Anda di halaman 1dari 3

Nama: Kezia Graviery

NIM: 13040219130045
Prodi: Antropologi Sosial

Antropologi dan Agama

Dalam mendefisikan agama para tokoh sangat mengalami kesulitan. Dari segi etimologi
mungkin ada kesepakatan diantara tokoh agama. Tetapi dalam mendefinisikan secara istilah sudah
masuk pada subjektifitas para pemeluknya. Maka sangat sulit untuk didefinisikan. Hal tersebut dialami
oleh para tokoh antropolog dalam mendefinisikan agama. Maka untuk memperjauh pendapat tersebut,
mari kita simak pendapat para antropolog mengenai agama:
1. Edward Burnett Tylor (1832-1917)
Tylor mengusulkan definsi agama adalah kepercayaan pada makhluk spiritual (a belief in spritual
being). Tylor menganggap karakteristik yang dimiliki oleh semua agama besar maupun kecil, kuno atau
modern, adalah kepercayaan kepada ruh yang berfikir, bertindak dan merasa seperti pribadi manusia.
Esensi agama menurut Tylor adalah animisme, yakni kepercayaan pada kekuatan pribadi yang hidup
dibalik semua.
2. James George Frazer (1854-1941)
Frazer sebenarnya tidak mengajukan definisi agama sendiri. Ia sepenuhnya sepakat dengan defini Tylor,
hanya ia ingin membedakan agama denga magic sebagai sistem yang menurutnya mendahului agama.
Pada masyarakat primitif, kata Frazer, ketika kondisi alam tidak mengakomodir kepentingan manusia,
maka usaha mereka untuk memahami dan mengubahnya mengambil magic yakni pola tindakan
manusia untuk mencapai tujuannya dengan cara memperdayakan kekuatan supranatural. Namun
kemudian setelah magic dianggap sering gagal maka manusia beralih pada agama.
3. Lucien Levy-Bruhl (1857-1945)
Bruhl mengkritik pendapat Tylor tentang agama. Bagi Bruhl, manusia priminif terlalu bodoh untuk bisa
berfikir abstrak tentang adanya jiwa dibalik setiap benda-benda seperti yang diteorikan oleh Tylor.
Menurut Bruhl, agama adalah adalah pandangan dan jalan hidup manusia priminif. Agama,
sebagaimana megic, tidak pernah mampu mengatarkankehidupan manusia kepada kemajuan.
4. Radcliffe Brown (1881-1955)
Brown mengemukakan definisi agama adalah ekspresi dalam satu atau lain bentuk tentang kesadaran
terhadap ketergantungan kepada suatu kekuatan diluar diri kita yang dapat dinamakan dengan kekuatan
spiritual atau moral.
5. Clifford Greetz (1926)
Geerz memandang agama sebagai sistem budaya, maksudnya, sebuah sistem simbol yang berperan
membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, perfasiv dan tahan lama di dalam diri manusia dengan
cara merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum dan membungkus konsepsi ini dengan suatu
aura fakutalitas semacam itu sehingga suasan hati dan motivasi tampak realistik secara unik.
Dari berbagai definisi agama yang dikemukakan para tokoh antropolog diatas, dapat kita
simpulkan bahwa agama adalah kepercayaan pada sesuatu yang gaib diyakini mempunyai kekuatan
yang lebih. Dan dapat mendorong pada diri seseorang untuk berbuat kebaikan.
Karena antropologi memandang agama sebagai salah satu unsur dari kebudayaan, maka subjek
kajian antropologi tentang agama pun dapat di tinjau dari setiap unsur kebudayaan yang ada, yaitu pola
gagasan (sistem kultural), tindakan pola (sistem sosial) dan kebudayaan fisik. Atas dasar itulah maka
subjek kajian antropologi tentang agama adalah:
1. Asal usul terbentuknya suatu agama sebagai reprentasi dari gagasan masyarakat tentang
kepercayaan pada kekuatan supranatural serta makna historisnya dalam membangun kontruksi
budaya mereka
2. Pola ritual dan tindakan umat beragama dalam merespon tantangan bersama serta fungsinya
bagi kontruksi sosial pada masyarakat yang bersangkutan
3. Benda-benda atau bangunan yang dibuat oleh umat yang beragama sebagai bentuk dan bukti
dari manifes dari keyakinan, sarana ritual dan wadah apresiasi religius mereka
Kemudian, ada juga ilmu antropologi agama. Antropologi Agama adalah ilmu pengetahuan yang
berusaha mempelajari tentang manusia yang menyangkut agama dengan pendekatan budaya, atau
disebut juga Antropologi Religi. Antropologi Agama adalah salah satu cabang ilmu yang banyak
mendapatkan perhatian para pakar ilmu sosial. Cabang ilmu Antropologi Agama ini diyakini oleh
banyak pakar sebagai salah satu alat studi yang akurat dalam melihat reaksi antara agama, budaya, dan
lingkungan sekitar sebuah masyarakat. Antropologi agama menunjuk kepada suatu penghubung yang
unik atas moralitas, hasrat, dan kekuatan dengan dikendalikan dan kemerdekaan, dengan duniawi dan
asketisme, dengan idealis dan kekerasan, dengan imajinasi dan penjelmaan, dengan imanensi dan
transendensi yang merupakan sisi dunia manusia yang berbeda dengan makhluk lain.
Tradisi ilmu antropologi memahami dunia-dunia agama tidak sepenuhnya sebagai fenomena
objektif dan juga tidak sepenuhnya sebagai fenomena subjektif, namun sebagai sesuatu yang berimbang
dalam memediasikan ruangan sosial atau budaya dan sebagai yang terlibat dalam suatu dealiktika yang
memberikan objektivitas sekaligus juga subjektivitas. Perhatian ahli antropologi dalam meneliti agama
ditunjukan untuk melihat keterkaitan faktor lingkungan alam, struktur sosial, struktur kekerabatan, dan
lain sebagainya, terhadap timbulnya jenis agama, kepercayaan, upacara, organisasi keagamaan tertentu.
Agama yang dipelajari oleh antropologi adalah agama sebagai fenomena budaya, tidak agama
yang diajarkan oleh Tuhan. Maka yang menjadi perhatian adalah beragamanya manusia dan masyarakat
Sebagai ilmu sosial, antropologi tidak membahas salah benarnya agama dan segenap perangkatnya,
seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral. Harsojo mengungkapkan bahwa kajian
antropologi terhadap agama dari dulu sampai sekarang meliputi empat masalah pokok, yaitu:

 Dasar-dasar fundamental dari agama dan tempatnya dalam kehidupan manusia.


 Bagaimana manusia yang hidup bermasyarakat memenuhi kebutuhan religius mereka.
 Dari mana asal usul agama.
 Bagaimana manifestasi perasaan dan kebutuhan religius manusia

Sadar bahwa manusia adalah mahluk budaya, punya kehendak, keinginan, imajinasi, perasaan,
gagasan, kajian yang dikembangkan antropologi tidak seperti pendekatan ilmu alam. Pendekatan yang
digunkan lebih humanitik, berusaha memahami gejala dari prilaku tersebut yang nota bene punya
gagasan, inisiatif, keyakinan, bisa terpengaruh oleh lingkungan dan mempengaruhi lingkungan. Oleh
karena itu, pendekatan antropologi tidak menjawab bagaimana beragama menurut kitab suci, tetapi
bagaimana seharusnya beragama menurut penganutnya.

Anda mungkin juga menyukai