Anda di halaman 1dari 9

Mata Kuliah: Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Publik

Kelompok 3
Nama Anggota :
1. Dahlia (1910201061)
2. Rani Khairunnisa (1910201067)
3. Wendy Alwan A (1910201070)
4. Luky Ryanada W (1910201108)
5. Oktario Dwi Pangestu (1910201115)

EVALUASI KEBIJAKAN

A). Kriteria Penilaian Evaluasi


Evaluasi formal adalah pendekatan evaluasi yang menggunakan metode deskriptif
untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang
secara formal diumumkan sebagai sasaran program kebijakan (Dunn 2000: 615). Menurut
William N.Dunn terdapat enam kriteria evaluasi kebijakan publik yang digunakan dalam
pengukuran evaluasi yaitu sebagai berikut:
Berikut ini adalah contoh studi kasus terkait pengukuran evaluasi kebijakan menurut William
N.Dunn (1981):
Dalam penelitian yang berjudul “Evaluasi Kebijakan Penyelenggaraan Reklame di Kota
Semarang” oleh Argiannata Gitarus dan Kismartini menggunakan evaluasi formal dengan
mengacu pada kriteria evaluasi kebijakan publik menurut William N. Dunn yaitu efektifitas,
efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas, dan ketepatan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penyelenggaraan reklame di Kota Semarang yang sudah dilakukan belum berjalan
optimal. Dimana masih terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh biro reklame berupa
penempatan reklame yang tidak sesuai aturan dan mengganggu fasilitas umum serta zonasi
penempatan reklame berdasarkan jenis dan sifat yang kurang jelas. Berikut adalah evaluasi
kebijakan penyelenggaraan reklame di Kota Semarang berdasarkan pada 6 kriteria penilaian
oleh William N.Dunn:
1. Efektivitas
Kebijakan penyelenggaraan reklame dibuat untuk mengatur dan mengendalikan
pertumbuhan reklame. Kebjakan tersebut didukung dengan adanya SK Walikota
Semarang Nomor 510/695/2015. Surat Keputusan tersebut dibuat untuk lebih
menjelaskan mengenai datail penetapan lokasi titik reklame yang tersebar di seluruh
wilayah Kota Semarang. Sasaran dari kebijakan ini adalah para biro penyelenggara
reklame. Sejak dilaksanakan perda ini ternyata masih ada reklame yang ditemukan
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kurangnya kesadaran dari biro
penyelenggara reklame dalam memenuhi kewajiban untuk memperoleh izin dan
lemahnya pengawasan yang bersifat preventif menjadi hambatan dalam permasalahan
ini.
2. Efisiensi
Personil di Bidang Reklame saat ini belum mencukupi, dimana hanya berjumlah 16
orang, diantaranya terdapat lima orang yang ahli pada seksi penataan reklame, sisanya
yaitu sebagai seksi perhitungan dan penagihan. Khusus pada seksi penataan reklame
dirasa masih kurang mengingat tugas penataan reklame yang cukup banyak.
