yang keluar (autotransfusion)
Darah yang keluar selama pembedahan ditampung atau dihisap hati-hati, disaring dari
bahan diluar darah kemudian ditransfusikan kembali. Cara ini kurang dianjurkan.
G. Rangkuman
Dengan menghemat transfusi, dapat dicegah hospital acquired infection, utamanya
Hepatitis dan AIDS. Pemberian trnasfusi seharusnya diperhitungkan dengan matang,
sehingga berusaha menghindari transfusi yang kurang perlu.
2.3.4

keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Asam Basa


Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan salah satu segi yang menunjang

berlangsungnya metabolisme tubuh dan kehidupan. Penyakit dasar, Pembedahan dan


anestesi
memberikan pengaruh besar dan menyebabkan perubahan-perubahan pada keseimbangan
cairan ini sangat berarti bagi proses penyembuhan dan pencegahan infeksi. Terapi
cairan
meliputi: penggantian kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan
nutrisi,
untuk membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan yang normal.
A. Kebutuhan Basal Air Dan Elektrolit
Dalam keadaan normal, rata-rata pengeluaran air dan elektrolit seorang pasien
dengan BB 50 kg adalah berikut:
Tabel Pengeluaran air dan elektrolit pasien berat badan 50 kg
Air

Na

Urine

1500 cc

65

90

Pernapasan

1000 cc (700 cc /m2/24 jam)

Penguapan

1500 cc (tropis)

