tanah yang subur, dengan bibit tanaman yang beraneka ragam yang siap kita tanami. Sains dan
teknologi seperti tidak ada habisnya untuk dikaji dan diteliti. Salah satu teknologi yang sedang
Fotokatalis (Foto-katalis) adalah sebuah katalis yang dapat dimanfaatkan untuk mempercepat
sebuah material yang memiliki kemampuan untuk menyerap sinar dan memproduksi pasangan
elektron-hole (e– + h+) yang mampu melakukan transformasi kimia melalui proses reduksi dan
oksidasi (Chan, Yeong Wu, Juan, & Teh, 2011). Pasangan elektron dan hole bertindak sebagai
agen aktif yang berperan dalam menentukan proses reaksi yang akan berlangsung, apakah dalam
keadaan oksidasi atau reduksi. Ketika molekul bertemu dengan hole (h+) maka proses yang
berlangsung adalah proses oksidasi dimana sebaliknya jika molekul melakukan kontak dengan
elektron (e–) yang tereksitasi, maka proses yang berlangsung adalah proses reduksi. Namun, perlu
diperhatikan bahwa proses reaksi hanya bisa berlangsung ketika elektron dan hole bermigrasi ke
permukaan material dan kontak dengan molekul target dengan cepat. Proses reaksi tidak akan
pernah terjadi jika terjadi rekombinasi elektron dan hole yang diakibatkan oleh adanya pelepasan
mengkonversinya ke dalam bentuk energi kimia untuk digunakan dalam berbagai reaksi kimia.
Material ini juga dianggap sebagai salah satu teknologi yang ramah lingkungan (green technology)
dikarenakan berpotensi untuk memanfaatkan sinar matahari untuk digunakan dalam beberapa
aplikasi (M. P. V. K. Anpo, 2010).A� Karakteristik yang menyerap sinar menjadikan material
negara tropis dengan intensitas sinar matahari yang cukup tinggi. Kombinasi antara intensitas
matahari yang tinggi dan material fotokatalis dengan aktivitas yang tinggi dapat menjadi suatu
Secara umum, material fotokatalis adalah material semikonduktor dimana beberapa penelitian juga
melaporkan bahwa beberapa senyawa organik juga memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai
material fotokatalis (Vyas, Lau, & Lotsch, 2016). Titanium dioksida (TiO2) adalah material
fotokatalis yang paling banyak diteliti untuk diaplikasikan dalam berbagai aplikasi (Shan, Ghazi,
Dalam penerapannya, material fotokatalis dapat diterapkan dalam berbagai aspek seperti proses
pengelolaan limbah industri dan pertanian (Gupta & Tripathi, 2011), proses disinfeksi pada air
minum (Gamage McEvoy & Zhang, 2014), sintesis kimia (Uddin et al., 2012), sensor gas (Suman,
Felix, Tuller, Varela, & Orlandi, 2015),A� dan produksi hidrogen (Chen, Wu, Wu, & Tsai, 2011).
Beberapa penerapan yang sudah mulai dikembangkan ke skala industri antara lain penggunaan
material fotokatalis TiO2 sebagai material aktif pada cat tembok untuk menjaga agar warna cat
tetap cerah dan membantu proses purifikasi udara ruangan (Auvinen & Wirtanen, 2008). Pada
dasarnya, penggunaan material fotokatalis pada cat digunakan untuk mendegradasi molekul
organik yang menempel pada cat ataupun yang terkandung di udara di dalam ruangan. Ketika cat
terpapar oleh sinar matahari, maka material fotokatalis yang terdapat pada cat akan teraktifkan dan
mendekomposisi setiap molekul organik yang menempel atau bersentuhan dengan cat, sehingga
warna cat akan tetap cerah dan tahan lama (Gambar 2).
