ABORTUS
A. Pendahuluan
Terdapat baberapa macam kelainan dalam kehamilan, dan yang
paling sering terjadi adalah abortus. Abortus adalah keluarnya janin
sebelum mencapai viabilitas , dimana masa gestasi belum mencapai usia
22 minggu dan beratnya kurang dari 500 gr (ieowollyn, 2002)
Peran perawat dalam penanganan abortus dan mencegah terjadinya
abortus adalah dengan memberikan asuhan keperawatan yang tepat,
asuhan keperawatan yang tepat untuk klien harus dilakukan untuk
meminimalisir terjadinya komplikasi serius yang terjadi seiring dengan
kejadian abortus. Menariknya pembahasan tentang abortus dikarenakan
pemahaman dikalangan masyarakat masih merupakan suatu tindakan
yang masih dipandang sebelah mata. Oleh karena itu, pandangan yang ada
didalam masyarakat tidak boleh sama dengan pandangan yang dimiliki
tenaga kesehatan.
B. Definisi
Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin mencapai
berat 500 gram atau umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Menurut
WHO dan VIGO dikatakan abortus jika usia kehamilan kurang 20-22
minggu . abortus selama kehamilan terjadi 15-20% dengan 80%
diantaranya terjadi pada trimester pertama (<13 minggu) dan sangat
sedikit terjadi pada trimester kedua (Husin, 2013)
Abortus (keguguran) merupakan pengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan yang menurut para ahli ada
sebelum usia 16 minggu dan 28 minggu dan memiliki BB 400-1000gram,
tetapi jika terdapat fetus hidup dibawah 400 gram itu di anggap keajaiban
karena semakin tinggi BB anak waktu lahir makin besar kemungkinan
untuk dapat hidup terus ( Amru sofian,2012)
C. Etiologi
1. Penyebab secara umum :
a. Penyebab dari segi maternal
1.) Infeksi akut
2.) Virus, misalnya cacar, rubella, hepatitis
3.) Infeksi bakteri, misalnya streptoccus
4.) Parasite, misalnya malaria
b. Infeksi kronis
1.) Sifilis, biasanya menyebabkan abortus pada trimester kedua
2.) Tuberculosis paru aktif
3.) Keracunan, misalnya keracunan tembaga, timah, air raksa dll
4.) Penyakit kronis, misalnya : hipertensi, nephritis, diabetes,
anemia berat, penyakit jantung, toxemia gravidarium
5.) Gangguan fisiologis, misalnya syok, ketakutan, dll
6.) Trauma fisik
c. Penyebab yang bersifat local
1.) Fibroid, inkompetensia local
2.) Radang pelvis kronis, endometrisis
3.) Retroversi kronis
4.) Hubungan seksual yang berlebihan sewaktu hamil, sehingga
menyebabkan hiperemia dan abortus.
2. Penyebab dari segi janin dan ibu
a. Kematian janin akibat kelainan bawaan
b. Mola hidatidosa
c. Penyakit plasenta dan desidua, misalnya inflamasi dan generasi
d. Kelainan ovum
E. Patofisiologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan desiduabasalis, diikuti dengan
nekrosis jaringan sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan
dianggap benda asing dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk
mengeluarkan benda asing tersebut. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu,
vili korialis belum menembus desidua secara dalam jadi hasil konsepsi
dapat dikeluarkan seluruhnya. Paada kehamilan 8-14 minggu, penembusan
sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna dan
menimbulkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14 minggu
janin dikeluarkan terlebih dahulu daripada plasenta hasil konsepsi keluar
dalam bentuk seperti kantong kosong amnion atau benda kecil yang tidak
jelas bentuknya (blightes ovum), janin lahir mati, janin masih hidup, mola
krueta, fetus kompresus, maserasi atau fetus papiraseus.
I.
Kelainan perumbuhan hasil Hipertensi Faktor ibu: anemia berat,infeksi
konsepsi kronik toxoplasmosis, diabetes
Gangguan pembentukan
pembuluh darah pada plasenta
Kelainan plasenta
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata
Mengkaji identitas klien dan penanggung jawab yang meliputi : nama ,
umur, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
alamat
b. Keluhan utama
Kaji adanya menstuasi tidak lancer dan adanya perdarahan pervaginam
yang berulang
c. Riwayat kesehatan :
1.) Riwayat kesehatan sekarang
yaitu keluhan seperti saat klien pergi ke Rumah Sakit atau pada
saat pengkajian seperti perdarahan pervaginam diluar siklus haid,
pembesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan
2.) Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh klien misalnya DM,
jantung, hipertensi, masalah gynekologi/urinary, penyakit endokrin.
3.) Riwayat kesehatan keluarga
Yang dapat dikaji melalui genogram dan dari genogram tersebut
dapat diidentifikasikan mengenai penyakit turunan dan penyakit
menular yang terdapat dalam keluarga.
4.) Riwayat kesehatan Reproduksi
Kaji tentang mennorhoe, siklus menstruasi, lamanya, banyaknya,
sifat darah, bau, warna, dan adanya dissmenorrhae serta kaji kapan
menopause terjadi, gejala serta keluhan yang menyertainya.
5.) Riwayat kehamilan, persalinan, nifas
Kaji bagaimana keadaan anak klien mulai dari dalam kndungan
hingga saat ini vagaimana keadaan kesehatan anaknya.
d. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
Mengobservasi kulit terhaap warna , perubahan warna, laserasi, lesi
terhadap rainase, pola pernaasan terhadap kedalaman dan kesimetrisan,
bahasa tubuh, pergerakan dan postur, penggunaan ekstremitas, adanya
keterbatasan fisik
2) Palpasi
a) Sentuhan : merasakan suatu pembengkaan, mencatat suhu, derajat
kelembaban dan tekstrur kulit atau menentukan kekuatan kontraksi
uterus.
b) Tekanan : menentukan karakter nadi, mengevaluasi edema ,
memerhatikan posisi janin, atau mencubit kulit untuk mengamati
turgor.
c) Pemeriksaan dalam : menentukan tegangan/tonus otot atau respon
yang abnormal
3) Perkusi
1.) Menggunakan jari : ketuk lutut dan dada dan dengarkan bunyi yang
menunjukkan asa tidaknya cairan, massa atau konsolidas
e. Pemeriksaan laboratorium
1) Darah dan urine serta pemeriksaan penunjang : rontgen, USG, biopsy, pap
smear
2) Keluarga berencana :
Kaji mengenai pengetahuan klien tentang KB, apakah klien setuju , apakah
klien menggunakan kontrasepsi, dan menggunakan KB jenis apa.
2. Diagnosa keperawatan
a. Devisit volume cairan b.d perdarahan pervaginam
b. Gangguan rasa nyaman : nyeri b.d kontraksi uterus
c. Cemas b.d kurang pengetahuan tentang abortus
d. Berduka b.d kehilangan
e. Resiko tinggi syok hipovolemik b.d perdarahan pervaginam
3. Intervensi keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL
KRITERIA HASIL
1. Devisit Tujuan : dalam 1. Kaji 1. Pengeluara
volume 1x24 jam tidak kondisi n cairan
cairan b.d terjadi devisit status pervaginal
perdararahan volume cairan, hemodina sebagai
pervaginam seimbang antara mika akibat
intake an output 2. Ukur abortus
baik jumlah pengeluar memiliki
Anonym. [online] diakses pada tanggal 12 september 2019 jam 19.00dapat dilihat
di http://doktersehat.com/macam-macam-abortus-keguguran-penyebabnya/
Aqd, dini. 2012. Asuhan keperawatan abortus. [ONLINE] diakses pada tanggal
12 september 2019 jam 18.30dapat dilihat di
http://pastakyu.wordpress.com/2010/01/21/asuhan-keperawatan-kehilangan-dan-
berduka/,
Huda,amin .2015. aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnose medis
nanda nic noc . revisi jilid 1. Jogjakarta : mediaction jogja
Suhartono, hermanus. Pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan
rujukan. Jakarta :
MOLA HIDATIDOSA
A. Pendahuluan
Upaya kesehatan reproduksi salah satunya adalah menurunkan angka
kesakitan dan kematian ibu hamil dan bersalin. Adapun penyebab
langsung dari kematian ibu di Indonesia adalah trias klasik yaitu
perdarahan, infeksi, toksemia gravidarum. Salah satu dari ketiga faktor
tersebut adalah perdarahan, perdarahan dapat terjadi pada saat kehamilan,
persalinan dan masa nifas. Perdarahan yang terjadi pada awal kehamilan
meliputi abortus, mola hidatidosa dan kehamilan ektopik. Dari kasus
perdarahan tersebut, sebagian besar kasus perdarahan adalah perdarahan
pada awal kehamilan yang dari salah satu perdarahan awal kehamilan
tersebut terdapat kehamilan mola hidatidosa.
Molahidatidosa adalah tumor jinak dari trofoblast dan merupakan
kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stoma villus korialis langka,
vaskularisasi dan edematous, janin biasanya meninggal akan tetapi villus-
villus yang membesar dan edematous itu hidup dan tumbuh terus menerus,
Sebagian dari villi berubah menjadi gelembung-gelembung berisi cairan
jernih. Gelembung itu sebesar butir kacang hijau sampai sebesar buah
anggur. Gelembung ini dapat mengisi seluruh cavum uteri. Karakteristik
mola hidatiosa bentuk komplet dan bentuk parsial, yaitu tidak ada jaringan
embrio dan ada jaringan embrio.
Penyebab pasti terjadinya kehamilan mola hidatidosa belum diketahui
pasti, namun ada beberapa faktor yang memengaruhinya. Jenis pada mola
hidatidosa yaitu Molahidatidosa komplet dan Molahidatidosa parsial. Pada
kehamilan Molahidatidosa jika tidak dilakukan penanganan secara
komprehensif maka masalah kompleks dapat timbul.
C. Etiologi
Penyebab mola hidatidosa belum diketahui secara pasti, namun ada faktor-
faktor penyebabnya adalah :
1. Faktor Ovum
Pembuahan sel telur dimana intinya telah hilang atau tidak aktif
lagi oleh sebuah sel sperma.
2. Imunoselektif dari Trofoblas
Perkembangan mola hidatidosa diperkirakan disebabkan oleh
kesalahan respon imun ibu terhadap invasi oleh trofoblas. Akibatnya
D. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa.
