TENGGARA
PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2019
EDITOR
HAKIKI ERNAWATI
JUMYANY SYNTHA MAOLA KADANG
SAHRIANI
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | ii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya kepada kami, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan buku
mengenai “Kemaritiman Sulawesi Tenggara”. Buku mengenai “Kemaritiman Sulawesi
Tenggara” ini, berisi lima bab dengan bahasan berupa sejarah, peradaban budaya, ekonomi,
teknologi dan berkenaan dengan mitigasi bencana maritim di Sulawesi Tenggara.
Buku ini, telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatannya. Oleh karena itu, kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan buku ini,
baik kepada para narasumber, dosen pembimbing dan rekan penulis lainnya dalam curah
gagasan, aktualisasi pemikiran dan tanggapannya mengenai proses penyusunan buku ini.
Terlepas dari semua hal tersebut, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya serta penyusunan
kronologis peristiwa. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka dan hati yang lapang kami
menerima segala saran maupun kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki ataupun
mengembangkan bahan bahasan kedepannya. Diharapkan keberadaan buku ini, dapat menjadi
stimulus bagi generasi penulis mendatang serta membuka cakrawala berpikir untuk
mengembangkan potensi daerah di Sulawesi Tenggara khususnya terhadap bidang
kemaritimannya. Akhir kata semoga buku mengenai “Kemaritiman Sulawesi Tenggara” ini
dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Penyusun
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR v
BAB I SEJARAH MARITIM DI SULAWESI TENGGARA 1
A. Bukti Sejarah dan Bukti Arkeologi Maritim di Sulawesi Tenggara 2
B. Kerajaan Maritim di Sulawesi Tenggara 7
C. Sejarah Maritim di Sulawesi Tenggara 12
BAB II BUDAYA MARITIM DI SULAWESI TENGGARA 14
A. Budaya Maritim 15
B. Peradaban Maritim pada Suku Bajo 15
C. Peradaban Maritim pada Suku Buton 24
BAB III EKONOMI MARITIM DI SULAWESI TENGGARA 32
A. Masyarakat Pesisir di Sulawesi Tenggara 33
B. Industri Pengelola Sumber Daya Laut di Sulawesi Tenggara 37
C. Fungsi Kelembagaan Sosial-Ekonomi Masyarakat Pesisir untuk Mencapai
Kesejahteraan yang Berkelanjutan 37
D. Kebijakan yang Mendukung Ekonomi Maritim di Sulawesi Tenggara 38
E. Potensi Kemaritiman di Sulawesi Tenggara 40
F. Kelebihan dan Kekurangan Masyarakat di Daerah Pesisir 46
G. Masalah-masalah Perekonomian Daerah Pesisir di Sulawesi Tenggara 47
BAB IV ILMU DAN TEKNOLOGI MARITIM DI SULAWESI TENGGARA 49
A. Pengertian Ilmu dan Teknologi Maritim 50
B. Perbedaan Kelautan dan Kemaritiman 50
C. Pemanfaatan Teknologi di Bidang Maritim 51
D. Kebutuhan Riset dan IPTEK untuk Mendukung dan Akselerasi Pembangunan
Kelautan 52
E. Riset Teknologi Kemaritiman di Sulawesi Tenggara 55
BAB V MITIGASI BENCANA MARITIM DI SULAWESI TENGGARA 60
A. Pengertian Mitigasi Bencana 61
B. Jenis-jenis Mitigasi Bencana 67
C. Tujuan dan Metode Mitigasi Bencana 68
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Perahu Lambo 5
Gambar 2. Teluk Kendari 6
Gambar 3. Panah Peninggalan Suku Bajo Petoaha 7
Gambar 4. Pola Pemukiman Suku Bajo 17
Gambar 5. Rumah Bungke Khas Suku Bajo 18
Gambar 6. Bangka Kabangu 28
Gambar 7. Bangka Nade 28
Gambar 8. Perahu Layar Motor 30
Gambar 9. Kondisi Pesisir Masyarakat suku Bajo 36
Gambar 10. Anak-anak Masyarakat suku Bajo 36
Gambar 11. Budidaya Rumput Laut 40
Gambar 12. Ikan yang dijual oleh masyarakat Suku Bajo 41
Gambar 13. Salah Satu Keramba Masyarakat Suku Bajo 42
Gambar 14. Deretan Keramba Masyarakat Suku Bajo 42
Gambar 15. Pulau Labengki 43
Gambar 16. Pantai Nambo 43
Gambar 17. Pantai Liwutongkidi 44
Gambar 18. Taman Laut Wakatobi 44
Gambar 19. Kendari Beach 45
Gambar 20. Pulau Bokori 46
Gambar 21. Pasar Masyarakat Suku Bajo 48
Gambar 22. Perahu Fiberglass 56
Gambar 23. Tecnopark Pulau Bokori 57
Gambar 24. Terumbu Karang di Wakatobi 59
Gambar 25. Peta sebaran titik gempa bumi diwilayah Sulawesi Tenggara tahun
2007-2016 63
Gambar 26. Peta sesar gempa diwilayah Sulawesi Tenggara 64
Gambar 27. Siklus Manajemen Bencana 72
Gambar 28. Visual Rambu-rambu Evakuasi 76
Gambar 29. Suasana Saat di Perkampungan Masyarakat Suku Bajo 99
Gambar 30. Persiapan Wawancara dengan Narasumber Mengenai Wawasan Kemaritiman
Daerah Bajoe Bungkutoko Sulawesi Tenggara 99
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | vi
OLEH :
SEJARAH SAHRIANI (A1K1 18 032)
SARTIKA (A1K1 18 060)
MARDIANA MULYA SAPUTRI (A1K1 18 070)
MARITIM LA ODE IMRAN RAJAB S. (A1K118116)
IIN MUTHMAINNAH (A1K1 18 072)
TITIN REBRIANTI (A1K1 15 110)
SULAWESI JULI ANDRIANI (A1K1 18 136)
WA ILA (A1K1 15 112)
FITRI (A1K1 18 096)
TENGGARA MUSLAN (A1K1 18 076)
Wawasan Kemaritiman di Sulawesi Tenggara |2
1
Poelinggomang, 2002:22
Wawasan Kemaritiman di Sulawesi Tenggara |3
menyatakan bahwa suku Bajo berasal dari Vietnam dan Philipina. Argumen ini
didasarkan pada banyaknya kemiripan bahasa yang digunakan suku Bajo dengan
bahasa Tagalog di Philipina dan Vietnam. Versi lain juga mengatakan suku Bajo
berasal dari Kerajaan Johor yang datang ke Indonesia untuk membantu Kerajaan
Sriwijaya pada abad ke-18.2
Nama “Bajo” sendiri bukanlah nama asli dari suku ini. Suku Bajo menyebut
diri mereka sebagai suku Same, sementara sebutan untuk orang diluar suku mereka,
mereka menyebutnya dengan istilah suku Bagai. Kata Bajo sendiri oleh beberapa
kalangan diyaniki berasal dari kata yang berkonotasi bajak laut. Meski banyak
kalangan yang membantah konotasi ini, menurut tutur yang berkembang bahwa pada
jaman dahulu banyak dari bajak laut yang memang berasal dari suku Same, yakni satu
yang memang hidup dan tinggal di perahu ini dan menyebar hingga ke seluruh
nusantara. Sehingga, suku laut apa pun di bumi nusantara ini kerap dimaknai sebagai
suku Bajo. Pada suku Bajo, dikenal empat kelompok masyarakat yang didasarkan
pada karakteristik mereka dalam kaitannya dengan aktivitas mereka di lautan. Empat
kelompok masyarakat ini dikenal dengan sebutan sebagai berikut.
a) Kelompok Lilibu, yakni Suku Bajo yang biasanya mengarungi lautan hanya satu
dua hari untuk mencari ikan dan jarak melautnya pun tidak terlalu jauh. Setelah
ikan didapat, kelompok ini biasanya segera “pulang” untuk bertemu keluarganya.
Perahu yang digunakan oleh kelompok ini biasanya berukuran kecil yang bernama
soppe dan dikendalikan menggunakan dayung.
b) Kelompok Papongka, yakni suku Bajo yang bisa dikendali dengan aktivitas
melautnya yang hanya seminggu dua minggu saja untuk mencari ikan. Perahu
yang digunakan oleh kelompok ini hampir sama dengan kelompok Lilibu. Hanya
saja berbeda dengan kelompok Lilibu, jarak tempuh mereka bisa lebih jauh dan
keluar pulau. Bila dirasa telah memperoleh hasil atau kehabisan air bersih, mereka
akan menyinggahi pulau-pulau terdekat. Setelah menjual ikan-ikan tangkapan dan
mendapat air bersih, mereka pun kembali ke laut.
c) Kelompok Sakai, yaitu suku Bajo yang memiliki kebiasaan mencari ikan yang
wilayah kerjanya lebih luas. Bila kelompok Papongka hitungannya sudah antar
pulau. Sehingga, waktu yang dibutuhkan puang lebih lama. Mereka berada di
2
Ando, 2019
Wawasan Kemaritiman di Sulawesi Tenggara |4
“tempat kerja” nya itu selama sebulan atau dua bulan. Karena itu, perahu yang
digunakan pun lebih besar dan saat ini umumnya telah bermesin.
d) Kelompok Lame, yakni suku Bajo yang bisa dikategorikan nelayan-nelayan yang
lebih modern. Mereka menggunakan perahu besar dengan yang besar dan mesin
bertenaga besar. Karena, mereka memang bakal mengarungi laut lepas hingga
menjangkau negara lain. Mereka bisa berada di lahan nafkahnya itu hingga
berbulan-bulan.
Untuk di daerah Kendari khususnya daerah Petoaha, suku Bajo mulai menempati
daerah tersebut sejak tahun 1960-an. Kondisi lingkungan daerah Petoaha pada saat itu
belum ada yang menetap atau masyarakat suku Bajo lah yang pertama mendiami daerah
tersebut hingga sekarang. Sumber mata pencaharian masyarakatnya adalah nelayan.
Masyarakat suku Bajo di daerah tersebut tidak melakukan kegiatan melaut pada hari
Jum’at karena mereka sedang fokus untuk melaksanakan kegiatan beribadah yakni
sholat Jum’at yang mana masyarakatnya mayoritas Islam. Selain itu, masyarakat suku
Bajo di Petoaha juga mempercayai bahwa hari Jum’at merupakan hari lahirnya Nabi
Adam a.s. dan hari datangnya kiamat. Masyarakat Suku Bajo di Petoaha mempercayai
hal tersebut karena kepercayaan turun-temurun yang awalnya di bawa oleh ulama-ulama
yang datang ke daerah tersebut.3
3
Ando, 2019
4
Soukthon, 1995
Wawasan Kemaritiman di Sulawesi Tenggara |5
Berdasarkan ketertarikan J.N. Vosmaer dengan sebuah teluk yang indah dan
kemudian memberinya nama “Vosmaer Baai” (Teluk Vosmaer, kemudian terkenal
dengan Teluk Kendari). Dari perjalanannya mengelilingi pantai timur Sulawesi mulai di
Gorontalo, Poso, Togian, dan menyusuri teluk Tomini hingga memasuki teluk Tolo
dalam perjalanan pulang ke Makassar, ia singgah di teluk Kendari pada 9 Mei 1831 dan
menemukan orang Bajo dan Bugis. Vosmaer sangat kagum dan tertarik dengan teluk
Kendari yang baru ditemukan, sehingga mendorongnya membuat peta dan melakukan
penelitian. Ketertarikan Vosmaer itu dibuktikan satu tahun (1832) kemudian dengan
5
Tahara, 2014
6
Sumber: www.google.com
Wawasan Kemaritiman di Sulawesi Tenggara |6
mendirikan Logde yakni istana raja Tebau, dan selanjutnya melengkapinya dengan
fasilitas pelabuhan serta mengawasi perkampungan orang Bajo dan Bugis yang
beraktivitas sebagai nelayan dari gangguan bajak laut (Tobelo).
