Anda di halaman 1dari 17

BLOK MEDICAL EMERGENCY

SELF LEARNING REPORT


CASE STUDY 1
“Insisi dan Drainase”

TUTOR:
_____________________

DISUSUN OLEH:
Dewi Sartieka Putri
G1B015004

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

2019
“Insisi dan Drainase”

A. Definisi, Penyebab dan Fase-fase Abses


Abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu
rongga (rongga abses) yang sebelumnya tidak ada dan berbatas tegas
(Rassner dkk, 1995). Menurut Smeltzer, S.C dkk (2001), abses adalah infeksi
bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus (bakteri, jaringan
nekrotik dan SDP). Abses adalah infeksi akut yang terlokalisir pada rongga
yang berdinding tebal, manifestasinya berupa peradangan, pembengkakan
yang nyeri jika ditekan, dan kerusakan jaringan setempat. Penyebaran infeksi
tergantung pada lokasi gigi yang terkena serta penyebab virulensi organisme.
Penyebab utama terjadinya abses yaitu adanya benda asing yang diikuti
bakteri pyogenic (Stapilococcus Spp, Esceriscia coli, Streptokokkus beta
haemoliticus Spp, Pseudomonas, Mycobakteria, Pasteurella multocida,
Corino bacteria, Achinomicetes) dan juga bakteri yang bersifat obligat
anaerob (Bakteriodes sp, cClostridium, peptostreptokokkus,fasobakterium).
Infeksi bisa menyebar, baik secara lokal maupun sistemik. Penyebaran infeksi
melalui aliran darah bisa menyebabkan sepsis. Maka dari itu penanganan
abses perlu sesegera mungkin. Jika abses akan pecah, maka daerah pusat
benjolan akan lebih putih karena kulit diatasnya menipis.
Kemungkinan terbentuknya abses meningkat pada:
1. Adanya kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya infeksi
2. Daerah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang
3. Individu dengan gangguan sistem kekebalan.
4. Individu dengan gangguan vaskular
Underwood (1999) mengemukakan penyebab abses antara lain:
1. Infeksi microbial
Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang
ialah infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara
multiplikasi intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik
yaitu suatu sintesis kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang
atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel.
2. Reaksi hipersentivitas
Reaksi hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi
mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan
merusak jaringan.
3. Agen fisik
Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma
fisik, ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih
(frosbite).
4. Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa)
akan merusak jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya
proses radang. Disamping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan
bahan kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung mengakibatkan
radang.
5. Nekrosis jaringan
Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya
pasokan oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan
mengakibatkan terjadinya kematian jaringan, kematian jaringan sendiri
merupakan stimulus yang kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah
infark sering memperlihatkan suatu respons, radang akut.
Fase-fase terjadinya abses terdiri dari tiga fase Smeltzer dkk., (2001)
yaitu diantaranya:
1. Serose
Serose merupakan tahap awal terjadinya abses dan terjadi setelah 36 jam.
Pada fase ini akan terjadi hiperemi dan mengandung neutrofil.
2. Seluler
Fase seluler merupakan fase kedua. Pada fase ini akan neutrofil akan
terakumulasi dan mulai terbentuk abses dan bersifat fluktuatif.
3. Reparative
Fase yang terakhir adalah reparative. Pada fase ini mulai terbentuk
jaringan granulasi.
Fase terjadinya abses bermula dari trauma mayor ataupun minor yang
diikuti masuknya bakteri. Eksudat kemudian terakumulasi, jika tidak segera
diekskresikan atau di absorbsi tubuh, maka akan memicu terbentuknya kapsul
fibrous sebagai respon tubuh untuk melokalisir untuk membatasi penyebaran
lebih lanjut (Smeltzer dkk., 2001)
Masuknya bakteri ke dalam dinding saku jaringan lunak merupakan
awal terjadinya abses periodontal. Sel-sel inflamatori kemudian ditarik oleh
faktor kemotaksis yang dilepaskan oleh bakteri dan bersama dengan reaksi
inflamatori akan menyebabkan destruksi jaringan ikat, enkapsulasi dari
infeksi bakteri dan memproduksi pus. Secara histologis, akan ditemukan
neutrofil-neutrofil yang utuh mengelilingi bagian tengah debris jaringan lunak
dan destruksi leukosit. Pada tahap berikutnya, membran piogenik yang terdiri
dari makrofag dan neutrofil telah terbentuk. Laju destruksi abses tergantung
pada pertumbuhan bakteri di dalamnya, virulensinya dan pH lokal. Adanya
pH asam akan memberi keuntungan terhadap enzim lisosom (Toppo dkk.,
2010).

B. Tanda Lokal dan Sistemik


Smeltzer dkk., (2001) mengemukakan bahwa pada abses terjadi nyeri
tekan. Manifestasi klinis pada abses meliputi nyeri lokal, bengkak dan
kenaikan suhu tubuh. Leukositosis juga terjadi pada abses (Lewis, 2000).
Tanda-tanda lokal infeksi meliputi kemerahan, bengkak, terlihat jelas (lebih
dari 2,5 cm dari letak insisi), nyeri tekan, kehangatan meningkat disekitar
luka, warna merah jelas pada kulit disekitar luka, pus atau rabas, bau
menusuk, menggigil atau demam (lebih dari 37,7oC/100oF) (Smeltzer dkk.,
2001).
Pada abses akan terbentuk indurasi disertai reaksi inflamasi disekitarnya
yang lama-kelamaan terbentuk masa kistik dengan temperatur yang lebih
hangat dibandingkan jaringan sehat. Pada palpasi akan didapatkan adanya
fluktuasi sebagai akibat dari banyaknya eksudat yang terbentuk (Karasutisna
dkk., 2005).
Gejala sistemik yang terjadi bisa timbul demam yang berulang.
Gejalanya bisa timbul diantaranya, yaitu (Pedersen, 2002):
1. Adanya masa
2. Nyeri
3. Teraba hangat
4. Pembengkakan
5. Kemerahan

C. Abses Periodontal dan Abses Dentoalveolar


1. Abses Periodontal
Abses periodontal dapat diklasifikasikan atas 3 kriteria, yaitu: Berdasarkan
lokasi abses (Fragiskos, 2007) diantaranya, yaitu:
a. Abses gingival
Abses gingiva merupakan infeksi lokal purulen yang terletak pada
marginal gingiva atau papila interdental dan merupakan lesi inflamasi
akut yang mungkin timbul dari berbagai faktor, termasuk infeksi plak
mikroba, trauma, dan impaksi benda asing. Gambaran klinisnya
merah, licin, kadang-kadang sangat sakit dan pembengkakan sering
berfluktuasi.
b. Abses periodontal
Abses periodontal merupakan infeksi lokal purulen di dalam dinding
gingiva pada saku periodontal yang dapat menyebabkan destruksi
ligamen periodontal dan tulang alveolar. Abses periodontal secara
khusus ditemukan pada pasien dengan periodontitis yang tidak dirawat
dan berhubungan dengan saku periodontal yang sedang dan dalam,
biasanya terletak diluar daerah mukogingiva.
c. Abses perikoronal
Abses perikoronal merupakan akibat dari inflamasi jaringan lunak
operkulum, yang menutupi sebagian erupsi gigi. Keadaan ini paling
sering terjadi pada gigi molar tiga rahang atas dan rahang bawah.
Abses perikoronal dapat disebabkan oleh retensi dari plak mikroba
dan impaksi makanan atau trauma. Gambaran klinis berupa gingiva
berwarna merah terlokalisir, bengkak, lesi yang sakit jika disentuh dan
memungkinkan terbentuknya eksudat purulen, trismus, limfadenopati,
demam dan malaise.
Berdasarkan jalannya lesi, dapat dibagi menjadi (Fragiskos, 2007)
diantaranya, yaitu:
a. Abses periodontal akut
Abses periodontal akut biasanya menunjukkan gejala seperti sakit,
edematous, lunak, pembengkakan, dengan penekanan yang lembut di
jumpai adanya pus, peka terhadap perkusi gigi dan terasa nyeri pada
saku, sensitifitas terhadap palpasi dan kadang disertai demam dan
limfadenopati.
b. Abses periodontal kronis
Abses periodontal kronis biasanya berhubungan dengan saluran sinus
dan asimtomatik, walaupun pada pasien didapatkan gejala-gejala
ringan. Abses ini terbentuk setelah penyebaran infeksi yang
disebabkan oleh drainase spontan, respon host atau terapi. Setelah
hemeostatis antara host dan infeksi tercapai, pada pasien hanya sedikit
atau tidak terlihat gejalanya. Namun rasa nyeri yang tumpul akan
timbul dengan adanya saku periodontal, inflamasi dan saluran fistula.
Berdasarkan jumlah abses, dibagi menjadi (Fragiskos, 2007)
diantaranya, yaitu:
a. Abses periodontal tunggal
Abses periodontal tunggal biasanya berkaitan dengan faktor-faktor
lokal mengakibatkan tertutupnya drainase saku periodontal yang ada.
b. Abses periodontal multipel
Abses ini bisa terjadi pada pasien diabetes mellitus yang tidak
terkontrol, pasien dengan penyakit sistemik dan pasien dengan
periodontitis tidak terawat setelah terapi antibiotik sistemik untuk
masalah non oral. Abses ini juga ditemukan pada pasien multipel
eksternal resopsi akar, dimana faktor lokal ditemukan pada beberapa
gigi.
2. Abses Dentoalveolar
Merupakan infeksi akut purulen yang berkembang pada bagian
apikal gigi pada tulang cancellous. Biasanya disebabkan oleh bakteri
yang berasal dari gigi yang terinfeksi baik pada maksila maupun pada
mandibula. Gejala yang khas adalah rasa sakit yang berat, gigi goyang,
serta gigi penyebab serasa memanjang. Perawatan pertama bertujuan
untuk mengurangi rasa sakit dan dilanjutkan dengan drainase
(Karasutisna dkk., 2005)

D. Spasium Abses
1. Abses Spasium Sublingual
Merupakan abses yang terbentuk pada spasia sublingual di atas
musculus mylohyoid kanan atau kiri. Biasanya disebabkan oleh infeksi
pada gigi anterior, premolar, atau gigi molar pertama mandibula. Spasia
sublingual dibatasi oleh mukosa dasar mulut, musculus mylohyoid,
permukaan mandibula, os mylohyoid, dan septum lingua. Spasia
sublingual mengandung ductus wharton, glandula sublingual, nervus
lingualis, cabang terminal arteri lingual dan sebagian glandula
submandibula. Secara klinis terlihat pembesaran mukosa pada dasar
mulut menyebabkan lidah terangkat. Pasien kesulitan berbicara
disebabkan oleh edema, dan nyeri saat menggerakkan lidah (Pedersen,
2002).
2. Abses Spasium Submandibular
Spasia submandibular dibatasi oleh corpus mandibula, venter
anterior dan posterior musculus digastricus, ligament stylohyoid,
musculus mylohyoid dan musculus hyoglossus. Spasia ini mengandung
glandula submandibula dan linfonodi submandibula. Biasanya
disebabkan oleh infeksi yang berasal dari molar pertama dan kedua
mandibula. Dapat pula berasal dari penyebaran infeksi dari spasia
sublingual dan submental. Submandibular absess terlihat sebagai
pembesaran ringan pada daerah submandibular yang menyebar
menyebabkan kulit mengeras dan berwarna merah. Sudut mandibula
menghilang, serta terdapat nyeri saat palpasi dan trismus ringan
(Pedersen, 2002).
3. Abses Spasium Subperiosteal
Adalah abses yang terletak diantara tulang dan periosteum baik
pada bukal, palatal, maupun lingual gigi penyebab infeksi. Gejala yang
ditimbulkan adalah edema ringan, rasa sakit karena tekanan pada
periosteum serta sensitif pada palpasi. Perawatan dilakukan dengan
membuat insisi intraoral dan drainase. Insisi dilakukan pada mukosa
dengan menghindari saraf dan pembuluh darah (Uluibau dkk., 2005).
4. Abses Spasium Submucosal
Abses ini tepat terletak di bawah mukosa vestibular bukal maupun
palatal/lingual gigi yang menjadi sumber infeksi. Secara klinis terlihat
pembesaran mukosa dengan fluktuasi yang jelas, sensitif terhadap
palpasi, serta hilangnya lipatan mucobukal pada area infeksi. Perawatan
dilakukan dengan insisi superfisial dengan pisau bedah. Hemostat kecil
lalu dimasukkan untuk memperbesar drainase dan rubber drain
dimasukkan untuk menjaga drainase tetap terbuka minimal 48 jam.
Insisi pada palatal dilakukan dengan menghindari arteri, vena, dan
nervus palatinus mayor (Pedersen, 2002).
5. Abses Spasium Fossa Canina
Abses ini biasanya berasal dari gigi anterior, dan jarang dari gigi
premolar. Terjadinya tanda klinis yang paling dramatis termasuk
pembengkakan substansial pada daerah atas pipi, dengan rasa sakit
yang terletak di wilayah fossa kaninus. Kulit di atasnya tampak tertarik,
eritem, dan pada umumnya mengkilap. Edema sering terjadi pada bibir
atas dan kelopak mata. Jaringan lunak hidung juga mungkin akan
terkena dampaknya. Rasa sakit yang parah dan menjalar menuju sudut
orbital median merupakan indikasi kemungkinan infeksi melalui vena
(Pedersen, 2002).
6. Abses Spasium Vestibular
Abses vestibular biasanya berasal dengan gigi premolar rahang atas
dan geraham. Pemeriksaan klinis biasanya memperlihatkan
pembengkakan yang terasa sakit dalam vestibulum bukal dekat gigi
yang menyebabkan kondisi tersebut. Pengobatan terdiri dari membuka
abses, drainase, dan penghapusan etiologi. Incisi utama harus vertikal,
ini memudahkan untuk membuat flap yang tepat jika kemudian
diperlukan untuk menutup sinus (Balaji, 2009).
7. Abses Spasium Pipi
Abses vestibular dari rahang atas, serta dari mandibula, dapat
menyebar ke jaringan lunak pipi. Jika abses berkembang menuju ke
arah cranial, memenuhi jaringan adiposa di pipi, dengan penyebaran
berikutnya pada bidang anatomi menuju fossa infratemporal atau fossa
pterygopalatine. Kemungkinan terjadi penyebaran lebih lanjut pada
dorsal dan cranial. Pengobatan terdiri dari membuka abses dan
memperbesar rongga abses (Balaji, 2009).
8. Abses Spasium Temporal
Infeksi pada spasium temporal dapat disebabkan oleh penyebaran
infeksi dari spasium infratemporal, dimana bagian tersebut
berhubungan. Abses pada ruang ini dapat merupakan perkembangan
sekunder dari sinusitis maksila, fraktur sinus maksilaris, artroskopi
temporomandibular, dan injeksi obat. Lebih umum, infeksi ruang
temporal berkaitan dengan ekstraksi gigi yang terinfeksi dan tidak
terinfeksi. Infeksi yang berasal dari odontogenik lebih sering dikaitkan
dengan gigi molar rahang atas (Toppo dkk., 2010).

E. Cellulitis
Merupakan kondisi inflamasi difus akut yang menginfiltrasi jaringan
ikat longgar di bawah kulit. Cellulitis biasanya berasal dari infeksi gigi,
mikroorganisme yang bertanggung jawab adalah golongan streptococcus
dan staphylococcus. Penyakit ini dikarakteristikkan dengna pusing disertai
edema dan kemerahan pada kulit. Edema memiliki batas tidak jelas dan
dapat berada di berbagai tempat tergantung gigi yang terinfeksi. Jika gigi
posterior mandibula yang bertanggung jawab, edema berada pada
submandibular dan pada kasus yang parah dapat menyebar ke pipi dan sisi
berlawanan menyebabkan perubahan bentuk wajah. Jika infeksi berasal
dari gigi anterior maksila, edema dapat melibatkan bibir atas sehingga
terlihat protrusif (Pedersen, 2002).
Pada tahap awal, cellulitis terasa lunak pada palpasi dan tidak
terdapat pus. Pada tahap lanjut, penebalan terlihat dan terdapat adanya
supurasi serta terdapat pus pada dasar lidah. Perawatan dilakukan dengan
pemberian antibiotik dosis tinggi seperti penicillin atau ampicillin.
Dilanjutkan dengan terapi panas untuk mengurangi supurasi. Pada beberapa
kasus diperlukan drainase dapat pada satu atau beberapa tempat untuk
mengeluarkan eksudat. Pada kasus yang parah sebaiknya dirujuk ke rumah
sakit (Balaji, 2009).

F. Ludwig’s Angina
Merupakan infeksi cellular akut yang secara bilateral melibatkan
ruang submandibular, sublingual, dan submental serta dapat berakibat fatal
ditidak dilakukan perawatan. Penyebabnya dapat berasal dari infeksi
periapikal atau periodontal pada gigi mandibula khususnya pada gigi yang
memiliki apeks di bawah musculus mylohyoid. Pasien mengalami demam
disertai kesulitan menelan, berbicara dan bernafas. Secara klinis terlihat
bebesaran yang keras seperti papan dikarenakan pus terletak pada jaringan
yang dalam. Secara intra oral, terdapat edema dasar mulut yang keras
sehingga lidah terangkat dan menyebabkan tersumbatnya saluran udara
(Pedersen, 2002).
Perawatan dilakukan dengan pembedahan untuk drainase infeksi dan
pemberian antibiotik dosis ganda. Insisi dilakukan secara bilateral, intra
oral, sejajar di medial batas bawah mandibula pada regio premolar dan
molar. Lalu insisi intra oral sejajar denganduktus submandibula. Rubber
drain di tempatkan minimal selama 3 hari sampai gejala klinis reda. Pada
kasus dengan obstruksi nafas yang parah, pembedahan saluran nafas harus
dilakukan (Fragiskos, 2007).

G. Patofiologi Infeksi Oromaksilofasial


Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap
abses dentoalveolar, tahap yang menyangkut spasium, dan tahap lebih
lanjut yang merupakan tahap komplikasi. Suatu abses akan terjadi bila
bakteri dapat masuk ke jaringan melalui suatu luka ataupun melalui folikel
rambut. Pada abses rahang dapat melalui foramen apikal atau marginal
gingival. Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari
kerusakan gigi atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar
periapikal di daerah membran periodontal berupa suatu periodontitis
apikalis. Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan membran
periodontal di apikal mengadakan reaksi membentuk dinding untuk
mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap
iritasi tersebut dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau abses
dentoalveolar (Uluibau dkk., 2005).
Penyebab utama dari infeksi orofasial adalah gigi non-vital,
perikoronitis (semi-impaksi gigi mandibula), pencabutan gigi, granuloma
periapikal yang tidak dapat ditangani, dan kista. Penyebab yang lebih
jarang antara lain trauma pasca operasi, cacat karena patah tulang, lesi
kelenjar ludah atau getah bening, dan infeksi sebagai akibat dari anestesi
lokal. Infeksi odontogenik biasanya menyebar pada daerah kepala dan
leher setelah menembus periosteum pada prosesus alveolaris. Infeksi
tersebut dapat menyebar ke spasium-spasium tertentu di sekitar kepala dan
leher yang berkaitan dengannya. Gejala adanya trismus dan disfagia dapat
dikaitkan dengan adanya penyebaran pada ruang-ruang tersebut. Spasium
yang potensial menjadi tempat penyebaran infeksi diantaranya yaitu
spasium fasial, spasium masticatoris dan spasium temporal (Toppo dkk.,
2010).
Spasium fasial adalah suatu area yang tersusun atas lapisan-lapisan
fasia di daerah kepala dan leher berupa jaringan ikat yang membungkus
otot-otot dan berpotensi untuk terserang infeksi serta dapat ditembus oleh
eksudat purulent. Spasium-spasium tersebut dapat dikelompokkan sebagai
spasium fasial primer yang meliputi spasium maksila primer (spasium
kaninus, spasium bukalis, spasium infratemporalis) dan spasium
mandibular primer (spasium submental, spasium sublingual, spasium
submandibular), spasium fasial sekunder (spasium masseter, spasium
pterigomandibular, spasium temporal), dan spasium fasial servikali
(spasium faringeal lateral, spasium retrofaringeal, spasium prevertebra)
Spasium temporalis superfisial meluas ke atas perikranium, lateral ke otot
temporalis, dan medial ke fasia temporoparietal (galea). Di bawah spasium
ini kemudian berlanjut ke spasium masseter (Balaji, 2009).
Spasium temporalis dalam meluas ke atas ke perlekatan otot
temporalis ke puncak temporalis inferior, lateral ke tulang temporal dan
mendalam ke otot temporalis. Di bawah spasium ini berlanjut ke spasium
infratemporalis. Spasium temporalis bersama dengan spasium
infratemporalis, masseter dan ptyerygomandibular dapat dikelompokkan
sebagai spasium masticator (Balaji, 2009).
Spasium masticatorius didefinisikan sebagai lapisan atas dari fasia
serviks dalam karena terbagi di perbatasan inferior mandibula. Bagian
lateral diliputi masseter karena terhubung ke lengkungan zygomatic dan
berlanjut menutupi otot temporalis. Bagian medial mengikuti pterygoideus
medial superior, kemudian berlanjut dengan levator veli palatini fasia ke
dasar tengkorak (Balaji, 2009).
Spasium yang berdekatan dengan spasium masticator adalah spasium
parotis posterior, spasium parapharyngeal medial, serta spasium
submandibular dan sublingual inferior.6 Dalam review infeksi
odontogenik spasium fasia oleh Yonetsu dkk membahas perluasan infeksi
mandibular, dan Seven membahas perluasan infeksi maksila. Hanya 10
dari 38 infeksi mandibula (26%) yang melibatkan spasium temporal,
sementara 100% dari infeksi maksila melibatkan spasium temporal (Toppo
dkk., 2010).
H. Prosedur dan Tata Laksana Insisi dan Drainase
Adapun tahap penatalaksanaan abses odontogenik secara umum
adalah:
1. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan X-Ray secara periapikal dan panoramik perlu
dilakukan sebagai skrining awal untuk menentukan etiologi dan letak
fokal infeksi (Topazian, 2002).
2. Tes Serologi
Menurut Topazian (2002), tes serologi yang paling sering
digunakan adalah tes fiksasi komplemen dan tes aglutinasi. Kedua tes
tersebut digunakan untuk mengetahui etiologi.
Penatalaksanaan secara umum yang paling penting dilakukan pada
abses gigi adalah insisi abses dan drainase Insisi adalah pembuatan jalan
keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Insisi drainase merupakan
tindakan membuang materi purulent yang toksik, sehingga mengurangi
tekanan pada jaringan, memudahkan suplai darah yang mengandung
antibiotik dan elemen pertahanan tubuh serta meningkatkan kadar oksigen
di daerah infeksi (Peterson, 2003).
Drainase adalah tindakan eksplorasi pada fascial space yang terlibat
untuk mengeluarkan nanah dari dalam jaringan, biasanya dengan
menggunakan hemostat.untuk mempertahankan drainase dari pus perlu
dilakukan pemasangan drain, misalnya denganrubber drain atau penrose
drain, untuk mencegah menutupnya luka insisi sebelum drainase pus
tuntas (Lopez-Piriz et al., 2007).
Tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah terjadinya
perluasan abses/infeksi ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit,
menurunkan jumlah populasi mikroba beserta toksinnya, memperbaiki
vaskularisasi jaringan sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi
yang ada dan pemberian antibiotik lebih efektif, dan mencegah terjadinya
jaringan parut akibat drainase spontan dari abses. Selain itu, drainase dapat
juga dilakukan dengan melakukan open bur dan ekstirpasi jarngan pulpa
nekrotik, atau dengan pencabutan gigi penyebab (Balaji, 2009).
Prosedur tersebut pada umumnya dilakukan apabila sudah di anaestesi
lokal terlebih dahulu, sehingga area yang sakit akan mati rasa. Jika abses
periapikal, abses akan dipindahkan melalui perawatan saluran akar untuk
mengeluarkan abses dan membuang jaringan yang rusak dari pulpa.
Kemudian ditumpat untuk mencegah infeksi peradangan lebih lanjut
(Balaji, 2009).
Tempatkan insisi pada daerah yang dapat diterima secara estetis,
seperti di bawah bayangan rahang atau pada lipatan kulit alami garis
langer wajah. Laserasi yang menyilang garis langer dari kulit bersifat tidak
menguntungkan dan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik
jelek. Insisi bagian fasia ditempatkan sejajar dengan ketegangan kulit.
(Pedersen, 2002).
a. Apabila memungkinkan tempatkan insisi pada posisi yang bebas
agar drainase sesuai dengan gravitasi.
b. Lakukan pemotongan tumpul, dengan clamp bedah rapat atau jari,
sampai ke jaringan paling bawah dan jalajahi seluruh bagian kavitas
abses dengan perlahan-lahan sehingga daerah kompartemen pus
terganggu dan dapat diekskavasi. Perluas pemotongan ke akar gigi
yang bertanggung jawab terhadap infeksi
c. Tempatkan drain (lateks steril atau catheter) dan stabilkan dengan
jahitan.
d. Pertimbangkan penggunaan drain tembus bilateral, infeksi ruang
submandibula.
e. Jangan tinggalkan drain pada tempatnya lebih dari waktu yang
ditentukan; lepaskan drain apabila drainase sudah minimal. Adanya
drain dapat mengeluarkan eksudat dan dapat menjadi pintu gerbang
masuknya bakteri penyerbu sekunder.
f. Bersihkan tepi luka setiap hari dalam keadaan steril untuk
membersihkan bekuan darah dan debris. Pengetahuan yang seksama
mengenai anatomi fascial dan leher sangat penting untuk drain yang
tepat pada abses yang dalam, tetapi abses yang membatasi daerah
dentoalveolar menunjukkan batas anatomi yang tidak jelas bagi ahli
bedah. Hanya mukosa yang tipis dan menonjol yang memisahkan
scalpel dari infeksi.
Idealnya, abses harus didrainase ketika ada fluktuasi sebelum ada
ruptur dan drainase spontan. Insisi dan drainase paling bagus dilakukan
pada saat ada tanda awal dari “pematangan” abses ini, meskipun
drainase pembedahan juga efektif, sebelum adanya perkembangan
klasik fluktuasi (Peterson, 2003).
Teknik insisi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut (Peterson,
2003):
a. Aplikasi larutan antiseptik sebelum insisi.
b. Anestesi dilakukan pada daerah sekitar drainase abses yang akan
dilakukan dengan anestesi infiltrasi.
c. Untuk mencegah penyebaran mikroba ke jaringan sekitarnya maka
direncanakan insisi.
d. Menghindari duktus (Wharton, Stensen) dan pembuluh darah besar.
e. Drainase yang cukup, maka insisi dilakukan pada bagian superfisial
pada titik terendah akumulasi untuk menghindari sakit dan
pengeluaran pus sesuai gravitasi.
f. Jika memungkinkan insisi dilakukan pada daerah yang baik secara
estetik, jika memungkinkan dilakukan secara intraoral.
g. Insisi dan drainase abses harus dilakukan pada saat yang tepat, saat
fluktuasi positif.
h. Drainase abses diawali dengan hemostat dimasukkan ke dalam
rongga abses dengan ujung tertutup, lakukan eksplorasi kemudian
dikeluarkan dengan unjung terbuka. Bersamaan dengan eksplorasi,
dilakukan pijatan lunak untuk mempermudah pengeluaran pus.
i. Penembatan drain karet di dalam rongga abses dan distabilasi
dengan jahitan pada salah satu tepi insisi untuk menjaga insisi
menutup dan drainase.
j. Pencabutan gigi penyebab secepatnya.
Pasien diberi resep antibiotik (penicillin atau erythromycin) dan obat-
obatan analgesik (kombinasi narkotik/non-narkotik). Perlu ditekankan kepada
pasien bahwa mereka harus makan dan minum yang cukup. Apabila
menganjurkan kumur dengan larutan saline hangat, konsentrasinya 1 sendok
teh garam dilarutkan dalam 1 gelas air, dilakukan setiap selesai makan. Pasien
dianjurkan untuk memperhatikan timbulnya gejala-gejala penyebaran infeksi
yaitu demam, meningkatnya rasa sakit dan pembengkakan, trismus/disfagia
(Toppo dkk., 2010).
Pemberian antibiotik pasca penatalaksanaan bedah juga dianjurkan
untuk diberikan pada pasien. Antibiotik pilihan adalah amoxicillin dengan
asam klavulanat karena dapat membantu untuk meningkatkan kemampuan
membasmi bakteri, seperti Staphylococcus aureus dan Haemophilus
influenzae. Tinjauan infeksi odontogenik dan mikrobiologi menunjukkan
bahwa Penicillin masih menjadi obat pilihan pertama, dengan metronidiazole
sebagai alternatif yang baik (Toppo dkk., 2010).

I. Keberhasilan Perawatan / Prognosis


Sebagian besar sakit di sekitar abses akan lenyap sesudah pembedahan.
Penyembuhan biasanya sangat cepat yang berarti prognosisnya baik.
Pemberian obat antibiotik dapat dilanjutkan untuk beberapa hari. Menerapkan
panas dan menjaga wilayah yang terkena dampak ditinggikan dapat
membantu meringankan peradangan (Fragiskos, 2007).
Keberhasilan perawatan insisi drainase ditentukan oleh beberapa faktor
berikut diantaranya, yaitu (López-Píriz dkk., 2007):
1. Pasien kooperatif
2. Kondisi sistemik pasien
3. Edukasi kepada pasien
4. Kedisiplinan pasien dalam menaati aturan dokter dalam meminum
antibiotik
5. Proses penyembuhan luka
6. Kondisi Oral hygiene pasien
DAFTAR PUSTAKA

Balaji, S.M., 2009, Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery 2nd Ed, Elvisier,
India.

Fragiskos, F.G., 2007, Oral Surgery, Thieme, New York.

Karasutisna, T., Endang, M.D., Soepawardi, T., 2005, Infeksi Odontogenik,


Jurnal FKG Universitas Padjajaran, Bandung:

Lewis, M.N., 2001, Medical Surgical Nursing ; Assesment and Management of


Clinical Problems, Mosby, Philadelphia.

López-Píriz, R., Aguilar, L., dan Giménez, M.J., 2007, Management of


odontogenic infection of pulpal and periodontal origin, Journal Of
Medecine Oral Pathology.

Pedersen, G.W., 2002, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Peterson, L.J., Ellis E, Hupp, J.R., Tucker, M.R., 2003, Contemporary Oral and
Maxillofacial Surgery. 4 th Edition, Mosby, Philadelphia.

Rassner, 1995, Buku Ajar dan Atlas Dermatologi Ed.4, EGC, Jakarta.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner &Suddarth. Vol. 2, EGC, Jakarta.

Topazian, Richard, G., Morton, H.G., James, R.H., 2002, Oral and Maxillofacial
Infection 4th ed, W.B. Saunders Co, Philadelphia-Pennsylvania.

Toppo, S., Chanda, H., Tajrin, A., Sulastri., 2010, Abses Spasium Temporal
Akibat Infeksi Odontogenik, Jurnal Bagian Radiologi dan Bagian Bedah
Mulut FKG Universitas Hassanuddin Makassar.

Uluibau, I.C., Jaunay, T, Goss, A.N., 2005, Severe odontogenic infection, Journal
Australian Dental Medication Supplement.

Underwood, J.C.E, 1999, General and Systemic Pathology Disadur oleh SayadiL
Patologi Umum dan Sistematik Edisi Kedua, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai