Anda di halaman 1dari 6

PERMASALAHAN PENATAAN REKLAME IKLAN

(STUDI KASUS SURABAYA)

A. GAMBARAN UMUM PERMASALAHAN


Penempatan atau penataan reklame di luar ruangan memiliki pengaruh yang
cukup besar terhadap kehidupan perkotaan karena media reklame tersebut
seringkali memiliki orientasi lokasi pada jalan-jalan utama perkotaan yang
memiliki keuntungan antara lain pemasangan reklame di Kota Madya Surabaya
tidak boleh dilakukan secara sembarangan, harus mendapatkan izin dari
pemerintah kota (Pemkot). Pemkot mempunyai tim khusus yang menangani
reklame. Tim ini terdiri dari enam dinas yaitu Dinas Pendapatan Kota, Dinas Tata
Kota, Dinas Bangunan, Dinas Bina Marga dan Utilitas, Dinas Pertamanan, dan
Dinas Perhubungan. Dengan adanya perizinan di pemkot maka penyebaran
reklame bisa dikontrol dan pengenaan pajak pada pemasangan reklame merupakan
pemasukan bagi Pendapatan Asli Daerah. Dan sebagian besar pelanggaran reklame
tersebut terkait dengan penempatan papan iklan yang tidak sesuai dengan aturan.

Dalam kasus lain adalah kebijakan pajak reklame yang tidak sesuai perda
dimana pasal 2 Perda Kota Surabaya No.8/2006 jo. Perda No. 10/2009 tentang
Penyelenggaraan Reklame dan Pajak Reklame menyebutkan, pajak reklame yaitu
pajak yang dibebankan pada reklame. Namun dalam pelaksanaan di lapangan,
terutama pada perpanjangan izin di tahun kedua, namun pemkot tidak melaksanakan
perda dimaksud. Jika tidak ada reklamenya, ya tidak perlu membayar pajak. Tetapi
pada kondisi di lapangan ketika pengusaha reklame ingin melakukan perpanjangan
untuk tahun kedua, pihak pemkot Surabaya tetap memberlakukan pajak, padahal
di lapangan tidak ada reklame yang dipasang, hal ini tentunya sudah tidak sesuai
dengan perda yang berlaku, dan pihak pengusaha reklame merasa ditelan kebijakan
yang diterapkan pemkot Surabaya tersebut. M. Mahmoed Ketua Komisi B DPRD
Surabaya menilai peraturan yang diterapkan Pemkot Surabaya soal perpajakan
reklame tidak aspiratif.

1
Pemerintah kota baru mengetahui sebuah reklame tidak memiliki izin
ketika reklame itu roboh dan mencederai pengguna jalan. Kasus semacam itu telah
terulang beberapa kali. Pada 15 Desember 2008 sebuah reklame milik Hotel JW
Marriott di Jalan Embong Malang roboh. Reklame yang izinnya habis dan belum
diperpanjang itu jatuh menimpa beberapa pengendara motor dan salah
seorang korbannya meninggal setelah tertimpa papan iklan setinggi 20 meter itu.
Pertengahan Januari 2009, sebuah reklame calon legislatif (caleg) yang
terpampang di atas gedung di Jalan Basuki Rahmat juga roboh. Selain robohnya
beberapa papan reklame, muncul pula permasalahan lainnya yakni terbakarnya
papan reklame videotron milik PT. Warna-Warni di Jalan Basuki Rahmat pada
tanggal 19 Desember 2008 (www.indopos.co.id, Februari 2009).

Gambar 1. Kondisi Reklame Kota Surabaya

Sumber: Survey Primer 2017

Contoh kasus lain terjadi di JL. Urip Sumoharjo, Reklame rokok di jalan
urip sumoharjo bertemakan “Siang Dipendam Malam Balas Dendam, Tanya
Kenapa” dituding DPRD Surabaya tidak bermoral. Itu disampaikan Dewan Yulyani
dari Fraksi Demokrat Keadilan DPRD Surabaya.

Pelanggaran ini menjadikan kontruksi reklame rawan roboh. Karena


beban di bagian atas reklame tidak bisa ditahan pondasi reklame tersebut.
Biasanya, masalah ini baru diketahui setelah reklame itu roboh diterjang angin.
Saat itulah yang dijadikan kambing hitam adalah alam yang tidak bersahabat.
Selain itu lemahnya pengawasan pemasangan reklame menambah deretan masalah
atas kenakalan yang dilakukan para biro reklame tersebut. Tim reklame tidak
mampu mengawasi secara detil saat konstruksi reklame dipasang. Bahkan, saat

2
reklame sudah berdiri juga banyak yang lepas dari pengawasan.

B. PENANGANAN DAN PENGENDALIAN KASUS


Penanganan kasus seperti ini dapat dilakukan dengan pendekatan top-down
artinya keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh
pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh para pelaksana pada level bawahnya.
Selain itu instrument pengendalian juga sangat berpengaruh dalam meminimalisir
terjadinya pelangaran penataan reklame. Jadi inti dari pendekatan top down adalah
sejauh mana tindakan para pelaksana sesuai prosedur serta tujuan yang telah
digunakan oleh para pembuat kebijakan ditingkat pusat.
Sabatier (dalam Subarso, 2005) juga mengemukakan dua kelemahan lain
dari pendekatan top down yaitu :
1. Sebuah kebijakan yang dirumuskan secara berkelanjutan walau secara
jelas telah dirumuskan, dan menyulitkan pemerintah
2. Cenderung melahirkan proses kebijakan publik yang tidak demokratis.

