Kegawatan Airway
Kegawatan Airway
b.
c.
d.
Adanya cairan berupa muntahan, darah, atau yang lain dapat menyebabkan aspirasi
e.
Head Tilt
Dilakukan dengan cara meletakkan 1 telapak tangan pada dahi pasien, pelan-pelan
tengadahkan kepala pasien dengan mendorong dahi ke arah belakang sehingga kepala
menjadi sedikit tengadah (slight Extention).
Chin Lift
Dilakukan dengan cara menggunakan jari tengah dan jari telunjuk untuk memegang
tulang dagu pasien, kemudian angkat dan dorong tulangnya ke depan. Jika korban
anak-anak, gunakan hanya jari telunjuk dan diletakkan di bawah dagu, jangan terlalu
menengadahkan kepala.
Chin lift dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan.
Tindakan ini sering dilakukan bersamaan dengan tindakan head tilt. Tehnik ini
bertujuan membuka jalan napas secara maksimal.
Perhatian : Head Tilt dan Chin Lift sebaiknya tidak dilakukan pada pada pasien
dengan dugaan adanya patah tulang leher; dan sebagai gantinya bisa digunakan teknik
jaw thrust.
Jaw Thrust
Jika dengan head tilt dan chin lift pasien masih ngorok (jalan napas belum terbuka
sempurna) maka teknik jaw thrust ini harus dilakukan. Begitu juga pada dugaan patah
tulang leher, yang dilakukan adalah jaw thrust (tanpa menggerakkan leher). Walaupun
tehnik ini menguras tenaga, namun merupakan yang paling sesuai untuk pasien
trauma dengan dugaan patah tulang leher.
Caranya adalah dengan mendorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah atas sehingga
barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas. Tetap pertahankan mulut
korban
sedikit terbuka, bisa dibantu dengan ibu jari.
Gambar 2.1 Manuver jaw thrust hanya dilakukan oleh orang terlatih
Pembebasan Jalan Napas Dengan Alat
Cara ini dilakukan bila pengelolaan tanpa alat yaitu secara manual tidak berhasil
sempurna atau pasien memerlukan bantuan untuk mempertahankan jalan napas dalam
jangka waktu lama bahkan ada indikasi pasien memerlukan definitive airway. Alat
yang
digunakan bermacam-macam sesuai dengan jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien
yang intinya bertujuan mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka.
a. Oropharyngeal Tube (pipa orofaring)
Pipa orofaring digunakan untuk mempertahankan jalan napas tetap terbuka
dan menahan pangkal lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan
napas pada pasien tidak sadar. Yang perlu diingat adalah bahwa pipa orofaring ini
hanya boleh dipakai pada pasien yang tidak sadar atau penurunan kesadaran yang
berat (GCS ≤ 8).
Teknik Pemasangan Oropharyngeal Tube
Siapkan pipa orofaring yang tepat ukurannya. Bersihkan dan basahi agar licin.
Ukuran yang tepat dapat diperoleh dengan cara mencari pipa orofaring yang
panjangnya sama dengan jarak dari sudut bibir sampai ke tragus atau dari
tengah bibir sampai ke angulus mandibula pasien.
Buka mulut pasien (chin lift atau gunakan ibu jari dan telunjuk).
Arahkan lengkungan menghadap ke langit-langit (ke palatum). Masuk
separoh, putar 180º (sehingga lengkungan mengarah ke arah lidah).
Dorong pelan-pelan sampai posisi tepat. Pada anak-anak arah lengkungan
tidak perlu menghadap ke palatum tapi langsung menghadap bawah dan
untuk lidahnya ditekan dengan tongue spatle.
Yakinkan lidah sudah tertopang pipa orofaring, lihat, dengar, dan raba
napasnya.
b. Nasopharyngeal Tube (pipa nasofaring)
Untuk pipa nasofaring kontra indikasi relatifnya adalah adanya fraktur basis cranii
yang ditandai dengan adanya brill hematon, bloody rhinorea, bloody otorea, dan
battle sign.
Size 1
: < 5 kg
Size 1.5
: 5 s.d 10 kg
Size 2
: 10 s.d 20 kg
Size 2.5
: 20 s.d 30 kg
Size 3
Size 4
: Adult/Dewasa
Size 5
: Large adult(dewasa besar)/poor seal with size 4
2. Pengecekan LMA
Sebelum digunakan, periksa dulu apakah ada kebocoran/tidak dengan cara
mengembang kempiskan cuffnya
3. Pemberian jelly (water soluble) pada bagian belakang Mask LMA
4. Ekstensikan kepala dan fleksikan daerah leher
Teknik Pemasangan LMA:
1. Pegang tube LMA, seperti memegang pena sedekat mungkin dengan bagian
akhir masker LMA.
2. Letakkan ujung LMA pada bagian dalam mulut pasien, di atas gigi (hard
palate)
3. Dengan sedapat mungkin melihat secara langsung Tekan ujung masker ke arah
atas menyusuri hard palate
4. Dengan jari telunjuk, tetap susuri searah dengan palatum sampai masker LMA
masuk faring. Pastikan ujung LMA tetap kempes dan hindari mengenai lidah
5. Jaga leher tetap dalam posisi fleksi dan kepala eksntensi, Tekan masker ke
arah dinding faring posterior dengan menggunakan jari telunjuk
6. Lanjutkan mendorong LMA dengan jari telunjuk, arahkan mask LMA ke
bawah sesuai posisi yang diharapkan
7. Pegang tube LMA dengan tangan yang lain, Tarik jari telunjuk dari faring
8. Secara gentle tangan yang lain menekan LMA ke bawah sampai benar-benar
mask LMA sudah masuk sepenuhnya.
