Makalah Mual Muntah
Makalah Mual Muntah
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui patofisiologis dan etiologi mual dan muntah.
1.3.2 Mengetahui terapi yang tepat untuk mual dan muntah.
1.3.3 Mampu menyikapi kasus dan memahami pertimbangan assesment
terapi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Etiologi :
1. Penyakit psikogenik
2. Proses-proses sentral (misal : tumor otak)
3. Proses sentral tak langsung (misal : obat-obatan, kehamilan)
4. Penyakit perifer (misal : peritonitis)
5. Iritasi lambung atau usus (Walsh, 1997: 310).
2.2 Terapi Mual Muntah Secara Farmakologi dan Non Farmakologi
2.2.1 Terapi Farmakologi (Sukandar. 2008: 381-384)
2.2.1.1 Obat antiemetik bebas dan dengan resep paling umum
direkomendasikan untuk mengobati mual muntah. Untuk pasien
yang bisa mematuhi pemberian dosis oral, obat yang sesuai dan
efektif dapat dipilih tetapi karena beberapa pasien tidak dapat
menggunakan obat oral, obat oral tidak sesuai. Pada pasien
tersebut disarankan penggunaa obat secara rektal atau parental.
2.2.1.2 Untuk sebagian besar kondisi, dianjurkan antiemetik tunggal
tetapi bila pasien tidak memberikan respon dan pada pasien
yang mendapat kemoterapiemetonik kuat, biasanya dibutuhkan
regimen multi obat.
2.2.1.3 Terapi mual muntah simpel biasanya membutuhkan terapi
minimal. Obat bebas atau reses berguna pada terapi ini pada
dosis lazim efektif yang rendah.
2.2.1.4 Penanganan mual muntah komplek membutuhkan terai obat
yang bekerja kuat, mungkin lebih dari 1 obat emetik.
2.2.2 Terapi Non Farmakologi (Sukandar, 2008 :381)
2.2.2.1 Pasien dengan keluhan ringan, mungkin berkaitan dengan
konsumsi makanan dan minuman, dianjurkan menghindari
masuknya makanan
2.2.2.2 Intervensi non farmakologi diklasifgikasikan sebagai intervensi
perilaku termasuk relaksasi, biofeedback, self-hypnosis,
distraksi kognitif dan desensitisasi siseimatik
2.2.2.3 Muntah psikogenik mungkin diatasi dengan intervensi
psikologik
2.3 Hal yang Diperhatikan Pada Terapi Mual Muntah Karena Induksi
Kemoterapi
Kemungkinan berkembangnya mual dan muntah pada pasien yang
sedang menjalani kemoterapi sangat tergantung pada berbagai faktor. Jenis
kelamin dan usia merupakan dua faktor yang sangat berperan dalam hal ini.
Pasien wanita dengan usia yang lebih muda merupakan kelompok pasien
beresiko tinggi terhadap mual dan muntah akibat kemoterapi. Selain itu
pasien yang telah menunjukan mual dan muntah pada masa prekemoterapi,
berpotensi mendapati mual dan muntah yang parah setelah menjalani
kemoterapi. Sebaliknya pasien dengan riwayat konsumsi alkohol tinggi
memiliki resiko mual dan muntah akibat kemoterapi yang lebih rendah.
