Anda di halaman 1dari 32

Diagnosis banding dispnea akut

A. Cardiac:
1. Gagal jantung kongestif
Pasien dengan gagal jantung mempunyai gejala nafas pendek yang tipikal saat istirahat
atau saat melakukan aktifitas (dyspneu de effort), sesak nafas saat berbaring (ortopneu)
, atau sesak napas yang membuat penderita bangun pada malam hari secara tiba tiba
ketika pasien tidur (Paroxysmal nocturnal dyspnoe), toleransi aktifitas pada pasien
gagal jantung kongestif biasanya berkurang sehingga pasien merasa cepat lelah.
Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan tanda retensi cairan (kongesti paru atau
edema pergelangan kaki) dan peningkatan JVP. Pada palpasi dan perkusi apex jantung
dapat bergeser ke lateral. Pada auskultasi terdengar bising jantung/Suara jantung S3
(gallop)
Pemeriksaan penunjang pada pasien gagal jantung dapat dilakukan pemerrikan
Elektrokardiogram (EKG) yang biasanya terdapat abnormalitas pada rekam jantung
(sinus takikardi, sinus bradikardi, atrial fibrilasi, dan lain-lain). Pemeriksaan foto
thoraks pada pasien gagal jantung biasanya ditemukan cardiomegaly
(pembesaran pada jantung), atau terdapat hipertrofi ventrikel akibat Hipertensi, stenosis
aorta, kardiomiopati hipertrofi. Pada foto thoraks juga dapat ditemukan kongesti vena
paru akibat Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri. Pemeriksaan penunjang yang
lain dapat dilakukan yaitu pemeriksaan laboratotium
(Peptida natriuretik , troponin I dan T).
Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan
ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan
gagal jantung (Perki, 2015).
Terapi pada kasus gagal jantung adalah perubahan modifikasi gaya hidup dan
medikamentosa
Gambar 1 : Cardiomegaly
2. Penyakit jantung koroner
Sebagian besar penyakit jantung koroner adalah manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Penyakit ini terbagi menjadi 3 yaitu
angina tak stabil, infark miokard non elevasi segmen ST (NSTEMI), Infark miokard ST
elevasi (STEMI).
Anamnesis pada pasien biasanya terdapat nyeri dada tipikal seperti seperti ditekan, rasa
terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir di
retrosternal, substernal, atau prekordial. Nyeri dapat menjalar ke leher, lengan kiri,
mandibula, gigi, punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri
membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat . Faktor pencetus adalah latihan
fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Gejala yang menyertai mual,
muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan lemas. Durasi lebih dari 20 menit untuk
kasus STEMI dan NSTEMI. Riwayat penyakit dahulu pasien pernah mengalami angina
sebelumnya atau pasien pernah mempunyai sakit jantung.
Pada pemeriksaan fisik Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut,
hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan
terhadap penyakit jantung koroner. Tanda khas STEMI (Sindrom Koroner akut paling
serius) adalah elevasi menetap pada segmen ST ( Ward dan Aaronson). Pemeriksaan
penunjang yang lain adalah dengan melakukan penanda biomarer (peningkatan CKMB
dan Troponin).
Penemuan angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi,
penampakkan yang kabur, dan filling defect yang mengesankan adanya trombus
intrakoroner. Terapi pada penyakit jantung koroner adalah terapi farmakologis dan
revaskularisasi

3. Pericarditis,

Perikarditis adalah peradangan perikardium parietalis, viseralis atau keduanya.


Biasanya perikarditis akut menyebabkan demam dan nyeri dada, yang menjalar ke bahu
kiri dan kadang ke lengan kiri. Nyerinya menyerupai serangan jantung, tetapi pada
perikarditis akut nyeri ini cenderung bertambah buruk jika berbaring, batuk atau
bernafas dalam. Perikarditis dapat menyebabkan tamponade jantung, suatu keadaan
yang bisa berakibat fatal. Foto rontgen dada dan ekokardiografi dapat memperlihatkan
banyaknya cairan di dalam perikardium. (Roswati dan Sarvi, 2013). Trias perikarditis
nyeri dada, pericardial friction rub, dan abnormalitas EKG.
B. Pulmonary
1. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis)
Pada pasien PPOK muncul gejala batuk kronik hilang timbul selama 3 bulan dalam 2
tahun terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi
sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari, Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang pasien
menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Karakterisktik batuk
dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur. Pasien PPOK
mengalami sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien
sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga
sesak ini tidak dikeluhkan. Sesak nafas disertai dahak pada saat melakukan aktivitas
biasanya ditemukan pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.
Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala
sesak. Merokok merupakan faktor resiko utama untuk PPOK. Faktor resiko lain dapat
antara lain paparan asap rokok pada perokok pasif, paparan kronis polutan lingkungan
atau pekerjaan, penyakit pernapasan ketika masa kanak-kanak, riwayat PPOK pada
keluarga, dan defisiensi α1- antitripsin.
Pemeriksaan fisik pada Inspeksi terdapat barrel chest (dada seperti tong), purse lips
breathing (seperti orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot
bantu nafas. Pada palpasi sela iga melebar. Hipersonor saat dilakukan perkusi.
Auskultasi fremitus melemah,suara nafas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi
memanjang, bunyi jantung menjauh, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu
bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa. Pemeriksaan penunjang pada PPOK adalah
Pemeriksaan Spirometri, Darah rutin (Hb, Ht, leukosit), Radiologi Foto toraks PA dan
lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain Pada emfisema terlihat
gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar,
jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan kebiasaan
merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta
memperbaiki nutrisi. Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering
digunakan dan merupakan pilihan utama adalah bronchodilator.

Gambaran radiologis emfisema. Terlihat hiperinflasi disertai melebarnya sela


interkostalis, namun diafragma masih belum mendatar. Corakan bronkovaskuler yang
kasar sesuai untuk PPOK (Collins dan Stern, 2007).