Feces

100 cc

10

Di daerah tropis kehilangan cairan penguapan dapat mencapai 1500cc dalam 24 jam,
hanya terdiri dari air tanpa elektrolit. Keringat menambah kehilangan ini 300-600
cc/24 jam,
yang merupakan air dengan sejumlah kecil Na dan K. Sebaliknya, pemecahan jaringan
otot
dan lemak karena puasa menghasilkan kurang lebih 400 cc air yang meningkat sampai
1000
cc pada katabolisme yang cukup besar/sepsis.
Secara umum disimpulkan, kebutuhan air seorang pasien dengan BB 59 kg dalam
keadaan basal kurang lebih (3100-4000) cc, yaitu 2700 cc /24 jam atau kurang 50
cc/kg/24
jam.
Pada terapi cairan selama 2-3 hari saja, elektrolit yang diutamakan adalah Na dan K
kebutuhan Na sekitar 60-100 mEq/24 jam, kalium sekitar 40-60 mEq/24 jam. Pada hari-
hari
pertama pasca bedah tidak dianjurkan penambahan K, karena adanya pengeluaran K dari
sel/jaringan rusak, proses katabolisme dan transfusi darah (Whole blood) mengandung
kalium kurang lebih 20 mEq/L) yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa stress
pembedahan menyebabkan pelepasan Aldosterone dan ADH sehingga terjadi kecenderungan
tubuh untuk menahan air dan Na. Pada orang tua dengan cardiac reserve yang sempit
sebaiknya pada permulaan terapi cairan hanya diberikan 2/3 dari kebutuhan yang
diperhitungkan. Berdasarkan pengamatan dan penelitian selanjutnya, jumlah cairan
dapat
diatur kembali. Pada hari ke 2-5 pasca bedah, terjadi reabsorpsi kembali cairan
yang hilang
ke ”third space”. Penambahan yang tak tampak ini harus diperhitungkan dalam
evaluasi
untuk pengaturan cairan.
B. Koreksi Gangguan Keseimbangan Air Dan Elektrolit
Water exess
Terjadi pada pasien-pasien yang mendapat terapi cairan dengan sedikit/tanpa Na,
untuk mengganti sejumlah besar kehilangan Na. Contoh yang jelas adalah kehilangan
dari
saluran pencernaan (tubuh, diarrhea, cairan lambung) yang diganti hanya dengan
cairan
Dextrose 5%. Kelebihan air terhadap keseimbangannya dengan Na, menyebabkan turunnya
kadar Na serum. Hiponatremi ini dapat menyebabkan edema pada sel-sel otak, dan
timbulnya
gejala-gejala tergantung cepatnya penurunan tersebut. Keadaan ringan dapat diatasi
dengan
restriksi air, tetapi bila kadar Na serum kurang dari 120 mEq/L, perlu diberi
terapi dengan Na
hipertonis. Pemberian Na hipertonis ini harus berhati-hati pada pasien-pasien tua
dengan
cardiac reserve yang sempit.
Kelebihan air dapat dikeluarkan dengan pemberian glukosa hipertonis atau
furosemide yang sebaiknya harus diberikan bersama-sama NaCl dan KCl. Terapi dengan
furosemide dalam jangka waktu lama juga akan menyebabkan penurunan kadar Na serum.
Water deficit
Terjadi bilamana tubuh kehilangan air lebih banyak daripada Na, misalnya pada
keadaan-keadaan: febris lama, hiperventilasi, tracheostomy tanpa humidifikasi,
diabetes
insipidus, non ketotic hyperosmolar dehydration. Kekurangan 2% dari BB menimbulkan
rasa
haus, naik berat terjadi kelemahan umum otot-otot, delirium dan convulsi. Terapi
adalah
pemberian cairan cairan Dextrose 5% (isotonis)
Saline Excess
Umumnya terjadi sebagai akibat samping resusitasi cairan kolloid untuk mengatasi
syok dan mempertahankan volume ”CFC” pada masa-masa prabedah dan selama
pembedahan. Kelebihan volume yang isotonis ini umumnya ditolerir oleh pasien-pasien
muda, tetapi pada orang tua mudah menyebabkan decompensasi cordis dan edema paru-
paru.
Terapi yang dilakukan adalah restriksi cairan, kalau perlu diberikan diuretic dan
digitalisasi.
Saline Deficit
Terutama terdapat pada pasien-pasien yang mengalami dehidrasi, yang sering
disebabkan karena muntah, diare dan peritonitis. Kehilangan dari saluran pencernaan
pada
masa pasca bedah memperbesar defisit ini. Terapi adalah penggantian dengan Ringer
Lactat
atau NaCl 0,9%
Hipokalemi
Terutama disebabkan pemberian cairan tanpa kalium, atau pengantian tidak sesuai
pada kehilangan yang banyak misalnya kehilangan dari saluran pencernaan.
Gejala-gejala klinis adalah kelemahan otot, paraesthesia, paralytic ileus. Kecuali
bila kadar K
serrum dibawah 2 mEq/L, terapi kalium dapat dilakukan dalam 2-4 hari. Pemberian
kalium
jangan melebihi 200 mEq/24 jam, dengan kecepatan 10-20 mEq/jam, dicampur dalam
cairan
infus.
Hiperkalemi
Pasien-pasien dengan gangguan fungsi ginjal, kerusakan jaringan luas dan
combustio/luka bakar akan terjadi hiperkalemi. Tanda-tanda klinis dapat hanya
kelemahan
otot atau tanpa keluhan sampai terjadi gangguan irama jantung dan cardiac arrest.
Umumnya
setelah kadar K serum lebih dari 6 mEq/L terjadi perubahan-perubahan khas pada EKG.
Bila
kadar serum mencapai 6 mEq/L segera diberikan terapi untuk menurunkan sebagai
berikut:
1. Pemberian calcium glukonat/chlorida 10-30 ml perlahan dalam waktu 2 menit.
Pemberian calcium ini kontra indikasi pada pasien yang mendapat terapi digitalis
2. Pemberian sodium bicarbonat 50-100 mEq untuk alkalinisasi darah
3. Pemberian Glukosa 25% bersama reguler insulin 1 unit setiap 4-5 gr glukosa
(pada renal failure 1 unit setiap 10 gr glukosa) sebanyak 200 dalam ½ jam
Penurunan kadar K dengan terapi ini dapat bertahan selama 6 jam.
C. Keseimbangan Asam Basa
Perubahan pH cairan tubuh sangat berpengaruh pada kerja sel dan enzym tubuh
sehingga tubuh selalu berusaha mempertahankan keseimbangan asam basa dalam suatu
batas
fisiologis yang sempit. Pemeriksaan dilakukan pada contoh darah arteri dengan harga
normal,
p02 80-100 mmHg, pC02 35-45 mmHg, pH 7,35-7,45, HCO3 21-25 mMol/L dan BE -2 s/d
+2.
Penyimpangan ke arah acidosis (pH kurang dari 7,35) dan alkalosis (pH lebih dari
7,45) dapat disebabkan oleh gangguan pernapasan maupun gangguan metabInterprestasi
hasil
pemeriksaan gas darah dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Tentukan acidosis atau alkalosis
Apabila penyebabnya respiratorik, pC02 menyimpang searah dengan pH dan jika
BE menyimpang searah dengan pH penyebabnya metabolic
2. Tentukan apakah sudah terjadi usaha-usaha kompensasi dengan melihat pCO2
atau BE yang menyimpang ke arah yang berlawanan dengan pH. Usaha
kompensasi dengan menurunkan BE tidak boleh dikoreksi dengan Na bicarbonat.
Penyebab asidosis metabolik antara lain ketoacidosis yang terjadi pada pasien
diabet yang tidak diterapi dengan baik atau lactic acidosis akibat gangguan perfusi
jaringan oleh sebab cardiac, sepsis, perdarahan Alkalosis metabolic terjadi pada
pasien yang kehilangan cairan lambung dalam jumlah yang besar.
Terapi terhadap asidosis metabolic dan alkalosis metabolic adalah memperbaiki dan
mengatasi penyebab. Pada acidosis metabolik koreksi dilakukan dengan Na bicarbonate
memakai patokan rumus: dosis 1/3 x Berat Badan x BE (mEq) Jumlah ini mula-mula
diberikan separuhnya, sisanya diberikan ½ atau 1 jam kemudian. Sebaiknya dilakukan
pemeriksaan ulangan setelah terapi.
7.55

