dan putus
Lukisan itu dibuat oleh jemari terampil Sugeng Wibowo. Ia belum sempat
membubuhkan tanda tangan dan tahun pembuatan sebagai penjamahan terakhir di
lukisannya. Sugeng keburu meninggal tahun 2015 silam. Di usia 62 tahun.
Putra Sugeng, Alex Andiwijaya (39) menyimpan lukisan tak rampung itu sebagai
kenangan. Dalam benaknya, lukisan sang ayah merupakan pergulatan luapan
kreativitas dan emosi di atas kanvas yang mengabadi. Itu sebabnya, meski Alex juga
seorang pelukis, ia tak pernah berniat menyelesaikan lukisan terakhir karya
ayahnya.
Pertalian darah yang mengalir di tubuh keluarga Alex memang diikat kuat oleh seni
rupa. Kakeknya, Ahmad Sarbini Biis, merupakan salah satu pelukis tenar di wilayah
Sokaraja, Kabupaten Banyumas. "Sudah 21 tahun saya melukis. Mengembangkan
teknik pallet yang diajarkan oleh ayah. Tapi saya merasa belum pernah sempurna,"
katanya saat ditemui merdeka.com di kediamannya.
Pernah ada zamannya lukisan Sokaraja begitu digandrungi oleh khalayak ramai.
Tapi di tahun 1990-an, masa keemasan itu berlalu. Lukisan Sokaraja lantas
terhempas tak diminati. Putus, nyaris tanpa penerus.
"Saya memang tetap bertahan melukis. Ingin nguri-nguri (merawat) kesenian turun-
temurun. Memang melukis saja enggak bisa untuk nyambung hidup saat ini," ujar
Alex, lalu tercenung.
Dahulu, di tahun 1970-an, hampir semua warga terlibat dalam pembuatan lukisan.
Sebagian menjadi artisan, sebagian lain membikin kanvas dan tak jarang pula
pembuat pigura.
Dahulu, mudah ditemui para remaja menyapukan kuas dibubuhi cat minyak di atas
canvas di pelataran rumah. Tapi sejak Lukisan Sokaraja tak lagi laku di pasaran,
banyak orang lantas gantung kuas. Mereka lebih memilih merantau
ke Jakartamenjadi kuli atau beralih membuat backdrop, latar belakang studio foto.
"Apa sebabnya lukisan Sokaraja ambruk saya tak tahu persis. Kenyataannya,
peminat lukisan Sokaraja semakin hilang," kata Alex yang juga menjaga area parkir
dan menerima jasa ojek untuk mengejar rezeki.
Alex di dalam benaknya punya harapan, kelak lukisan Sokaraja bangkit dari
keterpurukan. Ia memendam mimpi, mengumpulkan teman-teman sebayanya yang
telah menggantung kuas untuk melukis sama-sama di jalan raya Sokaraja.
Maksudnya untuk menarik perhatian bahwa masih ada geliat kesenian di Sokaraja.
"Lebih baik saya optimis daripada pesimis terus," kata Alex.
Sampai saat ini, beberapa pelukis tetap mendapat tempat istimewa di ingatan
Munaris. Menurutnya, para pelukis tenar ini juga sumber gairah ekonomi kreatif di
Sokaraja. Munaris menyebut di antaranya almarhum Ismail, Sudirno, Gesang
Arobbi, Ahmad Sarbini Biis dan putranya Sugeng Wibowo. Di antara
sederet nama itu, satu pelukis dikaruniai umur panjang. Abdul Basyir, saksi sejarah
pasang lantas surutnya lukisan Sokaraja.
Sekarang, Basyir berusia 88 tahun. Rambutnya telah memutih, dua telinganya tak
lagi sanggup mendengar dengan baik. Tapi penampilannya perlente, gemar
menggunakan topi pet yang kerap jadi atribut penutup kepala para seniman. Basyir
mulai melukis sejak akhir tahun 1930-an, ketika usianya belum genap 10 tahun. Saat
itu lukisan pemandangan telah jadi minatnya, dan lukisan Mooi-Indie yang dikenal
dengan trimurti gunung, pohon kelapa dan sawah tengah marak menarik hati para
pelukis.