Gambaran radiologis emfisema. Terlihat menghilangnya vaskularisasi (anak panah)


pada giant bullous. Merupakan proses lanjut dari PPOK (Weerakkody dan Danaher, 2012).
2. Asma
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk, sesak napas,
mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Faktor – faktor
yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat alergi. Pemeriksaan
Fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran napas. Tekanan darah
biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga meningkat, ekspirasi
memanjang diserta ronki kering, mengi. Pemeriksaan penunjang pada pasien asma
adalah pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah
(terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman, kristal Charcot
Leyden). Pemeriksaan Penunjang antara lain pemeriksaan spirometri (alat yang
dipergunakan untuk mengukur faal ventilasi paru). Reversibilitas penyempitan
saluran napas yang merupakan ciri khas asma dapat dinilai dengan peningkatan
volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC)
sebanyak 20% atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita
dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus.
Pemeriksaan uji provokasi bronkus merupakan cara untuk membuktikan secara
objektif hiperreaktivitas saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi
bronkus terdiri dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise),
hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik seperti metakolin dan histamin.
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang
memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas,
pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran
radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan. Prinsip pengobatan
asma akut adalah memelihara saturasi oksigen yang cukup (Sa O2 ≥ 92%) dengan
memberikan oksigen, melebarkan saluran napas dengan pemberian bronkodilator
aerosol (agonis beta 2 dan Ipratropium bromida) dan mengurangi inflamasi serta
mencegah kekambuhan dengan memberikan kortikosteroid sistemik. Pemberian
oksigen 1-3 liter/menit, diusahakan mencapai Sa O2 ≥ 92%, sehingga bila penderita
telah mempunyai Sa O2 ≥ 92% sebenarnya tidak lagi membutuhkan inhalasi oksigen.
Bronkodilator khususnya agonis beta 2 hirup merupakan pbat anti-asma pada
serangan asma, baik dengan MDI atau nebulizer. Pada serangan asma ringan atau
sedang, pemberian aerosol 2-4 kali setiap 20 menit cukup memadai untuk mengatasi
serangan. Obat-obat anti-asma yang lain seperti, antikolinergik hirup, teofilin, dan
agonis beta 2 oral merupakan obat-obat alternatif karena mula kerja yang lama dan
efek sampingnya lebih besar. Pada serangan asma yang lebih berat, dosis agonis beta
2 hirup dapat ditingkatkan.
Kortikosteroid sistemik diberikan bila respons terhadap agonis beta 2 hirup
tidak memuaskan. Dosis prednisolon antara 0,5-1 mg/kgBB atau ekuivalennya.
Perbaikan biasanya terjadi secara bertahap, oleh karena itu pengobatan diteruskan
beberapa hari. Tetapi, jika tidak ada perbaikan atau ada perbaikan minimal, segera
pasien dirujuk ke fasilitas pengobatan yang lebih baik atau IGD rumah sakit dengan
prinsip pengawasan terhadap APE/PFR, saturasi oksigen, dan fungsi jantung. Pasien
segera dirujuk, bila pasien dengan resiko tinggi untuk kematian karena asma, serangan
asma berat APE <60% nilai prediksi, respons bronkodilator tidak segera, dan bila ada
respons hanya bertahan kurang dari 3 jam, tidak ada perbaikan dalam waktu 2-6 jam
setelah mendapat pengobatan kortikosteroid, gejala asma semakin memburuk

3. Pneumonia

Gambaran klinik biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas
selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam menggigil, suhu tubuh
kadang-kadang melebihi 40oC, sakit tenggorok, nyeri otot dan sendi. Juga disertai
batuk dengan sputum mukoid atau purulen kadang-kadang berdarah. Pada
pemeriksaan fisik dada, terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas dengan
suara napas bronkial kadang-kadang melemah. Didapatkan ronki basah halus, yang
kemudian menjadi ronki basah kasar.
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah lekosit, biasanya lebih
dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitung jenis lekosit
terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Kultur darah dapat positif
pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Kadang-kadang didapatkan peningkatan
kadar ureum darah, akan tetapi kreatinin masih dalam batas normal. Analisa gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik.
Foto toraks, merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat penting. Foto
toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi. Gambaran konsolidasi dengan “air
bronchogram” (pneumonia lobaris), tersering disebabkan oleh Streptococcus
pneumoniae. Gambaran radiologis pada pneumonia yang disebabkan kuman klebsiela
sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan, kadang-kadang
dapat mengenai beberapa lobus. Gambaran lainnya dapat berupa bercak-bercak dan
kaviti. Kelainan radiologis lain yang khas yaitu penebalan (“bulging”) fisura
interlobar. Pneumonia yang disebabkan kuman pseudomonas sering memperlihatkan
infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia.
A B

C D

A. Pneumonia dengan elevasi diafragma; B. Pneumonia;


B. C. Pneumonia interstitial; D. Pneumonia; infiltrat di parahiler dan paracardial
kanan
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisis, foto toraks dan laboratorium.
Dalam mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Pengobata
pada penderita yang tidak dirawat meliputi Istirahat di tempat tidur, bila panas tinggi
dikompres, Minum banyak, Obat-obat penurun panas, mukolitik dan ekspektoran,
Antibiotik. Indikasi rawat penderita pneumonia adalah penderita sangat muda atau
tua, keadaan klinis berat (misalnya sesak napas, kesadaran menurun. gambaran
kelainan foto toraks cukup luas), ada penyakit lain yang mendasari
(seperti bronkiektasis, bronkitis kronik).