Kecurigaaan biasanya terjadi pada minggu ke 14 - 16 dimana ukuran
rahim lebih besar dari kehamilan biasa, pembesaran rahim yang terkadang
diikuti perdarahan, dan bercak berwarna merah darah beserta keluarnya
materi seperti anggur pada pakaian dalam.
Tanda dan gejala pada molahidatidosa:
1. Mual dan muntah yang parah yang menyebabkan 10% pasien masuk
RS.
2. Pembesaran rahim yang tidak sesuai dengan usia kehamilan (lebih
besar).
3. Gejala–gejala hipertitoidisme seperti intoleransi, panas, gugup,
penurunan BB yang tidak dapat dijelaskan, tangan gemetar dan
berkeringat, kulit lembab.
4. Gejala-gejala pre-eklampsi seperti pembengkakan pada kaki dan
tungkai, peningkatan tekanan darah, proteinuria (terdapat protein pada
air seni).
5. Amenore dan tanda-tanda kehamilan
6. Perdarahan pervaginam berulang. Darah cenderung berwarna coklat.
Pada keadaan lanjut kadang keluar gelembung mola.
E. Patofisiologi
Menurut Purwaningsih (2010), patofisiologi mola hidatidosa yaitu
ovum Y telah dibuahi mengalami proses segmentasi sehingga terjadi
blastomer kemudian terjadi pembelahan dan sel telur membelah menjadi 2
buah sel. Masing-masing sel membelah lagi menjadi 4, 8, 16, 32, dan
seterusnya hingga membentuk kelompok sel yang disebut morula. Morula
bergerak ke cavum uteri kurang lebih 3 hari dan didalam morula terdapat
exozeolum. Sel-sel morula terbagi dalam 2 jenis yaitu trofoblas (sel yang
berada disebelah luar yang merupakan dinding sel telur) sel kedua yaitu
bintik benih atau nodus embrionale (sel yang terdapat disebelah dalam
yang akan membentuk bayi). Pada fase ini sel seharusnya mengalami
nidasi tetapi karena adanya proliferasi dari trofoblas atau pembengkakan
vili atau degenerasi hidrifilik dari stroma vili dan hilangnya pembuluh
darah stroma vili maka nidasi tidak terjadi. Trofoblas kadang berproliferasi
ringan kadang keras sehingga saat proliferasi keras uterus menjadi
semakin besar. Selain itu trofoblas juga mengeluarkan hormone HCG yang
akan mengeluarkan rasa mual dan muntah. Pada mola hidatidosa tidak
jarang terjadi perdarahan pervaginam, ini juga dikarenakan proliferasi
trofoblas yang berlebihan. Pengeluaran darah ini kadang disertai
gelembung vilus yang dapat memastikan diagnose mola hidatidosa.
F. Komplikasi
1. Anemia, dapat terjadi karena ibu yang mengalami mola hidatidosa
biasanya mengalami pengeluaran darah secara bertahap.
2. Pre-eklamsia atau Eklamsi, gejala ini dapat timbul sebelum kehamilan
pada penyakit tropoblas.
G. Pemeriksaan Diagnostik
Tes diagnostic pada mola hidatidosa dapat dilakukan dengan beberapa
cara yaitu:
1. Pemeriksaan kadar ß-hCG: Pada mola terdapat peningkatan kadar ß-
hCG darah atau urin.
2. Uji Sonde : Sonde (penduga rahim) dimasukkan pelan-pelan dan hati-
hati ke dalam kanalis servikalis dan kavum uteri. Bila tidak ada
tahanan, sonde diputar setelah ditarik sedikit, bila tetap tidak ada
tahanan, kemungkinan mola (cara Acosta Sison).
3. Foto rontgen abdomen: Tidak terlihat tulang-tulang janin (pada
kehamilan 3-4 bulan).
4. Ultrasonografi: Pada mola akan terlihat badai salju (snow flake
pattern) dan tidak terlihat janin.
5. Foto thoraks: Pada mola ada gambaran emboli udara.
Pra-kuretase Kuretase
Psikologis
Fisik
Perdarahan
Merasa cemas
Perlukaan jalan lahir
Kehilanga cairan
Ansietas
Nyeri akut
Resiko infeksi
Kekurangan volume cairan
J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
1) Nama jelas dan lengkap, agar tidak keliru dalam memberikan
penanganan.
2) Umur, yang ideal (usia reproduksi sehat) adalah umur 20-35
tahun, dengan resiko yang makin meningkat bila usia dibawah
20 tahun yaitu alat alat reproduksi belum matang, mental dan
f. Pemeriksaan Penunjang
Didapat dari hasil pemeriksaan dari:
1) Pemeriksaan laboratorium: Kadar β-hCG meningkat
(>100.000 IU/L)
2) Foto Rontgen abdomen: Tidak terlihat tulang – tulang janin
3) USG: Tidak terlihat janin
g. Analisa Data
Data Etiologi Masalah
Batasan karakteristik: Kehamilan mola
o Gelisah hidatidosa
o Mengekspresikan
kekhawatiran Perdarahan yang terus
menerus
Ansietas
Pra-kuretase
Psikologis
Merasa cemas
Nyeri akut
Kuretase
Fisik
Resiko infeksi
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (prosedur
invasif) akibat kuretase
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif ditandai dengan perdarahan pervaginam
c. Ansietas berhubungan dengan ancaman status kesehatan terkini
akibat pra-kuretase.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas jaringan
(perlukaan jalan lahir).
Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius
Mochtar, Rustam, 1998. Sinopsis Obstetri. Jilid I. Jakarta: EGC
Moorhead, Sue, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification. Edisi V. nurjanah,
Intan S, Roxana Devi, Editor. Yogyakarta: Moco Media
B. Definisi
Kehamilan ektopik adalah suatu pertumbuhan sel telur yang telah
dibuahi tetapi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri dan
akibatnya tumbuh diluar rongga rahim. Bila kemudian tempat nidasi
tersebut tidak dapat menyesuaikan diri dengan besarnya buaah kehamilan,
akan terjadi rupture dan menjadi kehamilan ektopik terganggu. (ilmu
kebidanan sarwono).
C. Etiologi
Penyebab kehamilan ektopik ada yang diketahui dan ada pula yang
belum diketahui. Ada beberapa penyebab kehamilan ektopik antara lain:
1. Faktor uterus
a. Tumor rahim yang menekan tuba
b. Uterus hipopiastis
2. Faktor tuba
D. Manifestasi Klinik
Gambaran klinik dari kehamilan ektopik terganggu tergantung
pada lokasinya. Tanda dan gejalanya sangat bervariasi tergantung pada
rupture tidaknya kehamilan tersebut.
Adapun gejala dan hasil pemeriksaan labolatorium antara lain :
E. Patofisiologi
Pada kehamilan normal, proses pembuahan(pertemuan sel telur
dengan sperma) terjadi pada tuba, kemudian sel telur yang telah dibuahi
dpgerakan dan berimplantasi pada endometrium rongga rahim. Kehamilan
ektopik yang dapat disebabkan antara lain faktor dalam tuba dan diluar
tuba, sehingga hasil pembuahan terhambat atau tidak bisa masuk ke dalam
rongga rahim, sehingga sel telur yang telah dibuahi tumbuh dan
berimplantasi (menempel) dibeberapa tempat pada organ reproduksi
wanita selain rongga rahim, anatra lain di tuba falopi (saluran telur),
kanalis servikalis (leher rahim), ovarium ( indung telur) dan rongga perut.
Dengan yang terbanyak biasanya di tuba falopi.
nyeri
Pendarahan terus
Darah berkumpul
belangsung
dikavum douglas
membentuk hematokel
retroterina
Kekurangan volume
cairan resiko infeksi
H. Penanganan
Penanganan bedah dapat dilakukan pada pasien-pasien kehamilan
ektopik yang belum terganggu maupun yang telah terganggu. Tentu saja
pada kehamilan ektopik terganggu, pembdeahan harus dilakukan secepat
mungkin. Pada dasarnya ada dua macam pembedahan untuk menterminasi
kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, dimana integritas tuba
dipertahankan, dan pembedahan radikal dimana salpingektomi dilakukan.
Pembedahan konservatif mencakup dua teknik yang kita kenal
sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam
pembedahan diatas dapat dilakukan melalui laparotom maupun
laparoskopi. Namun bila pasien jatuh kedalam syok atau tidak stabil, maka
ada tempat bagi pembedahan per laparoskopi.
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesis dan gejala klinis
1) Riwayat terlambat haid
2) Gejala dan tanda kehamilan muda
3) Ada atau tidak pendarahan vervaginam
4) Terdapat amenore
5) Ada nyeri mendadak disertai nyeri bahu dan seluruh abdomen
Manjosjoer arif, dkk. 2000. Kapita Slekta Kedokteran. Edisi III, jilid I. Media
Aesculapius
Nurarif A, Kusuma H.2015.APLIKASI ASUHAN KEPERAWATAN
BERDASARKAN DIAGNOSA MEDIS & NANDA NIC-NOC. Edisi revisi jilid
3. MediAction
B. Definisi
Plasenta previa yaitu plasenta yang berimplitasi rendah sehingga
menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum (Sulaiman
Sastrawinata, 2005; h. 83 - 98).
Plasenta previa yaitu plasenta yang terletak menutupi atau sangat dekat
dengan os interna. Insidennya 1:200 kehamilan (William.R.,2010; h. 425 –
438).
Plasenta previa yaitu keadaan dimana plasenta tertanam pada
sigmen bawah uterus dan terletak di daerah atau didekat ostium internum
cervix (Sarwono, 2006; h. 365).
C. Etiologi
Plasenta previa meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan
yang endometriumnya kurang baik, misalnya karena atrofiendometrium
atau kurang baiknya vasikularisasi desidua pada sigmen atas uterus. maka
placenta akan meluas dalam upanyanya untuk mendapatkan suplai darah
yang lebih memadai.
Menurut (Sulaiman Sastrawinata, 2005; h. 83 - 98) Keadaan ini
bisa di temukan pada:
D. Patofisiologi
Perdarahan antepartum akibat plasenta previa terjadi sejak
kehamilan 20 minggu saat segman bawah uterus telah terbentuk dan mulai
melebar serta menipis. Umumnya terjadi pada terimester ketiga karena
sigmen bawah uterus mengalami banyak perubahan. Pelebaran sigmen
bawah uterus dan pembukaan servik menyebabkan sinus robek karena
lepasnya plasenta dari dinding uterus atau karena robekan sinus marginalis
dan plasenta. Perdarahan tidak dapat diarahkan karena ketidak mampuan
serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi seperti plasenta letak
normal. Keadaan endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta
harus tumbuh menjadi luas untuk mencukupi kebutuhan janin. Plasenta
yang tumbuh meluas akan mendekati atau menutup ostium uteri internum.