9. Kembangkan masker LMA sesuai dengan udara sesuai volume yang
direkomendasikan. Berikut volume maksimal dari pengembangan cuff:
Size 1
: 4 ml
Size 1.5
: 7 ml
Size 2
: 10 ml
Size 2.5
: 14 ml
Size 3
: 20 ml
Size 4
: 30 ml
Size 5
: 40 ml
10. Jangan sampai masker LMA over-inflate
11. Jangan menyentuh tube LMA selama dikembangkan, kecuali posisinya tidak
stabil.
12. Secara normal Masker LMA akan naik ke hipofaring saat dikembangkan
berada pada posisi yang tepat.
13. Hubungkan LMA dengan BVM atau low pressure ventilator
14. Ventilasi pasien sambil mendengarkan suara napas simetris atau tidak,
pastikan tidak ada suara udara masuk ke lambung
15. Masukkan bite block atau kasa gulung untuk mencegah oklusi tube karena
tergigit pasien
16. Fiksasi LMA
e. Krikotiroidotomy
Untuk sumbatan yang terjadi karena masalah di laring/plica vocalis, maka
dapat dilakukan krikotiroidotomy.
Ada 2 jenis krikotiroidotomy:
-
Krikotiroidotomy
dengan
pembedahan,
dengan
pisau
(Surgical
Cricothyroidotomy).
Cara ini dipilih pada kasus pemasangan pipa endotracheal tidak mungkin
dilakukan, dipilih tindakan krikotiroidotomy dengan jarum. Untuk petugas medis
yang terlatih dan terampil dapat melakukan krikotiroidotomy dengan pisau.
Krikotiroidotomy Dengan Jarum
Alat
1. Jarum infus ukuran besar, no 14
2. Sput 10 cc
3. Aquades/PZ
4. Alkohol swab
5. Sumber Oksigen dan selang
Teknik
1. Cari titik tusuknya dengan cara: dari jakun (Thyroid Cartilage, Adam’s Apple)
raba ke bawah sampai ada cekungan yang disebut membrana cricothyroidea,
inilah titik tusuknya. Di bawah titik tusuk ini ada ring yang agak lebih besar dari
ring tulang trakhea (Cricoid Cartilage).
2. Isi Spuit dengan Aquades/PZ
3. Desinfeksi daerah tusukan dengan alkohol swab
4. Tusuk di membrana cricothyroidea dengan arah ke bawah untuk menghindari
melukai pita suara. Menusuk sambil menaril piston dari spuit. Jika sudah keluar
gelembung berarti sudah masuk jalan napas.
5. Selanjutnya cabut jarum sisakan kanul infus yang di dalamnya.
6. Sambungkan kanul tersebut dengan selang oksigen untuk selanjutnya pasien diberi
oksigen aliran 10 lpm dengan sistem jet insuflasi (4:1).
7. Teknik ini hanya bertahan 10 menit karena jika terlalu lama akan terjadi
penumpukan karbondioksida.
8. Untuk
itu
tindakan
ini
perlu
dilanjutkan
dengan
teknik
Surgical
Kasa.
Gunting.
Teknik
1. Jelaskan pada penderita bila pasien masih sadar (inform consent).
2. Pilih ukuran kanula trakheostomi yang sesuai.
3. Atur posisi pasien
a. Netral, pasang penyangga leher (collar splint) pada pasien dengan cedera leher.
b. Ekstensi pada kasus tanpa cedera leher.
4. Pakai baju, masker, kaca mata, sarung tangan.
5. Desinfeksi leher, tutup leher dengan kain steril berlubang.
6. Berikan anestesi lokal.
7. Tentukan letak membran krikoid.
Insisi pada membran 2 – 3 cm menembus sampai rongga trakhea dengan sudut
30 – 40 derajat ke bawah untuk menghindari cedera pita suara.
8. Perlebar dengan pangkal scalpel putar tegak lurus atau pergunakan klem atau
spekulum (dilatator).
9. Pasang kanula trakheostomi/kembangkan balon (cuff).
10. Berikan ventilasi dengan 100% O2.
11. Cek segera patensi jalan napas.
12. Pasang pita pengikat kanula.
13. Cek foto X-ray (bila fasilitas memungkinkan).
2.1.3
Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang disilangkan
dan
menekan gigi atas dan bawah. Bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing
dalam
rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari(finger sweep).
Kegagalan
membuka napas dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan jalan
napas
di daerah faring atau adanya henti napas (apnea). Bila hal ini terjadi pada
penderita tidak
sadar, lakukan peniupan udara melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka
kemungkinan ada sumbatan total pada jalan napas dan dilakukan pijat jantung.
a. Membersihkan Jalan Napas karena Cairan
Membersihkan Jalan Napas Secara Manual (Finger Sweep)
Membersihkan jalan napas secara manual dapat dilakukan dengan sapuan jari (finger
sweep). Dilakukan bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing pada rongga
mulut
belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya
sehingga
hembusan napas hilang (tersumbat).
Cara melakukannya :
Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher) kemudian buka
mulut
dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot rahang lemas (maneuver emaresi)
Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus dengan
sarung
tangan/kassa/kain (jangan tisu atau kertas karena mudah hancur dan malah akan
memperburuk sumbatan jalan napas) untuk membersihkan rongga mulut dengan gerakan
menyapu.
