Anda di halaman 1dari 218

BAB I

ABORTUS

A. Pendahuluan
Terdapat baberapa macam kelainan dalam kehamilan, dan yang
paling sering terjadi adalah abortus. Abortus adalah keluarnya janin
sebelum mencapai viabilitas , dimana masa gestasi belum mencapai usia
22 minggu dan beratnya kurang dari 500 gr (ieowollyn, 2002)
Peran perawat dalam penanganan abortus dan mencegah terjadinya
abortus adalah dengan memberikan asuhan keperawatan yang tepat,
asuhan keperawatan yang tepat untuk klien harus dilakukan untuk
meminimalisir terjadinya komplikasi serius yang terjadi seiring dengan
kejadian abortus. Menariknya pembahasan tentang abortus dikarenakan
pemahaman dikalangan masyarakat masih merupakan suatu tindakan
yang masih dipandang sebelah mata. Oleh karena itu, pandangan yang ada
didalam masyarakat tidak boleh sama dengan pandangan yang dimiliki
tenaga kesehatan.

B. Definisi
Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin mencapai
berat 500 gram atau umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Menurut
WHO dan VIGO dikatakan abortus jika usia kehamilan kurang 20-22
minggu . abortus selama kehamilan terjadi 15-20% dengan 80%
diantaranya terjadi pada trimester pertama (<13 minggu) dan sangat
sedikit terjadi pada trimester kedua (Husin, 2013)
Abortus (keguguran) merupakan pengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan yang menurut para ahli ada
sebelum usia 16 minggu dan 28 minggu dan memiliki BB 400-1000gram,
tetapi jika terdapat fetus hidup dibawah 400 gram itu di anggap keajaiban
karena semakin tinggi BB anak waktu lahir makin besar kemungkinan
untuk dapat hidup terus ( Amru sofian,2012)

Modul Keperawatan Maternitas II | 1


Jadi dapat disimpulkan jika Abortus adalah keluarnya janin hasil
konsepsi pada minggu ke 16-22 dan memiliki BB < 500 gram sebelum
janin dapat hidup diluar kandungan yang keluar karena sebab-sebab
tertentu.

C. Etiologi
1. Penyebab secara umum :
a. Penyebab dari segi maternal
1.) Infeksi akut
2.) Virus, misalnya cacar, rubella, hepatitis
3.) Infeksi bakteri, misalnya streptoccus
4.) Parasite, misalnya malaria
b. Infeksi kronis
1.) Sifilis, biasanya menyebabkan abortus pada trimester kedua
2.) Tuberculosis paru aktif
3.) Keracunan, misalnya keracunan tembaga, timah, air raksa dll
4.) Penyakit kronis, misalnya : hipertensi, nephritis, diabetes,
anemia berat, penyakit jantung, toxemia gravidarium
5.) Gangguan fisiologis, misalnya syok, ketakutan, dll
6.) Trauma fisik
c. Penyebab yang bersifat local
1.) Fibroid, inkompetensia local
2.) Radang pelvis kronis, endometrisis
3.) Retroversi kronis
4.) Hubungan seksual yang berlebihan sewaktu hamil, sehingga
menyebabkan hiperemia dan abortus.
2. Penyebab dari segi janin dan ibu
a. Kematian janin akibat kelainan bawaan
b. Mola hidatidosa
c. Penyakit plasenta dan desidua, misalnya inflamasi dan generasi
d. Kelainan ovum

Modul Keperawatan Maternitas II | 2


1.) Ovum patologis
2.) Kelainan letak embrio
3.) Plasenta yang abnormal
e. Kelainan genetalia ibu
1) Anomali kongenital (hipoplasia uteri,uterus bikornis, dll)
2) Kelainan letak dari uterus seperti retrofleksi uteru fiksata
3) Tidak sempurnanya persiapan uterus dalam menanti nidasi dari
ovum yang sudah dibuahi,seperti kurangnya progesteron atau
estrogen, endometritis,mioma submukosa
4) Uterus teralu cepat teregang (kehamilan ganda, mola)
5) Distorsio uterus, misalnya karena terdorong oleh tumor pelvis
f. Ganguan sirkulasi plasenta
g. Penyakit-penyakit ibu
1) Penyakit infeksi yang menyebabkan demam tinggi
pneumonia,tifoid,pielitis,runeola,demam malta,dll
2) Keracunan pb, nikotin, gas racun , alkohor,dll
3) Ibu yang asfiksia seperti pada dekompensasi kordis, penyakit
paru berat, anemia gravis
4) Malnutrisi,avitaminosis, dan gangguan metabolisme,
hipotiroid, kekurangan vitamin A,C atau E, diabetes militus
h. Antagonis rhesus
darah ibu yang melalui plasenta merusak darah fetus,
sehingga menjadi anemia pada fetus yang berakibat meninggalnya
fetus.
i. Perangsangan terhadap ibu yang menyebab kan uterus
berkontraksi. Seperti sangat terkejut, obat-obatan uterotonika,
katakulan laparotomi,dll
j. Terlalu cepatnya korpus luteum menjadi atrofis
k. Penyakit bapak : usia lanjut ,penyakit kronis

Modul Keperawatan Maternitas II | 3


D. Macam-macam Abortus
Ada beberapa penyebab keguguran atau abortus yang jarang
diketahui oleh banyak orang. Degan mengetahui jenisnya, maka kita juga
akan tahu bagaimana cara mengatasinya. Ini dia berbagai jenis keguguran
atau abortus:
1. Keguguran Total atau Abortus Komplet
Abortus komplet adalah fenomena jenis keguguran dimana seluruh
hasil konsepsi telah keluar dari rahim pada kehamilan kurang dari 20
minggu.
2. Abortus Inkomplit
Jenis keguguran inkomplet adalah yang sebagian hasil konsepsi
telah keluar dari rahim dan masih ada yang tertinggal.
3. Abortus Insipiens
Abortus insipiens adalah jensis keguguran yang sedang
mengancam yang ditandai dengan serviks yang telah mendatar,
sedangkan hasil konsepsi masih berada lengkap di dalam rahim.
4. Abortus Imminens
Jenis keguguran tingkat permulaan, terjadi perdarahan per vagina,
sedangkan jalan lahir masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik di
dalam rahim tampak mirip dengan abortus insipiens yang mengancam
jiwa.
5. Missed Abortion
Keguguran yang ditandai dengan embrio atau fetus terlah
meninggal dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil
konsepsi seluruhnya masih dalam kandungan.
6. Abortus Habitualis
Habitualis abortus adalah Keguguran yang terjadi sebanyak tiga
kali berturut turut atau lebih pada satu penderita akibat gangguan yang
terjadi pada sistem reproduksi.
Ada yang memerlukan obat obatan, istirahat atau malah kuretase.
Untuk memeriksa pasien dengan macam-macam abortus, dokter

Modul Keperawatan Maternitas II | 4


biasanya menggunakan bantuan alat Dopler untuk mendeteksi denyut
jantung janin dan atau USG untuk menentukan secara langsung
keadaan janin apakah masih hidup atau sudah meninggal.

E. Patofisiologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan desiduabasalis, diikuti dengan
nekrosis jaringan sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan
dianggap benda asing dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk
mengeluarkan benda asing tersebut. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu,
vili korialis belum menembus desidua secara dalam jadi hasil konsepsi
dapat dikeluarkan seluruhnya. Paada kehamilan 8-14 minggu, penembusan
sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna dan
menimbulkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14 minggu
janin dikeluarkan terlebih dahulu daripada plasenta hasil konsepsi keluar
dalam bentuk seperti kantong kosong amnion atau benda kecil yang tidak
jelas bentuknya (blightes ovum), janin lahir mati, janin masih hidup, mola
krueta, fetus kompresus, maserasi atau fetus papiraseus.

Modul Keperawatan Maternitas II | 5


F. Pathway

Faktor Faktor Pendeknya Radiasi, Kehamila Kehamila


kromosom
G. Pathwayendometr jarak rokok n usia dini n usia tua
(genetik)
H. c -ium kehamilan ,alkohol,obat- (<20th) (>30th)
obatan
Endometrium Rahim belum Belum matur Fungsi organ
belum siap pulih dengan menurun
menerima hasil baik
Sistem transfer plasenta
konsepsi
belum efisien

I.
Kelainan perumbuhan hasil Hipertensi Faktor ibu: anemia berat,infeksi
konsepsi kronik toxoplasmosis, diabetes

Gangguan pembentukan
pembuluh darah pada plasenta

Kelainan plasenta

Pendarahan dalam desidua basalis(plasenta) dan nekrosis jaringan sekitar

Hasil konsepsi sebagian atau seluruhnya terlepas

Uterus berkontraksi Gangguan rasa nyaman:nyeri

Isi rahim keluar Kesehatan,psikososial,ke


hamilan diluar
Berduka Abortus Cemas nikah,masalah sosial
ekonomi,perkosaan

Abortus Abortus Abortus Abortus Abortus provokantus


iminens insipiens inkomplet komplet kriminalis

Hasil konsepsi Hasil konsepsi Pengeluar Semua Pengeluaran hasil


masih di masih di an hasil konsepsi dengan alat atau
dalam uterus dalam uterus sebagian konsepsi obat obatan tertentu
tanpa dilatasi di sertai hasil dikeluar
serviks dilatasi serviks konsepsi kan

Perdarahan pervaginam Resiko tinggi syok


hipovolemik
Defisit volume cairan

Modul Keperawatan Maternitas II | 6


G. Penangan

Penanganan Abortus Sesuai Jenis Keguguran

Untuk menangani pasien keguguran, ada beberapa langkah yang


dibedakan menurut jenis jenis abortus yang dialami, antara lain cara
menangani abortus adalah:

1. Menangani Abortus Komplet


Macam-macam abortus yang satu ini tidak memerlukan penanganan
penanganan khusus, hanya apabila menderita anemia ringan perlu
diberikan tablet besi dan dianjurkan supaya makan makanan yang
mengandung banyak protein, vitamin dan mineral.
2. Menangani Macam-Macam Keguguran: Abortus Inkomplet
Bila disertai dengan syok akibat perdarahan maka pasien diinfus
dan dilanjutkan transfusi darah. Setelah syok teratasi, dilakukan kuretase,
bila perlu pasien dianjurkan untuk rawat inap.
3. Menangani Jenis-Jenis Keguguran: Abortus Insipiens
Biasanya dilakukan tindakan kuretase bila umur kehamilan kurang
dari 12 minggu yang disertai dengan perdarahan.
4. Menangani Abortus Imminens

Istirahat baring, tidur berbaring merupakan unsur penting dalam


pengobatan karena cara ini akan mengurangi rangsangan mekanis dan
menambah aliran darah ke rahim. Ditambahkan obat penenang bila pasien
gelisah.

5. Menangani Missed Abortion


Dilakukan kuretase. Cuma harus hati hati karena terkadang
plasenta melekat erat pada rahim.
Terbukanya jalan lahir akibat abortus dan akibat dari tindakan
kuretase tentu tidak terlepas dari komplikasi. Komplikasi yang sering
terjadi yaitu infeksi, perforasi/robekan/lubang pada dinding rahim. Tapi
bila dikerjakan sesuai prosedur dan pasien cepat tanggap akan keluhan

Modul Keperawatan Maternitas II | 7


yang diderita maka kemungkinan terjadinya komplikasi dapat ditekan
seminimal mungkin.

H. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
a. Biodata
Mengkaji identitas klien dan penanggung jawab yang meliputi : nama ,
umur, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
alamat
b. Keluhan utama
Kaji adanya menstuasi tidak lancer dan adanya perdarahan pervaginam
yang berulang
c. Riwayat kesehatan :
1.) Riwayat kesehatan sekarang
yaitu keluhan seperti saat klien pergi ke Rumah Sakit atau pada
saat pengkajian seperti perdarahan pervaginam diluar siklus haid,
pembesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan
2.) Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh klien misalnya DM,
jantung, hipertensi, masalah gynekologi/urinary, penyakit endokrin.
3.) Riwayat kesehatan keluarga
Yang dapat dikaji melalui genogram dan dari genogram tersebut
dapat diidentifikasikan mengenai penyakit turunan dan penyakit
menular yang terdapat dalam keluarga.
4.) Riwayat kesehatan Reproduksi
Kaji tentang mennorhoe, siklus menstruasi, lamanya, banyaknya,
sifat darah, bau, warna, dan adanya dissmenorrhae serta kaji kapan
menopause terjadi, gejala serta keluhan yang menyertainya.
5.) Riwayat kehamilan, persalinan, nifas
Kaji bagaimana keadaan anak klien mulai dari dalam kndungan
hingga saat ini vagaimana keadaan kesehatan anaknya.

Modul Keperawatan Maternitas II | 8


6.) Riwayat seksual
Kaji mengenai aktifitas seksual klien, jenis kontrasepsi yang
digunakan serta keluhan yang menyertainya
7.) Riwayat pemakaian obat
Kaji riwayat pemakaian obat-obatan kontrasepsi oral, obat digitalis,
dan jenis obat lainnya.
8.) Pola aktivitas sehari-hari
Kaji mengenai nutrisi, cairan dan elektrolit, eliminasi (BAB dan
BAK), istirahat tidur, hygiene, ketergantungan, baik sebelum dan saat
sakit.

d. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
Mengobservasi kulit terhaap warna , perubahan warna, laserasi, lesi
terhadap rainase, pola pernaasan terhadap kedalaman dan kesimetrisan,
bahasa tubuh, pergerakan dan postur, penggunaan ekstremitas, adanya
keterbatasan fisik
2) Palpasi
a) Sentuhan : merasakan suatu pembengkaan, mencatat suhu, derajat
kelembaban dan tekstrur kulit atau menentukan kekuatan kontraksi
uterus.
b) Tekanan : menentukan karakter nadi, mengevaluasi edema ,
memerhatikan posisi janin, atau mencubit kulit untuk mengamati
turgor.
c) Pemeriksaan dalam : menentukan tegangan/tonus otot atau respon
yang abnormal
3) Perkusi
1.) Menggunakan jari : ketuk lutut dan dada dan dengarkan bunyi yang
menunjukkan asa tidaknya cairan, massa atau konsolidas

Modul Keperawatan Maternitas II | 9


2.) Menggunakan palu perkusi : ketuk lutut dan amati ada tidaknya
relek/gerakan pada kaki bawah, memberikan reflex kulit perut apakah
ada kontraksi dinding perut atau tidak.
4) Auskultasi
Mendengarkan di ruang antekubiti untuk tekanan darah, dada untuk
bunyi jantung / paru abdomen untuk bising usus atau denyut jantung janin.

e. Pemeriksaan laboratorium
1) Darah dan urine serta pemeriksaan penunjang : rontgen, USG, biopsy, pap
smear
2) Keluarga berencana :
Kaji mengenai pengetahuan klien tentang KB, apakah klien setuju , apakah
klien menggunakan kontrasepsi, dan menggunakan KB jenis apa.

2. Diagnosa keperawatan
a. Devisit volume cairan b.d perdarahan pervaginam
b. Gangguan rasa nyaman : nyeri b.d kontraksi uterus
c. Cemas b.d kurang pengetahuan tentang abortus
d. Berduka b.d kehilangan
e. Resiko tinggi syok hipovolemik b.d perdarahan pervaginam

3. Intervensi keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI RASIONAL
KRITERIA HASIL
1. Devisit Tujuan : dalam 1. Kaji 1. Pengeluara
volume 1x24 jam tidak kondisi n cairan
cairan b.d terjadi devisit status pervaginal
perdararahan volume cairan, hemodina sebagai
pervaginam seimbang antara mika akibat
intake an output 2. Ukur abortus
baik jumlah pengeluar memiliki

Modul Keperawatan Maternitas II | 10


maupun kualitas. an harian karakteristi
kriteria hasil : tidak 3. Berikan k
ada perdarahan, sejumlah bervariasi
intake dan output cairan 2. Jumlah
dalam rentan pengganti cairan
normal harian ditentukan
4. Evaluasi dari jumlah
status kebutuhan
hemodina harian
mika ditambah
dengan
jumlah
cairan yang
hilang
pervaginal
3. Tranfusi
mungkin
diperlukan
pada
kondisi
perdarahan
massif
4. Penilaian
dapat
dilakukan
secara
harian
melalui
pemeriksaa
n fisik

Modul Keperawatan Maternitas II | 11


2 Gangguan Dalam perawatan 1. Kaji 1. Pengukura
rasa nyaman : 1x24 jam nyeri kondisi n nilai
nyeri b.d klien dapat nyeri ambang
kerusakan berkurang atau yang nyeri dapat
jaringan hilang dialami dilakukan
intrauterin kriteria hasil : klien dengan
1. Klien tidak 2. Terangka skala
meringis n nyeri maupun
kesakitan yang deskripsi
2. Klien diderita 2. Mengingat
menyatakan klien dan kan koping
nyerinya penyebab klien
berkurang nya dalam
3. Kolaboras melakukan
i guidance
pemberia mengatasi
n nyeri
analgetik 3. Mengurang
i angket
nyeri dapat
dilakukan
dengan
pemberian
analgetika
oral
maupun
sistemik
dan
spectrum
luas atau

Modul Keperawatan Maternitas II | 12


spesifik

3 Resiko tinggi Dalam 1x24 jam 1. Monit 1. Untuk


syok perawatan, tidak or memonitor
hipovolemik terjadi syok keada kondisi
b.d hipovolemik an pasien
perdarahan kriteria hasil : umum selama
pervagina 1. Tanda- pasien perawatan
tanda vital 2. Obser Terutama
(nadi,suhu,r vasi saat terjadi
espirasi,TD vital perdarahan
) dalam sign . Perawat
rentang tiap 3 segera
normal jam mengetahu
atau i tanda-
lebih tanda pre-
3. Jelask syok atau
an syok
pada 2. Perawat
pasien perlu terus
dan mengobser
keluar vasi vital
ga sign untuk
tentan memastika
g n tidak
tanda terjadi
perdar persyok
ahan, atau syok
dan 3. Dengan
segera melibatkan
lapork pasien dan

Modul Keperawatan Maternitas II | 13


an keluarga
jika maka
terjadi tanda-
perdar tanda
ahan pendarahan
4. Kolab dapat
orasi segera
pemb diketahui
erian dan
cairan tindakan
intrav yang cepat
ena dan tepat
5. Kaji dapat
tanda- segera
tanda diberikan
dehidr 4. Cairan
asi intravena
diperlukan
untuk
mengatasi
kehilangan
cairan
tubuh
secara
hebat
5. Dehidrasi
merupakan
salah satu
tanda syok
hipovolemi

Modul Keperawatan Maternitas II | 14


Daftar Pustaka

Anonym. [online] diakses pada tanggal 12 september 2019 jam 19.00dapat dilihat
di http://doktersehat.com/macam-macam-abortus-keguguran-penyebabnya/
Aqd, dini. 2012. Asuhan keperawatan abortus. [ONLINE] diakses pada tanggal
12 september 2019 jam 18.30dapat dilihat di
http://pastakyu.wordpress.com/2010/01/21/asuhan-keperawatan-kehilangan-dan-
berduka/,
Huda,amin .2015. aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnose medis
nanda nic noc . revisi jilid 1. Jogjakarta : mediaction jogja
Suhartono, hermanus. Pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan
rujukan. Jakarta :

Modul Keperawatan Maternitas II | 15


BAB II

MOLA HIDATIDOSA

A. Pendahuluan
Upaya kesehatan reproduksi salah satunya adalah menurunkan angka
kesakitan dan kematian ibu hamil dan bersalin. Adapun penyebab
langsung dari kematian ibu di Indonesia adalah trias klasik yaitu
perdarahan, infeksi, toksemia gravidarum. Salah satu dari ketiga faktor
tersebut adalah perdarahan, perdarahan dapat terjadi pada saat kehamilan,
persalinan dan masa nifas. Perdarahan yang terjadi pada awal kehamilan
meliputi abortus, mola hidatidosa dan kehamilan ektopik. Dari kasus
perdarahan tersebut, sebagian besar kasus perdarahan adalah perdarahan
pada awal kehamilan yang dari salah satu perdarahan awal kehamilan
tersebut terdapat kehamilan mola hidatidosa.
Molahidatidosa adalah tumor jinak dari trofoblast dan merupakan
kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stoma villus korialis langka,
vaskularisasi dan edematous, janin biasanya meninggal akan tetapi villus-
villus yang membesar dan edematous itu hidup dan tumbuh terus menerus,
Sebagian dari villi berubah menjadi gelembung-gelembung berisi cairan
jernih. Gelembung itu sebesar butir kacang hijau sampai sebesar buah
anggur. Gelembung ini dapat mengisi seluruh cavum uteri. Karakteristik
mola hidatiosa bentuk komplet dan bentuk parsial, yaitu tidak ada jaringan
embrio dan ada jaringan embrio.
Penyebab pasti terjadinya kehamilan mola hidatidosa belum diketahui
pasti, namun ada beberapa faktor yang memengaruhinya. Jenis pada mola
hidatidosa yaitu Molahidatidosa komplet dan Molahidatidosa parsial. Pada
kehamilan Molahidatidosa jika tidak dilakukan penanganan secara
komprehensif maka masalah kompleks dapat timbul.