7,45

pH

45

35

pCO2

+2

BE

-2
ACIDOSIS
pH + pCO2 : respiratorik
p11 + BE : Metabolik

ALKALOSIS
D. Terapi Cairan Pada Kasus Bedah
Terapi cairan dilakukan sejak masa pra bedah, untuk mengatasi keadaan syok
karena dehidrasi dan perdarahan dan mengganti sebagian dari dehidrasi sedang dan
ringan.
Kekurangan cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan dan sedapat mungkin diganti masa pra bedah.
Pada pasien-pasien yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang adekuat
kualitatif maupun kuantitatif, terapi cairan dan nutrisi diberikan lebih dini lagi.
Hidrasi yang
cukup ini diperlukan untuk menghadapi trauma anestesi dan pembedahan, yaitu
kehilangankehilangan yang disebabkan perdarahan, edema jaringan karena manipulasi
dan penguapan
dari cavum peritoneum. Pada laparatomi terapi cairan pasca bedah ditujukan untuk
memenuhi
kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi, mengganti kehilangan cairan pada masa pasca
bedah
(cairan lambung, febris), melanjutkan penggantian deficit pra bedah dan selama
pembedahan,
koreksi terhadapt gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.
Sumber kehilangan cairan dan elektrolit pasca bedah
Kehilangan pada masa pasca bedah antara lain berasal dari febris, saluran
pencernakan dan hiperventilasi. Kebutuhan cairan dalam keadaan febris meningkat
sebanyak
15% setiap kenaikan 1oC suhu tubuh. Produksi cairan lambung yang berlebihan, muntah
dan
diarrhea akan menambah kebutuhan cairan dan elektrolit.
Hiperventilasi memperbesar pengeluaran air lewat paru-paru, sedang humidifikasi
udara kering mengambil sejumlah besar cairan tubuh . Hiperventilasi pada pasien
dengan
tracheostomi tanpa humidifikasi akan memperbesar kehilangan cairan. Kedua hal
tersebut
dapat menyebabkan kehilangan air 1-1,5 L/hari.
Tabel Fluid and electrolit in the acutely ill adult (Shoemaker, WC)
Electrolyte Concentrations (mEq/L)
Volume

CI

Na

PH

Saliva

1000-1500

10-20

6-30

10-40

5,5-7,8

Gastric juice

2000-2500
10-20

10-30

60-120

1.5-7.3

Hepatic bile

600-800

2-12

80-110

130-153

6.2-8.5

Pancreatic juice

700-1000

3-10

30-50

150-143

7.8-8.8

Duodenol secretions

300-800

2-10

70-120

90-140

5.8-7.5

Colonic mucosal secretions

200-500

3-10

60-90

140-148

7.8-8.0
Total

8000-10000

Selain koreksi cairan, elektrolit dan asam basa yang telah dijelaskan pada sub bab
sebelumnya, pada kasus pasca bedah perlu juga diperhitungkan asupan kalori mapun
nutrisi
parenteral.
Kalori
Pasien-pasien dengan keadaan umum baik dan trauma pembedahan yang minimal,
pemberian karbohidrat 100-150 gr sudah memadai. Jumlah ini cukup untuk memenuhi
kebutuhan sel-sel yang harus memakai glukosa sebagai sumber kalori, dan dapat
menekan
pemecahan protein sebanyak 50%. Pemberian kalori yang minimal ini berdasarkan
pertimbangan mengenai kesulitan-kesulitan pemakaian cairan hipertonis, yang
diperlukan
untuk mendapatkan jumlah asam amine dan kalori sesuai kebutuhan. Tersedianya
larutan
2,5% asam amine dengan 150 gr karbohidrat merupakan suatu pilihan baru, karena
dengan
osmolalitas dibawah 800 mOsm memungkinkan pemberian lewat vena perifer. Dilain
pihak,
penambahan asam amine ini dapat membuat N balance” mendekati” keseimbangan.
Kebutuhan basal air, elektrolit dan kalori pasca bedah pasien dengan operasi
herniotomy, berat badan 50 kg. Terapi cairan hari ke 0 pasca bedah dalam 24 jam
adalah: Air
2500 cc (50 x 50 cc), Na 60 mEq, K 0 mEq dan kalori 100gr glukosa.
Cairan 500 cc PZ atau PZ Dextrose 5% dengan 2000 cc Dextrose 5% akan
menghasilkan total cairan 2500 cc cairan dengan 80 mEq Na dan 125 gr glukosa.
Parenteral Nutrition
Pasien pasca bedah tanpa komplikasi yang tidak mendapat nutrisi sama sekali, akan
kehilangan protein 75-125 gr/hari. Pemberian karbohidrat saja 100-150 gr menekan
pemecahan ini sebanyak 50%. Pemberian kalori dalam jumlah minimal yang berlangsung
terus-menerus, akan kehilangan protein menjadi cukup besar. Albumin dan enzym
pencernaan mengalami penurunan yang lebih cepat, karena adanya proses metabolisme
yang
cepat. Hipoalbuminemia akan menyebabkan edema jaringan, infeksi dan dehisensi luka
operasi. Turunya enzym pencernaan akan menyulitkan proses realimentasi.
Total parenteral Nutrition bertujuan menyediakan nutrisi secara lengkap yaitu
kalori,
protein dan lemak termasuk unsure-unsure penunjang nutrisi elektrolit, vitamin dan
trace
element. Pemberian kalori sampai 40-50 Kcal/kg dengan protein 0,2-0,24 N/kg. Cairan
hipertonis yang mengandung semua unsur ini, memberikan beberapa masalah mengenai
teknik pemberian, akibat samping mapun monitoring.
Pada pasien yang diperkirakan realimentasi sesudah 3-5 hari, mengalami pembedahan
besar pada saluran pencernaan, keadaan umum/status gizi kurang baik diperlukan
pemberian
parenteral nutrisi. Pada kasus-kasus yang saluran pencernaannya memungkinkan,
gabungan
enteral dan prenteral nutrition merupakan suatu pilihan lain
E. Pemantauan
Terapi cairan ditetapkan berdasarkan, perhitungan cairan keluar masuk pemeriksaan
laboratorium dan tanda-tanda klinis. Perhitungan cairan masuk umumnya dilakukan
setelah
24 jam, kecuali pada keadaan khusus misalnya pasien dengan gagal ginjal, dilakukan
setiap 3
sampai 6 jam. Terapi cairan selama 1-2 hari tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium.
Bila berlangsung lebih dari 3 hari atau terdapat tanda-tanda klinis yang
mencurigakan,
minimal dilakukan pemeriksaan serum elektrolit. Tanda-tanda dehidrasi yang klasik,
kelemahan otot, bendungan vena leher melengkapi perkiraan berdasarkan perhitungan
cairan
keluar masuk.

