Anda di halaman 1dari 15

Berbicara mengenai sains dan teknologi, maka kita seperti dihadapkan pada sebuah ladang dengan

tanah yang subur, dengan bibit tanaman yang beraneka ragam yang siap kita tanami. Sains dan

teknologi seperti tidak ada habisnya untuk dikaji dan diteliti. Salah satu teknologi yang sedang

berkembang di beberapa dekade terakhir adalah teknologi fotokatalis.

Fotokatalis (Foto-katalis) adalah sebuah katalis yang dapat dimanfaatkan untuk mempercepat

reaksi kimia yang memerlukan atau membutuhkan sinar/cahaya.A� Fotokatalis merupakan

sebuah material yang memiliki kemampuan untuk menyerap sinar dan memproduksi pasangan

elektron-hole (e– + h+) yang mampu melakukan transformasi kimia melalui proses reduksi dan

oksidasi (Chan, Yeong Wu, Juan, & Teh, 2011). Pasangan elektron dan hole bertindak sebagai

agen aktif yang berperan dalam menentukan proses reaksi yang akan berlangsung, apakah dalam

keadaan oksidasi atau reduksi. Ketika molekul bertemu dengan hole (h+) maka proses yang

berlangsung adalah proses oksidasi dimana sebaliknya jika molekul melakukan kontak dengan

elektron (e–) yang tereksitasi, maka proses yang berlangsung adalah proses reduksi. Namun, perlu

diperhatikan bahwa proses reaksi hanya bisa berlangsung ketika elektron dan hole bermigrasi ke

permukaan material dan kontak dengan molekul target dengan cepat. Proses reaksi tidak akan

pernah terjadi jika terjadi rekombinasi elektron dan hole yang diakibatkan oleh adanya pelepasan

energi (panas) oleh material.

Gambar 1. Mekanisme proses aktivasi material fotokatalis


Pada prosesnya, material fotokatalis menyerap energi foton dari sumber sinar kemudian

mengkonversinya ke dalam bentuk energi kimia untuk digunakan dalam berbagai reaksi kimia.

Material ini juga dianggap sebagai salah satu teknologi yang ramah lingkungan (green technology)

dikarenakan berpotensi untuk memanfaatkan sinar matahari untuk digunakan dalam beberapa

aplikasi (M. P. V. K. Anpo, 2010).A� Karakteristik yang menyerap sinar menjadikan material

fotokatalis sangat berpotensi untuk diterapkan di Indonesia dikarenakan Indonesia merupakan

negara tropis dengan intensitas sinar matahari yang cukup tinggi. Kombinasi antara intensitas

matahari yang tinggi dan material fotokatalis dengan aktivitas yang tinggi dapat menjadi suatu

teknologi masa depan yang dapat dimanfaatkan di Indonesia.

Secara umum, material fotokatalis adalah material semikonduktor dimana beberapa penelitian juga

melaporkan bahwa beberapa senyawa organik juga memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai

material fotokatalis (Vyas, Lau, & Lotsch, 2016). Titanium dioksida (TiO2) adalah material

fotokatalis yang paling banyak diteliti untuk diaplikasikan dalam berbagai aplikasi (Shan, Ghazi,

& Rashid, 2010).

Dalam penerapannya, material fotokatalis dapat diterapkan dalam berbagai aspek seperti proses

pengelolaan limbah industri dan pertanian (Gupta & Tripathi, 2011), proses disinfeksi pada air

minum (Gamage McEvoy & Zhang, 2014), sintesis kimia (Uddin et al., 2012), sensor gas (Suman,

Felix, Tuller, Varela, & Orlandi, 2015),A� dan produksi hidrogen (Chen, Wu, Wu, & Tsai, 2011).

Beberapa penerapan yang sudah mulai dikembangkan ke skala industri antara lain penggunaan

material fotokatalis TiO2 sebagai material aktif pada cat tembok untuk menjaga agar warna cat

tetap cerah dan membantu proses purifikasi udara ruangan (Auvinen & Wirtanen, 2008). Pada

dasarnya, penggunaan material fotokatalis pada cat digunakan untuk mendegradasi molekul

organik yang menempel pada cat ataupun yang terkandung di udara di dalam ruangan. Ketika cat

terpapar oleh sinar matahari, maka material fotokatalis yang terdapat pada cat akan teraktifkan dan

mendekomposisi setiap molekul organik yang menempel atau bersentuhan dengan cat, sehingga

warna cat akan tetap cerah dan tahan lama (Gambar 2).
Gambar 2. Ilustrasi penggunaan material fotokatalis sebagai bahan aktif pada cat tembok

Baru-baru ini, peneliti dari University of Antwerp di Belgia telah menciptakan alat yang mampu

memurnikan udara tercemar menggunakan sinar matahari sambil memproduksi hidrogen yang

disimpan dan digunakan untuk sumber energi (Gambar 3). Mereka mengklaim menggunakan

material light activated catalyst sebagai material pintar yang bekerja untuk menjalankan dua

proses tersebut. Pada dasarnya, material fotokatalis yang mereka gunakan menerapkan prinsip

oksidasi dan reduksi secara bersamaan dimana pada proses penjernihan udara, material fotokatalis

menerapkan proses oksidasi melalui hole (h+) yang dihasilkan, dan proses produksi hidrogen,

material fotokatalis menerapkan proses oksidasi melalui elektron (e –) yang tereksitasi.

