Adenomiosis Uteri
Adenomiosis Uteri
DISUSUN OLEH:
1
Triggered Case
Ny. N 40 tahun tidak bekerja. Keluhan saat datang rumah sakit nyeri tak tertahankan bila
menstruasi akan pinsan. Keadaan pasien saat setelah operasi tampak sedih, menangis,
berdiam diri, menyalahkan diri sendiri, menanyakan proses penyembuhan luka (dengan luka
operasi 15 cm dari simpisis pibus ke umbilicus). Mengkhawatirkan perubahan fisik post
operasi dan hubungan seksual dengan suami. Setelah dikaji keluhan pasien terdahulu kondisi
nyeri tak tertahankan, dirasakan 3 tahun yang lalu. Saat itu nyeri saat haid masih bisa
dipertahankan. Mengalami nyeri menstruasi saat kehamilan nyeri tidak pernah dirasakan lagi,
mengalami 2x keguguran dan kuratase. Hasil pengkajian pasien menarche 14 tahun. Siklus
haid 24 hari. Usia menikah 21 tahun. G6P4A2. Pernah dikurate 2 x. setelah menikah nyeri
saat menstruasi tidak dirasakan lagi. Hasil pemeriksaan fisik CM, TTV – TB – TD 110/70
mmHg. RR 20x/menit. Suhu 36,5 C. Terdapat luka operasi 15 cm dari simfisis pubis ke pusat
kering,, balutan bersih dan terpasang kateter. Jantung, paru, alat indera lain normal.
Pemeriksaan diagnostic MRI: klien harus dihisterektomi.
2
STEP 1: Identifikasi kata sulit
1. Histerektomi : Pembedahan pengangkatan rahim
STEP 4: -
Analisis kasus
Analisa data
Diagnosa keperawatan
3
STEP 6:
A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Adenomiosis (diucapkan A - den - oh - saya - oh - sis). Adalah suatu kondisi medis
yang ditandai oleh adanya jaringan kelenjar ektopik ditemukan di otot. Adenomiosis, istilah
ini berasal dari istilah Yunani adeno- (berarti kelenjar), myo (berarti otot), dan -osis (berarti
kondisi). Yang semula bernama endometriosis interna, adenomiosis sebenarnya berbeda dari
endometriosis dan dua entitas penyakit ini ditemukan bersama-sama dalam hanya 10% dari
kasus.
Ini biasanya mengacu pada jaringan ektopik endometrium (lapisan dalam rahim)
dalam miometrium (tebal, lapisan otot rahim). Istilah "adenomyometritis" tegasnya
menyiratkan keterlibatan rahim.
Kondisi ini biasanya ditemukan pada wanita antara usia 35 dan 50. Pasien dengan
adenomiosis akan merasakan nyeri dan menstruasi yang berlebihan (dismenore &
menorrhagia, masing-masing). Namun, karena kelenjar endometrium yang berada dalam
miometrium, seingga mungkin akan terjadi peningkatan rasa sakit tanpa peningkatan darah.
(Ini dapat digunakan untuk membedakan adenomiosis akibat hiperplasia endometrium, dalam
kondisi yang terakhir, meningkat perdarahan lebih umum.)
Dalam adenomiosis, endometrium basal menembus ke serat miometrium hiperplastik.
Oleh karena itu, tidak seperti lapisan fungsional, lapisan basal tidak mengalami perubahan
siklik yang khas dengan siklus menstruasi (Wikipedia).
Adenomiosis adalah kondisi jinak pada rahim dimana endomertium (selaput lendir
yang melapisi bagian dalam rahim) tumbuh ke dalam miometrium (otot-otot rahim yang
terletak di luar endometrium). Endometrium dan miometrium dalam keadaan normal yang
berdekatan satu sama lain, tetangga diskrit. Dalam adenomiosis, endometrium menanamkan
dirinya dalam miometrium. Miometrium dapat respon terhadap intrusi ini dengan
pertumbuhan berlebih otot. Jika sebuah pulau jaringan endometrium di terkandung dan
dibatasi dalam miometrium, membentuk nodul disebut adenomioma. Adenomiosis terdiri dari
adeno (kelenjar) + myo (otot) + osis (kondisi) = kondisi jaringan kelenjar (mengacu
endometrium) di otot (miometrium). (Dr. Sahni BS).
Adenomiosis adalah invasi jinak endometrium ke dalam miometrium, sehingga rahim
membesar yang secara mikroskopis menunjukkan adanya ektopik, kelenjar endometrium
non-neoplastik dan stroma dikelilingi oleh hipertrofi dan hiperplasia miometrium.(C Bird et
al 1972 Am J O&G)
4
Adenomiosis didefinisikan sebagai tumbuhnya kelenjar endometrium ektopik dan stroma
dalam miometrium. Dengan adanya kelenjar endometrium ektopik dan stroma menginduksi
reaksi hipertrofik dan hiperplastik di jaringan miometrium sekitarnya (Khaled Sakhel, 2012).
