Anda di halaman 1dari 13

KONSERVASI S.

BELANGERAN DARI HUTAN KERANGAS


SEBAGAI BAHAN OBAT ALAMI

CONSERVATION OF S.BELANGERAN OF KERANGAS FOREST


AS MATERIAL OF NATURAL MEDICINE

Kissinger, Ahmad Yamani, Rina Muhayah Noor Pitri


Fakultas Kehutanan ULM

Oleh:

Adnan
Aldi Trinata
Azizatun Tazkia
Dayat
Meilinda
Meilinda Puspitasari
Reza Ayatullah
Sajiati
Yoga
Kata Pengatar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Taufik, Inayah dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyeleesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Makalah ini diambil
dari penelitian “Konservasi S.Belangeran Dari Hutan Kerangas Sebagai Bahan Obat
Alami” yang disusun oleh dosen Fakultas Kehutanan ULM yakni Ir.H.Ahmad Yamani,
MP., Dr. Kissinger, S.Hut., M.Si., dan Rina Muhayah Noor Pitri, S.Hut, M.Si. Semoga
makalah ini dapaat dipergunakan sebagai salah satu sumber pengetahuan terhadap
ekologi “Konservasi S.Belangeran Dari Hutan Kerangas Sebagai Bahan Obat Alami”
pada aspek sumber daya bidang Kehutanan.
Harapan bagi kami, semoga makalah ini dapat membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca sehingga kami dapat memperbaiki
bentuk maupun isi pada makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik lagi.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengetahuan yang
kami miliki sangatlah kurang. Oleh karena itu kami berharap kepda para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Banjarbaru, 07 September 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penelitian
BAB II PEMBAHASAN
A. Hasil dan Pembahsan
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK

Terdegradasinya hutan kerangas rawa (hutan kerapah) termasuk semakin


langkanya keberadaan S.belangeran memerlukan suatu tindakan konservasi untuk
mencegah kerusakan hutan lebih lanjut, mencegah kepunahan sumberdaya alam
hayati, dan sebagai upaya memulihkan kembali kerusakan terhadap kawasan hutan
kerangas rawa dan sumberdaya tumbuhan didalamnya. S.belangeran merupakan salah
satu jenis pohon dari habitat kerangas rawa yang selama ini menjadi sumberdaya
pohon yang banyak ditebang masyarakat dan digunakan sebagai kayu pertukangan.

Bioaktivitas antioksidan berdasarkan pengujian absorbansi DPPH yang


terbaik berasal ekstrak methanol dari bagian kulit S.belangeran. (IC50 = 2,88 ppm)
dibandingkan bagian daun S.belangeran (IC50= 18,94). Hasil pengujian daya hambat
terhadap α glukosidase dari ekstrak methanol kulit S.belangeran memiliki nilai IC50
pada konsentrasi 0,816 ppm. Berdasarkan hasil analisis hierarkhi proses pilihan
pengelolaan terbaik terhadap S.belangeraan saat ini adalah moratorium pemanfaatan
kayu untuk tetap menjaga fungsi jasa lingkungan dan nilai keberadaan biodiversitas.
Temuan ini tidak menutup kemungkinan penerapan konservasi terhadap S.belangeran
sebagai bahan obat alami, paling tidak sifatnya untuk pemenuhan sendiri (subsisten)
dengan tetap menerapkan moratorium pemanfaatan kayu.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Shorea belangeran merupakan salah satu jenis pohon yang terdapat di hutan
kerangas rawa (kerapah). Berdasarkan observasi lapangan yang dilakukan,
S.belangeran dari hutan kerangas banyak ditebang secara illegal oleh masyarakat
untuk dan digunakan sebagai kayu pertukangan sehingga pemanenannya dilakukan
dengan sistem penebangan (dekstruksi) dan sesudahnya sulit ditanam lagi karena
tanahnya podsol dan kandungan haranya rendah.

Bertitik tolak dari permasalahan semakin langkanya S.belangeran dan terdegradasinya


hutan kerangas, diperlukan suatu tindakan konservasi untuk menanganinya. Nilai
manfaat sumberdaya atau kawasan diharapkan dapat menjadi stimulus manfaat yang
menginisiasi sikap dan aksi konservasi (Amzu 2007).

Terdapat hubungan ketergantungan masyarakat sekitar hutan kerangas terhadap


S.belangeran dapat menjadi pintu masuk konservasi melalui diversifikasi pemanfaatan
berkelanjutan S.belangeran yang relatif ramah lingkungan. Salah satu pilihan
potensial pemanfaatan S.belangeran yang tumbuh pada habitat terbatas hutan rawa
kerangas adalah bioaktivitas bahan alami dari senyawa metabolit sekunder hasil
proses fisiologis adaptasi tanaman.Berdasarkan hasil studi etnobotani masyarakat di
dalam dan sekitar hutan kerangas, S.belangeran biasa digunakan masyarakat dalam
pengobatan diare dan diabetes (Kissinger et al. 2013). Kulit S.belangeran dari hutan
Dipterocarpaceae Campuran mengandung oligostilbenoids (Tukiran et al. 2005).
Oligostilbenoids memiliki potensi di antaranya sebagai antibakteri, antiinflamasi dan
antitumor.

Penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan bioaktivitas S.belangeran


sebagai bahan pengobatan alami sebagai antioksidan dan antidiabetes serta
merumuskan model konservasi S.belangeran. Proses identifikasi bioaktivitas bahan
obat alami dari S.belangeran juga menjadi media pembuktian pengetahuan tradisional
dan menjalin konektivitas pengetahuan tradisional dan pengetahuan modern. Tujuan
penelitian adalah untuk menentukan pilihan konservasi S.belangeran di hutan
kerangas dan menyusun strategi implementasi penerapaan model konservasi
S.belangeran dari hutan kerangas sebagai bahan obat alami.

B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah menyusun model konservasi S.belangeran dari
habitat hutan kerangas rawa sebagai bahan obat alami. Penelitian tahun kedua
bertujuan:
1) Mengetahui kapasitas antioksidan esktrak methanol S.belangeran,
2) Mengetahui kapasitas antidiabetes esktrak methanol S.belangeran secara in vitro,
3) Menganalisis sikap masyarakat terhadap konservasi S.belangeran,
4) Menyusun strategi implementasi serta merumuskan model konservasi
S.belangeran dari hutan kerangas sebagai bahan obat alami
BAB II
PEMBAHASAN

A. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengetahuan Masyarakat dan Konservasi S.belangeran
Masyarakat secara umum menggunakan S.belangeran sebagai sumber kayu
pertukangan. Selain itu masyarakat sebagian menggunakannya sebagai bahan
pembuatan atap sirap. Bagi masyarakat yang membuat ladang di bekas lahan hutan,
kulit S. belangeran dijadikan sebagai dinding pondok. Terdapat informasi yang
sifatnya terbatas yang mengungkapkan bahwa S.belangeran dapat digunakan sebagai
bahan pengobatan diare, diabetes, keracunan dan bahan pewarna. Manfaat
S.belangeran sebagai tumbuhan berkhasiat obat, bahan pewarna dan sebagai dinding
pondok bersifat sementara untuk pemenuhan sendiri. Masyarakat juga bisa menduga
karakter lahan tempat tumbuh S.belangeran.
Menurut Berkes et al. (2000), pengetahuan etnobotani masyarakat
menyangkut penggunaan S.belangeran merupakan pengetahuan ekologi tradisional.
S.belangeran dipandang tidak hanya pada pengetahuan terhadap manfaat atau
khasiatnya untuk pengobatan juga mencakup kepercayaan atau keyakinan.
Pengetahuan ekologi tradisional memang mencakup pengetahuan, penggunaan dan
kepercayaan yang kompleks. Penggunaan S.belangeran oleh masyarakat tradisional
juga merupakan kombinasi antara pengetahuan (cognitive), penggunaan atau
kecenderungan bertindak (tend to act) dan perasaan (affective). Merancang suatu
desain konservasi S.belangeran berdasarkan pengetahuan tradisional masyarakat
mengharuskan kita memahami mekanisme sosial di belakangnya. Hal tersebut akan
mempercepat ditemukannya alternatif-alternatif dalam konservasi sumberdaya atau
kawasan.
Adanya perbedaan yang mendasar dari dampak antara pemanfaatan kayu dan
non kayu. Pemanfaatan kayu bersifat deskruktif dan mengurangi tegakan
S.belangeran sehingga bersifat tidak berkelanjutan. Proses suksesi atau pemulihan
tegakan relatif lama karena regenerasi secara alamiah S.belangeran tergolong lambat
(low growing) dan ketersediaan tegakan dari tingkat tiang, pancang dan semai tidak
merata. Selain itu upaya penanaman buatan S.belangeran sering kesulitan karena
langkanya bibit, lahannya terendam dan keadaan lapangan yang sulit direkayasa untuk
proses penanaman. Kendala teknis dan pendanaan merupakan faktor penting dalam
perencanaan penanaman S.belangeran di hutan kerangas. Tegakan kerangas semakin
diperparah dengan dengan ancaman kebakaran berulang yang terjadi di berbagai spot-
spot hutan kerangas.
Permasalahan menyangkut S.belangeran dan hutan kerangas menjadi sangat
pelik bilamana adanya temuan terindikasikannya gejala keterputusan sistem nilai di
dalam masyarakat. Pada orang-orang tertentu penguasaan pengetahuan tentang
manfaat tumbuhan dari S.belangeran sebagai bahan pengobatan relatif terbatas.
Lemahnya pengetahuan ilmu tentang tanaman obat, disebabkan karena relatif
sedikitnya penduduk usia muda yang memahami penggunaan bahan tanaman
S.belangeran sebagai bahan pengobatan.
Pilihan Model Pengelolaan S.belangeran dari Hutan Kerangas:
1) Pilihan Model Pengelolaan S.belangeran dari Hutan Kerangas
Berdasarkan analisis masalah terkini tentang status dan konservasi
S.belangeran dari hutan kerangas, dipilih 3 model pengelolaan terhadap S.belangeran
yaitu: i) moratorium pemanfaatan kayu S.belangeran, ii) pengelolaan S.belangeran
sebagai tumbuhan obat (HHBK tumbuhan obat), iii) pengelolaan S.belangeran
sebagai penghasil kayu. Analisis pemilihan pengelolaan S.belangeran dilakukan
dengan pendekatan Analisis Hirarki Proses (AHP). Pilihan pakar (expert choice)
digunakan untuk menentukan pengelolaan S.belangeran terbaik dengan didasari oleh
karakteristik nilai manfaat, biofisik, dan sosial ekonomi masyarakat. Pakar dipilih dari
pihak akademisi, Dinas Kehutanan, LSM, praktisi dan pemerhati konservasi
keanekaragaman hayati, dan tokoh Masyarakat. Hasil AHP pilihan pengelolaan
terbaik tertera dalam gambar berikut:

Gambar 4. Hasil AHP untuk pilihan pengelolaan/konservasi S.belangeran


Berdasarkan hasil analisis, pemilihan pengelolaan terbaik saat ini adalah
moratorium pemanfaatan kayu S.belangeran dengan perbandingan nilai
0,493:0,36:0,200 dan nilai inkosistensi sebesar 0,02. Pilihan pengelolaan berikutnya
adalah pengelolaan S.belangeran sebagai tumbuhan obat. Hasil ini temuan ini
mengindakasikan bahwa langkah awal dalam konservasi S.belangeran dari hutan
kerangas adalah perlindungan terhadap sumber daya. Temuan ini sejalan dengan
dijadikannya Hutan kerangas berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 71 tahun
2014 termasuk ke dalam kategori lahan gambut.
Upaya penyelamatan atau perlindungan terhadap S.belangeran dari hutan
kerangas sangat diperlukan saat ini. Keberadaan S.belangeran di hutan kerangas harus
dipulihkan terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan lebih lanjut. Berdasarkan hasil
identifikasi potensi dan struktur tegakan hutan kerangas, keberadaan S.belangeran
potensinya relatif menurun dan struktur tegakannya tidak merata antar tingkatan
vegetasi (pohon-semai). Moratorium diarahkan untuk memulihkan keberadaan
S.belangeran di hutan kerangas.
Konsorsium Revisi HCVF Toolkit Indonesia (2008), menyebutkan harus
dipertahankannya hutan kerangas secara alami dan penambahan zona penyangga
minimal satu kilometer, dimana kegiatan pemanfaatan seminimal mungkin. Prinsip-
prinsip konservasi dengan urutan save it, study it, use it mengharuskan penyelamatan
terhadap sumberdaya S.belangeran terlebih dahulu (save it) dan selanjut dikaji dan
dirancang secara komprehensif (study it) untuk menemukan alternative tentang
pemanfaatan yang memungkinkan dan berkelanjutan (use it). Onrizal (2004),
mengungkapkan bahwa hutan kerangas keberadaannya sangat penting, bukan hanya
untuk melindungi tumbuhannya dan kayunya, juga karena manfaat yang tidak
langsung dari hutan kerangas, seperti penyerapan karbon, perlindungan tata air,
habitat satwaliar, ekowisata dan lainnya.
Berdasarkan hasil AHP dan pernyataan sikap masyarakat tentang aksi
konservasi S.belangeran di hutan kerangas. Konservasi S.belangeran harus diawali
dengan upaya moratorium pemanfaatan kayu S.belangeran. Pemanfaatan
S.belangeran sebagai bahan pengobatan dapat dilakukan tetapi sifatnya masih
subsisten atau untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Pemanfaatan untuk income
masyarakat secara langsung dari hasil penjualan bahan obat belum dapat dianjurkan
karena relatif rendahnya biomassa tegakan dan semakin berkurangnya kualitas dan
kuantitas hutan kerangas yang ada.
Permasalahan semakin langkanya S.belangeran akibat penebangan dan
pemanfaatan kayu secara prinsip disebabkan oleh perilaku ketidakperdulian yang
didorong oleh motif ekonomi dari para pelaku. Perlu upaya pengurangan
ketergantungan terhadap sumberdaya dalam rangka peningkatan perekonomian
masyarakat. Diperlukan strategi pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan
perekonomian melalui pengembangan keahlian dan keterampilan masyarakat yang
tidak atau sedikit bergantung dengan sumber daya hutan. Selama ini kebijakan di
bidang kehutanan diselesaikan dengan perspektif kehutanan dan tidak mengarah pada
akar permasalahan yang terjadi. Perlu rekayasa struktural maupun rekayasa
sosioekonomikultural untuk memecahkan permasalahan kerusakan dan langkanya
sumberdaya hutan.
Pilihan pengelolaan hutan seperti tumbuhan obat dan hasil hutan non kayu
lainnya yang relatif aman terhadap sumberdaya selama ini bukan menjadi utama
dalam rencana pembangunan kehutanan. Dampaknya adalah aspek kelembagaan dan
kebijakan tentang pengelolaan dan pemasarannya menjadi lemah.
Berdasarkan hasil analisis sikap masyarakat tentang S.belangeran dari Tabel 4
mengindikasikan bahwa tidak terbentuknya pemahaman yang lengkap tentang
manfaat S.belangeran dari hutan kerangas. Ketidaklengkapan pemahaman baik nilai
alamiah maupun nilai manfaat dari hutan kerangas menuntut skema tertentu agar
nilai-nilai potensial yang belum terbangun tersebut dapat dipahami dan diterima oleh
individu-individu dari penduduk lokal maupun pengelola. Ketidaklengkapan
pengetahuan diperburuk oleh interest lain yang menekan keberadaan S.belangeran
dari hutan kerangas dan berdampak pada belum terbentuknya sikap konservasi dan
ketidakperdulian terhadap konservasi S.belangeran.
Pendekatan terhadap pemecahan masalah dalam rangka konservasi
S.belangeran sebagai bahan obat alami dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu
pendekatan dengan (1) membangun sikap individu masyarakat pro-konservasi untuk
pemanfaatan lestari S.belangeran (2) pemenuhan prasyarat implementasi bioprospeksi
lestari (3) katalisasi aksi kolektif bagi implementasi bioprospeksi lestari.
Konservasi S.belangeran sebagai bahan obat alami harus memenuhi prasyarat bagi
implementasi pemanfaatan lestari biodiversitas. Pemenuhan prasyarat implementasi
bioprospeksi lestari yang mencakup prasyarat adanya (1) kerelaan berkorban (2)
property right yang jelas (3) dukungan peraturan perundangan (4) dukungan
multipihak (5) penerapan dan penegakan hokum.
Aksi kolektif suatu aksi yang dilakukan sekelompok individu baik secara
langsung maupun melalui suatu organisasi, untuk mencapai kepentingan bersama
(Marshall 1998). Kelompok dapat terbentuk sendiri secara sukarela maupun dibangun
oleh institusi-institusi eksternal baik fomal maupun nonformal. Katalisasi aksi kolektif
mengandung pengertian: mendorong munculnya kembali aksi kolektif. Katalisasi aksi
kolektif bagi implementasi bioprospeksi lestari dapat menjadi kunci keberhasilan
penerapan konservasi jenis S.belangeran dan kawasan hutan kerangas. Katalisasi aksi
kolektif untuk penerapan pemanfaatan berkelanjutan biodiversitas) relatif efektif
apabila memberdayakan kelompok atau institusi lokal yang sudah terdapat dalam
masyarakat. Kelompok atau institusi yang terdapat di dalam masyarakat telah
memiliki modal sosial yang sudah terbangun. Rasa saling percaya, pola komunikasi,
bahasa, hubungan kerjasama telah terbentuk dalam kelompok lokal baik formal
maupun informal. Pemberdayaan kelompok atau institusi lokal juga suatu bentuk
pengakuan terhadap nilai-nilai dari sebagian cara hidup mereka yg telah berjalan
selama ini. Pengakuan seperti ini sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan
diri mereka dan juga penting untuk menghasilkan aksi kolektif yang efektif.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis hierarkhi proses pilihan pengelolaan terbaik
terhadap S.belangeraan saat ini adalah moratorium pemanfaatan kayau untuk tetap
menjaga fungsi jasa lingkungan dan nilai keberadaan biodiversitas. Berdasar temuan
ini penerapan konservasi terhadap S.belangeran sebagai bahan obat alami, paling
tidak sifatnya untuk pemenuhan sendiri (subsisten) dan moratorium pemanfaatan kayu
harus tetap dilakukan. Pendekatan terhadap pemecahan masalah dalam rangka
konservasi S.belangeran sebagai bahan obat alami dapat dilakukan dengan tiga
pendekatan, yaitu pendekatan dengan (1) membangun sikap individu masyarakat pro-
konservasi untuk pemanfaatan lestari S.belangeran (2) pemenuhan prasyarat
implementasi bioprospeksi lestari (3) katalisasi aksi kolektif bagi implementasi
bioprospeksi lestari.
DAFTAR PUSTAKA
Amzu E. 2007. Sikap masyarakat dan konservasi:suatu analisis kedawung (Parkia
timoriana (DC) Merr.) sebagai stimulus tumbuhan obat bagi masyarakat, Kasus di
Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Media Konservasi. XII: 22-32.
Kissinger 2013. Bioprospeksi Hutan Kerangas: Analisis Nepenthes gracilis Korth.
Sebagai Stimulus Konservasi. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Kissinger, Zuhud EAM, Darusman LK, Siregar IZ. 2013. Keanekaragaman Jenis
Tumbuhan Obat dari Hutan Kerangas. Jurnal Hutan Tropis. Vol.1 No.1. Edisi Maret
2013
Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia. 2008. Panduan Identifikasi Kawasan
Benilai Konservasi di Indonesia. Jakarta:Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia.
Onrizal, Kusmana C, Saharjo BH, Handayani IP, Kato T. 2005. Komposisi jenis dan
struktur hutan kerangas bekas kebakaran di Taman Nasional Danau Sentarum,
Kalimantan Barat. BIODIVERSITAS. 6 (4): 263-265.
Proctor, J. 2001. Heath forest and acid soils. Bot.J.Scotl. 51(1), 1-14.
Pujiyanto S dan Ferniah RS. 2009. Aktifitas Inhibitor Alpha-Glukosidase Bakteri
Endofit PR-3 yang Diisolasi dari Tanaman Pare (momordica charantia). BIOMA Vol.
12, No. 1, Hal. 1-5
Sunarni,T., (2005). Aktivitas Antioksidan Penangkap Radikal Bebas Beberapa
kecambah Dari Biji Tanaman Familia Papilionaceae, Jurnal Farmasi Indonesia 2 (2),
2001, 53-61

Tukiran, Achmad SA, Hakim EH, Makmur L, Sakai K, Shimizu K, Syah YM. 2005.
Oligostilbenoids from Shorea balangeran. Biochemical Systematics and Ecology 33
(2005) 631–634. doi:10.1016/j.bse.2004.10.016

Anda mungkin juga menyukai