Endomertium yang kurang baik juga dapat menyebabkan zigot mencari
tempat implantasi yang lebih baik, yaitu di tempat yang rendah dekat
ostium uteri internum (Sulaiman Sastrawinata, 2005; h. 83 - 98).
Dengan berkembangnya segmen bawah uterus dan dengan
menipisnya serta membukanya servik, plasenta terlepas dari dinding
uterus. Keadaan ini disertai ruptura pembuluh-pembuluh darah yang
terletak di bawahnya. Jika pembuluh darah yang pecah berukuran bersar,
perdarahan akan banyak sekali (oxcron, 2010; h. 426).
G. Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa ( Masalah yang muncul )
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan volume darah
menurun
b. Gangguan perfusi jaringan utero plasenta berhubungan dengan
syok hipovolemik
c. Resiko tinggi cedera ( janin ) berhubungan dengan hipoksia
jaringan/organ, profil darah abnormal, kerusakan system imun
B. Definisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh
permukaan maternal plasentadari tempat implantasinya yang normal pada
lapisan desidua endometrium sebelum waktunyayakni sebelum anak lahir.
Klasifikasi
Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptura sinus
marginalis), dapat pula terlepas lebih luas (solusio parsialis), atau bisa
seluruh permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis).
C. Etiologi
Penyebab primer belum diketahui pasti, namun ada beberapa faktor
yang menjadi predisposisi.
1. Faktor kardio-reno-vaskuler
1. Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma
preeklamsia dan eklamsia. Pada penelitian di Parkland,
ditemukan bahwa terdapat hipertensi pada separuh kasus
D. Patofisiologi
Terjadinya solusio plasenta dipicu oleh perdarahan ke dalam
desidua basalis yang kemudian terbelah dan meningkatkan lapisan tipis
yang melekat pada mometrium sehingga terbentuk hematoma desidual
yang menyebabkan pelepasan, kompresi dan akhirnya penghancuran
plasenta yang berdekatan dengan bagian tersebut.
Ruptur pembuluh arteri spiralis desidua menyebabkan hematoma
retro plasenta yang akan memutuskan lebih banyak pembuluh darah,
hingga pelepasan plasenta makin luas dan mencapai tepi plasenta, karena
uterus tetap berdistensi dengan adanya janin, uterus tidak mampu
berkontraksi optimal untuk menekan pembuluh darah tersebut. Selanjutnya
darah yang mengalir keluar dapat melepaskan selaput ketuban.
Sesungguhnya solusio plasentra merupakan hasil akhir dari suatu
proses yang bermula dari suatu keadan yang mampu memisahkan vili-vili
korialis plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga
terjadi perdarahan. Oleh karena itu patosiologinya bergantung pada etilogi.
E. Manifestasi Klinik
Gambaran klinik penderita solusio plasenta bervariasi sesuai
dengan berat ringannya atau luas permukaan maternal plasenta yang
terlepas. Belum ada uji coba yang khas untuk menentukan diagnosisnya.
Gejala dan tanda klinisnya yang klasik dari solusio plasenta adalah
F. Komplikasi
1. Syok perdarahan
Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta
hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan
segera. Bila persalinan telah diselesaikan, penderita belum bebas dari
perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk
menghentikan perdarahan pada kala III . Pada solusio plasenta
berat keadaan syok sering tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang
terlihat (1,10,17)
2. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
penderita solusio plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan
hipovolemia karena perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis
tubuli ginjal yang mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong
dengan penanganan yang baik. (1,2)
3. Kelainan pembekuan darah
Kelainan pembekuan darah biasanya disebabkan oleh
hipofibrinogenemia.
4. Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)
Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot
rahim dan di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam
G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesis
1) Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut
2) Perdarahan pervaginam yang sifatnya dapat hebat dan
sekonyong-konyong(non-recurrent) terdiri dari darah segar dan
bekuan-bekuan darah yang berwarna kehitaman
3) Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan
akhirnya berhenti
4) Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-
kunang.
5) Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang
lain.
b. Inspeksi
1) Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
2) Pucat, sianosis dan berkeringat dingin.
3) Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu).
c. Palpasi
1) Tinggi fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya
kehamilan.
2) Uterus tegang dan keras seperti papan yang
disebut uterus in bois (wooden uterus) baik waktu his maupun
di luar his.
3) Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas.
4) Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.
d. Auskultasi
B. Definisi
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi
dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah
lahir). (JNPKR, Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002).
C. Etiologi
Overdistensi uterus,baik absolut maupuun relatif, merupakan faktor
resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan
oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion atau
abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau
kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah
di uterus baik sebelum maupun plasenta lahir. Lemahnya kontraksi
moimetrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau
persalinan dengan tenaga besar, terutama biila mendapatkan stimmulasi.
Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari iinhibisi kontraksi
yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi terhalogenisasi,
nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta
simpatomimetik dan nifedipin.
Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri
(korioamnionitis, endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat
1. Faktor Predisposisi
Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan:
a. Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita
yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan
yang pasca persalinan akibat atonia uteri.
D. Manifestasi Klinik
1. Uterus tidak berkontraksi dan lembek.
2. Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)
Gejala klinis umum yang terjadi ialah kehhilangan darah dalam
jumlah banyak > 500 ml ), nadi lemah, pucat, lochea berwarna merah,
haus, pusing, gelisah, letih dan dapat terjadi syol hipovolemik, tekanan
darah rendah, ekstremitas dingin, mual.
Atonia uteri
G. Penanganan
1. Kenali dan tegakan diagnosis kerja atonia uteri
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Klien dan Penanggung Jawab :
Nama : Ny. T
Umur : 28 Tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Kp. Waru Rt/Rw 02/01, Kab. Garut
Pendidikan : SMA
Tanggal MRS : 11 Agustus 2019
Identitas Penanggung Jawab :
Nama : Tn. G
Umur : 30 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Hubungan dengan klien: Suami
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama (alasan masuk rumah sakit)
Klien mengeluh demam selama 3 hari
2) Keluhan sekarang
Keluhan yang dirasakan saat ini yaitu: kehilangan darah dalam
jumlah banyak (>500ml), Nadi lemah, pucat, lokea berwarna
merah, haus, pusing, gelisah, letih, tekanan darah rendah,
ekstremitas dingin, dan mual.
3) Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal kronik,
hemofilia, riwayat pre eklampsia, trauma jalan lahir, kegagalan
kompresi pembuluh darah, tempat implantasi plasenta, retensi sisa
plasenta.
4) Riwayat kesehatan keluarga
B. Definisi
Plasenta akreta adalah tertahanya atau belum lahirnya plasenta
hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir
(Prawirohardjo,2007). Plasenta akreta adalah plasenta yang melekat secara
abnormal pada uterus, dimana villi korionik berhubungan langsung dengan
miometrium tanpa desidua. Desidua endometrium merupakan barier atau
sawar untuk mencegah invasi villi plasenta ke miometrium uterus. Pada
plasenta akreta, tidak terdapat desidua basalis atau perkembangan tidak
sempurna dari lapisan fibrinoid.
Plasenta akreta adalah kondisi di mana pembuluh darah plasenta
(ari-ari) atau bagian-bagian lain dari plasenta tumbuh terlalu dalam pada
C. Etiologi
Plasenta akreta berkaitan dengan tingginya kadar alpha-fetoprotein
dan ketidaknormalan kondisi di dalam lapisan rahim. Meski begitu,
penyebab pasti plasenta akreta belum diketahui secara pasti. Sebenarnya
resiko seorang wanita terkena plasenta akreta bisa terus meningkat tiap
kali dirinya hamil, terlebih lagi jika berusia di atas 35 tahun. Selain itu,
kasus plasenta akreta juga banyak ditemukan pada wanita yang
sebelumnya melakukan operasi rahim, termasuk operasi caesar.
Persalinan caesar meningkatkan kemungkinan kondisi ini pada
kehamilan setelahnya. Semakin banyak melakukan operasi caesar,
semakin besar pula peluangnya. Sekitar lebih dari 60 persen kasus plasenta
akreta bisa terjadi karena hal ini.
Selain kondisi di atas, risiko untuk terkena plasenta akreta juga
tinggi apabila seorang wanita :
1. Memiliki posisi plasenta pada bagian bawah rahim ketika hamil.
2. Menderita plasenta previa (plasenta menutupi sebagian atau seluruh
dinding rahim).
3. Menderita fibroid rahim submukosa (rahim tumbuh menonjol ke dalam
rongga rahim).
D. Patofisiologi
Plasenta akreta diketahui terjadi karena tidak terdapat lapisan
spongiosa dari desidua. Benurschke dan Kaufman menjelaskan bahwa
kondisi ini adalah konsekuensi dari kegagalan rekonstruksi endometrium
atau desidua basalis setelah proses penyembuhan luka insisi sectio
caesarea. Secara histologis biasanya tampak sebagai gambaran trofoblas
yang menginvasi miometrium tanpa keterlibatan desidua. Hal ini menjadi
masalah saat proses persalinan dimana plasenta tidak akan terlepas dan
akan terjadi perdarahan masif.
E. Pathway
G. Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan kontraksi pada uterus
Abdul Bari Saifuddin. Buku Acuan Nasional Kesehatan Maternal Dan Maternal.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2007
Constance,Sinclair. 2003. A Midwife’s Handbook. Jakarta:EGC
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31956/5/Chapter%20I.pdf
(diakses pada tanggal 13 September 2019 pukul 16.00)
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/151/jtptunimus-gdl-fosianaaul-7511-2-
babii.pdf (diakses pada tanggal 13 September 2019 pukul 10.00)
B. Definisi
Perdarahan Pasca Persalinan (PPP) adalah perdarahan massif yang
antara lain berasal dari tempat implantasi plasenta atau robekan pada jalan
lahir dan jaringan sekitarnya.
Jika perdarahan pasca persalinan tidak mendapatkan penanganan
yang semestinya, maka dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu
serta proses penyembuhan kembali (CunninghamFG,2005).