4. Pneumothorax,
Pneumothoraks merupakan akumulasi udara pada cavum pleura dimana keadaan
tersebut merupakan komplikasi umum trauma dada. Terjadi secara spontan, tergantung
penyakit paru/pleura atau trauma. Dibagi dalam 3 kategori: Simple (tidak ada hubungan
dengan udara luar atau mediastinum, tidak ada midline shift); Communicating (defek
pada dinding dada); Tension (akumulasi udara dalam cavum pleura secara progresif,
menyebabkan kompresi pada paru kontralateral dan pembuluh darah besar).
Gejala yang paling umum yaitu nyeri dada dan nafas menjadi pendek. Pemeriksaan
Fisik Suara napas melemah sampai menghilang, fremitus melemah sampai menghilang,
resonansi perkusi dapat normal atau meningkat/hipersonor. Pneumothorax ukuran kecil
biasanya hanya menimbulkan takikardia ringan dan gejala yang tidak khas. Pada
pneumothorax ukuran besar biasanya didapatkan suara napas melemah bahkan sampai
menghilang pada aukultasi, fremitus raba menurun dan perkusi hipersonor.
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan foto dada garis pleura viseralis tampak putih,
lurus atau cembung terhadap dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis.
Celah antara kedua garis pleura tersebut tampak lusens karena berisi kumpulan udara
dan tidak didapatkan corakan vascular pada daerah tersebut. Tension pneumothorax
gambaran foto dadanya tampak jumlah udara pada hemitoraks yang cukup besar dan
susunan mediastinum yang bergeser ke arah kontralateral (Hisyam dan Budiono, 2009).
Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan) mungkin diperlukan apabila
dengan pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat ditegakkan. Pemeriksaan ini lebih
spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan pneumothorax, batas antara
udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner serta untuk membedakan antara
pneumothorax spontan primer dan sekunder. Pneumothorax tension dicurigai apabila
didapatkan adanya takikardia berat, hipotensi dan pergeseran mediastinum dan trakea
(Hisyam dan Budiono, 2009). Manajemen pada simpel pneumothoraks adalah
konservatif dengan follow-up radiologi dada, aspirasi menggunakan three way kateter,
atau torakostomi. Sedangkan pada tension pneumothoraks membutuhkan torakostomi
dengan kanul ukuran 14/16 yang dipasang pada SIC 2 (linea midklavikula).
Pneumothoraks berulang kemungkinan membutuhkan pleurodesis (Misra R, 2007).

Simple Pneumothoraks

A B
C D
A. Tension pneumothoraks sinistra with early mediastinal shift; B. Emergency tension
pneumothoraks sinistra
C. Pneumothoraks dextra; D. Pneumothoraks dengan atelektasis dextra

5. Emboli pari

Gambaran klinis emboli paru cukup bervariasi mulai dari yang paling ringan tanpa
gejala (asimtomatik) sampai yang paling berat dengan gejala yang paling kompleks.
Pada Emboli Paru Masif gejala klinis timbul akibat tersumbatnya arteri pulmonalis
sampai cabang pertama dari arteri pulmonalis yaitu berupa sesak napas, sinkop,
sianosis dengan hipotensi arteri sistemik persisten. Obstruksi terjadi pada < 50%
vaskular paru, dan disfungsi dari ventrikel kanan dapat dijupai. Pada emboli Paru
Sedang sampai Besar (Submasif). Gejala klinis timbul akibat tersumbatnya cabang
arteri pulmonalis segmental dan subsegmental yaitu berupa tanda-tanda pleuritis,
adanya area konsolidasi paru yang terkena, dan efusi pleura. Pada Emboli Paru Kecil
sampai Sedang gambaran klinis timbul akibat tersumbatnya cabang-cabang arteri
pulmonalis berupa sesak napas sewaktu beraktivitas dan apabila emboli terjadi
berulang kali, dapat mengakibatkan hipertensi pulmonal. Pada Infark Paru Gejala
yang timbul adalah gangguan hemodinamik dan gangguan respiratorik. Gangguan
hemodinamik berupa vasokonstriksi arteri pulmonal sehingga menimbulkan
peningkatan resistensi vaskular paru dan hipertensi pulmonal. Ganggua respiratorik
berupa bronkokonstriksi sehingga menimbulkan hipoksemia arterial dan menurunnya
rasio ventilasi/perfusi. Pemeriksaan penunjang meliputi Pemeriksaan Analisis Gas
Darah
Biasanya didapatkan PaO2 yang rendah (hipoksemia) < 80 mmHg akibat gangguan
fungsi ventilasi-perfusi paru. PaCO2 juga menurun <40 mmHg yang disebabkan oleh
reaksi kompensasi hiperventilasi sekunder. Selain pemeriksaan analisis gas darah
terdapat Pemeriksaan D-Dimer (apabila kadar D-Dimer didapati mengalami
peningkatan di dalam tubuh maka dicurigai telah ada proses pembekuan (clotting)
dalam sirkulasi)
Pemeriksaan EKG
Kelainan yang ditemukan pada EKG tidak spesifik untuk emboli paru, tetapi paling
tidak dapat dipakai sebagai pertanda dugaan adanya emboli paru, apalagi bila
dikaitkan dengan kondisi klinis yang timbul. Sebagian besar gambaran EKG yang
timbul pada emboli paru masif sama seperti pada kondisi korpulmonal akut, berupa
Gelombang T inversi pada sadapan prekordial kanan, Gelombang P Pulmonal pada
sadapan II, III, aVF, Gambaran Right Bundle Branch Block, Lain-lain : aritmia,
takikardia, flutter atrial
Pemeriksaan Radiologis
Beberapa tanda khas radiografi yang mungkin dapat ditemukan pada pasien emboli
paru, namun tidak spesifik dan tidak sensitif yaitu:
Hampton’s Hump
Gambaran ini menunjukkan adanya gambaran radioopak berbentuk segitiga dengan
apeks menghadap ke hilus. Ini menunjukkan adanya infark paru di daerah distal dari
thrombus.

 Palla’s sign
Pembesaran arteri pulmonal desending
 Westermark’s Sign
Terdapat penurunan corakan vascular paru di area yang terlokalisasi.

Panah putih menunjukkan Westermark’s sign, panah hitam menunjukkan Palla’s sign.

Terapi pada Emboli paru adalah dengan menggunaka Antikoagulan.


Antikoagulan Merupakan pengobatan utama. Contohnya adalah : heparin, low
molecular weight heparin (enoxaparin dan dalteparin), atau fondaparinux diberikan
pada saat awal, disertai pemberian warfarin yang memerlukan beberapa hari untuk
efektif. Terapi warfarin erring membutuhkan penyesuaian dosis dan pemantauan INR.

6. Efusi Pleura

Efusi pleura adalah akumulasi cairan transudat atau eksudat pada cavum pleura.
Gejala yang asimptomatik dapat terjadi, selain itu bisa juga didapatkan batuk
berdahak atau hemoptisis, demam, nyeri dada, edema generalisata, penurunan berat
badan, malaise, gejala menurut penyakit yang mendasari (rheumatoid arthritis,
pancreatitis, gagal ginjal kronis), hipoksia, penurunan suara dasar paru, dan perkusi
redup.
Hasil pemeriksaan radiologis menunjukkan tumpulnya sudut costophrenicus.
Adanya meniscus dengan densitas radio-opak pada basal paru. Efusi masif bisa terjadi
hingga apeks dan menyebabkan pergeseran mediastinal. Posisi lateral dekubitus dapat
mengidentifikasi efusi minimal. Pemeriksaan USG mengkonfirmasikan ukuran dan
jenis cairan efusi. Sedangkan CT-scan selain dapat mengidentifikasikan efusi pleura
minimal, juga bisa mengetahui penyebab efusi serta adanya penebalan plura yang
mengandung eksudat.
Tata laksana efusi pleura tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Drainase
dibutuhkan bila terbukti adanya infeksi/empyema. Efusi pleura yang berulang
kemungkinan membutuhkan pleurodesis (Misra R, 2007).

