Anda di halaman 1dari 15

Tugas Lingkungan Tambang

Konsep Green Mining di Indonesia

Oleh :

Fajar Muharram R (11160980000046)

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara dengan wilayah sangat luas nan indah dan berpotensi
sumber daya alam yang luar biasa melimpah. Untuk dapat memanfaatkan sumber daya
tersebut, dilakukan kegiatan eksplorasi dan penambangan bahan alam tersebut agar dapat
diolah lebih lanjut.
Kegiatan penambangan ini banyak menimbulkan dampak pada lingkungan. Hal ini
tidak dapat dipungkiri, kegiatan pertambangan dilakukan dengan membuka hutan dan
melakukan penggalian kedalam tanah yang banyak menimbulkan kerusakan ekosistem dan
vegetasi. Selain hal tersebut proses penambangan juga menimbulkan limbah yang berbahaya
bagi lingkungan yang akhirnya berdampak pada masyarakat sekitar lokasi penambangan. Maka
tak ayal paradigma masyarakat pada kegiatan pertambangan sangatlah negatif dan hanya
membuat mereka yang berada di sektiar lokasi menjadi semakin terpuruk.
Namun seiring berjalannya waktu, pemerintah mulai melakukan aturan-aturan ketat
terkain proses penambangan yang berbasis Green Mining. Yaitu setiap perusahaan
pertambangan diwajibkan melakukan kegiatan penambangan yang memperhatikan aspek
lingkungan, sosial budaya, serta reklamasi lahan bekas tambang menjadi hal mutlak. Sesuai
asas dan tujuan dari kegiatan pertambangan yang tertuang dalam UU No 4 Tahun 2009 bahwa
kegiatan pertambangan harus berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan konsep Green Mining ?
2. Bagaimana karakteristik dari konsep Green Mining
3. Bagaimana solusi untuk menerapkan konsep Green Mining ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep Green Mining
2. Untuk mengetahui karakteristik konsep Green Mining
3. Mencari dan mengetahui solusi untuk menerapkan konsep Green Mining
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Pengertian
Green Mining adalah suatu proses penambangan yang meminimalkan interaksi
tambang dengan lingkungan melalui pengelolaan gas, air dan limbah, penurunan dan gangguan
ekosistem, emisi gas rumah kaca, konsumsi energi, dan tentu saja masyarakat. Metode ini dapat
berupa teknologi, pengaplikasian yang baik dilapangan serta lainnya.
Green Mining dapat membantu mengurangi biaya operasional untuk industri
pertambangan dan meningkatkan daya saingnya dengan menggunakan teknologi ramah
lingkungan yang mengkonsumsi lebih sedikit energi dan bahan kimia. Jadi suatu kegiatan
penambangan harus memperhatikan aspek lingkungan dan dampak sosial terhadap masyarakat.
Sesuai asas dan tujuan dari kegiatan pertambangan yang tertuang dalam UU No 4 Tahun 2009
bahwa kegiatan pertambangan harus berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

2.2 Karakteristik Green Mining


Green Mining memiliki karakteristik yang berbeda dengan konsep penambangan
konvensional pada saat melakukan operasi penambangan. Karakteristiknya adalah:

a. Berkomitmen untuk mengurangi penggunaan energi saat ini dengan menggunakan


rencana pemanfaatan energi yang efisien
b. Penggunaan air untuk kegiatan penambangan dapat dilakukan daur ulang.
c. Tailing hasil pengolahan dipisahkan dulu dari air yang terkandung dalam tailing,
agar airnya dapat didaur ulang.
d. Emisi gas seperti CO2 yang dihasilkan dilakukan treatment terlebih dahulu sebelum
dibuang ke lingkungan.
e. Penggunaan alat angkut yang menggunakan listrik.
f. Membasahi terlebih dahulu area yang akan dilakukan proses peledakan untuk
meminimalisasi debu.
g. Menggunakan metode selective mining untuk mengurangi jejak ekologis,
h. Pengurangan penggunaan bahan kimia.
i. Pembuatan rencana reklamasi sejak awal perencanaan tambang.
2.3 Kebijakan
Kebijakan dari konsep Green Mining di Indonesia tertulis pada UU No 4 Tahun 2009
bahwa kegiatan pertambangan harus berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam hal ini
berwawasan lingkungan dapat diartikan bahwa pemerintah Indonesia mulai menerapkan
konsep Green Mining kepada seluruh perusahaan pertambangan yang ada di Indonesia.

Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 78/2010 (“PP No. 78”) pada
tanggal 20 Desember 2010 yang mengatur aktivitas reklamasi dan pascatambang untuk
pemegang IUP-Eksplorasi dan IUP-Operasi Produksi.

Selain itu Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No: 17 Tahun 2001 tentang
Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi AMDAL. Kegiatan usaha
pertambangan umum dengan luas perizinan (KP) di atas 200 hektar atau luas daerah terbuka
untuk pertambangan di atas 50 hektar kumulatif per tahun wajib dilengkapi dengan AMDAL.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Konsep Green Mining


Kegiatan pertambangan selalu menjadi suatu momok yang menyeramkan bagi
masyarakat sekitar lokasi, karena yang terbesit dalam benak mereka adalah kegiatan
pertambangan akan merusak ekosistem lingkungan mereka. Sehingga akan merubah secara
drastis kehidupan mereka yang awalnya mengandalkan hutan dan lahan sebagai tempat
berkebun, sungai sebagai tempat mencari ikan, dan lain sebagainya.

Potensi dampak penting terhadap lingkungan dari usaha pertambangan secara umum
antara lain merubah bentang alam, ekologi dan hidrologi. Kemudian, lama kegiatan usaha
tersebut juga akan memberikan dampak penting terhadap kualitas udara, kebisingan, getaran
apabila menggunakan peledak, serta dampak dari limbah cair yang dihasilkan.

Kegiatan pertambangan sebenarnya dapat berbuat banyak untuk mendukung


mewujudkan masa depan Indonesia yang lestari. Dukungan perusahaan pertambangan dapat
dimulai sejak awal beroperasinya perusahaan tersebut yang telah menyatakan komitmennya
sebagai perusahaan pertambangan yang ramah lingkungan. Sebagaimana yang telah diatur oleh
pemerintah melalui UU No 4 Tahun 2009 bahwa kegiatan pertambangan harus berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan, serta Peraturan Pemerintah No. 78/2010 (“PP No. 78”) pada
tanggal 20 Desember 2010 yang mengatur aktivitas reklamasi dan pascatambang untuk
pemegang IUP-Eksplorasi dan IUP-Operasi Produksi.

Setiap perusahaan pertambangan di Indonesia sebenernya dapat menerapkan konsep


Green Mining pada kegiatan mereka agar dapat meminimalkan dampak terhadap lingkungan
dengan cara sejak awal beroprasi telah memiliki rencana reklamasi lahan pasca operasi selesai,
berkomitmen untuk mengurangi penggunaan energi saat ini dengan menggunakan rencana
pemanfaatan energi yang efisien, menggunakan metode selective mining untuk mengurangi
jejak ekologis, pengurangan penggunaan bahan kimia, serta melakukan reklamasi lahan pasca
tambang agar mengembalikan lahan pada keadaan semula dan bahkan dapat memberikan lahan
tersebut nilai tambah.
Selain menjadi perusahaan yang ramah lingkungan, perusahaan pertambangan juga
dituntut untuk memberikan dukungan terhadap upaya penghijauan melalui gerakan menanam
100 juta pohon di Indonesia. Pelaku pertambangan dapat berpartisipasi dan berperan penting
dalam gerakan menanam 100 juta pohon, misalnya dengan menanami areal seluas 250 hektar
di sekitar lokasi tambangnya. Kegiatan tersebut perlu dilakukan secara terus menerus dengan
melibatkan masyarakat sekitar. Dengan cara seperti itu, dunia usaha pertambangan tidak saja
mendukung gerakan menanam nasional tetapi juga mempunyai peran penting dalam membantu
memberikan lapangan kerja kepada masyarakat di sekitar lokasi pertambangan.

Komitmen mewujudkan Green Mining tersebut sebenarnya sudah banyak dilakukan


oleh perusahaan pertambangan, namun banyak pula perusahaan yang baru mulai
melakukannya dengan mempelajari pelaksanaan penanaman yang baik di Departemen
Kehutanan. Kegiatan penanaman di areal bekas tambang sudah lama dilakukan oleh sejumlah
perusahaan besar, hanya saja secara teknis penanamannya belum sepenuhnya dilakukan
dengan benar, misalnya pemilihan waktu penanaman yang tidak tepat.