Sedangkan jumlah personil pada Bidang Pengawasan dan Pengendalian yaitu 14
orang yang membawahi 16 kecamatan di seluruh Kota Semarang. Selain itu, anggaran
dana yang dialokasikan untuk penyelenggaraan reklame juga belum sepenuhnya
mencukupi. Adapun upaya yang sudah dilakukan yaitu Dinas PJPR tiap harinya
menurunkan tim yang bertugas untuk mengawasi reklame di lapangan, begitu juga
dengan Satpol PP. Operasi gabungan juga dilakukan dalam kurun waktu dua kali
sebulan, instansi yang terlibat yaitu Dinas PJPR, DPKAD dan Satpol PP.
3. Kecukupan
Pemerintah Kota Semarang dalam mewujudkan agar reklame dapat ditata sesuai
dengan estetika kota dan tata ruang wilayah yaitu dimulai dengan penataan reklame.
Meski reklame permanen sudah dibuatkan aturan untuk ditempatkan di lokasi
tertentu, namun keberadaan reklame non permanen seperti spanduk, baliho, umbul-
umbul, masih belum mendapatkan kejelasan. Adanya penataan reklame
mengakibatkan lahan reklame di lahan pemerintah menjadi berkurang, namun biro
reklame diberi kesempatan untuk memanfaatkan lahan pribadi untuk keperluan
reklame. Seperti di Kawasan Simpang Lima, ada beberapa gedung yang
memanfaatkan luas wilayahnya sebagai keperluan reklame namun seperti pada
gedung E-Plaza dan Plaza Matahari, reklame yang menempel di bangunan tersebut
melebihi ketentuan yang berlaku yaitu paling besar 40% dari luas wilayah yang
menghadap jalan.
4. Perataan
Pemerintah Kota Semarang memberlakukan perizinan untuk penyelenggaraan
reklame. Reklame yang ditempatkan pada lokasi tertentu harus mendapat izin tertulis
dari Walikota. Persyaratan perizinan tersebut juga disesuaikan dengan kebutuhan biro
penyelenggara reklame, reklame dengan berkebutuhan khusus tentu terdapat syarat
yang harus dipenuhi juga tidak sedikit. Biro reklame merasa dengan adanya perizinan
ini dapat mengurangi resiko perebutan lahan. Namun kebijakan penyelenggaraan
reklame belum sepenuhnya memuaskan, masih ada biro reklame yang enggan untuk
mengurus perizinan, meski perizinan sudah dimudahkan.
5. Ketepatan
Penyelenggaraan reklame yang dilaksanakan oleh pemerintah Kota Semarang
memberikan kemudahan kepada biro penyelenggara reklame untuk memperoleh
perizinan. Reklame yang ditempatkan pada lokasi tertentu wajib mendapatkan izin
tertulis dari Walikota. Hal ini dimaksudkan agar reklame dapat mudah didata dan
dipantau keberadaannya oleh Tim Teknis Reklame. Pengurusan Perizinan
penyelenggaraan reklame memang seharusnya dipermudah dan tidak berbelit-belit.
Data di lapangan menunjukkan bahwa tiap tahun jumlah reklame yang dibongkar oleh
Dinas PJPR dan Satpol PP menunjukan jumlah yang jauh melebihi reklame berizin
yang ada di lapangan. Hal ini karena masih ada biro reklame yang belum memahami
pentingnya izin dalam penyelenggaraan reklame.