2.3.5

Burns

Luka bakar mempunyai karakteristik yang berbeda dari kebanyakan luka yang lain.
Dimulai
dari cara penanganan, perawatan, kesembuhan serta dampak perubahan pada tubuh,
dimana
perubahan pada tubuh ini dapat terjadi secara lokal disekitar luka, mapun sistemik
hingga
dapat menyebabkan kegagalan organ tubuh. Kesembuhan yang tidak sempurna juga dapat
mengakibatkan kecacatan seumur hidup, oleh karena itu diperlukan penanganan dan
perawatan luka bakar yang lengkap dan menyeluruh guna menurunkan angka mortalitas
serta
morbiditas akibat luka bakar.
Berdasarkan penyebabnya, luka bakar dapat dikelompokkan menjadi berbagai jenis,
antara
lain adalah luka bakar karena api, air panas, bahan kimia, listrik/petir, sengatan
sinar matahari,
udara panas dan ledakan bom.
A. Derajat Luka Bakar
Kedalaman kerusakan luka bakar tergantung pada derajat sumber panas, penyebab, dan
lama
nya kontak dengan tubuh penderita. Derajat kedalaman luka bakar dibagi menjadi 3,
yakni:
1. Luka Bakar Derajat I
- Luka bakar terbatas pada lapisan epidermis (superficial)
- Kulit hiperemik/eritem
- Tidak tedapat bullae
- Terasa nyeri, dikarenakan ujung- ujung syaraf sensorik teriritasi
- Penyembuhan terjadi secara spontan tanpa pengobatan khusus.
2. Luka Bakar Derajat II
Berupa reaksi inflamasi yang disertai proses eksudasi. Dibedakan menjadi dua,
yakni:
a. Derajat II A (superficial)
- Mengenai epidermis dan lapisan atas dari dermis
- Organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebacea (benih
epitel) masih banyak
- Dijumpai bullae
- Terasa nyeri, dikarenakan ujung- ujung syaraf sensorik teriritasi
- Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari tanpa bentuk
cicatrik
b. Derajat IIB (deep)
- Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis
- Organ kulit (sisa jaringan epitel) tinggal sedikit
- Dijumpai bullae
- Terasa nyeri, dikarenakan ujung- ujung syaraf sensorik teriritasi
- Penyembuhan dapat disertai parut hipertrofi dan terjadi lebih lama, biasanya
lebih dari 1 bulan
3.Luka Bakar Derajat III
- Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam sampai
mencapai jaringan subkutan, otot, dan tulang
- Kulit yang terbakar berwarna abu –abu sampai dapat berwarna hitam kering.
- Seluruh organ kulit mengalami kerusakan, tidak tesisa lagi sisa elemen epitel
- Tidak dijumpai bullae
- Dijumpai eskar (koagulasi protein pada epidermis dan dermis)
- Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, karena ujung – ujung sensoris telah
rusak
- Penyembuhan terjadi lama karena tidak dijumpai epitelisasi spontan. Tindakan
graft
dan debridement hampir selalu diperlukan pada luka bakar derajat ini.
B. Luas Luka Bakar
Digunakan pembagian oleh Wallace, yang membagi bagian – bagian tubuh atas 9% atau
kelipatan dari 9%, disebut juga dengan Rule of Nine atau Rule of Wallace:

Dewasa

Gambar. Skema pembagian luas luka bakar Rule of Nine


C. Penatalaksanaan Penderita Luka bakar
Saat memeriksa pasien dengan luka bakar, diwajibkan memakai sarung tangan steril
untuk
meminimalisasi resiko infeksi pada penderita. Pemeriksaan dilakukan secara
menyeluruh
meliputi dari ABCDE pada primary survey dan dilanjutkan dengan secondary survey.
Airway dan Breathing
Bebaskan jalan napas. Lakukan manuver pembebasan jalan napas dengan tetap
memperhatikan ada tidaknya cedera cervical. Penderita luka bakar dapat juga
mengalami
trauma lain seperti trauma kepala ataupun trauma pada cervical spine. Penderita
luka bakar
dengan distress napas dapat dipertimbangkan untuk dilakukan intubasi endotracheal.
Selain
membebaskan jalan napas dan pemberian oksigen yang adekuat, evaluasi juga ada/
tidaknya
trauma inhalasi.
Trauma Inhalasi
Terjadi dikarenakan penderita menghirup langsung uap panas atau uap dari produk
yang
terbakar seperti jelaga dan bahas iritan khusus yang dapat menyebabkan kerusakan
mukosa
saluran napas dan bronchospasme reaktif. Kerusakan mukosa ini diikuti dengan adanya
proses inflamasi yang menyebabkan edema saluran napas, diperparah dengan
peningkatan
debris endobronchial yang tidak bisa dikeluarkan akibat kerusakan system klirens
silier,
sehingga menyebabkan obstruksi jalan napas yang progresif. Mikroatelektasis difus
dapat
juga terjadi karena hilangnya surfactant dan edema alveolar.
Penderita patut dicurigai mengalami trauma inhalasi:
1. Terjadi pada ruang tertutup (terjebak didalam ruangan terbakar)
2. Luka bakar pada perioral, hidung, bibir, mulut dan tenggorokan
3. Sputum tercampur arang (jelaga)
4. Penurunan kesadaran
5. Rasa tercekik, tersedak, suara serak/ batuk, malas bernapas, rasa tidak nyaman
pada
mata atau tenggorokan (iritasi mukosa)
6. Tanda – tanda distress napas
7. Wheezing/stridor pada suara napas, takipneu, sampai sesak.
Selain menghirup langsung udara panas, penderita dapat juga mengalami intoksikasi
asap yang toksik, misalnya; hydrogen sianida, nitrogen dioksida, nitrogen klorida,
akreolin,
yang juga dapat menyebabkan iritasi mukosa saluran napas serta bronkokonstriksi.
Sehinggga
obstruksi jalan napas akan lebih hebat akibat trakeal bronkitis dan edema saluran
pernapasan.
Intoksikasi karbon monoksida juga tidak dapat dipisahkan pada kejadian trauma
inhalasi. Gas CO mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap Hb dibandingkan
dengan O2.
Hal ini akan mengakibatkan terbentuk nya karboksihemoglobin (COHb) yang tinggi,
sehingga distribusi O2 ke jaringan menurun dan terjadi hipoksia jaringan/sel. Kadar
COHb
dalam darah dapat diukur, sehingga juga dapat digunakan untuk menunjang diagnose
trauma
inhalasi.
Hipoksia jaringan yang progesif pada trauma inhalasi akan membawa penderita dalam
keadaan ARDS yang mengancam nyawa. Oleh karena itu, tindakan intubasi endotrakeal
hendaknya segera dipertimbangkan untuk menciptakan patensi dari jalan napas dan
oksigenasi yang memadai.
Indikasi intubasi pada luka bakar antara lain; Adanya luka bakar sirkumferensial
pada
leher, luka bakar pada wajah, edema laring atau faring (stridor), penurunan
kesadaran,
kehilangan reflek jalan napas, keracunan karbon monoksida dan sianida, luka bakar
>40%
(resiko laryngeal edema sebagai bagian dari edema menyeluruh pada luka bakar luas),
terdapat tanda- tanda ARDS. Pipa endotracheal yang digunakan dipilih yang terbesar
agar
dapat dilakukan bronchial toilet dan bronchoscopy dengan mudah.
Pada kasus yang berat mungkin memerlukan ventilasi mekanis, yang dilakukan
dengan teknik khusus seperti HFO (High Frequency Oscilation) atau protective
ventilation
strategy dengan permissive hypercapnea untuk menjamin oksigenasi dan mencegah
timbulnya kerusakan paru lebih lanjut karena pasien luka bakar lebih sensitive
terhadap
barotrauma.
Circulation
Pada luka bakar berat (derajat II atau III dengan luas >20%), terjadi perubahan
permeabilitas kapiler sistemik yang diikuti oleh ekstravasasi cairan ke jaringan
interstitial.
Sehingga hipovolemik intravaskuler dan edema interstitial menjadi masalah utama
dalam
penanganan sirkulasi penderita luka bakar. Hipovolemik intravaskuler menyebabkan
perfusi
ke bagian distal tubuh semakin menurun sehingga memperburuk oksigenasi jaringan,
jika
proses ini terus berlanjut, penderita akan mengalami syok.
Mekanisme syok pada luka bakar berat dapat juga terjadi karena penurunan cardiac
ouput hingga 50% dalam 30 menit pertama sebagai respon dari vasokonstriksi general
