Departemen Geografi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
Desember 2018
Review Jurnal Internasional
Penulis : Th.M. Boers, EJ.M.R van Deurzen, L.A.A.J. Eppink, R.E. Ruytenberg
Tahun : 1992
Halaman : 13 – 26
Abstrak :
Pendahuluan :
Pada bagian pendahuluan, penulis menjelaskan bahwa kurva infiltrasi adalah ciri atau
karakteristik penting dalam penelitian erosi tanah. Semakin tinggi laju infiltrasi akan mencegah
aliran permukaan sehingga mengurangi atau bahkan mencegah erosi. Aliran permukaan
bergantung pada intenstas hujan dan laju infiltrasi. Jika hujan turun setelah waktu jenuh (pond
time) tp, laju infiltrasi turun dibawah intensitas hujan dan membuat lapisan air. Jika tidak ada
penampungan air, maka aliran akan terjadi. Hal ini diilustrasikan dengan grafik berikut
Laju infiltrasi f (mm/jam) dari 2 tanah kering
(1&2) terhadapa fungsi waktu t (menit) dalam
hujan badai dengan intensitas konstan P (3).
Selama P<f(t) aliran permukaan tidak terjadi
(kasus 1). Hujan badai yang sama menyebabkan
aliran permukaan pada kasus 2. Untuk t>tp area
diantara hujan dan infiltrasi sama dengan volume
aliran permukaan (runoff)
Dalam penelitian ini penulis mengacu pada data curah hujan 5 tahun di Nigeria
yang diambil di Owerri dengan rata rata curah hujan seesar 2450 mm dan memiiki
musim hujan pada bulan April sampai September dan dilanjutkan dengan musim kering
pada Oktober sampai Maret. Durasi intensitas hujan dengan periode 5 tahunan yang
dibuat oleh Concarplan dan Enplangroup memberikan indikasi awal pada wilayah
bahwa curah hujan yang turun sebesar 90 mm/h untuk durasi hujan 1 jam, 140 mm/h
untuk 30 menit dan 220 mm/h untuk 10 menit.
Intensitas hujan berdasarkan durasi hujan periode 5 tahunan pada Nigeria Tenggara
Tujuan :
Tujuan dari artikel ini adalah untuk membandingkan laju infiltrasi yang diukur
dengan menggunakan infiltromter, rainulator, dan permeameter serta mengevuluasi
ketiga metode terhadap relevansi dan aplikasinya untuk penelitian erosi tanah.
Lokasi :
A. Merupakan tempat aliran permukaan baru yang beroperasi tahun 1987 bekas lahan
yang tertutup vegetasi rumput dan dibabat pada Januari 1987 atau jauh sebelum
pegukuran dan permukaannya dihaluskan dengan penggaruk dan dibiarkan namun
top soilnya masih terdapat akar akaran dan zat organic.
B. 20 meter lahan yang mengikuti kontur di sebelah lokasi A dengan tanah yang sama
namun memiliki tutupan vegetasi rumput dan top soil terlihat lebih gelap karena zat
organic lebih banyak dibandingkan lokasi A. Tepat sebelum pengukuran vegetasi
rumput dipotong sehingga tanah kosong seperti pada lokasi A
C. 20 meter lahan yang mengikuti kontur di sebelah lokasi B, tanahnya kosong dan
permukaannya keraas, zat organiknya lebih kecil dibandingkan lokasi A
Metode :
1. Double Ring Infiltrometer (infiltrometer)
Pada artikel ini percobaan dengan menggunakan infiltrometer dilakukan pada
lokasi A dan C. Infiltrometer terdiri daru 2 ring besi yang berdiameter 30 cm dan
50 cm dengan ketinggian 30 cm. Pemasangan ring dengan dipalu dan ditanacpkan
pada tanah hingga kedalaman 10 cm – 15 cm. Kendala yang dialami penulis adalah
pada lokasi C dikarenakan permukaan dan kondisi tanah yang keras, maka ring
hanya tertanam 5 cm saja. Sebuah pengukur digunakan pada ujung atas untuk
memeriksa apakah kedua ring sudah sejajar. Pada saat pengukuran periksa apakah
terjadi kebocoran air pada ring.