Efusi pleura dextra


(Misra R, 2007).

Loculated pleural effusion (Misra R, 2007).

Efusi pleura bilateral


A B
A. Efusi pleura bilateral; B. Efusi pleura kanan masif, adanya masa belum dapat
disingkirkan
pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura
Efusi pleura disebabkan oleh beberapa mekanisme antara lain peningkatan
permeabilitas membran pleura, peningkatan tekanan kapiler paru, penurunan tekanan
negatif dalam rongga pleura, penurunan tekanan onkotik, dan obstruksi aliran limfe.
Efusi pleura dapat menunjukkan terdapat penyakit paru, pleura, maupun ekstra paru.2
Efusi pleura dibedakan menjadi transudat dan eksudat. Efusi pleura transudatif terjadi
akibat peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan tekanan onkotik dalam rongga
pleura. Efusi pleura eksudatif terjadi akibat abnormalitas permeabilitas kapiler,
obstruksi aliran limfatik, infeksi, atau pendarahan.
a. Gejala Utama.
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika paru
terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak (Davey., 2003), berupa
rasa penuh dalam dada atau dispneu (Ward et al., 2007). Nyeri bisa timbul akibat
efusi yang banyak (Davey., 2003), berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul
(Ward et al., 2007). Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam,
menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak.

Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi
penumpukan cairan pleural yang signifikan

b. Pemeriksaan Fisik.
 Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih
cembung
 Palpasi. Penurunan fremitus vocal atau taktil
 Perkusi. Pekak pada perkusi,
 Auskultasi. Penurunan bunyi napas
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi
atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas
bronkus (Ward et al., 2007).

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,


karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang
bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada
perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan
membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).

Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani

dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah

pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi


daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.

Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

c. Pemeriksaan Penunjang.
Foto thoraks

Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat dalam
rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan
daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak sudut kostrofrenikus
menumpul (Davey., 2003). Pada pemeriksaan foto dada posisi lateral dekubitus,
cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi (Halim et al., 2006).

Torakosentesis.

Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun


terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan
pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan jarum abbocath
nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-
1500 cc pada setiap aspirasi. Untuk diagnosis cairan pleura dilakukan
pemeriksaan:

a. Warna cairan.
Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-santrokom).
b. Biokimia.
Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya dapat dilihat
pada tabel dibawah:

c. Sitologi.
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel
patologis atau dominasi sel-sel tertentu.
 Sel neutrofil: pada infeksi akut
 Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau limfoma
maligna).
 Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru
 Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
 Sel giant: pada arthritis rheumatoid
 Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
 Sel maligna: pada paru/metastase.
d. Bakteriologi.
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung
mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering
pneumokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter (Halim et al.,
2006).
Biopsi Pleura.
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor
pleura. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi
atau tumor pada dinding dada (Halim et al., 2006).
A. Penatalaksanaan
Terapi penyakit dasarnya (Antibiotika).

Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic).


Torakosentesis.

7. pulmonary edema,
1. Anamnesis
Edema paru kardiogenik berbeda dari ortopnea dan paroksismal nocturnal dispnea,
karena kejadiannya sangat cepat dan terjadinya hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim.
Pasien batuk-batuk dan biasanya pada posisi duduk agar dapat mempergunakan otot bantu
napas dengan baik saat respirasi, atau sedikit bungkuk ke depan, sesak hebat disertai sianosis,
(2)
berkeringat dingin, batuk dengan sputum warna kemerahan (pnk frothy sputum).
Edema paru non kardiogenik muncul sebagai respon terhadap berbagai trauma dan
penyakit yang mempengaruhi paru secara langsung (seperti aspirasi isi lambung, pneumonia
berat, dan kontusio paru) atau secara tidak langsung (sepsis sistemik, trauma berat,
(7)
pankreatitis).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada edema paru kardiak ditemukan frekuensi napas yang meningkat, dilatasi alae
nasi, retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikular menunjukan tekanan
negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pau terdengar
ronkhi basah kasar setengah lapangan paru atau lebih sering disertai wheezing. Pemeriksaan
jantung ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung II mengeras, dan tekanan darah
(2)
meningkat.
3. Pemeriksaan Penunjang
1) Foto toraks
Menunjukan hilus yang melebar dan densitas meningkat disertai tanda-tanda
(2)
bendungan paru, akibat edema intertsisial atau alveolar.
1. Garis Kerley A : Garis-garis memanjang dari hilus kea rah perifer
2. Garis Kerley B : Garis-garis sejajar dari perifer
3. Garis Kerley C : Garis-garis yang mirip sarang laba-laba pada bagian tengah
paru
(10)
Hilus berkabut : batas hilus tak jelas
Gambaran berkabut atau kesuraman yang merata dari sentral dan meluas tersebar
seperti kupu-kupu (butterfly pattern) disertai garis kerley A, B, dan C. Gambaran radiologi
seperti terlihat pada kedua tipe edema paru. Pada edema paru non kardiogenik, gambaran
(4)
radiologi kadang-kadang tampak normal.
Pada foto toraks edema paru non-kardiologik nampak infiltrat difus bilateral yang
ringan atau alveolar, bercak-bercak (patchy bilateral) atau konflurens. Sulit untuk membedakan
foto toraks antara ARDS dan edema paru karena gagal jantung.

