Anda di halaman 1dari 14

BELAJAR EKUMENISME DARI PEMIKIRAN RAIMUNDO PANIKKAR

TENTANG DIALOG INTRA-RELIGIUS

Disusun sebagai Makalah untuk Ujian Akhir Semester

Mata Kuliah Ekumenisme


Dosen Pengampu: Dr. M. Purwatma, Pr
Pdt. Dr. Josef M. N. Hehanussa, M. Th.

Oleh:

Oleh:

Alb. Irawan Dwiatmaja


NIM: 176312001

PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI


FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
T.A 2017-2018
0
1. PENGANTAR
Pada 10 Februari 2018, Presiden Joko Widodo menerima kunjungan sejumlah pemuka
agama yang merupakan peserta Musyawarah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan
Bangsa, di Istana Kepresidenan Bogor. Sebelum bertemu Presiden Jokowi, para pemuka
agama mengadakan pertemuan dan membuat beberapa kesepakatan untuk kerukunan umat
beragama di Indonesia yang mulai tergerus akhir-akhir ini dengan beberapa kejadian teror
dan aksi kekerasan.1
Di kancah dunia internasional, Indonesia mendapat predikat sebagai negara yang
memiliki toleransi, keserasian kehidupan antaragama, dan sikap saling pengertian antaragama
yang baik. Salah satu wujud keserasian adalah dengan adanya kesediaan dari semua pihak
untuk berdialog karena dengan dialog melibatkan adanya pandangan dan pendekatan positif
suatu pihak kepada pihak-pihak yang lain. Dialog akan menghasilkan pengukuhan keserasian
dan saling pengertian.
Menurut Mukti Ali, dialog antar umat Islam dan Kristiani di Indonesia dimulai pada
1969. Pada tahun 1970, di Ajaltoun, Libanon, sidang dewan gereja sedunia mengadakan
konsultasi mengenai dialog antar orang beriman. Pada kesempatan hadir A. Mukti Ali yang
membawakan makalah dengan judul Dialogue Between and Crishtians in Indonesia and its
Problems. Dalam acara tersebut Mukti Ali mengatakan:

Dialog antara Islam dan Kristen baru dimulai pada 1969. Inisiatif tersebut
datang dari saya sendiri, dan setelah mendiskusikan hal tersebut dengan teman-teman
kristiani saya, maka dialog tersebut berlangsung. Pada November 1969 pertemuan
pertama dilaksanakan di sebuah Kolese Katolik yang dihadiri oleh seorang muslim
(saya sendiri), dua orang Katolik dan tiga orang protestan. Pada pertemuan kedua
bulan Desember, saya meyampaikan pemikiran –yang sebenarnya bukan makalah
ilmiah- mengenai opini saya tentang sikap Vatikan terhadap umat non-kristen,
misalnya Yahudi, Muslim, dan lain-lainnya, tentang posisi Paus dan sebagainya.2
Menurut penulis, pernyataan Mukti Ali tersebut memerlihatkan bahwa dialog antar
agama sudah dimulai pada tahun 1970-an di Indonesia. Kesadaran akan pentingya dalam
menjaga kebergamaman sudah dilaksanakan oleh banyak pihak melalui dialog. Melihat
realita demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa dialog merupakan salah satu cara efektif
untuk saling memahami iman masing-masing agama dan meredam ketegangan-ketegangan.
Raimundo Panikkar, seorang teolog di Asia dan tokoh dialog memiliki pendapat
tentang dialog intra-religius dalam bukunya yang The Intra-Religious. Tulisan Panikkar tidak
1
Friski Riana, “Jokowi Terima Laporan Musyawarah Besar Pemuka Agama”, diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/1059415/jokowi-terima-laporan-musyawarah-besar-pemuka-agama. (14 Maret
2018).
2
JB. Banawiratma, Zainal Abidin Bagir, dkk, Dialog Antar Umat Beragama (Gagasan dan Praktik di
Indonesia), Jakarta: Mizan Publika, 2010, 3-4.
1
terlalu mudah untuk dipahami karena ia menggunakan bahasa yang agak pribadi. Hal ini
dilakukannya karena Panikkar berbicara dalam iklim dialog, bukan dalam iklim akademis.3
Banyak hal yang dituliskan oleh Panikkar dalam bukunya, tetapi penulis secara
khusus ingin membahas ekumenisme macam apa yang dipahami, dihidupi, dan ingin
dikembangkan oleh Raimundo Panikkar. Pembahasan ini akan dibagi menjadi beberapa
bagian. Pertama, penulis akan menjelaskan riwayat hidup Raimundo Panikkar. Kedua,
penulis akan mendeskripsikan tentang dialog intra-religius menurut Raimundo Panikkar.
Ketiga, penulis akan memaparkan bagaimana membagun ekumenisme melalui dialog intra-
religius berdasarkan pemikiran Raimundo Panikkar. Keempat, penulis akan memberikan
catatan akhir yang berisi rangkuman umum dan refleksi-kritis penulis mengenai tema ini.

