Acara adat pernikahan, dimulai dengan acara yang disebut dalam bahasa Batak:
“marhusip”1. Secara harfiah artinya ialah berbisik. Pada zaman dahulu, acara ini dilakukan
secara diam-diam oleh kedua keluarga yang akan berbesan. Sekarang, acara ini telah
menjadi acara resmi. Karena sudah resmi, maka namanya seharusnya tidak lagi marhusip.
Penulis sarankan agar namanya diganti menjadi patua hata,2 dilanjutkan dengan istilah:
mangarangrangi – merencanakan. Dalam acara ini, semua kesepakatan internal antara
kedua keluarga yang saling menikahkan anak akan dibicarakan secara formal di hadapan
komunitas dongan sabutuha, di bantu oleh komunitas boru. Tempat acara diselenggarakan
biasanya diadakan di rumah calon pengantin wanita. Mereka yang terlibat di dalam acara ini
biasanya dari lingkaran kecil saja.
Ada lagi satu upacara adat yang dilakukan orang dewasa ini, diberi nama dengan nama
yang maknanya tidak seperti dikenal sekarang ini, dipahami orang dahulu. Acara itu disebut
orang, marhori-hori dingding. Acara ini adalah perkenalan antara kedua keluarga yang akan
berbesan. Setelah acara ini, barulah diakan acara patua hata. Menarik untuk disimak, dalam
kamus bahasa Batak, karangan DR. J. Warneck, kata marhori-hori ding-ding3 artinya ialah:
anak kecil yang sedang belajar berjalan di dingding. DR J. Warneck memahami benar
tentang adat Batak. Jika orang Batak di zaman dia melakukan acara tersebut, sebagaimana
dilakukan orang dewasa ini, maka dia pasti tahu akan acara tersebut. Tentulah ia akan
menuliskan makna dari kata itu dalam kamusnya.
Ada banyak dari antara kita yang melakukan adat, tanpa memahami makna dari
perbuatan tersebut. Berdasarkan pengalaman, tatkala kita tanyakan kepada mereka yang
melakukan pesta, apa makna dari upacara adat yang mereka kerjakan, sering jawaban
klasik ialah: orang sudah melakukannya dari sejak dahulu kala.
1
adat. Ia akan melaporkan kepada raja parhata dari pihak parboru hasil temuannya, yakni:
makanan yang dibawa itu sesuai dengan apa yang diharapkan. Setelah itu, makanan dibawa
oleh raja ni boru dari komunitas parboru ke dapur untuk disajikan. Setelah semua
mengambil tempat, dan makanan dihidangkan, maka percakapan adat pun dimulai: ‘Raja
Parhata’ dari Parboru akan menyapa komunitas yang datang:
Parboru: “Di hamu raja ni tutur6, maulite ma tadok tu Amanta Pardenggan basa i, ala
di bagasan hahipason do hamu ro tu bagas nami on. Nungnga marnatampak
hami na marhaha-maranggi hundul dison. Asa tangkas hita masitandaan,
hupatadandon hami ma parjolo na sian hami, dungi pe asa patandahon hamu
na sian hamu, sude hita angka hita na martutur”.
(Bagi kerabat yang kami hormati, kita mengucapkan syukur kepada Bapa kita
Yang Pemurah dan Penyayang, karena rahmat-Nya, rombongan tiba dengan
selamat dan dalam keadaan sehat tiba di ke rumah kami ini. Kami kakak
beradik sudah duduk di sini seluruhnya. Supaya kita saling kenal mengenal
satu sama lain, maka ada baiknya kami memperkenalkan satupersatu
rombongan dari pihak kami, setelah itu kami harapkan rombongan yang
datang pun diperkenalkan kepada kami, sehingga kita saling kenal satu sama
lain!)
Lalu keluarga yang akan menikahkan anak diperkenalkan satu persatu kepada rombongan
paranak.
Paranak: Mauliate ma di Tuhanta Pardenggan Basa i, ala asi ni roha-Na tarpatupa hita
pajumpang bohi di alaman na martua on. Hami pe, patandahonon nami
ma ‘suhut’ na sian hami.
(Terima kasih kepada Tuhan kita Yang Pengasih, karena kasih sayangnya kita
dapat bertatap muka di tempat yang diberkati ini. Kami pun akan
memperkenalkan tuan rumah dari pihak kami.)
Lalu diperkenalkanlah keluarga yang akan menikahkan anak dari pihak paranak. Perlu
ditambahkan di sini, kedua belah pihak memang sudah saling kenal satu sama lain. Tetapi,
komunitas dari kedua belah pihak, yang hadir di dalam acara itu belum semua saling kenal
satu sama lain.
Parboru: “Ala naung masitandaan hita saluhutna, ninna roha, nungnga boi mulaanta
acaranta.
(Karena kita telah saling kenal satu sama lain, menurut hemat kami, acara
sudah dapat kita mulai.)
Lalu Raja Parhata dari parboru itu akan meminta kepada komunitas boru yang turut
menyertai mereka agar mereka menghidangkan makanan yang dibawa oleh komunitas
6
Sekarang, dalam percakapan adat, raja parhata telah menyapa komunitas yang datang dengan
sebutan ‘raja ni pamoruon’ pada hal belum ada ikatan apa pun yang ada di antara kedua belah
pihak. Pada hakekatnya sapaan kepada komunitas yang datang itu adalah ‘raja ni tutur’ sebuah
sebutan yang netral.
2
paranak. Dahulu, semua orang yang datang, duduk di tikar. Makanan di hidangkan di
hadapan hadirin. Tetapi, sekarang tidak lagi demikian. Orang lebih suka hal yang praktis,
sehingga makanan tidak lagi dihidangkan, melainkan tiap orang mengambil menurut
kebutuhan masing-masing. Prasmanan kata orang zaman ini. Setelah makanan terhidang,
maka Raja Parhata dari Parboru akan menyerahkan kesempatan kepada Paranak untuk
menyerahkan apa yang mereka harus serahkan menurut adat, yakni: tudu-tudu ni
sipanganon. (Makanan yang menandakan makna dari pertemuan pada hari itu)
Paranak: ”Di hamuna raja ni tutur nami, dison huboan hami do sipanganon na tabo,
jala on ma tudu-tudu ni sipanganon i. Molo tung songon on dope na
tarpatupa hami, raja nami, didok situa-tua:
(Bagi kalian kerabat yang kami hormati, di sini kami bawakan makanan yang
lezat, sekaligus inilah makanan yang menandakan makna tersebut. Meskipun
baru beginilah yang dapat kami berikan, orang tua di zaman dahulu kala
mengatakan: inilah keseluruhan dari apa yang kami dapat persembahkan.
Sekalipun demikian, mudah-mudahan membawa berkat yang banyak jua.)
Parboru: “Asa dok nangkokna dohot tuatna, di hamu raja ni tutur, mangarade ma
hamu, ai naeng ro ma hami pasahathon na naeng si pasahaton nami tu
hamu.”
3
Ikan mas diletakkan di hadapan ‘suhut’ Paranak.
Parboru8: “Di hamu raja ni tutur, asa dok nangkokna dohot tuatna, dison ro do hami
pasahathon dengke simudur-udur, udur ma tutu pansamotan dohot
hagabeon di hita tu joloan ni ari on, tumpahon ni Amanta Na Martua Debata.
Tung songon on pe na tupa, ba lasma rohamuna manjalo. Botima.”
Setelah itu mereka saling berjabatan tangan satu sama lain. Setelah saling jabat tangan
selesai, maka tiba saatnya untuk menikmati hidangan. Untuk itu doa syukur akan dinaikkan
lebih dahulu. Orang yang bertugas untuk menaikkan doa itu biasaya berasal dari paranak.
Logikanya ialah: merekalah yang membawa makanan itu, maka wajar jika dari pihak mereka
yang akan berdoa. Karena itu Raja Parhata dari Parboru akan berbicara:
Salah seorang dari keluarga paranak akan menaikkan doa syukur untuk makanan yang
terhidang. Setelah ‘amin’, ia akan mempersilahkan agar makanan yang terhidang disantap.
Perkataan resmi untuk menikmati makanan itu adalah:
Hadirin akan menyambut ungkapan tadi secara serentak, Ima tutu’. – Ya demikianlah
adanya – secara adat, barulah makanan boleh dinikmati. Tuan rumah telah
mempersilahkannya. Tamu terhormat, biasanya akan menikmati makanan di rumah tuan
rumah, setelah dipersilahkan. Sekarang ini, telah banyak orang menikmati makanan
8
Sampai di sini acara memberikan makanan selesai. Pola ini dapat diterapkan di dalam segala bentuk
acara adat tatkala tudu-tudu sipanganon diserahkan kepada hula-hula.
9
Aturan normatif,mereka yang menyerahkan makanan yang akan menaikkan doa.
10
Peribahasa ini akan diucapkan untuk mempersilahkan orang banyak menikmati makanan, kecuali
dalam kemalangan.
4
sebelum dipersilahkan. Ada orang mengatakan, waktunya sudah siang. Sudah tiba waktunya
untuk makan. Makanan telah tersedia, apa salahnya dinikmati? Orang terhormat lebih
mementingkan kehormatan dari pada rasa lapar. Lagi pula, ia sudah tahu akan hal itu. Kita
datang pesta adat bukan hanya sekedar makan. Melainkan turut ambil bagian dalam pesta
itu! Setelah selesai makan, percakapan adat pun dilanjutkan.
Parboru: “Di hamu raja ni tutur, dison dipasahat hamu do di jolo nami tudu-tudu ni
sipanganon. Na manungkun ma hami nuaeng tu hamu taringot tu parpeak ni
tudu-tudu ni si panganon on. Behama parbagianna?11
Paranak: “Horas ma jala gabe tumpahon ni Amanta Na Martua Debata. Di hamu raja ni
tutur, taringot di tudu-tudu ni sipanganon raja nami, sian hami raja ni tutur
muna, dohonon nami ma: ‘surung-surung ni raja ido i. Botima raja nami”.
(Selamat dan diberkatilah kita oleh Allah Bapa. Bagi kalian kerabat yang
terhormat, berbicara tentang pembagian makanan yang bermakna, kami
akan mengatakan sebagai berikut: makanan itu dikhususkan bagi kalian.)
Parboru: “Molo songon ido, pandok ni raja ni tutur, mauliate ma dohonon. Di hamu
raja ni pamoruan nami, pature hamu ma jolo sipanganon on. Ai surung-
surung nami do ninna raja ni tutur.”
(Jika demikian, kami ucapkan terima kasih. Kami mohon kepada kerabat kami
dari komunitas boru, agar makanan ini diatur sebagaimana mestinya.
(ucapan ini ditujukan kepada komunitas boru yang menyertai mereka di
dalam acara tersebut).
Parboru: “Di hamu raja ni tutur, tamulai ma panghataionta. Nungga rade hamuna, asa
manghatai hita”.
11
Pertanyaan ini senantiasa akan diajukan di dalam setiap acara, dimana diberikan makanan.
Jawaban dari mereka yang menyerahkan akan tetap sama seperti di atas. Pola ini akan diterapkan
diseluruh acara yang diselenggarakan di rumah. Lain jika acara diadakan di gedung. Tudu-tudu ni
sipanganon i, harus dibagi. Namanya jambar!
5
Parboru: “Di hamu raja ni tutur, nungga butong hita manganhon indahan na las, bosur
minum aek sitio-tio, sagat manganthon juhut. Sai pamurnas ma i tu daging,
saudara ma i tu bohi, sipasindak panaili, paneang holi-holi, tumpahon ni
Amanta Na Martua Debata. Didok sijolo-jolo tubu, sai jolo dinang-nang do
asa dinung-nung. Sai jolo dipangan do asa disungkun. Saonari na
manungkun ma hami tu hamuna raja ni tutur di sintuhu ni indahan masak.
Dia ma buhuna, dia ma unokna, dia ma sintuhuna, dia ma na nidokna.
Dialusi raja ni tutur ma.”
Paranak: “Horas ma jala gabe raja nami. Ima tutu, sai jolo dinang-nang do asa di
nung-nung; sai jolo dipangan do asa di sungkun. Di sintuhu ni indahan
masak, marpanungkun ma raja i. Hata ni sipanganon raja nami dohonon
nami ma:
Laos disungkun raja i, sintuhu ni indahan masak, dia ma buhuna dia unokna,
dia ma sintuhuna dia ma na nidokna. Alusan ma tutu, ia sintuhu ni indahan
masak raja nami, parhorasan panggabean do botima.12”
6
nungnga sagat hami na manganhon, kami sudah kenyang makan
sai tubu ma singkat ni i, semoga menadapat gantinya
di hamu na mangalehon14. Bagi kalian yang memberikan
Alai raja ni tutur, didok situa-tua, sai marangkup do na uli, sai mardongan do
na denggan. Si angkup songon na hundul, si hombar songon na mardalan.
Ala ni i, raja ni tutur, tung tangkas ma dipaboa raja ni tutur, angkup ni
panggabean parhorasan na binoan muna tu jolo nami. Botima”. 15
Catatan: adalah tidak wajar untuk berterus terang memberitahukan makna kedatangan kita
kepada orang! Biasanya, pada saat pertanyaan diajukan untuk kedua kalinya, maka akan
diberitahukan dengan jelas makna dari kedatangan kita.
Paranak: “Gabe jala horas raja nami. Manungkun ma raja i, angkup ni na uli, dongan
ni na denggan, di panggabean parhorasan, na huboan hami tu jolo ni raja i.
Tangkas ma tutu alusan sungkun-sungkun ni raja i. Ia angkup ni na uli
dongan ni na denggan rajanami, didok situa-tua, molo magodang ninna
ianakkon pangolihononhon; ia magodang boru, paborhaton marhuta. Nungga
magodang anak na di jolo nami, alani i, disuru natorasna ma, laho manopot
sirongkap ni tondina. Laho ma ibana manopot boru ni raja i, jala dipasahat
hata na. Ditumpak Debata do roha nasida, gabe masijaloan hata. Alani i
dialuhon anak nami tu natorasna naung masioloan hata nasida laho
mardongan saripe. Ido haroro nami nuaeng tu jolo ni raja i, pabotohon
naung masipaleanan hata anak nami dohot boru ni raja i. Alani i, laos
pangidoon nami ma tu raja i, asa ita torushon ulaonta sadari on tu
pangarangrangion ni angka raja.
(Selamat dan berkat bagi kita sekalian. Kerabat bertanya, apa gerangan yang
menyertai keselamatan dan berkat yang kami bawa ke hadapan kerabat.
Orang tua mengatakan: jika seorang anak dewasa, maka ia akan dinikahkan,
14
Satu hal yang terjadi dalam percakapan adat sekarang ini, tidak lagi terlalu memperhatikan urutan
percakapan adat. Peribahasa ini diucapkan setelah paranak memberitahukan bahwa makanan yang
mereka bawa adalah makanan yang membawa berkat. Tidak lazim mengatakan hal ini sebelum
diberitahukan makna dari makanan tersebut. Tetapi sekarang orang sudah mengatakannya, pada hal
belum diberitahukan maknanya. Orang semakin tidak mementingkan makna, tetapi mementingkan
kemasannya. Itulah kelemahan budaya modern sekarang ini.
15
Sampai di sini, berakhirlah bagian pertama dari percakapan adat. Bagian pertama dari percakapan
itu ialah: sampiran. Sekarang masuk kepada bagian kedua ialah: isi. Raja Parhata akan
memberitahukan apa maksud dan tujuan dari kedatangan mereka. Bagian pertama ini akan
dilakonkan dalam setiap percakapan adat.
7
demikian juga dengan anak perempuan. Adapun anak yang ada di hadapan
kami telah dewasa. Oleh karena itu orang tuanya menyuruh dia mencari
jodohnya. Ia menemui putri kerabat, lalu dinyatakan keinginan hatinya untuk
berumah tangga. Allah memberi kesepakatan kepada mereka dan
memberkatinya. Oleh karena itu, kesepakatan mereka diberitahukan kepada
kami orang tuanya. Itulah maksud kedatangan kami sekarang ini, untuk
memberitahukan kepada kerabat akan kesepakatan mereka. Selanjutnya
kami mohon agar pertemuan kita ini dilanjutkan kepada kesepakatan kaum
raja.)
Alai nang pe songon i, sungkunon nami ma jolo boru nami di hata naung
pinasahat muna i”.
Raja Parhata akan meminta ‘boru’ dari pihak mereka untuk menanyakan kesediaan calon
pengantin perempuan akan rencana pernikahan mereka. Sudah jelas gadis itu tentunya
akan mengiyakannya. Kemudian ‘boru’ itu akan menyuarakannya dengan mengatakan:
“Tutu do ninna”
Parboru: Ima tutu raja ni boru, nungga husungkun hami boru nami, tutu do ninna
naung dijalo hata ni anak muna. Saonari raja ni boru, tahatai ma angka dia
ma na porlu sipatupaonta di ulaon unjuk na naeng patupaonta tu ari na
naeng ro? Ala hamuna do na naeng manjalo adat sian hami raja ni hula-hula
muna, boan hamu ma horbo, hoda, dohot lombu, sere dohot perak na gabe
tuhor ni boru nami.
8
Paranak: “Horas ma jala gabe raja nami. Tutu do, molo naeng manggarar adat iba tu
hula-hula, boanon ma tutu horbo, hoda, lombu dohot sere nang perak pe.
Alai adong pangidoan nami tu raja i. Di tingki saonari on, nungga
dihasomalhon hita halak Batak na di pangarantoan, asa dipasada saluhutna
sinamot na gok na naeng lehonon tu raja i, di bagasan rupiah ni pamarenta.
Asa ima hoda na, ima lombu na, ima horbo na, ima nang sere dohot perak
na, na naeng sipasahaton nami. Jala adong pangidoan nami muse, dipaloas
raja i ma jolo hami sahali mangelekkon tu jolo ni raja i, sinamot na gok ni
boru ni raja i. Ima jolo pangidoan nami, asa dung ipe asa huhatahon hami
simamot na naeng sipasahaton tu raja i. Botima.
(Sejahtera dan berlipat gandalah bagi kita sekalian. Benar, di zaman dahulu
kala, jika kita mau menyerahkan mas kawin kepada hula-hula, maka, kita
akan bawakan kerbau, lembu, kuda, emas dan perak. Namun, ada
permohonan kepada kerabat. Di zaman modern ini, sudah dibiasakan orang
Batak di perantauan, seluruhnya disatukan dalam bentuk uang rupiah
pemerintah. Itulah kerbau, lembu, kuda, emas serta peraknya. Lagi pula, ada
permintaan lain yang diajukan kepada kerabat, agar kami diperkenankan
untuk sekali mengungkapkan besarnya jumlah mas kawin yang akan
diserahkan kepada komunitas hula-hula. Demikianlah dahulu dari pihak
kami.)
Raja Parhata akan menyerahkan kepada komunitas boru mereka, kesempatan untuk
mengajukan pendapat tentang usul paranak, agar mereka mengungkapkan ‘sinamot’ dari
pariban mereka tanpa tawar menawar lagi, dan diwujudkan di dalam uang rupiah.
Raja Ni Boru: “Mauliate ma di hamu raja ni hula-hula nami, ala diliathon hamu do
panghataion i tu hami raja ni pamoruon muna. Raja nami, anggo hata
sian hami raja ni pamoruon muna: didok situa-tua, parhorasan
panggabean ma raja nami dohonon nami: Aek godang tu aek laut,
dos ni roha sibahen na saut. Botima rajanami. Ima hata sian hami
raja ni pamoruon muna”.
9
Raja Parhata akan mengucapkan terima kasih kepada pihak ‘boru’ yang telah
menyampaikan pendapatnya. Kemudian ia akan memberikan kesempatan kepada komunitas
dongan tubu, untuk menyatakan pendapat terhadap permohonan dari komunitas paranak.
Dongan tubu: “Horas jala gabe di pande hata nami, naung sahata ma hita di si,
alusi hamuma pangidoan ni raja ni pamoruonta”
(Sejahteralah kita dan berlipat ganda, bagi juru bicara kami, kita telah
sepakat. Berilah jawaban atas permintaan dari komunitas boru kita.)
Parboru: “Di hamu rajani pamoruon, nunga marliat liat hami manghatai, hami na
marhaha-maranggi dohot na marboru. Sude do hami satahi mangolophon
pangidoan muna i, alai andorang so huundukhon hami pangidoan muna i,
tangkas ma jolo dialusi raja ni pamoruon, taringot tu suhi ni ampang na opat,
dohot panandaon. Anggo i, tung tangkas do alusan muna jala tandaon muna.
Dialusi raja ni pamoruon ma jolo.
(Bagi kalian komunitas boru, kami sudah bergilir memberikan pendapat, kami
yang kakak adik, juga dengan komunitas boru. Kami semua seia sekata
mengatakan ya untuk permohonan kalian. Tetapi sebelum kami
menyetujuinya, mohon dijelaskan tentang sudut bakul yang empat dan
perkenalan. Hal itu harus jelas diberikan. Mohon pertanyaan ini dijawab lebih
dahulu.)
Paranak: “Gabe jala horas raja nami, alusan nami ma tutu suhi ni ampang na opat,
dohot sijalo todoan dohot panandaon”.
Paranak: “Mauliate ma di raja i, tung toho do Pandok ni natua-tua: “Pat ni gaja tu pat
ni gora; anak ni raja do hamu pahompuni na mora”. Raja dipanghataion,
mora di pambahenan. Raja nami, ia sinamot na gok na naeng pasahaton
nami tu jolo ni raja i, ima godang na :… rupia ni pamarenta. Ima hoda na,
ima horbo na, ima lombu na, ima nang sere dohot perak na. Diolophon raja
ima i, songon naung huelekhon hami. Botima.
(Terima kasih kepada kerabat, sangat jelas kerabat adalah keturunan dari
para raja. Utama di percakapan dan kaya dalam tindakan. Adapun jumlah
10
mas kawin yang akan kami serahkan adalah sebesar .... rupiah dari
pemerintah. Itulah kudanya, itu juga kerbaunya, itulah lembunya, itu jua
emas dan peraknya. Biarlah disetujui kerabat, sebagaimana kami telah
utarakan.)
Parboru: “Horas jala gabe raja ni boru. Huolophon hami ma tutu pangidoan muna i.
Alai songon na tahatai nangkin, alusanmuna do suhi ni ampang na opat. Asa
dos nangkokna dohot tuat na raja ni boru, molo tung adong pangidoan
muna, hatahon hamu ma raja ni pamoruon!
Paranak: “Raja nami, didok situa-tua: “Barita ni lampedang ninna mardangka bulung
bira. Tung tarbarita do hamuna marboru na burju sahat ro di dia”. Jala tung
tarbarita do di liat tano Batak partonun na utusan do angka nantulang nami.
Alani i, dihirim roha nami do asa sude hami raja ni pamoruon, ulosan muna.
Alai nang pe so sude hami diulosi hamuna dohot ulos herbang, alai tung
pangidohonon nami do asa ulosan muna hami, dohot ulos tinonun sadari.
Songoni ma raja nami pangidoan nami. Botima”.
Parboru: “Horas jala gabe raja ni boru. Songon na nidok muna ima. Sude do hamu
ulosan nami. Alai anggo ulos herbang sipasahatonnami tu hamu godang na
17 17ma.
16
Seperti yang sudah diuatakan, keseimbangan harus dipelihara. Jika komunitas parboru menerima
mas kawin, maka komunitas ini punya kewajiban untuk memberikan ulos kepada komunitas yang
memberi mas kawin tersebut.
17
Kesepakatan adat di Jakarta. Namun hal ini sering juga dilanggar. Ada marga yang menyerahkan
ulos hanya 11 lembar
11
(Sejahtera dan bertambah banyak!)
Parboru: “Ala naung jumpang di hita rim ni tahi, taringot tu ulaon na naeng
sipatupaonta di ari na naeng ro, ninna roha di jahahon ma jolo angka dia ma
naung tahatai. Pinangido ma raja ni boru nami manjahahon aha naung
nisurathon nasida, asa rap manangihon hita sasudena.
(Karena telah ada kesepatakan bagi kita untuk pesta yang akan kita lakukan
di hari-hari mendatang, menurut hemat saya, dibacakanlah lebih dahulu apa
yang sudah kita bicarakan. Kami minta agar boru kami membacakan apa
yang sudah dituliskannya, agar kita sama-sama mendengarkannya.)
(Beginilah urutan acara dari pesta pernikahan yang akan kita lakukan di hari-
hari mendatang
a. Martumpol di ari/angkat janji :
b. Pamasumasuon di ari/pemberkatan nikah :
c. Sibuha-buhai pukul/makan bersama :
d. Alamanna di/halaman pada :
e. Sinamot/mas kawin :
f. Ulos herbang/jumlah ulos :
g. Suhi ni ampang na opat/…. : alusan ni paranak,
dohot
panandoan/….
h. Ulaon sadari18 :
i. Undangan tu paranak :
Parboru: “Raja ni boru, ala nungga simpul saluhut na sihataan. Ninna roha, manauri
panghataion nama hita. Alai ala di pesta unjuk pe tong do manauri
panghataion hita, ninna roha, di si ma tapasahat saluhut na hata pasu gabe
di hita na martutur. Tatutup ma panghataionta di borngin on marhite-hite
ende dohot tangiang. Boha di roha ni raja ni pamoruon ?
18
Dalam tulisan ini, penulis mengusulkan agar hal ini dihilangkan karena tidak praktis.
12
Catatan :
Jika usulan menyampaikan petuah akan dilaksanakan dalam mata acara pesta, maka
mata acara ini akan ditunda, dan tidak dilaksanakan. Tetapi jika hadirin tidak menyetujui
usul tersebut, maka mata acara menyampaikan petuah itu pun akan dilaksanakan dalam
‘marhusip’ ini. Tetapi biasanya orang sudah setuju dengan usul ini untuk mempersingkat
waktu. Sebelum acara ditutup dengan nyanyian dan doa, Raja Parhata dari Parboru akan
menerima ‘ingot-ingot’19 – sesuatu yang mengingatkan hadirin – dari Raja Parhata Paranak.
Raja Parhata itu kemudian menyatukan ingot-ingot yang disediakan paranak, dengan
ingot-ingot yang disediakan parboru, lalu dibagi dua. Sebagian diserahkan kepada Raja
Parhata Paranak, sebagian lagi tinggal di tangannya. Setelah itu, ingot-ingot itu akan
dibagikan kepada komunitas parboru yang datang menghadiri acara tersebut, juga kepada
komunitas boru yang menyertai mereka. Demikian juga halnya dengan paranak.
Adapun maksud dari ingot-ingot itu ialah: agar semua yang hadir ingat akan apa yang
telah dibicarakan di dalam acara ‘marhusip’ itu. Setelah pembagian ingot-ingot itu selesai,
maka acara pun ditutup dengan nyanyian dari Buku Ende HKBP, doa dari komunitas
Parboru. Acara selesai. Acara dibuka dengan doa, juga ditutup dengan doa. Bukankah hal
itu menandakan bahwa mereka melakukan acara adat itu sebagai bagian integral dari iman
Kristen?
Setelah acara ini selesai, maka kedua belah pihak memberitahukan kepada pihak gereja,
rencana mereka untuk menikahkan anak-anak mereka pada tanggal tertentu. Lalu pihak
gereja mengadakan acara ‘martumpol’. Tidak semua gereja di Indonesia melakukan acara
ini, HKBP dan gereja yang memisahkan diri dari HKBP yang melakukannya. Pada hakekatnya
acara ini adalah acara pendaftaran secara administrasi. Tetapi acara martumpol sudah
menjadi ‘adat’ di dalam masyarakat Batak pada umumnya. Acara ini adalah pemberitahuan
kepada sesama persekutuan di dalam jemaat Tuhan, bahwa ada rencana untuk menikah.
19
Secara harfiah artinya ialah: ingat. Kata itu digandakan maksudnya ialah: mengingatkan
13