(11)
Gambaran Radiologi yang ditemukan :

1. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)


2. Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
3. Kranialisasi vaskuler
4. Hilus suram (batas tidak jelas)
5. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)

(11)
Gambar 1. Edema intertsisial

Gambaran underlying disease (kardiomegali, efusi pleura, diafragma kanan letak


tinggi)
(11)
Gambar 2. Kardiomegali dan edema paru
1. Infiltrat di daerah basal (edema basal paru)
2. Edema “Butterfly” atau Bat’s Wing (edema sentral)

(11)
Gambar 4. Bat’s Wing

1. Edema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang memiliki
kelainan sebelumnya, contoh : emfisema)
2) Elektrokardiografi
biasanya EKG normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda isekemik atau infark
biasanya hipertrovi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik non
iskemik terdapat gambaran gelombang T negatif lebar dengan QT memanjang dan
membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil.
3) Ecokardiografi :
Gambaran penyebab gagal jantung: kelainan katup, hipertrofi ventrikel (hipertensi),
segmental wall motion abnormally (penyakit jantung koroner)
4) Laboraorium :
Pada edema paru kardiogenik :
 Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia.
 Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
 Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim
jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner.
 Kadar BNP (Brain Naturetic peptide) untuk membedakan edema paru
kardiogenik dengan penyakit lain seperti asma bronkial akut.
Pada edema paru non kardiogenik / ARDS:

 Hasil analisa gas darah normal. Rasio PaO2 terhadap fraksi O2 yang dihirup
(FiO2) menurun < 200 mmHg. Awalnya terdapat alkalosis respirasi yang
kemudian dalam perjalanan penyakit menjadi asidosis respiratorik karena
eleminasi CO2 menurun.
 Lekositosis atau leukopenia, anemia, trombositopenia. Jarang terjadi
disseminated intravascular coagulation (DIC),yang dapat terjadi pada keadaan
sepsis, trauma berat atau trauma kepala.
 Gangguan faal hati dapat terjadi karena timbulnya multiple organ dysfunction
syndrome (MODS)

Metode-metode yang lebih invasif adakalanya diperlukan untuk membedakan antara


cardiac dan noncardiac pulmonary edema pada situasi-situasi yang lebih rumit dan kritis.
Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis (kateter) yang
disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan melalui kamar-kamar
sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler paru atau pulmonary capillaries
(cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru). Alat ini
mempunyai kemampuan secara langsung mengukur tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru,
disebut pulmonary artery wedge pressure.

 Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic
pulmonary edema,
 sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-
cardiogenic cause of pulmonary edema.

Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive
(11)
care unit (ICU) setting.

A. Penatalaksanaan
Dalam Alsegaf dan Mukti (2009), disebutkan bahwa terapi kegagalan jantung kiri
adalah pengobatan seumur hidup dengan tetap memperhatikan faktor dasar penyebab, tetapi
(4)
keadaan gawat darurat edema paru harus segera diatasi.

Terapi edema paru kardiak harus segera dimulai setelah diagnosis ditegakan yaitu
(2)
sebagai berikut :

1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk
(pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60
mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak
mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi
endotrakeal, suction, dan ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10
menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena
mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan
Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan
nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah
sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal
atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
5. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
6. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit
atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil
dengan oksigen.

10. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.


11. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel / corda tendinae.

Penatalaksanaan edema paru non kardiogenik adalah :

1. Memperbaiki ventilasi dengan:


a. Pemberian O2 sehingga O2 dalam udara inspirasi mencapai 50-100%
b. Intubasi endotrakheal
c. Menggunakan alat bantu nafas (ventilato) bila diperlukan
2. Mempertahankan sirkulasi, dengan :
a. Memperbaiki dehidrasi atau mengurangi cairan bila terjadi over hidrasi
3. Diperlukan terapi spesifik untuk hal-hal khusus :
a. Tempat tinggi, dengan oksigen dan transportasi ke daerah yang lebih rendah
(4)
b. Bila obat atau racun sebagai penyebab, beri obat antagonis.

8. gastroesophageal reflux disease with aspiration


Walaupun gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau regurgitasi, gejala tidak
khas ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul yang meliputi nyeri dada non
kardiak (non cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk, asma,
bronkiektasis, gangguan tidur, dan lain-lain Secara klinis, diagnosis GERD dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis yang seksama. Beberapa
pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD adalah :
endoskopi saluran cerna bagian atas, pemantauan pH 24 jam, tes Bernstein, manometri
esofagus, sintigrafi gastroesofageal, dan tes penghambat pompa proton (tes supresi
asam) (Makmun,2009).

9. restrictive lung disease


• Psychogenic:

1. panic attacks
Serangan Panik ditandai dengan gejala anxietas yang berat seperti: berdebar-debar,
nyeri dada, sesak nafas, tremor, pusing, merasa dingin atau panas, ada depersonalisasi
atau derealisasi, gejala mencapai puncaknya dalam 10 menit. Gangguan Panik
merupakan serangan panik yang berulang-ulang dengan onset cepat dan durasi sangat
singkat.

• Upper airway obstruction:

epiglottitis, Onset dan perkembangan gejala yang terjadi pada pasien epiglotitis akut
berlangsung dengan cepat. Biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri tenggorok, nyeri
menelan/ sulit menelan, dan suara menggumam atau ”hot potato voice”, suara seperti seseorang
berusaha berbicara dengan adanya makanan panas di dalam mulutnya.1 Prediktor adanya
obstruksi saluran nafas adalah perkembangan yang cepat dalam 8 jam setelah onset gejala,
terdapat stridor inspiratoar, saliva yang menggenang, laju pernafasan lebih dari 20 kali
permenit, dispnea, retraksi dinding dada dan posisi tubuh yang tegak.2 Selain itu, tanda-tanda
lain yang dapat ditemukan pada pasien dengan epiglotitis akut adalah demam, nyeri pada
palpasi ringan leher, dan batuk.1
Pada anak-anak, manifestasi klinik yang nampak akan terlihat lebih berat dibandingkan
pada orang dewasa. Tiga tanda yang paling sering ditemui adalah demam, sulit bernafas, dan
iritabilitas. Anak-anak akan terlihat toksik, dan terlihat tanda-tanda adanya obstruksi saluran
nafas atas. Akan terlihat pernafasan yang dangkal, stridor inspiratoar, retraksi, dan saliva yang
menggenang. Selain itu juga terdapat nyeri tenggorok yang hebat dan disfagia. Berbicara pun
terbatas akibat nyeri yang dirasakan. Batuk dan suara serak biasanya tidak ditemukan, namun
bisa terdapat suara menggumam. Stridor muncul ketika saluran nafas hampir sepenuhnya
tertutup. Anak-anak biasanya akan melakukan posisi “tripod” (pasien duduk dengan tangan
mencengkram pinggir tempat tidur, lidah menjulur dan kepala lurus ke depan). Laringospasme
dapat muncul secara tiba-tiba dengan adanya aspirasi sekret ke saluran nafas yang telah
menyempit dan menimbulkan respiratory arrest.4,8
Obstruksi saluran nafas pada pasien dengan epiglotitis akut dapat terjadi karena mukosa
dari daerah epiglotis longgar dan memiliki banyak pembuluh darah, sehingga ketika terjadi
reaksi inflamasi, iritasi, dan respon alergi, dapat dengan cepat terjadi edema dan menutupi
saluran nafas sehingga terjadi obstruksi yang mengancam jiwa.6
2.6. Pemeriksaan dan Diagnosis
Dari pemeriksaan orofaring, dapat terlihat epiglotis dan daerah sekitarnya yang
eritematosa, membengkak, dan berwarna merah ceri, namun pemeriksaan ini jarang dilakukan
karena kemungkinan akan memperparah sumbatan dari saluran nafas. Ataupun jika perlu
dilakukan, maka pemeriksaan ini dilakukan di tempat yang memiliki alat-alat yang lengkap,
seperti di ruang operasi. Dapat juga dilakukan pemeriksaan laringoskopi direk dengan fiber
optik untuk pemeriksaan yang lebih akurat.1,7
Penggunaan pemeriksaan radiologis pada pasien dengan epiglotitis akut masih
kontroversial. Meskipun diketahui bahwa epiglotitis dapat didiagnosis dari radiografi lateral
leher, masih dipertanyakan apakah prosedur ini aman dan memang diperlukan.8 Dari hasil
pemeriksaan radiografi ditemukan gambaran “thumb sign”, yaitu bayangan dari epiglotis
globular yang membengkak, terlihat penebalan lipatan ariepiglotika, dan distensi dari
hipofaring. Terkadang, epiglotis itu sendiri tidak membengkak, namun daerah supraglotis
masih terlihat tidak jelas dan nampak kabur akibat edema dari struktur supraglotis yang lain.
Pada kasus yang berat, terapi tidak boleh ditunda untuk melakukan pemeriksaan radiografi.
Jika radiografi memang dibutuhkan, pemeriksaan harus didampingi dengan personil yang
dapat mengintubasi pasien secara cepat ketika obstruksi saluran nafas memberat atau telah
tertutup seluruhnya.2,3,8

Gambar 2.3. Gambaran radiografi lateral leher pada pasien dengan epiglotitis2,6
Pemeriksaan laboratorium tidak spesifik pada pasien dengan epiglotitis dan dilakukan
ketika saluran nafas pasien telah diamankan. Jumlah leukosit dapat meningkat dari 15.000
hingga 45.000 sel/µL.4 Kultur darah dapat diambil, terutama jika pasien terlihat tidak baik
secara sistemik. Kultur biasanya memberikan hasil yang positif pada 25% kasus.1
Epiglotitis dapat menjadi fatal jika terdiagnosis terlambat.6 Diagnosis biasanya dapat
ditegakkan dari riwayat perjalanan penyakit dan temuan klinis, serta pemeriksaan radiografi
jika memungkinkan.3

2.7. Diagnosis Banding


Pada anak-anak, croup dapat merupakan diagnosis banding dari epiglotitis. Usia pasien,
gejala prodromal, adanya batuk, dan tingkat toksisitas dapat membantu membedakan
epiglotitis dari croup. Biasanya, croup terjadi pada anak yang lebih muda, dan yang paling
penting, pada anak dengan croup terdapat barking cough dan jarang terlihat toksik.4
Kondisi-kondisi lain yang menyerupai epiglotitis adalah angioedema akut, obstruksi
saluran nafas karena penyebab lain, fraktur atau stenosis laring, aspirasi benda asing, difteri
laringeal, laringitis, abses peritonsilar, abses retrofaringeal, dan sepsis.1,4

2.8. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan pada pasien dengan epiglotitis diarahkan kepada mengurangi
obstruksi saluran nafas dan menjaganya agar tetap terbuka, serta mengeradikasi agen
penyebab.

2. foreign body, croup,


EJALA

 Asidosis metabolik ringan bisa tidak menimbulkan gejala, namun biasanya penderita
merasakan mual, muntah dan kelelahan.
 Pernafasan menjadi lebih dalam atau sedikit lebih cepat, namun kebanyakan
penderita tidak memperhatikan hal ini.
 Sejalan dengan memburuknya asidosis, penderita mulai merasakan kelelahan yang
luar biasa, rasa mengantuk, semakin mual dan mengalami kebingungan.
 Bila asidosis semakin memburuk, tekanan darah dapat turun, menyebabkan syok,
koma dan kematian.

DIAGNOSA

 Diagnosis asidosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pengukuran pH darah


yang diambil dari darah arteri (arteri radialis di pergelangan tangan).
 Darah arteri digunakan sebagai contoh karena darah vena tidak akurat untuk
mengukur pH darah.
 Untuk mengetahui penyebabnya, dilakukan pengukuran kadar karbon dioksida dan
bikarbonat dalam darah.
 Mungkin diperlukan pemeriksaan tambahan untuk membantu menentukan
penyebabnya.
 Misalnya kadar gula darah yang tinggi dan adanya keton dalam urin biasanya
menunjukkan suatu diabetes yang tak terkendali.
 Adanya bahan toksik dalam darah menunjukkan bahwa asidosis metabolik yang
terjadi disebabkan oleh keracunan atau overdosis.
 Kadang-kadang dilakukan pemeriksaan air kemih secara mikroskopis dan
pengukuran pH air kemih
PENGOBATAN

 Pengobatan asidosis metabolik tergantung kepada penyebabnya.


