Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mual dan muntah merupakan suatu gejala tetapi bukan penyakit yang perlu
mendapatkan terapi (baik farmakologi maupun non farmakologi) dan memiliki
kaitan dengan sistem saraf pusat. Pusat emesis berada dibagian otak yang bernama
vomiting center. Vomiting center menerima sinyal dari neuro transmiter yang
berkaitan dengan reseptor emesis. Nantinya vomiting center akan memberi respon
baik dari sinyal yang didapat. Respon baiknya bisa berupa rasa mual saja atau
bahkan sampai muntah.
Tujuan pengobatan obat kemoterapi terhadap kanker adalah mencegah dan
menghambat multiplikasi sel kanker, menghambat invasi dan metastase.
Proliferasi merupakan proses yang terjadi pada beberapa sel organ normal,
kemoterapi juga berefek toksik terhadap sel-sel normal terutama padajaringan-
jaringan yang mempunyai siklus sel yang cepat, antara lain sumsum tulang, epitel
mukosa, dan folikel rambut.
Efek samping mual dan muntah terjadi pada 70-80 % pasien kemoterapi
kanker. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di salah satu rumah sakit di
Yogyakarta periode 2004-2005, dari 36 kasus efek samping yang ditemukan paska
kemoterapi, efek samping mual muntah terjadi pada 80% pasien kemoterapi
resiko sedang, 57% resiko tinggi, dan 100% resiko sangat tinggi.
Ada beberapa reseptor mual muntah di dalam tubuh yaitu dopamin,
serotonin, histamin, neurokinin (NK 1) dan polinergik miskarinik. Letak reseptor
tersebut di beberapa lokasi, diantaranya Kemoreseptor Triger Zone (CTZ),
vestibular (di telinga), cotex (di otak bagian depan), dan di peripheral pathway
(Gastro Intestinal). Reseptor-reseptor tersebut bisa muncul dan diberikan dengan
neuro transmiter karena faktor yang berbeda-beda sesuai dengan lokasi
reseptornya.
Makalah ini membahas mengenai patofisiologis mual dan muntah secara
umum dan yang diinduksi oleh regimen kemoterapi. Makalah ini juga akan
membahas mengenai kasus terapi mual dan muntah akibat regimen kemoterapi.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana patofisiologis dan etiologi mual dan muntah?
1.2.2 Bagaimana terapi yang tepat untuk mual dan muntah?
1.2.3 Bagaimana contoh studi kasus mual dan muntah?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui patofisiologis dan etiologi mual dan muntah.
1.3.2 Mengetahui terapi yang tepat untuk mual dan muntah.
1.3.3 Mampu menyikapi kasus dan memahami pertimbangan assesment
terapi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Patofisiologi dan Etiologi Mual dan Muntah

Jalur alamiah dari muntah juga belum sepenuhnya dimengerti namun


beberapa mekanisme patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah
diketahui. Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf-saraf yang
berlokasi di medulla oblongata. Saraf-saraf ini menerima input dari :
a. Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema
b. Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual karena
penyakit telinga tengah)
c. Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktur gastrointestinal)
d. Sistem spinorecticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan
cedera fisik)
e. Nukleus traktur solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)
Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik
dari usus berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus :
a. Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi
dan distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi.
b. Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif
terhadap stimulus kimia.
Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata, memperantarai
refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan area
postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berlokasi di area postrema.
Rangsangan perifer dan sentral dapat merangsang kedua pusat muntah dan CTZ.
Afferent dari faring, GI tract, mediastinum, ginjal, peritoneum dan genital dapat
merangsang pusat muntah. Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas
dan pusat batang otak, nukleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di
telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat muntah. Karena area
postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak, obat atau zat-zat kimia di darah
atau di cairan otak dapat langsung merangsang CTZ.
Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang
berhubungan dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut yang
tidak nyaman. Nukleus traktus solitaries dapat juga menimbulkan mual muntah
dengan perangsangan simpatis dan parasimpatis melalui perangsangan jantung,
saluran billiaris, saluran cerna dan saluran kemih. Sistem vestibular dapat
dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada
vestibular telinga tengah.
Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1 (NK-1)
dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi yang
tinggi pada enkepalin, histaminergik, dan reseptor muskarinik kolinergik.
Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke pusat muntah ketika di rangsang.
Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah
mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot-
otot perut untuk melakukan refleks muntah.