Karakteristik material yang sangat unik menjadikan material ini sebagai material yang sangat

menjanjikan untuk diaplikasikan di masa mendatang. Proses penelitian berbasis material

fotokatalis terus dilakukan hingga saat ini, mayoritas penelitian berbasis pada optimalisasi material

dan rekayasa proses yang dapat secara optimum memanfaatkan karakteristik material fotokatalis

untuk dapat digunakan dalam berbagai aplikasi. Kita harapkan suatu saat material ini dapat

menjadi salah satu teknologi yang dapat diterapkan di Indonesia.


Pengertian Fotokatalis
Istilah fotokatalis merupakan gabungan dua kata yaitu foto dan katalisis, sehingga
dapat diartikan sebagai suatu proses kombinasi reaksi fotokimia yang
memerluakan unsure cahaya dan katalis untuk mempercepat terjadinya
transformasi kimia. Transformasi tersebut terjadi pada permukaan katalis yang
katalisnya disebut sebagai fotokatalis. Fotokatalis merupakan salah satu metode
AOPs (Advanced Oxidation Processes). Karakteristik AOPs adalah pembentukan
radikal bebas yang sangat aktif, terutama radikal hidroksil (OH˙) [Litter, 1999;
Malato,2003]. Bahan yang dapat dijadikan fotokatalis merupakan semikonduktor
yang mampu mengadsorp foton.
Proses fotokatalis banyak diaplikasikan untuk penghilangan atau pendegradasian
polutan cair menjadi senyawa yang lebih ramah lingkungan, misalanya untuk
pengolahan fenol. Suatu teknologi yang didasarkan pada iradiasi fotokatalis
semikonduktor seperti titanium dioksida (TiO2), seng oksida (ZnO) atau cadmium
sulfide (CdS) yang tergolong sebaagai fotokatalis heterogen [Hermann, 1999].
Fotokatalis heterogen didefinisiakan sebagai proses katalisis dimana satu atau
lebih tahapan reaksi berlangsung dengan kehadiran pasangan electron-hole yang
dihasilakn pada permukaan bahan semiokonduktor yang diiluminasi oleh cahaya
pada tingkat energi yang sesuai. Adapun prosesenya dapat dilakukan dalam
berbagai media, yaitu organik murni fase cair dan larutan encer.
Proses keseluruhan yang terjadi padea reaksi katalisis heterogen, baik yang
diaktifasi secara termal (katalisis konvensional) maupun yang diaktivasi dengan
cahaya (fotokatalis) adalah sebagai berikut [Fogler, 1999] :
1. Transfer massa reaktan dalam fase fluida (cair atau gas) ke permukaan katalis.
2. Adsorpsi reaktan ke permukaan katalis.
3. reaksi dalam fase teradsorpsi.
4. Desorpsi produk dari permukaan.
5. Pemindahan produk (transfer massa) dari daerah antar permukaan (interfasa).
Reaksi fotokatalisis terjadi pada fase teradsorpsi (lamhkah 3). Perbedaanya
dengan katalisis konvensional hanyalah model aktivasi katalis dimana aktivasi
termal pada proses katalisis digantikan oleh aktivasi foton. Model aktivasi ini
tidak pada tahap 1, 2, 4 dan 5, walaupun fotoadsorpsi dan fotodesorpsi reaktan
terutama oksigen ada.
Reaksi fotokatalisis memp[unyai sifat yang khusus bola dibandingkan dengan
reaksi lainnya. Sifat khusus tersebut meliputi [Sofyan, 1998] :
1. Reaksi fotokatalisis menggunkan daya oksidasi yang sangat tinggi.
2. Reaksi fotokatalisi merupakan reaksi permukaan.
3. Reaksi fotokatalisis terjadi melalui radiasi sinar UV.
Mekanisme Fotokatalisis
Fenomena fotokatalisis diawali dengan fotoeksitasi, sebagai akibat adanya cahaya
ultraviolet yang mengenai dahan semikonduktor memiliki energi yanga lebih
besar dari celah pita semikonduktornya, sehingga akan mentransfer electron dari
pita valensi ke pita konduksi sekaligus menghasilkan hole (h+) pada pita valensi.
Jadi, proses fotoeksitasi akan menghasilakn electron pada pita konduksi dan hole
pada pita valensi. Reaksi yang terjadi untuk fenomena ini adalah [Hermann, 1999;
Sopyan, 1998] :

Semikonduktor + hv (ecb– + hvb+) (2.1)

Selanjutnya pasangan elektron-hole yang tyerbentuk akan berekombinasi di dalam


partikel (jalur B), dan berekombinasi di permukaan partikel (jalur A), tetapi ada
pula yang tidak berekombinasi dsan langsung ke permukaan partikel. Reaksi
rekombinasi pasangan h+/e- dituliskan sebagai berikut [Hermann. 1999; Sopyan,
1998] :

