Anda di halaman 1dari 21

Paper Tube Andalan Pak Ban

“Temporer atau permanennya suatu bangunan bukan


ditentukan materialnya, melainkan tergantung pada
apakah bangunan tersebut dicintai.” Shigeru Ban, arsitek
yang memenangi penghargaan Pritzker Architecture Prize
2014 itu, hendak mengatakan bahwa jika suatu bangunan
dicintai, maka bangunan itu tak akan tergerus waktu.

Selama 20 tahun, Ban berkutat dengan kreativitasnya dan


menghasilkan desain berkualitas tinggi untuk menyikapi
situasi ekstrem, misalnya untuk menanggulangi bencana
alam. Ia membangun tempat penampungan para
pengungsi, pusat berkumpul komunitas, dan rumah ibadah
untuk mereka yang terkena dampak bencana alam. Ketika
bencana terjadi, Ban kerap berada di wilayah tersebut untuk mengobservasi dan berkarya,
seperti yang dilakukannya di Rwanda, Turki, India, Tiongkok, Italia, Haiti, dan tentu saja
kampung halamannya, Jepang.

Bagi Ban, arsitektur yang berkelanjutan (sustainable architecture) bukanlah konsep tempelan.
Alih-alih, itu merupakan unsur intrinsik arsitektur. Ia bergulat dalam menciptakan karya yang
selaras dengan lingkungan dan sebisa mungkin menggunakan material yang dapat
diperbaharui atau yang dihasilkan secara lokal. Tak seperti material utama yang kita temukan
pada sebagian besar konstruksi bangunan, Ban berkreasi menggunakan barang-barang sekitar
yang kadang sudah tidak lagi terpakai, antara lain selongsong kertas (paper tube), bambu,
kain, atau plastik.

Arsitektur kertas

Dari berbagai karyanya, yang paling fenomenal dari Shigeru Ban adalah konstruksi dari
selongsong kertas (paper tube). Barangkali tak pernah terbayang di benak kita untuk
membangun gedung yang rangkanya terbuat dari kertas. Cara berpikir Shigeru Ban
membuatnya mungkin. Paper tube yang padat dan panjang adalah potensi mendirikan
bangunan dengan material yang murah, kuat, sekaligus mudah didapatkan di mana saja.
Karya arsitektur kertas pertamanya, struktur paper tube yang dipamerkan di Aalto Exhibition,
Tokyo, pada 1985.
Setelah pameran tersebut, karya “serius” pertama Ban yang dibuat dari paper tube adalah
penampungan pengungsi yang didirikan di Rwanda pada 1994. Ban menemukan lebih dari
dua juta orang pengungsi korban perang saudara di Rwanda hidup dalam kondisi yang begitu
memprihatinkan. Ia lantas mengajukan ide untuk membuat penampungan berbahan papertube
pada United Nations High Commissioner for Refugees dan mereka mempekerjakan Ban
sebagai konsultan.

Pada tahun-tahun berikutnya, Ban terus menciptakan karya arsitektur berbahan selongsong
kertas untuk kepentingan sosial. Pada 1995 setelah gempa bumi di Kobe, ia membangun
Paper Log House untuk para pengungsi Vietnam. Ia juga membangun Takatori Paper Church
bersama para siswa relawan. Karya ini juga menjadi titik awal untuk mendirikan LSM
Voluntary Architects’ Network (VAN).

Dengan VAN, peran penting arsitektur untuk kemanusiaan terus disebarluaskan. Organisasi
ini membangun hunian temporer di Turki, India, dan Sri Lanka. Ada pula aula konser
L’Aquilla di Italia dan penampungan pengungsi untuk para korban gempa bumi di Haiti.
Setelah gempa bumi besar di Jepang pada 2011, VAN menyediakan 1.800 partisi kertas untuk
mendirikan 50 rumah penampungan.

Tak hanya kuat, ramah lingkungan karena bisa didaur ulang, dan mudah didapatkan,
konstruksi dari selongsong kertas juga bisa menjadi sangat indah. Tahun 2000, Ban
mendesain bangunan dengan struktur serupa cangkang untuk Paviliun Jepang di Hanover,
Jepang. Paper tube ini berukuran besar dengan panjang 20 meter dan diameter 12,1
sentimeter. Material ini juga tahan air karena dilapisi poliuretan. Bahkan, selongsong kertas
ini amat sulit dibakar karena kepadatan materialnya.

The Curtain Wall House

Pondasi rumah dari keranjang bekas


kaleng bir

Pavillion Jepang di Axpo Hannover 2000

Material Rakyat ala Yu Sing


Yu Sing – nama yang sudah tak
asing lagi di dunia arsitektur dan
desain. Yusing dikenal sebagai
arsitek muda dengan karya-karya
arsitekturnya yang unik. Arsitek
muda kelahiran Bandung, 5 Juli
1976 ini menyelesaikan pendidikan
arsitekturnya di jurusan arsitektur
Institut Teknologi Bandung pada
tahun 1999. Usai menyelesaikan
pendidikannya, Yu Sing mendirikan
studio arsitektur yang diberi nama
“Genesis”.

Genesis adalah biro konsultan desain dengan semangat eksplorasi arsitektur kontemporer
terhadap bentuk-bentuk geometris yang kuat. Kiprah Genesis kemudian berkembang pada
penggalian arsitektur vernakular Indonesia dengan karakter rustic yang dipadukan ke dalam
ekspresi kontemporer serta arsitektur berkelanjutan yang ramah lingkungan.

Pada bulan Juni 2011, Genesis berubah nama menjadi Akanoma, yang merupakan singkatan
dari akar anomali dengan makna memperkuat komitmen untuk senantiasa berakar pada
konteks potensi Indonesia dan persoalan masyarakat yang “terpinggirkan”. Hal ini ia
buktikan dengan aktif mengikuti dan menggagas berbagai kegiatan sosial maupun komunitas
sosial. Sebuah proyek filantropi terbaru yang ia gagas adalah “Papan untuk Semua”, yang
bergerak di bidang perumahan dan ruang publik untuk masyarakat. Dalam proyek ini, ia
bersama dengan rekan-rekannya membantu memberikan desain gratis dan juga ikut
menggalang dana untuk membuat rumah layak huni yang aman bagi beberapa masyarakat
yang kurang mampu.

Dengan berbagai kegiatan di atas, Yu Sing menunjukkan komitmen dan kepeduliannya yang
tinggi terhadap bidang arsitektur, lingkungan dan sosial. Hal ini sejalan dengan tekad yang
selalu ia usung, bahwa arsitektur adalah untuk semua, tidak terbatas pada kalangan menengah
ke atas saja.
Material Rakyat

Menggunakan material murah untuk rumah bukan berarti mengesampingkan kualitas. Rumah
tetap bisa dibangun dengan kaidah arsitektur yang benar dan tepat. Hanya bedanya, rumah
dibangun dengan memanfaatkan berbagai komponen material murah, baik bekas maupun
baru. Yu Sing adalah salah satu arsitek pelopor yang kerap menggunakan material-material
tersebut. Material yang digunakan umumnya diklasifikasi berdasarkan kebutuhan. Misal
penggunaan asbes sebagai pengganti genteng atau memanfaatkan bambu sebagai aksen ruang
maupun plafon.

Material murah bisa memanfaatkan material baru maupun bekas. Material baru seperti
multipleks, kayu, batang pohon dan lainnya. Untuk material bekas bisa mengambil dari
bongkaran rumah seperti kusen, daun pintu-jendela, lantai kayu dan lainnya. Ada juga
potongan kayu dolken yang dipotong kecil, kemudian disusun untuk membentuk dinding atau
partisi ruangan.

Dilansir dari wawancara asiagreenbuilding.com, Yu Sing berpendapat bahwa material yang


paling eco-friendly adalah material yang ada di sekitar proyeknya sehingga akan tercipta
hubungan yang harmonis antara alam, bangunan dan penggunanya. Oleh karena itu, karakter
material bangunan karya Yu Sing akan berbeda-beda sesuai dengan lokasinya. Selain itu,
material bisa dikatakan eco-friendly apabila penggunanya berhasil memberikan feedback
terhadap alam. Misalnya jika karyanya menggunakan material kayu, maka dia harus
menyediakan lahan untuk ditanami pohon sebagai timbal baliknya untuk alam.

Pada dasarnya semua material bisa digunakan untuk membangun rumah. Tidak melihat dari
segi murah maupun mahalnya. Terpenting adalah imajinasi pemilik atau sang kreator desain
mampu mengadaptasi material tersebut ke dalam rumah, sehingga rumah yang dihasilkan pun
tetap terlihat menarik. Yu Sing banyak menggunakan material yang tidak umum. Misal
rooster yang kerap digunakan untuk ventilasi dinding dipakainya sebagai pagar rumah dan
dinding.

Potongan kayu dolken juga dimanfaatkan sebagai partisi dan dinding. Terkadang juga
memanfaatkan sebatang pohon nangka sebagai kolom rumah. Tanpa dikuliti atau dibentuk
balokan. Bata merah juga dipasang dengan pola-pola yang unik, sehingga pemasangannya
tidak monoton.
Rumah Murah di Pusat Kota
Sebagian besar material yang digunakan pada rumah ini
adalah material-material yang sering dipakai dan banyak digunakan untuk rumah-rumah
rakyat. Material ini pun dikenal dengan istilah “material rakyat”. Di rumah ini tidak terdapat
material yang mewah. Kondisi kayu kusen, kayu kuda-kuda dan kayu rangka atap rumah
eksisting yang masih dalam kondisi baik dan tidak termakan oleh rayap, digunakan lagi untuk
struktur rangka lantai papan, kusen dan rangka atap rumah panggung.

Rumah ini juga banyak menggunakan bambu. Bahan penutup atap menggunakan genteng
bekas yang dibeli dari pengepul dengan harga jauh lebih murah dari harga genteng baru.
Karena harganya yang murah, genteng dipakai juga sebagai penutup sisi dinding vertikal
yang menghadap ke arah tetangga, dan digunakan sebagai pelapis tampak rumah yang
ditumpuk-tumpuk menjadi sekat kebun. Penggunaan “material rakyat” membuat rumah ini
tampil harmonis dengan lingkungan sekitarnya.

Melalui konsep desain rumah kampung ini, pemilik rumah dapat lebih menghargai alam dan
semakin mempunyai kesadaran untuk hidup harmonis dengan alam dan ramah lingkungan.
Ex Container di Tangan yang Ahli

Saat ini, penggunaan material yang tidak lazim bisa menjadikan bangunan tampak lebih
menarik daripada material yang biasa digunakan, bahkan bisa menjadi tren material baru,
misalnya kotak kontainer bekas, yaitu alat angkut muatan kapal. Ruangan kotak besi ini
cukup praktis dan kuat untuk dijadikan struktur bangunan rendah karena cetakan
permukaannya yang berlipat-lipat memberi kekakuan.

1. Asrama dari Ex Container dan Silo


di Newtown, Johannesburg perusahaan pengembang perumahan, Citiq mencoba membangun
sebuah asrama mahasiswa dengan memanfaatkan kedua bahan diatas yaitu container dan silo
bekas.

Karena berkurangnya fasilitas asrama bagi para siswa disana, Citiq mencoba memanfaatkan
sebuah bangunan yang terdiri dari beberapa tangki silo besar untuk diubah menjadi sebuah
asrama mahasiswa.

Tetapi karena lahannya tidak terlalu besar, Citiq menambahkan area bangunan tersebut
dengan memanfaatkan container bekas yang ditambahkan di bagian atas dan juga samping di
bagian bangunan tersebut.
2. Maison Container Lille karya Patrick Partouche

Terlepas apakah rumah yang terbuat dari kotak kontainer bekas cocok atau tidak bila
diterapkan di Indonesia, satu hal yang pasti bahwa rumah dari kontainer bukan berarti tidak
indah.

Patrick Partouche, seorang arsitek Perancis berhasil membuat sebuah rumah kontainer
menjadi lebih nyaman dengan disainnya yang cantik.
Rumah kontainer ini terdiri dari 8 kotak kontainer yang menghasilkan sebuah rumah dengan
luas sekitar 208 m2.

Untuk memaksimal sinar matahari sebagai penerangan, Patrick menggunakan banyak kaca
jendela yang besar tetapi jenis yang digunakan adalah kaca jendela yang dilapisi Low-E
Coatings yang bisa menolak panas masuk ke dalam tetapi di satu sisi membiarkan sinar
matahari masuk secara optimal.
3. Gerai Starbucks dengan Ex Container
Di Tukwila, Washington, merupakan gerai drive-thru pertama yang dibuat Starbuck dengan
menggunakan 4 buah kontainer bekas.

Selain menggunakan kontainer bekas, gerai ini juga banyak mengadopsi hal lain yang ramah
lingkungan juga mulai dari memanfaatkan air hujan untuk digunakan kembali (disebut Rain
Harvesting) sampai Xeriscaping yaitu mendisain tamannya yang meminimalkan penggunaan
air (mulai dari jenis tanaman yang digunakan sampai disain permukaan tanah untuk membuat
air bisa didistribusi lebih merata).
Langkah Starbucks ini diharapkan bisa diikuti oleh perusahaan besar lainnya mengingat
memang penggunakan kontainer bekas lebih banyak dilakukan oleh perusahaan yang tidak
terkenal selama ini.

Anda mungkin juga menyukai