2. RIWAYAT HIDUP
Raimundo Panikkar lahir di Barcelona, Spanyol, pada tahun 1918 dan meninggal di
Catalunya, Spanyol pada tahun 2010. Ibunya berkebangsaan Spanyol dan beragama Katolik
dan ayahnya berkebangsaan India dan beragama Hindu. Sejak kecil, Panikkar dididik dalam
tradisi Katolik, tetapi pengaruh budaya Hindu-India ayahnya ada dalam diri Panikkar. Dari
ayahnya, Panikkar belajar mengenai kultur dan religi Hindu-India. Proses belajarnya
kemudian dikembangkan dengan mempelajari kultur sanskerta klasik di bawah bimbingan
seorang guru sanskerta asal Spanyol yang bernama Juan Mascaro.4
Panikkar ditahbiskan menjadi imam Gereja Katolik pada tahun 1946. Panikkar
memperoleh penugasan di Keuskupan Varanasi, India. Di tempat ini, Panikkar mengalami
pertemuan dan kontak dengan budaya dan religi India. Panikkar mengenyam pendidikan di
Jesuit School, belajar Chemistry dan Filsafat di Universitas Barcelona, Bonn, dan Madrid,
serta belajar Teologi di Madrid dan Roma. Panikkar juga belajar filsafat dan tentang agama-
agama di Universitas Mysore dan Universitas Banaras Hindu, India. Panikkar meraih tiga kali
gelar doktoral yaitu yang pertama pada tahun 1946 dalam bidang filsafat berkaitan dengan
konsep alam (ekologi), gelar doktoralnya yang kedua diperolehnya pada tahun 1958 dalam
bidang kimia dengan sebuah tesis mengenai filsafat ilmu pengetahuan dengan judul
‘Ontonomy Science and its Relation to Philosophy’, dan gelar doktoralnya yang terakhir ialah
dalam bidang studi agama-agama yang berkaitan dengan Hindu-India pada tahun 1961.5

3
Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue, Mahwah-New Jersey: Paulist Press, 1999, 2.
4
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius, (judul asli: The Intrareligious Dialogue), diterjemahkan oleh J.
Dwi Helly Purnomo dan P. Puspobinatmo, disunting dan dihantar oleh A. Sudiarja, Yogyakarta, Kanisius, 1994,
39.
5
Raymond Panikkkar, The Unknwon Christ of Hinduism. Completely Revised and Enlarge Edition, New York:
Orbis Book, 1981, 36-37.
2
Melihat riwayat pendidikannya, Pannikar merupakan seorang yang tiada henti
mencari pengetahuan dan ia berusaha mendalami dengan sungguh-sungguh bidang filsafat,
sains dan teologi. Ketiga bidang ilmu yang didalaminya ini tentu saja akan sangat
berpengaruh pada cara berpikir dan gagasan-gagasan Panikkar. Selain faktor budaya India
dan Spanyol dari kedua orang tuanya, lingkungan di mana Panikkar tinggal turut membentuk
pola pikirnya. Selama hidupnya, Panikkar menghasilkan karya-karya besar dan terkenal
terutama dalam bidang studi perbandingan agama-agama. Karya-karya Panikkar tersebut
ialah The Unknown Christ of Hinduism (1961-1964), The Silence of God: Answer of The
Budha (1970), The Trinity and The Religious Experience of Man (1973), The Intra Religious
Dialogue (1978).6
Melihat sekilas riwayat hidupnya, ada beberapa hal yang menarik dari Panikkar, yaitu
latar belakang keluarganya sangat pluralis, Panikkar merupakan salah satu tokoh dialog
agama besar yang berasal dari Asia, dan yang paling menarik dari Panikkar ialah jawaban
yang diberikannya ketika dia ditanya, bagaimana dia menjalani hidupnya berhadapan
pluralitas agama, Panikkar menjawab “Saya ‘berangkat’ sebagai orang Kristen, saya
‘menemukan’ diri saya sebagai Hindu dan saya ‘kembali’ sebagai orang Buddha, tanpa
berhenti menjadi Kristen”.7 Pernyataan Panikkar ini menarik karena pemikirannya tidak
berdasarkan teori, tetapi justru berasal dari pengalaman pribadinya. Panikkar mengatakan
bahwa bergaul atau berhubungan dengan orang yang beragama lain tidak harus
menanggalkan iman dan membuat iman kita luntur, tidak harus mengadili orang lain dan
tidak harus memaksa orang lain untuk mengikuti apa yang saya yakini.8