Gambar 1.6 Teknik finger sweep
Membersihkan benda asing cair dalam jalan napas menggunakan alat pengisap
(suction)
Bila terdapat sumbatan jalan napas karena benda cair yang ditandai dengan
terdengar suara tambahan berupa “gargling”, maka
(suctioning).
Abdominal thrust.
Chest thrust.
Back blow.
Tidurkan terlentang.
laringoskop
Hipotermia
Hipertermia
Eklampsia
Luka bakar
2. Pulmonal :
Pneumonia ( Viral, bakteri, jamur, penumosistik karinii )
Trauma ( emboli lemak, kontusio paru )
Aspirasi ( cairan gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon )
Pneumositis
3. Non-Pulmonal :
Cedera kepala
Peningkatan TIK
Pascakardioversi
Pankreatitis
Uremia
Pencegahan infeksi
Ventilasi mekanik
Dukungan nutrisi
TEAP
Cairan
Farmakologi (O2,diuretik,antibiotik)
2.3.1
Syok
1. Syok hipovolemi
2. Syok cardiogenic
3. Syok septic
4. Syok neurogenic
B.
1. Syok hipovolemik
2. Syok cardiogenic
3. Syok obstruktif
4. Syok distributif
C.
1. Syok hemorrhagic
2. Syok non hemorrhagic
Adanya banyak macam pembagian syok dapat merupakan tanda bahwa pemahaman
tentang syok masih belum lengkap. Pembagian menurut klasifikasi A cukup banyak
digunakan.
B.1 Syok Hipovolemik
Syok dapat disebabkan karena tubuh kehilangan darah, plasma atau cairan tubuh yang
lain, misalnya: pembedahan, trauma, luka bakar, muntah atau diare. Kehilangan
cairan pada
rongga ketiga tubuh yang biasa disebut dengan third space loss juga dapat
mengakibatkan
syok, misalnya: peritonitis, pancreatitis, dan ileus obstuksi.
B.2 Syok Kardiogenik
Gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena disfungsi jantung, misalnya
karena: Akut Miokard Infark, Cardiomyopati, Aritmia, Payah jantung, Tamponade
jantung
dan Trauma jantung.
B.3 Syok Septic
Syok septic didefinisikan sebagai sepsis yang menyebabkan hipotensi yang tidak
respon terhadap resusitasi cairan yang adekuat.
B.4 Syok Neurogenik
Gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena disfungsi system saraf simpatis,
sehingga tejadi vasodilatasi pembuluh darah, misalnya pada: Trauma tulang belakang,
spinal
syok dan anestesi yang terlalu dalam.
B.5 Syok Anafilaktik
Gangguan perfusi jaringan sebagai respon dari masuknya allergen (misal: antibiotic)
kedalam tubuh yang dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas tipe I. Gejala dapat
timbul sangat
cepat, yang ditandai dengan distress napas akut, syok, maupun keduanya. Mediator
terpenting
yang terlibat dalam proses anafilaktik adalah histamine, leukotriene, basophil
kalikrein (BKA), and platelet- activating factor. Mediator – mediator tersebut
mengakibatkan peningkatan
permeabilitas vaskuler dan kontraksi otot polos. Aktivasi dr reseptor H1
menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus, sedangkan reseptor H2 sebabkan vasodilatasi,
meningkatkan
sekresi mucus, takikardi, dan meningkatkan kontraktilitas miokard; BK- A memecah
bradikinin dari kininogen, bradikinin menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskuler,
vasodilatasi dan kontraksi otot polos. Aktivasi dari factor Hageman juga terlibat
dalam
mengawali koagulasi intravaskuler. Eosinophil chemotactic factor, neutrophil
chemotactic
factor, dan leukotriene B menyebabkan terjadinya proses inflamasi sel yang
berakibat pada
injury jaringan. Angioedem yang terjadi pada laring, faring dan trakea menyebabkan
sumbatan jalan napas bagian atas, sedangkan bronkospasme dan edema mukosa berakibat
pada sumbatan jalan napas bagian bawah. Transudasi cairan dari kulit (angioedema)
dan
visera, menyebabkan hipovolemia dan syok, dimana vasodilatasi arterial menurunkan
tahanan vaskuler sistemik. Hipoperfusi coroner dan hipoksia arteri menyebabkan
aritmia dan
iskemik miokard. Leukotrien dan prostaglandin juga dapat menyebabkan vasospasme
dari
pembuluh darah coroner. Syok dari sirkulasi yang berkepanjangan dapat berakibat
pada
asidosis asam laktat dan iskemia dari organ – organ vital.
Jenis syok ini dapat diakibatkan oleh kontras media, obat, makanan, reaksi
transfusi,
sengatanserangga maupun gigitan ular berbisa.
C. Tanda dan Gejala Syok
Sistem pernapasan
Sistem sirkulasi
Sistem ginjal
Sistem pencernaan
: Mual, muntah.
D. Tatalaksana
Tatalaksana syok tergantung pada penyebabnya, namun terdapat prinsip penanganan
utama
pada syok, yakni:
1.
2.
3.
2.
3.