Jauh sebelum kota Kendari ditemukan dan dibangun oleh Vosmaer Kendari
menjadi sebuah kota kolonial di atas bukit di tepi pantai Teluk Kendari. Wilayah ini
(Kendari) sebelumnya adalah masuk dalam pemerintahan Kerajaan Konawe yang
berkedudukan di pedalaman dengan ibu kotanya Unaaha. Kini bekas pusat kerajaan
Konawe itu menjadi satu kabupaten otonom yaitu kabupaten Konawe, sebelumnya
bernama kabupaten Kendari yang dimekarkan thaun 1995. Sedangkan sebagian wilayah
kabupaten Kendari yang terletak di pesisir pantai teluk Kendari tetap menggunakan
nama Kendari menjadi kota Kendari. Kandai begitu nama awal Kendari artinya bambu
kecil yang digunakan sebagai penyokong rakit atau perahu. Selain penamaan Kandai
penduduk setempat menyebutnya pula dengan nama Kantahi maksudnya kawasan
pemukiman di pesisir pantai. Kedua istilah penyebutan untuk memberi makna tersendiri
bagi daerah ini, akhirnya dari kedua nama itu mengalami perubahan menjadi Kendari.
Nama Kendari ini menjadi awal pilihan bagi Belanda untuk melazimkan penamaan
daerah ini, kemudian ditetapkan menjadi permukiman di sekitar teluk Kendari.
Kampung Kandai inilah yang dibangun Vosmaer seorang Belanda pada tahun 1832
menjadi sebuah kota pantai dengan infrastruktur berupa logde (loji), istana raja, jalan,
pelabuhan, pasar, rumah ibadah dan sarana lainnya di atas bukit yang bercirikan
kawasan kolonial kemudian menjadi cikal bakal kota Kendari sebagai ibu kota provinsi
Sulawesi Tenggara.
Salah satu peninggalan Suku Bajo yang ada di Sulawesi Tenggara khususnya di
Petoaha adalah panah yang biasa digunakan masyarakat suku Bajo untuk menangkap
7
Sumber: www.google.com
Wawasan Kemaritiman di Sulawesi Tenggara |7
ikan. Pada hari-hari biasa masyarakat suku Bajo Petoaha melakukan kegiatan melaut
pada malam hari tepatnya pada pukul 18.00 WITA sampai pagi hari. Namun,
masyarakat suku Bajo Petoaha juga biasa melakukan kegiatan melaut pada pukul 06.00
WITA sampai siang hari menjelang sholat Zuhur. Cara penangkapan ikan selain
menggunakan panah biasa juga menggunakan pukat.8
8
Ando, 2019
9
Sumber: dokumen pribadi
Wawasan Kemaritiman di Sulawesi Tenggara |8
18 M.10 Karena faktor tersebut, Kesultanan Buton menjadi pusat perdagangan dari kapal-
kapal pedagang yang singgah. Perputaran ekonomi yang terjadi turut menjadikan
Kesultanan Buton menjadi wilayah kesultanan yang tumbuh besar hingga mencapai masa
kejayaan.
Anthony Reid dalam beberapa tulisannya cukup banyak menjelaskan peran dan
kejayaan kesultanan Buton dalam jaringan niaga, begitupun didalam buku Endward L.
Poellingomang yang berjudul “Makassar Abad XIX”, serta pembahasan didalam tulisan
yang ditulis oleh sejarawan lainnya. Pembahasan yang lebih khusus tentang Kesultanan
Buton ialah Susanto Zuhdi dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Buton yang Terabaikan
Labu Lope Labu Wana”. Zuhdi dalam bukunya sangat detail menuliskan sejarah
kesultanan Buton hingga aspek budaya masyarakatnya, namun faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kejayaannya perlu pembahasan lebih lanjut, terutama secara
arkeologis.
Dalam konteks Kesultanan Buton pada abad ke 17 dan 18, pada masa itu
Kesultanan Buton merupakan kawasan penting dalam jalur pelayaran dan perdagangan.
Kawasan Buton diuntungkan oleh letaknya yang strategis dan di dukung oleh angin
musim yang baik. Ditinjau dari Environmental Determinism Model, kawasan kesultanan
Buton yang mencakup pulau-pulau lain disekitarnya tentu menentukan ciri dari
kebudayaannya. Karena terpisah atas pulau-pulau, maka secara budaya dan sosial
masyarakatnya terbagi atas keragaman suku dan bahasa yang berbeda antar pulau. Dalam
menjaga eksistensi kekuasaannya, Kesultanan Buton membentuk lapisan sosial yang
masing-masing memiliki tugas dan peran yang dipegang teguh. Bentuk pemerintahan dan
kekuasaan kesultanan Buton diturunkan secara turun temurun sehingga kesultanan Buton
sukses mempertahankan legitimasinya selama berabad-abad.
Ditinjau dari CulturalEecology Model, karena pengaruh lingkungan yang berada
didalam lingkup kepulauan, maka ciri dari kesultanan Buton ialah budaya maritim.
Terbukti dari adanya situs arkeologis Benteng Keraton Wolio di Bau Bau, Buton. Benteng
ini tercatat dalam Guiness Book of Record sebagai benteng terluas didunia dengan luas
sekitar 23,3 hektar. Benteng ini terdiri merupakan pusat pemerintahan kesultanan Buton
yang berdiri pada abad ke-16. Benteng ini berdiri di atas bukit sehingga dahulu benteng
ini merupakan tempat pertahanan terbaik karena dari atas benteng dapat melihat lautan
membentang dibawah bukit. Kesultanan Buton yang memiliki budaya maritim akan
10
Tjandrasamita, 2009:39
Wawasan Kemaritiman di Sulawesi Tenggara |9
2. Kerajaan Konawe
Dalam buku profil provinsi republik Indonesia dijelaskan bahwa ciri-ciri fisik
penduduk asli Sulawesi Tenggara memiliki kemiripan dengan suku-suku bangsa asli
Indonesia lainnya yang berasal dari campuran antara bangsa Wedrid dan bangsa Negroid.
Suku bangsa Tolaki termasuk ras Mongoloid jika dilihat dari ciri-ciri antropologisnya.
Pada umumnya kehidupan mereka bermigrasi dari arah utara ke selatan secara
bergelombang melalui kelompok kecil. Perpindahan itu terjadi kira-kira tahun 2000-500
SM dengan menggunakan alat yang masih sederhana seperti rakit dan perahu bercadik.
Jika ditelusuri persebaran manusia dilihat dari budaya yang mereka ciptakan seperti
gerabah, didaerah ini terdapat gerabah yang memiliki ciri khas, yaitu berlapis merah dan
dihiasi dengan pola digores atau dengan mengunakan tatap untuk manara pola-pola
hiasnya. Di duga pemilik kebudayaan tersebut adalah suku bangsa yang berkulit kuning
seperti Minahasa, Gorontalo, Balantak, Mori, Bungku, Moronene, dan Tolaki. Dari
berbagai sumber atau hasil penelitian mengenai asal usul dari persebaran orang Tolaki
yang dilaksanakan baik oleh para peneliti/penulis Indonesia termasuk pada ilmuan lokal
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 10
dijelaskan asal-usul orang Tolaki adalah dari daerah Hon-Bin, Tiongkok Selatan pada
tahun 6.000 SM yaitu yang menjadi leluhur puak-puak orang Tolaki sehingga mendesak
dan menyebar dalam berbagai pecahan rombongan sebagaimana yang kemudian dikenal
dengan lahirnya berbagai pecahan suku-suku yang bertebaran di seluruh pelosok bagian
utara, timur, selatan dan barat Sulawesi.
Di Konawe salah satu suku yang sangat terkenal sebagai pendukung kebudayaan
maritim yaitu suku Bajo (Bajau). Suku Bajo merupakan suku yang hidup bebas
mengembara di lautan luas sehingga sering dikenal sebagai pengembara laut. Suku Bajo
sejak saat dulu telah menempati lautan, pesisir, dan kepulauan bahkan terkesan mereka
tidak bisa melakukan aktivitasnya di daratan. Suku Bajo mayoritas bekerja sebagai
nelayan secara turun-temurun. Mata pencaharian utama suku Bajo adalah mencari ikan
dengan cara yang masih terbilang tradisional, seperti memancing, memanah dan
menjaring ikan. Ikan-ikan tersebut nantinya dijual kepada penduduk sekitar pesisir atau
pulau terdekat. Suku Bajo juga dikenal sebagai penyelam ulung, mereka tahan berjam-jam
menyelam sedalam 10-20 meter untuk berburu ikan dengan tombaknya yang berkaitan
dan senjata harpun buatan sendiri. Selain ikan mereka juga mencari kerang mutiara dan
juga mengumpulkan rumput laut, teripang, dan sirip ikan hiu yang memiliki harga yang
cukup tinggi. Suku Bajo juga dikenal dengan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya
laut yang dipegang teguh oleh masyarakatnya. Mereka memiliki suatu peraturan dalam hal
penangkapan ikan, salah satunya mereka memilih ikan yang usianya sudah matang untuk
dikonsumsi. Mereka tidak mau menangkap ikan yang masih kecil agar terjaga
keberlanjutannya. Suku Bajo juga paham musim bertelur masing-masing jenis ikan
sehingga ikan yang akan bertelur tidak akan terambil. Karena mereka hidup menetap
dalam waktu lama, suku Bajo akhirnya menyatu dengan masyarakat sekitar yang
menyebabnya perubahan nilai-nilai sosial yang dianut ditambah adanya interaksi antara
suku Bajo dengan masyarakat Konawe yang disekitaran pesisir. Pola-pola hubungan yang
terjadi yaitu orang darat sebagai pemilik modal, pemilik perahu, dan pemilik alat tangkap.
Orang Bajo sebagai anak buah yang hanya mengandalkan tenaga, kemudian pemilik
modal dan diterapkannya sistem aturan bagi hasil sebelum masuk kedalam pendapatan
rumah tangga. Penyebab utama suku Bajo datang menetap di perairan Konawe adalah
pemenuhan kebutuhan hidup (ekonomi), faktor lingkungan dan lain sebagainya.
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 11
3. Kerajaan Kulisusu
Buton Utara pada masa prabarata baru berdiri satu pemerintahan yang terstruktur
setelah integrasi dengan kesultanan Buton yakni dengan terbentuknya Barata Kulisusu.
Dalam masa ini, dengan adanya ancaman dari arah “Buritan” maupun dari “Haluan”,
sebagaimana digambarkan tradisi lokal, mencerminkan analogi “Negara” Buton (Darul
Butuni) dengan sebuah perahu (the ship of state) tradisi lokal menyebutkan bahwa
penyusunan birokrasi kesultanan dilakukan pada masa sultan La Elangi. Ada hubungan
perluasan antara pengaruh Ternate dan Gowa dengan penerapan struktur kekuasaan Buton
bagi wilayah-wilayah yang dikendalikannya the ship of state Buton dalam penerapannya
dengan barat, perahu bercadik ganda.
Dalam dokumentasi yang diterbitkan oleh DPD Sulawesi Tenggara dinyatakan
bahwa “Barata dalam arti politis adalah kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri dalam
lingkungan kesultanan Buton, terdiri dari kerajaan Muna, kerajaan Tiworo, kerajaan
Kulisusu dan kerajaan Kaledupa, yang masing-masing mempunyai dan mengatur
pemerintahannya sendiri. Keempat Barata itu berkewajiban melindungi dari serangan
musuh yang datang dari luar. Kulisusu dan Kaledupa berkewajiban menjaga serangan dari
arah timur sementara Tiworo dan Muna menjaga keamanan kerajaan dari arah barat.
Kedudukan dari keempat Barata itu juga merupakan fasal atau daerah taklukan yang
memberi keuntungan bagi Buton.
Kerajaan Muna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa dikukuhkan sebagai Barata atau
basis pertahanan kesultanan Buton setelah pemerintahan sultan Dayanu Ikhsanuddin
(sultan ke-4 Buton), namun kerja sama dibidang pertahanan antara wilayah-wilayah barata
dengan Buton jauh sebelum sudah terjalin yakni sejak sultan Murhum (sultan I). Kerja
sama ini dilatarbelakangi gangguan dari serangan bajak laut Tobelo (Ternate).
Berdasarkan sumber-sumber sejarah bahwa Buton pernah mengalami tiga kali serangan
dahsyat dari bajak laut Tobelo. Serangan pertama terjadi pada masa pemerintahan Tua
Rade (Raja IV), serangan kedua yang dipimpin oleh La Bolontio, terjadi pada masa
pemerintahan Raja Mulae (Raja V), sedangkan serangan ketiga terjadi setelah Sultan
Murhum berkuasa di Buton. Serangan ketiga ini tanpa perkiraan sebelumnya dan pada
akhirnya menimbulkan persahabatan yang erat antara Buton dan Ternate.