3. DIALOG INTRA-RELIGIUS: BERANGKAT DARI PENGALAMAN


KEBERAGAMAAN UNTUK BERDIALOG

3.1 Pengalaman Keberagamaan


Panikkar melukiskan pengalaman kehidupan keberagamaannya sebagai sebuah
peziarahan, “Saya ‘berangkat’ sebagai orang Kristen, saya ‘menemukan’ diri saya sebagai
Hindu dan saya ‘kembali’ sebagai orang Buddha, tanpa berhenti menjadi Kristen.” Banyak
pihak yang meragukan cara hidup yang ditawarkan oleh Panikkar, karena apakah sikap
seperti ini dapat dipegang secara obyektif atau masuk akal. Panikkar yakin dengan

6
Raymond Panikkkar, The Unknwon Christ of Hinduism, 36-37.
7
“I ‘left’ as a Christian, I ‘found’ myself a Hindu, and I ‘return’ a Buddhist, without having ceased to be a
Christian.” [Lihat Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue, 42].
8
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius, 13.
3
pernyataannya bahwa pengalaman pribadinya dalam perjumpaan dengan agama-agama lain
dapat menjadi cara hidup yang masuk akal atau dapat dipegang secara obyektif.9
Semasa hidupnya, Panikkar mengalami peziarahan yang tiada henti. Panikkar dididik
dalam ajaran ortodoks yang sangat keras, tetapi ia juga mengalami peziarahan kehidupan
dalam lingkungan yang ‘mikrodoks’ (moderat). Dalam perjalanan hidupnya, Panikkar
mengalami dilema ketika melihat kenyataan hidup yang tidak sesuai dengan ajaran yang
diperolehnya:
Atau harus mengutuk segala sesuatu di sekitarnya sebagai kesalahan dan dosa,
atau harus membuang pengertian-pengertian yang eksklusif dan monopoli yang
katanya mewujudkan kebenaran. Kebenaran seharusnya sederhana dan unik,
dinyatakan sekali dan diperuntukkan semua, berbicara lewat lembaga-lembaga yang
tak dapat keliru, dan seterusnya.10

Panikkar tidak mendapat jawaban yang puas atas permasalahan ini. Bagi Panikkar,
jawaban-jawaban yang diberikan terkadang melawan logika dan tidak masuk akal. Panikkar
juga tidak puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan dari yang sifatnya ortodoks karena
tidak menyelesaikan permasalahan secara kasuistik, tetapi hanya melihat secara umum.
Panikkar juga tidak mau jawaban-jawaban yang diberikan hanya bersifat kasusistik karena
bisa jatuh pada relatifisme. Untuk mengatasinya, Panikkar memberikan sebuah anjuran
dengan menggunakan pendekatan relatifitas. Dengan menggunakan pendekatan ini, hal yang
ingin diperlihatkan Panikkar bahwa setiap hal ada dalam suatu peran dalam tatanan hierarkis
dan mempunyai domainnya masing-masing dalam dinasme sejarah.
Dalam peziarahan hidup, Panikkar tidak mau melihat bahwa penghayatan terhadap
iman bersifat eksklusif. Penghayatan iman harus bersifat inklusif. Panikkar mengatakan
bahwa Tuhan tidak membeda-bedakan orang dan agama. Tuhan tidak sesempit itu sehingga
mengkotak-kotakkan orang. Tuhan merangkul dan ada untuk semua orang. Panikkar
mengungkapkan hal itu berdasar dari yang dikutipnya dari Bodhisattva “who forestalls his
own beatitude until the last sentient being has attained it; or of Moses and Paul who would
rather be stricken from the Book of Life than saved alone.”11
Dalam perjumpaan dengan agama lain, hal yang harus dilakukan ialah dialog. Dalam
dialog, syarat pertama yang harus dilakukan ialah saling memahami satu dengan yang lain.
Bagi Panikkar, dalam dialog, kita harus berbicara dalam bahasa yang sama. Kalau kita

9
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius, 36-37.
10
“Either he must condemn everything around him as error and sin, or he must throw overboard the
exclusivistic and monopol istic notions he has been told embody truth-tru th that must be simple and unique,
revealed once and for all, that speaks through infallible organs, and so on”. [Lihat Raimon Panikkar, The Intra-
Religious Dialogue, 44.]
11
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius, 41.
4
menggunakan kata-kata yang berbeda untuk menyampaikan gagasan yang sama, hal itu bisa
disalahpahami. Panikkar memberi gambaran mengenai hal itu demikian:
Saya percaya kepada Allah yang mewujudkan kebenaran, memberikan arti
bagi kehidupan saya, dan hal-hal lain di sekitar saya. Saya, di lain pihak, percaya pada
ketidakberadaanya dan dari ketidakberadaannya yang semacam itu justru
memungkinkan saya untuk percaya pada kebenaran dari segala hal, dan memberi
makna bagi hal-hal yang ada di sekitar saya.12