Dalam terapi pendukung terhadap kemoterapi ini, faktor dosis dan tingkat
emetogenisitas juga harus diperhatikan agar dapat memberikan terapi
pendukung yang tepat dan efektif. Berdasarkan kemampuannya dalam
menginduksi mual dan muntah (tingkat emetogenisitas) kemoterapi
dibedakan kedalam 4 kategori sebagai berikut:
2.3.1 Kemoterapi dengan tingkat emetogenisitas minimal (<10%) :
Bevacizumab, Bleomycin, Busulfan, Cladribine, Fludarabine,
Vinblastine, Vincristine dan Vinorelbine
2.3.2 Kemoterapi dengan tingkat emetogenisitas rendah (10-30%) :
Bortezomib, Cetuximab, Cytarabine (≤100 mg/m2 of body-surface
area), Docetaxel, Etoposide, Fluorouracil, Gemcitabine, Ixabepilone,
Lapatinib, Methotrexate, Mitomycin, Mitoxantrone, Paclitaxel,
Pemetrexed, Temsirolimus, Topotecan dan Trastuzumab
2.3.3 Kemoterapi dengan tingkat emetogenisitas sedang (31-90%) :
Carboplatin, Cyclophosphamide (≤1.5 g/m2), Cytarabine (>1 g/m2),
Daunorubicin, Doxorubicin, Epirubicin, Idarubicin, Ifosfamide,
Irinotecan dan Oxaliplatin
2.3.4 Kemoterapi dengan tingkat emetogenisitas tinggi (>90%) : Carmustine,
Cisplatin, Cyclophosphamide (>1.5 g/m2), Dacarbazine,
Mechlorethamine dan Streptozocin
Faktor lain yang juga harus diperhatikan dalam penentuan terapi mual
dan muntah yang terinduksi kemoterapi adalah kondisi klinis mual dan
muntah yang dialami pasien. Dalam hal ini konsep akut lebih penting untuk
dipertimbangkan dibandingkan kondisi emesis (mual) tertunda yang dapat
diidentifikasi dengan pemberian cisplatin. Hampir semua pasien akan
mengalami mual dan muntah sekitar 1-2 jam setelah pemberian kemoterapi
dengan cisplatin. Biasa emesis mereda setelah 18-24 jam dan akan mencapai
puncak kekambuhan kedua setelah 48-72 jam. Berdasarkan model cisplatin,
emesis yang terjadi dalam waktu 24 jam setelah pemberian kemoterapi
disebut sebagai emesis akut, sedangkan emesis yang terjadi setelah 24 jam
kemudian disebut emesis tertunda. Selain cisplatin, cyclophosphamide,
carboplatin, dan anthracyclines juga dapat menimbulkan emesis tertunda.
BAB III
STUDI KASUS
3.1 Kasus
3.2.3.2 Deksametason
Dosis : 8-20 mg secara intravena
Pemberian : 6 jam setelah kemoterapi
Golongan kortikosteroid dapat dipakai sebagai pengobatan
mual dan muntah sebagai obat tunggal, tetapi umumnya lebih
sering dipakai sebagai obat kombinasi. Obat golongan steroid
mencegah pembentukan prostaglandin dan merangsang
pelepasan endorphin. Deksametason sering dipakai sebagai obat
pilihan pada penderita mual-muntah yang disebabkan
kemoterapi.
3.2.3.3 Metoklopramid
Derivat aminoklorobenzamida ini berkhasiat antiemetik
kuat berdasarkan awalnya blockade reseptor dopamine di
Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ). Di samping itu zat ini juga
memperkuat pergerakan dan pengosongan lambung efektif pada
semua jenis muntah, terutama akibat kemoterapi.
Dosis : 25-50 mg
Mekanisme Kerja : memblokade reseptor dopaminergik di
CTZ (Chemoreceptor Trigger Zone).
Metoklopramid mempengaruhi medulla
yaitu dengan menghambat reseptor dopamin
pada CTZ. Mekanisme kerja dengan cara
meningkatkan ambang rangsang CTZ dan
menurunkan sensitivitas saraf visceral yang
membawa impuls saraf aferen dari Gastro
Intestinal ke pusat muntah pada formatio
reticularis lateralis.
3.2.3.4 Difenhidramin
Dosis :10 gram secara intravena
Pemberian : 30-60 menit sebelum kemoterapi
Mekanisme Kerja : Difenhidramin berkompetisi dengan
histamin bebas untuk mengikat
reseptor HI. Difenhidramin bersifat
antagonis kompetitif terhadap efek
histamin pada saluran
gastrointestinal uterus, pembuluh
darah besar, dan obat bronkial.
Penghambatan reseptor HI juga
menekan pembentukan edema, panas
dan gatal yang disebabkan oleh
histamin.