Masa pemerintahan Tua Rade atau Raja IV untuk pertama kali Tobelo melakukan
serangan ke Buton. Sasaran utama dalam serangan ini adalah daerah-daerah pesisir,
utamanya Siompu dan Kadatua. Rakyat kedua daerah ini menyelamatkan diri dari
marabahaya dengan cara meminta perlindungan di Keraton Buton. Orang-orang yang
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 12
Kontroleur (istilah ini kemudian disebut Patih) pada masa pemerintahan kolonial Hindia
Belanda. Sebuah onafdeling terdiri atas beberapa landschap yang dikepalai oleh seorang
hoofd dan beberapa distrik (kedemengan) yang dikepalai oleh seorang districthoofd atau
kepala distrik setingkat asisten wedana. Status Onafdeling diberikan oleh pemerintah
Hindia Belanda kepada daerah-daerah yang memiliki kekuasaan asli dan kedaulatan yang
dihormati bahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sendiri. Pengakuan kekuasaan ini
diberikan kepada daerah-daerah tersebut bukanlah daerah jajahan Belanda namun sebagai
daerah yang memiliki jaminan hubungan dengan Belanda. Dalam beberapa anggapan
bahwa Onafdeling merupakan jajahan kiranya tidaklah benar, karena dalam kasus
Onafdeling Boeton Laiwoi terdapat hubungan dominasi yang agak besar oleh Belanda
sebagai pihak super power pada masa itu dengan Kesultanan dan Kerajaan di Sulawesi
Tenggara khususnya Kesultanan Buton, sehingga diberikanlah status Onafdeling Boeton
Laiwoi.
Afdeling Kolaka pada waktu itu berada di bawah Onafdeling Luwu (Sulawesi
Selatan), kemudian dengan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1952 Sulawesi Tenggara
menjadi satu kabupaten, yaitu kabupaten Sulawesi Tenggara dengan ibu kotanya
BAUBAU. Kabupaten Sulawesi Tenggara tersebut meliputi wilayah-wilayah bekas
Onafdeling Beton Laiwui serta bekas Onafdeling Kolaka dan menjadi bagian dari provinsi
Sulawesi Selatan Tenggara dengan pusat pemerintahannya di Makassar (Ujung Pandang).
Selanjutnya pada masa orde lama dengan Undang-Undang No. 29 Tahun 1959,
kabupaten Sulawesi Tenggara yang dimekarkan menjadi empat kabupaten yaitu
kabupaten Buton, kabupaten Kendari, kabupaten Kolaka dan kabupaten Muna. Keempat
daerah tingkat II tersebut merupakan bagian dari provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Betapa sulitnya komunikasi perhubungan pada waktu itu antara daerah tingkat II se-
Sulawesi Selatan Tenggara dengan pusat pemerintahan provinsi di Ujung Pandan,
sehingga menghambat pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan maupun pelaksanaan tugas
pembangunan. Disamping itu gangguan DI/TII pada saat itu menghambat pelaksanaan
tugas-tugas pembangunan utamanya di pedesaan.
Daerah Sulawesi Tenggara terdiri dari wilayah daratan dan kepulauan yang cukup
luar, mengandung berbagai hasil tambang yaitu aspal dan nikel, maupun sejumlah bahan
galian lainnya. Demikian pula potensi lahan pertanian cukup berpotensi untuk
dikembangkan. Selain itu, terdapat pula berbagai hasil hutan berupa rotan, damar, serta
berbagai hasil hutan lainnya. Atas pertimbangan ini tokoh-tokoh masyarakat Sulawesi
Tenggara membentuk panitia penuntut daerah otonom tingkat I Sulawesi Tenggara
BAB II
OLEH :
MARITIM BASLIN
LA ODE SALDIN
(A1K1 18 016)
(A1K1 18 040)
HAKIKI ERNAWATI (A1K1 18 042)
SULAWESI NAZAR
HASNI MONGKITO
(A1K1 18 060)
(A1K1 18 064)
FRISKA NOVRIYANTI (A1K1 180 074)
A. Budaya Maritim
Budaya Maritim berasal dari dua suku kata yakni budaya dan maritim. Budaya
merupakan kebiasaan ataupun tindakan-tindakan yang telah mendarah daging pada suatu
masyarakat bahkan telah menjadi adat istiadat masyarakat tertentu. Sedang, maritim
merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya laut baik
kaitannya pada sektor pelayaran, perdagangan, transportasi dan lain sebagainya. Sehingga,
budaya maritim merupakan suatu tindakan atau kebiasaan masyarakat dalam kaitannya
memnfaatkan sumber daya laut yang ada dalam menopang pendapatan maupun biaya
hidup sehari-hari baik daerah maupun kancah negara bahkan dunia. Indonesia itu sendiri
merupakan negara maritim yang mana dalam kehidupan sehari-hari memanfaatkan
sumber daya lautnya. Indonesia sekarang sedang gencar dalam pengembangan di sektor
maritim yakni dalam melestarikan kelautannya dan menjadikan laut sebagai hal penting
yang perlu dijaga dan melestarikan keindahan laut. Indonesia merupakan poros maritim
dunia.
rakyatnya di daerah yang sekarang bernama Bajoe. Sedangkan versi lainnya menyebutkan
karena tidak dapat menemukan sang putri, akhirnya orang-orang asal Johor ini memilih
menetap di kawasan Teluk Tomini, baik di Gorontalo maupun kepulauan Togian.
Menurut penuturan dari Pak Ando masyarakat Bajo itu sendiri umumnya merupakan
muslim. Dalam artian, telah menganut agama Islam sebagai suatu keyakinan dari masing-
masing masyarakat baik masyarakat saat ini maupun nenek moyang terdahulu.
Peradaban masyarakat Bajo sangat erat hubungannya dengan masyarakat yang
bermukim di pesisir baik itu Sulawesi Selatan sebagai salah satu suku terkenalnya adalah
suku Bugis. Suku Bugis sangat erat kaitannya dengan suku maritim khususnya Bajoe di
Sulawesi Tenggara. Suku Bajo tidak hanya ada di Sulawesi melainkan tersebar di seluruh
penjuru negeri. Hubungan unik yang bisa kita amati yakni penggunaan bahasa yang masih
serumpun.
1. Pola Pemukiman
Menurut penuturan Pak Ando, Masyarakat Bajo umumnya tinggal dan bermukim
berpindah-pindah. Namun, setelah merasa nyaman dengan daerah lautnya mereka
menetap di daerah tersebut. Umumnya, indikator kenyamanan dipengaruhi oleh kekayaan
laut yang dimiliki daerah tersebut. Jika daerah tersebut hasil lautnya banyak, maka
masyarakat akan memanggil masyarakat lainnya agar berbondong-bondong bermukim di
daerah tersebut. Demikian halnya, mengenai arti lautan bagi masyarakat Bajo yakni
sebagai saudara.
Wilayah permukiman masyarakat suku Bajo itu sendiri di Kelurahan Bajoe secara
umum menuruti pola memanjang dan mengelompok menempati areal sepanjang pantai
teluk Bone. Menurut Abdul Hafid bahwa dahulu, hunian suku Bajo pada awalnya di atas
bidok (perahu) sampai tahun 1930-an. Kemudian pada awal tahun 1935 mereka mulai
membangun kumpoh (tempat tinggal tetap). Dari kumpoh ini kemudian membangun
babaroh di pantai pasang surut. Babaroh ini merupakan tempat tinggal sementara suku
Bajo untuk beristirahat dan mengolah hasil laut. Semua material konstruksinya berasal
dari lingkungan sekitarnya seperti kayu bakau sebagai tiang penyangga, rumbia untuk
penutup atap dan bambu sebagai lantai atau dinding. Setelah merasa cocok tinggal di
Bajoe, akhirnya mereka mengembangkan hunian mereka dari babaroh menjadi popondok.
Bentuk popondok dikembangkan lagi menjadi rumak/rumah berupa terapung, La Gasa,
Tanjung Pinang dan Bajoe.
Laut digunakan pula sebagai wilayah permukiman oleh Suku Bajo, hal ini dapat
dikaitkan dengan konsepsi masyarakat suku Bajo tentang ruang, sebagaimana yang
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 17
dikemukakan oleh Dadang A. Suriamihardja bahwa suku Bajo menganggap lautan sebagai
berikut.
1) Ruang kebersamaan untuk menjaga hubungan di antara sesama, dan bekerja
sama dengan pihak lain untuk mencapai tujuan bersama.
2) Ruang kekeluargaan untuk menjaga agar tidak saling mengganggu dan merugikan,
sehingga mampu menerapkan strategi adaptif dalam mengatasi problematika yang
dihadapi.
3) Ruang persatuan untuk saling menolong, member dan menerima, dalam berbagai
aktivitas di laut di antara sesama mereka. Dalam makna seperti ini, ruang bagi suku
Bajo tetap berada pada kondisi pra-permukiman, yaitu kondisi perkelanaan, yang
ternyata diperlukan sebagai bukti kedaulatan.
Rumah masyarakat Bajo dibangun di atas air laut karena masyarakat Bajo merasa
ganjil jika tidak berdampingan dengan laut. Rumah tradisional Bajoe yang dimaksud
adalah rumah Bungke merupakan sebutan untuk rumah tradisional masyarakat Bajo.
Rumah ini dibangun dengan sembilan tiang (Walisongo = sembilan wali). Tiang pertama
diberi timah agar pemikiran penghuni rumah dapat jernih demikian tiang yang lain
dengan makna tertentu dalam pembangunannya. Sebab rasa kekeluargaan terhadap laut,
masyarakat Bajo hingga sekarang masih bermukim di laut. Beberapa masyarakat Bajo
yang lain telah ada yang bermukim di darat karena alasan tertentu seperti kawin dengan
orang dari daratan dan persoalan menempuh selama pendidikan.11
11
Ando, 2019
12
Sumber: www.google.com
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 18
Tipologi rumah tradisional suku bajo berbentuk bujur sangkar atau persegi
panjang. Kemudian atap berbentuk limasan atau pelana yang umumnya menggunakan
atap rumbia atau seng. Dinding dan lantai rumah terbuat dari papan kayu namun masih
banyak rumah suku Bajo yang menggunakan daun silar, pelepah sagu nan enau sebagai
dinding. Rumah masyarakat suku Bajo berbentuk panggung (Bungke) yang terbuat dari
kayu baik sebagai pondasi hingga badan rumah tradisional suku Bajo. Sebutan rumah
Bungke didasarkan pada pembangunan pondasi tiangnya dengan sembilan tiang
berdasarkan Walisongo, tutur Pak Ando selaku ketua adat dusun Bajoe Bungkutoko,
Sulawesi Tenggara.
Masyarakat Bajo menggunakan kayu lokal sebagai bahannya seperti kayu
pingsan, besi, kerikis, togoulu, kalakka dan manjarite dengan pemakaian berbentuk kayu
bulat yang masih mempunyai kulit dengan ukuran berdiameter antara 15 sampai dengan
25 cm. Terciptanya bentuk arsitektur rumah Bajo dilatarbelakangi oleh suatu budaya,
yaitu Budaya Appabolang. Dimana dalam budaya ini, terdapat prinsip-prinsip yang harus
dipenuhi dalam pembuatan rumah Bajo. Beberapa istilah pada rumah suku Bajo yakni
sebagai berikut.
1) Ulu (kepala) sebagai tempat yang teratas karena melambangkan kesucian.
2) Watang (badan) yang melambangkan suatu penghidupan sejati yang harus
dilindungi.
3) Aje (kaki) merupakan tempat kotor yang dipenuhi oleh roh jahat yang berfungsi
untuk melindungi watang.
13
Rifai, 2010:8
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 19
Didalam rumah Bajo dibagi menjadi tiga ruang, yakni ruang Lego-lego sebagai
teras, Watangpola yaitu badan rumah dengan Pocci Bola sebagai pusat rumah untuk
berkumpul dan mengadakan upacara serta Dapureng sebagai dapur. Mereka juga percaya
arah barat sebagi kiblat dan suci tidak boleh digunakan sebagai tempat yang kotor seperti
toilet. Anak tangga juga harus berjumlah ganjil, bila syarat ini tidak dipenuhi maka akan
menyurutkan rezeki masuk kedalam rumah. Dalam pembuatan rumah tradisional Bajo,
masyarakat suku Bajo masih memegang teguh pakem dan mengadakan upacara adat
setiap kali mendirikan rumah. Karena dalam kepercayaannya ada hari baik dalam
mendirikan sebuah rumah. Rumah tradisional suku bajo dibagi menjadi tiga tipe dengan
berbagai ukuran. Mulai dari tipe kecil dengan 2–3 ruang didalamnya dengan bahan
bangunan dari atap rumbia dan dinnding dari daun silar. Kemudian tipe sedang dengan 3-
4 ruang didalamnya dengan atap dari rumbia dan dinding kayu, serta tipe besar dengan
ruang lebih dari empat dengan atap seng dan dinding terbuat dari kayu olahan.