2. Epidemiologi
Adenomiosis paling banyak mengenai wanita usia antara 35 dan 50 tahun. Secara
umum,wanita yang terkenaadalahmultipara, dan sekitar 5 hingga 70% dapat menyerang pada
wanitadengan riwayatprosedurbedahrahim(misalnya operasi Caesar, dilatasidankuretase).
Frekuensi adenomysis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literature lain dilaporkan
8% hingga 61% bergantung pada seleksi sampel dan criteria diagnostic yang di pakai.
Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari 10%. Studi di Nepal oleh Shrestha et al.
(2012) melaporkan insidens 23,4% pada 256 spesimen histerektomi. Jauh sebelumnya,
sebuah studi di Itali oleh Parazzini et al. (1997) melaporkan insidens serupa sekitar 21,2%
pada 707 wnita yang menjalani histerektomi atas berbagai indikasi. Meskipun insidensnya
lumayan tinggi, tetapi studi epidemiologi seputar adenomyosis masih sangat jarang.
Perkembangan teknologi memungkinkan diagnosis adenomyosis preoperative
sehingga eksplorasi hubungannya dengan infertilitas dapat dilakukan. De Souza et al.
melaporkan insidens 54% hyperplasia JZ pada wanita subfertil dengan keluhan menoragi dan
dismenore. Bukti lain melaporkan kehamilan pada wanita infertile setelah di terapi
adenomyosis dengan agen GnRH agonis. Penelitian terbaru oleh Maubon et al. (2010)
melibatkan 152 asien in vitro fertilization (IVF) untuk menilai pengaruh ketebalan JZ uterus
yang diukur dengan MRI terhadap keberhasilan implantasi , dilaporkan bahwa peningkatan
ketebalan JZ uterus berkolerasi signifikan dengan kegagalan implantasi ada IVF. Kegagalan
implantasi terjadi pada 95,8% pasien dengan JZ 7-10 mm versus 37,5% pada subjek lain.
3. Etiologi
Penyebab dari adenomyosis tidak dimengerti dengan baik. Masih dalam peninjauan
medis. Beberapa peneliti-peneliti percaya bahwa operasi-operasi sebelumnya pada
kandungan (termasuk kelahiran-kelahiran Cesar) dapat menyebab kansel-sel endometrial
(lapisan kandungan) untuk menyebar dan tumbuh pada lokasi yang abnormal (lapisan otot
dari dinding kandungan). Kemungkinan lain adalah bahwa adenomyosis timbul dari jaringan-
jaringan dalam dinding kandungan sendiri yang mungkin telah mengendap disana selama
perkembangan dari kandungan. Adenomyosis adalah lebih umum setelah kelahiran anak.
5
Sebagai dasar diagnosis adenomiosis adalah gejala klinik yang jelas, pembesaran
Rahim asimetris, dan konsistensi Rahim padat. Penyebab adenomiosis uteri yaitu multipara
40 tahun, invasi endometrium saat kontraksi persalinan, dan invasi endometrium saat
kuretage.
Endometriosis interna (adenomiosis) adalah implantasi jaringan endometrium di
dalam jaringan otot rahim. Hal ini disebabkan oleh implantasi endometrium yang masih aktif
dalam otot rahim terjadi perubahan pada saat menstruasi atau aktivitasnya mengikuti
perubahan hormonal. Pada saat menstruasi, endometrium mengalami proses menstruasi tetapi
darah tidak mempunyai saluran untuk keluar sehingga terjadi timbunan darah. Timbunan
darah ini saat menstruasi menimbulkan rasa sakit. Mekanisme terjadinya adenomiosis karena
jaringan otot terbuka saat kontraksi persalinan atau waktu kuretege sehingga terjadi invasi
endometrium ke dalam otot rahim.(Ida, Manuaba. 1998. Penyakit Kandungan & Keluarga
Berencana. Jakarta: EGC)
Penyebab kondisi ini belum jelas, namun ada 2 teori yaitu menstruasi retrograde dan
metaplasia. Teori menstruasi retrograde mengatakan bahwa selama menstruasi ada
endometrium yang memasuki tuba uterine dan akhirnya masuk ke rongga pelvis. Teori
metaplasia mengatakan bahwa terdapat sisa epitel embrional yang belum berdiferensiasi
sampai menarke. Jaringan inilah yang berespon terhadap estrogen dan progesterone
sebagaimana endometrium.
Penyebab adenomiosis belum diketahui. Namun, beberapa factor mungkin menjadi
penyebab, diantaranya:
6
4. Sel Punca Sum – Sum Tulang
Teori lain mengusulkan bahwa sel punca sum – sum tulang mungkin menginvasi otot
rahim sehingga memicu adenomiosis. Terlepas dari sebabnya, perkembangan
adenomiosis bergantung pada level estrogen pada tubuh wanita. Ketika produksi
estrogen menurun saat menopause, bisa saja adenomiosis menghilang dengan
sendirinya.(Barbierei, Recce. 2010. Obstetric & Gynecology. Germany: Stuttgart)
4. Patofisiologi
Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam miometrium masih
belum jelas. Lapisan fungsional endometrium secara fisiologis berproliferas secara lebih aktif
dibandingkan lapisan basalis. Hal ini memungkinkan lapisan fungsional menjadi tempat
implantasi blastokista sedangkan lapisan basalis berperan dalam proses regenerasi setelah
degenerasi lapisan fungsional selama menstruasi. Selama periode regenerasi kelenjar pada
lapisan basalis mengadakan hubungan langsung dengan sel-sel berbentuk gelondong pada
stroma endometrium.
Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan invaginasi dari stratum
basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga bisa dilihat adanya hubungan langsung
antara stratum basalis endometrium dengan adenomiosis di dalam miometrium. Di daerah
ekstra-uteri misalnya pada plika rektovagina, adenomiosis dapat berkembang secara
embriologis dari sisa duktus Muller. Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam
miometrium pada masih harus dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas
mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA & siliogenesis di
lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan basalis. Lapisan fungsional sebagai
tempat implantasi blastocyst, sedangkan lapisan basalis sebagai sumber produksi untuk
regenerasi endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada saat
proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis berhubungan langsung dengan sel-sel
stroma endometrium yang membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan
gambaran sitoplasma pseudopodia.
Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar endometrium adenomiosis tidak
dapat digambarkan. Namun dalam studi invitro menunjukkan sel-sel endometrium memiliki
potensial invasif dimana potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan basalis
7
endometrium ke dalam miometrium. Dalam studi yang menggunakan hibridisasi &
imunohistokimia insitu menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih
mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada endometrium yang normal,
kelenjar-kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor hCG/LH. Hal ini mungkin
meskipun belum terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium berkaitan
dengan kemampuan untuk menembus miometrium dan membentuk fokal adenomiosis.
Menjadi menarik dimana peningkatan ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada karsinoma
endometrii dibandingkan kelenjar endometrium yang normal seperti halnya yang ditemukan
pada trofoblas invasif dibandingkan yang non-invasif pada koriokarsinoma. Studi tentang
reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan hasil yang tidak konsisten.
Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor progesteron pada 40% kasus
adenomiosis, sedangkan yang lain menunjukkan ekspresi reseptor progesterone yang lebih
tinggi dibandingkan estrogen. Dengan menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia,
ditemukan konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan
basalis endometrium maupun adenomiosis. Reseptor estrogen merupakan syarat untuk
pertumbuhan endometrium yang menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum
jelas evidensnya, hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi semenjak
ditemukan banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan adenomiosis.
Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan dalam perkembangan adenomiosis sebagaimana
halnya endometriosis. Hal ini didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen
dengan pemberian Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang dikaitkan
dengan gejala menoragia & dismenorea. Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent
seperti karsinoma endometri, endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat
reseptor Estrogen, namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi konversi androgen
menjadi estrogen. Prekursor utama androgen, Andronostenedione, dikonversi oleh aromatase
menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi oleh
enzim Estrogen sulfatase menjadi Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan adenomiosis.
Nantinya Estrone akan dikonversi lagi menjadi 17 -estradiol yangβ meningkatkan tingkat
aktivitas estrogen. Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi, akan menstimulasi
pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen. mRNA sitokrom P450
aromatase (P450arom) merupakan komponen utama aromatase yang terdapat pada jaringan
adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir secara imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan
adenomiosis (Jan, 2000).
8
5. Pemeriksaan Diagnostik
Sebagai dasar diagnosis adenomiosis adalah gejala klinik yang jelas, pembesaran
rahim asimetris, dan konsistensi rahim padat. Diagnosis pasti bila terdapat jaringan
endometrium di dalam otot rahim dengan pemeriksaan ahli patologi anatomi. Karena
adenomiosis merupakan endometriosis interna, secara umum pasien dengan endometriosis
saat dilakukan pemeriksaan fisik, akan ditemukan nodul pada ligamen uterus. Selain itu,
nodul juga ditemukan pada uterosacral. Rasa nyeri dialami pasien saat pemeriksaan
berlangsung. Pemeriksaan penunjang lain dibutuhkan untuk memastikan diagnosis
endometriosis, seperti USG (ultrasonografi) dan MRI (magnetic resonance imaging). Pada
beberapa kasus endometriosis, pasien mendapatkan hasil negatif dari pemeriksaan penunjang
sehingga dibutuhkan pemeriksaan yang lebih akurat. Pemeriksaan yang lebih akurat tersebut
ialah laparoskopi dengan biopsi serta pemeriksaan tumor marker CA-125.
Adanya riwayat menoragia dan dismenorea pada wanita multipara dengan
pembesaran uterus yang difus seperti hamil dengan usia kehamilan 12 minggu dapat
dicurigasi sebagai adenomiosis. Dalam kenyataannya, diagnosis klinis adenomiosis seringkali
tidak ditegakkan (75%) atau overdiagnosis (35%). Sehingga adanya kecurigaan klinis akan
adenomiosis dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan pencitraan berupa USG transvaginal dan
MRI.
Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal ini
disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga ditemukan pada
fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun endometriosis. Dulu,
diagnosis adenomiosis hanya dapat ditegakkan secara histologis setelah dilakukan
histerektomi. Dengan kemajuan dalam teknik pencitraan, diagnosis prehisterektomi bisa
ditegakkan dengan akurasi yang tinggi.
Pencitraan mempunyai 3 peran utama dalam mengelola pasien yang dicurigai adenomiosis
dari keadaan lain yang mirip seperti leiomiloma. Kedua, beratnya penyakit dapat disesuaikan
dengan gejala klinisnya. Ketiga, pencitraan dapat digunakan untuk monitoring penyakit pada
pasien dengan pengobatan konservatif. Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien
yang dicurigai adenomiosis yahitu histersalpingografi (HSG), USG transabdominal, USG
transvaginal dan MRI.
Gambaran karakteristik utama pada HSG berupa daerah yang sakit dengan kontras
intravasasi, meluas dari cavum uteri ke dalam miometrium, HSG memiliki sensitivitas yang
rendah.
9
Kriteria diagnostik dengan USG transabdominal yaitu uterus yang membesar
berbentuk globuler, uterus normal tanpa adanya fibroid, daerah kistik di miometrium dan
achogenik yang menurun di miometrium. Bazot dkk pada 2001 melaporkan bahwa USG
transabdominal memiliki spesifitas 95%, sensitivitas 32,5% dan akurasu 74,1% untuk
mendiagnosis adenomiosis. USG transabdominal memiliki kapasitas diagnostik yang terbatas
untuk adenomiosis terutama pada wanita yang terdapat fibroid.
Biasanya USG transabdominal dikombinasikan dengan USG transvaginal yang
menghasilkan kemampuan diagnostik yang lebih baik. Kriteria diagnostik dengan USG
tranvaginal untuk adenomiosis yaitu tekstur miometrium yang heterogen/distorsi, echotekstur
miometrium yang abnormal dengan batas yang tidak tegas, stria linier miometrium dan kista
miometrium. Bazot dkk melaporkan sensitivitas 65%. Spesifisitas 97,5% dan tingkat akurasi
86,6% dengan USG transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis dimana kriteria yang
paling sensitif dan spesifik untuk adenomiosis adalah adanya kista miometrium.
MRI merupakan modalitas pencitraan yang paling akurat untuk evaluasi berbagai
keadaan uterus. Hal ini karena kemampuannya dalam diferensiasi jaringan lunak. MRI dapat
melihat anatomi internal uterus yang normal dan monitoring berbagai perubahan fisiologis.
Menurut Bazot dkk, kriteria MRI yang paling spesifik untuk adenomiosis yaitu adanya
daerah miometrium dengan intensitas yang tinggi dan penebalan junctional zone >12mm.
Beberapa studi telah membandingkan akurasi pemeriksaan MRI dengan USG
transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis. Dalam studi-studi terdahulu menunjukkan
tingkat akurasi yang lebih tinggi dari pada MRI dibandingkan USG transvaginal. Namun
dalam studi-studi terakhir dikatakan tidak ada perbedaan tingkat akurasinya.
6. Manfestasi Klinis
1. Pembesaran rahim.
Pembesaran rahim dapat merata dengan tonjolan-tonjolan rahim yang besar atau dapat
pula seperti “tumor” yang terlokalisir.
2. Nyeri pelvis
3. Menstruasi yang banyak dan abnormal.
4. Pendarahan pada saat menstruasi dapat banyak sekali dan berhari-hari, mungkin
dengan bekuan-bekuan darah. Pendarahan yang hebat ini dapat menyebabkan anemia
(berkurangnya kadar Hemoglobin dalam sel darah merah). Selain itu diluar saat
menstruasi bisa ada pendarahan abnormal (pendarahan sedikit-sedikit, bercak-
bercak).
10
5. Nyeri, yang dirasakan terutama selama menstruasi disebut dysmenorrhea dapat berupa
kram yang hebat atau seperti disayat pisau. Nyeri dapat juga dirasakan pada saat tidak
sedang menstruasi.
6. Nyeri selama hubungan seksuali
7. Pembesaran rahim dapat merata dengan tonjolan-tonjolan rahim yang besar atau
dapat pula seperti tumor yang terlokalisir
7. Penatalaksanaan
Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi reproduksi
selanjutnya. Dismenorea skunder yang diakibatkan oleh adenomiosis dapat diatasi dengan
tindakan histerektomi, akan tetapi perlu dilakukan intervensi noninvasif terlebih dahulu.
Obat-obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), obat kontrasepsi oral dan progestin telah
menunjukan manfaat yang signifikan. Penanganan adenomiosis pada prinsipnya sesuai
dengan protokol penanganan endometriosis
a. Terapi hormonal
Pemberian terapi hormonal pada adenomiosis tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tidak ada bukti klinis yang menunjukkan adanya manfaat terapi
hormonal dapat mengatasi infertilitas akibat adenomiosis. Pemberian obat hormonal
hanya mengurangi gejala dan efeknya akan hilang setelah pemberian obat dihentikan.