6. Responsivitas
Sejauh ini dampak yang ditimbulkan dari kebijakan penyelenggaraan reklame di Kota
Semarang sudah cukup baik. Reklame yang identik dengan perusak keindahan kota
akan menjadi sesuatu yang enak dipandang apabila letaknya sesuai dengan
persyaratan keindahan dan tata ruang yang berlaku. Namun keberadaan reklame
belum sepenuhnya dapat ditata dengan baik. Misalnya seperti pada kawasan Simpang
Lima, meski pemerintah Kota Semarang memberi kesempatan untuk menggunakan
lahan pribadi namun keberadaan reklame di lokasi tersebut sudah melebihi ketentuan
yang berlaku. Kendala permasalahan ini yaitu kurangnya ketegasan oleh pelaksana
kebijakan untuk menindak adanya pelanggaran sesuai dengan peraturan yang berlaku.

B). Dinamika Kehidupan Kebijakan


Dinamika kehidupan kebijakan yang terjadi menyebabkan kebijakan berubah dan
diubah, menurut D.K. Gupta tahun 2001, hal itu disebabkan karena faktor-faktor berikut:
• Incremental changes in the dynamics of society smooth out the rough edges of
implementation (Perubahan incremental dalam dinamika masyarakat dapat
memperlancar implementasi kebijakan)
• New statutes contradict or invalidate parts of the existing policy (Statuta baru
berseberangan dengan atau menafikan bagian-bagian dari kebijakan yang ada)
• Lawsuits or questions of constitutionality challenge the policy in court (Tindakan
hukum atau masalah-masalah konstitusional menantang kebijakan di pengadilan)
• New technology alters the feasibility of the policy (Adanya teknologi baru bisa
mengubah kelayakan kebijakan)
• New discoveries or revelations change public support for a program (Temuan-temuan
baru mengubah dukungan publik terhadap sebuah program)
• Political and economic circumstances change, imposing different conditions on an
existing policy (Perubahan keadaan politik dan ekonomi, akan menciptakan kondisi
yang berbeda pada kebijakan yang ada)
• Elections cause a major ideological shift that changes the policy (Pemilihan umum
dapat menyebabkan adanya perubahan ideologi yang besar dan mengubah kebijakan
yang ada).

C). Model Perubahan Kebijakan (Lester & Stewart, 2000):


(1) The Cyclical Thesis
Model Siklikal berasumsi adanya proses perputaran (pergantian) terus-menerus
antara kebijakan publik yang berorientasi pada kepentingan publik dan kepentingan
swasta. Seperti misalnya pada politik Amerika Serikat mengikuti perubahan politik
nasional secara siklikal antara politik konservatisme dan liberalisme.
(2) The Evolutionary or Policy-Learning Thesis
Model Evolusioner atau Pembelajaran Kebijakan memandang perubahan
kebijakan sebagai fungsi 3 (tiga) faktor yakni: (1) interaksi persaingan kelompok-
kelompok koalisi dalam suatu komunitas kebijakan; (2) perubahan-perubahan yang
terjadi di eksternal komunitas kebijakan; dan (3) dampak dari parameter sistem yang
stabil. Perubahan kebijakan adalah produk dari, baik perubahan pada sistem yang luas
seperti gangguan sosial-ekonomi ataupun hasil perubahan pada subsistem yang lain.
(3) The Backlash or Zigzag Thesis
Model stimulus dan respon ini tidak begitu banyak perbedaannya dengan
perubahan dari kebijakan konservatif dan liberal pada kebijakan publik Amerika Serikat.
Model perubahan kebijakan zigzag ini digambarkan sebagai perubahan kebijakan yang
terjadi akibat dari adanya respon politik di era yang satu akan menjadi stimulus
perubahan kebijakan di era yang lain. Perubahan drastis terhadap kebijakan adalah
merupakan respon atau reaksi terhadap kebijakan yang ada sebelumnya.

Diskusi Kelompok
Petanyaan Kelompok 1 : Dijelasan bahwa adanya pembentukan konstituen karena dukungan
terhadap kebijakan baru seringkali langka, lalu apa faktor yang menyebabkan hal tersebut dan
seberapa luas konstituen dapat mencakup kepentingan masyarakat?
Jawab :
Kelangkaan konstituen pada kebijakan baru terjadi karena tidak mendapatkan dukungan yang
kuat dari para stakeholder bisa jadi dikarenakan kebijakan tersebut belum memenuhi
kepentingan atau kebutuhan dari pihak pihak tersebut. Manfaat konstituen adalah agar suatu
rancangan kebijakan bisa di setujui berbagai pihak dan bisa diimplementasikan untuk
membawa dampak dan manfaat bagi masyarakat.

Pertanyaan Kelompok 2 : di The evolutionary or policy lerning tesis, terdapat dampak