14
Ando, 2019
15
Ando, 2019
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 21
1) Ritual saat pemasangan keramba ikan dengan penyediaan nasi satu piring, piring
putih, rokok, permen. Ritual ini dimaksudkan agar makhluk ghaib yang mendiami
tempat pemasangan keramba tidak merasa terganggu. Ritual ini pertama kali
dilakukan tepat saat nelayan ingin membangun keramba ikan tersebut.
2) Ritual hiburan berupa permainan gendang dan pencat silat dari masyarakat Bajo pada
suatu malam perayaan. Saat anak-anak perempuan mengalami gigal (seperti orang
kerusupan) saat permainan gendang ini dilaksanakan, usai hal tersebut mereka malu
sendiri karena tidak sadar dengan apa yang mereka perbuat sebelumnya.
3) Pantun Bajo juga merupakan adat istiadat masyarakat Bajo. Pantun ini berisi
lantunan-lantunan terhadap keberkahan hasil laut ataupun rasa syukur terhadap
Tuhan. Pantun Bajo menggunakan bahasa Bajo kuno sehingga tata bahasanya yang
cukup rumit.
4) Perbedaan mahar suku Bajo dengan masyarakat Bajo lain yang sudah dipengaruhi
atau bersahabat dengan suku daerah setempat. Biasanya perkawinan masyarakat Bajo
terjadi antara suku Bajo-Muna, suku Bajo-Wawonii dan lainnya. Mahar Bajo asli
dikenal dengan mata uang real sedang mahar berupa kelapa berasal dari masyarakat
Wawonii dan masyarakat Muna berupa penggunaan Bhoka.
Wilayah laut dalam pandangan suku Bajo adalah merupakan kawasan terbuka
(open access) dan bebas dikelola oleh semua orang. Tidak ada wilayah laut yang
merupakan kepemilikan pribadi atau kelompok (common proverty) kecuali terkait dengan
penggunaan alat tangkap berupa rumpon, bagang dan usaha rumput laut. Belajar dari
pengalaman dan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun, maka nelayan suku Bajo
mempunyai pengetahuan yang mampu memprediksi beberapa lokasi/wilayah yang
diketahui mempunyai banyak ikan dan biota laut lainnya, seperti suatu lokasi yang
dangkal di area terumbu karang dan dasar berpasir, berlumpur atau berbatu-batu, maka di
tempat ini terdapat biota laut spesies tak liar (relatif diam). Pengetahuan lainnya yang
dikuasai adalah tentang keberadaan ikan pada suatu tempat tertentu (gugusan karang)
dengan cara melihat tanda-tanda, antara lain sebagai berikut.
1) Adanya cahaya ikan memutih yang terlihat dari kejauhan terutama di malam hari.
2) Terlihat pula dari jauh adanya banyangan batu karang (garas) yang merupakan
tempat berlindungnya ikan dari ombak.
3) Keadaan air kelihatan tenang dan jernih dan keadaan pasir pada waktu itu berlumpur.
4) Terlihat dari kejauhan terutama pada siang hari, dengan adanya burung pemangsa
ikan.
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 22
5) Adanya arus.
6) Kedalaman perairan dalam antara bebatuan dan pasir berjarak 17-30 depa di bawah
permukaan air laut.
7) Adanya gelembung-gelembung yang muncul kepermukaan dan terjadi pula
perubahan warna air laut.
Pengetahuan lainnya yang dikuasai oleh Nelayan suku Bajo berkenaan dengan
alat tangkap yang sederhana dan ramah lingkungan. Pengetahuan ini merupakan warisan
dari leluhur yang ditransformasikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang dalam
lingkungan sekitarnya namun tetap memiliki kearifan lokal yang tetap menjaga sumber
daya laut agar tidak rusak. Alat tangkap yang digunakan adalah berupa berikut.
1) Pancing (meng) dengan mata kail yang digunakan berukuran besar sehingga ikan
yang ditangkap terseleksi ukurannya, dilakukan di atas perahu dikedalaman sekitar
50 hingga 100 meter.
2) Peralatan panah (manak) dilakukan dengan cara menyelam kedasar laut selama 10-
15 menit untuk memburu ikan-ikan besar yang berada di balik karang. Perburuan ini
dilakukan di area yang tenang.
3) Peralatan tombak (sapah), dengan cara penggunaan hampir sama dengan panah
namun dengan jarak lebih dekat, hal ini dilakukan terhadap ikan besar untuk lebih
memudahkan penggunaan alat tangkap pancing.
4) Peralatan bunre dan cedo (sero) terbuat dari jaring nilon berbentuk jaringan kantong
basket dengan rotan yang berbentuk melingkar. Pemakaian alat ini dibawa pada saat
nelayan menyelam atau dipermukaan laut yang ditempatkan dibagian punggung atau
dililitkan pada bagian pinggang nelayan, fungsinya sebagai alat pancing dan sebagai
tempat penyimpanan sementara hasil tangkapan ikan.
5) Peralatan lampi-lampi, berbentuk pukat yang ditarik sepanjang 300-500 meter dan
dipasang mengelilingi karang atau tempat yang dinyakini banyak ikan. Penggunaan
jenis-jenis alat tangkap ini dinyakini dapat menjamin keseimbangan sumber daya
laut dan bita laut lainnya serta tidak merusak lingkungan.
Keberadaan masyarakat suku Bajo sebagai nelayan yang bermukim di wilayah
perairan pesisir, dan masih menerapkan adat istiadat yang diwarisi dari kebiasaan.
memandang laut sebagai sumber kehidupan bagi mereka. Hal ini dapat dijadikan
karakteristik nelayan suku bajo walaupun mereka menyebar dan menetap di berbagai
daerah di Indonesia. Karakteristik suku Bajo yakni sebagai berikut.
1) Suku Bajo adalah suku mengembara laut.
2) Suku Bajo memandang laut sebagai penghubung dan bukannya pemisah. Hal ini
memberi perspektif baru bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan yang
menghubungkan laut, bukan dipisahkan.
3) Suku Bajo tersebar di berbagai Negara sesuai karakternya yang nomaden.
4) Alat transportasi yang lazim digunakan oleh suku Bajo adalah kapal dan sampan.
5) Sebelum dunia mengenal istilah “The World Coral Triangle” Suku Bajo terlebih
dulu menandai seluas wilayah di area tersebut sekaligus menjaganya sebagai daerah
yang memiliki kekayaan alam yang tak ternilai.
6) Suku Bajo memiliki banyak sekali ritual adat. Salah satunya adalah upacara Sangal
yang dilakukan saat musim paceklik ikan dan spesies laut lainnya. Pada upacara
tersebut, mereka akan melepas spesies yang populasinya tengah menurun di saat
bersamaan. Misalnya : melepas penyu saat populasi penyu berkurang, melepas tuna
saat tuna berkurang.
7) Suku Bajo juga memiliki kearifan lokal dalam melaut dan mengambil hasil laut.
Mereka selalu memilih/mengambil ikan yang usinya sudah matang dan membiarkan
ikan-ikan yang masih kecil/muda untuk tumbuh dewasa. Mereka juga tidak
mengambil jenis ikan tertentu yang tengah memasuki siklus musim kawin maupun
bertelur untuk menjaga keseimbangan populasi dan regenerasi spesies tertentu.
8) Motto yang sering didengar di kalangan suku Bajo adalah “Di lao’denakungKu”
yang berarti lautan adalah Saudaraku. Oleh karenanya, lautan adalah tempat hidup,
mencari nafkah, serta mengadu dalam suka dan duka yang selalu menyediakan
kebutuhan hajat hidupku.
Kebiasaan masyarakat Bajo untuk tidak melaut ataupun melakukan aktivitas
berlayar pada hari Jum’at. Konon, datang para ulama berdakwah ke daerah mereka dan
meyakinkan bahwa hari Jum’at sangat istimewa keberadaannya yakni hari kelahiran
Adam, hari kiamat dan lainnya sehingga masyarakat tidak melakukan aktivitas melaut
pada hari Jum’at. Selain itu, masyarakat mulai melaut dini hari dan kembali saat matahari
mulai terbenam. Paling lama jangka melaut ada 10 hari. Masyarakat dahulu berlayar
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 24
menggunakan perahu Lanbo dan sekarang sudah menggunakan perahu dengan teknologi
yang lebih memudahkan proses melaut seperti “Katinting”. 16
2. Ritual
Tuturangiana andala yang artinya pemberian sesaji pada penguasa laut yang
merupakan salah satu tradisi warisan para leluhur yang sejak lama dipertahankan. Tradisi
ini digelar untuk mempraktekkan kembali cara leluhur yang mendiami pulau ini dalam
memanjatkan doa kepada Allah SWT, agar dibukakan pintu rezeki dan menolak bala dari
laut. Kebiasaan ini mulai dilakukan oleh masyarakat suku Buton sejak abad ke-18 Masehi,
karena pada saat itu Maa Laato, Daeng Maandangi dan Daeng Maandongi dua orang
bersaudara dari Bugis Makasar telah menetap dan berketurunan di pulau ini, dengan
bermata pencaharian sebagai nelayan.
Tujuan ritual ini ialah memohon kepada yang Maha Kuasa agar segala aktifitas di
laut berjalan dengan baik, yaitu dengan memberi sesaji pada lokasi dan tempat-tempat
tertentu di kawasan perairan Pulau Makasar yang menurut masyarakat setempat masih
dianggap keramat. Adapun prosesi pelaksanaannya diawali dengan peletakan sesaji di
darat, berupa aneka jenis makanan serta kelengkapan upacara berupa sirih dan
pinang pada tempat khusus terbuat
dari bambu yang dilakukan oleh beberapa tokoh adat sesuai bidang tugasnya.
Selanjutnya tokoh masyarakat yang melakukan ritual kemudian memanjatkan doa
berupa batata, yaitu lafalan khusus dengan memakai bahasa adat yang mengandung niat
memohon kepada yang Maha Kuasa agar meridhoi hubungan yang baik antara manusia
dengan penghuni alam sekitarnya, dalam hal ini makhluk gaib yang menguasai lautan.
16
Ando, 2019
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 25
masalah di darat harus diselesaikaan di darat. Dengan berpegang pada komitmen, sekali
menancapkan layar pantang berbalik.
Para pelayar ini akan kembali ke kampung halaman mereka, ketika sudah
membawa hasil dan berhasil. Telah menjadi prestige social (harga diri) bagi pelayar, jika
mereka berlayar dan kembali tidak membawa hasil dan berhasil. Prinsip ini telah tertanam
di dalam benak mereka sebagai pelayar, dan menjadi penyemangat disetiap aktivitas
pelayaran. Selain itu, ada sesuatu yang di sakralkan pomali (larangan) bagi para pelayar
Buton. Dimana perahu harus berbalik haluan ketempat semula (start awal), disaat
perjalanan itu belum sampai ke tempat tujuan. Kemudian disisi lain, hal yang
biasa dipomalikan pelayar Buton yaitu awak kapal yang sudah menikah terutama juragan,
harus berbaik hati dengan istrinya. Dalam artian, rumah tangga harus akur. Sebelum
melakukan aktivitas berlayar-berdagang.
Orang Buton, telah mengeluti dunia pelayaran tradisonal ini, sejak dari berlayar
menggunakan perahu Bangka, yang hanya mengandalkan kekuatan angin
sebagai pengerak perahu. Munculnya motorisisasi perahu layar, sampai dengan motor
Piber hari ini. Kepiawaian mereka dalam aktivitas kebaharian ini, ternyata bukan hanya
bisa berlayar mengarungi ruang samudera, dan membentuk jaringan dagang (mencari
sabangka) dengan masyarakat disetiap daerah yang dijumpai, tetapi mereka juga pandai
membuat perahu Bangka.
4. Perkembangan Kapal
1) Bangka Kabangu
Perahu yang digunakan masyarakat Pulau Batu atas untuk berlayar dan
berdagang disebut bangka/bhangka atau wangka. Ada juga yang menyebutnya dengan
kata boti (serapan dari kata boat). Adrian Horridge (1981) sendiri menggunakan istilah
lambo. Istilah terakhir selama penelitian ini, hampir tidak dikenal oleh pelayar Buton.