Dalam gambaran tersebut, Panikkar mengatakan bahwa seseorang menjadikan ‘Allah


sebagai dasar eksistensi, sementara yang lain menjadikan keyakinannya akan ‘tiadanya Allah’
sebagai dasar. Secara sederhana bisa dikatakan, yang pertama menyatakan ‘Allah adalah
kebenaran’, dan yang kedua mengatakan, ‘tiadanya Allah adalah kebenaran’. Keduanya
percaya akan kebenaran tetapi pernyataan ‘Allah ada’ merumuskan kebenaran untuk satu
orang, sementara untuk yang lain, kebenaran itu dirumuskan dalam pernyataan ‘Allah tidak
ada’.13

3.2 Mengkritisi Kemapanan Keberagamaan


Kebenaran bukanlah monopoli suatu tradisi religius tertentu. Setiap agama dikenal
melalui konteks keagamaannya sendiri dan memiliki kekhasannya sendiri, lewat mana yang
lainnya sebagai yang lain tidak dapat disamakan atau dibedakan. Konflik terjadi ketika
seseorang mulai menilai agama lain dari kacamata kebenarannya sendiri. Penilian demikian
digolongkan oleh Panikkar dalam eksklusivisme. Menurut Panikkar, masalah eksklusivisme
ini yang menjadi persoalan mendasar dan dapat menjadi penghambat hubungan
antaragama.14
Untuk menjelaskan mengenai kebenaran, Panikkar mencoba memulainya dari
pemahamannya tentang konsep pewahyuan dalam agama Kristen dan dalam agama lain.
Selain dalam agama Kristen, dalam agama lain juga ditemukan adanya kebenaran tentang
pewahyuan. Menurut doktrin Kristen dikatakan bahwa Allah dipahami sebagai Allah Yang
Absolut. In the Christian tradition this Absolute has a definite designation: “The Father of
our Lord Jesus Christ”. Panikkar mengakui bahwa di sinilah letak sikap eksklusif yang
dibangun oleh orang Kristen. Setelah mengalami perjumpaan dengan agama lain, Panikkar
juga menemukan adanya kebenaran di mana kebenaran itu dipegang dan diyakini oleh

12
“I believe in God as embodying the truth that makes sense of my life and the things around me. I, on the other
hand, believe in the nonexistence of such a being and this nonexistence is precisely what enables me to believe
in the truth of things and to make sense of my life and the things around me”. [Lihat Raimon Panikkar, The
Intra-Religious Dialogue, 47.]
13
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius, 42-44.
14
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius, 44-46.
5
mereka. Misalnya dalam agama Hindu dikenal adanya konsep non-eksistensi Allah yang
dikenal dengan sebutan Brahman sebagai ketiadaan murni. Sementara dalam agama Budha,
realitas Ilahi dikenal dan dipahami dengan sebutan “Ketiadaan dan Kekosongan”. Ketiadaan
Allah diakui sebagai suatu kebenaran dan dan bahkan ini merupakan rumusan iman yang
objektif dan eksplisit bagi mereka.15
Dalam bukunya yang berjudul The Unknown Christ of Hindusm, Panikkar
mengatakan bahwa kebenaran agama itu tidak bersifat singular, tetapi partikular karena di
dalam bisa terdapat lebih dari satu agama dan penyingkapan kebenaran tersebut bisa menjadi
insight timbal-balik bagi semua pihak. In these times of growth in which no people or
civilization can shut itself off from the rest of the world. Panikkar tidak bermaksud untuk
mengecilkan arti kebenaran tersebut. Maksud Panikkar dengan pernyataan demikian adalah
bahwa pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaran dapat diperluas dan
diperdalam sehingga bisa menyingkapkan berbagai pengalaman baru mengenai kebenaran,
terutama menyangkut persoalan kebenaran Ilahi. Hal senada pernah dikatakan John Hick
“other religions are equally valid ways to the same truth”. Kita dapat menarik sebuah
kesimpulan bahwa tidak hanya ada satu kebenaran yang absolut dan universal, tetapi ada
banyak kebenaran. Panikkar percaya bahwa agama-agama lain juga mempunyai kebenaran
sebagian dan sebagai pendahuluan serta ikut dalam kebenaran yang universal, mereka disebut
sebagai Kristen Anonim (Anonymous Christian). Panikkar percaya seorang dari agama
Budha, Hindu, adalah orang Kristen, walaupun mereka belum sempat datang secara aktual ke
dalam kekristenan, namun mereka tetap akan diselamatkan karena kebenaran Kristen ada di
dalam agama-agama mereka. Panikkar percaya bahwa penyataan Allah ada di dalam semua
agama dan Yesus Kristus hanyalah salah satu penyataan Allah. Di dalam agama-agama lain
‘kristus’ juga ada. Menurut Panikkar, Yesus bukan Tuhan dan Juruselamat yang final dan
satu-satunya.16