parameter sistem yang stabil, mungkin bisa di jelaskan lebih mendetail berkaitan dengan hal
tersebut dan juga contohnya,
Jawab :
Kata evolution biasanya identik dengan pengertian "re-inventing and improvement of what is
bad or corrupt". Biasanya mengacu pada "the act of revolution: the state of being Rebuilded".
Secara sosiologis konsep Paradigm Revolution didefinisikan sebagai kebijakan penataan dan
pola berpikir (mindset) yang dijalankan dalam rangka mengatasi masalah kepercayaan
publik, dengan berbagai rentetan kecil dan dalam jangka waktu yang lama. Jadi, sifat
perubahan yang tersirat dari proses ini holistik. Sedangkan, society problems dalam wacana
sosiologis, tidak lain adalah "aspects of social life seen to warrant concern and intervention".
Contoh masalah paradigma dalam masyarakat adalah kriminalitas, kemiskinan,
pengangguran, penegakan hukum, tingkat putus sekolah yang luar biasa, ketidakmerataan
hasil pembangunan dan sebagainya.
Sebagai contoh bukanlah hal yang keliru jika semua kalangan anak bangsa kritis terhadap
undang-undang yang lahir dalam konteks tertentu akhir 1960-an dan 98-an ditujukan pada
peraihan stabilitas. Produk legislasi dikaji dan revisi agar lebih cocok dengan tingkat
kedewasaan bangsa dan era-global. Sehingga, struktur paradigma masyarakat lahirannya
dapat bersifat lebih kompetitif.

Kelompok 4 : Pendekatan terminasi sendiri dibagi menjadi dua jenis yaitu pendekatan besar
dan pendekatan kecil. Berikan contoh kebijakan di Indonesia yang telah diterminasi melalui
kedua pendekatan tersebut dan sebab mengapa kebijakan tersebut harus di terminasi.
Jawab :
Contoh terminasi kebijakan di Indonesia adalah terminasi kebijakan publik tentang Peraturan
Menteri Keuangan (Studi Kasus Peraturan Menteri Keuangan Nomor. 210/PMK. 10/2018
Terkait E-Commerce).
Kebijakan tersebut adalah kebijakan yang baru sebagai respon atas atas meningkatnya e-
commerce. Pemerintah memandang perlu menbuat aturan perpajakan yang berlaku bagi
semua pengusaha konvensional ataupun marketplace, sebagai pelaksana PMK tersebut adalah
Direktorat Jenderal Pajak. Dalam variasi perubahan kebijakan publik yaitu inovasi, suksesi,
pemeliharaan, dan terminasi.

Pertanyaan Kelompok 5 : Mengapa harus dilaksanakan monitoring dan evaluasi dalam


implementasi sebuah kebijakan?
Jawab :
Monitoring perlu dilakukan dalam implementasi kebijakan antara lain untuk Manjaga agar
kebijakan yang sedang diimplementasikan sesuai dengan tujuan dan sasaran.Menemukan
kesalahan sedini mungkin sehingga mengurangi risiko yang lebih besar.Melakukan tindakan
modifikasi terhadap kebijakan apabila hasil monitoring mengharuskan untuk itu. Sedangkan
evaluasi perlu dilakukan dalam implementasi antara lain untuk Menentukan tingkat kinerja
suatu kebijakan: melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran
kebijakan. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan: melalui evaluasi dapat diketahui
berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan. Mengukur tingkat keluaran: mengukur berapa
besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan. Mengukur dampak suatu
kebijakan: evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak
positif maupun negatif.
Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan: untuk mengetahui adanya penyimpangan-
penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran
dengan pencapaian target. Sebagai masukan (input) suatu kebijakan yang akan datang: untuk
memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih
baik.

Pertanyaan Kelompok 6 : apakah dengan adanya evaluasi kebijakan kedepannya kebijakan


yang diimplementasikan akan selalu berdampak sesuai dengan perencanaan dan apabila tidak
adakah cara dalam meminimalisir adanya gap evaluasi kebijakan antara perencanaan dan
implementasi?
Jawab :
Evaluasi kebijakan tidak selalu menjadikan implementasi kebijakan selanjutnya berjalan
dengan baik. Selalu akan terjadi kemungkinan-kemungkinan kebijakan selanjutnya tidak
sesuai dengan perencanaan. Namun hal tersebut dapat diminimalisir. Kondisi Lingkungan
kebijakan juga akan mempengaruhi apakah kebijakan tersebut dapat memberi dampak sesuai
dengan perencanaan. jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan maka
akan menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan berpengaruh terhadap kesuksesan
implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi
benturan sikap sehingga proses implementasi terancam akan gagal. Untuk itu cara
meminimalisir adanya gap evaluasi kebijakan antara perencanaan dan implementasi adalah
dengan menciptakan lingkungan yang positif sehingga dapat tercapai kesuksesan
implementasi kebijakan.