Gambar 2. Ilustrasi penggunaan material fotokatalis sebagai bahan aktif pada cat tembok
Baru-baru ini, peneliti dari University of Antwerp di Belgia telah menciptakan alat yang mampu
memurnikan udara tercemar menggunakan sinar matahari sambil memproduksi hidrogen yang
disimpan dan digunakan untuk sumber energi (Gambar 3). Mereka mengklaim menggunakan
material light activated catalyst sebagai material pintar yang bekerja untuk menjalankan dua
proses tersebut. Pada dasarnya, material fotokatalis yang mereka gunakan menerapkan prinsip
oksidasi dan reduksi secara bersamaan dimana pada proses penjernihan udara, material fotokatalis
menerapkan proses oksidasi melalui hole (h+) yang dihasilkan, dan proses produksi hidrogen,
Karakteristik material yang sangat unik menjadikan material ini sebagai material yang sangat
fotokatalis terus dilakukan hingga saat ini, mayoritas penelitian berbasis pada optimalisasi material
dan rekayasa proses yang dapat secara optimum memanfaatkan karakteristik material fotokatalis
untuk dapat digunakan dalam berbagai aplikasi. Kita harapkan suatu saat material ini dapat
Fotokatalis TiO2
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya TiO2 paling setring
digunakan sebagai fotokatalis dalam aplikasi reaksi fotokatalisis khususnya
pengolahan limbah. Ada beberapa keunggulan TiO2 dibandingkan fotokatalisis
semikonduktor lainnya [Linsebigler, 1995; Sopyan, 1998] :
1. Mempunyai celah pita (band gap) yang besar (3,2 eV anatase dan 3,0 eV
untuk rutile), sehingga memungkinkan banyak terjadinya eksitasi elektron ke pita
konduksi dan pembentukan hole pada pita valensi saat diinduksi cahaya
ultraviolet.
2. TiO2 mempunyai sifat stabil terhadap cahaya (fotostabil)
3. Mampu menyerap cahaya ultraviolet dengan baik
4. Bersifat inert dalam reaksi
5. Tidak baracun dan tidak larut dalam kondisi eksperimen
6. Secara umum memiliki aktivitas fotokatalisis yang lebih tinggi dari pada
fotokatalisis lain seperti ZnO, CdS, WO2, dan SnO2.
7. Memiliki kemampuan oksidasi yang tertinggi, termasuk zat organik yang sulit
terurai sekalipun haloaromatik, polimer, herbisida dan pestisida
TiO2 terdiri dari dua bentuk kristalogafik utama, anatse dan rutile. Energi band
gap untuk anatase (3.23 eV , 3.84 nm) dan ritile eV , 411 nm) [Litter, 1999].
Specific grafity anatse 3,84 dan rutile 4,26. Indeks refraktif anatase 2,25 dan rutile
2,75 dan daya adsorpsi rutile terhadap sinar ultraviolet lebih kuat (360 nm – 400
nm) [Byrne, 1998]. Anatase merupakan bentuk alotrofik paling aktif
dibangdingkan bentuk lainnya yang ada, bentuk alami (rutile dan brookite) atau
bentuk artificial (TiO2-B, TiO2-H). TiO2 dalam bentuk anatase secara
termodinamika lebih stabil daripada rutile tetapi pembentukannya secara kinetik
lebih baik pada suhu rendah (<600oC). Temperatur rendah ini dapat menjelaskan
luas permukaan yang lebih tinggi. TiO2 bentuk komersila yang apaling p[opuler
dan sangat aktif adalah Degussa P-25 yang memiliki komposisi 80% anatase dan
20% rutile [Sopyan, 1998], luas permukaan BET 55 m2/g, dan diameter partikel
30 nm [Linsebigler, 1995].
Fotokatalisis TiO2 memiliki celah pita (band gap) sebesar 3,2 volt yang bila
disinari UV pada panjang gelombangsekitar 340-390 nmdalam larutan (air), maka
akan menghasilakan pasangan elektron (e-) dan hole (h+) yang bermuatan positif,
seperti pada persamaan 2.1.
Besarnya energy band gap akan mempengaruhi daerah panjang gelombang
penyinaran yang optimal untuk mengeksitasi elektron pada pita valensi
semikonduktor. Hal ini dinyataka lewat persamaan :
E = hv= hc/λ (2.6)
Dimana h adalah konstanta planck, c adalah cepat rambat cahaya, dan λ adalah
panjang gelombang cahaya yang digunakan. Bagi TiO2 anatase, dengan band
energy sebesar 3,2 eV, dapat menyerap secara optimal sinar pada panjang
gelombang 388 nm [Amemiya, 2004].
Secara umum, TiO2 dalam fasa anatase mempunyai aktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan fasa rutile, karena pada fasa anatase TiO2 memiliki luas
p[ermukaan yang lebih besar dan ukuran yang lebih kecil dibanding rutile.
Fotokatalis dapat digunakan dalam bentuk serbuk dan lapisa tipis atau film dalam
aplikasi fotokatalisis fasa cair. Keuntungan katalis serbuk adalah effisiensi
pengolahan yang tinggi karena memilki luas permukaan yang besar untuk
adsorpsi ataupun reaksi, transfer massa yang baik antara kontaminan dalam
larutan dengan fotoikatalisnya dan pressure dropnya rendah [Djikstra, 2001;
Hermann, 1999; Malato, 2002; Matthews, 1992; Sopyan, 1996].