C. Etiologi
Perdarahan Post Partum bisa disebabkan karena :
1. Atonia Uteri
Atonia uteri adalah ketidakmampuan uterus khusunya myometrium
untuk berkontraksi setelah plasenta lahir. Perdarahan post partum
secara fisiologi dikontrol oleh kontraksi serat – serat myometrium
terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah
pada tempat perlengkapan plasenta (Wiknjosastro, 2006).
Kegagalan kontraksi dan retraksi dari serat miometrium dapat
menyebabkan perdarahan yang cepat dan parah serta syok
hepovolemik. Kontraksi miometrium yang lemah dapat diakibatkan
oleh kelelahan karena persalinan lama atau persalinan yang terlalu
cepat, terutama jika dirangsang. Selain ittu, obat – obatan seperti obat
anti – inflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta – simpatomimetik,
dan nifedipin juga dapat menghambat kontraksi miometrium.
Penyebab lain adalah situs implantasi plasenta disegmen bawah
Rahim, korioamnionitis, endomiometritis, septikemia, hipoksia pada
solusio plasenta dan hipotermia karena resusitasi massif (Rueda et al.,
2003).
D. Manifestasi Klinik
Gejala klinis yang mungkin terjadi adalah kehilangan darah dalam
jmlah banyak (500 ml), nadi lemah, hasu, pucat, lochea warna merah,
gelisah, letih, tekanan darah rendah ekstermitas dingin, dapat pula terjadi
syok hemoragi.
1. Menurut Mochtar (2001) gejala klinik berdasarkan penyebab ada lima
yaitu:
a) Antonia Uteri
Uterus berkontraksi lembek, terjadi perdarahan segera setelah lahir.
b) Robekan Jalan Lahir
Terjadi perdarahan segera, darah segar mengalir segera setelah
bayi lahir, konteraksi uterus baik, plasenta baik. Gejala yang
kadang – kadang timbul pucat, lemah, mengigil.
c) Retensio Plasenta
Plasenta belum lahir selama 30 menit, perdarahan segera, kontraksi
uterus baik.
d) Tertinggalnya Sisa Plasenta
Selaput yang mengandung pembeluh darah ada yang tertinggal,
perdarahan segera. Gejala yang kadang- kadang timbul uterus
berkontraksi baik tetapi fundus tidak berkurang.
e) Inversion Uterus
Uterus tidak teraba, lumen vagina berisi massa, perdaraham segera,
nyeri berat.
2. Tanda dan Gejala
E. Patofisiologi
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk
meningkatkan sirkulasinya, atonia uteri yang menyebabkan kontraksi
uterus menurun sehingga pembeluhun darah yang melebar tidak dapat
menutup sempurna sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Trauma
jalan lahir seperti epiostomi yang lebar, laserasi perineum juga
menyebabkan perdarahan karena terbukanya pembuluh darah, penyakit
darah pada ibu. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong pada
keadaan syok hemoragi.
1. Perdarahan Post Partum Akibat Atonia Uteri
Myometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan
bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk mengehentikan
perdarahan post partum lapisan tengah miometrium tersusun sebagai
anyaman dan ditembus oleh pembuluh darah. Masing – masing serabut
mempunyai dua buahh lengkupan sehingga setiap dua buah sserabut
kira – kira membentuk angka delapan, setelah partus, dengan adanya
susunan otot seperti diatas, jika otot berkontraksi akan menjempit
pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini
akan menyebabkan pembuluh darah pada uterus tetap vasodilatasi
sehingga terjadinya perdarahan post partum (Cuningham, 2005). Hal –
hal yang menyebabkan atonia uteri adalah :
a. Disfugsi uteri
Atonia uteri primer merupakan disfungsi instrinsik uterus.
b. Partus lama
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data Subjektif
Atonia uterus dialami dan sekurang – kurangnya 5% wanita
melahirkan, khususnya wanita grandemultipara. Gejala – gejala:
1) Perdarahan pervaginam
2) Konsistensi Rahim lunak – fundus uteri naik (Jika pengaliran
darah keluar terhalang oleh bekuan darah atau selaput janin)
Tentang jumlah perdarahan, disebutkan sebagai perdarahan
yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan tanda vital
(Pasien mengeluh lemah, berkeringat dingin, mengigil, hiperpnea,
sistolik, 90 mmHg, nadi >100x/menit, kadar Hb 8 g%).
b. Data Objektif
1) Pemeriksaan Tanda – Tanda Vital :
a) Suhu badan, suhu badan biasanya meningkat sampai
38oC dianggap normal. Setelah satu hari suhu akan
kembali normal (36oC – 37oC), terjadi penurunan akibat
hipovolemia.
b) Nadi, denyut nadi akan meningkat cepat karena nyeri,
biasanya terjadi hipovolemia yang semakin berat
c) Tekanan darah, tekanan darah biasanya stabil,
memperingan hipovolemi,
d) Pernafasan, bila suhu dan nadi tidak normal, pernafasan
juga menjadi tidak normal.
2) Pemeriksaan khusus oberservasi setiap 8 jam untuk mendeteksi
adanya tanda – tanda komplikasi dengan mengevaluasi sistem
dalam tubuuh. Pengkajian ini meliputi.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom
KD. Uterine Leiomvomas. (2005). In : William Obstetrics 22nd edition.
Mc Graw-Hill. NewYork.
Dongoes, Marilynn E. (2001). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC : Jakarta.
Saifuddin, AB. (2002). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal
Dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Vicky. (2006). Asuhan Kebidanan Persalinan & Kelahiran. Jakarta : EGC
B. Definisi
Gangguan pada faktor pembekuan darah (trombosit) adalah
pendarahan yang terjadi akibat kelainan pada proses pembekuan darah
sang ibu, jadi darah tetap mengalir.
Disfungsi perdarahan dan pembekuan adalah terjadinya kelainan
dalam pembentukan pembekuan darah dimana hal ini berhubungan dengan
trombosit dan faktor-faktor pembekuan darah. Abnormalitas yang
merupakan predisposisi seseorang mengalami perdarahan dapat
disebabkan oleh pembuluh darah, trombosit, dan setiap faktor koagulasi
plasma, fibrin atau plasmin.
C. Etiologi
Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan
yang berupa hipofibrinogenemia familial dapat saja terjadi, tetapi
abnormalitas yang didapat biasanya yang menjadi masalah. Hal ini dapat
berupa DIC yang berhubungan dengan solusio plasenta, sindroma HELLP,
D. Patofisiologi
Gangguan pembekuan darah sebenarnya umum terjadi pada ibu
hamil. Studi menyebut 7 – 12 persen wanita hamil mengalami kondisi ini
dan sebagian besar kasusnya disebabkan oleh trombositopenia gestasional,
yakni kondisi penurunan kadar trombosit yang disebabkan oleh perubahan
selama kehamilan. Di antaranya adalah peningkatan volume plasma darah,
E. Pathway
F. Penanganan
Trombosit rendah selama kehamilan adalah kondisi umum, yang
biasanya diperbaiki setelah lahir. Namun, kebanyakan penyedia perawatan
akan mempertimbangkan tingkat trombosit rendah sebagai faktor risiko
komplikasi, terlepas dari seberapa ringan trombositopenia. Bagi
kebanyakan wanita, memiliki trombosit rendah berarti beberapa
pemantauan ekstra selama kehamilan, untuk menentukan apakah ada
penyebab yang mendasarinya. Dengan dukungan yang tepat, trombosit
rendah seharusnya tidak terlalu mempengaruhi kehamilan.
Untuk menjaga trombosit agar tetap normal, umumnya dokter
memberikan obat untuk menambah jumlah trombosit. Selama kehamilan,
Anda harus berhati-hati jika mengkonsumsi obat, pastikan obat yang Anda
konsumsi selalu ada dalam p resep dokter. Obat-obatan kimia dapat
menyebabkan efek samping, sehingga Anda harus berhati-hati.
B. Definisi
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema
Pallidum, merupakan penyakit kronis dan dapat menyerang seluruh organ
tubuh. (Mansjoer Arif, et al, 2000 : 153 ).
Penyakit sifilis merupakan penyakit menular seksual (PMS). Lesi
sifilis biasa terlihat jelas ataupun tidak terlihat dengan jelas. Penyakit
sifilis juga bisa menular pada janinnya pada ibu yang sedang hamil
melalui plasenta (Soedarto. 1990)
Efek sifilis pada kehamilan dan janin tergantung pada lamanya
infeksi tersebut terjadi, dan pada pengobatannya. Jika diobati dengan baik
ibu akan melahirkan bayinya dengan sehat. Tetapi jika tidak diobati maka
akan menyebabkan abortus dan partus prematurus dengan bayi meninggal
didalam rahim atau sifilis congenital. (Djuanda adhi,dkk.2005)
Sifilis congenital terjad pada bulan ke-4 kehamilan. Apabila sifilis
terjadi pada kehamilan tua, maka plasenta member perlindungan terhadap
janin sehingga bayi dapat dilahirkan dengan sehat. Dan apabila sifilis
C. Etiliologi
Penyebab infeksi sifilis yaitu Treponema Pallidum. Treponema
Pallidum merupakan salah satu bakteri spirochaeta. Bakteri ini berbentuk
spiral. Terdapat 4 subspesies yang sudah ditemukan, yaitu Treponema
Pallidum, Treponema pallidum npertenue, treponema pallidum
carateum,dan treponema pallidum endemicum.
Treponema Pallidum merupakan spirochaeta yang bersifat motile
yang umumnya menginfeksi melalui kontak seksual langsung, masuk
kedalam tubuh inang melalui celah diantara sel epitel. Organisme ini
dapat menyebabkan sifilis. Ditularkan kepada janin melalui transplasenta
selama masa akhir kehamilan.
Struktur tubhnya yang berupa heliks memungkinkan treponema
pallidum bergerak dengan pola gerakan yang khas untuk bergerak didalam
medium kental seperti lender (mucus). Dengan demikian, organism ini
dpaat mengakses sampai ke system peredaran darah dan getah bening
inang melalui jaringan dan membran mukosa .
2. Tes darah
Setelah pengobatan, penderita diminta untuk menjalani tes darah
secara berkala guna memastikan bahwa infeksi telah sembh total.
G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Di dalam identitas hal-hal yang perlu dikaji antara lain nama
pasien, alamat pasien, umur pasien biasanya kejadian ini mencakup
semua usia antara anak-anak sampa dewasa, tanggal masuk rumah
sakit penting untuk dikaji untuk melihat perkembangan dari
pengobatan, penanggung jawab pasien agar pengobatan dapat
dilakukan dengan persetujuan dari pihak pasien dan petugas
kesehatan.
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat utama
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d kerusakan jaringan sekunder
b. Hipertermi b.d respon sistem ulkus mole
c. Gangguan integritas jaringan kulit b.d adanya ulkus pada
genetalia
d. Resiko tinggi infeksi b.d ulkus merah pada penis dan anus serta
demam subfebris
e. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan resiko penyebaran
infeksi dan infeksi berulang.
Patofisiologi sifilis.scribd.com
GONORE
A. Pendahuluan
Gonore adalah salah satu penyakit menular seksual paling umum
yang disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae (Irianto, 2014).
Neisseria gonorrhoeae (N. Gonorrhoeae) merupakan bakteri diplokokkus
gram negatif dan manusia merupakan satu-satunya faktor host alamiah
untuk gonokokus, infeksi gonore hampir selalu ditularkan saat aktivitas
seksual (Sari et al., 2012). Menurut Irianto (2014) bahwa setiap tahunnya
kasus gonore lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria.
Kencing nanah atau gonore (bahasa Inggris: gonorrhea atau
gonorrhoea) adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh
Neisseria gonorrhoeae yang menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim,
rektum, tenggorokan, dan bagian putih mata (konjungtiva).
Gonore bisa menyebar melalui aliran darah ke bagian tubuh
lainnya, terutama kulit dan persendian. Pada wanita, gonore bisa menjalar
ke saluran kelamin dan menginfeksi selaput di dalam pinggul sehingga
timbul nyeri pinggul dan gangguan reproduksi (Wikipedia). Namun
penyakit gonore ini dapat juga ditularkan melalui ciuman atau kontak
badan yang dekat. Kuman patogen tertentu yang mudah menular dapat
ditularkan melalui makanan, transfusi darah, alat suntik yang digunakan
untuk obat bius.
Penyakit menular seksual juga disebut penyakit venereal
merupakan penyakit yang paling sering ditemukan di seluruh dunia.
Pengobatan penyakit ini efektif dan penyembuhan cepat sekali. Namun,
beberapa kuman yang lebih tua telah menjadi kebal terhadap obat-obatan
dan telah menyebar ke seluruh dunia dengan adanya banyak perjalanan
yang dilakukan orang-orang melalui transportasi udara.
C. Etiologi
Menurut Mutaqqin (2011) organisme patogenik (Neisseria
Gonorhea) biasanya memasuki tubuh melalui vagina, menjalar melalui
kanalis servikalis dan masuk kedalam uterus. Di bawah berbagai kondisi,
organisme dapat memasuki salah satu atau ke dua tuba faloppi dan
D. Patofisiologi
Menurut mutaqqin (2011), Neisseria Gonorrhea adalah bakteri
gram-negatif yang di tularkan melalui hampir semua kontak seksual.
Bakteri secara langsung menginfeksi uretra, endoserviks, saluran anus,
konjungtiva dan faring. Infeksi dapat meluas dan melibatkan prostat,
vesikula seminalis, epididimis, serta testis pada pria; dan kelenjar skene,
bartholini, endometrium, tuba fallopi dan ovarium pada wanita.
Komplikasi lebih lanjut adalah dermatitis, atritis, endokarditis,
mioperikarditis, dan hepatitis.
Pada pria akan timbul gejala-gejala dan tanda-tanda uretritis dalam
waktu 2-5 hari sampai 1 bulan setelah inokulasi. Tanda pertama adalah
sekret uretra purulen berwarna kuning atau kuning kehijauan. Pada pria
yang tidak disirkumsisi dapat terjadi balanopostitis sehingga timbul sekret
dari bawah prepusium. Komplikasi balanopostitis adalah fimosis akibat
peradangan dan edema pada glans. Kurang dari 5% pria dengan uretritis
gonokok yang tidak berkomplikasi menjadi asimtomatik. Jika tidak
G. Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b/d agen cidera biologi
b. Gangguan eliminasi urin b.d
c. Hipertermi b.d proses penyakit yang terjadi
d. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif
9. Berikan analgetik
untuk mengurangi nyeri
6. Menerapkan
kateterisasi intermitten.
6. Berikan antipiretik
8. Kombinasi pemberian
caira IV
5. Sediakan bantuan
sampai klien mampu
secara utuh untuk
melakukan selfcare
B. Definisi
Herpes merupakan infeksi kulit kelamin yang disebabkan oleh,
virus yang ditularkan melalui hubungan seks. Terkadang ditemukan juga
pada mulut penderita karena yang bersangkutan melakukan oral seks
dengan penderita herpes.
Herpes genitalis adalah suatu penyakit menular seksual di daerah
kelamin, kulit di sekelilingrektum atau daerah disekitarnya yang
disebabkan oleh virus herpes simpleks.
Herpes genitalis merupakan infeksi pada genital dengan gejala
khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritem bersifat
rekuren. Herpes genitalis terjadi pada alat genital dan sekitarnya (bokong,
daerah anal dan paha). Ada dua macam tipe HSV yaitu : HSV-1 dan HSV-
2 dan keduanya dapat menyebabkan herpes genital. Infeksi HSV-2 sering
ditularkan melalui hubungan seks dan dapat menyebabkan rekurensi dan
ulserasi genital yang nyeri. Tipe 1 biasanya mengenai mulut dan tipe 2
mengenai daerah genital.
D. Ptofisiologi
Gejala awalnya mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi.
gejala awal biasanya berupa gatal, kesemutann dan sakit. Lalu akan
muncul bercak kemerahan yang kecil, yang di ikuti oleh sekumpulan
lepuhan kecil yang terasa nyeri. Lepuhan ini pecah dan bergabung
membentuk luka yang melingkar. Luka yang terbentuk biasanya
menimbulkan nyeri dan membentuk keropeng. Penderita bisa mengalami
1. Asiklovir (zovirus)
Pada inveksi HVS genitalis primer, asiklovir intravena (5 mg/kg
BB/8 jam selama 5 hari), asiklovir oral 200 mg (5 kali/hari saelama
10-14 hari) dan asiklovir topikal (5% dalam salf propilen glikol) dapat
mengurangi lamanya gejala dan ekskresi virus serta mempercepat
penyembuhan.
2. Famsiklovir
Jenis pensiklovir, suatu analog nukleosida yang efekti menghambat
replikasi HSV-1 dan HSV-2.
3. Valasiklovir
Suatu ester dari asiklovir yang secara cepat dan hampir lengkap
berubah menjadi asiklovir oleh enzim hepar dan meningkatkan
bioavaibilitas asiklovir sampai 54%. Oleh karena itu dosis oral 1000
mg valasiklovir menghasilkan kadar obat dalam darah yang sama
dengan asiklovir intravena. Valasiklovir 1000 mg telah dibandingkan
asiklovir 200 mg 5 kali sehari selama 10 hari untuk terapi herpes
genitalis episode awal.
e. Data penunjang
Pemeriksaan urin: -
Pemeriksaan lab: -
f. Therapy: -
g. Analisa data
No Data Etiologi Masalah
1 DS: - Agen cedera biologi Nyeri akut
DO:Gatal di bagian
genital
2 DS: - Proses penyakit Hipertermi
DO:Suhu pasien 39
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen cedera biologi
b. Hipertermi b.d proses penyakit
c. Kerusakan integritas jaringan b.d penurunan imunologis
https://www.academia.edu/12956704/MAKALAH_HERPES
https://www.scribd.com/document/353965257/Askep-Penyakit-Herpes-Genital
http://yoseph-dmc21.blogspot.com/2012/03/asuhan-keperawatan-pada-pasien-
dengan.html
https://dokumen.tips/documents/askep-herpes-genitalis.html
https://www.scribd.com/doc/241597312/Pathway-Herpes
B. Definisi
Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yaitu penyakit pada
hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh
sporozoa yang dikenal dengan nama Toxoplasmosis gondii, yaitu suatu
parasit intraselluler yang banyak terinfeksi pada manusia dan hewan
peliaharaan. Penderita toxoplasmosis biasanya tidak memperlihatkan suatu
tanda gejala yang klinis sehingga untuk menentukan diagnosis penyakit ini
sering terabaikan dalam praktik dokter sehari-hari.
Apabila penyakit toxoplasmosis ini menyerang ibu hamil pada
trimester ketiga biasanya akan mengakibatkan hidrochephalus,
khorioretinitis, tuli atau epilepsi. Penyakit toksoplasmosis adalah infeksi
yang bisa mengancam pertumbuhan janin dan bisa menyebabkan
keguguran. Parasit penyebabnya adalah Toxoplasma gondii, yang
berkembang biak dalam saluran pencernaan kucing dan ikut keluar
bersama fesesnya, terutama hidup di bak pasir tempat BAB kucing dan di
tanah atau pupuk kebun.
C. Etiologi
Toxoplasmosis ditemukan oleh Nicelle dan Manceaux pada tahun
1909 yang menyerang hewan pengerat di Tunisia, Afrika Utara.
Selanjutnya setelah diselidiki maka penyakit yang disebabkan oleh
toxoplasmosis dianggap suatu genus termasuk famili babesiidae.
Infeksi Toxoplasmosis ini disebabkan oleh parasit bernama
Toxoplasma Gondii (T. Gondii). Parasit ini dapat ditemukan pada kucing
atau hewan liar dan menjadikan hewan tersebut sebagai sel inang nya.
Tetapi biasanya hewan tersebut tidak menunjukan gejala klinis akibat
terinfeksi virus tersebut. Parasit T. Gondii ini tidak dapat menular antar
manusia, meskipun bersentuhan, melalui asi dan menularkan pada
anaknya. Kecuali dalam beberapa kasus seperti melalui prosedur
transplantasi organ atau ibu hamil yang sedang terinfeksi fase akut dapat
menularkan janinnya.
Parasit ini mampu bertahan beberapa bulan di tanah atau di air, ada
beberapa cara parasit ini masuk kedalam tubuh manusia, yaitu :
1. Mengonsumsi sayuran atau buah-buahan yang tidak dicuci serta
minum air yang terkonaminasi kotoran kucing.