Obat hormonal yang paling klasik adalah gonadotrophin releasing hormone agonist
(GnRHa), yang dapat dikombinasikan dengan terapi operatif. Mekanisme kerja
GnRHa adalah dengan menekan ekspresi sitokrom P450, suatu enzim yang
mengkatalisis konversi androgen menjadi estrogen. Pada pasien dengan adenomiosis
dan endometiosis enzim ini diekspresikan secara berlebihan (Campo S dkk, 2012).
b. Terapi operatif
Sampai saat ini histerektomi merupakan terapi definitif untuk adenomiosis. Indikasi
operasi antara lain ukuran adenomioma lebih dari 8 cm, gejala yang progresif seperti
perdarahan yang semakin banyak dan infertilitas lebih dari 1 tahun walaupun telah
mendapat terapi hormonal konvensional. Suatu teknik operasi baru telah
dipublikasikan oleh Osada pada tahun 2011. Dengan teknik adenomiomektomi yang
baru ini, jaringan adenomiotik dieksisi secara radikal dan dinding uterus
direkonstruksi dengan teknik triple flap. Teknik ini diklaim dapat mencegah ruptur
uterus apabila pasien hamil. Dalam penelitian tersebut, dari 26 pasien yang
mengharapkan kehamilan, 16 diantaranya berhasil dan 14 dapat mempertahankan
11
kehamilan nya hingga aterm dengan bayi sehat tanpa penyulit selama kehamilan.
Akan tetapi teknik ini belum diterima secara luas karena masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut (Campo S dkk, 2012).
Pil Kontrasepsi Oral dan Progestin Walaupun belum adanya penelitian randomized
controlled trial (RCT) terhadap penggunaan pil kontrasepsi oral secara kontinyu pada pasien
adenomiosis, pasien dengan keluhan dismenorea dan menoragia, namun terapi ini dapat
menyebabkan berkurangnya gejala. Penggunaan progestin dosis tinggi secara kontinyu
misafnya penggunaan norethindrone acetate atau depot medroxyprogesterone subkutan belum
diteliti sebagai terapi adenomiosis, namun mereka berperan sebagai agen hormonal supresif
yang dapat menyebabkan regresi adenomiosis sementara. Levonogestrel Intrauterine Device
Levonogestrel intrauterine system (LNG-IUS) melepaskan 20 pg levonogestrel per hari, dosis
tersebut efektif untuk terapi adenomiosis.
Levonogestrel intrauterine system menyebabkan desidualisasi endometrium untuk
mengurangi perdarahan dan diduga bekerja langsung pada deposit adenomiotik dengan cara
melakukan downregulatian reseptor estrogen. Hal ini yang akan memperkecil
ukuraadenomiosis.mperbaiki kontraktilitas uterus untuk mengurangi perdarahan, dan
mengurangi dismenorea dengan cara mengurangi produksi prostaglandin di dalam
endometrium. Danazol Danazol adalah turunan 19-nortestosterone androgen yang memiliki
efek seperti progestin yang menyebabkan inhibisi langsung enzim ovarium yang berperan
terhadap produksi estrogen clan sekresi gonadotropin hipofisis. Penggunaan preparat ini pada
adenomiosis terbatas karena efek samping yang ditimbulkan seperti kenaikan berat badan,
kram otot, berkurangnya ukuran payudara, timbulnya jerawat, hirsutisme, kulit berminyak,
penurunan tingkat lipoprotein densitas tinggi, peningkatan konsentrasi enzim hati, hat flashes,
perubahan mood, depresi, dan perubahan suara. Setelah terapi sistemik dengan danazol
terjadi penurunan reseptor estrogen yang menyebabkan ukuran uterus mengecil dan
membaiknya gejala. GnRH agonist GnRH agonist berikatan dengan reseptor GnRH di
hipofisis yang akan menyebabkan downregulation aktivitas GnRH. Cara pemberian terapi ini
adalah injeksi secara subkutan atau intramuskuiar. Terapi ini diberikan terbatas dalam 3-6
bulan karena efek samping yang ditimbulkan, misalnya hot flushes dan penurunan densitas
tulang 4 Beberapa penelitian yang menggunakan preparat ini menunjukkan hasil adanya
reduksi ukuran uterus, induksi amenorea clan menghilangnya nyeri pelvis selama terapi 3-6
bulan. Selain itu beberapa laporan kasus melaporkan bahwa pasien infertil dengan
adenomiosis yang mendapat terapi dengan GnRH agonist hamil dalam enam bulan setelah
penghentian terapi.8,9 Aromatase Inhibitor Ekspresi aromatase cytochrome P-450 tefah
12
diteliti pada implan endometriosis. Enzim ini mengubah androgen menjadi estrogen. Pada
beberapa laporan kasus clan randomized trial terapi ini berhasil untuk mengobati
endometriosis derajat berat." Namun belum ada penelitian mengenai peran aromatase
inhibitor sebagai pilihan pengobatan adenomiosis.
Pada kasus asymtomatik dan tidak teraba tumor yang besar maka tak perlu diberikan
terapi khusus. Pada kasus dengan gejala dan teraba tumor yang besar, sebaiknya dilakukan
histerektomi oleh karena terapi hormonal tidak memberi manfaat .
Penatalaksanaan Standar penatalaksanaan adenomyosis adalah histerektomi.
Meskipun begitu, tantangan yang muncul saat ini adalah bagaimana mengurangi gejala pada
wanita dengan menggunakan terapi obat-obatan konservatif atau memilih terapi pembedahan
untuk mempertahankan fungsi fertilitas. Penggunaan pil kontrasepsi oral pada pasien
adenomyosis dengan menorrhagia dan dismenorrhea dapat sedikit mengurangi keluhan.
Penggunaan progestin dosis tinggi seperti pil oral norethindrone asetat jangka panjang
atau medroxyprogesteron depo belum pernah diteliti sebagai terapi adenomyosis, tetapi
peranan mereka sebagai terapi supresi hormon dapat sedikit banyak memicu regresi jaringan
adenomyosis. Terapi bedah konservatif lainnya seperti eksisi otot adenomyosis, reduksi dan
elektrokoagulasi dapat dilakukan namun tidaklah seefektif histerektomi karena kesulitan
dalam mengeksisi dan mengkoagulasi fokus jaringan secara utuh. Hasil akhir dari segala
prosedur ini telah menunjukkan angka keberhasilan menjadi hamil yang cukup rendah akibat
reduksi volume uterus dan jaringan parut. Teknik terbaru seperti operasi sonografi dengan
guidance MRI dan ambolisasi arteri uterina masih membutuhkan studi lebih lanjut. Saat ini,
histerektomi tetap menjadi standard terapi dalam tatalaksana adenomyosis.
8. Komplikasi
Kondisi adenomyosis tidak selalu berbahaya. Beberapa pasien adenomyosis
mengalami perdarahan yang berlebihan dan nyeri panggul yang dapat mengganggu aktivitas
normal, termasuk hubungan seksual. Wanita dengan adenomiosis berada pada peningkatan
risiko anemia akibat perdarahan yang tidak terkontrol. Anemia adalah suatu kondisi yang
sering disebabkan oleh kekurangan zat besi. Tanpa zat besi yang cukup, tubuh tidak dapat
membuat sel-sel darah merah yang cukup untuk membawa oksigen ke jaringan tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan kelelahan, pusing, dan kemurungan. Kehilangan darah yang berlebihan
terkait dengan adenomiosis dapat menyebabkan pengurangan kadar zat besi dalam tubuh,
yang dapat menyebabkan anemia.
13
Adenomyosis juga telah dikaitkan dengan kecemasan, depresi, dan mudah
tersinggung. Adenomyosis juga dapat mengalami perubahan keganasan menjadi
adenokarsinoma primer.
9. Pemeriksaan Penunjang
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Nama : Ny. N
14
Umur : 40 tahun,
Jenis kelamin : perempuan,
pendidikan : SMA
Staus pernikahan : menikah
Pekerjaan : IRT
2. Keluhan utama
Nyeri tak tertahankan
3. Riwayat Penyakit Sekarang
P :Faktor pencetus nyeri adalah menstruasi pre op
Q :Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk
R :Nyeri dirasakan di sekitar panggul hingga menjalar ke abdomen
S :skala nyeri 5-10
T :Waktu nyeri dirasakan ketika menstruasi datang
Klien pasca operasi histerektomi.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mengalami nyeri tak tertahankan bila menstruasi seperti akan pingsan. Kondisi
ini dirasakan sejak 3 tahun lalu, tapi saat itu nyeri masih dapat ditahan. Sekarang nyeri
tak tertahankan. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter: penebalan dinding uterus.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dalam keluarganya tidak ada yang menderita keluhan yang sama seperti pasien
6. Riwayat Obstetri :
G6P4A2
7. Riwayat ginekologi
Menarche usia 14 tahun. Siklus 28 hari teratur tiap bulan, mengalami nyeri mens,
setelah menikah nyeri tak pernah dirasakan lagi. Menikah usia 21 tahun. Punya 4 anak
(3 laki-laki, 1 perempuan). Keguguran 2 x dan dikuret di RS.
8. Pola aktivitas sehari-hari
Pola makan dan minum
Tidak terkaji
Pola istirahat tidur
Tidak terkaji
Pola eliminasi urine dan alvi
Tidak terkaji
15
9. Riwayat Psikologis klien
Klien tampak sedih, menangis, banyak berdiam diri, menyalahkan diri sendiri.
10. Kebutuhan belajar
Klien bertanya tentang proses penyembuhan luka, perubahan fisik setelah operasi, dan
hubungan seks dengan suami.
1. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : lemah
Tingkat Kesadaran : compos mentis
TTV :
HR : 80 x/ mnt
RR : 20 x/ mnt
TD : 110/70 mmHg
T : 36,5 C
2. Pengkajian Fisik
1) Kepala dan leher
Kepala : rambut klien bersih dan lembut
Muka : wajah klien terlihat pucat
Mata : konjungtiva anemis
Mulut : keadaan mulut klien lembab, kemerahan
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar limfe, pembesaran
kelenjar tiroid maupun pembesaran vena jugularis
2) Abdomen
Tedapat luka bekas oprasi sepanjang 15 cm dari simfisis kepusat Kering
balutan bersih, tidak terdapat pembesaran abnormal
3) Ekstermitas atas bawah
Tidak terdapat oedema, sianosis, pada kaki dan tangan, serta keadaan
kuku kemerahan.