Jenis perahu ini ditandai bentuk layarnya, berdiri atau kabangu. Dalam model ini, ada
dua tiang layar utama (kokombu) yang dipasang pada bagian tengah-depan dan tengah-
belakang perahu. Posisinya berada di depan dan belakang atap perahu yang bentuknya
persegitiga seperti piramida. Lebar layar pertama bagian tengah-depan sampai pada
tiang layar kedua bagian belakang. Lebar layar belakang sampai ujung (wana) perahu.
Penanda utama layar jenis ini adalah kayu/bambu yang dipasang melintang pada bagian
tiang layar utama, yang disebut gapu. Beban pengendalian layar, demikian pula saat
dinaikkan dan diturunkan, sangat sulit dan berisiko. Butuh beberapa orang untuk
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 27
melakukan tugas ini. Karena itu jumlah awaknya antara lima sampai sepuluh orang.
Pada saat angin sangat kencang, layar diturunkan salah satunya, bahkan jika tidak dapat
dikendalikan, semua layar diturunkan.
Selain dua layar utama, terdapat pula satu layar bantu di bagian depan (rope)
perahu yang disebut jip/jipu. Fungsi layar ini sebagai pengendali gerak haluan perahu.
Panjang/lebar layar melebihi bagian depan perahu. Untuk menyokong layar, di bagian
bawah ujung layar terdapat sebuah kayu, yang disebut gustali. Pada saat angin kencang,
layar ini biasanya tetap dipertahankan, meski tanpa dua layar utama. Layar jipu
biasanya terakhir diturunkan ketika kondisi angin sangat kuat dan perahu sulit
dikendalikan. Pada konsisi ini, perahu dibiarkan terapung kemanapun. Usaha
pengemudi memainkan kemudi agar menjaga haluan perahu sangat dipengaruhi kondisi
gelombang dan arus laut.
Kemudi (uli) berada di bawah bagian belakang (wana) perahu. Pada bagian atas
kemudi, tepatnya di atas dek, terdapat tempat duduk bagi pengemudi. Pada bagian
depan, dekat tiang layar utama terdapat dapur (tempat memasak). Posisi ini cukup sulit
dan berisiko bagi koki saat memasak. Baru pada tahun 1990-an, posisi dapur
dipindahkan ke belakang. Tonase bangka kabangu berkisar 10 sampai 40 ton. Para
pelayar mengakui bahwa berlayar dengan kabangu lebih sulit dibandingkan layar nade.
Kesulitan ini, tidak hanya karena kondisi layar yang sulit dikendalikan, tetapi bahan-
bahan layar dan tali-temali yang digunakan sangat sederhana. Layar (pongawa) dianyam
dari kulit kayu. Sementara tali-temali layar terbuat dari rotan. Khusus tali jangkar
dianyam dari sejenis tumbuhan akar panjang. Menjelang berlayar, para awak perahu ke
hutan mencari bahan ini. Dalam prakteknya, dibutuhkan kerja sama untuk
menggunakan tali ini. Jika sebagian tidak memegang tali dengan kuat, maka yang lain
menjadi korban akibat gesekan tali yang keras, sehingga telapak tangan terkelupas/luka.
Berdasarkan kondisi di atas, maka kesatuan kata dan perbuatan antara awak
perahu adalah kunci kerjasama. Kondisi bahan layar dan tali-temali mengharuskan awak
perahu selalu menyediakan bahan-bahan tersebut di perahu, karena daya tahannya tidak
terlalu lama. Itulah sebabnya perahu kerap menyinggahi pulau-pulau yang dilewati
ketika berlayar untuk mencari kebutuhan tersebut, juga mengambil air bersih.
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 28
2) Bangka Nade
Model layar utama merupakan aspek pembeda antara bangka kabangu dengan
bangka nade. Pada model ini, tiang utama layar (kokombu) hanya satu di bagian agak
depan. Bila pada layar kabangu bagian gapu lebih besar dan terlihat jelas, maka pada
layar ini bentuk gapu sedikit merapat ke tiang utama, sehingga dari kejauhan tidak
tampak. Keberadaan gapu hanya dapat dilihat dari jarak yang lebih dekat.
Bentuk layar nade lebih besar. Kayu/ bambu layar utama bagian bawah tanpak
lebih panjang, dibandingkan dengan layar kabangu, yakni melebihi panjang bagian
belakang (wana) perahu. Bentuk atap perahu sama seperti jenis pertama, yakni berupa
persegitiga. Dengan model layar seperti ini, awak perahu sedikit lebih mudah
mengendalikan perahu. Namun demikian, jika kondisi angin sangat kencang, layar
utama diturunkan dan menggunakan layar depan (jipu). Pada kondisi terakhir, layar jipu
diturunkan, seperti juga pada bangka kabangu. Selain lebih mudah dikendalikan,
berlayar dengan bangka nade lebih cepat.
17
Sumber: www.google.com
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 29
18
Sumber: www.google.com
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 30
depan perahu. Tangga ini berfungsi sebagai anjungan yang digunakan awak perahu
untuk melihat arah haluan, keberadaan pulau, dan sebaran karang di laut.
Desain kedua berupa atap trapesium, yang merupakan bentuk perkembangan
dari atap segitiga. Bagian dalam atap digunakan sebagai tempat muatan dan penumpang
(jika muatan tidak penuh). Yang berbeda dari jenis pertama adalah posisi awak dan
penumpang. Pada atap jenis ini, bagian atas dapat ditempati penumpang. Kapasitas
ruang muatan lebih besar. Atap tidak menutup seluruh bagian dek perahu. Tersisa
sekitar 1/3 bagian dek kosong, sehingga sering digunakan sebagai tempat istirahat awak
dan penumpang, juga menyimpan barang berukuran kecil. Baik pada jenis pertama
maupun kedua, dapur terletak di bagian belakang, dan paling belakang adalah jamban
(WC).
Desain ketiga adalah atap penuh dari tiang layar utama (kokombu) sampai
paling belakang perahu. Pada bentuk ini, tidak ada ruang kosong di bagian belakang,
seperti jenis pertama dan kedua. Bagian atap paling belakang dibuat lebih tinggi
(semacam bertingkat) dari bagian tengah/depan. Pada bentuk ini, awak dan penumpang
dapat menempati bagian dalam atap atau pun di atas sesuai kondisi/kebutuhan.
Demikian pula dapur berada di dalam dan tertutup, kecuali jamban yang terbuka bagian
atasnya. Posisi kemudi tetap di bagian belakang, seperti pada jenis pertama dan kedua.
19
Sumber: www.google.com
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 31
bangka nade dan perahu layar motor perbedaan ketiganya terdapat pada layar dan juga
dalam penggunaan mesin sebagai sumber energi bagi kapal. Hal ini membuktikan
bahwa, kebutuhan manusia dalam kurun waktu yang singkat semakin bertambah
sehingga alat transportasinya juga berkembang.
BAB III
OLEH :
EKONOMI J. SYNTHA MAOLA KADANG (A1K118 034)
TIAS NITA RISKI (A1K118 084)
HASRIATI (A1K118 110)
MARITIM NURUL HIDAYATI (A1K118 066)
SYAMSURIATI (A1K118 048)
NI NYOMAN YOHANA F. (A1K118 018)
SULAWESI FATIMA NOVRIANTI (A1K118 090)
ANDY HERDIANSYAH (A1K118 122)
IKA TRIANASARI (A1K118 026)
TENGGARA SAINUL ARIFIN SAINAL (A1K117 054)
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 33
20
Zahnd, 1999
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 34
sadar terjadi di lingkungan masyarakat pesisir Sulawesi Tenggara itu sendiri. Strategi
penggunaan teknologi mendukung perkembangan perekonomian masyarakat dalam
melakukan aktivitas keseharian yang berkaitan baik dengan cara memperoleh dan
pengolahannya agar mendapat hasil yang maksimal.
a) Sekitar 140 juta (60%) penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir (dengan
pertumbuhan rata-rata 2% per tahun).
b) Sebagian besar kota (baik provinsi dan kabupaten) terletak di kawasan pesisir.
c) Kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional sekitar 20,06% pada tahun
1998.
d) Industri kelautan (coastalindustries) menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja.
2) Secara biofisik, wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki arti penting karena
beberapa hal berikut.
a) Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada, yaitu sekitar
81.000 Km (13,9 % dari panjang pantai dunia).
b) Sekitar 75 % dari wilayahnya merupakan wilayah perairan (sekitar 5, juta
km2 termasuk ZEE).
c) Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau
sekitar 17.508 pulau.
d) Dalam wilayah tersebut terkandung potensi kekayaan dan keanekaragaman
sumber daya alamnya yang terdiri atas potensi sumber daya alami pilih
(renewableresources) seperti perikanan, ekosistem mangrove, ekosistem terumbu
karang, maupun potensi sumber daya alam tidak pulih (non renewableresources)
seperti migas, mineral atau bahan tambang lainnya serta jasa-jasa lingkungan
(environmentalservices), seperti peristiwa Bahari Industry Maritime dan jasa
transportasi.
Salah satu contohnya dapat kita lihat di pemukiman masyarakat Bajo
Bungkutoko, Kendari. Rata-rata masyarakat Bajo menempati wilayah pesisir pulau.Salah
sartu perkampungan masyarakat Bajo di Sulawesi Tenggara yaitu Perkampungan
Masyarakat Bajo di Bungkutoko, Kendari. Masyarakat ini bermukim secara berkelompok
dipesisir samping Jembatan Kuning Bungkutoko. Kebanyakan masyarakat kampung Bajo
bermata pencaharian sebagai nelayan, baik nelayan ikan, cumi, kepiting maupun kerang-
kerangan. Masyarakat bajo biasanya mencari ikan disekitaran pesisir sampai wilayah
Lohari dan Bokori dan waktu saat yang dibutuhkan nelayan untuk mencari bisa sampai
dua hari. Tidak ada patokan bahwa harus laki-laki yang mencari sebagai nelayan, di
kampung Bajo wanita atau ibu-ibu pun dapat bekerja sebagai nelayan. Namun,
masyarakat kampung bajo belum memiliki daerah strategis tersendiri dalam pemasaran
hasil tangkapnya. Beberapa masyarakat bajo berprofesi sebagai tukang untuk membuat
perahu, rumah, maupun alat tangkap yang digunakan nelayan. Meskipun bekerja sebagai
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 36
nelayan, masyarakat Bajo yang menangkap ikan tidak mengomsumsi ikan hasil
tangkapannya, mereka menjual semua hasil tangkapan mereka pada orang lain.21
21
Ibu RT 12 Kampung Wajo, 2019
22
Sumber: dokumen pribadi
23
Ibu RT 12 Kampung Wajo, 2019
24
Sumber: dokumen pribadi
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 37
25
Ibu RT 12 Kampung Wajo, 2019
26
DKP SULTRA, 2011
27
Sumber: www.google.com
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 41
28
Sumber: dokumen pribadi
29
Ibu RT 12 Kampong Wajo, 2019.
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 42
Wilayah strategis untuk perekonomian keramba ini belum ada sehingga, hasil
tangkap nelayan awalnya dijual ke masyarakat sekitar kemudian disebar keluar
(pelelangan) maupun pasar.32
30
Sumber: dokumen pribadi
31
Sumber: dokumen pribadi
32
Ibu RT 12 Kampung Wajo, 2019
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 43
1) Pulau Labengki
2) Pantai Nambo
Pantai Nambo berada di kota Kendari tepatnya di kecamatan Abeli. Pantai ini
berjarak kurang lebih 16 km dari pusat kota Kendari. Fasilitas yang ada di pantai
Nambo ini, terbilang cukup memadai karena terdapat 31 gazebo, kamar bilas, vila,
area parkir, serta warung-warung yang menjajahkan makanan dan minuman. Tempat
33
Sumber: www.google.com
34
Sumber: www.google.com
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 44
wisata ini sangatlah cocok untuk menghabiskan akhir pekan bersama keluarga ataupun
orang terkasih.
3) Pantai Liwutongkidi
35
Sumber: www.storage.googleapis.com
36
Sumber: www.storage.googleapis.com
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 45
maupun memancing. Keindahan alam laut yang berada pada wisata di Sulawesi
tengara ini yang membuat pengunjung tidak akan bisa melupakan bagaimana indahnya
wisata alam bawah laut yang masih terjaga dengan baik.