tubuh,
yang dapat berakibat pada normovolemik hipoperfusi (burn shock).
Prognosis penderita bergantung pada terapi cairan dan pengembalian hemodinamik
penderita. Jika cairan telah kembali tercukupi, fungsi jantung dapat kembali dalam
48 jam,
dan selanjutnya akan berlanjut pada fase hiperdinamik fisiologis sebagai respon
dari proses
penyembuhan.
Angka kematian pada penderita luka bakar sangat dipengaruhi oleh kecepatan
penanganan resusitasi cairan untuk mengatasi syok hypovolemia. Keterlambatan
resusitasi
cairan dapat menyebabkan renal failure, sepsis, dan multiple organ failure. Selain
itu
penanganan segera dari pembedahan untuk eksisi jaringan nekrosis juga sangat
berpengaruh
pada angka kematian.
Terapi cairan diperlukan pada penderita luka bakar dewasa dengan luas luka bakar
>20% TBSA, sedangkan pada anak >10% TBSA. Tujuan resusitasi adalah memberikan
cairan
dan elektrolit, namun dengan meminimalisasi edema, sehingga perfusi dan oksigenasi
jaringan adekuat yang pada akhirnya organ tubuh dapat berfungsi dengan baik.
Pemberian cairan yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi yang serius,
karena dapat berakibat terjadinya circulatory overload, edema paru, dan pleural
effusion.
Pada pasien dewasa kadang terjadi abdominal compartment syndrome (tekanan intra
abdominal > 25 mmHg). Hal ini dapat mengakibatkan turunnya compliance paru,
mengganggu pengembangan paru, menaikkan tahanan jalan napas, menurunkan venous
return, mengganggu cardiac output, menyebabkan oliguria, dan juga dapat menyebabkan
edema otak terutama pada anak.
Berbeda dengan traumatic injury yang lain, hipovolemia pada luka bakar terjadi
secara bertahap dan dapat diprediksi, sehingga resusitasi yang diberikan juga harus
bertahap
dan dilakukan selama 24 jam. Bermacam-macam rumus dipakai untuk melakukan
resusitasi
hipovolemia pada luka bakar. Hal itu tergantung dari rumah sakit dan pengalaman
dari
pengelola burn unit. Rumus yang sering digunakan adalah Parkland Formula atau juga
dikenal sebagai Formula Baxter, rumus ini telah digunakan dan diajarkan pada
Advanced
Trauma Life Support dan Emergency Medicine for severe burn di Amerika.
Terapi cairan pada luka bakar menggunakan Formula Baxter, dengan menggunakan
jarum besar melalui kateter intravena disambungkan ke cairan Ringer Laktat. Yakni:
Ringer laktat 4cc x Berat Badan x % luas luka bakar
Cara pemberian:
50% kebutuhan cairan total 24 jam pertama diberikan pada 8 jam pertama
50% kebutuhan cairan total 24 jam pertama diberikan pada 16 jam berikutnya
Komplikasi berupa edem paru dan pneumonia dapat terjadi akibat resusitasi cairan
yang
berlebihan, sehingga pemberian cairan pada penderita luka bakar harus dicatat dan
dimonitor
ketat melalui produksi urin.
Contoh:
Penderita perempuan dengan berat badan 40 kg, mengalami luka bakar lebih dari
grade 2, dengan luas luka bakar 50% (perhitungan menggunakan rule of nine), maka
defisit
cairan berdasarkan Parkland Formula/Baxter yang akan diberikan dalam 24 jam
adalah :
4ml x 40 x 50 (% burn surface area) = 8000ml
4000ml RL diberikan dalam 8jam pertama
4000ml RL sisanya diberikan dalam 16 jam
Pada resusitasi luka bakar harus dihindari penggunaan cairan normal saline karena
dapat
menimbulkan hiperchloremic metabolic acidosis.
Disability
Dilakukan pemeriksaan tingkat kesadaran maupun trauma kepala yang mungkin dapat
menyertai penderita luka bakar.
Exposure
Periksa titik kontak utama pada luka bakar. Terutama jika luka bakar disebabkan
karena sengatan listrik, periksa apakah melewati garis tengah tubuh, tempat titik
masuk dan
keluar nya aliran listrik dalam tubuh. Luka bakar akibat sengatan listrik dapat
mengakibatkan
gangguan irama jantung, rabdomyolisis, thrombosis maupun oklusi kapiler berat.
Karakteristik primer pada penderita luka bakar adalah ketidakmampuan untuk
meregulasi suhu tubuh, sehingga hipotermi seringkali menjadi permasalahan utama.
Oleh
karena itu, lingkungan resusitasi pada penderita luka bakar harus terus dijaga
mendekati
temperature tubuh.
D. Monitoring Penderita Luka Bakar
Monitoring penderita luka bakar meliputi:
1. Vital Sign
2. Produksi Urin, sebagai indikasi resusitasi cairan adekuat. (0,5-1,0 ml/kg/jam)
3. pH darah, kadar HbCO
4. Laboratorium, meliputi:
Serum elektrolit, plasma albumin, total protein, hematocrit, hemoglobin, urin
sodium, fungsi liver, fungsi ginjal, gas darah dan pemeriksaan sesuai indikasi
spesifik penderita.
5. Penilaian fungsi paru,
Pemeriksaan fisik terhadap fungsi paru perlu diobservasi tiap jam untuk