Gambar 2.1 Patofisiologi Mual Muntah

Etiologi :
1. Penyakit psikogenik
2. Proses-proses sentral (misal : tumor otak)
3. Proses sentral tak langsung (misal : obat-obatan, kehamilan)
4. Penyakit perifer (misal : peritonitis)
5. Iritasi lambung atau usus (Walsh, 1997: 310).
2.2 Terapi Mual Muntah Secara Farmakologi dan Non Farmakologi
2.2.1 Terapi Farmakologi (Sukandar. 2008: 381-384)
2.2.1.1 Obat antiemetik bebas dan dengan resep paling umum
direkomendasikan untuk mengobati mual muntah. Untuk pasien
yang bisa mematuhi pemberian dosis oral, obat yang sesuai dan
efektif dapat dipilih tetapi karena beberapa pasien tidak dapat
menggunakan obat oral, obat oral tidak sesuai. Pada pasien
tersebut disarankan penggunaa obat secara rektal atau parental.
2.2.1.2 Untuk sebagian besar kondisi, dianjurkan antiemetik tunggal
tetapi bila pasien tidak memberikan respon dan pada pasien
yang mendapat kemoterapiemetonik kuat, biasanya dibutuhkan
regimen multi obat.
2.2.1.3 Terapi mual muntah simpel biasanya membutuhkan terapi
minimal. Obat bebas atau reses berguna pada terapi ini pada
dosis lazim efektif yang rendah.
2.2.1.4 Penanganan mual muntah komplek membutuhkan terai obat
yang bekerja kuat, mungkin lebih dari 1 obat emetik.
2.2.2 Terapi Non Farmakologi (Sukandar, 2008 :381)
2.2.2.1 Pasien dengan keluhan ringan, mungkin berkaitan dengan
konsumsi makanan dan minuman, dianjurkan menghindari
masuknya makanan
2.2.2.2 Intervensi non farmakologi diklasifgikasikan sebagai intervensi
perilaku termasuk relaksasi, biofeedback, self-hypnosis,
distraksi kognitif dan desensitisasi siseimatik
2.2.2.3 Muntah psikogenik mungkin diatasi dengan intervensi
psikologik