Namun, permasalahan yang timbul akibat pemakaian TiO2 dalambentuk serbuk
yaitu [Chan, 2003; Hermann, 1999; Malato, 1992; Matthews, 1992] :
1. Sulitnya pemisahan katalis dari suspensi setelah reaksi
2. Partikel yang tersuspensi cenderung menggumpal
3. Suspensi partikel tidak mudah diaplikasikan ke sistem aliran kontinyu
4. Kedalam penetrasi sinar UV ke dalam suspensi TiO2 terbatas
Parameter Yang Mempengaruhi Proses Fotokatalis
Beberapa parameter yang mempengaruhi proses fotokatalisis diantaranya pH,
loading katalis, panjang gelombang cahaya, konsentrasi awal reaktan, temperatur,
serta pengaruh keberadaan dan tekanan oksigen [Hermann, 1999].
a. pH
Ukuran partikel katalis TiO2 sangat dipengaruhi oleh pH. Semakin asam atau basa
suatu limbah maka ukuran katalis TiO2 akan semakin kecil, sehingga luas
permukannnya senakin besar. Dalam keadaan asam maka permukaan katalis akan
bermuaran positif, sehingga daya tolak antar partikel katalis akan semakin besar
yang menyebabkan katalis akan terdistribusi merata diseluruh spesi cairan. Begitu
pula sebaiknya dalam keadaan basa [Hermann, 1999].
Pada keadaan pH netral katalis memiliki ukuran partikel yang sangat besar. Dalam
pH netral dimana cairan tidak bermuatan menyebabkan permukaan katalis juga
menjaditidak bermuatan (zero Charge Point) sehingga daya tarik antar partikel
katalis menjadi lebih besar dan menyebabkan katalis membentuk gumpalan-
gumpalan.
Pada proses yang menggunakan sistem katalis slurry, pada tahap pengendapan
katalis dilakukan pada pH netral. Dengan ukuiranya yang besar pada pH netral,
maka separasi antar katalis dan limbah yang telah diolah lebih mudah dilakukan
sehingga dapat di recovery dan produk akhir yang telah murni dapat dimanfaatkan
untuk keperluan yang lain. Sistem ini telah diaplikasikan di PSA, Spanyol dengan
adanya satu unit khusus yang memisahkan katalis dari produk akhir dengan sistem
penetralan.
b. Berat katalis
baik adalam keadaan statis, slurry ataupun dalam aliran dianamis pada
fotoreaktor, laju reaksi awal dipengaruhi oleh jumlah katalis. Pada Gambar 2.5
terlihat laju reaksi awal tergantung pada berat katalis. Semakin tinggi berat katalis
yang digunakan maka laju reaksi awalnya menjadi lebih besar sampai pada berat
tertentu laju reaksi awalnya menjadi konstan.
Untuk TiO2 yang memiliki EG = 3,02 eV (rutile) sebagai contoh, membutuhkan λ
< 400 nm yaitu pada rentang sinar UV-A (near-UV). Sebagai tambahan, sifat
reaktan juga harus diperhatikan apakah dapat menyerap cahaya atau tidak.
d. Konsentrasi awal reaktan
secara umum, kinetika laju reaksi mengikuti mekanisme Langmuir-Hinshelwood
yang berlaku untuk katalisis keterogen dimana laju reaksi berbanding lurus
dengan θ sesuai persamaan berikut :
r=kθ (2.7)
Adapun hubungan antara konsentrasi awal reaktan dengan laju reaksi ditunjukkan
pada Gambar 2.7
Gambar 2.7 Pengaruh konsentrasi awal reaktan terhadap laju reaksi [Hermann,
1999]
e. Temperatur
Energi aktifasi pada proses fotokatalisis dalah energi foton, maka pada reaksi
fotokatalisis tidak membutuhkan pemenasan dan dapat beroprasi pada temperatur
ruang. Pengaruh temperatur terhadaplaju reaksi dapat dilihat pada Gambar 2.8.
pada rentang tewmperatur medium (20oC ≤ θ ≤ 80 oC) energi aktifasi sebenarnya
(true activation energy) sangat kecil (beberapa kJ/mol).
Tetapi pada temperatur yang sangat rendah (-40 oC ≤ θ ≤ 0 oC), aktivasinya
berkurang sedangkan Ea meningkat seperti yang terlihat pada gambar 2.7 diatas.