Gunakan pompa
Klinis
Nadi normal/ sedikit meningkat
Pengelolaan
Penggantian volume cairan
yang
3-5% BB
kristaloid
Dehidrasi Sedang:
Nadi cepat
yang
6-8% BB
kristaloid
hilang
hilang
dengan
dengan
Dehidrasi Berat:
yang
>8% BB
kristaloid
hilang
dengan
Syok Hipovolemi, Perdarahan
Perdarahan dalam jumlah besar melebihi 15% volume darah, akan menyebabkan perubahan
fungsi tubuh sehingga jatuh dalam kondisi syok. Satu jam pertama masa syok sering
disebut
“the golden hour”. Pertolongan harus cepat dilakukan, yakni dengan menghentikan
perdarahan dan mengganti kehilangan darah dengan infuse cairan.
Tabel. Klasifikasi perdarahan berdasar ATLS
2.3.2
merupakan salah satu penyulit selama anestesi dan pasca bedah dini. Perdarahan
dapat
ditolong dengan memberikan larutan Ringer Laktat atau Normal Saline dalam jumlah
besar.
Lahir istilah ”Hemodilusi” karena selama darah yang hilang diganti cairan,
terjadilah
pengenceran darah dan unsur-unsurnya. Hemodilusi bukan keadaan fisiologik, tetapi
sutau
yang berguna untuk menyelamatkan penderita dengan perdarahan hebat. Darah diberikan
pada saat yang tepat sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
A. Dasar-dasar pemikiran
Penderita yang berdarah, menghadapi dua masalah yaitu berapa sisa volume darah
yang beredar dan berapa sisa eritrosit untuk mengangkut oksigen ke jaringan.
Volume darah
Bila volume darah hilang 1/3, penderita akan meninggal dalam waktu beberapa jam.
Penyebab kematian adalah syok progresif yang menyebabkan hipoksia jaringan.
Hipovolemia
menyebabkan beberapa perubahan:
a. Vasokonstroksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan
morgan primer (otak, jantung) dengan aliran darah yang tersisa
b. Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolisme anaerobic
dengan produk asam laktat yang menyebabkan lactic acidosis
c. Lactic acidosis menyebabkan perubahan-perubahan sekunder pada organ-organ
primer dan organ-organ sekunder sehingga terjadi kerusakan merata.
d. Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskuler sampai
10% EBV tidak mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan
yang lebih dari 25% atau bila terjadi syok/hipotensi maka sekaligus
kompartemen interstitial dan intrasel ikut terganggu. Bila dalam terapi hanya
diberikan sejumlah kehilangan plasma volume (intra vaskuler), penderita masih
mengalami defisit yang menyebabkan syoknya irreversible dan berakhir
kematian.
Eritrosit untuk transportasi oksigen
Dalam keadaan normal, jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan adalah = Cardiac
output x Saturasi O2 x Hb x 1,34 + CO pO2 x 0.003 (5,9). Kalau unsur CO x pO2 x
0.003
karena kecil diabaikan, maka tampak bahwa persediaan oksigen untuk jaringan
tergantung
pada Cardiac Output, saturasi dan kadar Hb. Karena kebutuhan oksigen tubuh tidak
dapat
dikurangi kecuali dengan hipotermia atau anestesi dalam, maka jika eritrosit
hilang, total Hb
berkurang Cardiac Output harus naik agar penyediaan oksigen jaringan tidak
terganggu.
Orang normal dapat menaikkan Cardiac output 3x normal dengan cepat, asalkan volume
sirkulasi cukup (normovolemia). Faktor-faktor Hb dan saturasi jelas tidak dapat
naik.
Hipovolemea akan mematahkan kompensasi Cardiac output. Dengan mengembalikan volume
darah yang telah hilang dengan apa saja asal segera normovolemia, CO akan mampu
berkompensasi. Jika Hb turun sampai tinggal 1/3, tetapi CO dapat naik sampai 3x,
maka
penyediaan oksigen ke jaringan masih tetap normal. Pengembalian volume, mutlak
diprioritaskan daripada pengembalian eritrosit.
B. Cara mengatasi perdarahan
Penderita datang dengan perdarahan
Pasang infus jarum besar
Ambil sample darah
Hemodinamik baik
Hemodinamik buruk
teruskan cairan
Urine ½ ml/kg/jam
Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada kasus
B, jika
hemoglobin kurang dari 8 gm% atau hematokrit kurang dari 25%, transfusi sebaiknya
diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pembedahan untuk menghentikan suatu
perdarahan, transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber perdarahan terkuasai
dulu. Pada
kasus C, transfusi harus segera diberikan. Ada tiga kemungkinan penyebab yaitu
perdarahan
masih berlangsung terus (continuing loss), syok terlalu berat, hipoksia jaringan
terlalu lama
dan anemia terlalu berat, terjadi hipoksia jaringan.
Pada 1/2 jam pertama, kalau diukur Hb/Hct, hasil yang diperoleh mungkin
masih ”normal”. Harga Hb yang benar adalah yang diukur setelah penderita kembali
normovolemik dengan pemberian cairan. Penderita didalam keadaan anestesi, dengan
napas
buatan atau dengan hipotermia, dapat mentolerir hematocrit 10% - 15%. Tetapi
penderita
biasa, sadar, napas sendiri, memerlukan Hb 8 gm% atau lebih agar cadangan
kompensasinya
tidak terkuras habis.
C. Jumlah cairan
Lebih dulu dihitung Estimated Blood Volume penderita, 65-70 ml/kg berat badan.
Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10% - 30% EBV
memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat. Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV
masih dapat ditunjang untuk sementara dengan cairan saja sampai darah transfusi
tersedia.