mengetahui adamya perubahan yang terjadi antara lain; stridor, wheezing,
bronkospasme, atau dyspnea yang dapat merupakan gejala impending
obstruksi.
6. Penilaian gastrointestinal,
Monitoring gastrointestinal setiap 2-4 jam dengan melakukan auskultasi
untuk mengetahui bising usus dan pemeriksaan secret lambung untuk
mengetahui adanya tanda- tanda Culing’s ulcer.
Pada penderita luka bakar anak, dewasa dengan luka bakar melingkari perut,
dan penderita yang menerima resusitasi cairan melebihi 6mL/kg/%luka bakar
beresiko untuk mengalami Abdominal Compartment Syndrome. Dekompresi
rongga abdomen diindikasikan jika tekanan intra-abdomen mencapai 20
mmHg
7. Penilaian Luka,
Bila dilakukan perawatan luka secara tertutup, dinilai apakah kassa basah,
terdapat tanda pus atau cairan berbau.
E. Anestesi Pada Luka Bakar
Intubasi trakea pada periode awal luka bakar (48 jam pertama) dapat menggunakan
suksinil kolin sebagai pelumpuh otot. Pada penderita dengan luka bakar berat (luas
>20%),
kerusakan pada neuromuscular end plates diikuti dengan up-regulasi dari reseptor
asetilkolin.
Pemberian suksinil kolin pada periode lebih dari 48 jam dapat mengakibatkan
peningkatan
letal kadar potassium serum.
Analgesia pada penderita luka bakar memerlukan pendekatan multimodal, mengingat
adanya toleransi terhadap opioid dan komplikasi psikososial. Regional anestesi
dapat
dipertimbangkan, walaupun pada kondisi akut teknik anestesi ini dapat menimbulkan
masking effect terhadap gejala klinis maupun tanda – tanda dari compartment
syndrome.
2.4 Kegawatan Disability
Dalam penanganan kegawatdaruratan (primary survey) semua tindakan yang
dilakukan tujuan utamanya adalah untuk menjamin suplai oksigen ke otak. Hal ini
dikarenakan otak memiliki peran yang sangat penting dalam metabolisme tubuh manusia
secara keseluruhan. Selain itu juga, karakteristik otak yang sangat rentan di mana
ketiadaan
oksigen lebih dari 5-20 menit saja sudah mulai menimbulkan kematian sel-selnya;
maka hal
inilah membuat otak menjadi prioritas dalam penanganan kegawatdaruratan. Jadi pada
prinsipnya, semua tindakan yang dilakukan selama primary survey, goal/tujuan
utamanya
adalah menjamin oksigenasi otak.
Pemeriksaan yang penting dalam penilaian fungsi Neurologi/Brain/Dissability
adalah penilaian kesadaran. Pemeriksaan kesadaran yang lazim digunakan dalam
kegawatdaruratan adalah pemeriksaan dengan metode AVPU dan metode GCS (Glasgow
Coma Scale-Score).
2.4.1. Penilaian Derajat Kesadaran Dengan Metode Avpu
Saat pertama kali kita menerima pasien gawat maka langkah pertama kita pasti adalah
“tegur sapa” terhadap pasien. Dari “tegur sapa” ini kita bisa menilai kesadaran
pasien
secara cepat. Ini adalah bagian dari metode AVPU. Jika dipanggil(tegur sapa) tidak
memberikan respon maka bisa dilanjutkan dengan memberikan rangsang nyeri di
bagianbagian tubuh yang bisa menimbulkan rangsang nyeri yang adekuat, misalnya: di
sternum,
supra orbita atau glabella, dan pangkal kuku pasien. Kadang-kadang ada yang
memberikan rangsang nyeri di areola mammae, rangsangan di areola mammae memang
adekuat untuk menimbulkan nyeri, tapi hal ini perlu hati-hati terutama pada pasien
wanita karena pemeriksa bisa dianggap melakukan pelecehan saat ada orang/keluarga
yang melihat.
Untuk interpretasi AVPU adalah sebagai berikut:
Alert/Awake.
Pada pasien normal, sadar baik, bisa diajak komunikasi/bicara dengan baik.
Verbal Responds
Kesadaran menurun, tampak tidur/terpejam tapi terbangun dengan membuka
mata saat namanya dipanggil.
Pain Responds
Kesadaran menurun, tampak tidur/terpejam, dan tidak terbangun ketika
dipanggil dan baru memberi respon (dengan membuka mata atau
menggerakkan anggota tubuh) ketika dirangsang nyeri.
Unresponsive.
Tidak ada respon apapun dengan rangsangan apapun(verbal maupun pain).
2.4.2 Penilaian Derajat Kesadaran Dengan Metode Gcs
Penilaian GCS ini baru dilakukan saat secondary survey. Pemeriksaan GCS ini
merupakan pemeriksaan yang lebih detail daripada pemeriksaan AVPU, dan bersifat
kuantitatif. Kegunaan utama dari pemeriksaan GCS ini adalah untuk menilai kesadaran
pada kasus-kasus trauma terutama trauma kepala. Dampak dari suatu trauma kepala
adalah adanya Cedera Otak Primer (edema otak, dan perdarahan yang akan
mengakibatkan peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK); dan adanya Cedera Otak
Sekunder (yaitu semakin beratnya cedera otak setelah terjadi cedera primer yang
disebabkan oleh hal-hal berikut: hipoksia, hiperkarbia, hipovolemia, batuk,