5) Kendari Beach
6) Pulau Bokori
Pulau ini kecil, berada di tengah lautan luas, dengan kedalaman pesisir pantai
yang cukup dangkal sehingga memungkinkan kita untuk nyebur langsung di sana.
Dulu, Pulau Bokori ini dipadati oleh penduduk suku Bajo, namun karena kondisi alam
yang mengancam keselamatan yaitu tingkat abrasi yang tinggi, maka semua penduduk
di pulau ini direlokasi ke pesisir pantai yang letaknya berhadapan dengan pulau
Bokori. Jadi, sejak tahun 2014 pemerintah daerah mulai menjadikan pulau Bokori
sebagai destinasi wisata saja. Tidak ada lagi penduduk yang bermukim di sana.
Pembangunan pulau kecil yang indah ini sekarang mampu mendongkrak tingkat
perekonomian masyarakat Bajo yang ada di sekitar pulau.
37
Sumber: www.google.com
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 46
38
Sumber: www.google.com
39
Ibu RT 12 Kampung Wajo, 2019
40
Ibu RT Kampung Wajo, 2019
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 47
41
Sumber: dokumen pribadi
42
Ibu RT 12 Kampung Wajo, 2019
BAB IV
OLEH:
MARITIM FILMA
RAMNASARI
(A1K1 18 006)
(A1K1 18 036)
WA MOMO (A1K1 18 052)
SULAWESI MARTIANA
HENDRA ABIDIN
(A1K1 18 058)
(A1K1 18 102)
NUZULIA (A1K1 18 104)
negara yang mempunyai sifat memanfaatkan laut untuk kejayaan negaranya, sedangkan
negara kelautan lebih menunjukkan kondisi fisiknya, yaitu negara yang berhubungan,
dekat dengan atau terdiri dari laut.
Teknik kelautan pada dasarnya mempelajari tentang rekayasa pada bidang
Offshore (lepas pantai) dan pantai. Khususnya mempelajari tentang
pemanfaatan serta pengelolaan laut untuk sarana dan prasarana transportasi laut, seperti
pelabuhan, dermaga, kapal dan lain sebagainya serta mempelajari sumber daya, seperti
pencemaran laut, erosi dan lain sebagainya. Adapun akar dari teknik kelautan yaitu
berdasar pada mekanika, dinamika fluida, geologi, bangunan lepas pantai, dan fasilitas-
fasilitas yang ada di pelabuhan seperti dermaga. Sedangkan Teknologi Kelautan pada
dasarnya adalah ilmu yang mempelajari rekayasa yang ditujukan untuk
memanfaatkan laut seperti media transportasi dan sumber daya dan ruang. Teknologi
kelautan ini merupakan turunan dari teknik perkapalan.
11) Keadilan
Disadari bahwa pemanfaatan sumber daya kelautan sekarang ini lebih banyak
terkonsentrasi di wilayah pesisir dan perairan laut dangkal, maka pengembangan IPTEK
dalam rangka pengembangan laut dalam sangat dibutuhkan dalam rangka pemanfaatan
berbagai sumber daya kelautan di perairan laut dalam. Departemen Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia (DKP-RI) juga aktif melakukan kegiatan riset dalam
mendukung pemanfaatan sumber daya kelautan secara berkelanjutan. Perairan laut
dalam adalah perairan laut yang kedalamannya lebih dari 200 m. Di Indonesia
perairan laut dalam umumnya berada di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), perairan
Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan wilayah laut perbatasan.
Pemanfaatan sumber daya perikanan laut dalam membutuhkan investasi yang
tinggi sehingga kita harus berhitung secara ekonomi, profit yang akan dihasilkan.
Teknologi MCS, teknologi industri rumput laut, teknologi budidaya perikanan, radio
satelit, wartel satelit, kios IPTEK, teknologi garam rakyat, teknologi tambak ramah
lingkungan. Dibidang perikanan tangkap IPTEK sangat penting dalam menjaga
keberlanjutan sumber daya perikanan.
Pemanfaatan teknologi light fishning yang banyak beroperasi di wilayah laut
Indonesia mendorong diperlukannya riset yang menyangkut masalah intensitas
cahaya yang digunakan untuk menarik perhatian ikan-ikan yang layak tangkap, dan
intensitas optimum yang digunakan untuk menangkap jenis-jenis ikan tertentu.Tingkat
respon ikan terhadap stimulus cahaya yang diberikan dalam proses penangkapan ikan di
laut dengan light fishing. Kondisi dan isu perikanan tangkap saat ini antara lain sebagai
berikut.44
1) Pemanfaatan IPTEK yang masih rendah
43
Dahuri, 2006
44
Arimoto, 2002
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 54
Oleh sebab itu, diperlukan suatu aksi tanggap melalui suatu trasformasi dari
perikanan tangkap tradisional menuju perikanan tangkap yang modern berlandaskan
IPTEK melalui beberapa hal berikut.45
Riset laut ilegal. Potensi dan kekayaan alam Indonesia yang luar biasa, wilayah
nusantara menjadi surga riset ilegal kapal asing. Tujuannya tidak lain adalah untuk
kepentingan perusahaan, lembaga atau negara yang ingin menguasai bumi khatulistiwa.
Banyak data dan potensi sumber daya alam dicuri karena ketidaktahuan dan
ketidakpedulian bangsa ini. Sejak era reformasi, survei dan pemetaan laut yang
dilakukan pihak asing semakin marak terjadi. Mulai dari kedok kerjasama institusi
pemerintah dengan pihak asing, sampai dengan yang jelas-jelas ilegal alias tidak
memiliki izin dari pemerintah Indonesia. Kegiatan tersebut tanpa sadar membawa
45
Wahyudi, 2006
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 55
46
Koentjaraningrat, 2002
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 56
47
Sumber: www.google.com
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 57
Jenis alat tangkap Bila yang terdapat di Langgara Laut pengoperasiannya dilaut
yang dangkal, sehingga jenis ikan yang ditangkap berupa ikan karang (seperti baronang,
balana, ikan putih dan sebagainya). Berbeda pada “Bila” yang terdapat diperairan pantai,
dimana lingkungan lautnya berupa pasir sehingga jenis ikan yang ditangkap hanya berupa
ikan plagis kecil, seperti ikan laying, katombang. Bila atau sero (Guilding Barrier) adalah
perangkap ikan yang dipasang atau ditancap didalam air yang terdiri dari susunan pagar-
pagar yang akan menuntun ikan menuju perangkap. Alat ini biasanya terdiri dari kayu,
bambu, dan jaring. Terdapat dua bagian “Bila” yaitu bagian penaju (leadingnet) yang
berfungsi menggiring ikan untuk berenang menuju daerah jebakan (trap area) saat pasang
naik. Trap area berada di daerah yang lebih dalam, sehingga alat ini sangat cocok
digunakan di daerah yang landai dan sedikit miring di pinggir pantai. Pengambilan
ikan dilakukan saat surut, karena banyak ikan yang terjebak di trap area. Di Eropa Barat,
Bila banyak digunakan dan jaringnya dibuat dari bahan multifilament atau biasa disebut
benang PE atau Braided untuk senar poping) yang disebut fyke net. Bila ini di Perancis
biasa digunakan untuk menjebak ikan sidat.
4. Wakatobi AIS
Wakatobi AIS merupakan singkatan dari Wahana Keselamatan dan Pemantauan
Objek Berbasis Informasi AIS (Automatic Identification System) ini adalah teknologi yang
dikembangkan oleh peneliti dan perekayasa Lokal Perekayasa Teknologi Kelautan
(LPTK) Wakatobi. Menggunakan teknologi radar pantai, mereka merekayasa AIS
transponder yang dikembangkan secara khusus untuk kepentingan keselamatan nelayan
tradisional. Pasalnya tidak jarang ditemukan nelayan yang hilang atau terdampar saat
melaut.
Wakatobi AIS diciptakan atas identifikasi terhadap tiga masalah utama yang
dihadapi nelayan dalam melaut. Pertama, kurangnya kesiapan operasi nelayan dalam hal
penguasaan informasi mengenai kondisi meteorologi di area target penangkapan ikan.
Kedua, perlunya peningkatan kepantauan armada-armada nelayan tradisional oleh otoritas
di darat untuk mendukung ekstraksi SDA yang berkelanjutan, sekaligus sebagai data
penting dalam proses rescue saat para nelayan mengalami musibah di laut. Ketiga,
sulitnya nelayan tradisional dalam mengabarkan kondisi darurat yang mereka alami akibat
terbatasnya alat komunikasi di laut, sehingga tertundanya upaya penyelamatan.
49
Sumber: www.google.com
BAB V
OLEH:
MITIGASI
YULIN (A1K1 15 130)
HASLINDA (A1K1 15 032)
BENCANA PUTRI AINULLAH (A1K1 15 081)
ALFIA (A1K1 16 004)
RAHMATYA DESELA (A1K1 18 028)
MARITIM NI MADE IKA BUDIARI (A1K1 18 020)
SARMAWAN (A1K1 18 010)
NURUL HUSNIA (A1K1 18 068)
SULAWESI MUHAMMAD AMIN (A1K1 18 030)
MARFUATUL JANNAH B. (A1K1 18 114)
RATNA (A1K1 18 012)
TENGGARA HADIJA (A1K1 15 027)
RISKA (A1K1 15 088)
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 61
50
Hendrajaya dan Puspito (2005)
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 62
2) Bencana sosial merupakan sautu bencana yang diakibatkan oleh manusia, seperti
konflik sosial, penyakit masyarakat dan teror.
Mitigasi bencana dapat dilakukan melalui usaha fisik maupun non fisik. Usaha
yang bersifat fisik dapat berupa berbagai macam bentuk, tergantung dari jenis bencana
alam, lokasi bencana, kepadatan penduduk, kondisi sarana dan prasarana yang tersedia.
Upaya-upaya mitigasi bencana alam dapat dideskripsikan sebagai berikut.
1) Gempa bumi
Gempa bumi merupakan bencana alam yang sama sekali belum bisa diprediksi
kapan akan terjadi. Namun demikian, secara umum wilayah-wilayah yang rawan terhadap
ancaman bencana gempa bumi telah dapat diidentifikasi. Oleh karena itu mitigasi yang
dapat dilakukan pada wilayah yang rawan terhadap ancaman gempa yang dapat dilakukan
antara lain sebagai berikut.
1) Penyampaian informasi kepada masyarakat mengenai potensi ancaman bencana
gempa bumi di wilayah mereka.
2) Peningkatan pengetahuan kepada masyarakat mengenai karakteristik bencana
gempabumi.
3) Memberikan pemahaman kepada masyarakat bagaimana cara menyelamatkan diri
dari bencana gempa bumi.
4) Memberikan pelatihan, misalnya dengan simulasi bagaimana cara menyelamatkan
diri ketika ada bencana.
5) Mendirikan bangunan dengan bahan dan konstruksi yang tahan gempa.
6) Pembuatan zona-zona daerah rawan bencana.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu narasumber di Bungkutoko
daerah kota Kendari, yaitu kampung Bajoe pada tanggal 19 mei 2019, mengenai mitigasi
bencana di daerah tersebut bahwasannya yang kerap kali terjadi yakni bencana gempa
bumi, namun sampai saat ini masyarakat yang tinggal di daerah tersebut belum
mengetahui bagaimana cara atau tindakan yang harus dilakukan pada saat bencana
tersebut terjadi. Namun yang dikhawatirkan oleh masyarakat jika terjadi gempa adalah
peningkatan debit air laut yang biasa memasuki rumah warga, menurut ketua RW
setempat bahwasannya pernah dilakukan sosialisasi tentang penanggulangan bencana di
kelurahan tersebut, namun warga hanya diberitahukan untuk melakukan persiapan dan
menghindari daerah dataran rendah serta segera ke daerah dataran-dataran tinggi
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 63
Gambar 25. Peta sebaran titik gempa bumi diwilayah Sulawesi Tenggara tahun 2007-201653
51
Kepala RW Kampung Bajoe, 2019
52
Kepala RW Kampung Bajoe, 2019
53
BMKG,2017
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 64
2) Tsunami
Tsunami diartikan bencana alam yang berupa gelombang air laut yang menimpa
daerah pantai. Faktor penyebab terjadinya tsunami adalah karena kegiatan seismik,
meletusnya gunung api, longsoran bawah laut, dan tumbukan meterorit dengan samudera.