Modul Keperawatan Maternitas II | 16


B. Definisi
Mola hidatidosa berasal dari bahasa latin, mola berarti massa dan
hidatidosa berasal dari kata hydats yang berarti tetesan air.
Mola hidatidosa adalah perubahan abnormal dari villi korionik menjadi
sejumlah kista yang menyerupai anggur yang dipenuhi dengan cairan.
Embrio mati dan mola tumbuh dengan cepat, membesarnya uterus dan
menghasilkan sejumlah besar human chorionic gonadotropin (hCG)
(Hamilton, C. Mary, 1995).
Mola hidatidosa adalah chorionic villi (jonjotan/gantungan) yang
tumbuh berganda berupa gelembung-gelembung kecil yang mengandung
banyak cairan sehingga menyerupai buah anggur atau mata ikan. Karena
itu disebut juga hamil anggur atau mata ikan. (Mochtar, 1998).
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar
dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami
perubahan berupa degenerasi hidropik. Secara makroskopik, mola
hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung- gelembung putih,
tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari
beberapa milimeter sampai 1 atau 2 cm. (Prawirohardjo, 2010).
Mola hidatidosa (hamil anggur) adalah suatu massa atau pertumbuhan
di dalam rahim yang terjadi pada awal kehamilan.

Modul Keperawatan Maternitas II | 17


Klasifikasi

Mola hidatidosa terbagi menjadi dua bagian, yaitu:


1. Mola hidatidosa komplit, yaitu kehamilan yang mengalami kelainan
seluruh gen kehamilan dari ayah, umumnya dengan jumlah diploid 46
XX. Tanpa ada jaringan janin terlihat. yaitu tidak terdapat adanya
tanda-tanda embrio, tali pusat, atau membran. Kematian terjadi
sebelum berkembangnya sirkulasi plasenta. Villi korionik berubah
menjadi vesikel hidropik yang jernih yang menggantung bergerombol
pada pedikulus kecil, dan memberi tampilan seperti seikat anggur.
2. Mola hidatidosa sebagian (parsial), yaitu kehamilan yang mengalami
kelainan yaitu kehamilan yang terdiri dari tiga unsur gen (Misal XXY
dengan jumlah 69). Sebagian vili yang biasanya avaskuler terjadi
pembengkakan hidatidosa yang berjalan lambat, sementara villi
lainnya yang vaskular dengan sirkulasi darah fetus plasenta yang masih
berfungsi tidak mengalami perubahan. disertai dengan perubahan
villus dan jaringan janin.

Mola hidatidosa komplit secara keseluruhan merupakan vesikel,


sedangkan pada mola hidatidosa sebagian terdapat janin yang tidak
hidup atau cairan amnion.

C. Etiologi
Penyebab mola hidatidosa belum diketahui secara pasti, namun ada faktor-
faktor penyebabnya adalah :
1. Faktor Ovum
Pembuahan sel telur dimana intinya telah hilang atau tidak aktif
lagi oleh sebuah sel sperma.
2. Imunoselektif dari Trofoblas
Perkembangan mola hidatidosa diperkirakan disebabkan oleh
kesalahan respon imun ibu terhadap invasi oleh trofoblas. Akibatnya

Modul Keperawatan Maternitas II | 18


vili mengalami distensi kaya nutrient. Pembuluh darah primitif di
dalam vilus tidak terbentuk dengan baik sehingga embrio ‘kelaparan’,
mati, dan diabsorpsi, sedangkan trofoblas terus tumbuh dan pada
keadaan tertentu mengadakan invasi kejaringan ibu.
3. Usia
Faktor usia yang dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun dapat terjadi
kehamilan mola. Frekuensi mola hidatidosa pada kehamilan yang
terjadi pada awal atau akhir usia subur relatif tinggi. Namun tidak
dapat dipungkiri bahwa pada usia berapa pun dalam usia subur dapat
terjadi kehamilan mola.
4. Keadaan Sosio-Ekonomi yang Rendah
Dalam masa kehamilan keperluan akan zat-zat gizi meningkat. Hal
ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan
perkembangan janin, dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah
maka untuk memenuhi zat-zat gizi yang diperlukan tubuh kurang
sehingga mengakibatkan gangguan dalam pertumbuhan dan
perkembangan janinnya.
5. Paritas Tinggi
Pada ibu yang berparitas tinggi, cenderung beresiko terjadi
kehamilan mola hidatidosa karena trauma kelahiran atau
penyimpangan transmisi secara genetik yang dapat diidentifikasikan
dengan penggunaan stimulandrulasi seperti klomifen atau menotropiris
(pergonal). Namun juga tidak dapat dipungkiri pada primipara pun
dapat terjadi kehamilan mola hidatidosa.
6. Defisiensi Protein
Protein adalah zat untuk membangun jaringan-jaringan bagian
tubuh sehubungan dengan pertumbuhan janin, pertumbuhan rahim dan
payudara ibu, keperluan akan zat protein pada waktu hamil sangat
meningkat apabila kekurangan protein dalam makanan mengakibatkan
pertumbuhan pada janin tidak sempurna.

Modul Keperawatan Maternitas II | 19


7. Infeksi Virus
Infeksi mikroba dapat mengenai semua orang termasuk wanita
hamil. Masuk atau adanya mikroba dalam tubuh manusia tidak selalu
menimbulkan penyakit. Hal ini sangat tergantung dari jumlah mikroba
yang termasuk virulensinya serta daya tahan tubuh.
8. Riwayat Kehamilan Mola Sebelumnya
Kekambuhan mola hidatidosa dijumpai pada sekitar 1-2% kasus.
Dalam suatu kejadian terhadap 12 penelitian yang total mencangkup
hampir 5000 Kelahiran, frekwensi mola adalah 1,3%.

D. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa.
Kecurigaaan biasanya terjadi pada minggu ke 14 - 16 dimana ukuran
rahim lebih besar dari kehamilan biasa, pembesaran rahim yang terkadang
diikuti perdarahan, dan bercak berwarna merah darah beserta keluarnya
materi seperti anggur pada pakaian dalam.
Tanda dan gejala pada molahidatidosa:
1. Mual dan muntah yang parah yang menyebabkan 10% pasien masuk
RS.
2. Pembesaran rahim yang tidak sesuai dengan usia kehamilan (lebih
besar).
3. Gejala–gejala hipertitoidisme seperti intoleransi, panas, gugup,
penurunan BB yang tidak dapat dijelaskan, tangan gemetar dan
berkeringat, kulit lembab.
4. Gejala-gejala pre-eklampsi seperti pembengkakan pada kaki dan
tungkai, peningkatan tekanan darah, proteinuria (terdapat protein pada
air seni).
5. Amenore dan tanda-tanda kehamilan
6. Perdarahan pervaginam berulang. Darah cenderung berwarna coklat.
Pada keadaan lanjut kadang keluar gelembung mola.

Modul Keperawatan Maternitas II | 20


7. Tidak terabanya bagian janin pada palpasi dan tidak terdengarnya DJJ
sekalipun uterus sudah membesar setinggi pusat atau lebih.
(Mansjoer, Arif, dkk, 2001 : 266)

E. Patofisiologi
Menurut Purwaningsih (2010), patofisiologi mola hidatidosa yaitu
ovum Y telah dibuahi mengalami proses segmentasi sehingga terjadi
blastomer kemudian terjadi pembelahan dan sel telur membelah menjadi 2
buah sel. Masing-masing sel membelah lagi menjadi 4, 8, 16, 32, dan
seterusnya hingga membentuk kelompok sel yang disebut morula. Morula
bergerak ke cavum uteri kurang lebih 3 hari dan didalam morula terdapat
exozeolum. Sel-sel morula terbagi dalam 2 jenis yaitu trofoblas (sel yang
berada disebelah luar yang merupakan dinding sel telur) sel kedua yaitu
bintik benih atau nodus embrionale (sel yang terdapat disebelah dalam
yang akan membentuk bayi). Pada fase ini sel seharusnya mengalami
nidasi tetapi karena adanya proliferasi dari trofoblas atau pembengkakan
vili atau degenerasi hidrifilik dari stroma vili dan hilangnya pembuluh
darah stroma vili maka nidasi tidak terjadi. Trofoblas kadang berproliferasi
ringan kadang keras sehingga saat proliferasi keras uterus menjadi
semakin besar. Selain itu trofoblas juga mengeluarkan hormone HCG yang
akan mengeluarkan rasa mual dan muntah. Pada mola hidatidosa tidak
jarang terjadi perdarahan pervaginam, ini juga dikarenakan proliferasi
trofoblas yang berlebihan. Pengeluaran darah ini kadang disertai
gelembung vilus yang dapat memastikan diagnose mola hidatidosa.

F. Komplikasi
1. Anemia, dapat terjadi karena ibu yang mengalami mola hidatidosa
biasanya mengalami pengeluaran darah secara bertahap.
2. Pre-eklamsia atau Eklamsi, gejala ini dapat timbul sebelum kehamilan
pada penyakit tropoblas.

Modul Keperawatan Maternitas II | 21


3. Koriokarsinoma adalah neoplasma maligna yang dapat terjadi sebagai
konsekuensi dari kehamilan mola. Pertumbuhan neoplasma ini secara
aktif menyerang miometrium, menyebabkan ibu berisiko menderita
metastasis paru, serebral, dan hepatic jika neoplasma tumbuh secara
tanpa terdeteksi.
4. Emboli Paru, pada molahidatidosa kadang – kadang jumlah sel
trofoblas ini demikian banyak sehingga dapat menimbulkan emboli
paru – paru akut yang bisa menyebabkan kematian.
5. Tirotoksikosis, Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan
mola hidatidosa sering meningkat, tetapi jarang menyebabkan gejala
klinis hipertiroidisme. Tiroksin bebas dalam serum meningkat akibat
efek gonadotropin korionik atau varian – variannya yang mirip
tirotropin. Molahidatidosa yang disertai tirotoksikosis mempunyai
prognosis yang lebih buruk baik dari segi kematian maupun
kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita meninggal
karena krisis tiroid.

G. Pemeriksaan Diagnostik
Tes diagnostic pada mola hidatidosa dapat dilakukan dengan beberapa
cara yaitu:
1. Pemeriksaan kadar ß-hCG: Pada mola terdapat peningkatan kadar ß-
hCG darah atau urin.
2. Uji Sonde : Sonde (penduga rahim) dimasukkan pelan-pelan dan hati-
hati ke dalam kanalis servikalis dan kavum uteri. Bila tidak ada
tahanan, sonde diputar setelah ditarik sedikit, bila tetap tidak ada
tahanan, kemungkinan mola (cara Acosta Sison).
3. Foto rontgen abdomen: Tidak terlihat tulang-tulang janin (pada
kehamilan 3-4 bulan).
4. Ultrasonografi: Pada mola akan terlihat badai salju (snow flake
pattern) dan tidak terlihat janin.
5. Foto thoraks: Pada mola ada gambaran emboli udara.

Modul Keperawatan Maternitas II | 22


H. Pathway

Ovum yang sudah atropi, sosial ekonomi yang rendah (kekurangan


gizi), infeksi virus, paritas yang tinggi, usia, imunoselektif dari
trofoblas.

Hasil pembuahan dimana embrionya mati pada umur


3-5 minggu

Pembuluh darah villi tidak berfungsi

Penimbunan cairan di dalam jaringan chorialis

Perdarahan yang terus menerus

Pra-kuretase Kuretase

Psikologis
Fisik
Perdarahan

Merasa cemas
Perlukaan jalan lahir
Kehilanga cairan

Ansietas
Nyeri akut
Resiko infeksi
Kekurangan volume cairan

Modul Keperawatan Maternitas II | 23


I. Penanganan
Beberapa penanganan khusus yang dilakukan pada pasien dengan
mola hidatidosa, yaitu:
1. Segera lakukan evakuasi jaringan mola dan sementara proses evakuasi
berlangsung berikan infus 10 IU oksitosin dalam 500 ml NaCl atau RL
dengan kecepatan 40-60 tetes per menit (sebagai tindakan preventif
terhadap perdarahan hebat dan efektifitas kontraksi terhadap
pengosongan uterus secara tepat).
2. Anemia sedang cukup diberikan Sulfas Ferosus 600 mg/hari, untuk
anemia berat lakukan transfusi.
3. Pengosongan dengan Aspirasi Vakum lebih aman dari kuretase tajam.
Bila sumber vakum adalah tabung manual, siapkan peralatan AVM
minimal 3 set agar dapat digunakan secara bergantian hingga
pengosongan kavum uteri selesai.
4. Kadar hCG diatas 100.000 IU/L praevakuasi menunjukkan masih
terdapat trofoblast aktif (diluar uterus atau invasif), berikan kemoterapi
MTX dan pantau beta-hCG serta besar uterus secara klinis dan USG
tiap 2 minggu. Selama pemantauan, pasien dianjurkan untuk
menggunakan kontrasepsi hormonal (apabila masih ingin anak) atau
tubektomi apabila ingin menghentikan fertilisasi.
5. Kenali dan tangani komplikasi seperti tirotoksikasi atau krisis tiroid
baik sebelum, selama dan setelah prosedur evakuasi.

J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
1) Nama jelas dan lengkap, agar tidak keliru dalam memberikan
penanganan.
2) Umur, yang ideal (usia reproduksi sehat) adalah umur 20-35
tahun, dengan resiko yang makin meningkat bila usia dibawah
20 tahun yaitu alat alat reproduksi belum matang, mental dan

Modul Keperawatan Maternitas II | 24


psikisnya belum siap, sedangkan usia diatas 35 tahun rentan
sekali untuk terjadinya perdarahan dalm masa nifas
3) Agama pasien untuk mengetahui keyakinan pasien tersebut
untuk membimbing atau mengarahkan pasien dalam berdoa.
4) Suku budaya, berpengaruh pada adat istiadat atau kebiasaan
sehari-hari.
5) Pendidikan, berpengaruh dalam tindakan keperawatan dan
untuk mengetahui sejauh mana tingkat penegtahuannya,
sehingga perawat dapat memberikan konseling sesuai dengan
pendidikannya.
6) Pekerjaan, untuk mengetahui dan mengukur tingkat sosial
ekonominya, karena ini berpengaruh juga terhadap gizi klien
tersebut.
7) Alamat, gambaran tentang lingkungan tempat tinggal klien
apakah dekat atau jauh dari pelayanan kesehatan khususnya
dalam pemeriksaan kehamilan.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama: Kaji adanya menstruasi tidak lancar dan
adanya perdarahan pervaginam berulang.
2) Riwayat kesehatan sekarang: keluhan sampai saat pengkajian
seperti perdarahan pervaginam di luar siklus haid, pembesaran
uterus lebih besar dari usia kehamilan.
3) Riwayat kesehatan masa lalu: kaji riwayat kehamilan mola
hidatidosa sebelumnya.
4) Riwayat pembedahan: Kaji adanya pembedahan yang pernah
dialami oleh klien, jenis pembedahan , kapan , oleh siapa dan di
mana tindakan tersebut berlangsung.
5) Riwayat kesehatan keluarga: Identifikasi mengenai penyakit
turunan dan penyakit menular yang terdapat dalam keluarga.

Modul Keperawatan Maternitas II | 25


c. Riwayat Obstetri dan Genekologi
1) Riwayat menstruasi: Kaji tentang mennorhoe, siklus
menstruasi, lamanya, banyaknya, sifat darah, bau, warna dan
adanya dismenore serta kaji gejala serta keluahan yang
menyertainya.
2) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu: berapakali
ibu hamil, apakah pernah abortus, kuretase, jumlah anak, cara
persalinan yang lalu, penolong persalinan, keadaan nifas yang
lalu.
3) Riwayat kontrasepsi: kaji jenis kontrasepsi yang digunakan.
d. Pola Aktivitas Sehari-hari
Kaji mengenai nutrisi (status gizi), cairan dan elektrolit
(adanya mual muntah), eliminasi (BAB dan BAK), istirahat tidur,
hygiene, ketergantungan, baik sebelum dan saat sakit.
e. Pemeriksaan Umum
1) Keadaan umum: Penilaian keadaan umum klien (biasanya klien
nampak lemas)
2) Kesadaran: apakah kompos mentis, apatis, latergi, somnolen,
sopor atau koma
3) Tinggi badan dan berat badan sebagai penilaian keadaan gizi
pasien apakah normal, kurang dan lebih.
4) Tanda-tanda vital: Tekanan darah, nadi, suhu, respirasi,
5) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan cara:
a) Inspeksi: Mengobservasi kulit terhadap warna, perubahan
warna, laserasi, lesi terhadap drainase, pola pernafasan
terhadap kedalaman dan kesimetrisan, bahasa tubuh,
pergerakan dan postur, penggunaan ekstremitas, adanya
keterbatasan fisik, dan seterusnya.
b) Palpasi: Merasakan suatu edema, mengevaluasi edema,
menentukan karakter nadi, derajat kelembaban, mencubit

Modul Keperawatan Maternitas II | 26


kulit untuk mengamati turgor dan tekstur kulit, menentukan
tegangan/tonus otot, menentukan kekuatan kontraksi uterus
atau respon nyeri yang abnormal, menentukan posisi janin.
c) Perkusi: Ketuk menggunakan jari dengarkan bunyi yang
menunjukkan ada tidaknya cairan, massa atau konsolidasi,
memeriksa refleks kulit perut apakah ada kontraksi dinding
perut atau tidak
d) Auskultasi: Mendengarkan untuk untuk bunyi jantung/paru,
bising usus atau denyut jantung janin.

f. Pemeriksaan Penunjang
Didapat dari hasil pemeriksaan dari:
1) Pemeriksaan laboratorium: Kadar β-hCG meningkat
(>100.000 IU/L)
2) Foto Rontgen abdomen: Tidak terlihat tulang – tulang janin
3) USG: Tidak terlihat janin

g. Analisa Data
Data Etiologi Masalah
Batasan karakteristik: Kehamilan mola
o Gelisah hidatidosa
o Mengekspresikan
kekhawatiran Perdarahan yang terus
menerus

Ansietas
Pra-kuretase

Psikologis

Merasa cemas

Modul Keperawatan Maternitas II | 27


Ansietas

Batasan karakteristik: Kehamilan mola


o Kelemahan hidatidosa
o Peningkatan
frekuensi nadi Perdarahan yang terus
o Penurunan menerus Kekurangan volume
tekanan darah cairan
o Penurunan turgor Kekurangan cairan
kulit
Kekurangan volume
cairan

Batasan karakteristik: Kehamilan mola


o Ekpresi wajah hidatidosa
nyeri
o Keluhan intensitas Perdarahan yang terus
menggunakan menerus
standar skala
nyeri Kuretase
o Megekspresikan
Nyeri akut
perilaku nyeri Fisik

Perlukan jalan lahir

Nyeri akut

Batasan karakteristik: Kehamilan mola Resiko infeksi

Modul Keperawatan Maternitas II | 28


o Gangguan hidatidosa
integritas jaringan
(prosedur invasif)
Perdarahan yang terus
menerus

Kuretase

Fisik

Perlukan jalan lahir

Resiko infeksi

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (prosedur
invasif) akibat kuretase
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif ditandai dengan perdarahan pervaginam
c. Ansietas berhubungan dengan ancaman status kesehatan terkini
akibat pra-kuretase.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas jaringan
(perlukaan jalan lahir).