mengejan
dan semua hal yang akan meningkatkan tekanan intra thoraks, dan intra abdomen yang
mengakibatkan peningkatan TIK).
Yang penting yang perlu diingat dari pemeriksaan GCS ini adalah bahwa GCS ini
digunakan untuk memprediksi prognosis pasien. Jika GCS pasien baik(atau pada
awalnya baik/lucid interval pada EDH) maka akan mempunyai prognosis yang baik jika
segera dilakukan tindakan).
Ketika kita ragu-ragu tentang nilai GCS yang kita lakukan maka tetapkan harga yang
jika
salah tetap tidak akan merugikan pasien. Dalam hal ini jika GCS rendah berakibat
kita
harus melakukan tindakan yang invasif, maka berikan nilai rendah; dan jika GCS
tinggi
memberikan harapan yang lebih baik, maka berikan nilai tinggi agar dilakukan upaya
medik yang maksimal.
Perlu diingat bahwa pemeriksaan GCS ini dilakukan jika pasien: tidak di bawah
pengaruh obat sedatif, pelumpuh otot, narkotik, alkohol, tidak hipotermia,
hipotensi,
shock, hipoksia, dan diukur jika masalah di primary survey sudah diterapi dengan
baik.
Jadi pemeriksaan ini harapannya dapat menilai fungsi otak murni, tanpa ada
kelainankelainan lain yang saat itu berpengaruh pada otak.
Penilaian GCS
Penilaian GCS meliputi respon mata, bicara/verbal, dan gerak/motorik. Pemeriksaan
dilakukan dengan memberikan rangsang nyeri pada daerah-daerah yang menimbulkan
nyeri yang adekuat, dan dinilai dari nilai terbaiknya. Skor maksimal adalah 15
dengan
rincian: E (eye opening responses)= 4, V (verbal responses)= 5, dan M (Motoric
Responses)= 6 pada sisi yang terkuat.
E Score:
4 : membuka mata spontan (normal)
3 : membuka mata bila diminta
2 : membuka mata bila diberikan rangsangan nyeri
1 : tidak membuka mata meskipun diberikan rangsangan nyeri
V Score:
5 : mempunyai orientasi (orang, tempat, waktu) yang baik terhadap
pertanyaanpertanyaan yang diajukan
4 : memberi jawaban terhadap pertanyaan tetapi bingung, tidak sesuai dengan
pertanyaan (confused conversation)
3 : memberi jawaban terhadap pertanyaan tetapi hanya berupa kata-kata yang tidak
jelas
(inappropriate words)
2 : bersuara yang tidak jelas (incomprehensible sounds), misalnya erangan.
1 : diam, tidak ada suara sama sekali.
M Score
6 : menurut pada perintah, menggerakkan anggota tubuh sesuai perintah (Obeys
command)
5 : dapat menggerakkan anggota tubuhnya ke arah rangsang nyeri berusaha menangkis
(localise to pain)
4 : dapat menggerakkan anggota tubuhnya yang dirangsang nyeri untuk menjauhi
rangsang nyeri tersebut (withdraws to pain)
3 : adanya gerakan fleksi abnormal terhadap rangsang nyeri (Abnormal Flexion)
2 : adanya gerakan ekstensi terhadap rangsang nyeri(Extensor Respons)
1 : tidak ada gerakan sama sekali meskipun telah diberi rangsang nyeri yang adekuat
2.4.3 Penanganan
Pada prinsipnya, penanganan pada Brain/Dissability adalah:
1. Tindakan untuk menjamin oksigenasi ke otak yang cukup
2. Mencegah terjadinya Peningkatan Tekanan Intra Kranial.
Pada kasus trauma maka tujuan lain dari tindakan pertolongan terhadap pasien adalah
untuk mencegah terjadinya Cedera Otak Sekunder.
Hal ini dilakukan dengan cara:
1. Menjaga Airway-nya tetap bebas, juga saat melakukan suctioning tidak boleh
terlalu
agresif sehingga mengakibatkan oksigen tersedot. Pada kecurigaan Cervical Injury
pasien diposisikan in-line position
2. Memberikan support Breathing berupa oksigenasi yang adekuat, cegah hipoksia &
hiperkarbia
3. Menjaga agar Circulationnya tidak mengalami shock
4. Memposisikan kepala lebih tinggi 30º
5. Penanganan penyebab terjadinya coma (trauma, non-trauma)
6. Jangan menggunakan obat-obat anestesi yang dapat meningkatkan TIK (misal:
halothan, ketamin, morfin).
Bahan Bacaan
1. American Burn Association. Advance Burn Life Support Provider’s manual. 2001
2. Dripps RD, Ekkenhoff JE,Vandam LD, Intreocduction to Anesthesia. 7th edition.W.B
Saunders Company. Phladelpia-London Toronto,1988. Hal: 389-402
3. Edward Morgan Jr, Maged S Mikhail. Clinical Anesthesiology Fifth Edition a Lange
Medical Book. 2013.
4. Ipaktchi K, Arbabi S: Advance in burn critical care. Crit Care Med 2006; 34-S239
5. Eddy Rahardjo. Kumpulan Materi Kuliah Kegawatdaruratan Anestesi untuk S1
Kedokteran Universitas Airlangga. 2012.
6. Karjadi Wiroatmodjo. Anestesiologi dan Reanimasi – Modul dasar. Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 1999/2000.
7. Puger Rahardjo. Penanganan Luka Bakar. Departemen Anestesiologi dan
ReanimasiRSUD Dr.Soetomo-Universitas Airlangga Surabaya. 2013

Anda mungkin juga menyukai