Dari sejumlah faktor penyebab, yang paling sering terjadi adalah tsunami akibat gempa
bumi. Gempa bumi sampai saat ini belum dapat diramalkan kapan akan terjadi. Oleh
karena itu tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi juga sulit diprediksi. Bencana
tsunami merupakan ancaman bagi wilayah pantai yang secara geologis rawan terhadap
gempa bumi. Namun ancaman bencana tsunami baru dapat diprediksi setelah gempa bumi
terjadi. Satu hal yang menyulitkan adalah jeda waktu antara gempa dan tsunami yang
ditimbulkan sangat singkat. Akibatnya usaha untuk menyelamatkan diri dari tsunami
waktunya sangat terbatas.
Jika ancaman tsunami tidak disadari oleh masyarakat yang tinggal di daerah rawan
bencana tersebut, maka resiko yang dapat ditimbulkannya akan sangat serius. Oleh karena
itu, untuk mengurangi resiko terhadap bencana yang mungkin terjadi, maka diperlukan
mitigasi bencana tsunami. Mitigasi terhadap ancaman bencana tsunami antara lain dapat
dilakukan sebagai berikut.
54
BMKG,2018
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 65
3) Gunung Meletus
Salah satu akibat Indonesia terletak di antara pertemuan tiga lepeng tektonik yang
besar di dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik adalah bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah gunung api terbanyak di dunia.
Keberadaan gunung api tersebut tersebar di sepanjang pulau-pulau yang terletak di
sepanjang sisi subduksi antara lempeng samudera terhadap lempeng benua. Mitigasi
terhadap ancaman bencana gunung meletus antara lain dapat dilakukan sebagai berikut.
1) Pemetaan wilayah-wilayah yang rawan terhadap ancaman letusan gunung api.
2) Penyampaian informasi kepada masyarakat mengenai potensi ancaman bencana
gunung api di wilayah mereka.
3) Peningkatan pengetahuan kepada masyarakat mengenai karakteristik bencana
gunung api.
4) Mengenali tanda-tanda akan datangnya bencana letusan gunung api.
5) Memberikan pemahaman kepada masyarakat bagaimana cara menyelamatkan diri
dari bencana gunung api.
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 66
4) Banjir
Setiap tahun saat musim hujan, di Indonesia selalu ada wilayah yang mengalami
banjir. Banjir terjadi karena air yang jatuh dan mengalir jauh melebihi kapasitas sistem
drainase yang ada. Kerusakan hutan, alih fungsi lahan, misalnya dari hutan menjadi lahan
perkebunan / pertanian, industri, pemukiman, dan sebagainya akan mengurangi
kemampuan tanah / batuan untuk menyerap air. Akibatnya aliran permukaan akan
semakin banyak dan banjirpun tidak bisa dihindari. Terjadinya banjir bandang sangat
dipengaruhi oleh kerusakan hutan di kawasan hulu. Banjir juga bisa disebabkan oleh
pasang. Seiring dengan semakin meningkatnya suhu di permukaan bumi karena
pemanasan global, banjir bukan saja disebabkan oleh hujan, tetapi juga oleh pasang air
laut yang tinggi. Pasang laut ini bisa disebabkan oleh badai dan atau akibat pemanasan
global yang menyebabkan pasang lebih tinggi dari sebelumnya. Akibat pasang tersebut
aliran sungai menjadi terhambat sehingga menggenangi daratan di sekitarnya. Mitigasi
yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut.
1) Membuat peta wilayah yang rawan terhadap ancaman becana banjir.
2) Memberi penyuluhan kepada masyarakat.
3) Mengadakan reboisasi di kawasan hulu daerah aliran sungai.
4) Membuat biopori agar air yang bisa meresap ke dalam tanah menjadi lebih banyak.
5) Meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya memelihara
lingkungan.
6) Membuat tanggul penahan banjir.
7) Membuat sistem peringatan dini.
5) Longsor
Kondisi geologis di Indonesia menyebabkan wilayah Indonesia yang reliefnya
bergunung-gunung sangat luas. Dipadu dengan musim kemarau yang kering dan musim
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 67
hujan dengan curah hujan yang tinggi, menyebabkan di beberapa kawasan rawan terhadap
ancaman bencana longsor. Hampir setiap musim hujan longsor ini selalu terjadi. Untuk
mengurangi resiko bencana yang ditimbulkan perlu ada mitigasi. Mitigasi yang dapat
dilakukan antara lain sebagai berikut.
1) Membuat peta wilayah rawan terhadap ancaman becana longsor.
2) Tidak mendirikan bangunan pada kawasan yang rawan terhadap ancaman longsor.
3) Relokasi pemukiman yang rawan terhadap ancaman bahaya longsor.
4) Penanaman pad lereng dengan jenis tanaman yang sistem perakarannya dalam
sehingga mampu menahan gerakan tanah.
5) Membuat terasering dengan sistem drainase yang dapat mengurangi resapan ke
dalam tanah.
6) Selalu diadakan pemantauan terhadap tanda-tanda kemungkinan terjadinya longsor,
misalnya seperti munculnya rekahan, munculnya rembesan air, pohon-pohon yang
miring searah kemiringan lereng, dan sebagainya.
pembuatan tata ruang kota, capacity building masyarakat, bahkan sampai menghidupkan
berbagai aktivitas lain yang berguna bagi penguatan kapasitas masyarakat juga bagian
dari mitigasi ini. Ini dilakukan untuk masyarakat yang hidup disekitar daerah rawan
bencana.
Kebijakan non struktural meliputi legislasi, perencanaan wilayah, dan asuransi.
Kebijakan non struktural lebih berkaitan dengan kebijakan yang bertujuan untuk
menghindari resiko yang tidak perlu dan merusak. Tentu, sebelum dilakukan identifikasi
resiko terlebih dahulu perlu penilaian resiko fisik seperti proses identifikasi dan evaluasi
tentang kemungkinan terjadinya bencana dan dampak yang mungkin ditimbulkan.
b) Konsekuensi-konsekuensi kerusakan.
Dengan mengetahui tingkat kerawanan secara dini, maka dapat dilakukan antisipasi
jika sewaku-waktu terjadi bencana, sehingga akan dengan mudah melakukan
penyelamatan. Pemantuan di daerah vital dan strategi secara jasa dan ekonomi dilakukan
di beberapa kawasan rawan bencana.
a) Penyebaran informasi dilakukan antara lain dengan cara: poster dan leaflet
kepada pemerintah kabupaten / kota dan provinsi seluruh Indonesia yang rawan
bencana, tentang tata cara mengenali, mencegah dan penanganan bencana.
Memberikan informasi media cetak dan elektronik tentang kebencanaan adalah
salah satu penyebaran informasi dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan
terhadap bencana geologi di suatu kawasan tertentu. Koordinasi pemerintah daerah
dalam hal penyebaran informasi diperlukan mengingat Indonesia sangat luas.
b) Sosialisasi dan penyuluhan merupakan segala aspek kebencanaan kepada
STAKOR–LAK PB SATLAK PB, dan masyarakat yang bertujuan meningkatkan
kewaspadaan dan kesiapan menghadapi bencana jika sewaktu-waktu terjadi. Hal
penting yang perlu diketahui oleh pemerintah daerah ialah mengenai hidup
harmonis dengan alam di daerah bencana, apa yang perlu ditakutkan dan
dihindarkan di daerah rawan bencana, dan mengetahui cara menyelamatkan diri
jika terjadi bencana.
c) Pelatihan / pendidikan difokuskan kepada tata cara pengungsian dan
penyelamatan jika terjadi bencana. Tujuan latihan lebih ditekankan pada alur
informasi dari petugas lapangan, pejabat teknis, STAKORLAR PB, SATLAK PB
dan masyarakat sampai ketingkat pengungsian dan penyelamatan korban bencana.
Dengan pelatihan ini terbentuk kesiagaan tinggi dan penyelamatan korban bencana
akan terbentuk.
d) Peringatan dini dimaksudkan untuk memberitahukan tingkat kegiatan hasil
pengamatan secara kontinyu di suatu daerah rawan dengan tujuan agar persiapan
secara dini dapat dilakukan guna mengantisipasi jika sewaktu-waktu terjadi
bencana. Peringatan dini tersebut disosialisasikan kepada masyarakat melalui
pemerintah daerah dengan tujuan memberikan kesadaran masyarakat dalam
menghindarkan diri dari bencana. Peringatan dini dan hasil pemantauan daerah
rawan bencana berupa saran dan teknis yang dapat berupa pengalihan jalur jalan
(sementara dan seterusnya), pengungsian dan atau relokasi, dan saran penanganan
lainnya.
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 72
55
Sumber: www.google.com
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 73
2. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya
bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya
tatanan kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai
teridentifikasi akan terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain:
a) Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya
b) Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi setiap sektor penanggulangan
bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum)
c) Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan
d) Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik
e) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna
mendukung tugas kebencanaan
f) Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning
system)
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 74
3. Tanggap Darurat
Tahap tanggap darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan pertolongan
untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna menghindari bertambahnya
korban jiwa. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
meliputi:
a) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan
sumber daya.
b) Penentuan status keadaan darurat bencana.
c) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana.
d) Pemenuhan kebutuhan dasar.
e) Perlindungan terhadap kelompok rentan.
f) Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
4. Pemulihan
Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya yang
dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi daerah yang
terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar
kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan meliputi:
a) Perbaikan lingkungan daerah bencana.
b) Perbaikan prasarana dan sarana umum.
c) Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat.
d) Pemulihan sosial psikologis.
e) Pelayanan kesehatan.
f) Rekonsiliasi dan resolusi konflik.
g) Pemulihan sosial, ekonomi dan budaya.
h) Pemulihan keamanan dan ketertiban.
i) Pemulihan fungsi pemerintahan.
j) Pemulihan fungsi pelayanan publik.
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 75
jalan tambahan yang dapat menjadi jalur-jalur evakuasi. Perlu dipastikan agar
menghindari area-area berikut:
a) Jembatan-jematan yang bisa menjadi rapuh akibat gempa
b) Area-area yang rawan longsor serta reruntuhan bangunan-banguanan tinggi dan rapuh
c) Jalan-jalan yang di pinggirnya terpasang tiang-tiang listrik serta area yang mempunyai
gardu induk
d) Lokasi-lokasi industri yang bisa mengetengahkan bahaya sekunder kepada warga yang
evakuasi seperti lokasi industri bahan kimia serta gas
e) Jalan-jalan yang dekat dengan sungai atau muara sungai
2) Rambu-rambu Evakuasi
Rambu-rambu yang menggambarkan zona-zona dan rute-rute evakuasi dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai resiko tsunami lokal serta memberikan
informasi tentang apa yang harus dilakukan dan kemana harus di evakuasi. Perlu
mengidentifikasi lokasi-lokasi yang tepat dan strategis untuk penempatan rambu-rambu
evakuasi tsunami di sepanjang rute-rute utama evakuasi yang menunjukkan arah menuju
tempat aman, sementara bangunan-bangunan aman untuk evakuasi vertikal.
56
Sumber: www.google.com
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 77
DAFTAR PUSTAKA
Mujabuddawat., Al, Muhammad. 2015. Kejayaan Kesultanan Buton Abad Ke-17 dan 18
dalam Tinjauan Arkeologi Ekologi (diakses online
https://www.researchgate.net.publication.com
Novia. 2017. 15 Tempat Wisata di Sulawesi Tenggara yang Wajib Dikunjungi (diakses
online) https://tempatwisataunik.com
Nurkholis, Afid. Mengenal Pusat Kebudayaan Maritim: Suku Bajo, Suku Bugis, Suku
Mandar di Segitiga Emas Nusantara.
Nur, Susyanti, Sri. Pola Penguasaan dan Pemanfaatan Wilayah Perairan Pesisir Secara Turun-
Temurun Oleh Suku Bajo. Prosiding Seminar Nasional Multi Disiplin Ilmu dan Call
for Papers UNISBANK (SENDI_U).
Nur, Syamsir. 2016. Optimalisasi Pengembangan Ekonomi Maritim di Provinsi Sulawesi
tenggara. Jurnal Bisnis Perikanan FPIK UHO, 3(2):180-182.
Paonganan, Y. 2012. 9 Perspektif Menuju Masa Depan Maritim Indonesia. Jakarta: Yayasan
Institut Maritim Indonesia.
Perka BNPB. 2008. Pedoman Penyusunan Penanggulangan Bencana.