Modul Keperawatan Maternitas II | 29


3. Perencanaan Keperawatan
No. Diagnosa NOC: Tujuan NIC: Intervensi Rasional
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Lakukan 1. Mengetahui
selama … masalah nyeri akut dapat teratasi. pengkajian nyeri intensitas, skala
Dengan kriteria hasil: secara nyeri.
Indikator Awal Target komprehensif.
1. Kontrol nyeri: 2. Tentukan akibat 2. Mengetahui
Nyeri akut b.d o Menggunakan dari pengalaman gangguan aktivitas
agen cedera tindakan nyeri terhadap yang disebabkan
fisik (prosedur pengurangan kulitas hidup oleh nyeri.
1. invasif) akibat nyeri tanpa pasien.
kuretase analagetik. 3. Pilih dan 3. Meminimalkan
o Melaporkan implementasika nyeri .
perubahan n tinadakan yag
terhadap gejala beragam untuk
nyeri. menurunkan
2. Tingkat nyeri: nyeri sesuai
o Nyeri yang kebutuhan.

Modul Keperawatan Maternitas II | 30


dilaporkan 4. Ajarkan 4. Meminimalkan
o Ekspresi nyeri penggunaan nyeri
wajah teknik non-
farmakologi
(relaksasi napas
dalam).
5. Dorong pasien 5. Pasien
menggunakan menggunaan obat
obat-obatan yang sesuai.
pereda nyeri.
6. Dukung 6. Meminimalkan
istirahat/tidur nyeri.
yang adekuat
untuk
menurunkan
nyeri.

Modul Keperawatan Maternitas II | 31


Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Identifikasi 1. Menegtahui
selama … masalah kekurangan volume penyebab penyebab perdarahan.
cairan dapat teratasi. Dengan kriteria hasil: perdarahan.
Indikator Awal Target 2. Monitor pasien 2. Mencegah
3. Keseimbangan akan perdarahan perdarahan lebih
cairan: secara ketat. parah.
Kekurangan
o Tekanan darah 3. Monitor 3. Mencegah
volume cairan
o Denyut nadi kecenderungan penurunan tekanan
b.d kehilangan
radial dalam tekanan darah.
cairan aktif
2. o Turgor kulit. darah.
ditandai dengan
4. Monitor status 4. Intake & output
perdarahan
cairan (intake & sesuai.
pervaginam
output).
5. Atur ketersediaan 5. Persiapan untuk
produk darah taransfusi.
untuk transfusi.
6. Beri produk- 6. Mengganti darah
produk darah yang keluar akibat
dengan tepat. perdarahan.

Modul Keperawatan Maternitas II | 32


3. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Gunakan 1. Meningkatan
selama … masalah ansietas dapat teratasi. pendekatan yang kepercayaan klien.
Dengan kriteria hasil: tenang dan
Indikator Awal Target meyakinkan.
1. Tingkat kecemasan: 2. Jelaskan semua 2. Psien menjadi paham
o Perasaan gelisah prosedur yang dan kecemasan
o Wajah tegang. akan dilakukan. berkurang.
Ansietas b.d 3. Berikan informasi 3. Mengurangi
ancaman status factual terkait kecemasan.
kesehatan diagnosis,
terkini akibat perawatan, dan
pra-kuretase prognosis.
4. Dorong keluatga 4. Keluarga dapat
untuk memberikan
mendampingi kenyamanan pada
klien. pasien.
5. Lakukan usapan 5.Mengurangi rasa
pada punggung cemas.
dengan cara yang

Modul Keperawatan Maternitas II | 33


tepat..
6. Ciptakan atmosfer 6. Meningkatkan
rasa aman untuk relaksasi.
meningkatkan
kepercayaan.
7. Instruksikan klien 7. Mengurangi rasa
untuk cemas.
menggunakan
teknik relaksasi.
4. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor adanya 1. Mencegah adanya
b.d gangguan selama … masalah resiko infeksi dapat tanda dan gejala infeksi.
integritas teratasi. Dengan kriteria hasil: infeksi.
jaringan Indikator Awal Target 2. Periksa kondisi 2. Mengetahui kedaan
(perlukaan 1. Kontrol resiko: sayatan bedah luka.
jalan lahir). o Menerapkan atau luka.
strategi yang 3. Tingkatkan 3. Nutrisi yang baik
efektif dalam asupan nutrisi mempercepat proses
mengontrol yang cukup. penyembuhan luka.
resiko. 4. Instruksikan 4. Mencegah infeksi oleh

Modul Keperawatan Maternitas II | 34


o Mengenali status pasien untuk bakteri.
kesehatan meminum
o Memonitor antibiotik yang
perubahan status diresepkan.
kesehatan.
2. Status imunitas:
o Integritas kulit.
o Skrimimg untuk
infeksi saat ini.

Modul Keperawatan Maternitas II | 35


Daftar Pustaka

Bulechek, Gloria M, dkk. 2013. Nursing Intervention Classification. Edisi VI.


Nurjanah, Intan S, Roxana Devi, Editor. Yogyakarta: Moco Media

Hamilton, C. Mary. 1995. Dasar-dasar Keperawatan Maternitas. Edisi 6. Jakarta:


EGC

Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius
Mochtar, Rustam, 1998. Sinopsis Obstetri. Jilid I. Jakarta: EGC
Moorhead, Sue, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification. Edisi V. nurjanah,
Intan S, Roxana Devi, Editor. Yogyakarta: Moco Media

Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat. Jakarta: PT. Bina


Pustaka

T. Heather Herdman, Shigami Kamitsuri, ed. 2015. Diagnosis Keperawatan:


Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC

Modul Keperawatan Maternitas II | 36


BAB III
KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU (KET)
A. Pendahuluan
Kehamilan secara normal adalah berada pada kavum uteri.
Sedangkan kehamilan ektopik adalah yang terjadi diluar tempat tersebut.
Kehamilan ektopik terjadi ketika penanaman blastosit berlangsung dimana
pun, kecuali diendpmetrium yang melapisi rongga uterus. Tempat yang
mungkin terjadinya kehamilan ektopik adalah serviks, tuba falopi, dan
ovarium.
Insiden kehamilan ektopik terganggu semakin meningkat pada
semua wanita terutama pada mereka yang berusia lebih dari 30 tahun.
Selain itu adanya kecenderungan pada kalangan wanita muda untuk
menunda kehamilan sampai usia yang cukup lanjut sehingga angka
kehamilan ektopik semankin meningkat.
Sebagian besar kehamilan ektopik terganggu berlokasi dituba,
terutama di ampula dana istimus. Jarang terjadi pada bagian ovarium,
rongga abdomen, maupun uterus. Biasanya kehamilan ekktopik terjadi
karena beberapa keadaan seperti radang paggul, pemakaian antibiotika
pada penyakit radang panggul, pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim
atau IUD, riwayat kehamilan ektopik sebelumya, infertilitas, kontrasepsi
yang memakai progestin serta tindakan oprasi.

B. Definisi
Kehamilan ektopik adalah suatu pertumbuhan sel telur yang telah
dibuahi tetapi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri dan
akibatnya tumbuh diluar rongga rahim. Bila kemudian tempat nidasi
tersebut tidak dapat menyesuaikan diri dengan besarnya buaah kehamilan,
akan terjadi rupture dan menjadi kehamilan ektopik terganggu. (ilmu
kebidanan sarwono).

Modul Keperawatan Maternitas II | 37


Kehamilan ektopik yaitu kehamilan dimana tempat implantasi
blaktosit diarea manapun selain endometrium. Lokasi implanasi biasanya
terletak pada bagian distal tuba falopi.(Geri & Carole,2009).
Kehamilan ektopik terganggu adalah kehamilan ektopik yang
terganggu, dapat terjadi abortus atau pecah dan berbahaya bagi wanita
tersebut.
Jadi kehamilan ektopik terganggu adalah kehamilan yang
implantasinya berada diluar endometrium yang beresiko pecah atau pun
abortus sehingga membahayakan kepada sang ibu.
Menurut (Amru Sofian) titus klasifikasi pembagian tempat terjadinya
kehamilan ektopik adalah:
1. Kehamilan Tuba
a) Intertisial
b) IsthmusAmpula
c) Fimbrial
2. Kehamilan ovarial
3. Kehamilan abdominal
a) Primer
b) Sekunder
4. Kehamilan tubo-overial
5. Kehamilan intralinggamenter
6. Kehamilan servikal
7. Kehamilan tanduk rahim rudimenter

C. Etiologi
Penyebab kehamilan ektopik ada yang diketahui dan ada pula yang
belum diketahui. Ada beberapa penyebab kehamilan ektopik antara lain:
1. Faktor uterus
a. Tumor rahim yang menekan tuba
b. Uterus hipopiastis
2. Faktor tuba

Modul Keperawatan Maternitas II | 38


a. Penyempitan lumen tuba oleh karena infeksi endosalfing
b. Tuba sempit, panjang dan berlekuk- lekuk
c. Gangguan fungsi rambut getar(silia) tuba
d. Operasi dan sterilisasi tuba yang tidak sempurna
e. Endometriosis tuba
f. Divertikel tuba dankelainan konginetal lainnya
g. Perlekatan pritubal dan lekukan tuba
h. Tumor lain menekan tuba
i. Lumen kembar dan sempit
3. Faktor ovum
a. Migrasi eksterna dari ovum
b. Perlekatan membrane granulose
c. Rapid cell devision
d. Migrasi internal ovum
4. Faktor hormonal
Pemakaian pil KB yang hanya mengandung progesterondapat
mengakibatkan gerakan tuba melambat
5. Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar
maka zigot akan tersendat dalam perjalanan pada sat melalui tuba, dan
tumbuh disaluran tuba.
6. Faktor lain
a. Pemakaian IUD terjadi radang
b. Faktor umur
c. Faktor perokok

D. Manifestasi Klinik
Gambaran klinik dari kehamilan ektopik terganggu tergantung
pada lokasinya. Tanda dan gejalanya sangat bervariasi tergantung pada
rupture tidaknya kehamilan tersebut.
Adapun gejala dan hasil pemeriksaan labolatorium antara lain :

Modul Keperawatan Maternitas II | 39


1. Amenore
2. Gejala kehamilan muda
3. Nyeri perut bagian bawah pada rupture tuba nyeri tiba-tiba dan hebat,
menyebabkan penderita pingsan sampai shock. Pada abortus tuba nyeri
mula-mula pada satu sisi, menyebar ke tempat lain. Bila darah sampai
diafragma dapat menyeababkan nyeri bahu dan bila terjadi hematokel
retrouterina dapat terjadi nyeri defekasi.
4. Pendarahan pervaginam warna coklat
5. Pada pemeriksaan vagina terdapat nyeri goyang bila serviks digerakan,
nyeri perabaan dan kavum douglasi menonjol karena da bekuan
darah.(Mansjoer A,2000). Gejala lain antara lain :
a. Syock hipovolemia
b. Nyeri bahu dan leher
c. Nyeri pada palpasi : perut biasanya tegang dan agak kembung
d. Nyeri pada toucher
e. Pembesaran uterus
f. Tumor dalam rongga panggul
g. Gangguan berkemih
h. Perubahan darah

E. Patofisiologi
Pada kehamilan normal, proses pembuahan(pertemuan sel telur
dengan sperma) terjadi pada tuba, kemudian sel telur yang telah dibuahi
dpgerakan dan berimplantasi pada endometrium rongga rahim. Kehamilan
ektopik yang dapat disebabkan antara lain faktor dalam tuba dan diluar
tuba, sehingga hasil pembuahan terhambat atau tidak bisa masuk ke dalam
rongga rahim, sehingga sel telur yang telah dibuahi tumbuh dan
berimplantasi (menempel) dibeberapa tempat pada organ reproduksi
wanita selain rongga rahim, anatra lain di tuba falopi (saluran telur),
kanalis servikalis (leher rahim), ovarium ( indung telur) dan rongga perut.
Dengan yang terbanyak biasanya di tuba falopi.

Modul Keperawatan Maternitas II | 40


F. Pathway

Faktor predisposisi Proses pembuahan Terjadi


kehamilan ektopik
keterlambatan
-faktor tuba menstruasi haid
Tumbuh disaluran tuba
-faktor uterus
Hasil konsepsi mati
-faktor ovum dini dan reabsorpsi

-faktor hormonal Ruptur dinding tuba


spontan
Trauma ringan koetus
Abortus & pemeriksaan vaginal ansietas
kedalamlumen tuba

Pendarahan karena Terjadi pendarahan operasi


pembukaan
pembuluh darah oleh
vilikuliaris
Resiko
syok(hipovolemi)
Pelepasan mudqoh

Tuba membesar & Mengalir kerongga


Pelepasan tidak kebiruan perut melalui ostium
sempurna tuba

nyeri
Pendarahan terus
Darah berkumpul
belangsung
dikavum douglas
membentuk hematokel
retroterina
Kekurangan volume
cairan resiko infeksi

Modul Keperawatan Maternitas II | 41


G. Pemeriksaan Penunjang
1. olatorium : kadar hemoglobin, leukosit, tes kehamilan bila baru
terganggu
2. atasi kuratase
3. dosentesis
4. rasonografi berguna pada 5-10% kasus bila ditemukan kantong gestasi
diluar uterus
5. aroskopi atau lapratomi sebagai pendekatan diagnosa akhir.

H. Penanganan
Penanganan bedah dapat dilakukan pada pasien-pasien kehamilan
ektopik yang belum terganggu maupun yang telah terganggu. Tentu saja
pada kehamilan ektopik terganggu, pembdeahan harus dilakukan secepat
mungkin. Pada dasarnya ada dua macam pembedahan untuk menterminasi
kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, dimana integritas tuba
dipertahankan, dan pembedahan radikal dimana salpingektomi dilakukan.
Pembedahan konservatif mencakup dua teknik yang kita kenal
sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam
pembedahan diatas dapat dilakukan melalui laparotom maupun
laparoskopi. Namun bila pasien jatuh kedalam syok atau tidak stabil, maka
ada tempat bagi pembedahan per laparoskopi.

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesis dan gejala klinis
1) Riwayat terlambat haid
2) Gejala dan tanda kehamilan muda
3) Ada atau tidak pendarahan vervaginam
4) Terdapat amenore
5) Ada nyeri mendadak disertai nyeri bahu dan seluruh abdomen

Modul Keperawatan Maternitas II | 42


b. Pemeriksaan fisik
Inspeksi
1) Mulut : Bibir pucat
2) Payudara : Hyperpigmentasi, hivervaskularisasi
3) Abdomen : Terdapat pembesaran abdomen
4) Genitalia : Terdapat pendarahan pervaginam
5) Ekstremitas : Dingin
Palpasi
1) Abdomen
Uterus terasa lembek, TFU lebih kecil dari UK, nyeri tekan, perut
teraba tegang.
2) Genitalia
Nyeri goyang persio, kavum douglas menonjol
Auskultasi
Abdomen : Bising usus(+), DJJ(-)
Perkusi
Ekstremitas : Refleks patela(+/+)
c. Pemeriksaan fisik umum
1) Pasien tampak anemis dan sakit
2) Daerah ujung ekstremitas dingin
3) Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi,pucat,
nyeri tekan dinding abdomen
4) Pemeriksaan nadi meningkat, tekanan darah menurun sampai
syok
5) Pemeriksaan abdomen perut kembung.
d. Pemeriksaan khusus
1) Nyeri goyang pada pemeriksaan serviks
2) Kavum douglas menonjol dan nyeri
3) Mungkin terasa tumor disamping uteri
4) Pada hematokel dan tumor sulit dibedakan

Modul Keperawatan Maternitas II | 43


5) Pemeriksaan ginekologis : serviks terasa lunak, nyeri tekan,
nyeri uterus kanan kiri
2. Diagnosa
a. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif ditandai
dengan pendarahan
b. Resiko syok
c. Resiko infeksi
d. Nyeri akut b.d kemajuan kehamilan tuba
e. Ansietas b.d prosedur tindakan operasi yang akan dilakukan

Modul Keperawatan Maternitas II | 44


Daftar Pustaka

Manjosjoer arif, dkk. 2000. Kapita Slekta Kedokteran. Edisi III, jilid I. Media
Aesculapius
Nurarif A, Kusuma H.2015.APLIKASI ASUHAN KEPERAWATAN
BERDASARKAN DIAGNOSA MEDIS & NANDA NIC-NOC. Edisi revisi jilid
3. MediAction

Modul Keperawatan Maternitas II | 45


BAB IV
PLASENTA PREVIA
A. Pendahuluan
Plasenta previa adalah plasenta yang menutupi ostium uteri
internum baik sepenuhnya atau sebagian atau yang meluas cukup dekat
dengan leher rahim yang menyebabkan pendarahan saat serviks berdilatasi
(Hull et al., 2014). Plasenta previa merupakan salah satu penyebab
perdarahan antepartum. Perdarahan antepartum adalah perdarahan
pervaginam yang terdai pada kehamilan diatas 28 minggu (Manuaba,
2014). Perdarahan antepartum merupakan salah satu dari kasus gawat
darurat yang kejadiannya berkisar 3-5% dari seluruh persalinan.
Penyebabperdarahan antepartum yang paling umum adalah plasenta previa
(31%), solusioplasenta (22%), dan penyebab lainnya (perdarahan sinus
marginal, vasa previa, servisitis, trauma genital dan infeksi) (Athanasias et
al., 2011).
Komplikasi yang diakibatkan oleh perdarahan antepartum adalah
maternal shock, fetal hypoxia, peningkatan risiko kelahiran prematur, dan
kematian janin mendadak. Hal ini menyebabkan perdarahan antepartum
memiliki risiko yang tinggi, bahkan juga untuk janin (Calleja et al, 2006).
Selain itu, plasenta previa juga berhubungan dengan kematian neonatal
yang meningkat tiga kali lipat akibat prematuritas (Sekiguchi et al., 2013).
Prevalensi kejadian plasenta previa di dunia diperkirakan sekitar 0.52%.
Prevalensi plasenta previa tertinggi terdapat wilayah Asia yaitu
sekitar 1,22% sedangkan untuk wilayah Eropa lebih rendah yaitu 0,36%.
Amerika Utara 0,29%dan Sub-Sahara Afrika 0,27% (Cresswell et al.,
2013)
Hasil penelitian Yang et al. tahun 2008 menunjukkan sekitar
0,33% ibu hamil ras kulit putih mengalami plasenta previa, sedangkan
pada ibu hamil ras kulit hitamsekitar 0,30% yang mengalami plesenta
previa. Frekuensi plasenta previa di Cina (0,56%), Jepang (0,51%),

Modul Keperawatan Maternitas II | 46


Filipina (0,76%), India (0,45%), Korea (0,59%), Vietnam(0,44%) dan
Asia lainnya atau Kepulauan Pasifik (0,44%) (Yang et al., 2008).
Prevalensi plasenta previa di Indonesia pada tahun 2005 adalah
2,77% dan 0,85% diantaranya meninggal (Kemenkes RI, 2007). Angka
kejadian plasenta previa di Sumatra Barat pada tahun 2010 berjumlah 106
berdasarkan data sistem informasi rumah sakit (Handayani, 2013).
Penelitian Rambey (2008) di RSUP Dr M. Djamil Padang, pada tahun
2005-2006 ditemukan 2,53% kasus plasenta previa dari seluruh persalinan
(Rambey, 2008).
Plasenta previa disebabkan oleh implantasi blastokista yang
terletak rendah dalam rongga rahim. Faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya plasenta previaialah peningkatan paritas ibu, meningkatnya usia
ibu, perbesaran ukuran plasentaakibat kehamilan ganda, kerusakan pada
endometrium seperti dilatasi sebelumnya dan tindakan kuretase, riwayat
operasi seksio sesarea sebelumnya, adanya bekas luka pada rahim dan
miomektomi atau endometritis, riwayat plasenta previa, dan kebiasaan
merokok (Giordano et al., 2010).
Paritas menurut Kamus Kedokteran Dorland (2012) adalah sebuah
istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan seorang wanita yang
pernah melahirkan keturunan yang mampu hidup tanpa memandang anak
tersebut hidup saat lahir atau tidak. Grandemultipara dilaporkan memiliki
risiko 5% untuk plasenta previa dibandingkan nullipara yang memiliki
risiko 0,2% untuk (Francois dan Foley et al.,2012). Berdasarkan penelitian
Abdat (2010) di Rumah Sakit Dr. MoewardiSurakarta didapatkan hasil
bahwa besar peluang terjadinya plasenta previa pada multiparitas sebesar
2,53 kali dibandingkan dengan primiparitas.
Plasenta previa juga secara signifikan berhubungan dengan adanya
jaringan parut uterus dan perlukaan pada endometrium seperti yang terjadi
akibat kuretasedan terutama adanya riwayat operasi caesar sebelumnya
(Oyelese dam Smulian, 2006). Kejadian plasenta previa pada kehamilan
anak kedua dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya adalah sekitar

Modul Keperawatan Maternitas II | 47


0,87% (Gurol et al, 2011). Penelitian Hartono et al. (2013) risiko untuk
plasenta previa dengan riwayat seksio sesarea yaitu sebesar 1,35 kali
dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat seksio sesarea,
sedangkan penelitian Trianingsih et al. (2015) plasenta previa dengan
riwayat ≥ 2 kali seksio sesarea memiliki peluang 4,7 kali. Seksio sesarea
sebelumnya pada ibu hamil dapat meningkatkan kejadian plasenta previa
dikarenakan adanya perlukaan uterus di segmen bawah rahim (Deshpande,
2011).
Kuretase merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya
plasenta previa, yaitu dengan riwayat kuretase dapat meningkatkan risiko
sebesar 1,3 kali (Francois dan Foley, 2012). Penelitian Trianingsih et al.
(2015) menemukan bahwa ibu dengan riwayat kuretase memiliki peluang
3,4 kali untuk plasenta previa pada kehamilan berikutnya dibandingkan
dengan ibu yang tidak memiliki riwayat kuretase. Risiko plasenta previa
dapat meningkat akibat kuretase yang tajam pada aborsi (Jhonson et al.,
2003).