Salah satu reklamasi lahan pasca tambang yang menjadi contoh untuk perusahaan
tambang lain adalah kegiatan reklamasi PT. Bukit Asam yaitu dengan pembuatan Taman Hutan
Rakyat dari lahan bekas tambang seluas 5.394 hektar, 3.350 hektar di antaranya merupakan
lahan bekas Tambang Air Laya dan 2.044 hektar adalah lahan bekas Tambang Banko Barat.
Lahan-lahan ini dijadikan hutan yang memiliki nilai ekonomis. Hutan ini berfungsi sebagai
hutan untuk penelitian, perkemahan dan darmawisata, bahkan zona Penelitian produktif.

Pada saat ini, perusahaan pertambangan yang melakukan penambangan di areal lahan
hutan mencapai luas hampir 2 juta hektar. Apabila areal seluas itu mampu dihijaukan kembali
setelah selesai kegiatan usaha penambangan, maka perusahaan pertambangan di Indonesia
tidak hanya mampu mewujudkan Green Mining tetapi juga berperan penting dalam upaya
pelestarian hutan dan lingkungan hidup.
3.2 Kendala Pengaplikasian Konsep Green Mining
Kendala dari pengaplikasian konsep Green Mining adalah sebagai berikut :

1. Belum adanya keseriusan dari pihak pemerintah sebagai pemangku kebijakan dalam
memperhatikan aktifitas industri pertambangan dalam menjalankan usahanya.
Keterbukaan akan informasi yang harus dijalankan menjadi dasar tonggak
pembangunan industri pertambangan juga belum maksimal. Sehingga, ini mudah dan
bisa dijangkau oleh siapun. Dan, kontrol dari pihak pemerintah terkait, juga belum
maksimal. Hal ini bisa terlihat dari reklamasi paska tambang sebagaimana diatur yang
pengerjaannya secara asal-asal tanpa memperhatikan standar yang berlaku sesuai
dengan kelayakan dan kriteri keberhasilannya.

2. Pengusaha sebagai badan usahanya selaku pemegang usaha belum mematuhi aturan
yang berlaku. Sebagaimana tercantum dalam PP. 78 Tahun 2010 pada pasal (4) tentang
reklamasi paska tambang bahwa proses pengolahan lingkungan hidup pertambangan
paling sedikit meliputi; perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut
dan tanah serta udara berdasarkan standar baku mutu atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan perundang-udangan. Para pengusaha
cenderung tidak ingin mengeluarkan banyak uang untuk melakukan reklamasi lahan
paska tambang mereka.
BAB IV

STUDI KASUS

4.1 Penyebaran Merkuri Akibat Usaha Pertambangan Emas di


Daerah Sangon, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta

Usaha pertambangan emas di wilayah Kokap telah berlangsung sejak ±10 tahun yang
lalu, setelah penemuan urat-urat kuarsa mengandung emas di Daerah Sangon dan sekitarnya
oleh penambang emas tradisional dari Tasikmalaya. Penambangan emas dilakukan dengan
sistem tambang bawah tanah dengan cara membuat terowongan (adit) dan sumur (vertical
shaft). Teknik penambangan dilakukan tanpa perencanaan yang baik dan dengan cara
penggalian mengikuti arah urat kuarsa yang diperkirakan memiliki kadar emas cukup tinggi.

Pengolahan bijih emas dengan teknik amalgamasi di Daerah Sangon umumnya


dilakukan di halaman rumah atau di pinggir sungai yang berdekatan dengan lokasi tambang
dengan memakai gelundung. Satu lokasi pengolahan bijih menggunakan 1 - 10 gelundung
dan setiap gelundung dapat mengolah 15 - 25 kg bijih dalam sehari. Bijih yang telah ditumbuk
dimasukkan kedalam gelundung berisi potongan besi (rod), ditambahkan air, merkuri dan
semen, dan selanjutnya diputar selama 8 - 24 jam dengan tenaga listrik (generator) atau kadang-
kadang dengan tenaga air jika kondisi sungai memungkinkan. Setelah proses amalgamasi
selesai, amalgam dipisahkan dari tailingnya dengan cara diperas dengan kain parasit dan tailing
dialirkan ke dalam bak penampungan tailing atau dibiarkan mengalir ke halaman rumah.