3.2 Anjuran dalam Perjumpaan Agama


Berhadapan degan pluralitas iman dan kebenaran-kebenaran partikular dalam
berbagai agama, hal yang tidak dapat dipungkiri adalah adanya perjumpaan antar agama.
Dalam perjumpaan itu terjadi kontak dan relasi. Agar dalam relasi tersebut tidak terjadi
konflik maka dibutuhkanlah saling pengertian antara kedua belah pihak. Sikap saling
pengertian itulah yang biasa disebut dialog. Seperti yang dikatakan Panikkar bahwa tujuan
dialog adalah untuk membongkar pra-pemahaman atau a priori kita pada orang lain. Panikkar
15
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius,49-51.
16
Raymond Panikkkar, The Unknwon Christ of Hinduism, 1-8.
6
mengatakan “Hence dialogue serves the useful purpose of laying bare our own assumptions
and those of others, thereby giving us a more critically grounded conviction of what we hold
to be true”. Dialog bukan sekedar metodologi tetapi suatu bagian esensial tindakan religius
yang par excellence, yaitu: mencintai Allah melampaui segala hal dan mencintai sesama
seperti diri sendiri. Dialog bukan berarti sebuah studi, kosultasi, pemeriksaan, pengajaran,
pernyataan belajar, dan sebagainya. Dialog lebih pada mendegarkan dan mengobservasi,
berbicara, megoreksi dan dikoreksi, yang tujuannya adalah saling pengertian. Dalam dialog
hubungan intra-religius, bukanlah hubungan asimilasi atau hubungan substitusi yang terjadi
melainkan hubungan yang saling menyuburkan.17 Oleh karena itu untuk mencapai dialog
yang sesungguhnya, Panikkar memberikan beberapa aturan main dalam berdialog sebagai
berikut:
a. Harus Bebas dari Apologi Khusus
Dalam berdialog, para peserta harus terbebas dari gagasan a priori yang membela
agamanya dengan segala cara. Orang tidak perlu meninggalkan kepercayaan dan
pendiriannya dalam melakukan dialog tetapi orang harus bersikap tebuka, menerima
kenyataan perbedaan serta menghindari sikap apologi yang berlebihan karena dialog bukan
tempat untuk membuktikan kebenaran agama.18
b. Harus Bebas dari Apologi Umum
Setiap orang yang ingin melakukan dialog harus bebas dari apologi umum. Maksud
dari harus bebas dari apologi umum yaitu bebas dari tujuan untuk menobatkan orang lain.
Dialog tujuannya bukanlah untuk menobatkan orang lain tetapi dialog merupakan suatu
kebutuhan yang harus dilakukan berhadapan dengan pluralitas iman dengan demikian setiap
penganut agama dapat saling memahami antara satu dengan yang lain.19
c. Berani Menghadapi Tantangan Pertobatan.
Sebuah perjumpaan agar sungguh-sungguh bersifat keagamaan harus taat secara
penuh pada kebenaran dan terbuka pada realitas. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa dalam
dialog, seorang harus berani mengambil risiko yaitu kehilangan hidupnya atau dilahirkan
kembali. Panikkar menganalogikannya dengan peziarah yang membuat jalannya sendiri yang
belum terpetakan. Jalan yang di depannya masih perawan, belum dijamah. Peziarah itu pasti
akan sangat senang karena melihat dua hal: indahnya penemuan pribadinya dan dalamnya

17
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius, 64.
18
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius, 64.
19
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius, 64-65.
7
harta abadi yang diperolehnya tetapi sekaligus dia harus berani menghadapi setiap
kemungkinan yang akan dialaminya.20
d. Dimensi Historis Penting tetapi Tidak Mencukupi
Agama bukan sekedar suatu hubungan vertikal dengan Yang Ilahi, melainkan
hubungan horizontal antar sesama manusia. Agama mempunyai tradisi dan mempunyai
dimensi historis. Perjumpaan agama bukan semata-mata pertemuan antar dua atau lebih orang
dalam kapasitasnya sebagai individu-individu pribadi yang terpisah dari tradisi agamanya.
Perjumpaan keagamaan merupakan suatu dialog yang sebaiknya tidak berhenti hanya pada
perjumpaan para ahli, tetapi dialog harus hidup, dan harus menjadi medan untuk pemikiran
kreatif dan jalan-jalan baru yang imajinatif, yang tidak memutuskan hubungan dengan masa
lampau melainkan meneruskan dan mengembangkannya.21
e. Bukan Sekedar Kongres Filsafat
Dialog bukanlah sekedar pertemuan para filsuf untuk membicarakan masalah-masalah
intelektual mengenai agama. Walaiupun pada umumnya, orang berpikir bahwa agama sebatas
ajaran-ajaran yang harus dilakukan oleh pengikutnya. Agama bukan saja sekedar ajaran-
ajaran tetapi di dalam agama terdapat seperangkat iman yang harus ditaati bukan dengan
kaku tetapi harus melihat relasi keluar diri. Dialog keagamaan harus sampai pada dua prinsip
hermeneutik homogenitas (prinsip kesamaan) dan dialogal. Dengan prinsip demikian, dialog
bukan saja menjadi bahan perdebatan yang tiada hentinya tetapi dengan menggunakan
metode-metode filsafat dapat menemukan inti terdalam dari sebuah agama.22
f. Bukan Sekedar Simposium Teologis
Dialog bukanlah sekedar usaha untuk membuat orang lain mengerti maksud saya.
Teologi memiliki suatu dasar tertentu yaitu bagaimana iman dapat dipertanggungjawabkan
bukan supaya orang mengerti tetapi menjadi sarana dalam berdialog.23
g. Bukan Sekedar Ambisi Pemuka Agama
Dialog tidak hanya keinginan pemuka agama semata, tetapi harus sampai pada
penganut-penganutnya.24
h. Perjumpaan Agama dalam Iman, Harapan dan Kasih
Sikap iman yang dimaksudkan adalah melampaui data sederhana dan juga perumusan
dogmatis dari pengakuan yang berbeda-beda. Dengan harapan diharapkan agar sikap dialog

20
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius, 65.
21
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius, 66-68.
22
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius, 68-71.
23
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius, 71-74.
24
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius, 74.
8
melampaui segala harapan, dapat melompati tidak hanya hambatan awal kemanusiaan,
kelemahan dan keterikatan-keterikatan yang tidak disadari tetapi juga melompati segala
bentuk pandangan yang semata-mata duniawi, dan memasuki jantung dialog, seolah-olah
didesak dari atas untuk menjalankan tugas yang suci. Dengan cinta yang dimaksudkan adalah
gerak hati, kekuatan yang mendorong untuk sampai pada sesama dan yang membimbing
untuk menemukan di dalam mereka apa yang kurang dalam diri kita.25

4. MEMBANGUN EKUMENISME MELALUI DIALOG INTRA-RELIGIUS UNTUK


AGAMA KRISTIANI
Dalam pemikirannya tentang ekumene, Panikkar menawarkan gerakan ekumene yang
harus dilakukan oleh orang kristen dari berbagai macam denominasi. Panikkar mengatakan
bahwa orang Kristen yang terdiri dari berbagai macam denominasi harus berinisiatif merintis
jalan pengenalan bahkan pertemuan dan hidup bersama dengan sesama orang kristen dari
denominasi kristen lain. Pengenalan ini bukan sebuah pengenalan yang dangkal tetapi
pengenalan yang sifatnya mendalam atau maksimalis yaitu pengenalan seksama, yang dalam,
dan bahkan masuk sampai ke dalam relung-relung pemahaman iman sebagai sesama orang
kristen. Panikkar menginginkan bahwa bpa yang terjadi dalam lingkungan internal
kekristenan melalui pergerakan ekumene, hendaknya terjadi juga dalam lingkungan agama
lain. Panikkar menamakan upaya pengenalan dan pertemauan antara denominasi atau
mazhab-mazhab yang berbeda dalam agama-agama ialah general trend toward universality.26
Kerinduan ke arah universalitas melalui pergerakan ekumene ini ternyata tidak hanya
sebatas saling mengenal antara denominasi dalam satu agama. Gerakan ini menjembatani
antara tradisi agama yang berbeda-beda. Orang dari agama yang satu belajar mengenal,
memahami, bahkan membangun kontak, dan hidup bersama dengan orang dari agama lain.
Cara hidup yang demikian disebut ecumenical ecumenism (ekumenisme yang ekumenis).27
Menurut Panikkar, ekumenisme yang ekumenis bukan bukan universalisme yang
kabur dan sinkretisme yang sembarangan. Ekumenisme yang ekumenis ialah membuat agama
saya menjadi universal dan diketahui orang lain dengan cara membiarkan orang yang
kepadanya saya memperkenalkan agama saya juga melakukan hal yang sama dengan
agamanya kepada saya.28
Pendekatan yang ekumisme yang ekumenis yang ditawarkan Panikkar juga
menghendaki agar cara hidup yang dihayati seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara

25
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius, 74-75.
26
Raymond Panikkkar, The Unknwon Christ of Hinduism, 62.
27
Raymond Panikkkar, The Unknwon Christ of Hinduism, 65.
28
Christ Wright, Tuhan Yesus Memang Khas Unik: Jalan Keselamatan Satu-satunya, Jakarta: Yayasan Bina
Kasih/OMF, 2003, 8.
9
masuk akal. Ekumenisme yang ekumenis bukan sekedar pengakuan bahwa setiap orang
dimana pun adalah manusia atau bahwa pandangan-pandagan dan keputusan-keputusan
secara pribadi dapat disampaikan kepada pihak lain dengan aman. Ekumenisme yang
ekumenis ialah agar perjumpaan yang tulus, dari hati ke hati, tanpa memaksakan kehendak.
Ekumenisme yang ekumenis bertujuan untuk mendapatkan sebuah pemahaman, kritik yang
membangun, dan saling melengkapi antara tradisi keagamaan.29
Ada dua anjuran yang bisa dilakukan oleh sesama agama kristiani untuk melakukan
ekumene, bukan hanya berekumene dengan sesama agama kristiani, tetapi juga lebih kepada
berekumene dengan agama lain atau bisa dikatakan dalam menjalankan dialog dengan agama
lain. Pertama, ekumenisme kristiani tidak bisa hanya dengan menyatukan berbagai aliran
dalam kristiani menjadi satu wadah dan degan menyembuhkan luka lama. Ekumenisme yang
harus dilakukan oleh sesama kristiani ialah dengan menyadari bahwa di dalam di dalam
agama lain terjadi karya keselamatan dan bagaimana hal itu ditempatkan dalam agama
kristen.30
Kedua, ekumenisme yang ekumenis menjadi sebuah cara untuk masuk dalam sebuah
dialog yang sifatnya multivoiced atau coming together atau convergence dengan
menggunakan analogi dalam menjelaskan sesuatu. Tujuan dari dialog yang sifatnya demikian
yaitu menghasilkan harmonisasi. Dalam dialog ekumenisme, agama kristiani harus menjadi
pionir. Agama kristiani harus membagi pengalaman keberagamaan mereka kepada agama lain
secara tulus. Ekumenisme yang ekumenis harus membangun sikap dialog yg murni (genuine
dialogal not just dialetical) yaitu dengan menerima berbagai dimensi dari agama-agama lain
yang sifatnya imanen dan transenden. Ekumenisme yang ekumenis juga merupakan
pertemuan pengetahuan (science), religius (metaphysical realm), kemanusiaan (other people
and their works).31

5. CATATAN AKHIR: ‘BER-EKUMENE’ DENGAN AGAMA LAIN


Panikkar merupakan seorang yang tiada henti mencari pengetahuan dengan berusaha
mendalami dengan sungguh-sungguh bidang filsafat, sains dan teologi. Panikkar menyadari
bahwa di dunia ini bukan hanya satu agama yang ada tetapi ada banyak agama. Melihat
realitas banyaknya agama dan bagaimana dia menjalani hidupnya berhadapan pluralitas
agama, Panikkar menjawab “I ‘left’ as a Christian, I ‘found’ myself a Hindu, and I ‘return’ a
Buddhist, without having ceased to be a Christian.” Pernyataan Panikkar ini menarik karena