B. Definisi
Plasenta previa yaitu plasenta yang berimplitasi rendah sehingga
menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum (Sulaiman
Sastrawinata, 2005; h. 83 - 98).
Plasenta previa yaitu plasenta yang terletak menutupi atau sangat dekat
dengan os interna. Insidennya 1:200 kehamilan (William.R.,2010; h. 425 –
438).
Plasenta previa yaitu keadaan dimana plasenta tertanam pada
sigmen bawah uterus dan terletak di daerah atau didekat ostium internum
cervix (Sarwono, 2006; h. 365).

Modul Keperawatan Maternitas II | 48


Gambar II.I Letak Plasenta

Plasenta previa yaitu suatu kehamilan dimana plasenta


berimplantasi abnormal pada sigmen bawah rahim, menutupi atau tidak
menutupi ostium uteri internum, sedangkan kehamilan tersebut sudah
vilable atau mampu hidup di luar rahim (usia kehamilan 22 minggu atau
berat janin >500 gram) (Achadiata, 2004, dalam buku Yulianingsih, 2009;
h. 66).

Gambar II.2 Klasifikasi Plasenta Previa

Modul Keperawatan Maternitas II | 49


Gambar II.3 Jenis Plasenta Previa

Dari berbagai pengartian dan dari berbagai sumber yang telah


diambil, penulis dapat mengambil kesimpulkan bahwa pengertian dari
plasenta previa, yaitu plasenta yang berimplantasi pada sigmen bawah
uterus atau berimplitasi rendah sehingga letaknya menutupi sebagian atau
seluruh os internum dan sangat dekat dengan os internum atau tidak
menutupi ostium uteri internum.

C. Etiologi
Plasenta previa meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan
yang endometriumnya kurang baik, misalnya karena atrofiendometrium
atau kurang baiknya vasikularisasi desidua pada sigmen atas uterus. maka
placenta akan meluas dalam upanyanya untuk mendapatkan suplai darah
yang lebih memadai.
Menurut (Sulaiman Sastrawinata, 2005; h. 83 - 98) Keadaan ini
bisa di temukan pada:

Modul Keperawatan Maternitas II | 50


1. Multipara, terutama jika jarak antara kehamilannya pendek serta kalau
placentanya lebar serta tipis. Jumlah kehamilan sebelumnya
(multiparitas). Plasenta previa terjadi pada 1 dari 1500 wanita yang baru
pertama kali hamil. Pada wanita yang telah 5 kali hamil atau lebih, maka
resiko terjadinya plasenta previa adalah 1 diantara 20 kehamilan.
2. Usia kehamilan ( umur lanjut >35th) diantara wanita-wanita yang
berusia kurang dari 19 th, hanya 1 dari 1500 yang mengalami plasenta
previa. Pada wanita yang berusia lebih dari 35 th, 1 dari 100 wanita
hamil akan mengalami plasenta previa.
3. Mioma uteri
4. Riwayat tindakan medis yang dilakukan pada uterus seperti dilatasi dan
Kuretase atau aborsi medialis yang berulang.
5. Chorion leave persistent
6. Corpus luteum bereaksi lambat dimana endometrium belum siap
menerima hasil kosepsi
7. Konsepsi dan nidasi terlambat
8. Bekas seksio sesaria (yang dapat menyebabkan cacat atau jaringan parut
pada endometrium pada ibu atau wanita yang pernah menjalanai oprasi
cesar dan riwayat operasi SC sebelumnya juga akan mengakibatkan
proses peradangan dan kejadian atrofi di endometrium), Peningkatan 3x
lipat dari 150 ribu wanita yang mengalami plasenta previa dengan
riwayat seksio sesarea. Insiden meningkat seiring dengan jumlah seksio
sesarea yang pernah dijalani sebanyak 1,9 persen pada riwayat seksio
sesarea dua kali, dan 1,4 persen pada riwayat seksio sesarea tiga kali
atau lebih (Cuningham, 2002; h. 699).
9. Perubahan inflamasi atau atrofi, misalnya pada wanita perokok atau
pemakai kokain hipoksemi yang terjadi akibat karbon monoksida akan
dikompensasi dengan hiperterofi plasenta. Hal ini terjadi terutama pada
perokok berat (lebih dari 20 batang sehari). Palsenta previa juga dapat
terjadi pada plasenta yang besar dan yang luas, seperti pada

Modul Keperawatan Maternitas II | 51


eritroblastosis, diabetes militus, ataukehamilan multipel (Sulaiman
Sastrawinata, 2005; h. 83 - 98).
10. Riwayat plasenta previa sebelumnya.

D. Patofisiologi
Perdarahan antepartum akibat plasenta previa terjadi sejak
kehamilan 20 minggu saat segman bawah uterus telah terbentuk dan mulai
melebar serta menipis. Umumnya terjadi pada terimester ketiga karena
sigmen bawah uterus mengalami banyak perubahan. Pelebaran sigmen
bawah uterus dan pembukaan servik menyebabkan sinus robek karena
lepasnya plasenta dari dinding uterus atau karena robekan sinus marginalis
dan plasenta. Perdarahan tidak dapat diarahkan karena ketidak mampuan
serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi seperti plasenta letak
normal. Keadaan endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta
harus tumbuh menjadi luas untuk mencukupi kebutuhan janin. Plasenta
yang tumbuh meluas akan mendekati atau menutup ostium uteri internum.
Endomertium yang kurang baik juga dapat menyebabkan zigot mencari
tempat implantasi yang lebih baik, yaitu di tempat yang rendah dekat
ostium uteri internum (Sulaiman Sastrawinata, 2005; h. 83 - 98).
Dengan berkembangnya segmen bawah uterus dan dengan
menipisnya serta membukanya servik, plasenta terlepas dari dinding
uterus. Keadaan ini disertai ruptura pembuluh-pembuluh darah yang
terletak di bawahnya. Jika pembuluh darah yang pecah berukuran bersar,
perdarahan akan banyak sekali (oxcron, 2010; h. 426).

Modul Keperawatan Maternitas II | 52


E. Pathway

Modul Keperawatan Maternitas II | 53


F. Penanganan
Penanganan pada kasus perdarahan dengan plasenta previa dapat
dibagi 2 yaitu :
1. Ekspektatif (bila usia kehamilan kurang dari 37 minggu atau TBF)
(Sulaiman Sastrawinata, 2005; h. 83 - 98).
Yaitu Penanganan yang dilakukan apabila janin masih kecil
sehingga kemungkinan hidup di dunia luar baginya kecil sekali.
Penanganan ini hanya dapat dibenarkan jika keadaan ibu baik dan
perdarahan sudah berhenti atau sedikit sekali.
Syarat terapi ekspektatif yaitu Jika usia kehamilan belum
optimal/kurang dari 37 minggu, perdarahan sedikit, kehamilan preterem
dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti, belum ada tanda
inpartu, janin masih hidup, keadaan umum baikdengan kadar Hb >
8,0% atau lebih (Saefudin, 2006; h. 162-165).Penanganan atau terapi
ekspektatif dapat dilakukan pada dua tempat dengan syarat yang telah
di tentukan.
Penanganan di rumah sakit yaitu pada terapi ini, pasien dirawat di
rumah sakit dengan memperbaikan cairan tubuh/darah dengan
memberikan infus cairan IV (NaCl 0,9 persen dan ringer laktat) sampai
berat anak kurang lebih 2500 gr atau kehamilan sudah sampai 37
minggu, serta dianjurkan untuk tirah baring, dan diberikan antibiotika
profilaksis, serta berikan tokolitik bila ada kontraksi sampai janin cukup
matang sehingga dapat dilakukan seksio sesarea (Linda. V, tahun 2007;
h. 645) :
a. MgSo4 4g IV dosis awal dilanjutkan 4g setiap 6 jam.
b. Nifedipin 3x 20 mg/hari.
c. Betametason 24 mg IV dosis tunggal untuk pematangan paru janin.
d. Uji pematangan paru janin dengan uji tes kocok (bubble tes) dari
hasil amniosentesis (Saefudin, 2006; h. 162-165).
Dengan didukung pemeriksaan USG untuk untuk mengetahui
implantasi plasenta, usia kehamilan profil biofisik, letak dan presentasi

Modul Keperawatan Maternitas II | 54


janin (Saefudin, 2006; h. 162-165). Penderita plasenta previa juga harus
diberikan hematinik, antibiotik, mengingat kemungkinan terjadi infeksi
yang besar disebabkan oleh perdarahan dan tindakan-tindakan
intrauterin dan pemberian tokoliti bila ada his. Pemeriksaan laborat
dievaluasi untuk mengetahui penurunan Hb (hemoglobin) dan level
hematokrit (Ht).
Obat-obatan untuk meningkatkan maturitas fetal/janin diberikan
jika kehamilan kurang dari 34 minggu. Tidak boleh melakukan
pemeriksaan dalam, seperti VT, pemeriksaan rektal, atau pemasangan
alat pada vagina untuk membantu pemeriksaan. Perbaiki anemia
dengan pemberian sulfas ferosus atao ferrous fumarat per oral 60 mg
selama hamil. Memastikan tersedianya sarana tranfusi sebagai
penambah darah serta persiapan mental ibu. Karena pasien / ibu
dengan plasenta previa ada yang berhari-hari bahkan berminggu-
minggu dirawat, maka seringkali pasien dan keluarganya menjadi
gelisah. Dalam hal ini bidan/perawat kebidanan harus memberi
motivasi kepada pasien/ibu dan keluarga. Jika usia kehamilan telah
mencapai 37 minggu dan paru janin telah matur, persalinan seksio
sesaria dilakukan. Selama dirawat di rumah sakit, pasien dengan
plasenta previa mungkin selalu dipertimbangkan kemungkinan adanya
keadaan emergensi/kegawatdaruratan karena perdarahan masif (terus
menerus dan banyak) dengan akibat syok hipovolemik yang dapat
terjadi segera, hal ini diperlukan seksio sesaria segera. Jika perdarahan
berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, pasien
dapat dirawat jalan ( kecuali rumah pasien di luar kota atau diperlukan
waktu > 2 jam untuk mencapai rumah sakit) dengan pasien segera
kerumah sakit jika terjadi perdarahan. Jika setelah usia kehamilan di
atas 34 minggu, plasenta masih berada di sekitar ostium uteri internum,
maka dugaan plasenta previa menjadi jelas, sehingga perlu dilakukan
observasi dan konseling untuk menghadapi kemungkinan keadaan
gawat darurat. Jika perdarahan berlangsung pertimbangan dari manfaat

Modul Keperawatan Maternitas II | 55


dan resiko ibu dan janin untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut
dibandingkan dengan terminasi kehamilan. (Sefudin, 2006; h. 162-
165).
Penanganan di rumah memiliki kriteria untuk pelaksanaan
perawatan di rumah yaitu ibu harus diawasi oleh petugas kesehatan
(bidan/perawat, home cere yang kopenten). Pertimbangan untuk
reveral/rujukan: ibu dalam kondisi yang setabil denngan tidak ada
perdarahan aktif dan harus mempunyai sumber untuk dapat kembali
kerumah sakit dengan cepat. Jika terjadi perdarahan aktif (Grobar,
1994, Samson, 1992, dalam Bobak, 1999). Ibu harus mempunyai
superfisi ketat di rumah dengan keluarga, harus tau bagai mana
mengkaji keadaan janin dan aktifitas uterus serta perdrahan dan
menghindari intercause, dauching dan enema. Ibu sebaiknya
membatasi aktifitas sesuai yang dianjurkan dokter dan mengikuti
perjanjian untuk pemeriksaan janin pengkajian laboratorium dan
perawatan prenatal. Kunjungan dengan petugas kesehatan sebaiknya
disusun. Jika perawatan di rumah dengan pembatasan aktifitas yang
lama, ibu sebaiknya memperhatikan tentang pekerjaan atau tanggung
jawab keluarga atau mungkin terjadi bosan tanpa aktifitas, ibu
sebaiknya didorong untuk berpartisipasi untuk perawaran dirinya atau
keputusan tentang perawatan jika memungkinkan. Aktifitas selingan
perlu dianjurkan (seperti membaca, mendengarkan radio, dan lain-lain)
sehingga ibu merasa senang dan dapat melakukannya selama tirah
baring atau (bedrest).
2. Terminasi / aktif (bila usia kehamilan lebih dari 37 minggu atau lebih
dan TBF 2.500 gr (Sulaiman Sastrawinata, 2005 ; h. 83 - 98).
Yaitu penanganan dengan cara segera mengakhiri kehamilan
sebelum terjadi perdarahan yang membawa maut, misalnyakehamilan
cukup bulan, perdarahan banyak, dan anak mati (tidak selalu anak
mati).

Modul Keperawatan Maternitas II | 56


Ada beberapa kriteria atau syarat untuk melakukan penanganan
terminasi atau aktif diantaranya infus/tranfusi telah terpasang, kamar
dan Tim oprasi telah siap, usia kehamilan (masa gestasi) > 37 minggu,
berat badan janin >2500 grm dan in partu atau janin telah meninggal
atau terdapat anomali kongenital mayor (anensefali), perdarahan
dengan bagian terbawah janin telah jauh melewati pintu atas penggul
(2/5 atau 3/5 pada palpasi luar) (saefudin, 2006; h. 162-165),
perdarahan banyak 500 cc atau lebih, ada tanda-tanda persalinan, ada
tanda-tanda gawat janin, keadaan umum ibu tidak baik, ibu anemis, Hb
8,0%.
Penanganan aktif yang harus dilakukan untuk menangani plasenta
previa yaitu jenis persalinan yang dipilih untuk menangani plasenta
previa dan pelaksanaannya bergantung pada beberapa faktor yaitu
perdarahan banyak atau sedikit, keadaan ibu dan anak, besarnya
pembukaan, tingkat plasenta previa, paritas. Perdarahan yang banyak,
pembukaan kecil, nulipara, dan tingkat plasenta previa yang berat
mendorong kita melakukan seksio sesarea. Sebaiknya perdarahan yang
sedang atau sedikit, pembukaan yang sudah besar, multiparitas dan
tingkat plasenta previa yang ringan, dan anak yang mati cenderung
untuk dilahirkan per vaginam. Pada perdarahan yang sedikit dan anak
yang masih kecil (belum matur) dipertimbangkan terapi ekspektatif.
Beberapa hal yang perlu di perhatikan sebelum melakukan
tindakan apapun pada penderita plasenta previa, harus tersedia darah
yang cukup. Jika plasenta previa sudah didiagnosa, maka perencanaan
penatalaksanaan didasarkan atas umur kehamilan, jumlah perdarahan
dan kondisi janin. Jika umur kehamilan sudah aterem dan ibu dalam
masa persalinan atau perdarahan terus menerus, maka persalinan secara
seksio sesaria secepatnya harus dilakukan. Pasien dengan plasenta
previa parsial atau marjinal yang mengalami perdarahan minimal,
persalinan melalui vagina dapat dilakukan. Cara vaginal yang
bermaksud untuk mengadakan tekanan pada plasenta, yang demikian

Modul Keperawatan Maternitas II | 57


menutup pembuluh-pembuluh darah yang terbuka (tamponade pada
plasenta). Penanganan ini dapat dilakukan pada plasenta previa
marginalis, plasenta previa letak rendah dan plasenta previa lateralis
dengan pembukaan 4 cm atau lebih. (Sulaiman Sastrawinata, 2005; h.
83 - 98).
Pada persalinan seksio sesaria, bidan/perawat kebidanan secara
terus menerus mengkaji keadaan ibu dan janin, sementara itu
dipersiapkan untuk pembedahan yang perlu di perhatikan yaitu
mintalah ijin oprasi, persiapan donor untuk sewaktu-waktu bila ada
perdarahan berulang dan untuk setabilisasi dan pemulihan kondisi ibu,
lakukan perawatan lanjutan pasca bedah termasuk pemantauan
perdarahan, infeksi, dan keseimbangan cairan masuk keluar. Tanda
tanda vital ibu dikaji secara teratur untuk mengetahui adanya penurunan
tekanan darah, peningkatan nadi, perubahan kesadaran, dan oliguria/
urine sedikit. Pengkajian pada janin dipertahankan dengan monitoring
vetal elektronik untuk mengkaji adanya tanda hipoksia. Perdarahan
mungkin tidak berhenti dengan kelahiran bayi. Pelebaran pembuluh
daran pada sigmen bawah rahim mungkin terus menyebabkan
perdarahan karena berkurangnya otot segmen bawah rahim.
Mekanisme natural mengontrol perdarahan jika karastristik otot
uterus bagian atas terjalin dengan kuat, bukan traksi mengelilingi
pembuluh darah terbuka. Hal ini tidak ada padauterus bagian bawah.
Perdarahan pacapartum mungkin akan terjadi meskipun kontraksi
fundus kuat. Dukungan emosional untuk pasien/ibu dan keluarganya
sangat penting. Perdarahan aktif pada pasien tidak hanya
mempengaruhi keadaan pasien/ ibu, tetapi juga berpengaruh pada
kesejahteraan janin. Semua prosedur harus di jelaskan dan ada orang
yang mendukung ibu. Pasien/ ibu sebaiknya didorong untuk
mengespreksikan perhatian dan perasaannya.