2. Mengonsumsi daging yang mentah atau kurang matang.
3. Menggunakan peralatan yang telah terkontaminasi kotoran kucing
seperti pisau, gunting, dan talenan bekas daging mentah terinfeksi.
4. Meminum susu kambing yang mentah atau produk yang terbuat
darinya.
G. Manifestasi Klinik
1. Kulit bewarna kekuningan
2. Peradangan korion (chrorionitis) atau infeksi dibagian belakang bola
mata dan retina
3. Pembesaran organ hati dan limpa
4. Ruam kulit atau kulit mudah memar
5. Kejang
6. Penumpukan cairan di otak, sehingga kepala menjadi besar
(hidrocepallus)
7. Kepala tampak lebih kecil (mikrocepallus)
8. Gangguan intelektual atau retardasi mental
9. Kehilangan pendengaran
10. Anemia
Toxoplasma Gondii
Hipertermia
J. Pencegahan
Kucing merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
timbulnya toksoplasmosis, karena kucing mengeluarkan berjuta-juta
ookista dalam tinjanya, yang dapat bertahan sampai satu tahun di dalam
tanah yang teduh dan lembab. Untuk mencegah hal ini, maka terjadinya
infeksi pada kucing dapat dicegah, yaitu dengan memberi makanan yang
matang sehingga kucing tidak berburu tikus atau burung. Tetapi ini hanya
dapat digunakan untuk kucing peliharaan. Untuk mencegah terjadinya
K. Penanganan
Obat - obat yang dipakai sampai saat ini hanya membunuh bentuk
takizoid T. Gondii dan tidak membasmi bentuk kistanya, sehingga obat -
obat ini dapat memberantas infeksi akut, tetapi tidak dapat menghilangkan
infeksi menahun, yang dapat menjadi aktif kembali.
L. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesis dan gejala klinis
1) Kulit bewarna kekuningan
2) Peradangan korion (chrorionitis) atau infeksi dibagian belakang
bola mata dan retina
3) Pembesaran organ hati dan limpa
4) Ruam kulit atau kulit mudah memar
5) Kejang
6) Penumpukan cairan di otak, sehingga kepala menjadi besar
(hidrocepallus)
7) Kepala tampak lebih kecil (mikrocepallus)
8) Gangguan intelektual atau retardasi mental
9) Kehilangan pendengaran
b. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
Mata : Cekung, konjungtiva anemis
Bibir : Terlihat pucat
Leher : Terjadi limfadenopati (pembesaran getah bening )
Integumen : Timbul ruam pada kulit, ikterus (kekuningan)
2) Palpasi
Mata : Nyeri
Leher : Sakit tenggorokan
Abdomen : Nyeri
Integumen : Suhu tubuh meningkat
Muskuloskeletal : Nyeri saat digerakan, lemah
Hepar : Hepatomegali (terdapat pembengkakan)
3) Perkusi
Ekstremitas : reflek patella + / +
4) Auskultasi
Bising usus
Nadi
c. Pemeriksaan Fisik Umum
1) Suhu tubuh klien meningkat
2) Terjadi diare dan sakit tenggorokan
3) Mata cekung dan konjungtiva anemis
4) Pembesaran organ hati dan limpa
5) Kulit bewarna kekuningan
1) Tes Serologi
Kombinasi tes serologi sering diperlukan untuk
menentukan infeksi akut atau kronis. IgG muncul dalam 1-2
minggu pertama infeksi dan dapat bertahan bertahun-tahun atau
seumur hidup. Tes aviditas IgG dapat digunakan untuk
membantu melihat infeksi akut atau kronis. Antibodi IgM
muncul segera setelah infeksi dan umumnya menghilang dalam
beberapa bulan. IgA dan IgE terdeteksi pada infeksi akut orang
dewasa dan infeksi kongenital. Pemeriksaan IgG dan IgM
dapat diulang saat jumlah CD4 mendekati 200 /mm3.
Pemeriksaan IgG direkomendasikan pada semua kasus HIV
karena hasil yang positif mengindikasikan pasien memiliki
risiko reaktivasi toxoplasmosis.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada
toxoplasmosis okular antara lain adalah immunoblotting atau
Western Blot (WB), Goldmann-Witmer Coefficient (GWC)
dan PCR.
Kriteria diagnostik untuk toksoplasma kongenital
berdasarkan American Academy of Pediatric antara lain IgG
antitoksoplasma yang persisten selama 12 bulan dari kelahiran
(baku emas), IgG dan IgM yang positif dengan atau tanpa IgA
antitoksoplasma positif, dan IgG positif tanpa IgM dan/atau
IgA antitoksoplasma dengan pemeriksaan serologi yang
mengarahkan pada infeksi akut Ibu saat kehamilan dan gejala
dari toxoplasmosis kongenital.
B. Definisi
Rubella atau di kenal juga dengan nama Campak Jerman adalah penyakit
menular yang di sebabkan oleh Virus Rubella. Virus biasanya menginfeksi tubuh
melalui pernapasan seperti hidung dan tenggorokan. Anak-anak biasanya sembuh
lebih cepat di bandingkan orang dewasa.
Rubella virus adalah virus RNA dari keluarga togavirus ukuran c.60 nm,
struktur ikosahendral, memiliki amplop virus, sensitif terhadap eter pathogen
kausatif rubella. Transmisi: mungkin infeksi tetes. Kultur: pada kultur telur
(korioallantois), di lakukan pertama kali oleh Anderson (Melbourne, 1955).
Serologi: immunitas sepanjang hidup bebas dari cacar air dan gondok. Pada
eksperimen dengan binatang, biasa ditransmisikan ke kera.
Rubella adalah penyakit infeksi akut oleh virus yang di tandai dengan
demam ringan dan bintik dan berkas merah pada seluruh badan mirip dengan
campak. Congenital rubella syndrome terjadi pada kehamilan trimester ke tiga
yang dapat menyebabkan cataract, microphtalmia, microcephaly, mental
retardation. hepatomegaly, glaucoma, kelainan pada katup jantung dan tulang.
Perlu di lakukan diferesial diagnosis dengan measles dan erisepalas. Distribusi
penyakit dan prevalensi penyakit tersebar di seluruh dunia dan bersifat endemis.
Penyakit rubella atau seringkali di sebut campak jerman (campak 3 hari)
adalah infeksi virus akut yang menyebabkan gangguan kesehatan ringan pada
anak-anak, namun cenderung lebih berat pada orang dewasa. 10 – 15% wanita
dewasa rentan terhadap infeksi Rubella. Perjalanan penyakit tidak dipengaruhi
oleh kehamilan dan ibu hamil dapat atau tidak memperlihatkan adanya gejala
penyakit. Derajat penyakit terhadap ibu tidak berdampak terhadap resiko infeksi
janin. Infeksi yang terjadi pada trimester I memberikan dampak besar terhadap
janin. Infeksi Rubella berbahaya bila tejadi pada wanita hamil muda, karena
dapat menyebabkan kelainan pada bayinya. Jika infeksi terjadi pada bulan
pertama kehamilan maka risiko terjadinya kelainan adalah 50%, sedangkan jika
C. Etiologi
Virus yang ditularkan melalui kontak udara maupun kontak badan. Virus
ini bisa menyerang usia anak dan dewasa muda. Pada ibu hamil bisa
mengakibatkan bayi lahir tuli. Penularan virus rubella adalah melalui udara
dengan tempat masuk awal melalui nasofaring dan orofaring. Setelah masuk
akan mengalami masa inkubasi antara 11 sampai 14 hari sampai timbulnya
gejala. Hampir 60 % pasien akan timbul ruam. Penyebaran virus rubella pada
hasil konsepsi terutama secara hematogen. Infeksi kongenital biasanya terdiri
dari 2 bagian : viremia maternal dan viremia fetal. Viremia maternal terjadi saat
replikasi virus dalam sel trofoblas. Kemudian tergantung kemampuan virus untuk
masuk dalam barier bayi-bayi lain, disamping bagi orang dewasa yang rentan dan
berhubungan dengan bayi tersebut.
D. Patofisiologi
Manusia adalah satu-satunya pejamu untuk togavirus RNA yang
menyebabkan rubella. Transmisi terutama melalui penyebaran nasofaring, udara
atau droplet. Pasien bersifat infeksius selama 5-7 hari sebelum dan sampai 2
minggu setelah onsert gejala. Bayi yang terinfeksi secara kongenital dapat tetap
infeksius selama beberapa bulan setelah lahir. Rubella biasanya merupakan
infeksi yang ringan pada anak dan seringkali bersifat subklinis pada orang
dewasa. masa inkubasi berkisar dari 1-21 hari.
F. Pencegahan
Rubella dapat dicegah dengan imunisasi MMR atau MR. Selain memberikan
perlindungan terhadap rubella, vaksin MMR juga dapat mencegah gondongan
dan campak. Sedangkan vaksin MR tidak melindungi dari gondongan. Lebih dari
90% penerima vaksin MMR akan kebal dari serangan rubella.
Imunisasi MMR dianjurkan untuk dilakukan dua kali, yaitu pada usia 15 bulan
dan 5 tahun. Pada orang yang belum pernah mendapat imunisasi MMR, vaksin ini
dapat diberikan kapan saja.
Jika anti-Rubella IgG dan anti-Rubella IgM negatif berarti anda tidak
mempunyai kekebalan terhadap Rubella. Bila anda belum hamil, dokter akan
memberikan vaksin Rubella dan menunda kehamilan selama 3-6 bulan. Bila anda
tidak bisa mendapat vaksin, tidak mau menunda kehamilan atau sudah hamil,
yang dapat dikerjakan adalah mencegah anda terkena Rubella.
G. Penanganan
H. Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermia b.d proses infeksi virus rubella
b. Nyeri akut b.d keterbatasan agen injuri
c. Resiko gangguan hubungan ibu dan janin
d. Resiko infeksi b.d organism purulent
e. Gangguan integritas kulit b.d bercak kemerahan
B. Definisi
CMV adalah virus yang diklasifikasikan dalam keluarga virus
herpes.(http://www.roche.com).
C. Klasisfikasi
CMV dapat mengenai hampir semua organ dan menyebabkan hampir
semua jenis infeksi. Organ yang terkena adalah:
1. CMV nefritis (ginjal).
2. CMV hepatitis (hati).
3. CMV myocarditis (jantung).
4. CMV pneumonitis (paru-paru).
5. CMV retinitis (mata).
6. CMV gastritis (lambung).
7. CMV colitis (usus).
8. CMV encephalitis (otak).
(Nanda, 2008. Nursing Diagnosis: Definition & Classification.