Pengendalian terhadap Dasar Pengenaan Pajak Reklame sesuai Peraturan


Daerah Kota Surabaya Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah, dasar
pengenaan pajak reklame tercantum dalam pasal 26 menyebutkan bahwa:

a. Dasar pengenaan pajak reklame adalah nilai sewa reklame.

b. Nilai sewa reklame dihitung dengan cara menjumlahkan Nilai Jual Objek Pajak
Reklame dan Nilai Strategis Penyelenggaraan Reklame.
c. Perhitungan Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah

C. KEBIJAKAN

1. Surabaya memiliki kebijakan tentang penataan reklame yaitu Peraturan Daerah


kota Surabaya No.8 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Reklame dan Pajak
Reklame.

2. Pada peraturan Walikota Surabaya No.85 tahun 2006 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Reklame dijelaskan pasal penjelas mengenai tata cara
pencabutan izin.

3
3. Peraturan Daerah nomor 76 tahun 2012, telah diperjelas mengenai
penyelenggaraan reklame dan sanksi yang diberikan pada pelanggar pendirian
reklame. Telah dijelaskan pada pasal 15 pada Peratutan Daerah nomor 76 tahun
2012 yaitu tentang bagaimana penataan reklame pada kota Surabaya.

4. Peraturan tentang kebijakan penataan reklame di kota Surabaya masih belum


sepenuhnya ditaati, hal ini terbukti dari beberapa contoh kasus seperti di bundaran
mayjen Sungkono yang memasang pondasi reklame kurang dari sepertiga tiang
reklame yang dipasangnya. Padahal dalam peraturan walikota No. 85/2009
sebagai penjabaran Perda Reklame, pondasi konstruksi tiang reklame harus
sepertiga dari tiang reklame yang dipasang.

5. Perlu adanya pengendalian terhadap peraturan dari kebijakan yang sudah dibuat,
salah satunya yaitu dengan pendekatan top down, artinya keputusan-keputusan
politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus
dilaksanakan oleh administrator-administrator atau birokrat-birokrat pada level
bawahnya.

6. Salah satu instrument pengendalian yang diharapkan adalah pemberian pajak


intensif kepada stakeholder sehingga dapat meminimalisir terjadinya kecurangan
dalam pemungutan pajak reklame di Surabaya.

D. DAMPAK, SASARAN KEBIJAKAN DAN SANKSI YANG DIPEROLEH


JIKA MELANGGAR

Para masyarakat yang terdampak oleh kebijakan karena sebuah perubahan


itu pasti memunculkan pemikiran dan tindakan yang baru. Dalam memantau
keluaran serta dampak kebijakan harus diingat bahwa kelompok sasaran tidak
selalu merupakan kelompok penerima.

Kelompok sasaran adalah individu, masyarakat atau organisasi yang


hendak dipengaruhi oleh suatu kebijakan dan program, sedangkan penerima adalah
kelompok yang menerima manfaat atau nilai-nilai dari kebijakan tersebut (Dunn,
2003:514).

Dan sanksi yang diperoleh jika melanggar kebijakan pemerintah tersebut

4
adalah dikenakannya sanksi administratif maupun sanksi pidana.

E. SARAN

Ada beberapa saran dalam menanggapi kasus ini agar kedepannya dapat berjalan
dengan baik antara lain :
1. DPRD kota Surabaya dengan komisi yang terkait dengan pembangunan beserta
pemerintah kota Surabaya dan dinas pemberi izin lebih meningkatkan
pengawasan di lapangan karena dalam kenyataanya masih banyak terjadi
penyelewengan yang menyebabkan kesenjangan sosial.
2. DPRD kota Surabaya seharusnya bisa lebih tegas dalam melakukan peringatan
terhadap dinas pemberi izin dan dinas yang menertibkan karena banyak
diantaranya melakukan pelanggaran yang cukup berat
3. Masyarakat sendiri harus ikut peran serta dalam proses pembuatan kebijakan
karena dampaknya sendiri kepada masyarakat seperti kepemilikan persil yang
mayoritas selalu merugikan pemilik persil dengan adanya beberapa
pengerusakan bangunan yang membahayakan bila konstruksinya tidak benar
4. Dalam pengajuan proses perizinannya sendiri tidak perlu berlama-lama dalam
menyutujuinya agar tidak terjadi penyalahgunaan dalam pengawasan
peroperasian reklame videotron dilapangan
5. Pemerintah seharusnya memberikan syarat lebih ketat terhadap biro reklame
yang ingin mendirikan konstruksi reklame mereka dengan cara tidak
memperbolehkan untuk mendirikan konstruksi yang sampai merusak persil
masyarakat kota Surabaya karena dapat menimbulkan spekulasi bahwa kaum
lapisan atas selalu menindas kaum laisan bawah.

5
DAFTAR PUSTAKA

Armoyo, G. (2014). Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Surabaya


Mengenai Peraturan Walikota Surabaya Nomor 85 Tahun 2006 Terkait Dengan
Penerbitan Izin Reklame Video Trondikota Surabaya. Jurnal Politik Muda, 332-343.

Hb, P. K. (2010). Analisis Stakeholder Dan Kebijakan Pembangunan.


Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 179 - 193.

Niluh Made Wesya Nugrahani Sri, M. R. (2014). Analisis Sistem Dan


Prosedur Pemungutan Pajak Reklame Dalam Upaya Mendukung Pengendalian
Intern (Studi Pada Dinas Pendapatan Dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya) .
Jurnal Ilmu Administrasi , 1-11.

Peraturan Daerah No.8 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Reklame


Dan Pajak Reklame Peraturan Walikota Surabaya No.85 Tahun 2006.

Peratutan Daerah Nomor 76 Tahun 2012.

Anda mungkin juga menyukai