Anda di halaman 1dari 3

Penggunaan Rumah Kaca untuk

Mengatasi Permasalahan Lahan dan Cuaca dalam Produksi Garam Lokal

Oleh: Grace Naomi Gokasi Limbong

Garam merupakan salah satu potret ironis industri Indonesia, di satu sisi
sebagai negara bahari dengan potensi garam, namun di sisi lain garam yang
dihasilkan sangat rendah¹. Direktur Utama PT Garam (Persero), Usman Perdana
Kusuma menyebut, setidaknya ada tiga penyebab Indonesia masih menjadi
negara importir garam². Kendala pertama adalah masa panen dan pengolahan
garam di Indonesia relatif sangat singkat dan sederhana. Hal ini mengakibatkan
kualitas garam, yang dihasilkan di Indonesia, sangatlah rendah. Kendala kedua
adalah teknologi pengolahan (refinery) yang belum dimiliki PT Garam dan para
petani garam. Teknologi ini berguna untuk menaikkan kualitas garam agar sesuai
dengan kebutuhan industri makanan dan minuman yang selama ini masih diimpor.
Kendala ketiga adalah mencari lahan baru. Indonesia memerlukan tambahan
lahan baru di tepi pantai yang relatif luas, minimal 5.000 hektar yang tidak
terpisah-pisah dan terintigrasi untuk memperkecil biaya produksi.

Namun, terdapat faktor lain yang memengaruhi jumlah produksi garam


lokal selain dari luas lahan tambak garam. Salah satu penyebab utama mengapa
peningkatan luas tambak tidak sejalan dengan jumlah produksi adalah faktor
cuaca³. Selain harus didukung oleh radiasi sinar matahari yang memadai,
terjadinya evaporasi air garam juga harus didukung oleh kondisi iklim mikro pada
areal penggaraman, yang meliputi angin, curah hujan, suhu, kelembaban, serta
durasi penyinaran matahari⁴.

Bagaimana solusi terkait permasalahan tersebut?

Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan cuaca dalam produksi


garam adalah dengan membangun sebuah rumah kaca (greenhouse) bagi lahan
tambak garam. Dalam penggnaan rumah kaca bagi budi daya tanaman, cahaya
yang dibutuhkan oleh tanaman dapat masuk ke dalam rumah kaca sedangkan
tanaman terhindar dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, yaitu suhu
udara yang terlalu rendah, curah hujan yang terlalu tinggi, dan tiupan angin yang
terlalu kencang. Hal ini juga dapat dimanfaatkan dalam produksi garam. Rumah
kaca dapat melindungi lahan tambak garam dari hujan dan mempercepat proses
evaporasi air garam. Proses evaporasi air garam dapat dipercepat karena
terjadinya peristiwa efek rumah kaca (greenhouse effect). Efek rumah kaca dapat
disebabkan oleh dua hal⁵. Pertama, pergerakan udara di dalam rumah kaca yang
relatif sangat sedikit menyebabkan suhu udara di dalam rumah kaca cenderung
lebih tinggi daripada di luar. Kedua, radiasi matahari gelombang pendek yang
masuk ke dalam rumah kaca melalui atap diubah menjadi radiasi gelombang
panjang. Radiasi gelombang panjang ini tidak dapat keluar dari rumah kaca dan
terperangkap di dalamnya. Hal ini menimbulkan peningkatan suhu udara di dalam
rumah kaca.

Selain itu, rumah kaca juga dapat digunakan untuk mengatasi


permasalahan lahan dalam produksi garam. Petani garam dapat memanfaatkan
rumah kaca dalam produksi garam sekaligus dalam budi daya tanaman
hidroponik. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan budidaya tanaman
hidroponik secara terbalik (upside down). Sebagai contoh, pertanian di daerah
pesisir Kulon Progo mulai berkembang dengan jenis komoditas hortikultura seperti
cabai, terong, sawi, oyong, pare, kacang panjang dll⁶. Selain sebagai lahan
pertanian, daerah ini juga dapat dimanfaatkan sebagai lahan tambak garam⁷.
Berdasarkan hal tersebut, daerah pesisir Kulon Progo dapat dimanfaatkan untuk
dua hal, yaitu sebagai lahan tambak garam dan lahan pertanian. Pemanfaatan
akan daerah ini dapat dilakukan secara maksimal dengan menggabungkan lahan
tambak garam, yang ditempatkan pada permukaan tanah, dan lahan pertanian,
yang ditempatkan atau digantung secara terbalik pada langit-langit rumah kaca.
Selain mengatasi permasalahan lahan, teknologi ini juga dapat menambah
sumber pendapatan para petani.

Kesimpulan

Sejumlah faktor Indonesia masih mengimpor garam adalah masa panen


dan pengolahan garam, teknologi pengolahan (refinery) garam, lahan tambak
garam, dan cuaca. Kedua faktor tersebut, yaitu faktor lahan dan cuaca, dapat
diatasi dengan menggunakan rumah kaca sebagai lahan tambak garam sekaligus
sebagai lahan pertanian hidroponik dengan teknik terbalik (upside down).
Daftar Pustaka

1. Manadiyanto. 2010. Dukungan Kebijakan dan Peranan Pemerintah dalam


Menuju Swasembada Garam. Diakses tanggal 31 Mei 2019 dari
http://bbpse.litbang.kkp.go.id/publikasi/policybrief/03garam.pdf.
2. Feby Dwi Sutianto. 2015. Kenapa Sih Indonesia Masih Impor Garam?. Detik
Finance. Diakses pada 31 Mei 2019 melalui
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3025068/kenapa-sih-
indonesia-masih-impor-garam.
3. Aditya P. Alhayat. 2016. Peluang dan Tantangan Komoditas Garam di
Indonesia. Di dalam: Zamroni Salim, Ernawati Munadi, editor. Info
Komoditi Garam. Jakarta: Al Mawardi Prima hlm 96.
4. Anonim. Diakses pada 31 Mei 2019 melalui
https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/13325/6/BAB1_Pen
dahuluan.pdf.
5. Bot. 1983. Di dalam: Anonim. Diakses pada 31 Mei 2019 melalui
https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/13325/6/BAB1_Pen
dahuluan.pdf.
6. Satria AN. 2013. Pertanian Pesisir Kulon Progo Memiliki Prospek Bagus.
Diakses pada 31 Mei 2019 melalui https://www.ugm.ac.id/id/berita/7983-
pertanian-pesisir-kulon-progo-memiliki-prospek-bagus.
7. Rikando Somba. 2017. Yogyakarta Siapkan 6 Sentra Produksi Garam. Diakses
pada 31 Mei 2019 melalui https://www.validnews.id/Yogyakarta-Siapkan-6-
Sentra-Produksi-Garam-V0000541.

Anda mungkin juga menyukai