Philadelphia: Nanda International)
D. Faktor Pencetus
Penyebab utama dari TORCH sebagian besar adalah hewan-hewan
yang ada di sekitar kita seperti kucing, ayam, burung, tikus, kambing, sapi,
anjing, babi, dan lainnya yang mengandung virus dan parasit TORCH di
dalam darahnya. Hewan-hewan tersebut bisa sebagai pembawa langsung
TORCH melalui interaksi dengan manusia, dan bisa juga sebagai perantara
(pembawa tak langsung) TORCH melaui kotorannya.
E. Etiologi
Etiologi berdasarkan jenis CMV dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Kongenital: didapat didalam rahim melalui plasenta. Kira-kira 40%
bayi yang lahir dari wanita yang menderita CMV selama kehamilan
juga akan terinfeksi CMV. Bentuk paling berat dari infeksi ini adalah
penyakit inklusi sito megalik.
2. Akut: didapat selama atau setelah kelahiran sampai dewasa. Gejala
mirip dengan mononucleosis( malaise, demam, faringitis,
splenomegali, ruam petekia, gejala pernapasan). Infeksi bukan tanpa
sekuela, terutama pada anak-anak yang masih kecil, dan dapat terjadi
akibat tranfusi.
3. Penyakit sistemik umum: terjadi pada individu yang menderita
imunosupresi, terutama jika mereka telah menjalani transpantasi
organ. Gejala-gejalanya termasuk pneumonitis, hepatitis, dan
leucopenia, yang kadang-kadang fatal. Infeksi sebelumnya tidak
menghasilkan kekebalan dan dapat menyebabkan reaktivasi virus.
(Betz, Cecily L, 2012)
F. Patofisiologi
Sitomegalovirus (CMV) adalah penyebab utama infeksi virus
congenital di amerika utara. Terdapat sejumlah strain CMV yang
berhubungan, virus ini adalah anggota dari ember herpes. CMV agaknya
ditularkan dari orang ke orang melalui kontak langsung dengan cairan atau
jaringan tubuh, termasuk urin, darah, liur, secret servikal, semen dan ASI.
G. Manifestasi Klinik
Pada periode bayi baru lahir, bayi yang terinfeksi sitomegalovirus
biasanya bersifat asimtomatik. Awitan infeksi yang didapat secara
congenital dapat terjadi segera setelah lahir atau sampai berusia 12
minggu.
Tidak ada indicator yang dapat diramalkan, tetapi sering dijumpai
gejala-gejala berikut ini:
1. Petekia dan ekimosis
2. Hepatosplenomegali
3. Ikterus neonatorum
4. Hiperbilirubinemia langsung
5. Mikrosefali dengan kalsifikasi periventrikular
6. Retardasi pertumbuhan intrauterine
7. Prematuritas
8. Ukuran kecil menurut usia kehamilan
Gejala lain dapat terjadi pada bayi baru lahir atau pada anak yang
lebih besar:
1. Purpura
2. Hilang pendengaran
3. Korioretinitis (buta)
4. Demam
5. Pneumonia
6. Takipnea dan dispnea
H. Pathway
I. Komplikasi
Komplkasi yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:
1. Kehilangan pendengaran yang bervariasi
2. IQ rendah
3. Gangguan penglihatan
4. Mikrosefali
5. Gangguan sensorineural
(http://mvzpry.blogspot.com/2009/05/laporan-pendahuluan-infeksi-
sitomegalo.html)
K. Penatalaksanaan
1. Sampai saat ini hanya terdapat penatalaksanaan mengatasi gejala
(misalnya: penatalaksanaan demam, tranfusi untuk anemia, dukungan
pernapasan).
2. Ada bukti bahwa globulin imun-CMV yang diberikan melalui IV
bersama obat gansiklovir dapat mengurangi beratnya infeksi pada
individu dengan system imun yang buruk (mekanisme imunologiknya
kurang/terganggu). Vaksin CMV hidup sedang diuji coba pada pasien
transplantasi ginjal.
L. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
b. Riwayat Kesehatan
Hal-hal yang perlu ditanyakan/yang bias ditemukan:
1) Adanya riwayat tranfusi
2) Adanya riwayat transplantasi organ
3) Ibu pasien penderita infeksi CMV
4) Suami/istri penderita CMV
c. Pemeriksaan Fisik
1) TTV: Suhu (demam), pernapasan (takipnea, dispnea),
tekanan darah, nadi
2) Kulit: Petekia dan ekimosis, lesi berwarna ungu disebabkan
oleh eritripoiesis kulit
3) Penurunan berat badan
2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan NANDA (2012), maka didapatkan diagnose
keperawatan CMV sebagai berikut:
a. Hipertermia b.d. penyakit/trauma
b. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan energi dalam bernapas
c. Resiko tinggi infeksi b.d. penurunan system imun, aspek kronis
penyakit
3. Intervensi
Berdasarkan NANDA (2012), maka didapatkan intervensi
keperawatan CMV sebagai berikut:
Tujuan dan Kriteria
No. Diagnosa Keperawatan Intervensi
Hasil
1. Hipertermi b. d proses Tujuan: Setelah 1. Observaasi suhu
penyakit/trauma dilakukan tindakan tubuh secara rutin
keperawatan selama 2 x 2. Berikan kompres
24 jam demam turun/ hangat/dingin pada
tidak demam. aksila atau lipatan
paha
Kriteria Hasil: 3. Observasi nadi dan
Suhu tubuh dalam RR
batas normal (36˚ 4. Anjurkan klien
– 37,5˚C) untuk meningkatkan
Nadi dan RR intake cairan
dalam batas 5. Anjurkan klien
normal (60 – 100 menggunakan
x/m, 16 – 24 x/m) pakaian yang tipis
dan dapat menyerap
keringat
6. Kolaborasi dalam
pemberian
antipiretik
4. Implementasi
Implementasi adalah suatu perencanaan dimasukkan dalam
tindakan, selama fase implementasi ini merupakan fase kerja aktual
dari proses keperawatan. Rangkaian rencana yang telah disusun harus
diwujudkan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan. Pelaksanaan
dapat dilakukan oleh perawat yang bertugas merawat klien tersebut
atau perawat lain dengan cara didelegasikan pada saat pelaksanaan
kegiatan maka perawat harus menyesuaikan rencana yang telah dibuat
sesuai dengan kondisi klien maka validasi kembali tentang keadaan
klien perlu dilakukan sebelumnya. (Basford, 2006)
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan untuk
mengukur keberhasilan dari rencana perawatan dalam memenuhi
kebutuhan klien. Bila masalah tidak dipecahkan atau timbul masalah
baru, maka perawat harus berusaha untuk mengurangi atau mengatasi
beban masalah dengan meninjau kembali rencana perawatan dengan
menyesuaikan kembali terhadap keadaan masalah yang ada. (Basford,
2006 hal. 24)
B. Definisi
Herpes simplex adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus
herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai
oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan
eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat
berlangsung baik primer maupun rekurens. Herpes simpleks disebut juga
fever blaster, cold score, herpes febrilis, herpes labialis, herpes
progenitalis (genitalis).
Dalam herpes simplek dibedakan menjadi dua tipe berdasarkan
perbedaan imunologis dan klinisnya yaitu
1. Virus herpes simpleks tipe I
C. Etiologi
Penyebab Berdasarkan struktur antigeniknya dikenal 2 tipe virus
herpes simpleks:
1. Virus Herpes Simpleks Tipe I (HSV I)
Penyakit kulit/selaput lendir yang ditimbulkan biasanya disebut
herpes simpleks saja, atau dengan nama lain herpes labialis,
herpesfebrilis. Biasanya penderita terinfeksi virus ini pada usia kanak-
kanak melalui udara dan sebagian kecil melalui kontak langsung
seperti ciuman, sentuhan atau memakai baju/handuk mandi bersama.
Lesi umumnya dijumpai pada tubuh bagian atas termasuk mata dengan
rongga mulut, hidung dan pipi; selain itu, dapat juga dijumpai di
daerah genitalia, yang penularannya lewat koitusoro genital (oral sex).
2. Virus Herpes Simpleks Tipe II (HSV II)
Penyakit ditularkan melalui hubungan seksual, tetapi dapat juga
terjadi tanpa koitus, misalnya dapat terjadi pada dokter gigi dan tenaga
medik. Lokalisasi lesi umumnya adalah bagian tubuh di bawah pusar,
terutama daerah genitalia lesi ekstra-genital dapat pula terjadi akibat
hubungan seksualorogenital.
D. Patofisiologi
Virus herpes simpleks disebarkan melalui kontak langsung antara
virus dengan mukosa atau setiap kerusakan di kulit. Virus herpes simpleks
tidak dapat hidup di luar lingkungan yang lembab dan penyebaran infeksi
melalui cara selain kontak langsung kecil kemungkinannya terjadi. Virus
G. Pemeriksaan Diagnoastik
1. Pemeriksaan serologi (STS) dan pemeriksaan dengan mikroskop
lapang gelap untuk menyampingkan sifilis.
2. Pemeriksaan Laboratorium lain:
H. Penatalaksaan Medis
1. Mencegah infeksi:
a. Penyuluhan
J. Pencegahan
Karena kemungkinan tertular penyakit ini meningkat dengan
jumlah pasangan seksual seseorang, membatasi jumlah pasangan adalah
langkah pertama menuju pencegahan. Untuk menjaga dari penyebaran
herpes, kontak intim harus dihindari ketika luka pada tubuh. Gatal,
terbakar atau kesemutan mungkin terjadi sebelum luka berkembang.
Hubungan seksual harus dihindari selama waktu ini. Herpes bahkan dapat
menyebar ketika tidak ada luka atau gejala. Untuk meminimalkan risiko
K. Komplikasi
Komplikasi yang paling signifikan dari HSV adalah ensefalitis,
meupakan kasus fatal sekitar 60-80%. HSV dapat muncul sebagai penyakit
menular seperti pneumonia, colitis, atau esofagitis pada pasien AIDS.
Infeksi primer atau rekuren selama hamil dapat menimbulkan infeksi
congenital janin dan bayi baru lahir. Komplikasi dapat berupa infeksi lokal
sampai dengan kelainan dan kadang meninggal.