Semikonduktor(ecb– + hvb+) Semikonduktor + heat (

Elektron yang sampai pada permukaan partikel (jalur C) akan mendonasikan


dirinya kepada molekul yang teradsorpsi dipermukaan dimana molekul tersebut
akan mengalami reduksi sehingga dihasilakan radikal anion, A– (oksidator),
sedangkan hole yang sampai permukaan (jalur D) akan menarik elektron dari
molekul yang ada dipermukaan sehinga molekul akan mengalami oksidasi.
Molekul yang teradssorpsi bersifat donor elektron sehingga hasil penangkapan
hole akan menghasilakan radikal kation, D+ (reduktor). Reaksi tersebut dapat
ditunjukkan sebagai berikut [Litter, 1999; Fogler, 1999] :

D(ads) + h+ D+(ads) (2.3)


A(ads) + e– A–(ads) (2.4)

Donor elektron yang teradsorpsi (reduktor) dapat dioksidasi melalui transfer


elektron ke hole diatas permukaan dan penangkapan hole akan menghasilkan
adikal kation, D+ (persamaan 2.3). adapaun akseptor elektron yang teradsorpsi
(oksidator) dapat tereduksi dengan menerima sebuah elektron dari permukaan
sehingga penangkapan elektron akan menghasilkan radikal anion, A– (persamaan
2.4).
Reaksi rekombinasi antara elektron dan hole dapat ditunjukaan dengan persamaan
berikut :
e- + h+ N + E (2.5)
dimana N adalah bahan semikonduktor yang netral dan E adalah energi yang
dilepaskan dibawah sinar UV atau panas semikonduktor [Litter, 1999].
Katalis Semikonduktor
Semikonduktor adalah bahan yang memiliki daerah energi kosong (void energy
region) yang disebut celah pita (band gap) yang berada diantara konduktor dan
isolator. Banyak jenis bahan semikonduktor yang tersedia secara komersial tetapi
hanya sedikit yang cocok dipakai sebagai fotokatalis dalam menguraikan
ber4bagai polutan organik. Kriteria yang diperlukan bahan semikonduktor sebagai
katalis adalah [Litter, 1999] :
1. Bersifat fotoaktif
2. Mampu memanfaatkan cahaya tampak atau ultraviolet dekat
3. Bersifat inert secara biologis dan kimiawi
4. Bersifat fotostabil (stabil terhadap cahaya)
5. Murah dan mudah didapatkan
6. Tidak larut dalam reaksi
Katalis semikonduktor untuk proses fotokatalisis terdiri dari jenis oksida dan
sulfida. Katalis semikonduktor termasuk jenis oksida contohnya TiO2, Fe2O3,
ZnO, SnO2, dan WO3, sedangkan yang termasuk jenis sulfida contohnya CdS,
CuS, dan ZnS [Hermann, 1999; Toyoda, 2000].
Bahan semikonduktor ini memiliki energi celah pita, yaitu daerah kosong yang
memanjang dari puncak pita valensi terisi (Filled Valency Band) hingga dasar pita
valensi yang kosong (Vacant Conduction Band), yang cukup untuk dieksitasi oleh
sinar ultraviolet (sinar UV) atau sinar tampak, dan potensial reduksi anatar
valance band (vb) dan conduction band (cb), dapat menghasilkan rangkaian reaksi
oksidasi dan reduksi. Besarnya celah energi antara pita valensi dan pita konduksi
tersebut akan menentukan tingkat populasi termal dari pita konduksi atau dengan
kata lain tingkat konduktivitas listrik dari semikonduktor tersebut. Celah piata
tersebut mendefinisikan sensivitas panjang gelombang dari semikonduktor yang
bersangkutan terhadap radiasi [Hermann, 1999].