Total volume cairan yang dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar
antara 24 x volume yang hilang.
Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Trauma Status dari
Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit sesudah infusi, cairan Ringer Laktat akan
meresap keluar vaskuler menuju interstitial. Demikian sampai terjadi keseimbangan
baru
antara Plasma Volume (IVF) dan ISF. Expansi ISF ini merupakan ’interstitial edema”
yang
tidak berbahaya. Bahaya edema paru-paru dan edema otak dapat terjadi jika semula
organorgan tersebut telah terkena trauma. Dua puluh empat jam kemudian akan terjadi
diuresis
spontan. Jika keadaan terpaksa, dieresis dapat dipercepat lebih awal dengan
frusemide setelah
transfusi diberikan.
Tabel. Traumatic status dari Giesecke
TANDA
TS I
TS II
TS III
Sesak napas
Ringan
++
Tekanan darah
Turun
Tak teratur
Nadi
Cepat
Sangat cepat
Tak teraba
Urine
Oliguria
Anuria
Kesadaran
Disorientasi
/ coma
Gas darah
pO2 / pCO2
pO2 / pCO2
CVP
Rendah
Sangat Rendah
Sampai
Sampai 30%
Lebih 50%
10%
D. Macam cairan
Ada 4 pilihan pokok yang bertahun-tahun menjadi perbantahan sengit:
a.
Transfusi darah
Ini adalah pilihan pokok kalau donor yang cocok ada. Hemodilusi dengan cairan tidak
bertujuan meniadakan transfusi, tetapi mempertahankan hemodinamik dan perfusi yang
baik
sementara darah donor belum tersedia, menghemat jumlah darah donor yang perlu
ditransfusikan dan memberikan koreksi ECF defisit. Bila darah golongan yang sesuai
tidak
tersedia, dapat digunakan universal donor yaitu golongan 0 dengan titer anti A
rendah (Rh
negatif) atau Packed Red Cells-O. Sebaiknya darah universal ini selalu tersedia di
UGD.
b.
Plasma expander
Cairan koloid ini mempunyai nilai oncotic yang tinggi (dextran, gelatin,
hydroxyethyl starch) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal lebih
lama
intravaskuler. Sayang ECF deficit tidak dapat dikoreksi oleh plasma expander.
Selain itu
harga plasma expander adalah 10x lebih mahal daripada Ringer. Reaksi anaphylactoid
dapat
terjadi baik karena dextran maupun gelatin (0.03-0.08% pemberian). Penulis
mengalami 2
kasus reaksi ini dengan syok, yang memerlukan adrenaline untuk mengatasinya. Reaksi
ini
dapat berakhir fatal. Dextran juga menyebabkan gangguan pada cross match darah dan
pada
dosis lebih dari 10-15 ml/kg BB akan menyebabkan gangguan pembekuan darah.
c.
Albumin
Albumin 5% ataupun Plasma Protein Fraction adalah alternatif yang baik dari segi
volume effect. Tetapi harganya adalah 70x harga Ringer laktat untuk volume effect
yang
sama.
d.
Na
Urine
1500 cc
65
90
Pernapasan
Penguapan
1500 cc (tropis)
Feces
100 cc
10
Di daerah tropis kehilangan cairan penguapan dapat mencapai 1500cc dalam 24 jam,
hanya terdiri dari air tanpa elektrolit. Keringat menambah kehilangan ini 300-600
cc/24 jam,
yang merupakan air dengan sejumlah kecil Na dan K. Sebaliknya, pemecahan jaringan
otot
dan lemak karena puasa menghasilkan kurang lebih 400 cc air yang meningkat sampai
1000
cc pada katabolisme yang cukup besar/sepsis.
Secara umum disimpulkan, kebutuhan air seorang pasien dengan BB 59 kg dalam
keadaan basal kurang lebih (3100-4000) cc, yaitu 2700 cc /24 jam atau kurang 50
cc/kg/24
jam.
Pada terapi cairan selama 2-3 hari saja, elektrolit yang diutamakan adalah Na dan K
kebutuhan Na sekitar 60-100 mEq/24 jam, kalium sekitar 40-60 mEq/24 jam. Pada hari-
hari
pertama pasca bedah tidak dianjurkan penambahan K, karena adanya pengeluaran K dari
sel/jaringan rusak, proses katabolisme dan transfusi darah (Whole blood) mengandung
kalium kurang lebih 20 mEq/L) yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa stress
pembedahan menyebabkan pelepasan Aldosterone dan ADH sehingga terjadi kecenderungan
tubuh untuk menahan air dan Na. Pada orang tua dengan cardiac reserve yang sempit
sebaiknya pada permulaan terapi cairan hanya diberikan 2/3 dari kebutuhan yang
diperhitungkan. Berdasarkan pengamatan dan penelitian selanjutnya, jumlah cairan
dapat
diatur kembali. Pada hari ke 2-5 pasca bedah, terjadi reabsorpsi kembali cairan
yang hilang
ke ”third space”. Penambahan yang tak tampak ini harus diperhitungkan dalam
evaluasi
untuk pengaturan cairan.