Onset : efek sedatif maksimum :1-3 jam
Durasi : 4-7 jam
Ikatan dengan protein : 78%
Metabolisme : sebagian besar dihati, sedikit di paru
dan ganjil.
Bioavailabilitas : oral : 40-60%
3.2.3.5 Famotidin
Dosis : 20 mg IV tiap 6 jam sebagai dosis
pemeliharaan
Mekanisme Kerja : Famotidine bekerja dengan menghambat
secara kompetitif reseptor histamin H2.
Aktivitas Farmakologi yang penting dari
famotidine adalah menghambat sekresi
gastrik, sehingga volume sekresi gastrik dan
konsentrasi asam menurun.
3.2.4 Assesment Terapi pada Kasus
Carboplatin memiliki efek mual dan muntah sedang (moderat : 30-90%
N/V). Paclitaxel memiliki efek mual dan muntah ringan 10-30% N/V).
Mekanisme obat Kemoterapi tersebut sebagai berikut:
Carboplatin
Carboplatin bekerja sebagai anti kanker dengan cara menempelkan
diri pada DNA (deoxyribonucleic acid) sel kanker dan mencegah
pertumbuhannya. Pada dasarnya carboplatin merupakan derivat dari
senyawa cisplatin yang memperbaiki kinerja dari aksi cisplatin di dalam
tubuh. Carboplatin memiliki gugus amina dan ligan bidentate dikarbosilat
yang lebih stabil dibandingkan dengan ligan dikloro pada cisplatin.
Semakin stabil suatu ligan kereaktifannya semakin berkurang hal ini
menyebabkan sukarnya bereaksi pada basa nitrogen sehingga lebih lambat
mengikat DNA. Cara kerja alkylator ini adalah membentuk ion karbonium
(alkil) yang sangat reaktif, gugus alkil ini akan berikatan kovalen silang
pada konstituen sel yang nukleofilik sehingga terjadi miscoding. Alkilasi
juga menyebabkan labilnya cincin imidazo sehingga cincin tersebut dapat
terbuka ketika masih merupakan bagian DNA. Hal ini menyebabkan
ketidakstabilan dan pemecahan DNA. Pada akhirnya akan terjadi ikatan
silang (cross link) yang mengikat 2 basa nitrogen guanin dan replikasi
DNA tidak terjadi, sehingga sintesis RNA dan protein tidak terjadi
sehingga dapat mengakibatkan matinya sel kanker.
Paclitaksel
Kemoterapi golongan taxane bekerja dengan berikatan pada tubulin
subunit β, menginduksi polimerisasi tubulin dan menstabilkan
mikrotubulus.Mikrotubulus yang dihasilkan dengan kemoterapi golongan
taxane resisten terhadap penguraian. Hal ini mengakibatkan gangguan
proses mitosis dan akhirnya mengakibatkan apoptosis atau kematian sel1.
Kemoterapi golongan taxane bekerja pada siklus sel fase G2-M.
Terapi Ondansetron 24mg po 30 menit sebelum kemoterapi dan
Ondansetron 8 mg po setiap 6 jam jika mual dan muntah.
Pemberian Ondansetron per oral sebanyak 24 mg 30 menit
sebelum kemoterapi bertujuan untuk mencegah timbulnya mual dan
muntah antisipatif. Sedangkan pemberian Ondansentron per oral sebanyak
8 mg setiap 6 jam bertujuan untuk mengatasi mual muntah tertunda. Obat
perlu diminum jika pasien merasa mual dan muntah.
Dosis ondansetron untuk dewasa yaitu 4-8 mg. Dosis 8 mg
digunakan untuk emetogenik sedang. Kombinasi antara Carboplatin dan
Paclitaxel menyebabkan peningkatan emetogenesis dari moderat menjadi
tinggi. Maka diberikan ondansetron dengan dosis yang lebih tinggi yaitu
24 mg. Ondansetron sebanyak 8 mg diberikan di awal kemudian
dilanjutkan dengan 2x8 mg untuk mencegah terjadinya mual dan muntah
berulang yang muncul sebelum dan ketika kemoterapi.