Pengukuran dilanjutkan selama laju infiltrasi konstan fcbelum tercapai, biasanya
hingga 2-3 jam. Pada Lokasi A 4 pengukuran diambil dari waku yang berbeda, yaitu
I1 pada Februari 1987 sebelum musim hujan dan I2 Desember 1987 setelah musim
hujan. Kemudian pada lokasi C, I3 pada Februari 1987 dan I4 Mei 1987.
Pada artikel tidak dijelaskan secara jelas bagaimana metode saat pengukuran
seperti bagaimana menuangkan air pada ring infiltrometer, dan bagaimana
mengukur perbedaan ketinggian pada ring. Interval waktu mencatat hasil penurunan
air juga tidak dijelaskan dengan jelas di bagian metodologi, namun terdapat pada
kurva di bagian hasil.
Keterangan:
f = laju infiltrasi
fc = laju infiltrasi konstan
fo = laju infiltrasi awal
k = konstanta geofisik
Model ini sangat simpel dan lebih cocok untuk data percobaan. Kelemahan
utama dari model ini terletak pada penentuan parameternya fo, fc dan k dan
ditentukan dengan data fitting.
Hasil
1. Double Ring Infiltrometer (infiltrometer)
Pada Lokasi B dengan kondisi tanah yang sama dengan okasi A dan waktu
pengukuran yang sama yaitu Februari 1987, R1 dan R2 yang diukur dengan
menggunakan rainulator menunjukan hasil sebesar 525 dan 600 mm/h untuk laju
infiltrasi awal sedangkan laju infiltrasi konstan sebesar 120 dan 85 mm/h dan waktu
konstan 65 ddan 75 menit. Jika dibandingkan dengan hasil metode double ring
infiltrometer, hasil dari metode ini lebih kecil karena beberapa faktor yaitu
kandungan air awal atau kapasitas lahan yang berbeda, efek erosi yang disebabkan
oleh percikan hujan seperti pada hujan asli.
Pada lokasi C, hasil infiltrasi dengan menggunakan rainulator menunjukan laju
infiltrasi awal sebesar 400 dan 240 mm/h untuk R3 dan R4, dan laju infiltrasi konstan
sebesar 50 mm/h untuk kedua percobaan dengan waktu 25 dan 15 mm/h. Hasil yang
dilihat menunjukan laju yang lebih kecil dibandingkan dengan hasil infiltrometer.
3. Constant head permeameter (permeameter)
Setelah sampel dibawa dian dihitung, konduktivitas hidrolik jenuh rata rata dai
10 sampel adalah 4.57+1.33 m/d atau fc = 190+5 mm/h. Salah satu alasan untuk
standar variasi yang besar adalah karena variasi spasial dari kondisi tanah yang
dijadikan sampel. Alasan lainnya adalah kesulitan dala mengambil sampel ring
pada permukaan tanah yang kering sehingga menyebabkan ketidakakurasian. Hasil
permeameter menghasilkan 190 mm/h lebih kecil dari infiltrasi dengan
infiltrometer di lokasi A namun lebih besar dari infiltrasi konstan dengan metode
rainulator pada lokasi B.
Evaluasi Metode
Dari segi keakurasian dan kemudahan dalam penelitian erosi, peneliti
mengevaluasi ketiga metode yang sudah dilakukan. Pada artikel ini mereka lebih
tertarik pada kecepatan untuk mengukr infiltrasi dan menganalisa prediksi erosi
tanah pada jangkauan yang leih luas lagi.