 Sebagai contoh, diabetes dikendalikan dengan insulin atau keracunan diatasi dengan
membuang bahan racun tersebut dari dalam darah.
 Kadang-kadang perlu dilakukan dialisa untuk mengobati overdosis atau keracunan
yang berat.
 Asidosis metabolik juga bisa diobati secara langsung.
 Bila terjadi asidosis ringan, yang diperlukan hanya cairan intravena dan pengobatan
terhadap penyebabnya.
 Bila terjadi asidosis berat, diberikan bikarbonat mungkin secara intravena; tetapi
bikarbonat hanya memberikan kesembuhan sementara dan dapat membahayakan

• Endocrine:

1. metabolic acidosis,

• Pediatric:

1. bronchiolitis,

2. croup,
3. epiglottitis,
4. foreign body aspiration,

Myocarditis Manifastasi klinis

Manifestasi klinis miokarditis bervariasi, mulai dari asimtomatis (self limited disease) sampai
syok kardiogenik. Gejala paling jelas yang menunjukan miokarditis adalah sindrom infeksi
viral dengan demam, nyeri otot, nyeri sendi, dan malaise. Sebagian besar pasien tidak
mempunyai keluhan kardiovaskular yang spesifik namun mungkin memiliki kelainan segmen
ST dan gemlombang T pada EKG.nyeri dada mungkin berupa iskemia yang khas, atau pada
umumnya pericardial. Nyeri dada biasanya menunjukan perikarditis yang terkait, namun
terkadang dikarenakan ada iskemia miokard.
Kardiomiopati dilatasi akut pada miokarditis limfositik dapat menyebabkan gagal jantung
ringan sedang, dan berat. Sebagian besar pasien dengan gejala ringan mengalami tahap
penyembuhan spontan fungsi ventricular dan normalisasi pada ukuran jantung. Pasien dengan
miokarditis berat seringkalidisertai dengan kolaps sirkulasi dan tanda-tanda disfungsi organ.

Kadang-kadang pasien mengalami sindrom klinis yang serupa dengan infark miokard akut,
dangan nyeri dada iskemia danelevasi segmen ST pada EKG.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya sindrom seperti flu atau mungkin
asimtomatik. Pemeriksaan laboratorium dapat menunjukan leukositosis, eusinofilia, laju endap
darah meningkat, atau peningkatan CKMB.

EKG

EKG hampir selalu abnormal pada pasien miokarditis. EKG paling sering menunjukan sunis
takikardia. Lebih khas adalah perubahan gelombang ST-T. dapat ditemukan perlambatan QTc,
voltasi rendah dan bahkan pola infark miokard akut, aritmia jantung seringkali ditemukan
ermasuk blok jantung total, takikardia ventricular dan aritmia supraventrikular terutama
dengan adanya gagal jantung kongestif atau inflamasi perikard.

Foto rontgen dada

Rasio kardiotorasik biasanya normal, terutama pada fase awal penyakit sebelum terjadi
kardiomiopati. Fungsi ventrikel kiri menurun progresif dapat mengakibatkan kardiomegali.
Dapat ditemukan manifestasi gagal jantung kongestif seperti sefalisasi atau edema paru.

Ekokardiografi

Ekokardiografi dapat menunjukan disfungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien dengen dimensi
ventrikel kiri yang berukuran normal. Kelainan gerakan dinding segmental mungkin
ditemukan. Kekebalan dinding jantung mungkin bertambah, terutama ssat permulaan penyakit,
saat inflamasi sedang hebat. Thrombus ventrikel terdeteksi sekitar 15%. Gambaran
ekokardiogafi pada miokarditis aktif dapat meniru restriksif, hipertropik, atau kardiomiopati
dilatasi.

5.
6.

Eva Roswati, Zainal SafriPerikardiosentesis pada Efusi Perikardium Masif CDK-202/ vol. 40
no. 3, th. 2013

PDPI PPOK

http://eprints.undip.ac.id/43859/2/FATHIA_KHAIRANI_G2A009079_BAB_2_KTI.pdf
(PPOK..)

Ginting - 2015 (efusi pleura

Penyebab Efusi Pleura pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Eddy Surjanto, Yusup Subagyo
Sutanto, Jatu Aphridasari, Leonardo Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi,
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, RS Dr. Moewardi, Surakarta