Terapi Diphenhydramin 25mg IV 30 menit sesudah Kemoterapi
Mencegah reaksi hipersensitivitas akibat dari efek samping obat
paklitaksel yaitu gangguan gastrointestinal.
Pemberian Famotidin 20mg IV 30 menit sesudah kemoterapi
Famotidin digunakan untuk pengobatan ulkus duodenum pada
dosis yang dikurangi sesudah sembuh dari tukak aktif. Pengobatan pada
kondisi hipersekresi patologis seperti Zollinger-EllisonSyndrome, multiple
endocrine adenomas. Famotidin diberikan pada terapi ini untuk mencegah
terjadinya mual muntah akibat gangguan gastrointestinal karena Paclitaxel
memiliki efek samping gangguan pada gastrpintestinal.
Pemberian terapi Dexamethasone selama 4 hari
Dexamethasone digunakan untuk mengatasi mual muntah tertunda.
Mual dan muntah tertunda pada pasien kemoterapi dengan regimen yang
emetogenisitasnya tinggi diberikan aprepitant+dexamethasone. Sedangkan
pada pasien yang mendapatkan regimen kemoterapi emetogenisitas
sedang/moderat diberikan SSRI atau dexamethasone. Pada kasus ini
pasien mendapatkan SSRI dan dexamethasone. Ondansetron kurang
efektif untuk mual muntah tertunda sehingga dikombinasi dengan
Dexamethasone.
Pasien mendapat resep Metoclopramide selama 4 hari
Metoclopramide bekerja dengan memblok reseptor dopaminergik
sentral pada CTZ serta membantu mempercepat pengosongan lambung.
Pemberian metclopramide bertujuan untuk melengkapi ondansetron
mengatasi mual dan muntah tertunda. Ondansetron kurang efektif untuk
mengatasi mual dan muntah tertunda. Penggunaan metclopramide untuk
mual dan muntah tertunda diberikan bersama dexamethasone.
3.2.5 Saran untuk Terapi
Berdasarkan kasus tersebut, pemberian Carboplatin dan Paclitaxel
merupakan regimen kemoterapi yang memilik emetogenesitas tingkat
moderat. Maka terapi untuk mengatasi mual dan muntah yang tepat
yaitu menggunakan kombinasi SSRI+kortikosteroid. Pada kasus ini
pasien diberi Ondansetron yang merupakan obat golongan SSRI,
dexamethasone yang merupakan golongan kortikosteroid,
Difenihidramin dan famotidin yang merupakan obat antagonis H2 serta
Metclopramide yang merupakan golongan antikolinergik.
Pemberian obat untuk mual muntah pada kasus ini terlalu banyak.
Mual dan muntah akibat regimen kemoterapi memicu CTZ pada
otak sehingga obat yang tepat untuk digunakan adalah SSRI dan
Dexamethasone. Pemberin obat antikolinergik dan obat antagonis
H2 tidak rasional diberikan pada pasien mual muntah akibat
regimen kemoterapi.
Pemberian Ondansetron dengan dosis 24 mg sebelum kemoterapi
terlalu tinggi karena dosis ini digunakan untuk resiko emesis yang
tinggi. Regimen kemoterapi yang digunakan yaitu Carboplatin dan
Paclitaxel, regimen ini memberikan resiko emesis sedang, jadi
seharusnya dosis Ondansetron yang diberikan adalah 8mg.
Pemberian Ondansetron sebelum kemoterapi secara IV lebih
dianjurkan karena efeknya akan lebih cepat.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Sukandar, Y.E., Andrajati, R., Sigit, I.J., Adnyana, I,K., Setiadi, A.A.P.,
Kusnandar, 2008.IsoFarmakaterapi. Jakarta: PT.ISFI Penerbitan
Walsh,T.D. 1997. Kapita Selekta Penyakit dan Terapi. Jakarta: EGC Buku
Kedokteran