Modul Keperawatan Maternitas II | 58


Beberapa cara penanganan aktif plasenta previa dengan pervaginal
terdiri dari :
a. Pecah ketuban
Pemecahan ketuban dapat dilakukan pada plasenta letak rendah,
plasenta previa marginalis, dan plasenta previa lateralis yang menutup
ostium kurang dari setengah bagian. Pada plasenta previa lateralis yang
plasentanya terdapat di sebelah belakang lebih baik dilakukan seksio
sesarea karena dengan pemecahan ketuban, kepala kurang menekan
pada plasenta. Ini disebabkan kepala tertahan promontarium, yang
dalam hal ini dilapisi lagi oleh jaringan plasenta. Pemecahan ketuban
dapat menghentikan perdarahan karena setelah pemecahan ketuban,
uterus mengadakan retraksi hingga kepala anak menekan pada
plasenta, sehingga pasenta tidak tertahan lagi oleh ketuban dan dapat
mengikuti gerakandinding rahim hingga tidak terjadi pergeseran antara
plasenta dan dinding rahim. Jika his tidak ada atau kurang kuat setelah
pemecahan ketuban, dapat diberikan infus pitosin. Jika perdarahan
tetap ada, dilakukan seksio sesarea.
1) Seksio Sesarea
Dengan seksio sesarea, dimaksudkan untuk mengosongkan
rahim hingga rahim dapat berkontraksi dan menghentikan
perdarahan. Seksio sesarea juga mencegah terjadinya robekan
serviks yang agak sering terjadi pada persalinan pervaginam.
Penanganan ini dapat dilakukan pada plasenta previa totalis baik
janin mati ataupun hidup dan plasenta previa lateralis (Sulaiman
Sastrawinata, 2005; h. 83 - 98). Tempat implantasi plasenta previa
terdapat banyak vasikularisasi sehingga servik uteri dan segmen
bawah rahim menjadi tipis dan mudah robek, selain itu bekas
tempat implantasi plasenta sering menjadi sumber perdarahan
karena adanya perbedaan vasikulerisasi dan susunan serabut otot
dengan korpus uteri (Saefudin, 2006; h. 162-165).

Modul Keperawatan Maternitas II | 59


Tujuan melakukan seksio sesarea adalah untuk
mempersingkat lamanya perdarahan dan mencegah terjadinya
robekan serviks dan segmen bawah rahim. Robekan pada serviks
dan segmen bawah rahim mudah terjadi bila anak dilahirkan
pervaginam karena daerah tersebut pada plasenta previa banyak
mengandung pembuluh darah. Seksio sesarea dilakukan pada
plasenta previa lainnya jika perdarahan hebat. Tindakan seksio
sesarea pada plasenta previa, selain dapat mengurangi kematian
bayi, terutama juga dilakukan untuk kepentingn ibu. Oleh karena
itu, seksio sesarea juga dilakukan pada plasenta previa walaupun
anak sudah mati (Sulaiman Sastrawinata, 2005; h. 83 – 98.

G. Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa ( Masalah yang muncul )
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan volume darah
menurun
b. Gangguan perfusi jaringan utero plasenta berhubungan dengan
syok hipovolemik
c. Resiko tinggi cedera ( janin ) berhubungan dengan hipoksia
jaringan/organ, profil darah abnormal, kerusakan system imun

Modul Keperawatan Maternitas II | 60


Daftar Pustaka
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Dashe JS, Hoffman BL,
Casey BM et al (2014). William’s obstetrics. Ediki ke 24. New York: McGraw-
Hill Education.
Hull AD, Resnik R (2014). Placenta previa, placenta accreta, abrutio placenta, and
vasa previa. Dalam: Creasy RK, Resnik R, Iamn JD, Lockwood CJ,
Moore TR, Greene TR (eds). Creasy and resnik’s maternal-fetal medicine:
Principles an practices. Edisi ke 7. China: Elsevier, pp: 732-734.
Kemenkes RI (2007). Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI.
Morgan G, Hamilton C (2009). Obstetri & ginekologi: Panduan praktik. Jakarta:
EGC, pp: 378-380.
Manuaba IAC, Manuaba IBG, Manuaba IBGF, Manuaba IBG (2014). Ilmu
kebidanan, penyakit kandungan, dan kb untuk pendidikan bidan. Edisi ke
2. Jakarta: EGC, pp: 247-254.
Manuaba, IGB. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC
Oxorn H (2003). Ilmu kebidanan: Patologi dan fisiologi persalinan. Yogyakarta:
Yayasan Essentia Medica, pp: 425-428.
Oxorn, H.2010. Ilmu kebidanan patologi dan Fisiologi Persalinan. Yogyakarta :
Yayasan Essentia Medica.
Sasstrawinata, Sulaiman. 2005. Obstetri Patologi. Jakarta : EGC

Modul Keperawatan Maternitas II | 61


BAB V
SOLUSIO PLASENTA
A. Pendahuluan
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh
permukaan maternalplasenta dari tempat implantasinya yang normal pada
lapisan desidua endometrium sebelumwaktunya yakni sebelum anak lahir.
Di berbagai literatur disebutkan bahwa risiko mengalami solusio plasenta
meningkat dengan bertambahnya usia.
Solusio plasenta merupakan salah satu penyebab perdarahan
antepartum yangmemberikan kontribusi terhadap kematian maternal dan
perinatal di Indonesia. Terdapatfaktor-faktor lain yang ikut memegang
peranan penting yaitu kekurangan gizi, anemia,paritas tinggi, dan usia
lanjut pada ibu hamil.
Di negara yang sedang berkembang penyebabkematian yang
disebabkan oleh komplikasi kehamilan, persalinan, nifas atau
penangannya(direct obstetric death) adalah perdarahan, infeksi,
preeklamsi/eklamsi. Selain itu kematianmaternal juga dipengaruhi faktor-
faktor reproduksi, pelayanan kesehatan, dan sosioekonomi.Salah satu
faktor reproduksi ialah ibu hamil dan paritas
Solusio plasenta atau disebut abruption placenta / ablasia placenta
adalah separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya di uterus
(korpus uteri) dalam masa kehamilan lebih dari 20 minggu dan sebelum
janin lahir.
Dalam plasenta terdapat banyak pembuluh darah yang
memungkinkan pengantaran zat nutrisi dari ibu kejanin, jika plasenta ini
terlepas dari implantasi normalnya dalam masa kehamilan maka akan
mengakibatkan perdarahan yang hebat.
Perdarahan pada solusio plasenta sebenarnya lebih berbahaya
daripada plasenta previa oleh karena pada kejadian tertentu perdarahan
yang tampak keluar melalui vagina hampir tidak ada / tidak sebanding
dengan perdarahan yang berlangsung internal yang sangat banyak

Modul Keperawatan Maternitas II | 62


pemandangan yang menipu inilah yang sebenarnya yang membuat solusio
plasenta lebih berbahaya karena dalam keadaan demikian seringkali
perkiraan jumlah, darah yang telah keluar sukar diperhitungkan, padahal
janin telah mati dan ibu berada dalam keadaan syok.
Penyebab solusio plasenta tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada kasus-
kasus berat didapatkan korelasi dengan penyakit hipertensi vaskular
menahun, 15,5% disertai pula oleh pre eklampsia. Faktor lain diduga turut
berperan sebagai penyebab terjadinya solusio plasenta adalah tingginya
tingkat paritas dan makin bertambahnya usia ibu.
Gejala dan tanda solusio plasenta sangat beragam, sehingga sulit
menegakkan diagnosisnya dengan cepat. Dari kasus solusio plasenta
didiagnosis dengan persalinan prematur idopatik, sampai kemudian terjadi
gawat janin, perdrhan hebat, kontraksi uterus yang hebat, hipertomi uterus
yang menetap. Gejala-gejala ini dapat ditemukan sebagai gejala tunggal
tetapi lebih sering berupa gejala kombinasi
Solusio plasenta merupakan penyakit kehamilan yang relatif umum
dan dapat secara serius membahayakan keadaan ibu. Seorang ibu yang
pernah mengalami solusio plasenta, mempunyai resiko yang lebih tinggi
mengalami kekambuhan pada kehamilan berikutnya. Solusio plasenta juga
cenderung menjadikan morbiditas dan bahkan mortabilitas pada janin dan
bayi baru lahir.

B. Definisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh
permukaan maternal plasentadari tempat implantasinya yang normal pada
lapisan desidua endometrium sebelum waktunyayakni sebelum anak lahir.

Klasifikasi
Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptura sinus
marginalis), dapat pula terlepas lebih luas (solusio parsialis), atau bisa
seluruh permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis).

Modul Keperawatan Maternitas II | 63


Perdarahan yang terjadi dalam banyak kejadian akan merembes
anatara plasenta dan miometrium untuk seterusnya menyelinap di bawah
selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan ke kanalis servikalis dan
keluar melalui vagina (revealed hemorrhage). Akan tetapi, ada kalanya,
walaupun jarang, perdarahan tersebut tidak keluar melalui vagina
(concealedhemorrhage) jika:
1. Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding
rahim
2. Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim
3. Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah ketuban
pecah karenanya
4. Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada
segmen bawah rahim. Dalam klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat
ringannya gambaran klinik sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang
terlepas, yaitu solusio plasenta ringan, solusio plasenta sedang dan solusio
plasenta berat. Yang ringan biasanya baru di ketahui setelah plasenta lahir
dengan adanya hematoma yang tidak luas pada permukaan maternal atau
adanya ruptura sinus marginalis. Pembagian secara klinik ini baru definitif
bila ditinjau retrospektif karena solusio plasenta sifatnya berlangsung
progresif yang berarti solusio plasenta yang ringan bisa berkembang mejadi
lebih berat dari wktu ke wktu. Keadaan umum penderita bisa menjadi buruk
apabila perdarahannya cukup banyak pada kategori concealed hemorrhage.

1. .Solusio placenta ringan


Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25% tetapi atau ada yang
menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar
biasanya kurang dari 250 ml. Tumpahkan darah yang keluar terlihat
seperti pada haid bervariasi dari sedikit sampai seperti menstruasi yang
banyak. Gejala-gejala perdarahan sukar dibedakan dari plasenta previa
kecuali warba darah yang kehitaman. Komplikasi terhadap ibu dan janin
belum ada.

Modul Keperawatan Maternitas II | 64


2. Solusio placenta sedang
Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25%, tetapi belum
mencapai separuhnya (50%). Jumlah darah yang keluar biasanya kurang
dari 250 ml tetapi belum mencapai 1.000 ml. Umumnya pertumpahan
darah terjadi ke luar dan ke dalam bersama-sama. Gejala-gejala dan
tanda-tanda sudah jelas seperti rasa nyeri pada perut yang terus menerus,
denyut jantung janin menjadi cepat, hipotensi dan takikardia
3. Solusio placenta berat
Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 50%, dan jumlah darah
yang keluar telah mencapai 1.000 ml atau lebih. Pertumpahan darah bisa
terjadi ke luar dan kedalam bersama-sama. Gejala-gejala dan tanda-
tanda klinik jelas, keadaan umum penderita buruk disertai syok, dan
hampir semua janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan
gagal ginjal yang ditandai pada oliguri biasanya telah ada.
Klasifikasi ini dibuat berdasarkan tanda-tanda klinisnya, sesuai
derajat terlepasnya plasenta. Pada solusio placenta, darah dari tempat
pelepasan mencari jalan keluar antara selaput janin dan dinding rahim
dan akhirnya keluar dari serviks dan terjadi solusio placenta dengan
pendarahan keluar / tampak. Kadang-kadang darah tidak keluar tapi
berkumpul di belakang placenta membentuk hematom retroplasenta.
Perdarahan ini disebut perdarahan ke dalam/tersembunyi. Kadang-
kadang darah masuk ke dalam ruang amnion sehingga perdarahan teteap
bersembunyi.

C. Etiologi
Penyebab primer belum diketahui pasti, namun ada beberapa faktor
yang menjadi predisposisi.
1. Faktor kardio-reno-vaskuler
1. Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma
preeklamsia dan eklamsia. Pada penelitian di Parkland,
ditemukan bahwa terdapat hipertensi pada separuh kasus

Modul Keperawatan Maternitas II | 65


solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang
hipertensi tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik,
sisanya hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan.
2. Faktor trauma
a. Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli.
b. Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan
janin yang banyak/bebas, versi luar atau tindakan
pertolongan persalinan
c. Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-
lain.
3. Faktor paritas ibu
Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada
primipara. Beberapa penelitian menerangkan bahwa makin
tinggi paritas ibu makin kurang baik keadaan endometrium
4. Faktor usia ibu
Makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi
hipertensi menahun.
5. Leiomioma uteri (uterine leiomyoma)
yang hamil dapat menyebabkan silusio plasenta
apabila plasenta berimplantasi di atas bagian yang
mengandung leiomioma.
6. Faktor pengunaan kokain
Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian
tekanan darah dan peningkatan pelepasan katekolamin yang
bertanggung jawab atas terjadinya vasospasmepembuluh
darah uterus dan berakibat terlepasnya plasenta. Namun,
hipotesis ini belum terbukti secara definitive
7. Faktor kebiasaan merokok
Ibu yang perokok juga merupakan penyebab
peningkatan kasus solusio plasenta sampai dengan 25%
pada ibu yang merokok ≤ 1 (satu) bungkus per hari. Ini

Modul Keperawatan Maternitas II | 66


dapat diterangkan pada ibu yang perokok plasenta menjadi
tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada
mikrosirkulasinya
8. Riwayat solusio plasenta sebelumnya
Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis
ibu dengan riwayat solusio plasenta adalah bahwa resiko
berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak
memiliki riwayat solusio plasenta
9. Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi,
Tekanan uterus pada vena cava inferior dikarenakan
pembesaran ukuran uterus oleh adanya kehamilan, dan lain-
lain.

D. Patofisiologi
Terjadinya solusio plasenta dipicu oleh perdarahan ke dalam
desidua basalis yang kemudian terbelah dan meningkatkan lapisan tipis
yang melekat pada mometrium sehingga terbentuk hematoma desidual
yang menyebabkan pelepasan, kompresi dan akhirnya penghancuran
plasenta yang berdekatan dengan bagian tersebut.
Ruptur pembuluh arteri spiralis desidua menyebabkan hematoma
retro plasenta yang akan memutuskan lebih banyak pembuluh darah,
hingga pelepasan plasenta makin luas dan mencapai tepi plasenta, karena
uterus tetap berdistensi dengan adanya janin, uterus tidak mampu
berkontraksi optimal untuk menekan pembuluh darah tersebut. Selanjutnya
darah yang mengalir keluar dapat melepaskan selaput ketuban.
Sesungguhnya solusio plasentra merupakan hasil akhir dari suatu
proses yang bermula dari suatu keadan yang mampu memisahkan vili-vili
korialis plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga
terjadi perdarahan. Oleh karena itu patosiologinya bergantung pada etilogi.

Modul Keperawatan Maternitas II | 67


Pada trauma abdomen etiologinya jelas karena robeknya pembuluh darah
desidua.
Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel
(apoptosis) yang disebabkan oleh iskemia dan hipoksia.
Semua penyakit ibu yang dapat meneyebabkan pembekuan
trombosis dalam pembuluh darah desidua atau dalam vaskular vili dapat
berujung kepada iskemia dan hipoksia setempat yang menyebabkan
kematian sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan sebagai hasil akhir.
Perdarahan tersebut menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali
selapisan tipis yang tetap melekat pada miometrium. Dengan demikian,
pada tingkat permulaan sekali dari proses terdiri ataspembentukab
hematom yang bisa menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan
kerusakan pada bagian plasenta kecuali terdapat hematom pada bagian
belakang plasenta yang baru lahir.
Dalam beberapa kejadian pembentukan hematom retroplasenta
disebabkan oleh putusnya arteria spiralis dalam desidua. Hematoma
retroplasenta mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari
sirkulasi maternal/plasenta ke sirkulasi janin. Hematoma yang terbentuk
dengan cepat meluas dan melepaskan plasenta lebih luas/banyak sampai
ke pinggirnya sehingga darah yang keluar merembes antara selaput
ketuban dan miometrium untuk selanjutnya keluar melalui serviks ke
vagina (revealed hemorrhage). Perdarahan tidak bisa berhenti karena
uterus yang lagi mengandung tidak mampu berkontraksi untuk menjepit
pembuluh arteria spiralis yang terputus. Walaupun jarang, terdapat
perdarahan tinggal terperangkap di dalam uterus (concealed hemorrhage).

E. Manifestasi Klinik
Gambaran klinik penderita solusio plasenta bervariasi sesuai
dengan berat ringannya atau luas permukaan maternal plasenta yang
terlepas. Belum ada uji coba yang khas untuk menentukan diagnosisnya.
Gejala dan tanda klinisnya yang klasik dari solusio plasenta adalah

Modul Keperawatan Maternitas II | 68


terjadinya perdarahan yang berwarna tua keluar melalui vagina (80%
kasus), rasa nyeri perut dan uterus tegang terus-menerus mirip his partus
prematurus. Sejumlah penderita bahkan tidak menunjukkan tanda atau
gejala klasik, gejala yang lahir mirip tanda persalinan prematur saja. Oleh
karena itu, kewaspadaan atau kecurigaan yang tinggi diperlukan dari pihak
pemeriksa.
1. Solusio plasenta ringan
Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis,
dimana terdapat pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah
banyak. Apabila terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan
kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terasa
agak tegang yang sifatnya terus menerus. Walaupun demikian, bagian-
bagian janin masih mudah diraba. Uterus yang agak tegang ini harus
selalu diawasi, karena dapat saja menjadi semakin tegang karena
perdarahan yang berlangsung.
2. Solusio plasenta sedang
Dalam hal ini plasenta terlepas lebih dari 1/4 bagian, tetapi belum
2/3 luas permukaan Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan
seperti solusio plasenta ringan, tetapi dapat juga secara mendadak
dengan gejala sakit perut terus menerus, yang tidak lama kemudian
disusul dengan perdarahan pervaginam. Walaupun perdarahan
pervaginam dapat sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya mungkin telah
mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah jatuh ke dalam syok, demikian
pula janinnya yang jika masih hidup mungkin telah berada dalam
keadaan gawat. Dinding uterus teraba tegang terus-menerus dan nyeri
tekan sehingga bagian-bagian janin sukar untuk diraba. Jika janin
masih hidup, bunyi jantung sukar didengar. Kelainan pembekuan darah
dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi,walaupun hal tersebut lebih
sering terjadi pada solusio plasenta berat.

Modul Keperawatan Maternitas II | 69


3. Solusio plasenta berat
Plasenta telah terlepas lebih dari 2/3 permukaannnya. Terjadi
sangat tiba-tiba. Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok dan
janinnya telah meninggal. Uterus sangat tegang seperti papan dan
sangat nyeri. Perdarahan pervaginam tampak tidak sesuai dengan
keadaan syok ibu, terkadang perdarahan pervaginam mungkin saja
belum sempat terjadi. Pada keadaan-keadaan di atas besar
kemungkinan telah terjadi kelainan pada pembekuan darah dan
kelainan/gangguan fungsiginjal.