2.3 Hal yang Diperhatikan Pada Terapi Mual Muntah Karena Induksi
Kemoterapi
Kemungkinan berkembangnya mual dan muntah pada pasien yang
sedang menjalani kemoterapi sangat tergantung pada berbagai faktor. Jenis
kelamin dan usia merupakan dua faktor yang sangat berperan dalam hal ini.
Pasien wanita dengan usia yang lebih muda merupakan kelompok pasien
beresiko tinggi terhadap mual dan muntah akibat kemoterapi. Selain itu
pasien yang telah menunjukan mual dan muntah pada masa prekemoterapi,
berpotensi mendapati mual dan muntah yang parah setelah menjalani
kemoterapi. Sebaliknya pasien dengan riwayat konsumsi alkohol tinggi
memiliki resiko mual dan muntah akibat kemoterapi yang lebih rendah.
Dalam terapi pendukung terhadap kemoterapi ini, faktor dosis dan tingkat
emetogenisitas juga harus diperhatikan agar dapat memberikan terapi
pendukung yang tepat dan efektif. Berdasarkan kemampuannya dalam
menginduksi mual dan muntah (tingkat emetogenisitas) kemoterapi
dibedakan kedalam 4 kategori sebagai berikut:
2.3.1 Kemoterapi dengan tingkat emetogenisitas minimal (<10%) :
Bevacizumab, Bleomycin, Busulfan, Cladribine, Fludarabine,
Vinblastine, Vincristine dan Vinorelbine
2.3.2 Kemoterapi dengan tingkat emetogenisitas rendah (10-30%) :
Bortezomib, Cetuximab, Cytarabine (≤100 mg/m2 of body-surface
area), Docetaxel, Etoposide, Fluorouracil, Gemcitabine, Ixabepilone,
Lapatinib, Methotrexate, Mitomycin, Mitoxantrone, Paclitaxel,
Pemetrexed, Temsirolimus, Topotecan dan Trastuzumab
2.3.3 Kemoterapi dengan tingkat emetogenisitas sedang (31-90%) :
Carboplatin, Cyclophosphamide (≤1.5 g/m2), Cytarabine (>1 g/m2),
Daunorubicin, Doxorubicin, Epirubicin, Idarubicin, Ifosfamide,
Irinotecan dan Oxaliplatin
2.3.4 Kemoterapi dengan tingkat emetogenisitas tinggi (>90%) : Carmustine,
Cisplatin, Cyclophosphamide (>1.5 g/m2), Dacarbazine,
Mechlorethamine dan Streptozocin
Faktor lain yang juga harus diperhatikan dalam penentuan terapi mual
dan muntah yang terinduksi kemoterapi adalah kondisi klinis mual dan
muntah yang dialami pasien. Dalam hal ini konsep akut lebih penting untuk
dipertimbangkan dibandingkan kondisi emesis (mual) tertunda yang dapat
diidentifikasi dengan pemberian cisplatin. Hampir semua pasien akan
mengalami mual dan muntah sekitar 1-2 jam setelah pemberian kemoterapi
dengan cisplatin. Biasa emesis mereda setelah 18-24 jam dan akan mencapai
puncak kekambuhan kedua setelah 48-72 jam. Berdasarkan model cisplatin,
emesis yang terjadi dalam waktu 24 jam setelah pemberian kemoterapi
disebut sebagai emesis akut, sedangkan emesis yang terjadi setelah 24 jam
kemudian disebut emesis tertunda. Selain cisplatin, cyclophosphamide,
carboplatin, dan anthracyclines juga dapat menimbulkan emesis tertunda.
BAB III
STUDI KASUS

3.1 Kasus

KJ adalah seorang perempuan berusia 65 tahun. Dia datang ke klinik


kanker untuk menjalani kemoterapi yang pertama. Dia didiagnosa kanker
ovarium stage II. Dia direncanakan akan menerima kemoterapi sebanyak 5
kali dengan regimen carboplatin dan paclitaxel (Carboplatin AUC 6 IV
selama 30 menit setiap 21 hari sekali + Paclitaxel 175 mg/m2 i.v selama 3
jam setiap 21 hari sekali). Pada hari pertama kemoterapi dia mendapat obat
sebagai berikut :

 Carboplatin AUC 6 IV selama 30 menit


 Paclitaxel 175 mg/m2 i.v selama 3 jam
 Ondansetron 24 mg po 30 menit sebelum chemotherapy
 Diphenhydramine 25 mg IV 30 minutes sesudah chemotherapy
 Famotidine 20 mg IV 30 minutes sesudah chemotherapy

Ny. KI juga mendapat resep :

 ondansetron 8 mg po setiap 6 jam jika mual dan muntah


 metoclopramide + dexamethasone selama 4 hari

Lakukan assesment terhadap terapi yang diterima Ny. KI

3.2 Pembahasan Kasus


3.2.1 Patofisiologis dan Etiologi
3.2.2 Regimen Kemoterapi
Regimen kemoterapi menginduksi reseptor reseptor emesis
sehingga menyebabkan mual dan muntah. Regimen kemoterapi
menginduksi beberapa reseptor emesis di CTZ yaitu dopamin, serotonin,
dan NK1. CTZ sendiri merupakan zona yang berada di medula.
3.2.3 Mekanisme Obat Terapi
Terapi untuk mengatasi mual dan muntah yang tepat yaitu
menggunakan kombinasi SSRI+kortikosteroid. Terapi pada kasus ini
menggunakan beberapa obat berikut diantaranya :
3.2.3.1 Ondansetron
Senyawa karbazol ini adalah antagonis serotonin selektif
(dari reseptor 5HT3). Bekerja antiemetik kuat dengan
mengantagoniskan refleks muntah dari usus halus dan stimulasi
CTZ, yang keduanya diakibatkan oleh serotonin. Ondansetron
biasanya diberikan secara intra vena 30 menit sebelum
kemoterapi.
Metabolismenya didalam hati secara hidroksilasi dan
konjugasi dengan glukoronida atau sulfat dan di eliminasi cepat
di dalam tubuh, waktu paruhnyaa adalah 3-4 jam, oleh karena
itu ondansetron baik diberikan pada akhir pembedahan efek
antiemetik ondansetron ini didapat melalui :
- Blokade sentral di CTZ pada area postremadan nukleus
traktus solitaries sebagai kompetitid selektid reseptor 5-
HT
- Memblok reseptor 5-HT di perifer pada ujung saraf
vagus di sel enterokromafin di traktus gastrointestinal.