Komplikasi herpes simpleks genitalis dapat berupa perluasan lesi
lokal dan penyebaran virus ke lokasi ekstragenital, susunan saraf pusat dan
bahkan bisa juga terjadi superinfeksi jamur. Pada pria dapat terjadi
impotensia. Infeksi menyeluruh bisa terjadi pada toraks dan ekstremitas,
penyebaran mukokutan pada pasien dengan dermatitis atopik atau
kehamilan
L. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata
Dapat terjadi pada semua orang di semua umur; sering terjadi
pada remaja dandewasa muda, jenis kelamin; dapat terjadi pada
pria dan wanita, pekerjaan: beresiko tinggi pada penjajak seks
komersial
2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermia berhubungan dengan penyakit (infeksi herpes
simpleks genitalis) ditandai dengan suhu tubuh > 37,50C, kulit
kemerahan, kulit teraba hangat
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
imunologis ditandai dengan adanya ulkus superfisial di area
genital.
c. Nyeri akut berhubungan dengan perubahan agen cedera biologis
(herpes simpleks)
d. Risiko infeksi (sekunder) berhubungan dengan pertahanan tubuh
primer tidak adekuat (integritas kulit tidak utuh)
e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik
(gatal dan nyeri pada lesi herpes simpleks) ditandai dengan
mengantuk disiang hari, malaise, lesu, iritabilitas
f. Gangguan body image berhubungan dengan penyakit (krusta
akibat lesi herpes simpleks) ditandai dengan pandangan negatif
tentang tubuh, perubahan actual pada struktur
g. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan ditandai
dengan gelisah, khawatir
h. Defisiensi pengetahuan mengenai proses penyakit, pengobatan, dan
pencegahan kekambuhan infeksi Herpes Simpleks Genitalia
berhubungan dengan kurangnya pajanan informasi ditandai dengan
pengungkapan masalah mengenai ketidaktahuan tentang penyakit,
ketidakakuratan mengikuti perintah pengobatan dan pencegahan
(sering terjadi rekurensi infeksi).
Djuanda, Adhi dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah Brunner &
Suddarth.Volume 2. Edisi 8. Jakarta : EGC
B. Definisi
Radang panggul atau pelvic inflammatory disease (PID) adalah
suatu infeksi yang menjangkiti serviks (leher rahim), uterus (rahim), tuba
falopi (saluran indung telur), dan ovarium (indung telur). Kasus radang
panggul sebagian besar ditemukan pada perempuan berusia 15-24 tahun
yang aktif secara seksual. Selain infertilitaspenyakit radang panggul tidak
segera ditangani dapat menyebabkan nyeri panggul kronis ,dan ektopik.
C. Etiologi
Infeksi menular seksual adalah salah satu penyebab radang
panggul. Bakteri pada infeksi menular seksual,seperti claymidia dan
gonore, adalah contoh bakteri yang biasanya menyebabkan infeksi pada
leher rahim. Bakteri ini dapat menyebar dari vagina hingga ke organ
reproduksi bagian atas. Selain itu, beberapa bakteri yang biasanya hidup
pada vagina juga dapat mengakibatkan radang panggul. Bakteri ini akan
melewati vagina dan menginfeksi organ tubuh lainnya.
Faktor risiko radang panggul berkaitan dengan keguguran,
tindakan aborsi, sering berganti pasangan seksual, berhubungan seksual
tanpa kondom, memiliki riwayat radang panggul dan infeksi menular
seksual sebelumnya, penggunaan alat kontrasepsi IUD (spiral).
F. Penanganan
Menurut Vietha (2009), pada pengobatan gonorea yang perlu
diperhatikan adalah efektivitas. Harga dan sesedikit mungkin efek
toksiknya, pemilihan resimen pengobatan sebaiknya mempertimbangkan
pula tempat infeksi, resistensi galur N. Gonorhoeae terhadap animicrobial
dan kemungkinan infeksi chlamydia trachomatic yang terjadi bersamaan.
Secara epidemiologi pengobatan yang dianjurkan adalah obat dengan dosis
tunggal.
Pengobatan gonore yang paling utama adalah pemberian
antibiotik. Lamanya pengobatan dengan antibiotik tergantung dari tingkat
2. Non Farmakolohi
Memberikan pendidikan kepada pasien dengan menjelaskan
tentang :
a. Bahaya penyakit menular seksual dan komplikasinya
b. Pentingnya mematuhi pengobatan yang diberikan
G. Asuhan Keperwatan
1. Pengkajian
a. Biodata
Nama, Umur, Jenis kelamin, agama, suku, bangsa, pekerjaan,
pendidikan, status perkawinan, alamat, tanggal masuk Rumah Sakit.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama : panas seperti terbakar
2) Riwayat kesehatan sekarang : rasa tidak enak, panas, pedih, nyeri
dll
3) Riwayat kesehatan dahulu : klien pernah mengalami gonore
4) Riwayat kesehatan keluarga : pada keluarga tidak ada riwayat
penyakit gonore
5) Riwayat kesehatan lingkungan : klien tinggal dilingkungan
endemic.
f. Analisa Data
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut b/d agen cidera biologi
b. Intoleransi aktivitas b.d kelamahan ektermitas bagian bawah dan
gerakan yang terbatas
c. Hipertermi b.d proses penyakit yang terjadi
d. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif
3. Intervensi
- Evaluasi tentang
- Berikan analgetik
untuk mengurangi nyeri
- Pastikan perubahan
posisi klien secara
perlahan dan intoleransi
aktivitas
Thermoregulation(0601)
- Suhu tubuh dalam rentang
normal
- Nadi dan respirasi dalam
rentang normal.
- Tidak ada perubahan
warna kulit.
- Sediakan bantuan
sampai klien mampu
secara utuh untuk
melakukan selfcare
http://tentangperawat25.blogspot.com/2013/11/asuhan-keperawataan-pada-pasien-
dengan.html
https://cumienurse.blogspot.com/2016/08/asuhan-keperawatan-pada-pasien-
gonorhea.html
https://www.academia.edu/28996095/Pengertian_Gonore
http://eprints.undip.ac.id/56239/3/Tiffanny_Nur_Shabrina_22010113130138_Lap.
KTI_Bab2.pdf
https://myblogmelliya.blogspot.com/2016/12/asuhan-keperawatan-pada-
gonorhea.html
https://www.academia.edu/8377686/GONORRHEA_A._KonsepDefinisi
A. Pendahuluan
Penyakit radang panggul (PID) adalah infeksi rahim ,saluran tuba
dan organ reproduksi lainnya yang menyebabkan gejala seperti nyeri perut
bawah. Ini merupakan komplikasi serius dari beberapa penyakit menular
seksual (PMS), terutama klamidia dan gonore. PID dapat merusak tuba
dan jaringan di dekat uterus dan ovarium. PIDdapat menyebabkan
kemandulan, kehamilan ektopik, pembentukan abses dan nyeri panggul
kronis.
Penyakit Inflamasi Pelvis atau Pelvic Inflammatory Disease (PID)
salah satu penyakit yang terjadi pada alat reproduksi wanita seperti rahim,
tuba fallopi (salpingitis) dan ovarium (ooforitis). Dan tertinggi pada wanita
muda yang aktif secara seksual, biasanya disebabkan oleh bakteri tetapi
disebabkan oleh virus, jamur, atau parasit. Organisme klamidia dan
gonorea adalah penyebab yang paling mungkin dan kondisi ini dapat
menyebabkan kehamilan ektopik, infertilitas, nyeri pelvis kambuhan.
Kurang lebih 150 wanita meninggal per tahun sehingga cukup
beralasan untuk memperhatikan gangguan medis ini secara lebih serius.
Namun, ada pula kekhawatiran lainnya. Serangan infeksi ini diketahui
sangat meningkatkan resiko seorang wanita untuk menjadi mandul.
PID akan menutupi pembuluh darah, sehingga menyebabkan
sukarnya sperma yang sedang bergerak melakukan kontak dengan sel telur
yang turun. Akibatnya adalah perkiraan yang mengkhawatirkan berikut ini
: setelah satu episode infeksi ini, resiko seorang wanita untuk menjadi
mandul adalah 10%. Setelah infeksi kedua resikonya menjadi dua kali
lipat yaitu 20%. Jika wanita ini mendapatkan infeksi untuk ketiga kalinya,
resikonya akan melambung menjadi 55%. Secara keseluruhan, demikian
Dr. Benrubi memperkirakan, penyakit radang pelvis menyebabkan kurang
lebih antara 125.000 hingga 500.000 kasus baru setiap tahun.
D. Patofisiologi
PID di sebabkan oleh penyebaran mikroorganisme secara asenden
ke traktus genital atas dari vagiana dan serviks. Mekanisme pasti yang
bertanggung jawab atas penyebaran tersebut tidak diketahui, namun
aktifitas seksual mekanis dan pembukaan serviks selama menstruasi
mungkin berpengaruh. Banyak kasus PID timbul dengan 2 tahap :
Tahap Pertama : melibatkan akuisisi dari vagina atau infeksi servikal.
Penyakit menular seksual yang menyebabkan mungkin asimptomatik
Tahap Kedua : Timbul oleh penyebaran asenden langsung mikroorganisme
dari vagina dan serviks
E. Pathway
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : tampak sakit sedang
2) Kesadaran : compos mentis
3) Pemeriksaan per sistem :
a) Sistem kardiovaskular : Nadi klien 78x/menit. TD nya hipotesis
yaitu 110/70 mmHg.
b) Sistem respirasi : klien mengalami takipneu dengan frekuensi
18/menit.
c) Sistem gastro intestinal : penderita tidak mengalami gangguan
pada sistem ini.
e. Analisa Data
3. Intervemsi
https://www.academia.edu/35281859/Makalah_radang_panggul
http://etikdwiunipdu.blogspot.com/2017/04/makalahsistem-reproduksi.html
https://www.alomedika.com/penyakit/obstetrik-dan-ginekologi/penyakit-radang-
panggul/patofisiologi
https://www.alomedika.com/penyakit/obstetrik-dan-ginekologi/penyakit-radang-
panggul
Gloria, M. B., Howard, K. B., Joanne, M. D., & Cheryl, M. W. (2013). Nursing
Interventions Classification (NIC). United States of America: ISBN:978-0-323-
10011-3.
Moorhead, S., Johnson, M., Meridean, L. M., & Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classification (NOC). United States of America: ISBN:978-0-323-
10010-6.