16
Prosedur Infasif Immune Status Pertahankan teknik
Kerusakan jaringan Knowledge : Infection aseptif
dan peningkatan control Batasi pengunjung bila
paparan lingkungan Risk control perlu
Malnutrisi Setelah dilakukan tindakan Cuci tangan setiap
Peningkatan paparan keperawatan selama…… sebelum dan sesudah
lingkungan patogen pasien tidak mengalami tindakan keperawatan
Imonusupresi infeksi dengan kriteria hasil: Gunakan baju, sarung
Tidak adekuat tangan sebagai alat
Klien bebas dari tanda
pertahanan sekunder pelindung
dan gejala infeksi
(penurunan Hb, Ganti letak IV perifer
Menunjukkan
Leukopenia, dan dressing sesuai
kemampuan untuk
penekanan respon dengan petunjuk umum
mencegah timbulnya
inflamasi) Gunakan kateter
infeksi
Penyakit kronik intermiten untuk
Jumlah leukosit dalam
Imunosupresi menurunkan infeksi
batas normal
Malnutrisi kandung kencing
Menunjukkan
Pertahan primer tidak Tingkatkan intake
perilaku hidup sehat
adekuat (kerusakan nutrisi
Status imun,
kulit, trauma jaringan, Berikan terapi
gastrointestinal,
gangguan peristaltik) antibiotik:.............
genitourinaria dalam
batas normal Monitor tanda dan
gejala infeksi sistemik
dan lokal
Pertahankan teknik
isolasi k/p
Inspeksi kulit dan
membran mukosa
terhadap kemerahan,
panas, drainase
Monitor adanya luka
17
Dorong masukan
cairan
Dorong istirahat
Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan
gejala infeksi
Kaji suhu badan pada
pasien neutropenia
setiap 4 jam
18
dalam batas
normal
Perasaan fresh
sesudah
tidur/istirahat
Mampu
mengidentifika
si hal-hal yang
meningkatkan
tidur
3. Ansietas
Factor yang berhubungan NOC NIC
Perubahan dalam: Tingkat ansietas Bimbingan antisipasi:
-status ekonomi Pengendalian diri mempersiapkan pasien
-Lingkungan terhadap ansietas menghadapi
-Status kesehatan Konsentrasi kemungkinan krisis
-Pola interaksi Koping perkembangan atau
-Fungsi peran Kriteria hasil: situasional
Ancaman pada: Ansietas berkurang Penurunan ansietas;
-status ekonomi Menunjukan meminimalkan
-lingkungan pengendalian diri kekhawatiran,
-Status kesehatan terhadap ansietas ketakutan, perasaan
-Pola interaksi tidak tenang yang
-Fungsi peran berhubungan dengan
-konsep diri sumber bahaya yang di
Pemajanan toksin antisipasi dan tidak
Terkait keluarga jelas
Infeksi/kontaminasi Teknik menenangkan
interpersonal diri; meredakan
Penularan penyakit kecemasan pada pasien
interpersonal yang mengalami
19
Stress Penigkatan koping;
Ancaman kematian membantu pasien
Kebutuhan yang tidak untuk beradaptasi
terpenuhi dengan persepsi
stressor, perubahan
atau ancaman yang
menghambat
pemenuhan tuntutan
dan peran hidup
Dukungan emosi;
memberi penenangan,
penerimaan, dan
dukungan selama
stress.
20
sebagian anggota dilakukan.
tubuh Membantu klien menetukan
Berubahnya kegiatan yang akan dilatih
penampilan/bentu sesuai dengan kemampuan
k tubuh klien.
Menurunnya Melatih klien sesuai dengan
produktivitas kemampuan yang dipilih.
Memberikan pujian yang
wajar terhadap keberhasilan
klien.
Strategi pelaksanaan 2
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian klien,
b. Melatih kemampuan
keduanya
c. Menganjurkan klien
memasukan dalam jadwal
harian.
KELUARGA :
Strategi pelaksanaan 1
a. a. Mendiskusikan masalah yang
dirasakan keluarga dalam merawat
klien.
b. b. Menjelaskan pengertian, tanda
dan gejala harga diri rendah yang
dialami klien beserta proses
terjadinya.
Strategi Pelaksanaan 2
a. Melatih keluarga untuk
memperaktikan cara merawat
klien harga diri rendah.
b. Melatih keluarga melakukan
cara merawat langsung kepada
21
klien harga dri rendah.
Strategi pelaksanaan 3
a. Membantu keluarga membuat
jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat.
b. Menjelaskan followup klien
setelah pulang.
Operasi Histerektomi atau pengangkatan rahim (uterus) adalah suatu prosedur operatif
dimana seluruh organ dari uterus diangkat yang sangat umum dilakukan. Bila kasus yang
dihadapi pasien adalah keganasan seperti kanker serviks, kanker rahim, atau kanker indung
telur, dan sudah ditegakkan dengan hasil pemeriksaan laboratorium patologi anatomi, maka
pilihan operasi histerektomi pengangkatan rahim merupakan pilihan terbaik yang dianjurkan
untuk menyelamatkan jiwa pasien.
Operasi histerektomi dibagi dalam beberapa tingkatan, yaitu:
Operasi Histerektomi total: pengangkatan rahim dan serviks, tanpa ovarium dan tuba
falopi
23
Operasi Histerektomi subtotal: pengangkatan rahim saja, serviks, ovarium dan tuba
falopi tetap dibiarkan.
Operasi Histerektomi total dan salpingo-oporektomi bilateral: pengangkatan rahim,
serviks, ovarium dan tuba falopi.
Operasi histerektomi yang dilakukan memiliki teknik dan klasifikasi beragam. Ada
yang dilakukan dengan teknik pengangkatan melalui perut (abdominal histerektomi) adapula
teknik pengangkatan melalui vagina (vaginal histerektomi).
Masing-masing teknik sesuai indikasi pengangkatan. Vaginal histerektomi dapat
dilakukan bila kasus yang ditemui bukan kasus keganasan maupun perdarahan uteri.
Kelebihan dari vaginal histerektomi, antara lain mengurangi tingkat rasa nyeri yang dirasakan
pasien, terutama pasca operasi.
Operasi histerektomi adalah prosedur operasi yang aman, tetapi seperti halnya bedah
besar lainnya, selalu ada risiko komplikasi. Beberapa diantaranya adalah pendarahan dan
penggumpalan darah (hemorrgage/hematoma) pos operasi, infeksi dan reaksi abnormal
terhadap anestesi.
24
ANALISIS KASUS
25
perubahan Pain Level Fasilitasi untuk
fisik post Rest : Extent and Pattern mempertahankan aktivitas
operasi dan Sleep : Extent ang Pattern sebelum tidur (membaca)
hubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Ciptakan lingkungan yang
seksual gangguan pola tidur pasien teratasi dengan nyaman
dengan kriteria hasil: Kolaburasi pemberian obat
suami tidur
Jumlah jam tidur dalam batas
normal
Pola tidur, kualitas dalam batas
normal
Perasaan fresh sesudah
tidur/istirahat
Mampu mengidentifikasi hal-hal
yang meningkatkan tidur
3. Ansietas b.d perubahan dalam status kesehatan, ancaman pada fungsi peran, krisis
situasional.
DATA NOC NIC
Mengkha Tingkat ansietas Bimbingan antisipasi:
watirkan Pengendalian diri terhadap ansietas mempersiapkan pasien
perubaha Konsentrasi menghadapi
n fisik Koping kemungkinan krisis
post Kriteria hasil: perkembangan atau
operasi Ansietas berkurang situasional
dan Menunjukan pengendalian diri terhadap Penurunan ansietas;
hubungan ansietas meminimalkan
seksual kekhawatiran, ketakutan,
dengan perasaan tidak tenang
suami yang berhubungan
26
dengan sumber bahaya
yang di antisipasi dan
tidak jelas
Teknik menenangkan
diri; meredakan
kecemasan pada pasien
yang mengalami distress
akut
Penigkatan koping;
membantu pasien untuk
beradaptasi dengan
persepsi stressor,
perubahan atau ancaman
yang menghambat
pemenuhan tuntutan dan
peran hidup
Dukungan emosi;
memberi penenangan,
penerimaan, dan
dukungan selama stress.
27
dimiliki klien.
Membantu klien menilai
kemampuan yang masih dapat
dilakukan.
Membantu klien menetukan
kegiatan yang akan dilatih
sesuai dengan kemampuan
klien.
Melatih klien sesuai dengan
kemampuan yang dipilih.
Memberikan pujian yang
wajar terhadap keberhasilan
klien.
KELUARGA :
c. a. Mendiskusikan masalah yang
dirasakan keluarga dalam merawat
klien.
d. b. Menjelaskan pengertian, tanda
dan gejala harga diri rendah yang
dialami klien beserta proses
terjadinya.
e. c. Melatih keluarga untuk
memperaktikan cara merawat klien
harga diri rendah.
f. d. Melatih keluarga melakukan cara
merawat langsung kepada klien
harga dri rendah.
g. e. Menjelaskan follow up klien
setelah pulang.
28
histerektomi pola seksualitas dengan kriteria medis yang dibuat untuk
Mengkhawatirkan hasil: mengontrol gejala penyakit
perubahan fisik Mengidentifikasi 2. berikan informasi yang tepat pada
post operasi dan keterbatasannya pada aktivitas klien dan pasangannya tentang
hubungan seksual yang disebabkan keterbatasan fungsi seksual yang
seksualdengan masalah kesehatan disebabkan oleh keadaan sakit
suami Mengidentifikasi modifikasi 3. ajarkan modifikasi yang mungkin
kegiatan seksual yang pantas dalam kegiatan seksual dapat
dalam respon terhadap membantu penyesuaian dengan
keterbatasannya keterbatasan akibat sakit.
29
Daftra Pustaka
30