Di beberapa lokasi, material tailing yang telah memenuhi kolam dijual dan dibawa
keluar daerah Sangon untuk diproses ulang. Jika hal ini terjadi, maka kemungkinan
kontaminasi merkuri di lokasi pengolahan di Sangon dapat berkurang. Tetapi kadang-kadang
dalam kondisi bak penampungan yang telah penuh, proses pengolahan masih berlangsung
sehingga tailing meluap dan mengalir ke sungai, terutama jika terjadi hujan, sehingga terjadi
kontaminasi merkuri di lingkungan sekitarnya. Selain itu jika gelundung diletakkan di pinggir
sungai, biasanya tailing dibuang langsung kedalam sungai sehingga kontaminasi merkuri di
sungai akan terjadi secara langsung.
Proses pemisahan emas dari amalgam dilakukan dengan cara penggarangan yang
sederhana tanpa mempertimbangkan kualitas kesehatan dan lingkungan kerja. Amalgam
dimasukkan kedalam mangkok keramik, ditambahkan boraks dan langsung dibakar pada suhu
300-400 °C sampai menghasilkan bullion. Proses ini dilakukan di ruangan terbuka sehingga
merkuri akan langsung menguap dan mengkontaminasi udara di sekitarnya.

Pengambilan conto sedimen sungai dan air dilakukan pada saat musim kemarau,
dimana banyak sungai yang sifatnya intermiten memiliki debit air yang sangat kecil atau
bahkan tidak berair. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa sedimentasi logam berat
dalam endapan sungai berlangsung lambat dan penyebarannya bersifat lokal. Meskipun
demikian pada saat musim hujan, sebagian sungai mengalami banjir dan dalam keadaan
demikian memungkinkan penyebaran merkuri dan unsur logam lainnya lebih luas, sehingga
kontaminasi merkuri dan unsur lainnya dalam air dan sedimen sungai akan membawa dampak
lebih besar, terutama jika unsur-unsur berbahaya tersebut diserap oleh makhluk hidup sebagai
bagian rantai makanan yang akhirnya menjadi konsumsi masyarakat.

Penanganan tailing dilakukan secara sederhana dengan kolam penampungan yang


sangat terbatas, tanpa disertai dengan pengelolaan yang baik, seperti misalnya tidak
dilakukannya proses detoksifikasi, degradasi, maupun penjernihan, sehingga material halus
merkuri, arsen dan logam dasar masih bercampur dalam tailing. Oleh karenanya disarankan
untuk melakukan penanganan tailing dengan cara daur ulang dan dengan sistem kolam
penampungan yang lebih memadai. Selain itu pengangkutan atau penjualan material tailing
keluar daerah secara teratur dapat mengurangi pencemaran merkuri di daerah Sangon dan
sekitarnya.

Proses pengolahan emas berada di halaman rumah dan kebun, memungkinkan


terjadinya pencemaran merkuri terhadap lingkungan hidup, terutama jika kolam
penampungan tailing tidak ditangani dengan baik. Selain itu proses penggarangan secara
sederhana dilakukan di sekitar rumah, dapat menyebabkan pencemaran lingkungan oleh uap
merkuri yang ditimbulkannya.

Hasil analisis kimia conto air menunjukkan tidak terdeteksi adanya kontaminasi
merkuri dan logam berat lainnya dalam air permukaan. Meskipun demikian di beberapa
tempat, usaha pertambangan rakyat telah menimbulkan dampak kekeruhan terhadap air
permukaan.
Pengolahan emas dengan teknik amalgamasi telah menyebabkan kontaminasi
merkuri pada sedimen sungai di sekitarnya. Kadar merkuri dalam beberapa conto sedimen
sungai telah menunjukkan nilai yang sangat tinggi dan berpotensi menimbulkan dampak
lingkungan yang negatif dan berbahaya bagi masyarakat di wilayah Kulon Progo. Kenaikan
kadar Pb, Zn, As dan Cd yang tinggi dalam conto sedimen sungai di sekitar daerah tambang
emas rakyat berhubungan langsung dengan proses pengolahan emas dengan cara amalgamasi
dimana mineral sulfida logam, bersama dengan logam merkuri terbuang sebagai campuran
halus material tailing.

Hasil analisis conto tanah menunjukkan kadar merkuri yang sangat tinggi; 4 conto
mengandung >50 ppm Hg dan 1 conto mengandung 7 ppm Hg. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa wilayah di sekitar tempat pengolahan emas rakyat telah mengalami
kontaminasi merkuri yang signifikan. Mengingat tingginya unsur merkuri dalam tanah,
disarankan untuk melakukan studi geohidrologi untuk mengidentifikasi karakteristik air tanah
dan kemungkinan pencemaran air tanah di sekitar lokasi tambang rakyat. Hal ini diperlukan
mengingat sebagian besar penduduk memanfaatkan air sumur untuk keperluan hidup sehari-
hari.