F. Komplikasi
1. Syok perdarahan
Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta
hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan
segera. Bila persalinan telah diselesaikan, penderita belum bebas dari
perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk
menghentikan perdarahan pada kala III . Pada solusio plasenta
berat keadaan syok sering tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang
terlihat (1,10,17)
2. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
penderita solusio plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan
hipovolemia karena perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis
tubuli ginjal yang mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong
dengan penanganan yang baik. (1,2)
3. Kelainan pembekuan darah
Kelainan pembekuan darah biasanya disebabkan oleh
hipofibrinogenemia.
4. Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)
Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot
rahim dan di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam

Modul Keperawatan Maternitas II | 70


ligamentum latum. Perdarahan ini menyebabkan gangguan
kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi biru atau ungu
yang biasa disebut Uterus couvelaire

G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesis
1) Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut
2) Perdarahan pervaginam yang sifatnya dapat hebat dan
sekonyong-konyong(non-recurrent) terdiri dari darah segar dan
bekuan-bekuan darah yang berwarna kehitaman
3) Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan
akhirnya berhenti
4) Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-
kunang.
5) Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang
lain.
b. Inspeksi
1) Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
2) Pucat, sianosis dan berkeringat dingin.
3) Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu).
c. Palpasi
1) Tinggi fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya
kehamilan.
2) Uterus tegang dan keras seperti papan yang
disebut uterus in bois (wooden uterus) baik waktu his maupun
di luar his.
3) Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas.
4) Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.
d. Auskultasi

Modul Keperawatan Maternitas II | 71


Sulit dilakukan karena uterus tegang, bila DJJ terdengar
biasanya di atas 140, kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya
hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari 1/3 bagian.
e. Pemeriksaan dalam
1) Serviks dapat telah terbuka atau masih tertutup.
2) Kalau sudah terbuka maka plasenta dapat teraba menonjol dan
tegang.
3) Apabila plasenta sudah pecah dan sudah terlepas seluruhnya,
plasenta ini akan turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan,
disebut prolapsus placenta
f. Pemeriksaan umum
Tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien
sebelumnya menderita penyakit vaskuler, tetapi akan turun dan
pasien jatuh dalam keadaan syok. Nadi cepat dan kecil
g. Pemeriksaan laboratorium
1) Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen dapat
ditemukan silinder dan leukosit.
2) Darah : Hb menurun, periksa golongan darah, lakukan cross-
match test. Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan
pembekuan darah hipofibrinogenemia
h. Pemeriksaan plasenta.
Plasenta biasanya tampak tipis dan cekung di bagian
plasenta yang terlepas (kreater) dan terdapat koagulum atau darah
beku yang biasanya menempel di belakang plasenta, yang
disebut hematoma retroplacenter.
i. Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG yang dapat ditemukan antara lain
:Terlihat daerah terlepasnya plasenta, Janin dan kandung kemih
ibu, Darah, Tepian plasenta.

Modul Keperawatan Maternitas II | 72


Daftar Pustaka
Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBP – SP
Gray, Huon H [et.al..]. 2009. Kardiologi. Jakarta : Penerbit Erlangga
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka
Mansjoer. Arif. dkk . 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Widya Medika

Modul Keperawatan Maternitas II | 73


BAB VI
ATONIA UTERI
A. Pendahuluan
Perdarahan yang terjadi segera setelah melahirkan dapat
disebabkan oleh banyak penyebab. Sekitar separuh dari kematian ibu
hamil akibat perdarahan disebabkan oleh kausa pascapartum dini ini. Jika
dijumpai perdarahan yang berlebihan, etiologi spesifiknya perlu dicari.
Atonia uterus, retensi plasenta termasuk plasenta akreta dan variannya,
serta laserasi saluran genital merupakan penyebab tersering perdarahan
dini.
Perdarahan intrapartum atau pascapartum dini yang parah kadang-
kadang diikuti oleh kegagalan hipofisis (sindrom sheehan) yang ditandai
oleh kegagalan laktasi, amenore, atrofi payudara, rontoknya rambut pubis
dan aksila, hipotiroidisme, dan insufisiensi korteks adrenal. Insidensi
sindrom sheehan semula diperkirakan adalah 1 per 10.000 persalinan. Di
Amerika Serikat, sindrom ini tampaknya sudah semakin jarang dijumpai.
Perdarahan obstetri sering disebabkan oleh kegagalan uterus untuk
berkontraksi secara memadai setelah pelahiran. Pada banyak kasus,
perdarahan postpartum dapat diperkirakan jauh sebelum pelahiran.
Contoh-contoh ketika trauma dapat menyebabkan perdarahan postpartum
anatara lain pelahiran janin besar, pelahiran dengan forseps tengah, rotasi
forseps, setiap manipulasi intrauterus, dan mungkin persalinan pervaginam
setelah seksio sesarea (VBAC) atau insisi uterus lainnya. Atonia uteri yang
menyebabkan perdarahan dapat diperkirakan apabila digunakan zat-zat
anestetik berhalogen dalamm konsentrasi tinggi yang menyebabkan
relaksasi uterus (Gilstrap dkk, 1987).

B. Definisi
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi
dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah
lahir). (JNPKR, Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002).

Modul Keperawatan Maternitas II | 74


Kadang-kadang perdarahan disebabkan oleh atonia dan trauma,
terutama setelah pelahiran operatif mayor. Secara umum, setelah setiap
kelahiran harus dilakukan inspeksi terhadap inspeksi terhadap serviks dan
vagina untuk mengidentifkasi perdarahan akibat laserasi. Anestesi harus
adekuat untuk mencegah rasa tidak nyaman selama pemeriksaan ini.
Pemeriksaan ringga uterus, serviks dan seluruh vagina merupakan hal
yang esensial setelah ekstraksi bokong, setelah versi podalik iinterna, dan
setelah persalinan pervaginam pada seorang wanita dengan riwayat sesar.
(Leveno, Kennethj. 2009).
Atonia uteri merupakan penyebab tersering terjadinya perdarahan post
partum. Salah satu faktor predisposisi atonia uteri adalah overdistensi uterus.
Masalah dalam penelitian ini adalah masih banyaknya kejadian atonia uteri.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan case control,
yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara overdistensi uterus dengan
kejadian Atonia uteri.

C. Etiologi
Overdistensi uterus,baik absolut maupuun relatif, merupakan faktor
resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan
oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion atau
abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau
kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah
di uterus baik sebelum maupun plasenta lahir. Lemahnya kontraksi
moimetrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau
persalinan dengan tenaga besar, terutama biila mendapatkan stimmulasi.
Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari iinhibisi kontraksi
yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi terhalogenisasi,
nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta
simpatomimetik dan nifedipin.
Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri
(korioamnionitis, endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat

Modul Keperawatan Maternitas II | 75


hipoperfusi atau uterus couvelaire pada abruptio plasenta dan hipotermia
akibat resusitasi masif.
Data terbaru menyebutkan bahwa grandemultiparitas bukan
merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan
postpartum.(Buku Ajar Obstetri, 2010).
Faktor penyebab terjadinya atonia uteri adalah:
a. Atonia Uteri
1) Umur : Umur yang terlalu muda atau tua
2) Paritas : Sering dijumpai para multipara dan grandemultipara
3) Partus lama dan partus terlantar
4) Obstein operatif dan narkosa
5) Uterus terlalu tegang dan besar, misalnya pada gemeli, hidramnion,
atau janin besar
6) Kelainan pada uterus, seperti mioma uteri, uterus cauvelair pada
solusio plasenta.
7) Faktor sosio ekonomi, yaitu mamumsi
b. Sisa plasenta dan selaput ketuban
c. Jalan lahir : robekan perineum, vagina serviks, famiks dan rahim.
d. Penyakit darah
e. Kelainan pembekuan darah misalnya hipofibrinogenemia
f. Perdarahan yang banyak
g. Solusio plasenta
h. Kematian janin yang lama dalam kandungan
i. Pre-eklamsi dan eklamsi
j. Infeksi, hepatitis dan septik syok

1. Faktor Predisposisi
Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan:
a. Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita
yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan
yang pasca persalinan akibat atonia uteri.

Modul Keperawatan Maternitas II | 76


b. Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 µg) segera setelah
bayi lahir.

Beberapa faktor predisposisi terjadinya atonia uteri adalah:


a. Regangan rahim yang berlebihan karena kehamilan gemeli,
polihidramnion, atau anak teralu besar.
b. Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep.
c. Persalinan grande-multipara.
d. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis atau menderita penyakit
menahun.
e. Mioma uteri yangmenggangu kontraksi rahim.
f. Infeksi intrauterin (korioamnionitis).
g. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.

D. Manifestasi Klinik
1. Uterus tidak berkontraksi dan lembek.
2. Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)
Gejala klinis umum yang terjadi ialah kehhilangan darah dalam
jumlah banyak > 500 ml ), nadi lemah, pucat, lochea berwarna merah,
haus, pusing, gelisah, letih dan dapat terjadi syol hipovolemik, tekanan
darah rendah, ekstremitas dingin, mual.

Gejala klinis berdasarkan penyebab :


1. Atonia Uteri
Gejala yang selalu ada : uterus tidak berkontraksi dan lembek dan
perdarahan segera setelah anak lahir ( perdarahan post partum primer ).
Perdarahan postpartum dapat terjadi karena terleppasnya sebagian
plasenta dari rahim dan sebagian lagi belum, karena perlukaan pada
jalan lahir atau karena atonia uteri. Atonia uteri merupakan sebab
terpenting perdarahan postpartum.

Modul Keperawatan Maternitas II | 77


Atonia uteri dapat terjadi karena proses persalinan yang lama,
pembesaran rahim yang berlebihan pada waktu hamil seperti pada
hamil kembar atau janin besar, persalinan yang serin ( multiparitas )
atau anestesi yang dalam. Atonia uteri juga dapat terjadi bila ada usaha
mengeluarkan plasenta dan mendorng rahim ke bawah sementara
plasenta belum epas dari rahim.
Perdarahan yang banyak dalam waktu pendek dapat segera
diketahui. Tapi bila ada perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa
disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum tampak
pucat dan gejala lainnya. Pada perdarahan atonia uteri, rahim
membesar dan lembek.
Tearapi terbaik adalah pencegahan. Anemia pada kehamilan harus
diobati karena perdarahan yang normal pun dapat membahayakan
seorang ibu yang telah mengalami anemia. Bila sebelumnya pernah
mengalami perdarahan postpartum, persalinan berikutnya harus di
rumah sakit. Pada persalinan yang lama diupayakan agar jangan
sampai terlalu lelah. Rahim jangan dipijat dan didorong kebawah
sebelum plasenta lepas dari dinding rahim.
Pada perdarahan yang timbul setelah janin lahir dilakukan supaya
penghentian perdarahan sepecap mungkin dan mengatasi akibat
perdarahan. Pada perdarahan yang disebabkan atonia uteri dilakukan
massage rahim dan suntikan ergometrin ke dalam pembuluh balik. Bila
tidak memberi hasil yang diharapkan dalam waktu singkat dilakukan
kompresi baimanual pada rahim, bila perlu dilakukan tamponade utero
vaginal, yaitu dimasukkan tampon kasa ke dalam rahim sampai rongga
rahim terisi penuh. Pada perdarahan postpartum ada kemungkinan
dilakukan pengikatan pembuluh nadi yang mensuplai darah ke rahim
atau pengangkatan rahim.

Modul Keperawatan Maternitas II | 78


E. Patofisiologi
Perdarahan postpartum bisa dikendalikan melalui kontraksi dan ret
raksi serat-serat myometrium. kontraksi dan retraksi ini menyebabkan
terlipatnya pembuluh-pembuluh darah sehingga aliran darah ke tempat
plasenta menjadi terhenti. kegagalan mekanisme akibat gangguan fungsi
myometrium dinamakan atonia uteri dan keadaan ini menjadi penyebab
utama perdarahan postpartum sekalipun pada kasus perdarahan postpartum
kadang-kadang sama sekalitidak disangka atonia uteri sebagai
penyebabnya, namun adanya faktor predisposisi dalam banyak hal harus
menimbulkan kewaspadaan perawat terhadap gangguan tersebut.

Modul Keperawatan Maternitas II | 79


F. Pathway

Atonia uteri

Rahim gagal berkontraksi setelah persalinan bayi

Perdarahan post partum

Uterus gagal berkontraksi

Aliran darah ke placenta terhenti

G. Penanganan
1. Kenali dan tegakan diagnosis kerja atonia uteri

Modul Keperawatan Maternitas II | 80


2. Masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila ada
perbaikan dan perdarahan berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus.
3. Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan kemudian
dipasang tampon uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil,
dipertahankan selama 24 jam.
4. Kompresi bimanual eksternal, menekan uterus melalui dinding
abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan
yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang keluar. Bila
perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus
dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi
bimanual internal.
5. Kompresi bimanual internal, uterus ditekan diantara telapak tangan
pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit
pembuluh darah didalam miometrium (sebagai pengganti mekanisme
kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini
bla perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus
berkontraksi kembali. Apabia perdarahan tetap terjadi, coba kompresi
aorta abdominalis.
6. Kompresi aorta abdominalis, raba arteri femoralis dengan ujung jari
tangan kiri, pertahankan posisi tersebut, genggam tangan kanan
kemuadian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu
badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat
akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis.
Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi.
7. Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin/ergometrin, bisa
dicoba prostaglandin F2a (250 mg) secara intramuskular atau langsung
pada miometrium (transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat
diulang dalam 5 menit dan tiap 2 atau 3 jam sesudahnya.
8. Laparotomi dilakukan bila uterus tapi lembek dan perdarahan yang
terjadi tetap>200 ml/jam. Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri

Modul Keperawatan Maternitas II | 81


uterina atau hipogastrik (khusus untuk penderita yang belum punya
anak atau muda sekali).

H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Klien dan Penanggung Jawab :
Nama : Ny. T
Umur : 28 Tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Kp. Waru Rt/Rw 02/01, Kab. Garut
Pendidikan : SMA
Tanggal MRS : 11 Agustus 2019
Identitas Penanggung Jawab :
Nama : Tn. G
Umur : 30 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Hubungan dengan klien: Suami
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama (alasan masuk rumah sakit)
Klien mengeluh demam selama 3 hari
2) Keluhan sekarang
Keluhan yang dirasakan saat ini yaitu: kehilangan darah dalam
jumlah banyak (>500ml), Nadi lemah, pucat, lokea berwarna
merah, haus, pusing, gelisah, letih, tekanan darah rendah,
ekstremitas dingin, dan mual.
3) Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal kronik,
hemofilia, riwayat pre eklampsia, trauma jalan lahir, kegagalan
kompresi pembuluh darah, tempat implantasi plasenta, retensi sisa
plasenta.
4) Riwayat kesehatan keluarga

Modul Keperawatan Maternitas II | 82


Adanya riwayat keluarga yang pernah atau sedang menderita
hipertensi, penyakit jantung, dan pre eklampsia, penyakit
keturunan hemopilia dan penyakit menular.
c. Pola Fungsi Kesehatan
1) Persepsi terhadap kesehatan-manajemen kesehatan
Menurut klien kesehatan itu sangat penting, tetapi karena
ketidaktahuannya membuat ia tidak mengerti mengenai dampak
kontak langsung dengan hewan liar sembarangan.
2) Pola aktivitas dan latihan
Klien melakukan aktivitas dengan mandiri selama ia sehat, dan
selama di rumah sakit selalu dibantu oleh suami beserta
keluarganya.
3) Pola istirahat dan tidur
Pola tidur klien tidak teratur setiap harinya, paling lama klien tidur
malam selama 7-8 jam tanpa tidur siang.
4) Pola nutrisi metabolik
Sebelum masuk rumah sakit ia sering mengonsumsi datang
setengah matang disertai sayur dan buah-buahan.
5) Pola eliminasi
Klien sebelum masuk rumah sakit, buang air besar 1-2x sehari
dengan konsentrasi feses lembek. Untuk buang air kecil berkisar 7-
8x sehari tanpa ada keluahn nyeri.
6) Pola kognitif perseptual
Klien tidak mempunyai hambatan saat melakukan aktivitas sehari-
hari. Penglihatan, penciuman, pendengaran klien normal.
7) Pola konsep diri
Klien selalu berusaha menjaga kesehatannya dengan baik.
8) Pola koping
Pola koping yang dilalui klien normal.
9) Pola seksual dan reproduksi
Tidak dikaji

Modul Keperawatan Maternitas II | 83


10) Pola peran dan hubungan
Klien merupakan anak pertama dari dua bersaudara, klien
merupakan seorang ibu dari kedua anaknya. Klien diterima dengan
baik oleh keluarganya.
11) Pola nilai dan kepercayaan
Klien beragama islam dan melakukan ibadahnya dengan normal.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : Composmentis (CM)
2) Tanda-tanda vital
a) Tekanan darah : 100/90
b) Nadi : 84x/menit
c) Respirasi Rate : 21x/menit
d) Suhu : 38 derajat celcius
e) Kesadaran : CM
3) Head to Toe
a) Kepala : Kulit kepala bersih, rambut panjang lurus, tidak ada
benjolan atau lesi.
b) Kulit : Terdapat ruam merah di sebagian tubuh
c) Mata : Konjungtiva anemis, tidak ada edema
d) Hidung : Tampak bersih, tidak terdapat secret, tidak ada nyeri
tekan.
e) Mulut : Kulit bibir tampak kering dan pucat
f) Telinga : Bentuk simetris, tampak bersih, dan pendengaran
normal.
g) Leher : Leher tampak normal, tidk ada pembesaran kelanjar
jvp, tidak ada nyeri tekan.
h) Dada : Bentuk dada normal tidak tampak pengembangan
paru berlebih saat respirasi.
i) Abdomen : Menentukan letak janin
 Inspeksi : Terdapat pembesaran abdomen.

Modul Keperawatan Maternitas II | 84


 Auskultasi : Bising usus (+), DJJ (-).
 Palpasi : Uterus teraba lembek, TFU lebih kecil
daripada UK, nyeri tekan, perut teraba tegang, messa
pada adnexa.
 Perkusi : Normal
j) Genitalia : Terdapat perdarahan pervaginam
k) Extermitas : Tampak normal, gerakan normal, refleks patella
normal.
l) Sistem Muskuloskeletal :
 Persendian tulang pinggul yang mengendur.
 Gaya berjalan yang canggung.
 Terjadi pemisahan otot rectum abdominalis dinamakan
dengan diastasis rectal.
e. Pemeriksaan Penunjang
1) Golongan darah : menentukan Rh, ABO dan percocokan silang
2) Jumlah darah lengkap : menunjukkan penurunan Hb/Ht dan
peningkatan jumlah sel darah putuih (SDP). (Hb saat tidak
hamil:12-16gr/dl, saat hamil: 10-14gr/dl. Ht saat tidak
hamil:37%-47%, saat hamil:32%-42%. Total SDP saat tidak
hamil 4.500-10.000/mm3. saat hamil 5.000-15.000).
3) Kultur uterus dan vagina : mengesampingkan infeksi pasca
partum.
4) Urinalisis : memastikan kerusakan kandung kemih.
5) Profil koagulasi : peningkatan degradasi, kadar produk
fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar
fibrinogen : masa tromboplastin partial diaktivasi, masa
tromboplastin partial (APT/PTT), masa protrombin memanjang
padaKID Sonografi : menentukan adanya jaringan plasenta
yang tertahan.

Modul Keperawatan Maternitas II | 85


2. Diagnosa Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
vaskuler yang berlebihan.
b. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma
jaringan, Stasis cairan tubuh, penurunan Hb
c. Resiko tinggi terhadap nyeri berhubungan dengan trauma/ distensi
jaringan

Modul Keperawatan Maternitas II | 86


Daftar Pustaka
Anderson J, Etches D, Smith D. ,2000, Postpartum haemorrhage. In Damos JR,
Eisinger SH, eds. Advanced Life Support in Obstetrics (ALSO) provider course
manual. Kansas: American Academy of Family Physicians.
Nelson GS, Birch C. 2006, Compression jahitans for uterine atony and
hemorrhage following Sesareaean delivery. Int J Gynecol Obstet.
Oxorn, Harry dan William R. Forte, 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi
Persalinan Human Labor and Birth. YEM, Yogyakarta.