Poerwanto, Endy. 2018. Manjakan Wisatawan, Wisata Bahari Bokori (diakses online)
https://bisniswisata.co.id
PPS Himpun. 2019. 27 Perusahaan Perikanan (diakses online) www.medanbisnisdaily.com
Pryyowidodo, G., Luik, J.E. 2013. Literasi Mitigasi Bencana Stunami untuk Masyarakat
Pesisir di Kabupaten Jawa Timur. Jurnal Ekontras ,13(1).
Purnama, S.G. 2017. Modul Manajemen Bencana. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
Putera, P.B. 2009. Teknologi Informasi untuk Kelautan Indonesia.
Samba’lolo, La. 2017. Sejarah Berdirinya Provinsi Sulawesi Tenggara. (diakses
online) http://bloggueloe.blogspot.com/2017/02/sejarah-berdirinya-provinsi-
sulawesi.html
Sunarto., Hartono, Agung. 2006. Perairan Laut dan Tutorial. Jakarta: Rineka Cipta.
Tahara, Tasrifin. 2013. Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi.
Antropologi Indonesia, 34(1) : 42-43.
Wahyudi, Isa. 2019. Konsep Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (diakses online)
http://cvinspireconsulting.com
Zahnd, Markus. 1999. Perancangan Kota secara Terpadu. Yogyakarta: Kasinus.
Zuhdi, Susanto. Budaya Maritim Kearifan Lokal dan Diaspora Buton. FIB UI.
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 79
BIODATA PENULIS
SDN 1 MADONGKA sekarang namaya SD 11 LAKUDO dan tamat pada tahun 2010.
SMPN 5 LAKUDO dan tamat pada tahun 2013. Kemudian melanjutkan jenjang pendidikan di
SMAN 1 LAKUDO dan berhasil tamat pada tahun 2016. Demi cita-cita dan tekad untuk
Halu Oleo pada tahun 2016 melalui jalur SNMPTN di jurusan Pendidikan Fisika Fakultas
NAMA : MUSLAN
NIM : A1K1 18 076
TTL : GUSUMOTAHA, 24 FEBRUARI 2000
AYAH : HAMADIN
IBU : SAMSINAR
ANAK KE : 4 DARI 5 BERSAUDARA
JALUR MASUK : SBMPTN
RIWAYAT PENDIDIKAN
SD : SD NEGERI GUSUMOTAHA (2006-2012)
SMP : MTS ISLAMIYAH SALABANGKA (2012-2015)
SMA : SMA NEGERI 1 BUNGKU SELATAN (2015-2018)
Kemudian penulis melanjutkan jenjang pendidikan di SMP NEGERI 7 BAUBAU dan tamat
dan tamat pada tahun 2017. Demi cita-cita dan tekad untuk melanjutkan pendidikan di
perguruan tinggi, maka penulis berhasil diterima di Universitas Halu Oleo melalui jalur
SBMPTN pada Tahun 2018 di Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan.
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 81
Kemudian penulis melanjutkan jenjang pendidikan di SMP NEGERI 1 BAUBAU dan tamat
dan tamat pada tahun 2018. Demi cita-cita dan tekad untuk melanjutkan pendidikan di
perguruan tinggi,maka penulis berhasil diterima di Universitas Halu Oleo melalui jalur
SBMPTN pada tahun 2018 di Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan.
Riwayat pendidikan :
1. SDN EEWA KEC. Palangga Kab. Konawe selatan
( 2006-2012)
2. SMP N 17 KONSEL Kec. palangga Kab. Konawe selatan ( 2012-2015 )
3. SMA N 4 KONSEL Kec. palangga Kab. Konawe selatan ( 2015-2018)
4. Universitas Halu Oleo ( 2018 – sekarang)
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 82
pada tanggal 31 Agustus 1997 dari pasangan Ayah Basri dan Ibu
(SD) Negeri 1Todombulu pada tahun 2003 dan tamat pada tahun
2009. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Sekolah Menengah Pertama (SMP)
negeri 1 sampolawa dan tamat pada tahun 2012. Setelah penulis menyelesaikan Sekolah
Menengah Pertama, dengan tahun yang sama penulis meneruskan studi di SMA Negeri
Setelah menyelesaikan studi ditingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), pada tahun
2015 penulis melanjutkan studi diperguruan tinggi Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari
Sulawesi Tenggara pada Program S1 Reguler Pendidikan Fisika melalui jalur SNMPTN.
Penulis sementara melanjutkan studi di jurusan pendidikan fisika FKIP semester VIII.
RIWAYAT PENDIDIKAN :
SD : 2006-2012 (SD NEGERI 1 TINONDO)
SMP : 2012-2015 (SMP NEGERI 1 TINONDO)
2000, merupakan anak dari pasangan orang tua bernama Sirman dan
penulis melanjutkan jenjang pendidikan di SMP NEGERI 2 RUMBIA dan tamat pada tahun
pada tahun 2018. Demi cita-cita dan tekad untuk melanjutkan pendidikan di perguruan
tinggi,maka penulis berhasil diterima di Universitas Halu Oleo melalui jalur SBMPTN pada
Tahun 2018 di Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 84
merupakan anak dari pasangan orang tua bernama Alifudin dan Harifa.
Kemudian penulis melanjutkan jenjang pendidikan di SMP NEGERI 4 TOMIA dan tamat
pada tahun 2015.Kemudian melanjutkan jenjang pendidikan di SMA NEGERI 2 TOMIA dan
tamat pada tahun 2018. Demi cita-cita dan tekad untuk melanjutkan pendidikan di perguruan
tinggi, maka penulis berhasil diterima di Universitas Halu Oleo melalui jalur SNMPTN pada
Tahun 2018 di Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
MTsN 1 BUTON TENGAH dan tamat pada tahun 2015. Kemudian melanjutkan jenjang
pendidikan di SMA NEGERI 1 LAKUDO dan tamat pada tahun 2018. Demi cita-cita dan
tekad untuk melenjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi, maka penulis berhasil diterima di
Universitas Halu Oleo pada tahun 2018 melalui jalur SNMPTN di jurusan Pendidikan Fisika
NAMA : RAMNSARI
NIM : A1K1 18 036
TTL : KORIHI, 17 JUNI 2001
AYAH : LA RAEMI
IBU : KURNIA
ANAK KE : 2 DARI 3 BERSAUDARA
JALUR MASUK : SNMPTN
RIWAYAT PENDIDIKAN
SD : SD NEGERI 5 LOHIA (2006-2012)
SMP : SMP NEGERI 6 RAHA (2012-2015)
SMA : SMA NEGERI 1 LOHIA (2015-2018)
melanjutkan jenjang pendidikan di SMPN 1 KAMBOWA dan tamat pada tahun 2015.
Kemudian melanjutkan jenjang pendidikan di SMA NEGERI 2 KAMBOWA dan tamat pada
tahun 2018. Demi cita-cita dan tekad untuk melenjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi,
maka penulis berhasil diterima di Universitas Halu Oleo pada tahun 2018 melalui jalur
SMPN 1 Sawerigading dan tamat pada tahun 2015. Kemudian melanjutkan jenjang
pendidikan di SMAN 4 Tikep dan tamat pada tahun 2018. Demi cita-cita dan tekad untuk
Halu Oleo pada tahun 2018 melalui jalur SBMPTN dijurusan Pendidikan Fisika Fakultas
dan tamat pada tahun 2015. Kemudian melanjutkan jenjang pendidikan di SMA NEGERI 7
KENDARI dan tamat pada tahun 2018. Demi cita-cita dan tekad untuk melenjutkan
pendidikan di Perguruan Tinggi, maka penulis berhasil diterima di Universitas Halu Oleo
pada tahun 2018 melalui jalur SNMPTN di jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan.
di SMPN 5 ASERA dan tamat pada tahun 2015. Kemudian melanjutkan jenjang pendidikan
di SMA NEGERI 1 WIWIRANO dan tamat pada tahun 2018. Demi cita-cita dan tekad untuk
Halu Oleo pada tahun 2018 melalui jalur SBMPTN di jurusan Pendidikan Fisika Fakultas
SABULAKOA yang saat ini telah berganti nama menjadi SD NEGERI 8 LANDONO.
Kemudian penulis melanjutkan jenjang pendidikan di SMPN 3 LANDONO yang saat ini
telah berganti nama menjadi SMPN 20 KONSEL dan tamat pada tahun 2015. Kemudian
melanjutkan jenjang pendidikan di SMA NEGERI 2 KONAWE SELATAN dan tamat pada
tahun 2018. Demi cita-cita dan tekad untuk melenjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi,
maka penulis berhasil diterima di Universitas Halu Oleo pada tahun 2018 melalui jalur
NamaLengkap : Ni NyomanYohanaFebriani
TempatdanTanggalLahir:Olo-Oloho, 01 Februari 2000
Agama : Kristen Protestan
Alamat Asal :DesaOlo-Oloho, Kec. Uepai, Kab. Konawe
AlamatSekarang : Jl. Banda, Watulondo, Puuwatu
AnakKe : 3 dari 4 Bersaudara
JalurMasuk : SNMPTN
Jurusan : Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan
Nama Ayah :BondanPriambodo
Nama Ibu : NiluhSumartini
Riwayat pendidikan :
anak dari pasangan orang tua bernama Muh. Aris dan Nurhayati.
tamat tahun 2012. Kemudian melanjutkan pendidikan di MTs DDI PARIA dan tamat pada
bernama SMAN 2 WAJO dan tamat pada tahun 2018. Demi cita-cita dan tekad untuk
Halu Oleo pada tahun 2018 melalui jalur SNMPTN di jurusan Pendidikan Fisika Fakultas
RIWAYAT PENDIDIKAN
SD : 2006 – 2012 (SD NEGERI 12 MANDONGA)
SMP : 2012 – 2015 (SMP NEGERI 08 KENDARI)
SMA : 2015 – 2018 ( SMA NEGERI 07 KENDARI)
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 93
anak dari pasangan Jupri Ahmad dan Suriani. Penulis merupakan anak
Bungku Selatan dan tamat pada tahun 2009. Kemudian penulis melanjutkan
jenjangpendidikan di SMPN 3 Bungku Selatan dan tamat pada tahun 2012. Kemudian
melanjutkan jenjang pendidikan di SMAN 1 Bungku Selatan dan berhasil tamat pada tahun
2015. Demi cita-cita dan tekad untuk melanjutkan pendidikan di PerguruanTinggi, maka
penulis berhasil diterima di Universitas Halu Oleo pada tahun 2015 melalui jalur SNMPTN di
NAMA : NUZULIA
NIM : A1K1 18 104
TTL : WALENGKABOLA, 12 DESEMBER2001
AYAH : LA ODE SALIA
IBU : WA ODE HASIA
ANAK KE- : 9 DARI 9 BERSAUDARA
RIWAYAT PENDIDIKAN
- SD : SDN 19 TONGKUNO
- SMP : MTsN 2 KAB. MUNA
- SMA : SMAN 2 TONGKUNO
- S1 : Sedang menempuh S1 di
UNIVERSITAS HALU OLEO
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 96
NAMA : SARMAWAN
NIM : A1K1 18 010
TTL : BANGKALI, 17 OKTOBER 1999
AYAH : LA ANDI WOTO
IBU : WA ODE TAMINA
ANAK KE- : 1 DARI 2 BERSAUDARA
RIWAYAT PENDIDIKAN
- SD : SDN 5 KONTUNAGA
- SMP : SMPN 1 KOSAMBI
- SMA : SMAN 1 TONGKUNO
- S1/D3 : Sedang menempuh S1 di
…………...UNIVERSITAS HALU 6OLEO
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 97
LAMPIRAN
Gambar 32. Pose Style Bersama Anak-anak Masyarakat Bajo di Bungkutoko Sulawesi
Tenggara
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 101
Gambar 33. Proses Wawancara Bersama Pak Ando Selaku Ketua Adat Daerah Bajoe
Bungkutoko Sulawesi Tenggara Mengenai Sejarah dan Budaya Masyarakat
Suku Bajo
Gambar 34. Proses Wawancara Kelompok Mitigasi Bencana Daerah Bajoe, Bungkutoko
dengan Salah Satu Narasumber
W a w a s a n K e m a r i t i m a n d i S u l a w e s i T e n g g a r a | 102
Gambar 36. Wawancara Ibu RT 12 Kampung Wajo Oleh Kelompok Ekonomi Maritim
57
Sumber Lampiran: dokumen pribadi