Basyir mempelajari seni melukis secara otodidak. Sampai kemudian di usia remaja
ia menggemari maestro seni lukis naturalis Indonesia, Basoeki Abdullah. "Saya
berguru pada alam," kata Basyir saat ditemui merdeka.com di kediamannya.
Di senjakala usianya, lupa memang banyak menggerogoti ingatannya. Satu hal yang
ia kenang, kediamannya pernah menjadi sanggar bagi siapa saja yang tertarik
melukis. Anak-anak yang terpaksa putus sekolah ia tampung, ia ajarkan cara
menyapu kuas. Maksudnya sederhana, agar mereka tahu cara mendapat uang
dengan modal kreativitas.
Lukisan Sokaraja sebagaimana diingat Basyir, memang pernah jadi tumpuan
ekonomi banyak keluarga di kampungnya. Tak hanya jadi souvenir bagi wisatawan
domestik, lukisan-lukisan Sokaraja juga dikirim sampai ke luar negeri diantaranya
Malasyia dan Singapura. Menurutnya, lukisan pemandangan disukai sebab eksotis
serta menggambarkan kehidupan yang tenang dan damai menyesap di alam
terbuka.
"Saya nelangsa. Tetap ingin melukis terus, tapi sudah gak ada pembeli. Buat apa
kalau lukisan jadi menumpuk," kata Basyir.
Sisa-sisa kejayaan lukisan Sokaraja, juga masih menjejak dengan adanya dua galeri
lukisan yakni Galeri Keluarga dan HF Galery. Keduanya berdiri ganjil di selatan ruas
jalan raya Sokaraja dikepung kios gethuk dan warung sroto.
Syarif (73) pemilik Galeri Keluarga sudah menjual lukisan Sokaraja sejak tahun
1950-an. Tapi kini di galerinya stok lukisan pemandangan khas Sokaraja tergolong
minim sebab tak ada regenerasi. Mau tak mau, agar ruang galeri tak kosong, Syarif
membeli putus lukisan portrait, bunga-bunga, ikan atau kaligrafi yang ia ambil dari
Bandung.
Alasan Syarif tetap mempertahankan galerinya, sebab ia enggan memulai bisnis
baru yang ia anggap akan menguras otak. Ia menaruh percaya, rezeki telah diatur
oleh Tuhan. Dari menjual lukisan ia merasa telah mendapat penghasilan yang cukup
dan sudah tuntas membiayai sekolah anak-anaknya.
"Rezeki sudah ada yang bagi. Kalau bisnis yang lain harus belajar lagi," katanya
datar.
Sebagai penjual lukisan, Syarif menilai menurunnya minat pada lukisan Sokaraja
seiring maraknya lukisan-lukisan kontemporer serta krisis moneter yang melanda
Indonesia. Ia berpandangan, daya beli masyarakat menurun dan membeli lukisan
dianggap terlalu mewah. Sedang di sisi lain, lukisan sokaraja merupakan konvensi
lama yang digerus kreasi baru. Hilangnya pembeli membuat para pelukis malas
berkarya lagi dan enggan mengembangkan diri. Dampak lain, puluhan penjual
lukisan gulung tikar lalu banting stir mengubah kios untuk berjualan gethuk.
"Menurut saya tahun 1998, penjualan lukisan Sokaraja mulai redup," imbuh Syarif.
Mendengar cerita Alex, Munaris, Basyir dan Syarif, keberadaan Lukisan Sokaraja
nyaris sekadar jadi bagian dari nostalgia. Dalam perjalanan waktu yang terus
bergerak maju, lukisan Sokaraja terhempas dan putus menjadi sekadar peristiwa
manis yang pernah dialami pada masa lalu. Kejayaan lukisan Sokaraja merekam
kegemilangan masa silam dan sampai hari ini masih dicari jalan untuk dijangkau
kembali.
Sejarah pelukis Sokaraja yang
mulai dimakan zaman
Namanya Hadiwijaya. Usianya 63 tahun. Ia pelukis dan mantan guru seni budaya di
sejumlah sekolah menengah atas di Kabupaten Banyumas.
Riwayat hidup Hadiwijaya, memang pernah dekat dengan geliat seni rupa di
Sokaraja. Di masa remaja, ia kerap mendatangi galeri-galeri di pinggiran Jalan Raya
Sokajara untuk memandangi berbagai lukisan serta mengobrol dengan para pelukis.
Pekerjaan sebagai guru seni budaya juga pertama kali ia jalani di SMA Negeri
Sokaraja pada tahun 1982 sampai 1984.
Hadiwijaya mulai bercerita, lukisan Sokaraja memang tersohor khas pemandangan
alam. Tapi sejauh pengamatannya tak berkembang bahkan cenderung mekanis.
"Jiwa para pelukisnya hilang. Prinsip berkarya sing penting payu (laku dijual), ngasil
(mendapat uang)," kata Hadiwijaya saat ditemui merdeka.com di kediamannya.
Uniknya, lanjut Hadi, cikal bakal pelukis Sokaraja tak bersentuhan langsung dengan
para pelukis asing tersebut. Tapi lukisan yang mengandung satu arti, Moii-Indie,
justru didapati pengetahuannya oleh pelukis Sokaraja di kota Bandung. Ketika itu,
banyak warga Sokaraja yang bekerja di pabrik-pabrik Roti di Bandung lantas
mendapati gairah seni rupa di jalanan dan tertarik mempelajari.
"Beberapa di antara mereka lantas belajar segi teknik melukis. Salah satu yang
paling berbakat Ismail. Dia lantas pulang mengembangkan seni lukis di Sokaraja,
berawal dari dia lalu muncul Gesang Arobbi, Ahmad Sarbini Biis dan lainnya," ujar
Hadiwijaya.
Mengenal sistem ngider, ada penjual berjualan keliling lukisan diangkut dalam
gerobak dari satu kampung ke kampung lain di wilayah Purbalingga, Banyumas
sampai Cilacap. Selain itu, para pelukis membuka kios-kios atau galeri di pinggiran
jalan utama Sokaraja.
"Mereka punya talenta kuat tapi tak menempa diri. Ketika selera pembeli berubah ke
lukisan kontemporer, pelukis Sokaraja lamban merespon. Terlalu sibuk dengan
bisnis," kata Hadiwijaya.
Kritik Hadiwijaya ini, memang bukan hal baru terkait masa maraknya lukisan-lukisan
pemandangan (landschappen). S Sudjono, juru bicara Persatuan Ahli Gambar
Indonesia (Persagi) dalam bukunya Seni Lukis, Kesenian dan Seniman (1946)
pernah menyinggung pelukis-pelukis pemandangan hanya mencari uang belaka dan
tak memiliki kekuatan sendiri yang cukup untuk mencipta.
"Pelukis yang tua, merasa mapan, meninggalkan yang muda. Tidak terjadi transfer
pengetahuan. Para pelukis Sokaraja yang otodidak mentok capaian artistiknya
karena tidak dirangkul," ujarnya saat ditemui merdeka.com.
Lukisan pemandangan Sokaraja, juga menginspirasi para pelukis dari luar Sokaraja.
Handoyo menyebut nama Setyo Kusmanto dari Sumbang, Banyumas dan Pardoli
dari Cilacap. Di tangan dua pelukis ini, lukisan pemandangan ia katakan mendapat
sentuhan berbeda terutama dalam corak warna.
"Kesamaan yang muncul tetap sama, kiblat pemandangannnya Gunung Slamet,"
ujar Handoyo yang banyak mengoleksi lukisan kaca Toto Sunu ini.
"Tiga unsur yang ada dalam lukisan itu dianggap bisa membawa peruntungan. Maka
tidak mengherankan, lukisan-lukisan pemandangan dulu mudah ditemui di rumah-
rumah warga," kata Handoyo.
Peruntungan nasib baik, kini memang tengah menjauh dari para pelukis Sokaraja
dan karya-karyanya khasnya lukisan pemandangan. Kisah lukisan Sokaraja
memang terangkai dari lintasan kemurungan juga kebahagiaan yang saling
berkelok. Tak ada yang tahu pasti apakah lukisan Sokaraja tetap akan terpuruk atau
mendapat kesempatan kedua untuk bangkit kembali.