Tailing dari 9 lokasi pengolahan emas rakyat di Sangon mengandung merkuri yang
sangat tinggi, yaitu 800 – 6900 ppm. Kenaikan konsentrasi merkuri dalam tailing yang tinggi
berhubungan erat dengan pemakaian merkuri dalam proses penggilingan bijih. Selain itu
material tailing masih mengandung emas, perak dan logam lainnya dalam jumlah yang tinggi,
menunjukkan recovery pengolahan yang tidak optimal dan tidak dilakukannya penanganan
tailing secara baik.

Penyebaran merkuri akibat usaha pertambangan emas rakyat diperkirakan masih


bersifat lokal karena banyak sungai yang bersifat intermittent atau memiliki debit air yang
kecil sehingga mobilitas merkuri rendah.
4.2 Analisa Studi Kasus
Menurut UU No. 11 Tahun 1967, defenisi pertambangan rakyat adalah suatu usaha
pertambangan bahan – bahan galian dari semua golongan a, b dan c seperti yang dimaksud
dalam pasal 3 ayat (1) yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara
gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri.

Secara umum pertambangan rakyat dalam UU Minerba tahun 2009 menjadi suatu
kegiatan yang sepertinya tidak ada bedanya dengan pertambangan yang dilakukan oleh
perusahaan.Kegiatan pertambangan tersebut hanya dibedakan dengan skala luas wilayah dan
investasi yang berbeda.Akibatnya dapat ditafsirkan bahwa aktivitas pertambangan rakyat juga
menjadi bagian dari aktivitas pertambangan pada umumnya, yaitu suatu kegiatan mulai
penyelidikan, ekplorasi, eksploitasi, penjualan, hingga reklamasi lahan pasca tambang.
Sementara itu, bila diperhatikan masyarakat yang melakukan penambangan maupun
lingkungan dan kondisinya, mereka memiliki karakteristik yang sulit sekali diatur sebagaimana
suatu perusahaan. Karakteristik dari tambang rakyat cenderung apabila hasil tidak lagi menarik,
maka mereka dengan mudah pergi berpindah mencari tempat lain. Dengan sebagian dari
karakteristik yang ada pada masyarakat penambang tersebut, akan sulit bila aktivitas
penambangan rakyat diperlakukan sama dengan penambangan yang dijalankan dalam bentuk
perusahaan.

Sementara itu, dalam Permen Pertambangan dan Energi No. 01P/201/M.PE/1986


pengertian Pertambangan Rakyat ada penekanan siapa pelaku penambangan tersebut yaitu ada
tambahan kalimat yang berbunyi “… yang dilakukan oleh rakyat setempat yang bertempat
tinggal di daerah bersangkutan….” Batasan pengertian tersebut setidaknya akan memudahkan
pengelompokkan masyarakat untuk dapat dimasukkan kedalam batasan pertambangan rakyat.
Usaha pertambangan rakyat dapat dilaksanakan bila telah ada Izin Pertambangan Rakyat
(IPR).Yang berhak memberikan IPR, dalam pasal 67 ayat 1 disebutkan adalah
“Bupati/Walikota memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan
maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi”.
Secara aspek legal, kegiatan penambangan dan pengolahan emas di Sangon, Kulon
Progo, Jogjakarta tidaklah dapat digolongkan sebagai pertambangan rakyat, dikarenakan
pelaku usaha penambangan dan pengolahan emas di daerah tersebut bukanlah warga setempat
melainkan warga imigran dari Tasikmalaya. Sehingga kegiatan penambangan dan pengolahan
emas di daerah tersebut bisa dikatakan sebagai kegiatan yang ilegal apabila mengacu pada
Permen Pertambangan dan Energi No. 01P/201/M.PE/1986.

Selain hal tersebut, kegiatan masyarakat yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun
tersebut telah menimbulkan banyak persoalan dan kerugian, baik bagi negara, lingkungan
maupun bagi mereka sendiri. Kegiatan penambangan dan pengolahan emas yang ada sangatlah
jauh berbeda dengan karakteristik dari Green Mining, dikarenakan masyarakat melakukan
proses penambangan dan pengolahan emas sangat tidak memperhatikan aspek lingkungan.
Yang dapat dibuktikan meletakan kolam penampungan tailing di halaman rumah atau bahkan
ada yang dibiarkan mengalir ke halaman rumah. Pada saat kondisi kolam penampungan tailing
yang telah penuh, proses pengolahan masih berlangsung sehingga tailing meluap dan mengalir
ke sungai, terutama jika terjadi hujan, sehingga terjadi kontaminasi merkuri di lingkungan
sekitarnya. Selain itu jika gelundung diletakkan di pinggir sungai, biasanya tailing dibuang
langsung kedalam sungai sehingga kontaminasi merkuri di sungai akan terjadi secara langsung.