Jika dibandingkan laju infiltrasi dengan metode infiltrometer dianggap
terlalu tiggi dan tidak realistis, hal ini berlaku pada semua percobaan baik I1 (840
mm/h), I2 (330 mm/h), I3 (140 mm/h), dan I4 (90 mm/h). Hasil dari metode
pemeameter lebih baik namun tetap dianggap telalu tinggi (190 mm/h). Lalu dengan
rainulator hasil yang diukur lebih ralistis jika dibandingkan dengan data curah hujan
acuan yaitu R1 (120 mm/h) dan R2 (85 mm/h) dan pada lahan keras R3 = R4 (50
mm/h). Berikut adalah perbandingan ketiga metode jika dilihat dari segi akurasi,
hasil, dan aplikabilitasnya.
Kesimpulan
Berdasarkan pengukuran ya sudah dilakukan sebelumnya, penulis
menyimpulkan bahwa metode rainulator adalah mtode yang terbaik untuk meneliti
erosi tanah karena kondisi yang dihasilkan rainulator sangat mirip dengan kondisi
actual saat tejadinya hujan sehinggga menghasilkan hasil yang realistis. Meskipun
metode permeameter terbilang lbih praktis karena tidak membutuhkan air dan bias
dilaukan hanya dengan 1 orang saja, namun hasil yang diukur lebih besar dan
kurang realistis disbanding rainulator. Metode infiltrometer menghasilkan data
yang terlalu tinggi dan berkontradiksi dengan curah hujan dan aliran permukaan
yang tercatat sehingga tidak realstis.
Kekuatan Penelitian
Tujuan dan lokasi penelitian dijelaskan dengan rinci dan mudah dimengerti
Bahasa pada jurnal dapat dipahami dengan baik oleh pembaca
Hasil dari penelitian dijelaskan dengan detail
Kesimpulan dijelaskan dengan baik dan mencakup seluruh penelitian
Kekurngan Penelitian
Metode yang dijelaskan kurang dijelaskan, terutama pada metode
permeameter. Penulis hanya menjelaskan bahwa sampel dibawa ke
laboratoium untuk diuji pada permeameter namun tidak dijelaskan
bagaimana tahap pengujiannya.
Hasil pengukuran tidak dijabarkan melainkan hanya menggunakan kurva
laju infiltrasi horton.
Materi yang berkaitan dengan penelitan ini adalah mengenai aliran permukaan
(runoff) dan infiltrasi, namun materi yang dibahas lebih detail adalah metode
mengukur laju infiltrasi.
Dari metode infiltrometer atau double ring infiltrometer sudah pernah dilakukan
di kelas prakikum geografi fisik 2, untuk mengukur infiltrasi interval pencatatan
hasil ukur dilakukan setiap 5 menit sampai laju infiltrasinya konstan sedangkan
pada penelitian ini batasan interval waktu kurang jelas. Alat yang digunakan
berbeda dengan yang ada di artikel ini, alat yang digunakan untuk praktikum
berdiameter lebih kecil. Meskipun batasan – batasan praktikum seperti jenis tanah
yang berbeda dan kandungannya tidak sekompleks dalam artikel ini, dan hanya
merupakan pengukuran sederhana pada satu plot lahan tetapi prinsip yang
digunakan pada praktikum persis seperti dalam artikel. Materi yang dipelajari dari
kelas praktikum sudah cukup untuk melakukan percobaan dengan double ring
infiltrometer.
Meskipun 2 metode lainnya yaitu Rainulator dan Permeameter merupakan
metode yang lebih kompleks dibandingkan dengan alat infiltrometer. Namun Saya
kira mata kuliah Praktikum Geografi fisik 2 sudah cukup untuk menjadi bekal
karena pada dasarnya perhitungan pada penelitian ini menggunakan metode yang
sama yaitu Horton, dari persamaannya hingga kurva yang digunakan juga sama.
Meskipun harus mendalami lagi bagaimana cara mengoperasikan rainulator dan
permeameter lebih lanjut.