B. Koreksi Gangguan Keseimbangan Air Dan Elektrolit
Water exess
Terjadi pada pasien-pasien yang mendapat terapi cairan dengan sedikit/tanpa Na,
untuk mengganti sejumlah besar kehilangan Na. Contoh yang jelas adalah kehilangan
dari
saluran pencernaan (tubuh, diarrhea, cairan lambung) yang diganti hanya dengan
cairan
Dextrose 5%. Kelebihan air terhadap keseimbangannya dengan Na, menyebabkan turunnya
kadar Na serum. Hiponatremi ini dapat menyebabkan edema pada sel-sel otak, dan
timbulnya
gejala-gejala tergantung cepatnya penurunan tersebut. Keadaan ringan dapat diatasi
dengan
restriksi air, tetapi bila kadar Na serum kurang dari 120 mEq/L, perlu diberi
terapi dengan Na
hipertonis. Pemberian Na hipertonis ini harus berhati-hati pada pasien-pasien tua
dengan
cardiac reserve yang sempit.
Kelebihan air dapat dikeluarkan dengan pemberian glukosa hipertonis atau
furosemide yang sebaiknya harus diberikan bersama-sama NaCl dan KCl. Terapi dengan
furosemide dalam jangka waktu lama juga akan menyebabkan penurunan kadar Na serum.
Water deficit
Terjadi bilamana tubuh kehilangan air lebih banyak daripada Na, misalnya pada
keadaan-keadaan: febris lama, hiperventilasi, tracheostomy tanpa humidifikasi,
diabetes
insipidus, non ketotic hyperosmolar dehydration. Kekurangan 2% dari BB menimbulkan
rasa
haus, naik berat terjadi kelemahan umum otot-otot, delirium dan convulsi. Terapi
adalah
pemberian cairan cairan Dextrose 5% (isotonis)
Saline Excess
Umumnya terjadi sebagai akibat samping resusitasi cairan kolloid untuk mengatasi
syok dan mempertahankan volume ”CFC” pada masa-masa prabedah dan selama
pembedahan. Kelebihan volume yang isotonis ini umumnya ditolerir oleh pasien-pasien
muda, tetapi pada orang tua mudah menyebabkan decompensasi cordis dan edema paru-
paru.
Terapi yang dilakukan adalah restriksi cairan, kalau perlu diberikan diuretic dan
digitalisasi.
Saline Deficit
Terutama terdapat pada pasien-pasien yang mengalami dehidrasi, yang sering
disebabkan karena muntah, diare dan peritonitis. Kehilangan dari saluran pencernaan
pada
masa pasca bedah memperbesar defisit ini. Terapi adalah penggantian dengan Ringer
Lactat
atau NaCl 0,9%
Hipokalemi
Terutama disebabkan pemberian cairan tanpa kalium, atau pengantian tidak sesuai
pada kehilangan yang banyak misalnya kehilangan dari saluran pencernaan.
Gejala-gejala klinis adalah kelemahan otot, paraesthesia, paralytic ileus. Kecuali
bila kadar K
serrum dibawah 2 mEq/L, terapi kalium dapat dilakukan dalam 2-4 hari. Pemberian
kalium
jangan melebihi 200 mEq/24 jam, dengan kecepatan 10-20 mEq/jam, dicampur dalam
cairan
infus.
Hiperkalemi
Pasien-pasien dengan gangguan fungsi ginjal, kerusakan jaringan luas dan
combustio/luka bakar akan terjadi hiperkalemi. Tanda-tanda klinis dapat hanya
kelemahan
otot atau tanpa keluhan sampai terjadi gangguan irama jantung dan cardiac arrest.
Umumnya
setelah kadar K serum lebih dari 6 mEq/L terjadi perubahan-perubahan khas pada EKG.
Bila
kadar serum mencapai 6 mEq/L segera diberikan terapi untuk menurunkan sebagai
berikut:
1. Pemberian calcium glukonat/chlorida 10-30 ml perlahan dalam waktu 2 menit.
Pemberian calcium ini kontra indikasi pada pasien yang mendapat terapi digitalis
2. Pemberian sodium bicarbonat 50-100 mEq untuk alkalinisasi darah
3. Pemberian Glukosa 25% bersama reguler insulin 1 unit setiap 4-5 gr glukosa
(pada renal failure 1 unit setiap 10 gr glukosa) sebanyak 200 dalam ½ jam
Penurunan kadar K dengan terapi ini dapat bertahan selama 6 jam.
C. Keseimbangan Asam Basa
Perubahan pH cairan tubuh sangat berpengaruh pada kerja sel dan enzym tubuh
sehingga tubuh selalu berusaha mempertahankan keseimbangan asam basa dalam suatu
batas
fisiologis yang sempit. Pemeriksaan dilakukan pada contoh darah arteri dengan harga
normal,
p02 80-100 mmHg, pC02 35-45 mmHg, pH 7,35-7,45, HCO3 21-25 mMol/L dan BE -2 s/d
+2.
Penyimpangan ke arah acidosis (pH kurang dari 7,35) dan alkalosis (pH lebih dari
7,45) dapat disebabkan oleh gangguan pernapasan maupun gangguan metabInterprestasi
hasil
pemeriksaan gas darah dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Tentukan acidosis atau alkalosis
Apabila penyebabnya respiratorik, pC02 menyimpang searah dengan pH dan jika
BE menyimpang searah dengan pH penyebabnya metabolic
2. Tentukan apakah sudah terjadi usaha-usaha kompensasi dengan melihat pCO2
atau BE yang menyimpang ke arah yang berlawanan dengan pH. Usaha
kompensasi dengan menurunkan BE tidak boleh dikoreksi dengan Na bicarbonat.