Desorpsi produk menjadi tahap penentulaju reaksi dan Ea dipengaruhi oleh panas
adsorpsi produk. Sedangkan pada suhu diatas 80 oC, proses eksotermis dari
adsorpsi reaktan A menjadi tahapa penetu laju reaksi, akibatnya aktifitas menurun.
f. Pengaruh keberadaan dan tekanan oksigen
Untuk beberapa reaksi, keberadaan oksigen sangat penting yaitu sebagai reduktor
diaman elektron yang dihasilkan oleh proses fotokatalisi akan digunakan
mereduksi molekul oksigen yang terlartut menjadi anion oksigen. Fenomena ini
terutama dibutuhkan pada proses oksidasi limbah organik.
Sc
Polutan organik + O2 CO2 + H2O + asam mineral (2.8)
E
G
Pada reaksi fasa cair, umunya diasumsikan oksigen diadsorpsi oleh katalis dari
fasa cairnya. Jika oksigen terus menerus disupplai dapat diasumsikan bahwa
keberadaannya pada permukaan katalis konstan.
Ozon
Ozon adalah molekul yang tersusun dari 3 (tiga) buah atom oksigen, senyawa ini
merupakan oksidator kuat (oksidasi potensial 2,07 eV), sehingga dapat digunakan
sebagai oksidator dalam penguraian zat/pencemar organik dan penyisihan logam-
logam terlarut dalam proses pengolhan limbah dan dalam pengolahan air
[http://www.sinarharapan.com].
Ozon pertama kali ditemukan oleh CF Schonbein pada tahun 1840. penemaan
ozon diambil dari bahasa yunani ozein yang berarti smell atau bau dan dikenal
sebagai gas yang tidak memiliki warna [Sugiarto, 203]. Ozon dapat larut dalam air
yang menghasilkan hidroksil radikal (OH–), diaman memiliki potensial oksidasi
sangat tiggi (2,8 V) [Beltran, 1997].
1 Kegunaaan Ozon
Proses ozonasi pertama kali dikenalkan oleh Nies dari negara Perancis sebagai
metode intuk mensterilkan air minum pada tahun 1996. penggunaan proses
ozonasi ini kemudian berkembang dengan pesat yaitu untuk pengolahan air
minum yang menggunakan sistem ozonasi di Amerika Serikat [Sugiarto, 2003].
Di Asia, pemanfaatan ozon untuk mengolah air minum pertama kali dilakukan
dikota Amagasaki, Jepang pada tahun 1973. Menurut Kuprianoff (1953) berbagai
pemanfaatan ozon antara lain untuk pengolahan air minum adan air limbah, ozon
untuk sterilisasi bahan makanan mentah seperti daginmg dan ikan dengan
menghambat perkembangan jamur, sayur mayur dan buah-buahan, ozon sterilisasi
peralatan seperti aplikasi dalam bidang kedokteran, dan memperlancar aliran
darah [Sugiarto, 2003].
Ozon dengan kemampuan oksidasinya dapat menguraikan berbagai macam
senyawa organik beracun yang terkandung dalam air limbah, seperti benzene,
atrazine, dioxine, dan berbagai ztat pewarna organik [Sugiarto, 2003]. Menurut
violle (1929) melalui proses oksidasinya pula ozon mampu membunuh berbagai
macam mikroorganisme seperti bakteri Escherichia coli, Salmonella enteriditis,
serta bakteri pathogen lainnya.
Katalis
Katalis adalah substansi yang mempercepat reaksi tetapi tidak terkonsumsi apada
reaksi tersebut [http//www.uic.com]. Senyawa antara yang dihasilkan bersifat
sangat aktif sehingga secara cepat dapat mengalami perubahan mengikuti tahap
reaksi yang berlangsung sampai akhirnya menjadi produk dan meninggalkan
katalis kembali ke bentuk semula. Hal ini disebabkan karena katalis dapat
menurunkan energi aktivasi suatu reaksi.
Umumnya katalis bersifat spesifik, artinya katalis tertentu dapat mempercepat
reaksi tertentu. Katalis yang dibentuk dari komponen – komponen yang
menunjang sifat katalis yang diharapkan. Pada dasarnya sifat katalis yang
diharapkan adalah aktif, selektif, stabil dan ekonomis [Fogler, 1999].
Berdasarkan fasanya, katalis dibagi menjadi dua jenis yaitu katalis homogen dan
katalis heterogen. Katalis homogen adalah katalis yang berada pada fasa yang
sama dengan fasa reaktan, biasanya fasa cair. Sedangkan katalis heterogen adalah
katalis yang berbeda fasa dengan reaktannya.