Fotokatalis TiO2
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya TiO2 paling setring
digunakan sebagai fotokatalis dalam aplikasi reaksi fotokatalisis khususnya
pengolahan limbah. Ada beberapa keunggulan TiO2 dibandingkan fotokatalisis
semikonduktor lainnya [Linsebigler, 1995; Sopyan, 1998] :
1. Mempunyai celah pita (band gap) yang besar (3,2 eV anatase dan 3,0 eV
untuk rutile), sehingga memungkinkan banyak terjadinya eksitasi elektron ke pita
konduksi dan pembentukan hole pada pita valensi saat diinduksi cahaya
ultraviolet.
2. TiO2 mempunyai sifat stabil terhadap cahaya (fotostabil)
3. Mampu menyerap cahaya ultraviolet dengan baik
4. Bersifat inert dalam reaksi
5. Tidak baracun dan tidak larut dalam kondisi eksperimen
6. Secara umum memiliki aktivitas fotokatalisis yang lebih tinggi dari pada
fotokatalisis lain seperti ZnO, CdS, WO2, dan SnO2.
7. Memiliki kemampuan oksidasi yang tertinggi, termasuk zat organik yang sulit
terurai sekalipun haloaromatik, polimer, herbisida dan pestisida
TiO2 terdiri dari dua bentuk kristalogafik utama, anatse dan rutile. Energi band
gap untuk anatase (3.23 eV , 3.84 nm) dan ritile eV , 411 nm) [Litter, 1999].
Specific grafity anatse 3,84 dan rutile 4,26. Indeks refraktif anatase 2,25 dan rutile
2,75 dan daya adsorpsi rutile terhadap sinar ultraviolet lebih kuat (360 nm – 400
nm) [Byrne, 1998]. Anatase merupakan bentuk alotrofik paling aktif
dibangdingkan bentuk lainnya yang ada, bentuk alami (rutile dan brookite) atau
bentuk artificial (TiO2-B, TiO2-H). TiO2 dalam bentuk anatase secara
termodinamika lebih stabil daripada rutile tetapi pembentukannya secara kinetik
lebih baik pada suhu rendah (<600oC). Temperatur rendah ini dapat menjelaskan
luas permukaan yang lebih tinggi. TiO2 bentuk komersila yang apaling p[opuler
dan sangat aktif adalah Degussa P-25 yang memiliki komposisi 80% anatase dan
20% rutile [Sopyan, 1998], luas permukaan BET 55 m2/g, dan diameter partikel
30 nm [Linsebigler, 1995].
Fotokatalisis TiO2 memiliki celah pita (band gap) sebesar 3,2 volt yang bila
disinari UV pada panjang gelombangsekitar 340-390 nmdalam larutan (air), maka
akan menghasilakan pasangan elektron (e-) dan hole (h+) yang bermuatan positif,
seperti pada persamaan 2.1.
Besarnya energy band gap akan mempengaruhi daerah panjang gelombang
penyinaran yang optimal untuk mengeksitasi elektron pada pita valensi
semikonduktor. Hal ini dinyataka lewat persamaan :
E = hv= hc/λ (2.6)
Dimana h adalah konstanta planck, c adalah cepat rambat cahaya, dan λ adalah
panjang gelombang cahaya yang digunakan. Bagi TiO2 anatase, dengan band
energy sebesar 3,2 eV, dapat menyerap secara optimal sinar pada panjang
gelombang 388 nm [Amemiya, 2004].
Secara umum, TiO2 dalam fasa anatase mempunyai aktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan fasa rutile, karena pada fasa anatase TiO2 memiliki luas
p[ermukaan yang lebih besar dan ukuran yang lebih kecil dibanding rutile.
Fotokatalis dapat digunakan dalam bentuk serbuk dan lapisa tipis atau film dalam
aplikasi fotokatalisis fasa cair. Keuntungan katalis serbuk adalah effisiensi
pengolahan yang tinggi karena memilki luas permukaan yang besar untuk
adsorpsi ataupun reaksi, transfer massa yang baik antara kontaminan dalam
larutan dengan fotoikatalisnya dan pressure dropnya rendah [Djikstra, 2001;
Hermann, 1999; Malato, 2002; Matthews, 1992; Sopyan, 1996].
Namun, permasalahan yang timbul akibat pemakaian TiO2 dalambentuk serbuk
yaitu [Chan, 2003; Hermann, 1999; Malato, 1992; Matthews, 1992] :
1. Sulitnya pemisahan katalis dari suspensi setelah reaksi
2. Partikel yang tersuspensi cenderung menggumpal
3. Suspensi partikel tidak mudah diaplikasikan ke sistem aliran kontinyu
4. Kedalam penetrasi sinar UV ke dalam suspensi TiO2 terbatas
Parameter Yang Mempengaruhi Proses Fotokatalis
Beberapa parameter yang mempengaruhi proses fotokatalisis diantaranya pH,
loading katalis, panjang gelombang cahaya, konsentrasi awal reaktan, temperatur,
serta pengaruh keberadaan dan tekanan oksigen [Hermann, 1999].
a. pH
Ukuran partikel katalis TiO2 sangat dipengaruhi oleh pH. Semakin asam atau basa
suatu limbah maka ukuran katalis TiO2 akan semakin kecil, sehingga luas
permukannnya senakin besar. Dalam keadaan asam maka permukaan katalis akan
bermuaran positif, sehingga daya tolak antar partikel katalis akan semakin besar
yang menyebabkan katalis akan terdistribusi merata diseluruh spesi cairan. Begitu
pula sebaiknya dalam keadaan basa [Hermann, 1999].
Pada keadaan pH netral katalis memiliki ukuran partikel yang sangat besar. Dalam
pH netral dimana cairan tidak bermuatan menyebabkan permukaan katalis juga
menjaditidak bermuatan (zero Charge Point) sehingga daya tarik antar partikel
katalis menjadi lebih besar dan menyebabkan katalis membentuk gumpalan-
gumpalan.
Pada proses yang menggunakan sistem katalis slurry, pada tahap pengendapan
katalis dilakukan pada pH netral. Dengan ukuiranya yang besar pada pH netral,
maka separasi antar katalis dan limbah yang telah diolah lebih mudah dilakukan
sehingga dapat di recovery dan produk akhir yang telah murni dapat dimanfaatkan
untuk keperluan yang lain. Sistem ini telah diaplikasikan di PSA, Spanyol dengan
adanya satu unit khusus yang memisahkan katalis dari produk akhir dengan sistem
penetralan.
b. Berat katalis
baik adalam keadaan statis, slurry ataupun dalam aliran dianamis pada
fotoreaktor, laju reaksi awal dipengaruhi oleh jumlah katalis. Pada Gambar 2.5
terlihat laju reaksi awal tergantung pada berat katalis. Semakin tinggi berat katalis
yang digunakan maka laju reaksi awalnya menjadi lebih besar sampai pada berat
tertentu laju reaksi awalnya menjadi konstan.
Untuk TiO2 yang memiliki EG = 3,02 eV (rutile) sebagai contoh, membutuhkan λ
< 400 nm yaitu pada rentang sinar UV-A (near-UV). Sebagai tambahan, sifat
reaktan juga harus diperhatikan apakah dapat menyerap cahaya atau tidak.
d. Konsentrasi awal reaktan
secara umum, kinetika laju reaksi mengikuti mekanisme Langmuir-Hinshelwood
yang berlaku untuk katalisis keterogen dimana laju reaksi berbanding lurus
dengan θ sesuai persamaan berikut :
r=kθ (2.7)
Adapun hubungan antara konsentrasi awal reaktan dengan laju reaksi ditunjukkan
pada Gambar 2.7

Gambar 2.7 Pengaruh konsentrasi awal reaktan terhadap laju reaksi [Hermann,
1999]
e. Temperatur
Energi aktifasi pada proses fotokatalisis dalah energi foton, maka pada reaksi
fotokatalisis tidak membutuhkan pemenasan dan dapat beroprasi pada temperatur
ruang. Pengaruh temperatur terhadaplaju reaksi dapat dilihat pada Gambar 2.8.
pada rentang tewmperatur medium (20oC ≤ θ ≤ 80 oC) energi aktifasi sebenarnya
(true activation energy) sangat kecil (beberapa kJ/mol).
Tetapi pada temperatur yang sangat rendah (-40 oC ≤ θ ≤ 0 oC), aktivasinya
berkurang sedangkan Ea meningkat seperti yang terlihat pada gambar 2.7 diatas.
Desorpsi produk menjadi tahap penentulaju reaksi dan Ea dipengaruhi oleh panas
adsorpsi produk. Sedangkan pada suhu diatas 80 oC, proses eksotermis dari
adsorpsi reaktan A menjadi tahapa penetu laju reaksi, akibatnya aktifitas menurun.
f. Pengaruh keberadaan dan tekanan oksigen
Untuk beberapa reaksi, keberadaan oksigen sangat penting yaitu sebagai reduktor
diaman elektron yang dihasilkan oleh proses fotokatalisi akan digunakan
mereduksi molekul oksigen yang terlartut menjadi anion oksigen. Fenomena ini
terutama dibutuhkan pada proses oksidasi limbah organik.
Sc
Polutan organik + O2 CO2 + H2O + asam mineral (2.8)
E
G
Pada reaksi fasa cair, umunya diasumsikan oksigen diadsorpsi oleh katalis dari
fasa cairnya. Jika oksigen terus menerus disupplai dapat diasumsikan bahwa
keberadaannya pada permukaan katalis konstan.
Ozon
Ozon adalah molekul yang tersusun dari 3 (tiga) buah atom oksigen, senyawa ini
merupakan oksidator kuat (oksidasi potensial 2,07 eV), sehingga dapat digunakan
sebagai oksidator dalam penguraian zat/pencemar organik dan penyisihan logam-
logam terlarut dalam proses pengolhan limbah dan dalam pengolahan air
[http://www.sinarharapan.com].
Ozon pertama kali ditemukan oleh CF Schonbein pada tahun 1840. penemaan
ozon diambil dari bahasa yunani ozein yang berarti smell atau bau dan dikenal
sebagai gas yang tidak memiliki warna [Sugiarto, 203]. Ozon dapat larut dalam air
yang menghasilkan hidroksil radikal (OH–), diaman memiliki potensial oksidasi
sangat tiggi (2,8 V) [Beltran, 1997].

1 Kegunaaan Ozon
Proses ozonasi pertama kali dikenalkan oleh Nies dari negara Perancis sebagai
metode intuk mensterilkan air minum pada tahun 1996. penggunaan proses
ozonasi ini kemudian berkembang dengan pesat yaitu untuk pengolahan air
minum yang menggunakan sistem ozonasi di Amerika Serikat [Sugiarto, 2003].
Di Asia, pemanfaatan ozon untuk mengolah air minum pertama kali dilakukan
dikota Amagasaki, Jepang pada tahun 1973. Menurut Kuprianoff (1953) berbagai
pemanfaatan ozon antara lain untuk pengolahan air minum adan air limbah, ozon
untuk sterilisasi bahan makanan mentah seperti daginmg dan ikan dengan
menghambat perkembangan jamur, sayur mayur dan buah-buahan, ozon sterilisasi
peralatan seperti aplikasi dalam bidang kedokteran, dan memperlancar aliran
darah [Sugiarto, 2003].
Ozon dengan kemampuan oksidasinya dapat menguraikan berbagai macam
senyawa organik beracun yang terkandung dalam air limbah, seperti benzene,
atrazine, dioxine, dan berbagai ztat pewarna organik [Sugiarto, 2003]. Menurut
violle (1929) melalui proses oksidasinya pula ozon mampu membunuh berbagai
macam mikroorganisme seperti bakteri Escherichia coli, Salmonella enteriditis,
serta bakteri pathogen lainnya.

2 Sifat Kimia Ozon


Ozon berbentuk gas apada suhu dan tekanan normal. Ozon merupakan senyawa
yang tidak stabil yang mudah terdekomposisi kembali menjadi oksigen, oksidator
yang sangat kuat dan reaktif, tidak menghasilkan produk yang berbahaya (rmah
lingkungan), menghilangkan bau sulfur, dan dapat mendegradasi senyawa Fe dan
Mn yang terlarut dalam air, terutama didasarkan pada fenomene terurainya ozon
dalam air seperti dapat digambarkan dalam persamaan berikut
[www.ozonapplication.com] :
O3 + H2O HO3+ + OH- (2.9)
HO3+ + OH- 2 H2O (2.10)
O2 + H2O HO + 2 O2 (2.11)
HO + 2 O2 H2O + O2 (2.12)

3 Sifat Fisik Ozon


Ozon (O3) adalah bentuk alotropik dari oksigen (O2) yang tidak berwarna (pada
suhu kamar) yang dapat mengembun membentuk suatu cairan biru pada suhu -
112oC dan akan membeku pada suhu -251oC. Pada shu diatas 100oC akan dengan
cepat mengalami dekomposisi. Dalam larutan cair, ozon relatif tidak stabil dan
memiliki waktu apruh sekitar 20-30 menit dalam air destilasi pada suhu 20oC.
Tetapi pada udara kering, ozon lebih stabil dan memiliki waktu paruh sekitar 12
jam [B. Lnglais., dkk, 1991].
4 Pembuatan ozon
Secara ilmiah ozon dapat terbentuk melalui radiasi sinar ultraviolet pancaran sinar
matahari. Chaperman menjelaskan pembentukan ozon secara ilmiah (1930) bahwa
sinar ultraviolet dari pancaran sinar matahari mampu menguraikan gas oksigen di
udara bebas [Sugiarto, 2003].
Molekul oksigen tersebut terurai menjadi dua buah atom oksigen, proses ini
kemudian dikenal dengan nama photolysis. Lalu ayom oksigen secara ilmiah
bertumbukan dengan molekul gas oksigen yang ada disekitarnya, lalu
terbentuklah ozon. Ozon yang terdapat pada lapisan stratosphere dikenal dengan
nama ozone layer (lapisan ozon) dalah ozon yang terjadi dari hasil proses alamiah
photolysis ini [Sugiarto, 2003].
Selain proses alamiah, ozon juga dapat terbentuk dengan menggunakan peralatan
antara lain dengan metode electrical discharge dan sinar radioaktif. Pembuatan
ozon dengan electrical discharge pertama kali dilakukan oleh Siemens pada tahun
1857 dengan mempergunakan metode dielectric barrier discharge.
Pembentukan ozon dengan electrical discharge ini secara prinsip sangat mudah.
Prinsip ini dijelaskan oleh Devins pada. tahun 1956, yang menjelaskan bahwa
tumbukan dari elektron yang dihasilkan oleh electrical discharge dengan molekul
oksigen menghasilkan dua buah atom oksigen. Selanjutnya atom oksigen ini
secara alamiah akan bertumbukan kembali dengan molekul oksigen disekitarnya,
lalu terbentuklah ozon. Akhir-akhir ini metode electrical discharge merupakan
metode yang paling banyak dipergunakan dalam pembuatan ozon diberbagai
kegiatan industri [Sugiarto, 2003].
O2 + 2e– O2– (2.13)
2O– + 2O2 2O3 + 2e– (2.14)

5 Ozon dan Ultraviolet


Teknologi oksidasi (ozon dan ultraviolet) dapat mengolah limbah cair sehingga air
yang dihasilkan dari proses tersebut dapat digunakan kembali sebagai air baku
dalam proses. Kombinasi antara ozon dan ultraviolet sangat potensial untuk
mengoksidasi berbagai jenis senyawa organik beracun, bakteri patogen, dan
minyak yang terkandung di dalam limbah cair. Kombinasi antara ozon dan
ultraviolet menghasilkan sistem oksidasi pengolahan limbah cair yang sangat
kompak untuk penyediaan bahan baku air bersih [www.mediaindonesia.com].
Ozon yang merupakan spesies aktif dari oksigen memiliki oksidasi potensial 2,07
V, lebih tinggi dari klorin yang hanya memiliki oksidasi potensial 1,36 V.
Perpaduan antara ozon dan ultraviolet menghasilkan spesies aktif hidroksil radikal
yang memiliki kemampuan oksidasi lebih tinggi dari ozon yaitu 2,8 V pada pH
asam, sehingga mampu mengoksidasi hampir seluruh bahan organic yang
umumnya terkandung dalam limbah cair [www.mediaindonesia.com].
Reaksi pembentukan radikal OH- akibat penyinaran UV adalah sebagai berikut :
hv
O3 + H2O 2OH– + O2 (2.15)
Adapun manfaat hidroksil radikal meliputi mengoksidasi berbagai senyawa
organik seperti clorofenol, pestisida, dioxin, nitrat, dan sianida, mengoksidasi besi
dan mangan, menghancurkan dan menguraikan algae, dan dapat menghilangkan
senyawa-senyawa turunan yang mungkin terbentuk selama proses oksidasi
berlangsung. Keunggulan yang didapat dari kombinasi ozon dan ultraviolet tidak
membutuhkan areal instalasi pengolahan limbah yang luas, waktu pengolahan
yang cepat, penggunaan bahan kimia yang sedikit, penguraian senyawa organik
yang efektif, keluaran limbah lumpur sedikit, dan air hasil pengolahannya dapat
digunakan kembali [www.mediaindonesia.com].

Katalis
Katalis adalah substansi yang mempercepat reaksi tetapi tidak terkonsumsi apada
reaksi tersebut [http//www.uic.com]. Senyawa antara yang dihasilkan bersifat
sangat aktif sehingga secara cepat dapat mengalami perubahan mengikuti tahap
reaksi yang berlangsung sampai akhirnya menjadi produk dan meninggalkan
katalis kembali ke bentuk semula. Hal ini disebabkan karena katalis dapat
menurunkan energi aktivasi suatu reaksi.
Umumnya katalis bersifat spesifik, artinya katalis tertentu dapat mempercepat
reaksi tertentu. Katalis yang dibentuk dari komponen – komponen yang
menunjang sifat katalis yang diharapkan. Pada dasarnya sifat katalis yang
diharapkan adalah aktif, selektif, stabil dan ekonomis [Fogler, 1999].
Berdasarkan fasanya, katalis dibagi menjadi dua jenis yaitu katalis homogen dan
katalis heterogen. Katalis homogen adalah katalis yang berada pada fasa yang
sama dengan fasa reaktan, biasanya fasa cair. Sedangkan katalis heterogen adalah
katalis yang berbeda fasa dengan reaktannya.
Seperti yang telah kita ketahui, makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok
dalam kehidupan manusia. Manusia dapat bertahan hidup karena mendapatkan
energi yang bersumber dari makanan yang dikonsumsinya. Makanan yang kita
konsumsi haruslah makanan yang sehat, yaitu makanan yang bergizi dan bersih.
Makanan bergizi adalah makanan yang mengandung 4 sehat 5 sempurna, juga
terjaga kebersihannya. Bersih disini dalam artian makanan dalam kondisi steril.

Kesehatan dan makanan merupakan bagian terpenting yang harus diperhatikan


oleh semua penduduk di dunia. Apabila makanan yang kita makan tidak bersih,
maka akan menyebabkan penyakit dan mengganggu produktifitas suatu negara.
Makanan yang bersih berawal dari proses pengolahan dan pengemasannya.
Proses pengemasan yang tidak sesuai pada suatu produk olahan makanan atau
minuman mengakibatkan menurunnya kualitas dari makanan atau minuman
tersebut. Rendahnya kualitas produk ini berbahaya terhadap kesehatan masyarakat
yang mengkonsumsi produk tersebut. Sebagai contoh, produk yang akan dikemas
adalah susu, bila proses pengemasan tidak sempurna atau material yang digunakan
pada kemasan tidak sesuai dengan produk, maka akan memudahkan kontaminan
masuk dan mempengaruhi kualitas produk. Pada tulisan ini kami akan membahas
mengenai salah satu teknologi pengemasan makanan dan minuman.

Makanan dan minuman yang tersedia di pasaran sekarang ini kebanyakan telah
melalui suatu teknik pengemasan tertentu. Tujuan pengemasan adalah untuk
melindungi dan mengawetkan makanan, untuk menjaga kualitas dan keamanan
makanan, dan untuk mengurangi sampah makanan (Bradley et al., 2011).

Material dan teknologi pengemasan makanan yang ada saat ini telah cukup untuk
memegang peranan dalam memberikan keamanan dalam penyuplaian makanan.
Namun industri makanan dan minuman selalu mencari teknologi baru untuk bisa
menambahkan kualitas, umur dan keselamatan dari produk mereka. Datangnya
teknologi nano, yang melibatkan manufaktur dan pengunaan material dalam
rentang ukuran sekitar 100 nm, telah membuka peluang-peluang baru untuk
pengembangan material baru dengan sifat yang terimprovisasi, yang salah satunya
adalah pada material kemasan makanan. Chaudhry et al. (2008) melaporkan
bahwa telah terdapat sejumlah perusahaan besar di bidang makanan yang aktif
mengeksplor potensi penggunaaan nanomaterial dalam pengemasan makanan.

Teknologi lain yang saat ini baru berkembang dalam bidang pengemasan
makanan antara lain, penggunaan jenis plastik baru, formulasi biodegradable
materials, preservasi menggunakan radiasi ionisasi, preservasi menggunakan
pemanasan microwave, dan preservasi menggunakan tekanan tinggi. Teknologi-
teknologi tersebut perlu dievaluasi untuk mengetahui potensial bahaya dan
keuntungannya, begitu juga dengan nanoteknologi. Potensi aplikasi nanoteknologi
dalam material kemasan makanan antara lain:
Dari metode-metode tersebut, aplikasi yang memiliki banyak dampak besar
terhadap kualitas pengemasan adalah aplikasi nanokomposit. Sebab, dengan
menggunakan nanomaterial sebagai material utamanya, kemasan tersebut akan
memiliki properti yang jauh lebih baik dari properti yang bukan nanomaterial.
Dan ini sangat berpegaruh terhadap daya tahan dari kemasan itu sendiri. Selain
itu, bila nanomaterial tersebut memiliki sifat antimikrobial juga, maka
nanokomposit ini juga akan berperan sebagai surface biocides. Dan ada
kemungkinan dengan penggunaan bahan baku kemasan akan lebih sedikit karena,
karena dengan kuantitas yang sedikit telah memiliki kualitas yang sangat baik.