Dosis : terapi oral 8-24 mg


Pemberian : 30 menit sebelum kemoterapi

3.2.3.2 Deksametason
Dosis : 8-20 mg secara intravena
Pemberian : 6 jam setelah kemoterapi
Golongan kortikosteroid dapat dipakai sebagai pengobatan
mual dan muntah sebagai obat tunggal, tetapi umumnya lebih
sering dipakai sebagai obat kombinasi. Obat golongan steroid
mencegah pembentukan prostaglandin dan merangsang
pelepasan endorphin. Deksametason sering dipakai sebagai obat
pilihan pada penderita mual-muntah yang disebabkan
kemoterapi.
3.2.3.3 Metoklopramid
Derivat aminoklorobenzamida ini berkhasiat antiemetik
kuat berdasarkan awalnya blockade reseptor dopamine di
Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ). Di samping itu zat ini juga
memperkuat pergerakan dan pengosongan lambung efektif pada
semua jenis muntah, terutama akibat kemoterapi.
Dosis : 25-50 mg
Mekanisme Kerja : memblokade reseptor dopaminergik di
CTZ (Chemoreceptor Trigger Zone).
Metoklopramid mempengaruhi medulla
yaitu dengan menghambat reseptor dopamin
pada CTZ. Mekanisme kerja dengan cara
meningkatkan ambang rangsang CTZ dan
menurunkan sensitivitas saraf visceral yang
membawa impuls saraf aferen dari Gastro
Intestinal ke pusat muntah pada formatio
reticularis lateralis.
3.2.3.4 Difenhidramin
Dosis :10 gram secara intravena
Pemberian : 30-60 menit sebelum kemoterapi
Mekanisme Kerja : Difenhidramin berkompetisi dengan
histamin bebas untuk mengikat
reseptor HI. Difenhidramin bersifat
antagonis kompetitif terhadap efek
histamin pada saluran
gastrointestinal uterus, pembuluh
darah besar, dan obat bronkial.
Penghambatan reseptor HI juga
menekan pembentukan edema, panas
dan gatal yang disebabkan oleh
histamin.
Onset : efek sedatif maksimum :1-3 jam
Durasi : 4-7 jam
Ikatan dengan protein : 78%
Metabolisme : sebagian besar dihati, sedikit di paru
dan ganjil.
Bioavailabilitas : oral : 40-60%
3.2.3.5 Famotidin
Dosis : 20 mg IV tiap 6 jam sebagai dosis
pemeliharaan
Mekanisme Kerja : Famotidine bekerja dengan menghambat
secara kompetitif reseptor histamin H2.
Aktivitas Farmakologi yang penting dari
famotidine adalah menghambat sekresi
gastrik, sehingga volume sekresi gastrik dan
konsentrasi asam menurun.
3.2.4 Assesment Terapi pada Kasus
Carboplatin memiliki efek mual dan muntah sedang (moderat : 30-90%
N/V). Paclitaxel memiliki efek mual dan muntah ringan 10-30% N/V).
Mekanisme obat Kemoterapi tersebut sebagai berikut:
 Carboplatin
Carboplatin bekerja sebagai anti kanker dengan cara menempelkan
diri pada DNA (deoxyribonucleic acid) sel kanker dan mencegah
pertumbuhannya. Pada dasarnya carboplatin merupakan derivat dari
senyawa cisplatin yang memperbaiki kinerja dari aksi cisplatin di dalam
tubuh. Carboplatin memiliki gugus amina dan ligan bidentate dikarbosilat
yang lebih stabil dibandingkan dengan ligan dikloro pada cisplatin.
Semakin stabil suatu ligan kereaktifannya semakin berkurang hal ini
menyebabkan sukarnya bereaksi pada basa nitrogen sehingga lebih lambat
mengikat DNA. Cara kerja alkylator ini adalah membentuk ion karbonium
(alkil) yang sangat reaktif, gugus alkil ini akan berikatan kovalen silang
pada konstituen sel yang nukleofilik sehingga terjadi miscoding. Alkilasi
juga menyebabkan labilnya cincin imidazo sehingga cincin tersebut dapat
terbuka ketika masih merupakan bagian DNA. Hal ini menyebabkan
ketidakstabilan dan pemecahan DNA. Pada akhirnya akan terjadi ikatan
silang (cross link) yang mengikat 2 basa nitrogen guanin dan replikasi
DNA tidak terjadi, sehingga sintesis RNA dan protein tidak terjadi
sehingga dapat mengakibatkan matinya sel kanker.
 Paclitaksel
Kemoterapi golongan taxane bekerja dengan berikatan pada tubulin
subunit β, menginduksi polimerisasi tubulin dan menstabilkan
mikrotubulus.Mikrotubulus yang dihasilkan dengan kemoterapi golongan
taxane resisten terhadap penguraian. Hal ini mengakibatkan gangguan
proses mitosis dan akhirnya mengakibatkan apoptosis atau kematian sel1.
Kemoterapi golongan taxane bekerja pada siklus sel fase G2-M.
 Terapi Ondansetron 24mg po 30 menit sebelum kemoterapi dan
Ondansetron 8 mg po setiap 6 jam jika mual dan muntah.
Pemberian Ondansetron per oral sebanyak 24 mg 30 menit
sebelum kemoterapi bertujuan untuk mencegah timbulnya mual dan
muntah antisipatif. Sedangkan pemberian Ondansentron per oral sebanyak
8 mg setiap 6 jam bertujuan untuk mengatasi mual muntah tertunda. Obat
perlu diminum jika pasien merasa mual dan muntah.
Dosis ondansetron untuk dewasa yaitu 4-8 mg. Dosis 8 mg
digunakan untuk emetogenik sedang. Kombinasi antara Carboplatin dan
Paclitaxel menyebabkan peningkatan emetogenesis dari moderat menjadi
tinggi. Maka diberikan ondansetron dengan dosis yang lebih tinggi yaitu
24 mg. Ondansetron sebanyak 8 mg diberikan di awal kemudian
dilanjutkan dengan 2x8 mg untuk mencegah terjadinya mual dan muntah
berulang yang muncul sebelum dan ketika kemoterapi.
 Terapi Diphenhydramin 25mg IV 30 menit sesudah Kemoterapi
Mencegah reaksi hipersensitivitas akibat dari efek samping obat
paklitaksel yaitu gangguan gastrointestinal.
 Pemberian Famotidin 20mg IV 30 menit sesudah kemoterapi
Famotidin digunakan untuk pengobatan ulkus duodenum pada
dosis yang dikurangi sesudah sembuh dari tukak aktif. Pengobatan pada
kondisi hipersekresi patologis seperti Zollinger-EllisonSyndrome, multiple
endocrine adenomas. Famotidin diberikan pada terapi ini untuk mencegah
terjadinya mual muntah akibat gangguan gastrointestinal karena Paclitaxel
memiliki efek samping gangguan pada gastrpintestinal.
 Pemberian terapi Dexamethasone selama 4 hari
Dexamethasone digunakan untuk mengatasi mual muntah tertunda.
Mual dan muntah tertunda pada pasien kemoterapi dengan regimen yang
emetogenisitasnya tinggi diberikan aprepitant+dexamethasone. Sedangkan
pada pasien yang mendapatkan regimen kemoterapi emetogenisitas
sedang/moderat diberikan SSRI atau dexamethasone. Pada kasus ini
pasien mendapatkan SSRI dan dexamethasone. Ondansetron kurang
efektif untuk mual muntah tertunda sehingga dikombinasi dengan
Dexamethasone.
 Pasien mendapat resep Metoclopramide selama 4 hari
Metoclopramide bekerja dengan memblok reseptor dopaminergik
sentral pada CTZ serta membantu mempercepat pengosongan lambung.
Pemberian metclopramide bertujuan untuk melengkapi ondansetron
mengatasi mual dan muntah tertunda. Ondansetron kurang efektif untuk
mengatasi mual dan muntah tertunda. Penggunaan metclopramide untuk
mual dan muntah tertunda diberikan bersama dexamethasone.
3.2.5 Saran untuk Terapi
Berdasarkan kasus tersebut, pemberian Carboplatin dan Paclitaxel
merupakan regimen kemoterapi yang memilik emetogenesitas tingkat
moderat. Maka terapi untuk mengatasi mual dan muntah yang tepat
yaitu menggunakan kombinasi SSRI+kortikosteroid. Pada kasus ini
pasien diberi Ondansetron yang merupakan obat golongan SSRI,
dexamethasone yang merupakan golongan kortikosteroid,
Difenihidramin dan famotidin yang merupakan obat antagonis H2 serta
Metclopramide yang merupakan golongan antikolinergik.
 Pemberian obat untuk mual muntah pada kasus ini terlalu banyak.
Mual dan muntah akibat regimen kemoterapi memicu CTZ pada
otak sehingga obat yang tepat untuk digunakan adalah SSRI dan
Dexamethasone. Pemberin obat antikolinergik dan obat antagonis
H2 tidak rasional diberikan pada pasien mual muntah akibat
regimen kemoterapi.
 Pemberian Ondansetron dengan dosis 24 mg sebelum kemoterapi
terlalu tinggi karena dosis ini digunakan untuk resiko emesis yang
tinggi. Regimen kemoterapi yang digunakan yaitu Carboplatin dan
Paclitaxel, regimen ini memberikan resiko emesis sedang, jadi
seharusnya dosis Ondansetron yang diberikan adalah 8mg.
Pemberian Ondansetron sebelum kemoterapi secara IV lebih
dianjurkan karena efeknya akan lebih cepat.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, Josep, dkk. 2005, Pharmeucitical A Pathophysiologic Approach, Appleton


an Lange, USA

Sukandar, Y.E., Andrajati, R., Sigit, I.J., Adnyana, I,K., Setiadi, A.A.P.,
Kusnandar, 2008.IsoFarmakaterapi. Jakarta: PT.ISFI Penerbitan

Walsh,T.D. 1997. Kapita Selekta Penyakit dan Terapi. Jakarta: EGC Buku
Kedokteran

Anda mungkin juga menyukai