IV. DIAGNOSIS BANDING


4.1 PULMONAL
4.1.1 Penyakit Obstruksi Saluran Pernafasan
Obstruksi aliran udara dapat terjadi di mana saja, mulai saluran nafas ekstratorakal
sampai saluran nafas kecil di perifer paru-paru.
1. Obstruksi ekstratorakal.
Obstruksi saluran nafas atas akut merupakan keadaan gawat darurat dalam kedokteran.
Obstruksi saluran nafas besar di ekstratorakal dapat terjadi akut, seperti
padaaspirasi makanan atau benda asing, atau pada angioedema glotis. Adanya riwayat alergi
disertai urtika yang tersebar memperbesar kemungkinan terjadinya edema glotis.
Jenis obstruksi yang lebih kronis dapat ditemukan pada tumor atau stenosis fibrotikyang
terjadi setelah tindakan trakeostomi atau intubasi endotrakeal yang lama.
Baik pada keadaan akut maupun kronik, gejala utamanya adalah dispnea, dengan tanda
khas berupa stridor dan retraksi fossa supraklavikuler pada saat inspirasi.
2. Obstruksi intratorakal.
Obstruksi saluran nafas intratorakal dapat bersifat akut dan sementara, atau kronik yang
makin memberat selama infeksi saluran pernafasan.
Obstruksi akut dan sementara dengan wheezing merupakan ciri khas asma.
Batuk berdahak kronis merupakan gejala khas pada bronkitis kronis danbronkiektasis.
Tanda yang paling sering ditemukan adalah perpanjangan masa ekspirasi dan ronki kasar,
yang pada bronkitis kronis terjadi di seluruh lapang paru, sedangkan pada bronkiektasis
terlokalisir.
Infeksi yang menyelangi akan memperburuk batuk, meningkatkan produksi sputum yang
purulen, dan memperberat dispnea. Selama episode tersebut, penderita dapat mengeluh dispnea
paroksismal di malam hari dengan wheezing, yang berkurang dengan batuk dan pengeluaran
sputum.
Meskipun pada kenyataannya, keterbatasan aliran udara ekspirasi yang berat dan
hiperinflasi paru merupakan karakteristik penyakit ini, penderita lebih sering merasakan
ketidakmampuan menarik nafas dalam daripada kesulitan mengeluarkan nafas.
Pada penderita dengan emfisema sebagai kelainan utama, gejala khas yang terjadi adalah
dispnea menahun pada saat aktivitas, yang kemudian berkembang menjadi dispnea saat
istirahat. Walaupun didefinisikan sebagai penyakit parenkim paru, emfisema selalu disertai
dengan obstruksi saluran nafas.
4.1.2 Penyakit Parenkim Paru Difus
Kategori ini meliputi sejumlah besar penyakit, mulai dari pneumonia akut sampai kelainan
kronis seperti sarkoidosis, dan berbagai jenis pneumokoniosis. Riwayat penyakit, hasil
pemeriksaan fisik, dan hasil radiografi yang abnormal seringkali memberikan petunjuk untuk
menegakkan diagnosis. Penderita seringkali tampak takipnea dengan PCO2 dan PO2 arterial
di bawah normal. Aktivitas fisik sering makin menurunkan PO2 arterial. Volume paru-paru
berkurang dan paru-paru menjadi lebih kaku, sehingga compliance menurun di bawah normal.
4.1.3 Penyakit Oklusi Pembuluh Paru-paru
Episode berulang dispnea ketika istirahat sering ditemukan pada emboli paru rekuren.
Terdapatnya sumber emboli seperti flebitis pada ekstremitas bawah atau panggul akan
membantu mengarahkan diagnosis. Hasil analisis gas darah arteri hampir selalu abnormal, tapi
volume paru umumnya normal atau hanya sedikit abnormal.
4.1.4 Penyakit Dinding Dada atau Otot-otot Pernafasan
1. Deformitas dinding dada.
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya penyakit dinding dada
sepertikifoskoliosis, pektus ekskavatum, atau ankylosing spondylitis. Meskipun ketiga
deformitas ini dapat disertai dispnea, hanya kiposkoliosis berat yang selalu mengganggu
ventilasi dengan intensitas yang cukup untuk akhirnya menjadi cor pulmonale
kronis dan kegagalan pernafasan.
2. Manifestasi utama di sistem lain.
Baik kelemahan maupun paralisis otot-otot pernafasan memang dapat menyebabkan dispnea
dan kegagalan pernafasan. Namun pada gangguan neurologis atau muskuler, seringkali gejala
dan tanda bermanifestasi lebih jelas di sistem lain (selain sistem pernafasan).
4.2 KARDIAL
4.2.1 Patofisiologi
1. Pada penderita penyakit jantung, dispnea saat aktivitas paling sering timbul sebagai :
konsekuensi dari peningkatan tekanan kapiler paru,
yang selanjutnya dapat menyebabkan disfungsi ventrikel kiri,
penurunan compliance ventrikel kiri, dan
stenosis mitral.
2. Kenaikan tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah (vascular bed) paru cenderung
untuk :
mengacaukan kesetimbangan Starling,
akibatnya terjadi transudasi cairan ke ruang interstitial,
penurunan compliance paru,
dan stimulasi reseptor J (juxtacapillary) dalam ruang interstitial alveoli.
3. Hipertensi vena pulmoner yang lama akan :
menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah kecil paru-paru
serta peningkatan jumlah sel perivaskuler dan jaringan fibrosa
sehingga semakin menurunkan compliance.
Ortopnea merupakan hasil dari perubahan gaya gravitasi yang terjadi pada posisi telentang.
Hal ini meningkatkan tekanan vena pulmoner dan kapiler, yang akhirnya meningkatkan
volume penutupan paru-paru (pulmonary closing volume) dan menurunkan kapasitas vital.
4. Kompetisi untuk mendapatkan ruang antara pembuluh-pembuluh darah, saluran
nafas, dan cairan yang meningkat dalam ruang interstitial
akan mengganggu lumen saluran nafas kecil,
sehingga meningkatkan resistensi saluran nafas.
5. Kondisi yang memperberat dispnea.
Compliance yang menurun dan resistensi saluran nafas yang meningkat akan memperberat
kerja pernafasan. Gagal jantung kongestif lanjut biasanya meliputi elevasi tekanan vena
pulmonal dan sistemik. Dapat juga terjadi hidrotoraks, yang akan semakin mengganggu fungsi
paru dan memperhebat dispnea.
4.2.2 Dispnea Paroksismal Nokturnal (Paroxysmal nocturnal dyspnea, PND)
1. Patofisiologi.
Keadaan yang dikenal juga sebagai asma kardiale ini ditandai dengan serangan sesak nafas
yang umumnya terjadi di malam hari dan membangunkan penderita dari tidurnya. Serangan ini
dicetuskan oleh stimulus yang memperberat bendungan paru yang telah ada. Volume darah
total meningkat di malam hari akibat reabsorpsi edema dari daerah dependen (yang pada posisi
tegak mengakumulasi banyak cairan) selama posisi berbaring. Sebenarnya saat tidur, penderita
dapat mentolerir bendungan paru yang relatif berat dan hanya terbangun (dengan sesak
dan wheezing) jika telah terjadi edema paru dan bronkospasme yang nyata.
2. Diagnosis banding.
Dua bentuk lain PND harus dibedakan dari PND yang berhubungan dengan gagal jantung.
Bronkitis kronis ditandai dengan hipersekresi mukus. Setelah tidur beberapa jam, sekret
tersebut terakumulasi sehingga menyebabkan dispnea dan wheezing yang dapatberkurang
dengan batuk dan pengeluaran sputum.
Pada penderita asma, derajat obstruksi saluran nafas terjadi dalam variasi sirkadian.
Obstruksi makin berat antara pukul 2 sampai 4 pagi dan dapat membangunkan penderita
dengan sensasi seperti tercekik, dispnea yang hebat, dan wheezing. Walaupun komponen
utama pada asma nokturnal adalah inflamasi,bronkodilator perinhalasi biasanya dapat
mengurang gejala-gejala dengan cepat.
3. Diagnosis.
Penegakan diagnosis dispnea kardiale tergantung dari pengenalan penyakit jantung pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik, yang ditunjang dengan berbagai pemeriksaan noninvasif.
Mungkin terdapat riwayat infark miokard, bunyi jantung ke-3 dan ke-4, tanda pembesaran
ventrikel kiri, distensi vena jugular di leher, atau edema perifer.
Pada foto toraks, sering ditemukan tanda-tanda gagal jantung berupa edema interstitial,
redistribusi pembuluh darah pulmoner, dan akumulasi cairan di septum dan kavitas pleura.
Ekokardiografi terutama berguna untuk menegakkan diagnosis penyakit jantung
struktural, yang dapat menyebabkan dispnea, terutama untuk memperoleh petunjuk adanya
kelainan jantung sebagai faktor etiologi dari dispnea yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan.

Anda mungkin juga menyukai