Seperti yang telah kita ketahui, makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok
dalam kehidupan manusia. Manusia dapat bertahan hidup karena mendapatkan
energi yang bersumber dari makanan yang dikonsumsinya. Makanan yang kita
konsumsi haruslah makanan yang sehat, yaitu makanan yang bergizi dan bersih.
Makanan bergizi adalah makanan yang mengandung 4 sehat 5 sempurna, juga
terjaga kebersihannya. Bersih disini dalam artian makanan dalam kondisi steril.
Makanan dan minuman yang tersedia di pasaran sekarang ini kebanyakan telah
melalui suatu teknik pengemasan tertentu. Tujuan pengemasan adalah untuk
melindungi dan mengawetkan makanan, untuk menjaga kualitas dan keamanan
makanan, dan untuk mengurangi sampah makanan (Bradley et al., 2011).
Material dan teknologi pengemasan makanan yang ada saat ini telah cukup untuk
memegang peranan dalam memberikan keamanan dalam penyuplaian makanan.
Namun industri makanan dan minuman selalu mencari teknologi baru untuk bisa
menambahkan kualitas, umur dan keselamatan dari produk mereka. Datangnya
teknologi nano, yang melibatkan manufaktur dan pengunaan material dalam
rentang ukuran sekitar 100 nm, telah membuka peluang-peluang baru untuk
pengembangan material baru dengan sifat yang terimprovisasi, yang salah satunya
adalah pada material kemasan makanan. Chaudhry et al. (2008) melaporkan
bahwa telah terdapat sejumlah perusahaan besar di bidang makanan yang aktif
mengeksplor potensi penggunaaan nanomaterial dalam pengemasan makanan.
Teknologi lain yang saat ini baru berkembang dalam bidang pengemasan
makanan antara lain, penggunaan jenis plastik baru, formulasi biodegradable
materials, preservasi menggunakan radiasi ionisasi, preservasi menggunakan
pemanasan microwave, dan preservasi menggunakan tekanan tinggi. Teknologi-
teknologi tersebut perlu dievaluasi untuk mengetahui potensial bahaya dan
keuntungannya, begitu juga dengan nanoteknologi. Potensi aplikasi nanoteknologi
dalam material kemasan makanan antara lain:
Dari metode-metode tersebut, aplikasi yang memiliki banyak dampak besar
terhadap kualitas pengemasan adalah aplikasi nanokomposit. Sebab, dengan
menggunakan nanomaterial sebagai material utamanya, kemasan tersebut akan
memiliki properti yang jauh lebih baik dari properti yang bukan nanomaterial.
Dan ini sangat berpegaruh terhadap daya tahan dari kemasan itu sendiri. Selain
itu, bila nanomaterial tersebut memiliki sifat antimikrobial juga, maka
nanokomposit ini juga akan berperan sebagai surface biocides. Dan ada
kemungkinan dengan penggunaan bahan baku kemasan akan lebih sedikit karena,
karena dengan kuantitas yang sedikit telah memiliki kualitas yang sangat baik.
·Korea
·Swedia
Swedia, merupakan negara yang memiliki divisi manufaktur dan desain kayu dan
bionanocomposite, bekerja sama dengan institut teknologi Grenoble, di Perancis
sedang mengembangkan bio-nanokomposit dengan bahan baku selulosa yang
memiliki berbagai keuntungan yang signifikan misalnya, biaya rendah dari bahan
baku; kepadatan rendah; alam terbarukan; konsumsi energi yang rendah, sifat
spesifik yang tinggi ; Biodegradabilitas; ketersediaan hampir tak terbatas. Untuk
aplikasi penguatan, nanopartikel selulosa hadir beberapa kelemahan, misalnya,
penyerapan kelembaban tinggi, wet ability rendah, ketidakcocokan dengan
sebagian besar matriks polimer dan pembatasan suhu dalam pengolahan. salah
satu dari bentuk selulosa itu ialah microfibrillated cellulose (MFC). Teknologi
dilakukan dengan tekanan yang tinggi hingga partikel nano terbentuk. Namun
satu kelemahan yang terkait dengan penggunaan selulosa untuk nanocomposites
polimer adalah kesulitan yang melekat padanya karena untuk memecah
mediumnya bersifat non-polar, sedangkan permukaan kutub mereka
polar. Dengan kata lain, penggabungan dari nano kristal selulosa sebagai
bahan penguat sejauh ini terutama terbatas pada lingkung-an berair atau polar.
Terdapat dua teknik yang digunakan untuk menyiapkan polisakarida
nanokompositynya yaitu: