Anda di halaman 1dari 54

KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillahirabbil’alaamiin, puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan


rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi penilaian Mata Kuliah Aspek Hukum.

Makalah ini telah dibuat dengan bantuan dari berbagai pihak dalam membantu
menyelesaikan penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Dr. Dadan Ramdani, S.E, Ak., M.Si., CA. selaku dosen mata kuliah
Aspek Hukum, yang telah membimbing penyusun dalam pembuatan makalah ini.

Penyusun menyadari bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasa dalam makalah kami. Oleh karena itu penyusun berharap pembaca untuk
memberikan saran serta kritik yang bersifat membangun. Kritik dan saran dari pembaca
sangat penyusun harapkan.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca khususnya para mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa mengenai Hukum
Kekayaan Intelektuan dan Hukum Ketenagakerjaan.

Serang, 17 maret 2019

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Setiap ide-ide yang cemerlang dan kreatif yang tercipta dari seseorang atau

sekelompok orang sebagai bentuk dari kemampuan intelektual manusia yang berguna dan

memberi dampakbaik dari berbagai aspek perlu di akui dan perlu dilindungi, agar ide-ide

cemerlang dan kreatifyang telah diciptakan tidak diklaim atau di bajak oleh pihak lain. Untuk

itu diperlukan wadahyang dapat membantu dan menaungi ide-ide cemerlang dan kreatif

tersebut. Untuk tingkatinternasional organisasi yang mewadahi bidang HAKI (Hak atas

Kekayaan Intelektual) adalahWIPO (World Intellectual Property Organization).


Mewujudkan masyarakat adil dan makmur adalah salah satu tujuan Indonesia
merdeka. Oleh karena itu negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kesejahteraan
bagi rakyatnya secara adil. Salah satu instrumen perwujudan keadilan dan kesejahteraan itu
adalah hukum. Melalui hukum, negara berupaya mengatur hubungan-hubungan antara orang
perorang atau antara orang dengan badan hukum. Pengaturan ini dimaksudkan supaya jangan
ada penzaliman dari yang lebih kuat kepada yang lemah, sehingga tercipta keadilan dan
ketentraman di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu peraturan yang dibuat oleh pemerintah adalah peraturan yang mengatur
hubungan seseorang di dunia kerja. Pakta menunjukkan bahwa banyak sekali orang yang
bekerja pada orang lain ataupun bekerja pada perusahaan. Oleh sebab itu hubungan kerja
antara seorang pekerja dengan majikannya atau antara pekerja dengan badan usaha perlu
diatur sedemikian rupa supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan yang bisa merugikan
salah satu pihak.
Pemerintah telah menetapkan kebijakan dibidang ketenagakerjaan yang dirumuskan
dalam UU No. 13 tahun 2003. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 13 tahun 2003
pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945. Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu pembangunan ketenagakerjaan
dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil,
makmur dan merata baik materiil maupun spiritual.

1
Salah satu permasalahan yang sering muncul dalam hubungan kerja adalah
permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Berakhirnya hubungan kerja bagi tenaga
kerja berarti kehilangan mata pencaharian yang berarti pula permulaan masa pengangguran
dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin kepastian dan ketentraman hidup tenaga
kerja seharusnya tidak ada pemutusan hubungan kerja. Akan tetapi dalam kenyataannya
membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.

1.2 Rumusan Masalah

Hukum kekayaan intelektual


1. Jelaskan pengertian hukum kekayaan intelektual?
2. Jelaskan dasar hukum?
3. Jelaskan jenis-jenis kekayaan intelektual?
4. Jelaskan pengertin hak cipta?
5. Jelaskan pengertian paten?
6. Jelaskan pengertian merek?
7. Jelaskan pengertian desain industri?
8. Jelaskan pengertian rahasia dagang?
Hukum ketenaga kerjaan
1. Jelaskan pengertian dan kedudukan hukum ketenaga kerjaan?
2. Jelaskan hukum positif di bidang ketenaga kerjaan?
3. Jelaskan kerja dan perjanjian kerja dalam hubungan kerja?
4. Jelaskan penyelesaian perselisihan hubungan industrial?

1.3 Tujuan

Hukum kekayaan intelektual


1. Menjelaskan pengertian hukum kekayaan intelektual
2. Menjelaskan dasar hukum
3. Menjelaskan jenis-jenis kekayaan intelektual
4. Menjelaskan pengertin hak cipta
5. Menjelaskan pengertian paten
6. Menjelaskan pengertian merek
7. Menjelaskan pengertian desain industri

2
8. Menjelaskan pengertian rahasia dagang
Hukum ketenaga kerjaan
1. Menjelaskan pengertian dan kedudukan hukum ketenaga kerjaan
2. Menjelaskan hukum positif di bidang ketenaga kerjaan
3. Menjelaskan kerja dan perjanjian kerja dalam hubungan kerja
4. Menjelaskan penyelesaian perselisihan hubungan industrial

1.4 Manfaat

Hukum kekayaan intelektual

1. Mengetahui hukum kekayaan intelektual


2. Mengetahui dasar hukum
3. Mengetahui jenis-jenis kekayaan intelektual
4. Mengetahui hak cipta
5. Mengetahui paten
6. Mengetahui merek
7. Mengetahui desain industri
8. Mengetahui rahasia dagang
Hukum ketenaga kerjaan
1. Mengetahui hukum ketenaga kerjaan
2. Mengetahui hukum positif di bidang ketenaga kerjaan
3. Mengetahui kerja dan perjanjian kerja dalam hubungan kerja
4. Mengetahui penyelesaian perselisihan hubungan industrial

3
BAB II PEMBAHASAN

HUKUM KEKAYAAN INTELEKTUAL

2.1 PENGERTIAN

Kalau kita bicara mengenai Kekayaan Intelektual (KI), maka kita sulit untuk
mendefinisikan, meskipun uraian mengenai K1 dapat digambarkan secara umum

KI pada umumnya berkaitan dengan masalah perlindungan terhadap penerapan suatu


ide dan informasi yang yang telah diwujudkan dan memiliki nilai komersial. Sebagai
kekayaan pribadi yang dapat di miliki dan diperlakukan sama seperti hak kebendaan lainnya
dalam lapangan hukum perdata.

Secara umum terdapat tiga jenis benda yang dapat dijadikan sebagai kekayaan atau
hak milik, yaitu :

1. Benda bergerak, seperti emas, perak, kopi, teh, alat-alat elektronik, peralatan
telekomunikasi dan informasi, dan semacamnya;
2. Benda tidak bergerak, seperti tanah, toko, dan pabrik; dan
3. Benda tidak berwujud, seperti paten, merek, hak cipta.

KI masuk ke dalam bagian benda tidak berwujud. Berbeda dengan hak-hak kelompok
pertama dan kedua yang sifatnya berwujud, KI sifatnya tidak berwujud, berupa informasi,
ilmu pengetahuan, teknologi. seni, sastra, keterampilan, dan sebagainya yang tidak
mempunyai ben- tuk tertentu.

Kata "milik" menunjuk kepada kekayaan yang berupa hak yang mendapat
perlindungan hukum, orang lain tidak diperbolehkan atau dilarang menggunakan haknya
tanpa seizin dari pemiliknya. Kata "inte-lektual" mencerminkan bahwa objek kekayaan
intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir atau produk pemikiran manusia (the
creations of human mind, WIPO, 1988: 3) dalam bentuk ekspresi, ciptaan dan penemuan di
bidang teknologi dan jasa. KI dihasilkan oleh kemampuan sumber daya manusia, sehingga
dengan demikian KI ini tidak dapat dipisahkan dengan sumber daya manusia. Kekayaan
tersebut dilindungi oleh hukum sebagai hak milik. Hak Milik Intelektual adalah hak timbul
dari kemampuan berpikir atau olah pikir yang menghasilkan suatu produk atau proses yang
berguna untuk manusia.

4
2.2 DASAR HUKUM

Peraturan yang terkait dengan Kekayaan Intelektual 1 adalah :

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang


2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek
4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia
Dagang
5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain
Industri
6. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan
Orgaisasi Perdagangan Dunia (WTO)

2.3 JENIS-JENIS KEKAYAAN INTELEKTUAL

Mendasarkan pada World Intellectual Property Organization (WIPO) kekayaan


intelektual dibagi menjadi:

Mendasarkan pada World Intellectual Property Organization (WIPO) kekayaan


intelektual dibagi menjadi:Definisi mengenai KI dalam TRIPs Agreement tidak ditemukan
dan hanya menyebutkan jenis-jenis hak yang dilindungi sebagai berikut:

1. Hak cipta dan hak terkait;


2. Merek dagang;
3. Indikasi geografis;
4. Desain industri;
5. Paten:
6. Tata letak (tópograpi) sirkuit terpadu
7. Perlindungan informasi rahasia;
8. Kontrol terhadap praktik persaingan usaha tidak sehat dalam per- janjian lisensi.

Ruang lingkup hak kekayaan intelektual yang memerlukan perlindungan hukum


secara internasional di dalam GATT/WTO, adalah sebagai berikut:

1. Hak cipta dan hak-hak berkaitan dengan hak cipta


2. Merek;

5
3. Indikasi geografis
4. Rancangan industri;
5. Paten;
6. Desain layout dari sirkuit terpadu;
7. Perlindungan terhadap rahasia dagang (undisclosed information);
8. Pengendalian praktik-praktik persaingan tidak sehat dalam perjanjian lisensi.

Pembagian lainnya menurut para ahli adalah dengan mengelompokkannya dalam dua
cabang besar yaitu:

1. Hak cipta (copyright) beserta hak-hak berkaitan dengan hak cipta (neighboring
rights), dan
2. Hak milik perindustrian atau hak atas kekayaan perindustrian (industrial property
right)

2.4 HAK CIPTA

2.4.1 Pengertian Hak Cipta

Pada Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 (UUHC) disebutkan bahwa:

"Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif
setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam tentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan"

Dalam Pasal 1 angka 2 UUHC yang disebut sebagai pencipta adalah seorang atau
beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama sama menghasilkan suatu ciptaan
yang bersifat khas dan pribadi. Yang dimaksud ciptaan menurut Pasal 1 angka 3 adalah:
setiap

Hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas
inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang
diekspresikan dalam bentuk nyata. Setiap ciptaan pasti ada pemilik atau pemegang hak
ciptanya. Pemegang hak cipta sesuai dengan Pasal 1 angka 4 adalah:

a. Pencipta sebagai pemilik hak cipta,


b. pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari pencipta, atau
c. pihak lain yang menerima lebih lanjut dari pihak yang menerima hak tersebut
secara sah.

6
Hukum KI akan melidungi seorang pengarang buku dari perbuatan penjiplakan yang
dilakukan orang lain tanpa izin. Apabila buku tersebut dijiplak, maka pengarang buku itu
dapat menuntut siapa pun yang menjiplak buku itu ke pengadilan dan menuntut kompensasi
atas kerugianyang dideritanya atau keuntungan yang telah dihasilkan oleh si pelaku penjiplak.
Pengarang juga dapat meminta penetapan sementara pengadilan untuk mencegah terjadinya
penjualan lebih lanjut atas barang-barang yang berasal dari perbuatan yang melanggar
hukum.

Dalam hak cipta dikenal ada dua hak, yaitu hak ekonomi (economic rights) dan hak
moral (moral right). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan segala kemanfaatan secara
ekonomis atas ciptaan serta produk hak terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri
pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus dengan apa pun, walaupun
hak cipta atau hak terkait tersebut telah dialihkan.

Dalam hak cipta terdapat hak eksklusif yang berarti bahwa hak ter- sebut hanya
diberikan kepada pencipta dan tidak diberikan selain kepada pencipta. Hak-hak tersebut
meliputi:

a) hak untuk mengumumkan, dan


b) hak untuk memperbanyak.

Pemanfaatan hak yang dilakukan oleh pihak lain baru bisa setelah mendapatkan atau
memperoleh izin dari penciptanya.

2.4.2 Dasar Hukum Hak Cipta

Hak cipta sekarang diatur dengan Undang Undang Nomor 28 Ta- hun 2014 tentang
Hak Cipta atau UUHC 2014. Di Indonesia pernah menggunakan aturan yang berlaku pada
zaman penjajahan yang disebut Auteurswet 1912 yang berlaku sampai dengan tahun 1982.

Tahun 1982 untuk pertama kalinya Indonesia mengeluarkan undang-undang sendiri


yakni UU No. 6 Tahun 1982, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1987. Perubahan kemudian terjadi pada tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1997, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002. Perubahan terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang hak cipta seperti yang disebutkan di atas.

2.4.3 Objek Hak Cipta

7
Ciptaan yang dilindungi oleh hukum hak cipta bisa dilihat di dalam Pasal 40 UUHC
2014, yakni ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mencakup :

a. buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya
tulis lainnya
b. ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan sejenis lainnya
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim
f. karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi,
seni pahat, patung, atau kolase;
g. karya seni terapan;
h. karya arsitektur;
i. peta;
j. karya seni batik atau seni motif lain;
k. karya fotografi;
l. Potret;
m. karya sinematografi;
n. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen,
modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi atau modifikasi ekspresi budaya
tradisional;
o. Terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya
tradisional;
p. kompilasi ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan program
komputer maupun media lainnya;
q. kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya
yang asli;
r. permainan video; dan
s. program komputer.

2.4.4 Batasan Terhadap Pemberian Hak Cipta

8
Pada umumnya semua hasil karya manusia dilindungi oleh Undang-Undang Hak
Cipta, namun ada beberapa pengecualian. Hasil karya yang tidak dilindungi hak cipta
berdasarkan Pasal 41 adalah:

a. hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata;


b. setiap ide, prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip, temuan atau data walaupun
telah diungkapkan, dinyatakan, digambarkan, dije- laskan, atau digabungkan
dalam sebuah ciptaan; dan
c. alat, benda, atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesai- kan masalah
teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk ke butuhan fungsional.

Begitu juga menurut Pasal 42, tidak ada hak cipta atas hasil karya berupa:

a. hasil rapat terbuka lembaga negara;


b. peraturan perundang-undangan;
c. pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah;
d. putusan pengadilan atau penetapan hakim; dan
e. kitab suci atau simbol keagamaan

Setiap tindakan yang mengambil karya orang lain atau pihak lain tanpa seizin dari
pencipta atau pemegang hak cipta bisa di bagai pelanggaran, namun ada beberapa yang tidak
anggap se anggap sebagai pelanggaran seperti yang diuraikan dalam Pasal 43 sampal dengan
49 dan Pasal 51 UUHC 2014. Dalam Pasal 43 disebutkan yang tidak dianggap sebagai
pelangagaran yakni :

a. Pengumuman, pendistribusian, komunikasi, dan/atau penggadaan lambang negara


dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
b. Pengumuman, pendistribusian, komunikasi, dan/atau penggandaan segala sesuatu
yang dilaksanakan oleh atau atas nama pemerintah, kecuali dinyatakan dilindungi
oleh peraturan perundang-undangan, pernyataan pada ciptaan tersebut, atau ketika
terhadap ciptaan tersebut dilakukan pengumuman, pendistribusian, komu- nikasi,
dan/atau penggandaan;
c. Pengambilan berita aktual, baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita,
lembaga penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan
sumbernya harus disebutkan secara lengkap; atau
d. pembuatan dan penyebarluasan konten hak cipta melalui media teknologi
informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan

9
pencipta atau pihak terkait, atau pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas
pembuatan dan penyebarluasan tersebut.
e. Penggandaan, pengumuman, dan/atau pendistribusian potret presiden, wakil
presiden, mantan presiden, mantan wakil presiden. pahlawan nasional, pimpinan
lembaga negara, pimpinan kementerian/lembaga pemerintah non kementerian,
dan/atau kepala daerah dengan memperhatikan martabat dan kewajaran sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 44 menyebutkan bahwa:

1) Penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan


dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak
dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau
dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:
a. pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah. penyusunan laporan, penulisan
kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak menugikan kepentingan yang
wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta,
b. keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan.
c. ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilnu tahuan; atau
d. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan
tidak merugikan kepentingan dari pencipta.
2) Fasilitasi akses atas suatu ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang
kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna
huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran
hak cipta jika sumber nya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali
bersifat komersial
3) Dalam hal ciptaan berupa karya arsitektur, pengubahan sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika dilakukan
berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis.

10
2.4.5 Perlindungan Hukum Hak Cipta

Jangka waktu perlindungan bagi:

a. Pelaku, berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya tersebut pertama kali
dipertunjukkan atau dimasukkan ke dalam media audio atau media audiovisual;
b. Produser rekaman suara, berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya
tersebut selesai direkam;
c. Lembaga penyiaran, berlaku 20 (dua puluh) tahun sejak karya siaran tersebut
pertama kali disiarkan
d. Buku, pamflet, drama, tari, koreografi, senirupa, seni batik, lagu atau musik,
arsitektur, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan sejenis lain, alat peraga, peta,
terjemah, tafsir, saduran dan bunga rampai adalah 70 (tujuh puluh) tahun setelah
pencipta meninggal dunia Program komputer, sinematogras, fotografi, database ,
karya hasil pengalihwujudan adalah 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali
diumumkan;
e. Yang dipegang atau dilaksanakan oleh negara adalah 50 (lima puluh) tahun sejak
pertama kali diketahui umum, yang dilaksanakan oleh penerbit adalah 50 (lima
puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan.

2.4.6 Prosedur Pendaftaran Hak Cipta

Beberapa langkah atau tahapan yang harus dilakukan untuk pendaftaran ciptaan dalam
daftar umum ciptaan adalah sebagai berikut:

a. Permohonan diajukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta atau kuasa
(Konsultan yang terdaftar) kepada direktorat hak cipta;
b. Dibuat dengan surat rangkap 2 (dua) yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan
disertai contoh ciptaan atau penggantinya dengan dikenai biaya;
c. Direktorat jenderal akan memberikan keputusan paling lama 9 (11embilan) bulan
terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap:
d. Pendaftaran akan diumumkan dalam berita resmi ciptaan oleh di- rektorat
jenderal.

Pendaftaran ciptaan dalam daftar umum ciptaan tidak mengandung arti sebagai
pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari ciptaan yang didaftar. Direktorat jenderal

11
yang menyelenggarakan pen- daftaran tidak bertanggung jawab atas isi, arti, maksud, atau
bentuk ciptaan yang terdaftar.

2.5 PATEN

2.5.1 Pengertian Paten

Pasal 1 angka 1 UUP 13 Tahun 2016 tentang Paten menyebutkan bahwa:

"Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di
bidang teknologi, untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau
memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya."

Istilah invensi digunakan untuk penemuan dan inventor adalah penemunya. Istilah
penemuan diubah menjadi invensi, istilah invensi jauh lebih tepat dibanding penemuan sebab
kata penemuan memiliki aneka pengertian. Termasuk dalam pengertian penemuan, misalnya
menemukan benda yang tercecer di beberapa tempat. Istilah invensi dalam kaitannya dengan
paten adalah hasil serangkaian kegiatan se- hingga tercipta sesuatu yang baru atau tadinya
belum ada. Dalam bahasa Inggris juga dikenal antara lain kata-kata to discover, to find, dan
to get yang sangat berbeda artinya dengan to invent dalam kaitannya dengan paten.

Istilah invensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka, edisi
kedua tahun 1999. Sejalan dengan itu, maka kata penemu menjadi inventor. Invensi ini tidak
mencakup:

a. kreasi estetika;
b. skema;
c. aturan dan metode untuk melakukan kegiatan:
1) yang melibatkan kegiatan mental;
2) permainan;
3) bisnis.
d. aturan dan metode mengenai program komputer
e. presentasi mengenai suatu informasi.

2.5.2 Objek Hak Paten

Ketentuan tentang objek paten adalah :

a. hasil invensi di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses atau
penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses

12
b. invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam
industry.

Paten tidak diberikan untuk invensi tentang:

a. proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya


bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas
agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
b. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang
diterapkan terhadap manusia dan atau hewan;
c. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau
d. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik, dan proses biologis yang esensial
untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses
mikrobiologis.

2.5.3 Perlindungan Hukum bagi Hak Paten

a. paten biasa diberikan perlindungan hukum untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh)
tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang
dan tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu tersebut dicatat dan diumumkan;
b. paten sederhana diberikan perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu tidak bisa diperpanjang. Paten
sederhana secara umum adalah produk atau alat yang dilindungi, diperoleh dalam waktu
yang relatif singkat, dengan cara yang sederhana dengan biaya yang relatif murah, dan
secara teknologi juga bersifat sederhana.

2.5.4 Prosedur Permohonan Pendaftaran Paten

Diajukan oleh pemohon atau kuasanya, secara tertulis dalam bahasa Indonesia ke DJKI.

a. Kelengkapan syarat-syarat permohonan harus sudah diserahkan/dipenuhipaling


lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman permohonan/pengiriman
permontaan, dapat diperpanjang paling lama 2 (dua) bulan atas permointaan
permohonan, dan dapat diperpanjang lagi paling lama 1 (satu) bulan setelah
berakhirnya jangka waktu tersebut dengan ketentuan bahwa permohonan
dikenakan biaya. Permohonan pendaftaran paten dapat diubah ataupun di tarik
kembali oleh pemohon atau kuasanya.

13
b. Pengumuman permohonan dapat dilihat segera setelah 18 (delapan belas) bulan
sejak tanggal penerimaan di DJKI di berita resmi paten yang diterbitkan secara
berkala oleh DJKI dan selama 6 bulan pengumumannya diumumkan untuk paten
biasa dan selama 3 bulan untuk paten sederhana.

2.6 MEREK

2.6.1 Pengertian Hak Merek


Di dalam Pasal 1 angka 1 UU Merek Nomor 20 Tahun 2016 atau UUM 2016 disebut bahwa:

“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan
warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan
dalam kegiatan perdagangan berang atau jasa.”

Secara sederhana merek dapat diartikan suartu (gambar atau nama) yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasikan suatu produk atau perusahaan di pasaran. Sebagai,
informasi, di beberapa negara, suara, bau, dan dapat didaftarkan sebagai sebuah merek.
Definisi merek terus mengalami perkembangan dan perubahan dengan berdasarkan pada
semakin meningkatnya kebutuhan perlindungan hukum terhadap produk yang dihasilkan oleh
para pelaku usaha.
Ada beberapa merek yang ada yaitu: merek dagang (trade mark), merek jasa (service
mark), dan merek kolektif (collective mark).
Pasal 1 angka 2 dan 3 UUM 2016 memberikan pengertian bahwa: “Merek dagang adalah
merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis
lainnya.”
“Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan
dengan jasa-jasa sejenis lainnya.”
Adapun “Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa
dengan karakteristik yang sama diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum
secara bersama-sama untuk membedakan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.”

14
Suatu merek dikatakan berbeda apabila tidak memiliki unsur-unsur persamaan dengan
merek lainnya untuk barang dan jasa sejenis yang sudah terdaftar. Adanya unsur persamaan,
yang menghilangkan sifat pembeda itu ada apabila merek tersebut memiliki unsur-unsur
persamaan dengan merek yang terdaftar secara keseluruhannya (100%) atau pada pokoknya
(tidak perlu 100%).
Merek yang memiliki kesamaan tersebut, baik keseluruhannya maupun pada
pokoknya tidak akan didaftarkan oleh kantor merek atau dapat diajukan keberatan oleh pihak
yang berkepentingan dalam masa pengumuman selama proses pendaftaran berlangsung.

2.6.2 Batasana Terhadap Merek

Merek tidak dapat didaftarkan apabila merek tersebut mengandung:


a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas
agama, kesusilaan atau ketertiban umum
b. tidak memiliki daya pembeda
c. telah menjadi memiliki umum
d. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan
pendaftarannya.

2.6.3 Permohonan Merek yang Ditolak

Merek tidak dapat didaftarkan apabila merek tersebut:


a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak
lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis.
b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang
sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis.
c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi
geografis yang sudah dikenal.
d. merupakan atau menyerupai nama orang terkenal foto, atau nama badan hukum
yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dan dari yang hak.
e. merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan, nama, bendera, lambang
atau simbol atau emblem negara atau lambang nasional maupun internasional
kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.

15
f. merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang
digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis
dan pihak yang berwenang.

2.6.4 Perlindungan Hukum Merek

Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh)


tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang 10 (sepuluh)
tahun lagi. untuk perpanjangan jangka waktu dapat disetujui atau ditolak oleh Dirjen KI.
Perpanjangan jangka waktu perlindungan merek terdaftar dicatat dalam daftar umum
merek dan diumumkan dalam berita resmi merek serta diberitahukan secara tertulis kepada
pemilik merek atau kuasanya.

2.6.5 Prosedur atau Tata Cara Pendaftaran Merek

a. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal
KI dan ditandatangani permohonan atau kuasanya dan mencantumkan identitas secara
jelas dan lengkap.
b. Permohonan untuk 2 (dua) kelas barang atau lebih dan/atau jasa dapat diajukan dalam
satu permohonan dengan menyebutkan jenisnya.
c. Permohonan dengan menggunakan hak prioritas harus diajukan dalam waktu paling lama
6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan pendaftaran merek yang
pertama kali diterima di negara lain, yang merupakan anggota Paris Convention for the
Protection of Industrial Property atau anggota Agreement Establishing the World Trade
Organization dengan disertai bukti penerimaan pendaftaran merek pertama kali yang
menimbulkan hak proritas tersebut dengan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
apabila tidak dipenuhi oleh permohonan, maka dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan
permohonan tetap diproses, namun tanpa menggunakan hak prioritas.

2.7 DESAIN INDUSTRI

Desain Industri mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada awalnya desain
industri masuk rezim dan dilindungi oleh undang-undang dengan Hak Cipta. Dalam

16
perkembangannya desain industri diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000
tentang Desain Industri.

2.7.1 Pengertian Desain Industri

Desain Industri merupakan suatu kreasi tentang bentuk konfigurasi posisi, garis,
warna, gabungan daripadanya yang berbentuk tiga atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk
menghasilkan suatu produk, barang, komuditas industri atau kerajinan tangan.
Seperti halnya hak cipta, hak desain industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara
kepada pendesain atas hasil kreasinya selama waktu tertentu melaksanakan sendiri,
memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut. Dari
pengertian tersebut kita dapat menemukan unsur-unsur dari desain industri adalah sebagai
berikut:
a. Kreaksi yang dilindungi oleh UU desain industri bentuk tiga dimensi (bentuk dan
konfigurasi) atau dua dimensi (komposisi garis atau warna)
b. Kreaksi tersebut memberikan kesan estetis.
c. Kreaksi tersebut dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk barang
komoditas industri, atau kerajinan tangan

Dari 3 unsur tersebut yang sulit diperiksa adalah masalah estetika karena penilaian
estetika bersifat sangat subjektif.

2.7.2 Lingkup Desain Industri

Pemegang Hak Desain Industri memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Hak
Desain Industri yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya
membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan/atau mengedarkan barang yang
diberikan hak desain industri.
Hak desain industri diberikan untuk desain industri yang baru. dianggap baru apabila
pada tanggal penerimaan desain industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang
telah ada sebelumnya. Hak desain industri tidak dapat diberikan apabila desain industri
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum,
agama atau kesusilaan.

17
2.7.3 Pendaftaran Desain Industri

Pendaftaran untuk desain industri diajukan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan


Intelektual dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Diajukan permohonan kepada Dirjen KI
b. Wajib melampirkan:
1) Contoh fisik atau gambar atau foto dan uraian dari desain industri yang
dimohonkan pendaftarannya(satu desain industri atau beberapa desain industri
yang merupakan satu kesatuan desain industri atau yang memiliki kelas yang
sama).
2) Surat pernyataan bahwa desain industri yang dimohonkan pendaftarannya
adalah milik pemohon atau milik pendesain.
3) Dalam hal permohonan diajukan oleh bukan pendesain, dimohonkan harus
disertai penyataan yang dilengkapi dengan bukti yang cukup bahwa pemohon
berhak atas desain industri yang disangkutkan.
4) Pihak yang untuk pertama selain mengajukan permohonan dianggap sebagai
pemegang hak desain industri, kecuali jika terbukti sebaliknya.

2.8 RAHASIA DAGANG

2.8.1 Pengertian Rahasia Dagang

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang


menyatakan:

“Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi
dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga
kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.”

Dari pengertian tersebut yang harus digarisbawahi tentang rahasia dagang adalah:

a. Dalam dagang teknologi atau bisnis


b. Yang tidak diketahui oleh umum mempunyai nilai ekonomi karena
penggunaannya dalam perdagangan atau bernilai komersial kalau kerahasiaannya

18
dapat digunakan untuk kemajuan aktivitas bisnis atau untuk meningkatkan
keuntungan secara ekonomi
c. Sifat setelah dipelihara dengan baik oleh pemilik informasi, di sini harus ada
kewajiban untuk melindungi dengan mengambil langkah yang layak dan patut.

2.8.2 Lingkup Rahasia Dagang

Rahasia dagang meliputi:

a. Metode produksi
b. Metode pengolahan
c. Metode penjualan
d. Informasi teknis atau penelitian dan pengembangan, formula-formula dan metode
pengolahan bahan-bahan kimia dan makanan, metode dalam penjualan usaha,
informasi tentang keinginan konsumen, jumlah atau besarnya langganan,
perencanaan, data, informasi faktur, rumus-rumus perancangan, analisis dalam
rencana pemasaran, perangkat lunak computer, kode-kode akses pemasaran serta
rencana usaha.
e. Informasi lain di bidang teknologi atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan
tidak diketahui oleh masyarakat secara umum

Rahasia dagang ini berkembang secara luas akan tetapi intinya mencakup informasi
teknik dan nonteknik.

2.8.3 Perlindungan Hukum Rahasia Dagang

Rahasia Dagang mendapatkan perlindungan hukum dengan waktu tidak terbatas.


Berkenaan dengan penemuan dan rumus-rumus di bidang produksi perdagangan jangka,
waktu itu penting adanya karena jika dilindungi dengan paten, maka sehabisnya jangka waktu
perlindungan informasi bersangkutan akan menjadi milik umum (public dominan). Dan,
setiap orang dapat mengaksesnya tanpa dianggap melanggar hukum. Informasi dalam rahasia
dagang merupakan salah satu potensi secara strategis yang harus dipegang teguh untuk dapat
bersaing dengan kelompoknya. Maka dengan adanya perlindungan rahasia dagang ini

19
informasi dapat dilindungi seterusnya dan haknya tetap melekat pada pemiliknya. Informasi
tetap terjaga karena informasi itu bersifat tertutup (undisclosed closed).

Perlindungan dalam rahasia dagang memiliki keuntungan:

a. Tidak terlalu mendalam seperti syarat paten yang mengharuskan suatu sifat
kebaruan atau “novelty” dan dapat diterapkan dalam industri.
b. Tidak ada sistem yang mengharuskan berbeda dengan penemu pertama, sepanjang
waktu orang boleh menyimpan rahasia dagang dan memelihara haknya terdapat
gangguan orang lain tanpa perlu memikirka apakah orang lain mempunyai
informasi yang serupa.
c. Biaya lebih murah jika dibandingkan Paten, karena tidak perlu mengeluarkan
iuran tahunan (annuities/annual fee/maintenancefee) dan biaya berkaitan dengan
formalitas pendaftaran.

20
HUKUM KETENAGAKERJAAN

2.1 PENGANTAR

Pembahasan dan pemahaman tentang praktik-praktik ketenagakerjaan dalam tatanan


perekonomian global dan alam demokrasi yang semakin heterogen serta hukum-hukum
positif yang mengatur perlu mendapatkan perhatian. Tidak dapat dimungkiri dalam bidang
ketenagakerjaan sering memunculkan permasalahan yang perlu diselesaikan dengan baik agar
terciptanya penegakan hukum yang adil dan bijaksana. Prinsip sederhana dalam penegakan
hukum adalah terwujudnya hak yang seimbang dengan kewajibannya, dan pemahaman akan
substansi aturan sebagai hukum positif yang berlaku agar pengenjawantahan hak dan/atau
kewajiban tidak berlebihan yang pada akhirnya memunculkan kondisi ketidakadilan dalam
tatanan praktis.tersebut. Pemahaman terhadap tatanan praktis tersebut dapat diperoleh dari
aspek-aspek normatif maupun empiris setiap pelaku dalam praktik-praktik ketenagakerjaan
dengan cukup, kalaupun tidak mau disebutkan harus lebih banyak memahami hal-hal yang
dasar-dasar saja.
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan praktik ketenagakerjaan yang tidak hanya
sebagai suatu fondasi pemahaman terhadap hukum-hukum positif yang berlaku, tetapi juga
diperkaya dengan aspek empiris dan filosofis dalam mengedepankan substansi keilmuan
hukum dalam tatanan norma, asas, dan nilai, serta empiris. Aspek normatif sudah tentu
merupakan penyajian terhadap hukum positif yang sering dan menjadi substansi hukum yang
digunakan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan yang berkisar
kepada penyelisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan hak dan diikuti kepentingan,
dan perselisihan antar serikat pekerja maupun serikat pekerja dengan pengusaha penghentian
hubungan kerja serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Sedangkan aspek empiris yang disajikan adalah landasan dari pengamatan dan
pengalaman para penulis sebagai praktis hukum dan personalia/human capital di perusahaan
Iron Sarira selama ini menggeluti bidang ketenagakerjaan dalam lingkup mikro conditional
(syarat kerja) dan makro minimal (norma kerja) dalam tugas dan fungsinya sebagai
pelaksanaan di perusahaan pada bagian personalia hingga human capital sejak tahun 1985.
Penyesuainnya Erna Ratnaningsih adalah advokat yang telah memiliki pengalaman dalam
menangani kasus kasus ketenagakerjaan termasuk mengajukan permohonan hak uji material
(judicial review) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.

21
2.2 PENGERTIAN DAN KEDUDUKAN HUKUM
KETENAGAKERJAAN

2.2.1 Pengertian Hukum Ketenagakerjaan

Pengertian atau definisi hukum ketenagakerjaan atau perburuhan berbeda-beda hal


ini tergantung pada cara pandang melihat dari satu sisi saja tanpa memperhatikan sisi lainnya
yang tidak kalah penting untuk dijelaskan. Misalnya ada yang melihat dari sudut subjek
hukum saja atau segi materi atau permasalahan yang diatur saja. Tanpa melihat dari sudut
pandang ruang lingkup waktunya (tjidsgebied) atau dari sudut pandang ruang lingkup
wilayah (ruimtegebied). A.N. Moleanaar menyatakan hukum perburuhan atau suatu bagian
dari hukum yang berlaku yang mengatur hubungan antara buruh dengan buruh, buruh dengan
penguasa, buruh dengan Penguasa dan penguasa dengan pengusaha. Imam Soepomo
mendefinisikan hukum pembunuhan adalah himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak
tertulis yang berkenan dengan suatu kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain
dengan menerima upah. Adapun yang dimaksud dengan ketenagakerjaan di dalam pasal 1
angka 1 UU Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada
waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.
Hukum ketenagakerjaan adalah suatu sistem hukum yang tersusun dalam
sekumpulan pasal-pasal dan ayat-ayat yang dibuat oleh pihak-pihak yang memiliki
kompetensi dan kewenangan untuk mengatur dan menjadikan sistem Ketenagakerjaan
menjadi lebih dapat diterima oleh pihak-pihak yang terlibat dalam mekanisme hubungan
industrial yang berwawasan keadilan, penuh tanggung jawab, dan bermartabat. Keterlibatan
pihak-pihak kompetensi tersebut dalam merumuskan peraturan ketenagakerjaan diharapkan
dapat mewujudkan produktivitas individu dan nasional yang mempunyai daya saing dan nilai
tambah dalam pencapaian tingkat kesejahteraan hidup dan ketentraman berusaha.
Sedangkan sistem hukum ketenagakerjaan adalah hukum hukum positif yang
mengatur aspek-aspek ketenagakerjaan yang meliputi syarat kerja, norma kerja, dan
pengawasan kerja. Peraturan tersebut harus berwawasan keadilan, bertanggung jawab dan
bermartabat yang berlandaskan kepada UUD 1945 dan Pancasila. Hubungan kerja yang
dilakukan oleh masing-masing subjek hukum dan suatu perbuatan hukum pasti mewakili
kepentingan hak dan kewajiban mereka masing-masing bertujuan agar pekerja, sebagai
subjek hukum yang melakukan pembelian pikiran dan tenaganya, mendapatkan balas jasa

22
yang sesuai untuk diri dan keluarganya, sementara perusahaan, sebagai suatu badan hukum
yang melakukan kegiatan produksi barang dan jasa bisa mendapatkan keuntungan dari proses
produksi tersebut. Apabila kesejahteraan dan keuntungan dari masing-masing subjek hukum
tersebut terpenuhi maka dapat mewujudkan nilai-nilai keselarasan dan keseimbangan
nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Oleh sebab itu, ruang lingkup ketenagakerjaan harus mencakup hal-hal sebagai
berukut:
a. Seperangkat sistem Hukum: hukum-hukum positif yang mengatur aspek-aspek
ketenagakerjaan yang meliputi syarat kerja, norma kerja, dan pengawasan kerja.
b. Subjek hukum yang memiliki kompetensi dan kewenangan: pihak pemerintah
bersama DPR.
c. Mengatur aspek-aspek ketenagakerjaan: syarat kerja adalah sejak terjadinya
hubungan kerja; norma kerja adalah dalam proses hubungan kerja yang Bahkan
mengejawantahkan aspek hak dan kewajiban yang seimbang; pengawasan kerja
adalah ketertiban instansi pemerintah dalam pelaksanaan hubungan kerja agar
terciptanya keselarasan dan keseimbangan antara para pihak.
d. Berwawasan keadila, nertanggung jawab, dan bermartabat: bahwa hubungan
industrial yang berlandaskan kepada UUD 1945 dan Pancasila harus merupakan
pelaksanaan dari amanat UUD 45 dan manifestasi dari nilai-nilai Pancasila.
e. Keseimbangan hak dan kewajiban para pihak: bahwa hubungan kerja merupakan
suatu bentuk berhubungan hukum yang dilakukan oleh masing-masing subjek
hukum dalam suatu perbuatan hukum yang mewakili kepentingan atas hak dan
kewajiban masing-masing subjek hukum.
f. Bertujuan untuk individu dan nasional: bahwa secara individu pekerja merupakan
subjek hukum yang melakukan pemberian dan tenaganya guna mendapatkan balas
jasa berupa penikmatan untuk diri dan keluarganya, sementara perusahaan sebagai
suatu badan hukum yang melakukan kegiatan produksi barang dan jasa terhadap
mendapatkan untungan dari proses produksi tersebut. Dalam kajian tersebut, jika
kesejahteraan dan keuntungan dari masing-masing subjek hukum terpenuhi, maka
dapat mewujudkan nilai-nilai keselarasan dan keseimbangan nasional dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
g. Ketentraman berusaha terhadap imbalan atas jasa yang diberikan maka pekerja
diharapkan dapat menggapai tingkat kesejahteraan hidup yang layak, sementara
23
perusahaan dalam kondisi hubungan kerja yang kondusif dapat melangsungkan
kegiatan produksinya secara tentram dan terhindar dari hal-hal yang dapat
menimbulkan konflik dan pertikaian.

2.2.2 Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan

Permasalahan awal dari hukum ketenagakerjaan adalah terkait perjanjian kerja antara
buruh dan pengusaha, yakni hanya menyangkut kepentingan perdata, yang dalam hal ini
berarti terkait dengan aspek hukum perdata. Permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan
yang kemudian muncul dalam suatu perselisihan atau permasalahan yang dirasakan perlu
untuk intervensi dan otoritas dari pemerintah, hal ini menjadikan kondisi bahwa hukum
ketenagakerjaan sudah masuk kedalam ranah hukum publik, baim dalam aspek hukum tata
usaha negara dan/atau hukum pidana. Dibawah ini akan digambarkan skema dan penjelasan
mengenai hukum ketenagakerjaan dalam Sistem Hukum Indonesia, sebagai berikut :

Perjanjian kerja antara pihak pekerja


Hukum Perdata
dengan pengusaha

Perjanjian kerja yang tidak


Hukum
Hukum Pidana mengikutsertakan pekerja ke dalam
Ketenagakerjaan
program Jamsostek

Pengusaha wajib melaporkan


Hukum TUN keberadaan perusahaan
berdasarkan UU WL No. 7/81

SKEMA 6.1. Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan dalam Sistem Hukum Indonesia

a) Hukum Ketenagakerjaan Ditinjau dari Hukum Perdata


Pada saat para pihak sepakat menandatangani perjanian kerja untuk suatu
waktu tertentu, maka pada saat tersebut telah dilaksanakan suatu implementasi
tehadap Pasal 1320 KUH Perdata sebagai syarat sah pelaksanaan suatu bentuk
hubungan hukum untuk memberikan dan menerima suatu objek hukum berupa
pekerjaan yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang mengikatkan dirinya
dalam suatu perjanjian termaksud, hal ini selaras dengan apa yang disebutkan pada

24
Pasal 1338 KUH Perdata di mana perjanjian sepanjang telah memenuhi syarat sahnya
(1320 KUH Perdata), maka wajib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh para
pihak yang berjanji selayaknya suatu undang-undang bagi mereka. Hal manakala
terjadi pengingkaran atas perjanjian ini, maka dapat diartikan sebagai suatu bentuk
wanprestasi (ingkar janji) atau perbuatan melawan hukum (PMH).
Ilustrasi contoh kasusnya adalah seorang tenaga kerja telah mengikatkan
dirinya dalam suatu perjanjian kerja dengan status hubungan kerja kontrak (PKWT)
dan telah menyepakati dengan penandatanganan perjanjian kerja tersebut pada tanggal
1 November 2016 untuk jangka waktu 1 tahun. Dalam salah satu isi pasal perjanjian
disebutkan bahwa hubungan kerja dimulai pada tanggal 1 Desember 2016. Pada
perjalanannya, si tenaga kerja sebelum pelaksanaan tanggal hubungan kerja dimulai
memberikan informasi secara verbal kepada pihak perusahaan bahwa dirinya tidak
jadi untuk bekerja dengan alasan tidak disetujui oleh pimpinan perusahaan yang lama
untuk keluar, dan ditawarkan dengan remunerasi yang lebih berupa promosi dan
peningkatan gaji dan benefit. Si tenaga kerja menuliskan pengunduran dirinya secara
tertulis dan menyerahkan ke calon atasannya melalui pihak ke-3 (cleaning service)
pada perusahaan tersebut dan terserahkan sudah pada saat tanggal hubungan kerja
dimulai (di atas tanggal 7 bulan Desember 2016). HRD perusahaan calon tenaga kerja
berdasarkan informasi dan koordinasi dengan atasan calon karyawan tersebut
meminta untuk dikirimkan surat panggilan pertama atas si calon karyawan karena
tidak hadir pada hari pertama dan seterusnya, sehingga dilakukan pengiriman surat
panggilan kedua atas ketidakhadiran yang melebihi 5 hari kerja sehingga apabila tidak
hadir sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam surat panggilan kedua, maka akan
dikualifikasikan bahwa calon tenaga kerja tersebut melakukan pengunduran diri
akibat kemangkiran 5 hari kerja. Atas konsekuensi ini, maka pengunduran diri si
calon tenaga kerja tersebut mempunyai implikasi terhadap konsekuensi penalty atas
kontrak yang telah ditandatangani, dan wajib membayar atas tidak terpenuhinya bulan
selama kontrak dikalikan upah yang disepakati.
Dalam penanganan kasus ini, setelah pelayangan surat panggilan ke-2 tidak
terealisasi dengan pertemuan sesuai dengan tanggal dan tempat yang telah disepakati,
maka pihak perusahaan masih dapat melakukan pemanggilan secara verbal melalui
kontak telepon atau email ke calon tenaga kerja untuk membicarakan permasalahan
yang terjadi dan mencari jalan keluarnya bagaimana berdasarkan asas musyawarah
untuk mufakat. Perusahaan akan mempertanyakan kewajiban tenaga kerja atas
25
perjanjian yang telah disepakatinya dan apabila tidak dapat dipenuhi, maka tenaga
kerja tersebut wajib memenuhi kewajibannya atas konsekuensi penalty yang diatur
dalam perjanjian yang telah disepakati. Apabila penanganan secara bipartit ini tidak
dapat diselesaikan, maka pihak perusahaan dapat meneruskan permasalahan ini
dengan mengajukan permohonan untuk proses mediasi pada tingkat keterlibatan pihak
pemerintah yang dalam hal ini dapat diajukan ke Kantor Suku Dinas Tenaga Kerja di
wilayah kabupaten atau kotamadya atau langsung ke tingkat Kantor Dinas Provinsi
setempat, berdasarkan tempat terjadinya perkara atau locus delicti. Perlu diingat
bahwa proses mediasi merupakan salah satu cara dari proses penyelesaian sengketa di
luar pengadilan atau Alternative Dispute Resolution (ADR) yang wajib dilakukan
oleh pihak-pihak yang bersengketa hingga dikeluarkannya suatu anjuran dari mediator
sebagai akhir proses bahwa apakah proses berakhir secara sepakat atau tidak sepakat.
Manakala proses tersebut berakhir secara tidak sepakat, maka salah satu pihak dapat
melanjutkan permasalahan ini ke tingkat PengadilanHubungan Industrial di wilayah
terjadinya proses sengketa melalui Pengadilan Negeri setempat. Hingga akhirnya
permasalahan ketenagakerjaan dalam kasus yang disebutkan di atas dapat saja masuk
hingga pada tingkat pengajuan kasasi di Mahkamah Agung atau permohonan dari
pihak yang melakukan permohonan ke tingkat kasasi tersebut. Pada fase mediasi dan
Pengadilan Hubungan Industrial, keputusan yang dihasilkan belum memiliki kekuatan
hukum tetap sehingga masih dapat diajukan gugatan dalam bentuk Kasasi ke
Mahkamah Agung yang apabila tidak dihadirkan bukti baru atau Nouvum maka
Putusan Mahkamah Agung menjadi Inkrach (mempunyai kekuatan untuk dilakukan
eksekusi).
b) Hukum Ketenagakerjaan Ditinjau dari Hukum Pidana
Pada praktiknya dalam pelaksanaan suatu perjanjian kerja atau pada saat
dimulainya suatu hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha, banyak terdapat
penyimpangan dalam penerapan program Jamsostek sesuai UU No. 3/1992 di mana
pada Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa program jamsostek wajib dilakukan oleh
semua perusahaan dengan semua tenaga kerja sejak dimulainya hubungan kerja.
Selanjutnya, pada Pasal 29 ayat (1) menjelaskan bahwa ancaman terhadap
pelanggaran (salah satunya) adalah Pasal 4 ayat (1) adalah kurungan selama 6 bulan
atau denda sebanyak Rp 50.000.000.- dan apabila masih terjadi pengulangan terhadap
pelanggaran tersebut, maka pada ayat (2) disebutkan mengenai peningkatan hukuman
kurungan menjadi 8 bulan masa kurungan dengan jenis pelanggaran adalah pidana.
26
Tidak sebagaimana yang tertulis dalam skema I di atas di mana kedudukan
hukum ketenagakerjaan dapat bersinggungan dengan ranah hukum pidana manakala
adanya pihak pengusaha yang tidak mendaftarkan pekerjaannya ke dalam program
Jamsostek sebagai sesuatu hal yang wajib diatur oleh Undang-Undang No. 3 Tahun
1992 tentang Jamsostek pada Pasal 4 ayat (1). Dalam kasus ketenagakerjaan yang
masuk ke dalam ranah hukum pidana yang disampaikan dalam penulisan ini
mengangakat suatu kajian tenang terjadinya suatu penggelapan yang dilakukan oleh
pekerja yang diakibatkan karena adanya kewenangan yang dimilikinya dalam suatu
posisi tersebut.
Kewenangan atas suatu jabatan merupakan otoritas yang dimiliki oleh seorang
pekerja manakala dia dipercayakan memegang suatu jabatan yang didasarkan atas
suatu Perjanjian Kerja dan/atau Surat Keputusan. Dalam kewenangan ini terkandung
suatu nilai dan moralitas atas suatu profesi yang dilakukan oleh pekerja atas
kedudukan yang dimilikinya. Dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) pada Pasal 374 Bab XXIV tentang Penggelapan yang menyebutkan bahwa
penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang
disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat
upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Seorang
pekerja yang atas kewenangan yang dimiliki sebagai akibat dari adanya hubungan
kerja yang melakukan tindakan penggelapan dengan telah memiliki 2 dari 3syarat
pembuktian yakni : adanya barang bukti, adanya saksi, dan adanya pengakuan dari si
pelaku, maka diminta untuk melakukan pengunduran diri dari perusahaan. Hal ini
(meminta untuk melakukan pengunduran diri) adalah sesuatu yang sulit untuk
dilaksanakan mengingat bahwa memaksa seseorang untuk melakukan pengunduran
diri adalah sesuatu hal yang memerlukan usaha dan trik yang jitu dalam proses
negosiasi yang dilakukan.
c) Hukum Ketenagakerjaan Ditinjau dari Hukum Tata Usaha Negara
Salah satu kewajiban pengusaha dalam pelaksanaan praktik ketenagakerjaan
adalah sebagaimana diatur dalam UU No. 7/1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di mana dalam Pasal 4 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pengusaha
atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis setiap mendirikan, mengehentikan,
menjalankan kembali, memindahkan atau membubarkan perusahaan kepada Menteri
atau pejabat yang ditunjuk; dan, Pasal 6 ayat (1) yang juga menyebutkan bahwa
pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada menteri atau
27
pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
setelah mendirikan, menjalankan kembali atau memindahkan perusahaan.
Melalui suatu kewajiban yang diatur dalam undang-undang tersebut di atas,
maka terhadap penerapannya, perusahaan wajib mengimplementasikan ketentuan
mengenai wajib lapor dalam pelaksanaan praktik ketenagakerjaan dalam rangka
memberikan data dan keadaan perusahaan yang mana dapat dan merupakan data yang
dapat diolah oleh pemerintah dalam menentukan atau menggambarkan keadaan
ketenagakerjaan di dalam perusahaan secara mikro maupun di wilayah otoritas
pemerintah terkait secara makro.
Dalam hal ini hukum ketenagakerjaan terkait penerapan fungsi pelaporan
terhadap data perusahaan telah melibatkan ornamen-ornamen pemerintah baik dalam
bentuk formulir maupun pihak-pihak yang berkepentingan untuk melaksanakan fungsi
hukum ketatausahaan negara (TUN) sebagai bagian yang fundamental dalam
pelaksanaan praktik-praktik ketenagakerjaan tersebut.
Salah satu hal yang wajib dilaksanakan dalam praktik ketenagakerjaan dari aspek
pelaksanaan suatu operasional perusahaan di mana menjadi hal yang wajib dilakukan
oleh pengusaha sebagai syarat operasional suatu badan usaha adalah melaksanakan
Undang-Undang No.7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan, di mana
substansi wajib lapor ini selalu menjadi salah satu poin yang dimintakan oleh petugas
pengawas ketenagakerjaan untuk disiapkan oleh pejabat suatu perusahaan.
Formulir wajib lapor wajib diisi oleh perusahaan dan diperlihatkan pada saat
proses pengawasan dan mempunyai waktu masa berlaku yakni selama 1 tahun,
sehingga diartikan bahwa wajib lapor harus dilakukan perpanjangan sebelum masa
berlaku habis dan menjelaskan hal-hal yang menjadi perubahan dalam tahun-tahun
berjalan, seperti : jumlah tenaga kerja, upah tenaga kerja (tertinggi dan terendah),
jumlah pekerja yang terdaftar pada Jamsostek, Komposisi Tenaga Kerja baik Lokal
maupun Tenaga Kerja Asing, Fasilitas-fasilitas Kesejahteraan, Rencana Penambahan
dan Pengembangan Tenaga Kerja, dan lain-lain.

2.3 HUKUM POSITIF DI BIDANG KETENAGAKERJAAN

2.3.1 Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan tentang Ketenagakerjaan

28
Hukum positif yang mengatur sistem dalam hubungan kerja di antara pihak-pihak
yang terkait dalam mekanisme Hubungan Industrial Pancasila diartikan sebagai aspek
normatif dalam praktik-praktik ketenagakerjaan. Sebagaimana yang tertuang dalam UUD
1945, Pasal 27 ayat 2 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. UUD 1945 sebagai perangkat hukum
tertinggi dalam hierarki perundangan negara Republik Indonesia, merupakan sumber dari
segala sumber hukum positif dalam tatanan ketatanegaraan dan kehidupan setiap warga
negara Indonesia.

UUD 1945 dan Pancasila sebagai landasan dan falsafah hukum Indonesia menetapkan
kewajiban negara untuk memfasilitasi warga negaranya agar dapat memperoleh pekerjaan
dan kehidupan yang layak. Dengan pembangunan infrastruktur dalam rangka menyediakan
lapangan pekerjaan dan sistem hukum ketenagakerjaan diharapkan dapat memenuhi
kepentingan-kepentingan pihak-pihak yang terlibat guna mewujudkan aspek penegak hukum.

Dalam hal ini diyakini bahwa setiap aspek dalam pelaksanaan hubungan kerja yang
dituangkan dalam aturan-aturan ditingkat internal perusahaan baik dalam Peraturan
Perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama haruslah sesuai dengan ketentuan hukum positif
yang berlaku atau lebih baik adanya.

Hukum positif merupakan hukum yang sedang berlaku dalam suatu negara (hukum
dalam arti tata hukum). Dalam asas hukum dikenal istilahlex specially degorate lex generally
atau hukum dan aturan yang mengatur khusus membatalkan hukum dan aturan yang berlaku
umum, untuk itu di bidang hukum ketenagakerjaan banyak terdapat suatu undang-undang
mempunyai peraturan menteri, keputusan menteri sebagai suatu kebijakan pelaksana dari
substansi yang diatur; atau bahkan suatu peraturan pemerintah mempunyai suatu surat edaran
oleh menteri sebagai juklak pelaksanaannya.

Normatif (norma kerja) dalam hubungan kerja yang penerapannya dalam praktik-
praktik ketenagakerjaan selalu berbicara terhadap adanya pemenuhan antara hak dan
kewajiban dari para pihak yang terlibat, yakni Pengusaha dan Pekerja dengan sama-sama
dalam pemenuhan kepentingan atas hak dan kewajiban tersebut, dapat disebutkan dalam
tatanan pengaturan-pengaturan seperti upah minimum, waktu istirahat, wajib atas pelaporan
perusahaan, jaminan sosial, tunjangan hari raya, dan masih banyak hal-hal lain yang diatur
dalam hukum positif yang berlaku. Berdasarkan pengalaman dan pemahaman terkait dengan

29
penerapan norma kerja dalam tatanan hukum ketenagakerjaan terdiri dari beberapa hukum
positif, antara lain :

a) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


b) Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja.
c) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial.
d) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek.
e) Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
f) Undang-Undang No. 7 Tahun 1980 tentang Wajib Lapor Perusahaan.
g) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.
h) Peraturan Pemerintah 19/MEN/2012 tentang Outsourching.
i) Permen 100/MEN/2003 tentang PKWT.
j) Peraturan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi No. 19 Tahun 2012 tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
Lain.
2.2.3 Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal-pasal dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Hukum Ketenagakerjaan
Sebagaimana diketahui bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan melalui Lembaran Negara Republik Indonesia No. 29 Tahun
2003 pada tanggal 25 Maret 2003, maka hukum positif di bidang ketenagakerjaan yang
sebelumnya didasarkan kepada Kepmen No. 150/MEN/2000 beralih dengan dasar hierarki
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tetapi kemunculan undang-undang ini
tidaklah murni mendapatkan apresiasi yang merata dari seluruh kalangan atau pihak-pihak
yang terlibat dalam bidang ketenagakerjaan, khususnya dari kalangan buruh yang
menganggap bahwa kemunculan UU No. 13/2003 merupakan produk perundangan yang
syarat akan kepentingan politis dan sebagai nilai tawar pemerintah terhadap pihak luar yang
menginginkan dan mengatur perekonomian Indonesia khususnya di bidang ketenagakerjaan
secara Liberal (Liberalism).
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Hak Uji Materiel Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar
1945, maka berikut beberapa hal yang menjadi keputusannya :
a) Khusus Pasal 37 tentang Mogok Kerja dan Pasal 138 (1) tentang mengajak
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja dengan tidak melanggar hukum; Maka,
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya, mogok kerja dengan

30
tidak melanggar hukum dan mengajak rekan pekerja/buruh merupakan hak
fundamental pekerja/buruh yang diatur dalam Standar Perburuhan Internasional.
(Status pasal-pasal tersebut tetap diberlakukan).
b) Khusus Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dinyatakan “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan
hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau
ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan kecuali
telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kersa
sama”. Frasa kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama inilah yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
(Status Pasal ini diberlakukan dengan pengecualian pada frasa dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama saja yang tidak berlaku).
c) Khusus Pasal 158 dan 158 (1) tentang PHK akibat melakukan kesalahan berat;
Maka, sepanjang mengenai anak kalimat (isi pasal termaksud) dan (didasari oleh
pengaduan pengusaha), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya,
PHK yang dilakukan sepihak oleh pengusaha dengan alasan pekerja/buruh telah
melakukan kesalahan berat tanpa due process of law dari Lembaga Penyelesaian
PHI, dianggap melanggar asas presumption of innocence (Praduga Tak Bersalah).
Untuk hal tersebut, maka perlu adanya pelaporan dari pihak pengusaha atas
adanya dugaan pelanggaran pidana untuk dibuktikan sesuai dengan hukum acara
material (KUHAP) yang akan membuktikan apakah kesalahan tersebut melanggar
atau tidak terkait aspek pidana yang merupakan pengewajatahan dari kesalahan
berat. (Status Pasal dan ayat ini tetap diberlakukan hingga didapati hasil
penyidikan pihak yang berwajib bahwa seorang karyawan tersebut terbukti
bersalah atau tidak).
d) Khusus Pasal 159 dengan jelas dinyatakan tidak berlaku lagi, apabila telat
dinyatakan bersalah oleh pihak yang berwajib (Kepolisian). (Status Pasal ini
dinyatakan tidak berlaku).
e) Khusus Pasal 160 (1) tentang pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib
karena melakukan tindakan pidana (ditambahkan pada anak kalimat dengan:
bukan atas pengaduan pihak pengusaha); Maka, dinyatakan tetap berlaku
yakni pengusaha tidak wajib membayar upah pekerja/buruh, melainkan hanya
berkewajiban memberikan santunan kepada keluarga pekerja/buruh sesuai

31
ketentuan Pasal 160 (1) huruf a – d. (Status Pasal tetap berlaku sepanjang bukan
atas pengaduan pengusaha).
f) Khusus Pasal 170 dan Pasal 171 sepanjangg menyangkut Pasal 158 (1) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya, PHK dengan kesalahan berat
tetap dapat dilakukan pengusaha dengan tetap perlu memintakan izin permohonan
PHK kepada Instansi terkait atau mengadukan permasalahan tindak pidana
pelanggaran kepada pihak yang berwajib untuk kemudian mendapatkan penetapan
statusa bersalah baru kemudian dapat dilakukan PHK. (Status Pasal-Pasal ini tetap
berlaku sepanjang tidak menyangkut Pasal 158 (1)).
g) Khusus Pasal 96, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 100/PUU-
X/2013 tanggal 19 September 2013 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal ini
menghapuskan masa kadaluwarsa terhadap tuntutan pembayaran upah
pekerja/buruh dan segala upah yang timbul karena adanya hubungan kerja sejak
timbulnya hak tersebut. Artinya, tidak lagi terdapat masa kedaluwarsa selama 2
tahun, 100 tahun pun buruh menuntut hak atas upahnya dan lain-lain sebagaimana
termaksud, maka akan tetap dapat diproses. (Status Pasal ini dihapuskan).

2.4 SYARAT KERJA DAN PERJANJIAN KERJA DALAM HUBUNGAN


KERJA

2.4.1 Syarat Kerja (Mikro Kondisional)

Syarat kerja dalam praktik ketenagakerjaan dapat diartikan sebagai suatu bentuk
pemenuhan aspek formil dalam hukum terhadap kajian teori dan praktik. Menurut hukum
ketenagakerjaan syarat kerja dalam sistem hubungan kerja haruslah memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Unsur Adanya Pekerjaan
Secara yuridis, unsur ini merupakan salah satu syarat kerja. Unsur pekerjaan
merupakan objek hukum yang dijadikan sebagai dasar dalam melakukan dan menciptakan
perbuatan dan hubungan hukum ketenagakerjaan oleh masing-masing subjek hukum. Dengan
kata lain, kedua belah pihak sepakat melakukan kerja sama dengan imbalan yang telah
disepakati dalam suatu perjanjian kerja. Syarat sah perjanjian kerja, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, menyebutkan bahwa

32
perjanjian kerja dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan atau
kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum (dalam patokan usia/umur), adanya
pekerjaan yang diperjanjikan, dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan-perundangan yang berlaku. Pasal ini sesuai
dengan Pasal 1320 KUH Perdata, di mana perjanjian dianggap sah apabila adanya
kesepakatan para pihak, cakap, hal tertentu, dan sebab halal.
TABEL 6.1. Kesamaan UU Ketenagakerjaan dan KUH Perdata tentang Syarat Sah
Perjanjian
Pasal 52 ayat (1) UU No. 13/2003 Pasal 1320 KUH Perdata

Kesepakatan kedua belah pihak Sepakat

Kemampuan atau kecakapan dalam Cakap


melakukan perbuatan hukum (dalam
patokan usia/umur)
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan Hal tertentu

Pekerjaan yang diperjanjikan tidak Sebab Halal


bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan-
perundangan yang berlaku

b. Unsur Adanya Upah


Upah merupakan suatu bentuk persetujuan atau kesepakatan yang dapat dilakukan
secara verbal atau tulisan. Menurut Pasal 1 huruf (a) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981
tentang Perlindungan Upah, upah adalah:
“suatu penerimaan sebagal imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk sesuatu
pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk
uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, atau peraturan perundang-undangan, dan
dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk
tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya.”

Upah dalam ketentuan ketenagakerjaan minimal adalah upah minimum yang


ditetapkan oleh pemerintah daerah terkait upah minimum provinsi dan upah minimum
sektoral oleh gubernur.

33
Pengusaha dalam praktik hubungan kerja yang memenuhi adanya unsur upah, tidak
boleh memberikan upah kepada tenaga kerja/buruh lebih rendah dari upah minimum yang
telah ditetapkan. Hal sebagaimana pemberian upah ini telah diatur dalam Pasal 90 ayat (1)
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang berbunyi bahwa pengusaha dilarang membayar
upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89.
c. Unsur Adanya Perintah
Perintah dalam perspektif ini janganlah dilihat sebagai keunggulan yang dimiliki oleh
pengusaha sebagai bargaining position dalam pencitraan hubungan kerja. Perintah
haruslah diinisiatifkan dan diartikan sebagai bagian dari adanya kebutuhan atas pekerjaan
yang harus dilakukan terhadap jasa untuk melakukan pekerjaan tersebut. Jadi pada
prinsipnya unsur saling "membutuhkan" harus dikedepankan dalam mewujudkan
hubungan kerja, baik dalam sektor formil maupun nonformil.
Dapat dimengerti bahwa unsur terkait adanya perintah merupakan penggabungan atas
terpenuhi syarat objektif dalam KUH Perdata, yakni adanya hal tertentu dan adanya causa
halal. Dalam pengertian tersebut, maka perintah yang diberikan oleh 1 pihak kepada
pihak lain apabila tidak memenuhi syarat obejktif tersebut, maka akan berakibat terhadap
batal demi hukum.
d. Unsur Adanya Waktu Tertentu
Melihat perjanjian kerja yang didasarkan atas waktu perjanjiun, maka dapat
dibedakan terhadap perjanjian dengan kerja waktu tertentu dan perjanjian dengan kerja
waktu tidak tertentu. Terhadap hal ini penulis mempunyai pandangan yang berbeda, di
mana suatu hubungan kerja pasti akan berakhir dalam suatu waktu tertentu, atau dapat
disepakati berdasarkan suatu waktu tertentu, baik waktu tersebut dapat ditentukan atau
waktu tersebut tidak dapat ditentukan. Suatu proses kematian merupakan hal yang pasti
akan dilalui oleh setiap makhluk hidup, hal ini sebagai contoh di mana suatu hubungan
kerja yang terjadi dan manakala terjadi proses kematian oleh pihak-pihak yang terlibat
dalam hubungan kerja, maka waktu tertentu yang tidak dapat diukur tesebut menjadí
tanda bahwa hubungan kerja berakhir. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2013 tentang
Ketenagakerjaan dalam Pasal 166 bahwa suatu hubungan kerja berakhir adalah karena
salah satunya adalah suatu ukuran waktu, seperti kematian.

2.4.2 Perjanjian Kerja

Suatu bentuk perbuatan hukum antara buruh dan pengusaha yang sama-sama dalam
suatu perikatan memunculkan hubungan hukum terhadap pemenuhan hak dan kewajiban

34
dengan didasari adanya perintah, upah, hal yang dipekerjakan, dan waktu tertentu. Dalam
undang-undang 13 Tahun 2003 Pasal 50 disebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena
adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan buruh yang dibuat atau disepakati baik secara
lisan maupun tertulis. Hubungan kerja merupakan sesuatu yang abstrak, di mana konkret dari
suatu hubungan kerja adalah adanya Perjanjian Kerja. Dengan kata lain, bahwa ikatan karena
adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan hubungan kerja.
Hubungan kerja memunculkan suatu perjanjian kerja, baik yang tertulis maupun lisan.
Perjanjian kerja yang dibuat tersebut harus memenuhi unsur syarat sah perjanjian dalam KUH
Perdata Pasal 1320 sebagaimana yang telah tersebutkan di atas. Pelanggaran atas tidak
terpenuhinya syarat sepakat dan cakap, maka terhadap perjanjian kerja tersebut dapat
dibatalkan (syarat subjektif), sedangkan jika tidak terpenuhi salah satu dari syarat hal tertentu
dan sebab halal, maka perjanjian kerja tersebut batal demi hukum, tanpa harus diajukan lagi
untuk pembatalan (syarat objektif).
Perjanjian kerja dilihat dari jangka waktu perjanjiannya dikenal dengan adanya
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/Kontrak) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT/Tetap). Kedua bentuk perjanjian ini merupakan bentuk atas status pekerja
yang paling lazim dalam tatanan praktik ketenagakerjaan di Indonesia. Beberapa hal yang
membedakan bentuk status perjanjian ini ditampilkan pada Tabel 6.2. sebagai berikut:

TABEL 6.2. PKWT dan PKWTT dalam Pro-Kontra Praktik Ketenagakerjaan

PKWT PKWTT

Dilakukan dengan aturan waktu dan Dilakukan dengan melalui masa percobaan
mekanisme PKWT yang berlaku (212). selama 3 bulan.

Dapat diperpanjang 1 kali, mengikuti Dapat diperpanjang masa percobaan 3 bulan


masa jeda 30 hari, dan dilakukan kontrak dengan dasar adanya kesepakatan.
terakhir sebanyak 1 kali.
Dapat diakhiri sewaktu-waktu oleh para Pengakhiran perjanjian tidak
pihak sesuai hal-hal yang diatur dan berkonsekuensi terhadap penalty.
memiliki konsekuensi penalty atas
pengakhiran perjanjian kerja tersebut.
Wajib didaftarkan Jamsostek sejak Kepesertaan Jamsostek umumnya terjadi

35
dimulainya hubungan kerja, tetapi pada pada saat telah melampaui masa percobaan.
praktiknya PKWT tidak didaftarkan atas
Jamsostek
Umumnya tidak dilihat tentang Jenis dan Praktik masa percobaan biasanya diberikan
Sifat pekerjaan dalam praktik PKWT. untuk pekerjaan-pekerjaan yang dapat
terukur pencapaiannya.

Selain PKWT dan PKWTT yang telah disebutkan di atas, sering kita mendengar juga
terkait Perjanjian Kerja Harian Lepas (part timer), Internship (magang), Borongan Pekerjaan
(outsourching). Dalam pembahasan ini, isu mengenai penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain menjadi hal yang saat ini (sejak Oktober 2013) sedang
diperbincangkan terkait keluarnya Permenakertrans No. 19 Tahun 2012. Secara singkat
bahwa Perusahaan Pemberi Kerja yang memberikan sebagian pekerjaan kepada Perusahaan
Penerima Kerja sesuai Pasal 7 Permenakertrans ini dilarang menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pekerjaan melalui borongan pekerjaan
apabila belum memiliki Bukti Pelaporan yang dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota setempat. Manakala hal ini dilanggar
(Pasal 7 ayat (1)), maka pada ayat (2) Pasal 7 menyebutkan bahwa tanggung jawab hubungan
kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pekerjaan menjadi beralih ke
perusahaan pemberi kerja.
Kekosongan hukum atas berlakunya Permenakertrans No. 19/2012 ini terhadap
praktik penyerahan sebagian pekerjaan dan jasa tenaga kerja dalam suatu perusahaan yang
telah melaksanakan perjanjian kerja dengan sistem outsourching ini perlu dipikirkan lebih
lanjut mengingat kegiatan operasional atas pekerjaan tidak boleh berhenti, sehingga menurut
hemat penulis, terhadap perjanjian penyerahan pekerjaan dan jasa tenaga kerja yang sudah
berjalan dan akan berakhir perlu dibuatkan suatu Amandemen atas Perjanjian tersebut. Hal
ini menjadi perlu mengingat aturan pelaksana dari Permenakertrans No. 19/2012 yakni Surat
Edaran Menakertrans No. 04 Tahun 2013 yang dikeluarkan pada bulan Agustus 2013
menjelaskan dengan saksama dan terperinci terkait bahwa penentuan core dan non-core
dalam alur proses pekerjaan harus disetujui oleh asosiasi bidang usaha terkait, dan perlu
adanya bukti pelaporan. Perusahaan pemberi pekerjaan dan Jasa Tenaga Kerja harus
memperhatikan persyarat formil atas syarat-syarat yang telah ditentukan kalau tidak mau

36
menerima suatu risiko bahwa tanggung jawab atas hubungan kerja tersebut menjadi beralih
kepada perusahaan pemberi pekerjaan dan jasa tenaga kerja.
Sebagaimana diketahui bahwa pada tanggal 31 Oktober dan 1 November 2014 telah
dilakukan pesta buruh dalam mogok kerja nasional untuk melakukan suatu aksi demo yang
menuntut hal-hal terkait Upah Minimum 2014, kebijakan kontrak dan outsourching. Buruh
menghendaki agar dalam melakukan penghitungan upah minimum didasari dengan
perhitungan komponen-komponen Kebutuhan Hidup Layak sebanyak 80-an jenis komponen,
termasuk dalam hal yang diharapkan adalah bedak, lipstick. Akan tetapi, otoritas yang
mempunyai kewenangan dalam Dewan Pengupahan yang melakukan survey atas perhitungan
kebutuhan hidup layak hanya melakukan perhitungan berdasarkan 60 komponen, sehingga
sejak tanggal 1 November 2013, 12 Provinsi telah menetapkan UMP di daerah masing-
masing, di mana DKI Jakarta sebagai contoh dalam penulisan ini telah menetapkan UMP
2014 sebesar Rp 2.441.000 dengan dídasari dari perhitungan KHL sebesar Rp 2.299.000,-.
Sistem kerja kontrak dengan berkedok pemborongan sebagian pekerjaan dan jasa tenaga
kerja merupakan hal lain yang menjadi tuntutan buruh untuk dihapuskan karena tidak sesuai
dengan semangat Hubungan Industrial Pancasila yang mengacu kepada norma-norma
kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal tersebut merupakan bentuk dari praktik perburuhan
modern yang dilakukan dengan dasar bahwa perusahaan tidak mau menanggung uang
pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, manakala terjadi
pengakhiran hubungan kerja yang secara hukum positif ketenagakerjaan yang berlaku
menentukan atau mengatur hal tersebut.

2.5 PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

2.5.1 Hubungan Industrial dan Perselisihan Hubungan Industrial


Hubungan kerja yang baik antara pekerja/buruh dan pengusaha didasari pada adanya
keseimbangan antara hak-hak dan perlindunga pekerja/buruh dengan pengembangan usaha
pengusaha. Yang dimaksud hubungan industrial berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-
Undarg Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari
unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila
dan UUD RI Tahun 1945.
Dalam melaksanakan hubungan industrial terdapat tiga fungsi utama, yaitu:

37
a. Pemerintah dalam hal ini mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan
pelayanan, melaksanakan pengawasan dan melakukan penindakan terhadap
pelanggaran peraturan perundang undangan;
b. Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi menjalankan
pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan
produksi, menyalurkan aspirasí secara demokratis, mengembangkan keterampilan
dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan anggota
beserta keluarganya;
c. Pengusaha dan organisasi pengusaha mempunyai fungsi menciptakan kemitraan,
mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja dan memberikan
kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
Fungsi-fungsi pekerja/buruh dan pengusaha di atas, sering kali tidak dipenuhi oleh
masing-masing pihak yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kondisi ekonomi
makro, peningkatan kebutuhan sehari-hari pekerja/buruh, persaingan usaha,
suasana kerja dan lain-lain dapat menyebabkan terjadinya perselisihan antara
pekerja/buruh dengan pihak pengusaha. Keinginan salah satu pihak yaitu
pekerja/buruh berkaitan dengan kenaikan gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya
sering kali tidak dapat dipenuhi oleh pengusaha. Di sisi lain, keinginan pengusaha
dengan menuntut produktivitas kerja yang tinggi, efisien dan tepat juga tidak
dapat dipenuhi oleh pekerja/buruh. Ketidakpuasan kondisi kerja masing-masing
pihak akan menimbulkan perselisihan antara pekerja/ buruh dan pengusaha di
dalam hubungan kerja. Perselisihan ini bisa terjadi karena adanya perbedaan
pendapat mengenai pelaksanaan hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan kondisi
kerja. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
mengenal hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan
kerja serta perselisihan antara serikat perkerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan. (vide Pasal 1 angka 22 UU Ketenagakerjaan).
Prof. Iman Soepomo menyebutkan dua bentuk perselisihan yang mungkin terjadi
dalam suatu hubungan kerja yaitu:
a. Perselisihan hak (rechtsgeschillen), yaitu jika masalah yang diperselisihkan adalah
mengenai hal yang telah diatur atau ditetapkan dalam suatu perjanjian kerja,
perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan atau dalam suatu peraturan
38
perundang-undangan. Suatu perselisihan hak bisa terjadi karena perbedaan
pelaksanaan suatu aturan dan perbedaan perlakuan terhadap suatu aturan, atau
perbedaan penafsiran terhadap suatu aturan.
b. Perselisihan kepentingan (belangengeschillen) yaitu tidak adanya persesuaian
paham mengenai perubahan syarat-syarat kerja atau keadaan perburuhan, biasanya
berupa tuntutan perubahan atau perbaikan syarat-syarat kerja dan/atau keadaan
perburuhan. Misalnya pembaruan suatu perjanjian kerja bersama, peraturan pe
rusahaan atau perjanjian kerja.
Pengertian perselisihan hubungan industrial berdasarkan Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Jadi dalam peraturan ini
terdapat perluasan perselisihan hubungan industrial menjadi empat kríteria sebagai
berikut:
a. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya
hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama;
b. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan
kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan
dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian
kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama;
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan
kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak;
d. Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain
hanya dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian paham
mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan F3 kewajiban
keserikatpekerjaan.

2.5.2 Pemutusan Hubungan Kerja dan Larangan PHK

39
Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha. Subjek, isi dan keadaan yang melingkupi perjanjian kerja bermacam-macam.
Berdasarkan atas hal ini, maka dalam kepustakaan juga dikenal beberapa macam pemutusan
hubungan kerja sebagai berikut:

a. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha/Majikan


Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu
hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh dan pengusaha.
Semua píhak yang terkait dalam hubungan industrial harus mengupayakan dengan segala
cara untuk menghindari PHK. Bila upaya tersebut telah dilaksanakan tetapi pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, maka PHK baru dapat dilaksanakan setelah
mendapat penetapan dari lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
Tanpa penetapan dari lembaga PPHI, maka PHK yang dilakukan dinyatakan batal demi
hukum. Penetapan PHK dari lembaga PPHI tidak diperlukan apabila:
i. Buruh masih dalam masa percobaan kerja. Masa percobaan kerja harus dinyatakan
secara tertulis sebelumnya;
ii. Buruh mengajukan permintaan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan
sendiri tanpa ada indikasi tekanan atau intimidasi dari pengusaha;
iii. Berakhirmya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT);
iv. Buruh mencapai usia pensiun dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, perjanjian
kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
v. Buruh meninggal dunia.
b. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Buruh
Terdapat 2 macam PHK atas permintaan buruh: pertama, dengan alasan
mengundurkan diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
kedua, pihak atas permintaan buruk karena adanya ancaman atau pelecehan dari
pengusaha yang membutuhkan penetapan dari lembaga PPKI guru yang mengundurkan diri
harus memenuhi syarat :
i. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30
hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri
ii. tidak terikat dalam ikatan dinas dan
40
iii. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri

Buruh yang di PHK atas permintaan buruk karena diancam ataupun lecehkan
membutuhkan penetapan lembaga PPKI pertama menunggu penempatan lembaga tersebut
dan pengusaha harus melaksanakan kewajibannya.

c. Pemutusan hubungan kerja demi hukum


Hubungan kerja putus demi hukum yang terjadi dalam hal hubungan kerja yang
diadakan untuk waktu tertentu apabila hubungan kerja berlangsung sampai waktu yang
diperjanjikan maka hubungan kerja akan berakhir demi hukum dengan lewatnya waktu
tersebut dalam hubungan kerja berakhir demi hukum dimaksudkan bahwa hubungan kerja
tersebut akan berakhir dengan sendirinya dan tidak itu tidak perlu ada perbuatan hukum
tertentu misalnya harus membayar pesangon kecuali jika pengusaha atau buruh atau pekerja
mengakhiri hubungan kerja kontrak Sebelum masa kontrak berakhir maka mereka harus
membayar sisa kontrak pada buruh atau pekerja atau kepada pengusaha dalam alasan PHK
berdasarkan alasan pencurian atau penggelapan milik perusahaan maka ia tidak berhak atas
masa kontrak yang dimaksud apabila pekerja atau buruh meninggal dunia maka hubungan
kerja dengan sendirinya putus.
d. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan
Terutama terjadi sehubungan dengan adanya alasan penting yaitu kondisi dan situasi
yang menyebabkan hubungan kerja tidak dapat berlangsung terus sedang para pekerja atau
buruh bersikeras tidak mau di akhiri hubungan kerja nya atau masih terjadi perbedaan
pendapat tentang besarnya pesangon yang harus dibayarkan oleh perusahaan.
Dalam hal ini, harus diputuskan oleh Pengadilan Hubungan Industrial menyangkut
dapat atau tidak kecilnya pesangon lainnya dan keabsahan PHK dimaksud.
Pengusaha yang melakukan PHK dengan alasan-alasan mana terdapat di dalam Pasal
153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan
kembali pe ja/buruh yang bersangkutan. Adapun alasan-alasan yang dilar di PHK adalah
sebagai berikut:
i. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut ke terangan dokter
selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus
ii. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
41
iii. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
iv. Pekerja/buruh menikah;
v. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui
bayinya;
vi. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan ubagan atau perjanjian kerja bersama;
vii. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau jpengurus bungan serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh di luar jam kerja atau di dalam kerja atas kesepakatan pengusaha atau
berdasarkan ketentuan diatur di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan jian
kerja bersama;
viii. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak jahatan;
ix. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, golongan, jenis kelamin,
kondisi perkawinan.
x. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.

2.5.3 Hak Buruh Setelah PHK

Meskipun hubungan kerja telah berakhir karena hal-hal di atas buruh masih
mendapatkan hak-hak mereka sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu uang pesangon,
uang penghargaan dan uang penggantian hak. Selama proses penetapan PHK, maka upah
pekerja/buruh tetap di bayar oleh pengusaha sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama.
Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya jika dikaitkan dengan uang pesangon,
uang jasa dan ganti kerugian dapat digolongkan men jadi tiga kelompok, yaitu :
a. Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya tanpa uang pesangon maupun uang
jasa ialah buruh yang telah melakukan kesalahan berat, pekerja/buruh yang
mengundurkan diri atas kemauan sen diri. Selain itu dapat juga dikualifikasikan
mengundurkan diri jika pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja
atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis dengan bukti yang sah
dan teleh dipanggil oleh pengusaha dua kali secara patut dan tertulis dapat di

42
PHK. Yang dimaksud kesalahan berat di sini adalah melakukan penipuan,
pencurian, penggelapan barang/uang milik perusahaan, memberikan keterangan
palsu sehingga merugikan perusahaan, mabuk, minum minuman keras, narkoba,
menyerang menganiaya, mengintimidasi teman sekerja/pengusaha, membong kar
atau membocorkan rahasia perusahaan dan lain-lain. Pekerja/ Buruh dapat
memperoleh uang penggantian hak dan uang pisah yang besarnya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama;
b. Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya dengan diberikan uang pesangon
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ke- tenagakerjaan dan uang
penghargaan sebesar 1 (satu) kali keten- tuan Pasal 156 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan dan uang pengganti hak sesuai Pasal 156 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan adalah: Pertama pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran
ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau
Perjanjian Kerja Bersama. Pengusaha dapat melakukan PHK jika telah
memberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut
kepada pekerja/buruh. Kedua, pengusaha melakukan PHK terhadap
pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan atau
perubahan kepemilikan perusahaan dan pe- kerja/buruh tidak bersedia
melanjutkan hubungan kerja. Ketiga, pengusaha melakukan PHK karena
perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian terus-menerus.
Keempat, perusahaan pailit;
c. Buruh yang diputuskan hubungan kerjanya dengan diberikan uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ke tengakerjaan dan uang
penghargaan sebesar 1 (satu) kali keten tuan Pasal 156 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan dan uang pengganti hak sesuai Pasal 156 ayat (4) UU
Ketenagakerjaan adalah jika perusahaan melakukan efisiensi, pekerja/buruh
meninggal dunia, jika pengusaha tidak mengikutsertakan dalam program pensiun.
Selain pengusaha, pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada
lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalam hal pengusaha
melakukan perbuatan menganiaya, menghina dan/atau menyuruh pekerja
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
tidak membayar upah tepat waktu selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, tidak
melakukan kewa jiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh,
memerintahkan pekerja/buruh melakukan pekerjaan di luar yang diperjanjikan,
43
memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, ke sehatan dan
kesusilaan pekerja/buruh, menghina secara kasar atau mengancam buruh,
membujuk tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja. Jika terjadi PHK,
maka pengusaha wajib membayar uang pesangon uang penghargaan masa kerja,
uang penggantian hak yang meliputi penggantian cuti tahunan yang belum
diambil, biaya perjalanan pulang ketempat buruh dan keluarganya diterima kerja
pada saat awal, uan penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan yang
ditetapkan sebesar 15 % dari uang pesangon atau penghargaan masa kerja , dan
van berakhir adalah biaya yang ditetapkan dalam perjanjian keria, perusahaan, dan
perjanjian kerja bersama.

2.5.4 Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan/Perburuhan

Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat mengakibatkan


pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh mengenai hak, perselisihan kepentingan dan per- pemutusan hubungan
kerja serta perselisihan antara serikat perkerja/serikat buruh hanya perusahaan nyatakan
dalam Pasal 1 angka 22 UU Ketenagakerjaan. Penyelesaian perselisihan hubungan dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh musyawa mufakat. Dalam hal penyelesaian
secara musyawarah mufakat tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/ buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prose dur
penyelesaian perselisihan undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHD. UU ini memungkinkan adanya penyele saian
perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan, adilan Hubun gan Industrial (PHI).
Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial terdapat dua sistem, yaitu:
a. Penyelesaian Perselisihan di Luar Pengadilan
1. Mediasi
Ketentuan tentang mediasi diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan
dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial serta Tata Kerja Mediasi. Yang
dimaksud mediasi di sini adalah penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi
oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator adalah pegawai instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi

44
syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas
melakukan mediasi dan mempunyai kewajibarn memberikan anjuran tertulis kepada
para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisih an pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antarserikat
pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan. Jadi Perselisihan yang dapat di
selesaikan melalui Pegawai mediator dari dinas tenaga kerja setempat adalah:
1) Perselisihan hak;
2) perselisihan kepentingan
3) PHK
4)Perselisihan antarserikat buruh dalam satu perusahaan.
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui mediasi, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak
dan disaksikan oleh mediator serta di daftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama
untuk mendapatkan akta pendaftaran. Jika tidak tercapai kesepakatan maka mediator
mengeluarkan anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak
sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak. Para pihak
memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau
menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
setelah menerima anjuran tertulis. Pihak yang tidak memberikan pendapatnya
dianggap menolak anjuran tertulis. Dalam hal para pihak menyetujui, maka dibuat
perjanjian bersama yang kemudian didaftarkan di PHI pada Pengadilan Negeri di
wilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapat kan
akta bukti pendaftaran. Dalam hal anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau
para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian
PHI pada Pengadilan Negeri setempat. Mediator menyelesaikan tugasnya selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung menerima pelimpahan penyelesaian
perselisihan PHI. Sifat dari anjuran yang dikeluarkan oleh mediator tidak memiliki
keku atan hukum eksekutorial. Anjuran berisi keterangan dan tuntutan para pihak dan
pendapat atau kesimpulan mediator
2. Konsilliasi
Konsiliasi adalah penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang
konsiliator yang memenuhi syarat-syarat konsiliator yang ditetapkan oleh Menteri
(Vide UU Nomor 2 Tahun 2004 adalah pega wai perantara swasta). Perselisihan yang
45
bisa diselesaikan oleh pegawai perantara swasta adalah perselisihan kepentingan,
PHK, dan perselisihan antarserikat buruh dalam satu perusahaan. Penyelesaian oleh
konsiliator dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penye lesaian
secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak. Dalam
hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubung an industrial melalui
konsiliasi, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan
disaksikan oleh konsiliator dan di daftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama
untuk mendapatkan fakta bukti pendaftaran Dalam hal tidak tercapai kesepakatan
penyelesaian perselisihan hubungan industralia, maka konsiliator mengeluarkan
anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang
konsiliasi pertama harus disampaikan kepada para pihak. Para pihak sudah
memberikan jawaban tertulis kepada konsiliator yang isinya me- nyetujui atau
menolak ajuran tertulis. Pihak yang tidak memberikan jawabannya dianggap menolak
anjuran tertulis. Dalam hal para pihak menyetujui, maka konsiliator membantu para
pihak membuat perjanjian bersama untuk didaftarkan di PHI pada PN di wilayah
pihak- mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Apabila perjanjian bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan ekseksusi di PHI. Dalam hal anjuran tertulis
ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak
dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke PHI.
3. Arbitrase
Merupakan perselisihan yang diselesaikan di luar pengadilan hubungan industrial
yang dapat ditempuh melalui kesepakatan tertulis Isinya adalah para pihak yang
berselisih bersepakat untuk menyerahkan perselisihan kepada arbiter. Arbitrase
dipimpin oleh Arbiter yang dapat ditunjuk oleh para pihak yang berselisih dari daftar
arbiter yang ditetap- kan oleh menteri. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial
oleh Arbiter atau Majelis Arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang
berselisih menghendaki lain. Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat
diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. Penyelesaian perselisihan
hubungan industrial oleh Arbiter harus diawali dengan mendamaikan kedua belah
pihak yang berselisih. Jika tercapai kesepakatan maka dibuatkan akta perdamaian
yang didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada PN di wilayah Arbiter
mengadakan perdamaian. Apabila upaya perdamian gagal, maka sidang arbitrase
46
diteruskan. Dalam persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan untuk
menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian masing-masing serta mengajukan
bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendirian.

Keputusan arbitrase adalah mengikat para pihak yang berselisih dan bersifat final.
Perselisihan yang bisa diselesaikan melalui arbitrase adalah: perselisihan kepentingan,
dan perselisihan antarserikat buruh dalam satu perusahaan. Putusan Arbiter bersifat
final dan mengikat para pihak. Setelah Arbiter menetapkan putusan, maka putusan
tersebut didaftarkan ke PHI setempat. Dalam hal putusan arbitrase tidak dilak sanakan
oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan eksekusi di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi kedudukan pihak siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan
diperintahkan untuk dijalankan.

b. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan


Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) adalah forum penyelesaian perselisihan
melalui pengadilan, yakni pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan
negeri. Hukum acara yang berlaku pada pengadilan hubungan industrial adalah
hukum acara perdata, kecuali ditentukan lain oleh UU Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI) merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir bagi perselisihan,
baik perselisihan kepentingan maupun perselisihan antarserikat buruh. Untuk
perselisihan hak dan perselisihan PHK, PHI merupakan pengadilan tingkat pertama
namun bukanlah tingkat terakhir. Para pihak masih boleh mengajukan kasasi, bahkan
kemudian peninjauan kembali PK ke Mahkamah Agung Untuk perselisihan
kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh dalam satu
perusahaan merupakan pengadilan tingkat pertama dan tingkat terakhir Buruh atau
serikat buruh yang hendak mengajukan tuntutan ke pada pengusaha melalui PHI,
terlebih dahulu membuatan gugatan ke- mudian mendaftarkannya ke PHI. Buruh
dapat bertanya tata cara pem buatan gugatan kepada Panitera PHI. Gugatan
perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial
yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja dalam jangka waktu 1
(satu) tahun sejak diterimanya putusan dari pihak pengusaha. Pengajuan gugatan yang
tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim PHI
wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat.
47
Gugatan akan diperiksa oleh Majelis Hakim yang terdiri atas satu orang Ketua
Majelis yang berasal dari Hakim Karir, satu orang Hakim Ad Hoc dari perwakilan
Pengusaha dan satu orang Hakim Ad Hoc dari perwakilan buruh. Majelis Hakim
sendiri wajib menyelesaikan pemeriksaan gugatan dalam jangka waktu paling lambat
50 hari kerja terhitung sejak sidang pertama

48
DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. Zainudin. 2006. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika Budiono, Abdul
Rachmat. 1995. Hukum Perburuhan di Indonesia. Ma- lang: Rajawali Pers. wali Pers.
sidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta Dirdjosisworo, Soedjono.
2007. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Raja- Harahap, M. Yahya. 2008. Hukum Acara
Perdata - tentang Gugatan, Per- Hikmah. Himpunan Peraturan Ketenagakerjaan. Suku Dinas
Tenaga Khakim, Abdul.2007. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Mertokusumo,
Sudikno.2007. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yo- Nugroho, Susanti Adi. 2009. Mediasi
Sebagai Alternatif Penyelesaian Sen R. Soeroso. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika. Sinar Grafika. Kerja dan Transmigrakota Administrasi Jakarta Timur. Bandung:
Citra Aditya Bakti. gyakarta: Liberty keta, Jakarta: Telaga Ilmu Indonesia. g- Sidharta.2009.
Moralitas Profesi Hukum. Bandung: Refika Aditama. 125

49
BAB III PENUTUP

3.1 kesimpulan
3.2 saran

50
GLOSARIUM

51
INDEKS

52

Anda mungkin juga menyukai