Pertanyaan Kelompok 7 : dikatakan bahwa tidak semua kebijakan akan menghasilkan


dampak sebagaimana yang diharapkan banyak hal yang menyimpang dan tidak nyata, lalu
bagaimana proses keberlanjutan suatu kebijakan apabila mengalami kegagalan?
Jawab :
Implementasi kebijakan yang gagal salah satu penyebabnya karena tidak terimplementasikan.
Hal ini dapat terjadi karena tidak sesuai rencana, atau pembuatnya tidak menguasai
permasalahan. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah melakukan evaluasi kebijakan
mengenai apa saja yang menjadi faktor penghambat terlaksananya kebijakan kemudian
dianalisis sehingga dapat ditemukan penyelesaian yang tepat. Bahkan, kemungkinan-
kemungkinan bisa saja terjadi, seperti sasaran program yang mungkin harus direvisi secara
drastis saat program tersebut dilaksanakan, selain karena kesulitan menjembatani antara
tujuan kebijakan dengan tindakan-tindakan operasional yang dapat dijalankan, juga karena
kondisi lingkungan yang berbeda dari yang dibayangkan oleh pembuat keputusan.
Kemungkinan lainnya adalah dengan menyesuaikan kembali kebijakan dengan permasalahan
dan kondisi real di masyarakat sehingga bisa diimplementasikan.Selain itu, para aktor yang
terlibat sebagai pelaksana kebijakan harus dapat meningkatkan koordinasi untuk menyepakati
arah kebijakan yang dikehendaki. Sehingga, implementasi dapat berjalan sesuai dengan
tujuan dan tidak menjadi kebijakan bermasalah di kemudian hari.
Dan Apabila suatu kebijakan mengalami kegagalan maka kebijakan tersebut juga bisa di
terminasi dengan dihentikan atau dihapuskan dikarenakan biasanya kebijakan atau program-
program tersebut sudah kedaluwarsa atau yang tidak efektif, atau masa berlakunya
kebijakan/program sudah habis. lalu bisa dengan digantikan dengan kebijakan yang baru
dengan harapan bisa dilaksanakan dan berhasil serta memberikan dampak yang positif bagi
para penikmat atau penerima manfaat dari adanya kebijakan yang baru tersebut

Kesimpulan:
Evaluasi kebijakan penting untuk dilakukan meskipun suatu kebijakan sudah berjalan
dengan efektif. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan 6 kriteria penilaian
evaluasi menurut William N.Dunn (1981) antara lain yaitu efektifitas, efisiensi,
kecukupan, perataan, responsivitas, dan ketepatan. Selain itu, beberapa hal yang perlu
diperhatikan terkait evaluasi yakni tentang dinamika kehidupan kebijakan serta model
perubahan kebijakan. Adanya dinamika kehidupan kebijakan yang terjadi menyebabkan
kebijakan berubah dan diubah, dimana hal tersebut dapat disebabkan karena beberapa faktor.
Sebagai contoh, untuk saat ini adanya pandemi covid-19 mengakibatkan adanya perubahan
dalam kebijakan penyelenggaraan pelayanan publik yang kemudian dilaksanakan secara
online. Perubahan kebijakan ini tentunya akan berpengaruh pada anggaran baik APBN
maupun APBD yang tidak sesuai dengan yang telah direncanakan sebelumnya. Terjadinya
perubahan dalam kebijakan publik juga dapat dilihat berdasarkan pada model perubahan
kebijakan. Oleh karena, kebijakan yang dapat berubah dengan berbagai model dan faktor
pengaruhnya tersebut maka sangat diperlukan adanya evaluasi terhadap suatu kebijakan. Hal
tersebut agar produk kebijakan yang ada tidak menimbulkan permasalahan baru dalam
masyarakat akibat adanya suatu perubahan.

Anda mungkin juga menyukai