Manfaat teknologi nano-komposit

Dewasa ini, nano-komposit telah diaplikasi dalam berbagai macam bidang,


terutama dalam hal pengemasan pada industri makanan. Pada pengemasan nano-
komposit digunakan dalam sistem pengemasan tanpa refrigerasi sehingga dapat
mempertahankan kesegaran pada makan untuk beberapa tahun. Selain itu nano-
komposit memiliki pencegahan (barrier) terhadap gas luar untuk kontak terhadap
bahan makanan di dalamnya, termasuk gas oksigen dan karbondioksida. Hal ini
dikarenakan, struktur partikel nano-komposit yang saling menutup dengan pola
batu bata (gambar dibawah)

Secara umum nano-komposit mememiliki keuntungan dalam sifat-sifat kimia,


mekanis dan fisiknya. Mengenai sifat-sifat mekanis nano-komposit, telah dikenal
luas bahwa nano-komposit memiliki kelebihan dalam stabilitasnya terhadap panas
sehingga tidak mengalami distorsi yang signifikan, selain itu tidak menghasilkan
emisi gas saat terjadi pembakaran. Nano-komposit juga memiliki ketahanan atau
konduktifitas listrik yang baik. Pada bahan kimia, nano-komposit memiliki
resitensi terhadap beberapa zat kimia untuk tidak mengalami korosi.

Dengan kelebihan pada sifat-sifat yang dimiliki oleh nano-komposit tersebut,


tentu akan memberikan keuntungan dalam aplikasinya dalam pengemasan selain
sebagai barrier gas. Dengan resistensinya terhadap panas serta tidak mudah rapuh,
memberikan kemampuannya dalam proses pada mikrowave, pasterisasi, serta
sterilisasi yang membutuhkan suhu yang tinggi.

Potensi Perkembangan Penelitian Packaging Bio-Nanocomposite di Negara


Berkembang.

·Korea

Di negara korea sudah mengaplikasikan teknologi packaging bionanocomposites


dengan berbagai fungsi seperti antimikroba, self-cleaning, pintar dan cerdas
diharapkan menjadi pendorong utama dalam pengembangan teknologi kemasan
makanan. Di dalam jurnal Rhim et al. (2006) kitosan berbasis nanokomposit dan
diuji aktivitas antimikroba terhadap bakteri gram-positif (Staphylococcus
aureusdan Listeria monocytogenes) dan Gram-negatif (Salmonellatyphimurium
dan Escherichia coli O157: H7). Mereka menemukan kitosan / organoclay
(Cloisite 30B) film nanokomposit memiliki aktivitas bakterisidal kuat terhadap
bakteri gram-positif dengan aktivitas bakteriostatik yang jelas terhadap bakteri
Gram-negatif. Bionanocomposite memiliki potensi besar sebagai generasi
berikutnya bahan kemasan dengan sifat mekanik dan penghalang ditingkatkan
tanpa menghilangkan sifat biodegradasi.Nanoteknologi termasuk
bionanocomposite akan menjadi pendorong utama dalam pengembangan
teknologi kemasan.

·Swedia

Swedia, merupakan negara yang memiliki divisi manufaktur dan desain kayu dan
bionanocomposite, bekerja sama dengan institut teknologi Grenoble, di Perancis
sedang mengembangkan bio-nanokomposit dengan bahan baku selulosa yang
memiliki berbagai keuntungan yang signifikan misalnya, biaya rendah dari bahan
baku; kepadatan rendah; alam terbarukan; konsumsi energi yang rendah, sifat
spesifik yang tinggi ; Biodegradabilitas; ketersediaan hampir tak terbatas. Untuk
aplikasi penguatan, nanopartikel selulosa hadir beberapa kelemahan, misalnya,
penyerapan kelembaban tinggi, wet ability rendah, ketidakcocokan dengan
sebagian besar matriks polimer dan pembatasan suhu dalam pengolahan. salah
satu dari bentuk selulosa itu ialah microfibrillated cellulose (MFC). Teknologi
dilakukan dengan tekanan yang tinggi hingga partikel nano terbentuk. Namun
satu kelemahan yang terkait dengan penggunaan selulosa untuk nanocomposites
polimer adalah kesulitan yang melekat padanya karena untuk memecah
mediumnya bersifat non-polar, sedangkan permukaan kutub mereka
polar. Dengan kata lain, penggabungan dari nano kristal selulosa sebagai
bahan penguat sejauh ini terutama terbatas pada lingkung-an berair atau polar.
Terdapat dua teknik yang digunakan untuk menyiapkan polisakarida
nanokompositynya yaitu:

- Air atau penguapan pelarut organik - Extrusion dengan beku-


kering nanopartikel selulosa. Teknik pertama adalah yang paling umum
digunakan.

Dari kedua contoh negara di atas potensi untuk mengembangkan bio-


nanocomposite dalam aplikasi kemasan di Indonesia sangat memungkinkan. Bila
dilihat dari bahan baku yang digunakan penelitian dari negara swedia, negera
tersebut menggunakan selulosa. Indonesia merupakan negara yang memiliki
bahan selulosa yang melimpah. Namun saat ini dari penelitian yang dilakukan di
LIPI . Indonesia bekerja sama dengan universitas di Jepang dan industri otomotif
melakukan penelitian dengan target berat badan mobil seringan mungkin namun
kuat dan konstruksi bangunan lainnya dengan aplikasi bahan ini. Maka untuk
kedepannya diharapkan Indonesia dapat mengembangkan bio-nanocomposite ini
dapat di aplikasikan untuk kemasan makanan dan minuman.

Anda mungkin juga menyukai