Penyebab asidosis metabolik antara lain ketoacidosis yang terjadi pada pasien
diabet yang tidak diterapi dengan baik atau lactic acidosis akibat gangguan perfusi
jaringan oleh sebab cardiac, sepsis, perdarahan Alkalosis metabolic terjadi pada
pasien yang kehilangan cairan lambung dalam jumlah yang besar.
Terapi terhadap asidosis metabolic dan alkalosis metabolic adalah memperbaiki dan
mengatasi penyebab. Pada acidosis metabolik koreksi dilakukan dengan Na bicarbonate
memakai patokan rumus: dosis 1/3 x Berat Badan x BE (mEq) Jumlah ini mula-mula
diberikan separuhnya, sisanya diberikan ½ atau 1 jam kemudian. Sebaiknya dilakukan
pemeriksaan ulangan setelah terapi.
7.55
7,45
pH
45
35
pCO2
+2
BE
-2
ACIDOSIS
pH + pCO2 : respiratorik
p11 + BE : Metabolik
ALKALOSIS
D. Terapi Cairan Pada Kasus Bedah
Terapi cairan dilakukan sejak masa pra bedah, untuk mengatasi keadaan syok
karena dehidrasi dan perdarahan dan mengganti sebagian dari dehidrasi sedang dan
ringan.
Kekurangan cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan dan sedapat mungkin diganti masa pra bedah.
Pada pasien-pasien yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang adekuat
kualitatif maupun kuantitatif, terapi cairan dan nutrisi diberikan lebih dini lagi.
Hidrasi yang
cukup ini diperlukan untuk menghadapi trauma anestesi dan pembedahan, yaitu
kehilangankehilangan yang disebabkan perdarahan, edema jaringan karena manipulasi
dan penguapan
dari cavum peritoneum. Pada laparatomi terapi cairan pasca bedah ditujukan untuk
memenuhi
kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi, mengganti kehilangan cairan pada masa pasca
bedah
(cairan lambung, febris), melanjutkan penggantian deficit pra bedah dan selama
pembedahan,
koreksi terhadapt gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.
Sumber kehilangan cairan dan elektrolit pasca bedah
Kehilangan pada masa pasca bedah antara lain berasal dari febris, saluran
pencernakan dan hiperventilasi. Kebutuhan cairan dalam keadaan febris meningkat
sebanyak
15% setiap kenaikan 1oC suhu tubuh. Produksi cairan lambung yang berlebihan, muntah
dan
diarrhea akan menambah kebutuhan cairan dan elektrolit.
Hiperventilasi memperbesar pengeluaran air lewat paru-paru, sedang humidifikasi
udara kering mengambil sejumlah besar cairan tubuh . Hiperventilasi pada pasien
dengan
tracheostomi tanpa humidifikasi akan memperbesar kehilangan cairan. Kedua hal
tersebut
dapat menyebabkan kehilangan air 1-1,5 L/hari.
Tabel Fluid and electrolit in the acutely ill adult (Shoemaker, WC)
Electrolyte Concentrations (mEq/L)
Volume
CI
Na
PH
Saliva
1000-1500
10-20
6-30
10-40
5,5-7,8
Gastric juice
2000-2500
10-20
10-30
60-120
1.5-7.3
Hepatic bile
600-800
2-12
80-110
130-153
6.2-8.5
Pancreatic juice
700-1000
3-10
30-50
150-143
7.8-8.8
Duodenol secretions
300-800
2-10
70-120
90-140
5.8-7.5
200-500
3-10
60-90
140-148
7.8-8.0
Total
8000-10000
Selain koreksi cairan, elektrolit dan asam basa yang telah dijelaskan pada sub bab
sebelumnya, pada kasus pasca bedah perlu juga diperhitungkan asupan kalori mapun
nutrisi
parenteral.
Kalori
Pasien-pasien dengan keadaan umum baik dan trauma pembedahan yang minimal,
pemberian karbohidrat 100-150 gr sudah memadai. Jumlah ini cukup untuk memenuhi
kebutuhan sel-sel yang harus memakai glukosa sebagai sumber kalori, dan dapat
menekan
pemecahan protein sebanyak 50%. Pemberian kalori yang minimal ini berdasarkan
pertimbangan mengenai kesulitan-kesulitan pemakaian cairan hipertonis, yang
diperlukan
untuk mendapatkan jumlah asam amine dan kalori sesuai kebutuhan. Tersedianya
larutan
2,5% asam amine dengan 150 gr karbohidrat merupakan suatu pilihan baru, karena
dengan
osmolalitas dibawah 800 mOsm memungkinkan pemberian lewat vena perifer. Dilain
pihak,
penambahan asam amine ini dapat membuat N balance” mendekati” keseimbangan.
Kebutuhan basal air, elektrolit dan kalori pasca bedah pasien dengan operasi
herniotomy, berat badan 50 kg. Terapi cairan hari ke 0 pasca bedah dalam 24 jam
adalah: Air
2500 cc (50 x 50 cc), Na 60 mEq, K 0 mEq dan kalori 100gr glukosa.
Cairan 500 cc PZ atau PZ Dextrose 5% dengan 2000 cc Dextrose 5% akan
menghasilkan total cairan 2500 cc cairan dengan 80 mEq Na dan 125 gr glukosa.