29
Raimundo Panikkar, “Toward an Ecumenical Ecumenism”, Journal of Ecumenical Studies, Number 4,
Volume XIX, (1982), 781.
30
Raimundo Panikkar, “Toward an Ecumenical Ecumenism”, 781.
31
Raimundo Panikkar, “Toward an Ecumenical Ecumenism”, 781-783.
10
pemikirannya tidak berdasarkan teori, tetapi justru berasal dari pengalaman pribadinya.
Panikkar mengatakan bahwa bergaul atau berhubungan dengan orang yang beragama lain
tidak harus menanggalkan iman dan membuat iman kita luntur, tidak harus mengadili orang
lain, dan tidak harus memaksa orang lain untuk mengikuti apa yang saya yakini. Panikkar
memberi gambaran kepada kita dalam menjalani hidup di tengah pluralitas agama.
Secara khusus, Panikkar memberi pandangan untuk agama kristiani dalam
menjalankan ekumene. Ekumene yang ditawarkan oleh Panikkar untuk agama kristiani yaitu
ekumene yang ekumenis (ecumenical ecumenism). Orang kristiani harus berinisiatif merintis
jalan pengenalan bahkan pertemuan dan hidup bersama dengan sesama orang kristen dari
denominasi kristen lain. Pengenalan ini bukan sebuah pengenalan yang dangkal tetapi
pengenalan yang sifatnya mendalam atau maksimalis yaitu pengenalan seksama, yang dalam,
dan bahkan masuk sampai ke dalam relung-relung pemahaman iman yang berbeda dengan
kristen. Kerinduan untuk ambil bagian dalam pengenalan akan yang lain itu berjalan dengan
beriringan dengan ketakutan akan bahaya pengaburan identitas sebagai akibat dari
perjumpaan dengan sesuatu yang lain. Untuk mengatasi bahaya ini, semakin kuat kesadaran
akan identitas personal dan konkret dari orang-orang yang berusaha untuk saling bertemu
dalam sebuah keterhubungan global.
Orang-orang dari berbagai agama yang berbeda-beda dalam berbagai pergerakan
keluar dari batas-batas teritori agamanya untuk bertemu, hidup bersama dalam pengenalan
yang mendalam terhadap agama yang lain, tetapi serentak dengan itu, orang yang sama pada
kutub yang lain memperdalam pengetahuan dan pengenalan sekaligus komitmen untuk hidup
berpadanan dengan nilai-nilai religiositas yang ada dalam agamanya sendiri sebagai pemberi
identitas dan integritas dirinya.32 Agama harus menemukan dirinya dalam perjalanan
menjumpai agama lain untuk hidup dalam dialog yang saling mengisi dan menyuburkan. Hal
ini merupakan sikap yang berpadanan dengan jati diri agama sebagaimana yang disandang
dalam namanya: agama yaitu religere yang artinya mengikat, menghubungkan dirinya dengan
sesuatu yang lain, bukan hanya dengan Allah tetapi dengan sesamanya.33
Kita melihat bahwa ekumenisme yang diharapkan dalam pemikiran Panikkar bukan
saja bersifat internal yaitu hanya sesama agama kristiani, tetapi sampai pada pemahaman
dengan agama lain. Namun, apabila kita melihat cara pemikiran demikian, Panikkar
mengandaikan bahwa sesama agama kristen tidak terdapat masalah. Sesama agama kristen
memiliki berbagai macam problem. Namun, bagi Panikkar hal itu dikesampingkannya.

32
Raimundo Panikkar, Dialog Intra-Religius, 39-42.
33
E. Armada Riyanto, Dialog Intereligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah, Yogyakarta: Kanisius, 2010,
300.
11
Panikkar menginginkan agar orang kristiani tidak berdebat dan mengungkit luka lama, tetapi
ia ingin sesama kristiani saling bergandengan tangan dan sama-sama mengusahakan ekumene
yang eksternal. Panikkar tidak mau orang kristen hanya sibuk berekumene dengan sesamanya
tetapi ingin melampauinya yaitu agama kristen bisa berekumene dengan agama lain.

DAFTAR BACAAN
Banawiratma, JB, Zainal Abidin Bagir, dkk. Dialog Antar Umat Beragama (Gagasan dan
Praktik di Indonesia). Jakarta, Mizan Publika, 2010.

Panikkar, Raimon. The Intra-Religious Dialogue. Mahwah-New Jersey: Paulist Press, 1999.

-----, The Unknwon Christ of Hinduism. Completely Revised and Enlarge Edition. New York:
Orbis Book, 1981.

-----. Dialog Intra-Religius. Judul asli: The Intrareligious Dialogue. Diterjemahkan oleh J.
Dwi Helly Purnomo dan P. Puspobinatmo, disunting dan dihantar oleh A. Sudiarja,
Yogyakarta, Kanisius, 1994.

-----. “Toward an Ecumenical Ecumenism”, Journal of Ecumenical Studies, Number 4,


Volume XIX, (1982).

Riyanto, E. Armada. Dialog Intereligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah. Yogyakarta:


Kanisius, 2010.

Wright, Christ. Tuhan Yesus Memang Khas Unik: Jalan Keselamatan Satu-satunya. Jakarta: Yayasan
Bina Kasih/OMF, 2003.

12
Riana, Friski. “Jokowi Terima Laporan Musyawarah Besar Pemuka Agama”, diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/1059415/jokowi-terima-laporan-musyawarah-besar-
pemuka-agama. (14 Maret 2018).

13

Anda mungkin juga menyukai