Sebaiknya pemerintah terkait menertibkan kegiatan penambangan emas di Sangon,


Kulon Progo, Jogjakarta selain kegiatan tersebut yang dapat tergolong ilegal serta mencegah
terjadinya kerusakan lingkungan yang lebih parah akibat kegiatan penambagan dan pengolahan
emas tersebut. Dan pemerintah terus mengawasi daerah tersebut agar tidak ada kegiatan
penambagan dan pengolahan emas kembali. Atau pemerintah terkait memberikan penjelasan
mengenai konsep Green Mining kepada para penambang emas di daerah tersebut, dan
menginisiasi sebuah badan usaha yang legal secara hukum untuk melakukan kegiatan
penambangan dan pengolahan emas pada daerah tersebut agar badan usaha tersebut memiliki
kewajiban untuk mereklamasi lahan paska tambang mereka sebagai mana tercantum pada PP
78 tahun 2010.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari makalah di atas dapat disimpulkan bahwa :

1. Green Mining adalah suatu proses penambangan yang meminimalkan interaksi


tambang dengan lingkungan melalui pengelolaan gas, air dan limbah, penurunan dan
gangguan ekosistem, emisi gas rumah kaca, konsumsi energi, dan tentu saja
masyarakat. Metode ini dapat berupa teknologi, pengaplikasian yang baik dilapangan
serta lainnya.
2. Green Mining memiliki karakteristik yang berbeda dengan konsep penambangan
konvensional pada saat melakukan operasi penambangan. Karakteristiknya adalah:
 Berkomitmen untuk mengurangi penggunaan energi saat ini dengan
menggunakan rencana pemanfaatan energi yang efisien
 Penggunaan air untuk kegiatan penambangan dapat dilakukan daur ulang.
 Tailing hasil pengolahan dipisahkan dulu dari air yang terkandung dalam
tailing, agar airnya dapat didaur ulang.
 Emisi gas seperti CO2 yang dihasilkan dilakukan treatment terlebih dahulu
sebelum dibuang ke lingkungan.
 Penggunaan alat angkut yang menggunakan listrik.
 Membasahi terlebih dahulu area yang akan dilakukan proses peledakan untuk
meminimalisasi debu.
 Menggunakan metode selective mining untuk mengurangi jejak ekologis,
 Pengurangan penggunaan bahan kimia.
 Pembuatan rencana reklamasi sejak awal perencanaan tambang.
3. Kendala mengenai pengaplikasisan konsep Green Mining di Indonesia antara lain
karena kurangnya kontrol dari pemerintah terhadap setiap pelaku usaha pertambangan
yang berkewajiban mereklamasi lahan paska tambang sesuai dengan standar yang
berlaku, dan perusahaan yang cenderung tidak mau mengeluarkan banyak uang untuk
mereklamasi lahan sehingga pengerjaannya hanya formalitas semata.
5.2 Saran
1. Perlu adanya kontrol dari pihak pemerintah terkait secara maksimal terhadap aturan-
aturan yang telah dibuat. Agar reklamasi paska tambang pengerjaannya tidak secara
asal-asal tanpa memperhatikan standar yang berlaku sesuai dengan kelayakan dan
kriteria keberhasilannya.
2. Perlu adanya kesadaran pada pengusaha pertambangan agar melaksanakan proses
reklamasi sesuai PP 78 Tahun 2010 agar menciptakan lingkungan yang aman bagi
masyarakat sekitar lahan paska penambangan.
Daftar Pustaka

Setiabudi, Bambang Tjahjono, 2015 “PENYEBARAN MERKURI AKIBAT USAHA


PERTAMBANGAN EMAS DI DAERAH SANGON, KABUPATEN KULON PROGO, D.I.
YOGYAKARTA “

http://green-mining.ineris.fr/wht_green_mining

https://www.kompasiana.com/makime/pertambangan-rakyat-tinjauan-historis-dan-legal-
dalam-persepsi-akademisi_54f950b4a333110a068b4ba2

http://www.majalahtambang.com/detail_berita.php?category=6&newsnr=1265

http://www.ptba.co.id/id/read/green-mining-and-forest-parks-people-ptba-form-of-concern-
to-the-environment

Anda mungkin juga menyukai