Parenteral Nutrition
Pasien pasca bedah tanpa komplikasi yang tidak mendapat nutrisi sama sekali, akan
kehilangan protein 75-125 gr/hari. Pemberian karbohidrat saja 100-150 gr menekan
pemecahan ini sebanyak 50%. Pemberian kalori dalam jumlah minimal yang berlangsung
terus-menerus, akan kehilangan protein menjadi cukup besar. Albumin dan enzym
pencernaan mengalami penurunan yang lebih cepat, karena adanya proses metabolisme
yang
cepat. Hipoalbuminemia akan menyebabkan edema jaringan, infeksi dan dehisensi luka
operasi. Turunya enzym pencernaan akan menyulitkan proses realimentasi.
Total parenteral Nutrition bertujuan menyediakan nutrisi secara lengkap yaitu
kalori,
protein dan lemak termasuk unsure-unsure penunjang nutrisi elektrolit, vitamin dan
trace
element. Pemberian kalori sampai 40-50 Kcal/kg dengan protein 0,2-0,24 N/kg. Cairan
hipertonis yang mengandung semua unsur ini, memberikan beberapa masalah mengenai
teknik pemberian, akibat samping mapun monitoring.
Pada pasien yang diperkirakan realimentasi sesudah 3-5 hari, mengalami pembedahan
besar pada saluran pencernaan, keadaan umum/status gizi kurang baik diperlukan
pemberian
parenteral nutrisi. Pada kasus-kasus yang saluran pencernaannya memungkinkan,
gabungan
enteral dan prenteral nutrition merupakan suatu pilihan lain
E. Pemantauan
Terapi cairan ditetapkan berdasarkan, perhitungan cairan keluar masuk pemeriksaan
laboratorium dan tanda-tanda klinis. Perhitungan cairan masuk umumnya dilakukan
setelah
24 jam, kecuali pada keadaan khusus misalnya pasien dengan gagal ginjal, dilakukan
setiap 3
sampai 6 jam. Terapi cairan selama 1-2 hari tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium.
Bila berlangsung lebih dari 3 hari atau terdapat tanda-tanda klinis yang
mencurigakan,
minimal dilakukan pemeriksaan serum elektrolit. Tanda-tanda dehidrasi yang klasik,
kelemahan otot, bendungan vena leher melengkapi perkiraan berdasarkan perhitungan
cairan
keluar masuk.
2.3.5
Burns
Luka bakar mempunyai karakteristik yang berbeda dari kebanyakan luka yang lain.
Dimulai
dari cara penanganan, perawatan, kesembuhan serta dampak perubahan pada tubuh,
dimana
perubahan pada tubuh ini dapat terjadi secara lokal disekitar luka, mapun sistemik
hingga
dapat menyebabkan kegagalan organ tubuh. Kesembuhan yang tidak sempurna juga dapat
mengakibatkan kecacatan seumur hidup, oleh karena itu diperlukan penanganan dan
perawatan luka bakar yang lengkap dan menyeluruh guna menurunkan angka mortalitas
serta
morbiditas akibat luka bakar.
Berdasarkan penyebabnya, luka bakar dapat dikelompokkan menjadi berbagai jenis,
antara
lain adalah luka bakar karena api, air panas, bahan kimia, listrik/petir, sengatan
sinar matahari,
udara panas dan ledakan bom.
A. Derajat Luka Bakar
Kedalaman kerusakan luka bakar tergantung pada derajat sumber panas, penyebab, dan
lama
nya kontak dengan tubuh penderita. Derajat kedalaman luka bakar dibagi menjadi 3,
yakni:
1. Luka Bakar Derajat I
- Luka bakar terbatas pada lapisan epidermis (superficial)
- Kulit hiperemik/eritem
- Tidak tedapat bullae
- Terasa nyeri, dikarenakan ujung- ujung syaraf sensorik teriritasi
- Penyembuhan terjadi secara spontan tanpa pengobatan khusus.
2. Luka Bakar Derajat II
Berupa reaksi inflamasi yang disertai proses eksudasi. Dibedakan menjadi dua,
yakni:
a. Derajat II A (superficial)
- Mengenai epidermis dan lapisan atas dari dermis
- Organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebacea (benih
epitel) masih banyak
- Dijumpai bullae
- Terasa nyeri, dikarenakan ujung- ujung syaraf sensorik teriritasi
- Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari tanpa bentuk
cicatrik
b. Derajat IIB (deep)
- Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis
- Organ kulit (sisa jaringan epitel) tinggal sedikit
- Dijumpai bullae
- Terasa nyeri, dikarenakan ujung- ujung syaraf sensorik teriritasi
- Penyembuhan dapat disertai parut hipertrofi dan terjadi lebih lama, biasanya
lebih dari 1 bulan
3.Luka Bakar Derajat III
- Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam sampai
mencapai jaringan subkutan, otot, dan tulang
- Kulit yang terbakar berwarna abu –abu sampai dapat berwarna hitam kering.
- Seluruh organ kulit mengalami kerusakan, tidak tesisa lagi sisa elemen epitel
- Tidak dijumpai bullae
- Dijumpai eskar (koagulasi protein pada epidermis dan dermis)
- Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, karena ujung – ujung sensoris telah
rusak
- Penyembuhan terjadi lama karena tidak dijumpai epitelisasi spontan. Tindakan
graft
dan debridement hampir selalu diperlukan pada luka bakar derajat ini.
B. Luas Luka Bakar
Digunakan pembagian oleh Wallace, yang membagi bagian – bagian tubuh atas 9% atau
kelipatan dari 9%, disebut juga dengan Rule of Nine atau Rule of Wallace:
Dewasa