Modul Keperawatan Maternitas II | 87


BAB VII
PLASENTA AKRETA
A. Pendahuluan
Istilah plasenta akreta digunakan untuk menggambarkan setiap
jenis dari implantasi yang melekat terlalu erat secara abnormal ke dalam
dinding uterus yang diakibatkan karena tidak adanya desidua basalis
secara parsial atau total dan gangguan perkembangan lapisan fibrinoid
(membran Nitabuch). Pada plasenta akreta, vili korialis menanamkan diri
lebih dalam ke dinding rahim. Sedangkan pada plasenta normal
menanamkan diri sampai ke batas lapisan otot rahim. Peningkatan terjadi
karena bertambahnya angka pelahiran caesar. Secara klinis, plasenta akreta
menjadi masalah saat persalinan ketika plasenta tidak sepenuhnya terpisah
dari rahim dan diikuti oleh perdarahan obstetrik yang masif menyebabkan
histerektomi, repair pada cidera ureter, kandung kemih, usus, atau struktur
neurovaskular, sindrom gangguan pernapasan dewasa, reaksi transfusi
akut, ketidakseimbangan elektrolit, dan gagal ginjal. Hilangnya darah rata-
rata persalinan pada wanita dengan plasenta akreta adalah 3000-5000 ml.
Sebanyak 90% pasien dengan plasenta akreta membutuhkan transfusi
darah.

B. Definisi
Plasenta akreta adalah tertahanya atau belum lahirnya plasenta
hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir
(Prawirohardjo,2007). Plasenta akreta adalah plasenta yang melekat secara
abnormal pada uterus, dimana villi korionik berhubungan langsung dengan
miometrium tanpa desidua. Desidua endometrium merupakan barier atau
sawar untuk mencegah invasi villi plasenta ke miometrium uterus. Pada
plasenta akreta, tidak terdapat desidua basalis atau perkembangan tidak
sempurna dari lapisan fibrinoid.
Plasenta akreta adalah kondisi di mana pembuluh darah plasenta
(ari-ari) atau bagian-bagian lain dari plasenta tumbuh terlalu dalam pada

Modul Keperawatan Maternitas II | 88


dinding rahim. Ini merupakan salah satu masalah kehamilan serius karena
bisa membahayakan nyawa penderita.
Setelah seorang wanita melahirkan, plasenta yang normal biasanya
akan terlepas dari dinding rahim. Namun pada plasenta akreta, sebagian
atau seluruh plasenta tetap melekat erat pada dinding rahim. Kondisi ini
sangat berisiko menyebabkan perdarahan pasca melahirkan yang hebat.
Meski penyebab pasti plasenta akreta belum diketahui, kondisi ini
diduga berkaitan dengan terjadinya plasenta previa atau bekas operasi
caesar pada persalinan sebelumnya. Plasenta akreta terjadi pada sekitar
lima atau sepuluh persen wanita dengan plasenta previa, dan pada sekitar
60 persen wanita yang pernah beberapa kali menjalani operasi caesar .

C. Etiologi
Plasenta akreta berkaitan dengan tingginya kadar alpha-fetoprotein
dan ketidaknormalan kondisi di dalam lapisan rahim. Meski begitu,
penyebab pasti plasenta akreta belum diketahui secara pasti. Sebenarnya
resiko seorang wanita terkena plasenta akreta bisa terus meningkat tiap
kali dirinya hamil, terlebih lagi jika berusia di atas 35 tahun. Selain itu,
kasus plasenta akreta juga banyak ditemukan pada wanita yang
sebelumnya melakukan operasi rahim, termasuk operasi caesar.
Persalinan caesar meningkatkan kemungkinan kondisi ini pada
kehamilan setelahnya. Semakin banyak melakukan operasi caesar,
semakin besar pula peluangnya. Sekitar lebih dari 60 persen kasus plasenta
akreta bisa terjadi karena hal ini.
Selain kondisi di atas, risiko untuk terkena plasenta akreta juga
tinggi apabila seorang wanita :
1. Memiliki posisi plasenta pada bagian bawah rahim ketika hamil.
2. Menderita plasenta previa (plasenta menutupi sebagian atau seluruh
dinding rahim).
3. Menderita fibroid rahim submukosa (rahim tumbuh menonjol ke dalam
rongga rahim).

Modul Keperawatan Maternitas II | 89


4. Memiliki jaringan parut atau kelainan pada endometrium (dinding
rahim bagian dalam).

D. Patofisiologi
Plasenta akreta diketahui terjadi karena tidak terdapat lapisan
spongiosa dari desidua. Benurschke dan Kaufman menjelaskan bahwa
kondisi ini adalah konsekuensi dari kegagalan rekonstruksi endometrium
atau desidua basalis setelah proses penyembuhan luka insisi sectio
caesarea. Secara histologis biasanya tampak sebagai gambaran trofoblas
yang menginvasi miometrium tanpa keterlibatan desidua. Hal ini menjadi
masalah saat proses persalinan dimana plasenta tidak akan terlepas dan
akan terjadi perdarahan masif.

E. Pathway

Modul Keperawatan Maternitas II | 90


F. Penanganan
Begitu seorang wanita hamil terdiagnosis mengalami plasenta
akreta, maka dokter akan mengamati kondisi perkembangan kehamilan
dan merencanakan waktu persalinan dengan berbagai persiapan untuk
kondisi darurat, guna memastikan persalinan berjalan dengan aman. Jika
terjadi perdarahan pada trimester ketiga, maka akan menganjurkan pada
pasien agar istirahat total dan menjalani perawatan di rumah sakit.
Persalinan akan dilakukan secara operasi caesar. Operasi ini dibuat
berdasarkan kesepakatan pasien dengan dokter mengingat kondisi pasien
dan risiko perdarahan pasca persalinan.
Bagi penderita yang ingin memiliki anak kembali atau kondisi
plasenta akreta belum terlalu parah, maka operasi dapat dilakukan dengan
mempertahankan keberadaan rahim. Namun perlu diingat bahwa tindakan
operasi caesar dengan memisahkan plasenta dari dinding rahim sendiri
berisiko menimbulkan perdarahan hebat yang dapat membahayakan
nyawa. Selain itu, operasi dengan meninggalkan sebagian besar plasenta
guna mempertahankan rahim akan mengakibatkan risiko terjadinya
komplikasi serius.
Pilihan lain yang dapat dilakukan adalah operasi caesar yang
diikuti histerektomi (operasi pengangkatan rahim) untuk mencegah
kehilangan darah yang banyak akibat tindakan memisahkan plasenta dari
dinding rahim. Operasi caesar dan histerektomi ini juga perlu dilakukan
bagi penderita plasenta akreta yang sudah parah dan meluas. Histerektomi
juga dianjurkan dokter tatkala terjadi perdarahan kembali setelah operasi
caesar yang masih menyisakan sebagian besar plasenta. Pasca penanganan
yang tepat, penderita biasanya dapat pulih kembali tanpa menimbulkan
komplikasi jangka panjang.

G. Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan kontraksi pada uterus

Modul Keperawatan Maternitas II | 91


b. Defisit volume cairan tubuh berhubungan dengan perdarahan terus
menerus
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan sisa plasenta yang
tertinggal di uterus.
d. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi dan
pengetahuan yang diperoleh

Modul Keperawatan Maternitas II | 92


Daftar Pustaka

Abdul Bari Saifuddin. Buku Acuan Nasional Kesehatan Maternal Dan Maternal.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2007
Constance,Sinclair. 2003. A Midwife’s Handbook. Jakarta:EGC

Mander,Rosemary. 2004. Nyeri Persalinan. Jakarta:EGC

Sarwono.2010. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta:Yayasan Bina Pustaka

Stright,Barbara R. 2005. Panduan Belajar Keperawatan Ibu-Bayi Baru Lahir.


Jakarta:EGC

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31956/5/Chapter%20I.pdf
(diakses pada tanggal 13 September 2019 pukul 16.00)

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/151/jtptunimus-gdl-fosianaaul-7511-2-
babii.pdf (diakses pada tanggal 13 September 2019 pukul 10.00)

Modul Keperawatan Maternitas II | 93


BAB VIII
SYOK HEMOAGI
A. Pendahuluan
Syok merupakan kegagalan sistem sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi ke organ – organ vital. Tidak sedikit kematian
terjadi karena syok. Penyebabnya adalah karena penangannya yang lambat
atau ketidak tepatan dalam menanganinya.
Syok hemoragi post partum adalah perdarahan yang terjadi lebih
dari 500cc setelah bayi lahir dan plasenta lahir dalam 24 jam, termasuk
perdarahan retensio plasenta, robekan jalan lahir atau pun robekan jaringan
disekitarnya.
Penyebab dari syok hemoragi terbesar adalah karena atinia uteri
yaitu sebesar 70% dari kasus syok hemoragi. Selain dari itu yang menjadi
penyebab syok hemoragi ada laserasi jalan lahir, retensio plasenta dan
koagulapasi.
Tindakan utama dari syok hemoragi adalah mengontrol sumber
perdarahan secepat mungkin dan pengganti cairan. Pada syok hemoragi
terkontrol dimana sumber perdarahan telah dihentikan, maka penggantian
cairan bertujuan untuk menormalkan parameter hemodinamik. Pada syok
hemoragi tak terkendali dimana perdarahan itu berhenti sementara karena
hipotensi, vasokontraksi dan pembentukan pembekuan, terapo cairan
bertujuan untuk pemulihan denyut nadi radial atau pemulihan kesadaran.

B. Definisi
Perdarahan Pasca Persalinan (PPP) adalah perdarahan massif yang
antara lain berasal dari tempat implantasi plasenta atau robekan pada jalan
lahir dan jaringan sekitarnya.
Jika perdarahan pasca persalinan tidak mendapatkan penanganan
yang semestinya, maka dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu
serta proses penyembuhan kembali (CunninghamFG,2005).

Modul Keperawatan Maternitas II | 94


Hemoragi Post Partum (HPP) biasanya perdarahan lebih dari
500ml selama atau setelah kelahiran (Marylin E Dongoes, 2001).
Perdarahan Post Partum adalah perdarahan yang terjadi sampai 24
jam setelah kelahiran dan biasanya melibatkan kehilangan banyak darah
saluran genetalia (Vicky Chapma, 2006).
Jadi, kesimpulan menurut kami bahwa syok Hemoragi Post Partum
adalah perdarahan lebih dari 500cc setelah bayi lahir dan plasenta lahir
dalam 24 jam, termasuk perdarahan karena retensio plasenta, robekan
jalan lahir dan robekan jaringan di sekitarnya. Jika tidak mendapatkan
penanganan yang kurang baik maka akan membahayakan bagi ibu dan
bahkan dapat menyebabkan kematian

C. Etiologi
Perdarahan Post Partum bisa disebabkan karena :
1. Atonia Uteri
Atonia uteri adalah ketidakmampuan uterus khusunya myometrium
untuk berkontraksi setelah plasenta lahir. Perdarahan post partum
secara fisiologi dikontrol oleh kontraksi serat – serat myometrium
terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah
pada tempat perlengkapan plasenta (Wiknjosastro, 2006).
Kegagalan kontraksi dan retraksi dari serat miometrium dapat
menyebabkan perdarahan yang cepat dan parah serta syok
hepovolemik. Kontraksi miometrium yang lemah dapat diakibatkan
oleh kelelahan karena persalinan lama atau persalinan yang terlalu
cepat, terutama jika dirangsang. Selain ittu, obat – obatan seperti obat
anti – inflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta – simpatomimetik,
dan nifedipin juga dapat menghambat kontraksi miometrium.
Penyebab lain adalah situs implantasi plasenta disegmen bawah
Rahim, korioamnionitis, endomiometritis, septikemia, hipoksia pada
solusio plasenta dan hipotermia karena resusitasi massif (Rueda et al.,
2003).

Modul Keperawatan Maternitas II | 95


Atonia uteri merupakan penyebab paling banyak PPP, hingga
sekitar 70% kasus. Atonia dapat terjadi setelah persalinan vaginal,
persalinan operatif ataupun atonia uteri lebih tinggi pada persalinan
abdominal dibandingkan dengan persalinan vaginal (Edhi, 2013).
2. Laserasi Jalan Lahir
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan
trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulative dan
traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dank arena itu
dihindarkan memimpin persalinan pada saat permbukaan serviks
belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi,
robekan spontan perineum, trauma forsep atau vakum ekstraksi, atau
karena versi ekstraksi (Prawirohardjo, 2010).
Laserasi diklasifikasikan berdasarkan luasnya robekan yaitu
(Rohani, Saswita dan Marisah, 2011)
a) Derajat I
Robekan mengenai mukosa vagina dan kulit perineum.
b) Derajat II
Robekan mengenai mukosa vagina, kulit, dan oto perineum.
c) Derajat III
Robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot
perineum dan otot sfingter ani eksternal.
d) Derajat IV
Robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot
perineum, otot sfingter ani eksternal dan mukosa rektum.
3. Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah plasenta belum lahir hingga atau melebihi
waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hal ini disebabkan karena plasenta
belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas tetapi belum
dilahirkan. Retensio plasenta merupakan etiologi tersering kedua dari
perdarahan post partum (20% - 30% kasus). Kejadian ini harus
didiagnosis secara dini karena retensio plasenta sering dikaitkan

Modul Keperawatan Maternitas II | 96


dengan atonia uteri untuk diagnosis utama sehingga dapat membuat
kesalahan diagnosis. Pada retensio plasenta, resiko untuk mengalami
PPP 6 kali lipat pada persalinan normal (Ramadhani, 2011).
Terdapat jenis retensio plasenta antara lain (Saefudin, 2002).
a) Plasenta adhesive adalah implantasi yang kuat dari jonjot
kkorion plasenta sehingga menyebabkan mekanisme separasi
fisiologi.
b) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang
menembus lapisan serosa dinding uterus.
c) Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang
menembus lapisan serosa dundung uterus.
d) Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang
menembus serosa dinding uterus.
e) Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta didalam
kavum uteri disebabka oleh konstriksi ostium uteri.
4. Koagulopati
Perdarahan post partum juga dapat terjadi karena kelainan pada
pembekuan darah. Penyebab tersering PPP adalah atonia uteri, yang
disusul dengan tertinggalnya sebagian plasenta. Namun, gangguan
pembekuan darah dapat pula menyebabkan PPP. Hal ini disebabkan
karena defisiensi factor dan penghancuran fibrin yang berelebihan.
Gejala – gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit
keturunan ataupun didapat.
Kelainan pembekuan darah dapat berupa hipofibrinogenemia,
trombositopenia, idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP), HELLP
syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count),
Disseminated Intravaskules Coagulation (DIC), dan Dilutional
coagulopathy (Wiknjosastri, 2006; Prawirohardjo, 2010).
Kejadian gangguan koagulasi ini berkaitan dengan beberapa
kondisi kehamilan lain seperti solusio plasenta, preeklamsia,
septicemia dan sepsis intrauteri, kematian janin lama, emboli ait

Modul Keperawatan Maternitas II | 97


ketuban, transfuse darah inkompatibel, aborsi dengan NaCl hipertonik
dan gangguan koagulasi yang sudah diderita sebelumnya. Penyebab
yang potensial menumbulkan gangguan koagulasi sudah dapat
diantisipasi sebelumnya sehingga persiapan untuk mencegah terjadinya
PPP dapat dilakukan sebelumnya (Anderson, 2008).

D. Manifestasi Klinik
Gejala klinis yang mungkin terjadi adalah kehilangan darah dalam
jmlah banyak (500 ml), nadi lemah, hasu, pucat, lochea warna merah,
gelisah, letih, tekanan darah rendah ekstermitas dingin, dapat pula terjadi
syok hemoragi.
1. Menurut Mochtar (2001) gejala klinik berdasarkan penyebab ada lima
yaitu:
a) Antonia Uteri
Uterus berkontraksi lembek, terjadi perdarahan segera setelah lahir.
b) Robekan Jalan Lahir
Terjadi perdarahan segera, darah segar mengalir segera setelah
bayi lahir, konteraksi uterus baik, plasenta baik. Gejala yang
kadang – kadang timbul pucat, lemah, mengigil.
c) Retensio Plasenta
Plasenta belum lahir selama 30 menit, perdarahan segera, kontraksi
uterus baik.
d) Tertinggalnya Sisa Plasenta
Selaput yang mengandung pembeluh darah ada yang tertinggal,
perdarahan segera. Gejala yang kadang- kadang timbul uterus
berkontraksi baik tetapi fundus tidak berkurang.
e) Inversion Uterus
Uterus tidak teraba, lumen vagina berisi massa, perdaraham segera,
nyeri berat.
2. Tanda dan Gejala

Modul Keperawatan Maternitas II | 98


Terjadi perdarahan rembes atau mengucur, saat kontraksi uterus
keras, darah berwarna merah muda, bila perdarahan hebat timbul syok,
pada pemeriksaan inspekulo terdapat robekan pada vagina, serviks
atau varises pecah dan sisa plasenta tertinggal (Purwadianto, dkk,
2000).

E. Patofisiologi
Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk
meningkatkan sirkulasinya, atonia uteri yang menyebabkan kontraksi
uterus menurun sehingga pembeluhun darah yang melebar tidak dapat
menutup sempurna sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Trauma
jalan lahir seperti epiostomi yang lebar, laserasi perineum juga
menyebabkan perdarahan karena terbukanya pembuluh darah, penyakit
darah pada ibu. Perdarahan yang sulit dihentikan bisa mendorong pada
keadaan syok hemoragi.
1. Perdarahan Post Partum Akibat Atonia Uteri
Myometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan
bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk mengehentikan
perdarahan post partum lapisan tengah miometrium tersusun sebagai
anyaman dan ditembus oleh pembuluh darah. Masing – masing serabut
mempunyai dua buahh lengkupan sehingga setiap dua buah sserabut
kira – kira membentuk angka delapan, setelah partus, dengan adanya
susunan otot seperti diatas, jika otot berkontraksi akan menjempit
pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini
akan menyebabkan pembuluh darah pada uterus tetap vasodilatasi
sehingga terjadinya perdarahan post partum (Cuningham, 2005). Hal –
hal yang menyebabkan atonia uteri adalah :
a. Disfugsi uteri
Atonia uteri primer merupakan disfungsi instrinsik uterus.
b. Partus lama

Modul Keperawatan Maternitas II | 99


Kelemahan akibat partus lama bukan hanya Rahim yang lemah,
cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan, tetapi juga ibu
yang keletihan bertahan terhadap kehilangan darah.
2. Persalinan dengan tindakan (Episiotomi)
a. Robekan Serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks
sehingga serviks seorang multipara berbeda dari yang
belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks
yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke
segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang
tidak berhenti, meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan
uterus sudah berkontraksi dengan baik.
b. Robekan Perineum
Robekan perineum terjadi pada hamper semua
persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan
berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi digaris
tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir
terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil dari pada biasa,
kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran
yang lebih besar.
3. Perdarahan post partum akibat inversi uteri
Inversion uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik
sebagian atau seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri. Uterus
dikatakan mengalami inverse jika bagian dalam menjadi diluar saat
melahirkan plasenta. Reposisi sebaiknya segera dilakukan dengan
berjalannya waktu, lingkaran konstiksi sekitar uterus yang terinversi
akan mengecil dan uterus akan terisi darah.
4. Perdarahan post partum akibat retensio plasenta
Plasenta yang normal berbntuk bulat, datar, memiliki diameter
sekitar 20 cm dibagian pusat, beratnya sekitar seperenam berat bayi
cukup bulan (Fraser, 2009).

Modul Keperawatan Maternitas II | 100


Terdapat tiga lapisan uterus yaitu Endometrium,
Miometrium, dan Parametrium. Implantasi normal plasenta yaitu
pada dinding endometrium (Lapisan otot terdalam uterus) atau
biasa disebut desidua (Varney, 2008).
Pada masa kehamilan beberapa factor menyebabkan
plasenta melekat terlalu kuat atau terlalu dalam pada dinding
Rahim yang menyebabkan pada kala III persalinan plasenta ini
sulit terlepas dari dinding uterus. Abnormalitas implantasi plasenta
ini menurut (Saifudin, 2009) dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
a. Plasenta Akreta (Plasenta melekat hingga memasuki sebagian
lapisan miometrium) plasenta inkreta (Perlekatan plasenta
hingga memasuki miometrium)
b. Plasenta perkreta (Perlekatan plasenta hingga mencapai lapisan
seros dinding uterus). Ketiga jenis abnormalitas implantasi ini
menyebabkan plasenta tidak dapat lahir seluruhnya.

Modul Keperawatan Maternitas II | 101


F. Pathway

SYOK HEMORAGI POST PARTUM

Atonia Uteri Persalinan dengan Retensio Inversion Uteri


tindakan Plasenta
(Episiotomi),
Kegagalan Miometrium Robekan serviks,
untuk berkontraksi robekan perineum Plasenta tidak Fundus uteri terbalik
dapat terlepas sebagian/seluruhnya
masih sisa masuk kedalam
Uterus dalam keadaan Terputusnya
plasenta cavum uteri
relaksasi, melebar, kontinuitas
pembuluh darah dalam Rahim
lembek
Lingkaran
Mengganggu kontriksi uterus
Pembuluh darah tak kontraksi akan mengecil
mampu berkontraks uterus
Uterus akan
Pembuluh darah Pembuluh terisi darah
tetap terbuka darah tidak
dapat menutup

Perdarahan Post Partum (Perdarahan Pasca Persalinan


Terputusnya
Penurunan jumlah cairan intravaskuler
kontinuitas Persalinan dengan
jaringan tindakan (Episiotomi),
Jumlah hemoglobin dalam darah menurun robekan serviks,
Berlangsung secara terus robekan perineum
– menerus
Suplai oksigen ke jaringan menurun Terbentuknya porte d
Prosedur entre (Pintu masuk
Penurunan jumlah invasif nya virus dan bakter
Hipoksia jaringan cairan intravaskuler patogen
dalam jumlah yang
Terputusnya
banyak
5L Mukosa pucat, Akral dingin, kontinuitas Virus /bakteri dapa
Konjungtiva anemis, nadi cepat tapi jaringan masuk dengan muda
lemah Renjatan ke dalam tubuh
hipovolemik
Nyeri
Ketidak seimbangan
perfusi jaringan perifer Resiko Syok Resiko Infeksi
Nyeri Akut
Modul Keperawatan Maternitas II | 102
G. Penanganan
Bila terjadi perdarahan sebelum plasenta lahir (Retensio Plasenta),
ibu harus segera minta pertolongan dokter rumah sakit terdekat. Untuk
daerah terpencil dimana terdapat bidan, maka bidan dapat melakukan
tindakan dengan urutan sebagai berikut :
1. Pasang infus
2. Pemberian uterotonika intravena 3 – 5 unit oksitosin atau ergometrin
0,5 cc hingga 1 cc.
3. Kosongkan kandung kemih dan lakukan masase ringan diuterus
4. Keluarkan plasenta dengan perasat crede, bila gagal lanjutkan dengan
plsenta manual
5. Periksa apakah masih ada plasenta yang tertinggal. Bila masih
berdarah : Dalam keadaan darurat dapat dilakukan penekanan pada
fundus uteri atau kompresi aorta.
Bila perdarahan terjadi setelah plasenta lahir, dapat dilakukan :
1. Pemberian uterotonika intravena
2. Kosongkan kandung kemih
3. Menekan uterus – perasat crede
4. Tahan fundus uteri (Fundus steun) atau kompresi aorta
Tentu saja, urutan diatas dapat dilakukan jika fasilitas dan kemampuan
penolongan memungkinkan. Bila tidak, rujuk ke rumah sakit yang mampu
melakukan operasi gisterektomi, dengan terlebih dahulu memberikan
uterotonika intravena serta infus cairan sebagai pertolongan pertama
Perdarahan post partum akibat laserasi atau robekan jalan lahir
perdarahan pasca persalinan yang terjadi pada kontraksi uterus yang kuat,
keras, bisa terjadi akibat adanya robekan jalan lahir (Periksa dengan
speculum dan mampu penerangan yang baik). Bila sudah dapat dilokalisir
dari perdarahannya, jahitlah luka tersebut dengan menggunakan benang
katgut dan jarum bulat.

Modul Keperawatan Maternitas II | 103


Untuk robekan yang lokasinya dalam atau sulit dijangkau, berilah
tampon pada liang senggama atau vagina dan segera dirujuk dengan
terlebih dahulu memasang infus dan pemberian uterotonika intravena.

H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data Subjektif
Atonia uterus dialami dan sekurang – kurangnya 5% wanita
melahirkan, khususnya wanita grandemultipara. Gejala – gejala:
1) Perdarahan pervaginam
2) Konsistensi Rahim lunak – fundus uteri naik (Jika pengaliran
darah keluar terhalang oleh bekuan darah atau selaput janin)
Tentang jumlah perdarahan, disebutkan sebagai perdarahan
yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan tanda vital
(Pasien mengeluh lemah, berkeringat dingin, mengigil, hiperpnea,
sistolik, 90 mmHg, nadi >100x/menit, kadar Hb 8 g%).
b. Data Objektif
1) Pemeriksaan Tanda – Tanda Vital :
a) Suhu badan, suhu badan biasanya meningkat sampai
38oC dianggap normal. Setelah satu hari suhu akan
kembali normal (36oC – 37oC), terjadi penurunan akibat
hipovolemia.
b) Nadi, denyut nadi akan meningkat cepat karena nyeri,
biasanya terjadi hipovolemia yang semakin berat
c) Tekanan darah, tekanan darah biasanya stabil,
memperingan hipovolemi,
d) Pernafasan, bila suhu dan nadi tidak normal, pernafasan
juga menjadi tidak normal.
2) Pemeriksaan khusus oberservasi setiap 8 jam untuk mendeteksi
adanya tanda – tanda komplikasi dengan mengevaluasi sistem
dalam tubuuh. Pengkajian ini meliputi.

Modul Keperawatan Maternitas II | 104


a) Nyeri atau ketidak nyamanan
Nyeri tekan uterus (Fragmen – fragmen plasenta tertahan)
ketidak nyamanan vagina atau pelvis, sakit punggung
(Hematoma),
b) Sistem vaskuler
Perdarahan di observasi tiap 2 jam selama 8 jam satu kali,
kemudian tiap 8 jam berikutnya tensi diawasi tiap 8 jam,
apakah ada tanda – tanda thrombosis, kaki sakit, bengkak, dan
merah haemmoroid diobservasi tiap 8 jam terhadap besar dan
kekenyalan, riwayat anemia kronis, kongjutiva anemis atau sub
anemis, defek koagulasi kongenital, idiopatik trombositopeni
purpura.
c) Sistem reproduksi
o Uterus diobservasi tiap 30 menit selama empat hari post
partum, kemudian tiap 8 jam selama 3 hari meliputi tinggi
fundus uteri dan posisinya serta konsistensinya.
o Lochea diobservasi tiap 8 jam selama 3 hari terhadap
warna, banyak dan bau.
o Perineum diobservasi tiap 8 jam untuk melihat tanda –
tanda infeksi, luka jahitan dan apakah ada jahitannya yang
lepas.
o Vulva dilihat apakah ada edema atau tidak.
o Payudara dilihat kondisi sreola, konsistensi dan kolostrum.
o Tinggi fundus atau badan terus gagal kembali pada ukuran
dan fungsi sebelum kehamilan (Sub involusi).
d) Traktus urinarius diobservasi tiap 2jam selama 2 hari pertama.
Meliputi miksi lancer atau tidak, spontan dan lain – lain.
e) Traktur gastro intestinal observasi terhadap nafsu makan dan
observasi terhadap nafsu makan dan obstipasi.
f) Integritas ego : mungkin cemas, ketakutan dan khawatir.

Modul Keperawatan Maternitas II | 105


3) Inspeksi dengan pemeriksaan dalam dilakukan eksplorasi
vagina, uterus dan pemeriksaan inspekulo. Dengan cara ini
dapat ditentukan adanya robekan dari serviks, vagina, hematoma
dan adanya sisa – sisa plasenta.
4) Palpasi – Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi
kontraksi uterus yang akan menghentikan perdarahan. Pada
atonia uteri terjadi kegagalan kontraksi uterus, sehingga pada
palpasi abdomen uterus didapatkan membesar dan lembek.
Sedangkan pada laserasi jalan lahir uterus berkontraksi
dengan baik sehingga pada palpasi teraba uterus yang keras.
Dengan pemeriksaan dalan dilakukan eksplorasi vagina, uterus
dan pemeriksaan inspekulo. Dengan cara ini dapat ditentukan
adanya robekan dari serviks, vagina, hematoma dan adanya sisa
– sisa plasenta.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan b.d perdarahan pervaginam

b. Risiko syok hipovolemik b.d perdarahan

c. Nyeri akut b.d agen injuri fisik

d. Risiko infeksi b.d perdarahan

Modul Keperawatan Maternitas II | 106


Daftar Pustaka

Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap III LC, Wenstrom
KD. Uterine Leiomvomas. (2005). In : William Obstetrics 22nd edition.
Mc Graw-Hill. NewYork.
Dongoes, Marilynn E. (2001). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC : Jakarta.
Saifuddin, AB. (2002). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal
Dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Vicky. (2006). Asuhan Kebidanan Persalinan & Kelahiran. Jakarta : EGC

Modul Keperawatan Maternitas II | 107


BAB IX
GANGGUAN PEMBEKUAN DARAH PADA MASA KEHAMILAN
A. Pendahuluan
Gangguan pembekuan darah merupakan suatu gangguan susahnya
atau tidak dapat membekunya darah dalan tubuh. Pembekuan darah sangat
diperlukan oleh tubuh untuk segera menutupi luka yang terjadi pada tubuh
kita, baik luka kecil ataupun besar. Jika seseorang yang memiliki
gangguan pembekuan darah walaupun dia terkena luka yang kecil
sekalipun akan susah atau tidak dapat membeku, dan ditakutkan darah
yang tidak membeku terus menerus keluar dari tubuh, sehingga
mengakibatkan perdarahan.
Untuk ibu hamil, gangguan pembekuan darah ini disebabkan oleh
hormon yang membuat trombosit ibu rendah, sehingga mengakibatkan
terjadinya gangguan pembekuan darah.

B. Definisi
Gangguan pada faktor pembekuan darah (trombosit) adalah
pendarahan yang terjadi akibat kelainan pada proses pembekuan darah
sang ibu, jadi darah tetap mengalir.
Disfungsi perdarahan dan pembekuan adalah terjadinya kelainan
dalam pembentukan pembekuan darah dimana hal ini berhubungan dengan
trombosit dan faktor-faktor pembekuan darah. Abnormalitas yang
merupakan predisposisi seseorang mengalami perdarahan dapat
disebabkan oleh pembuluh darah, trombosit, dan setiap faktor koagulasi
plasma, fibrin atau plasmin.

C. Etiologi
Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan
yang berupa hipofibrinogenemia familial dapat saja terjadi, tetapi
abnormalitas yang didapat biasanya yang menjadi masalah. Hal ini dapat
berupa DIC yang berhubungan dengan solusio plasenta, sindroma HELLP,

Modul Keperawatan Maternitas II | 108


IUFD, emboli air ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen meningkat pada
saat hamil. Selain itu, koagulopati dilusional dapat terjadi setelah
perdarahan post partum masif yang mendapat resusitasi cairan kristaloid
dan transfusi PRC. DIC, yaitu gangguan mekanisme pembekuan darah
yang umumnya disebabkan oleh hipo atau afibrinigenemia atau
pembekuan intravascular merata (Disseminated Intravaskular
Coagulation).
DIC, yaitu gangguan mekanisme pembekuan darah yang umumnya
disebabkan oleh hipo atau afibrinigenemia atau pembekuan intravascular
merata (Disseminated Intravaskular Coagulation). DIC juga dapat
berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi jaringan, yang
menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada kasus
ini terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen yang
tajam, serta pemanjangan waktu trombin.
Hal yang mempengaruhi kerentanan seseorang mengalami
gangguan pembekuan darah :
1. Dinding pembuluh darah yang rentan mengalami luka, misal dinding
pembuluh darah yang telah mengalami plak arterosklerosis
sebelumnya
2. Aliran darah yang tidak normal, misal aliran darah pada penderita
hipertensi, aliran darah pada percabangan pembuluh darah
3. Penyakit kelainan pembekuan darah
4. Sindrom HELLP
5. Trombositopenia gestasional

D. Patofisiologi
Gangguan pembekuan darah sebenarnya umum terjadi pada ibu
hamil. Studi menyebut 7 – 12 persen wanita hamil mengalami kondisi ini
dan sebagian besar kasusnya disebabkan oleh trombositopenia gestasional,
yakni kondisi penurunan kadar trombosit yang disebabkan oleh perubahan
selama kehamilan. Di antaranya adalah peningkatan volume plasma darah,

Modul Keperawatan Maternitas II | 109


penumpukan atau penggunaan trombosit di plasenta, dan perubahan
fisiologis lainnya selama kehamilan. Selama trombosit masih berada di
atas 100.000 mikroliter, trombositopenia tidak menimbulkan gejala dan
tidak memerlukan terapi apapun.

E. Pathway

F. Penanganan
Trombosit rendah selama kehamilan adalah kondisi umum, yang
biasanya diperbaiki setelah lahir. Namun, kebanyakan penyedia perawatan
akan mempertimbangkan tingkat trombosit rendah sebagai faktor risiko
komplikasi, terlepas dari seberapa ringan trombositopenia. Bagi
kebanyakan wanita, memiliki trombosit rendah berarti beberapa
pemantauan ekstra selama kehamilan, untuk menentukan apakah ada
penyebab yang mendasarinya. Dengan dukungan yang tepat, trombosit
rendah seharusnya tidak terlalu mempengaruhi kehamilan.
Untuk menjaga trombosit agar tetap normal, umumnya dokter
memberikan obat untuk menambah jumlah trombosit. Selama kehamilan,
Anda harus berhati-hati jika mengkonsumsi obat, pastikan obat yang Anda
konsumsi selalu ada dalam p resep dokter. Obat-obatan kimia dapat
menyebabkan efek samping, sehingga Anda harus berhati-hati.

Modul Keperawatan Maternitas II | 110


G. Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bercak merah
(purpura)
c. Nyeri akut berhubungan dengan kontraksi uteri

Modul Keperawatan Maternitas II | 111


Daftar Pustaka

Azkalatifah, 2019. Gangguan Pembekuan Pada Ibu Hamil. Dikutip 12 September


2019 dari Ilmu Kesehatan
:http://ummuazkalatifa.blogspot.com/2016/04/gangguan-pembekuan-darah-pada-
kehamilan.html. Diakses pada 26 April 2016

Redaksi Halodoc, 2019. Penanganan saat Ibu Hamil Terkena Trombositopenia.


Dikutip 11 September 2019 dari : https://www.halodoc.com/cara-penanganan-
saat-ibu-hamil-terkena-trombositopenia. Diakses pada 12 December 2018

Rezky Amaliah, 2019. Gangguan Pembekuan Darah. Dikutip 11 September 2019


dari Gangguan Pembekuan Darah :
https://www.academia.edu/29435397/Makalah_pembekuan_darah

Angelina Yuwono, 2019. Kelainan Pembekuan Darah. Dikutip 11 September


2019 dari Hello Sehat : https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/kelainan-
trombosit-dan-gangguan-proses-pembekuan-darah/

Modul Keperawatan Maternitas II | 112


BAB X
SIFILIS
A. Pendahuluan
Sifilis merupakan penyakit menular seksual (PMS) yang menyebar
cukup menghawatirkan di Indonesia. Penyakit sifilis tidak bisa di abaikan,
karena merupakan penyakit berat yang apabila tidak dirawat dapat
menyerang hamper seluruh organ tubuh,seperti kerusakna system syaraf,
jantung, tulang dan otak. Selain itu, wanita hamil yang menderita sifilis
dapat menularkannya ke janin sehingga menyebabkan sifilis congenital.
(Ratna, dkk.2009)
Lesi pada penyakit sifilis biasanya terlihat jelas atau tidak terlihat
jelas. Penyakit ini bisa menular jika melakukan hubungan seksual.namun,
jika seorang ibu sedang hamil yang telah tertular maka penyakit ini bisa
menular ke janinnya.

B. Definisi
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema
Pallidum, merupakan penyakit kronis dan dapat menyerang seluruh organ
tubuh. (Mansjoer Arif, et al, 2000 : 153 ).
Penyakit sifilis merupakan penyakit menular seksual (PMS). Lesi
sifilis biasa terlihat jelas ataupun tidak terlihat dengan jelas. Penyakit
sifilis juga bisa menular pada janinnya pada ibu yang sedang hamil
melalui plasenta (Soedarto. 1990)
Efek sifilis pada kehamilan dan janin tergantung pada lamanya
infeksi tersebut terjadi, dan pada pengobatannya. Jika diobati dengan baik
ibu akan melahirkan bayinya dengan sehat. Tetapi jika tidak diobati maka
akan menyebabkan abortus dan partus prematurus dengan bayi meninggal
didalam rahim atau sifilis congenital. (Djuanda adhi,dkk.2005)
Sifilis congenital terjad pada bulan ke-4 kehamilan. Apabila sifilis
terjadi pada kehamilan tua, maka plasenta member perlindungan terhadap
janin sehingga bayi dapat dilahirkan dengan sehat. Dan apabila sifilis

Modul Keperawatan Maternitas II | 113


erjadi sebelum pembentukan plasenta maka harus dilakukan pengobatan
dengan segera, sehingga kemungkinan infeksi dapat dicegah.
Kalsifikasi sifilis :
1. Sifilis Didapat
Treponema Palidum mula mula masuk mealuli mikrobasi dermal
atau membrane mukosa yang intake. Hal ini dapat menyebbkan
munculnya lesi tunggal tidak nyeri pada area inokulasi. Dalam
beberapa jam setelahnya bakteri akan masuk kedla aliran limfe dan
darah yang kemudian menjadi infeksi sistemik.
a. Sifilis Primer
Sifilis primer memiliki karakteristik dengan terbentuknya
chancre yang tidak nyer pada lokasi inokulasi setelah masa
inkubasi 3-6 minggu.
b. Sifilis Sekunder
Sifilis sekunder terbentuk dalam 4-10 minggu setelah
munculnya lesi primer candyloma lata atau n=lesi tidak nyeri
hanya ditemukan pada sifilis sekunder dan terbentuk didaerah
lembab dan hangat.
c. SifilisLaten
lesi sifilis sekunder dan manifestasi lainyya umumnya
menghilang sendiri dalam 3 bulan. Periode tanpa gejala ini disebut
dengan sifilis laten.
d. Sifilis Tersier
Sifilis tersier termasuk dalam penyakit kelompok ini adalah
sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis. Umunya timbul 10-20 tahun
setelah infeksi primer (Hartono Olivia R, 2008)
2. Sifilis Kongenital
Treponema Pallidum menembus barier plasenta dan menginfeksi
fetus. Pada kehamilan, penurunan respon imun menyebabkan klirens
treponema pallidum yang inkomplit seingga menyebbkan infreksi
kronik meningkatkan produksi IL-2 IFN-Y TNF-a dan prostaglandidn

Modul Keperawatan Maternitas II | 114


yang di induksi oleh infeksi pada fetus disertai dengan respon
inflamasi intens yang berkaitan dengan aktivitas makrofag oleh
lipoprotein. Treponema pallidum dapat menyebabkan abortus dan
kematian bayi intrauterine.
Apabila bayi hidup, dua tahun pertama muncul gejala seperti sifilis
sekunder orang dewasa disertai candyloma lata. Sifilis congenital
dapat menyebbkan skuele berupa deformitas tulang dan gigi seperti
saddle nose (akibat destruksi septum nasi), saber shins (akibat
deformitas dan inflames berupa lengkungan pada tibia), cluttons join
(akibat inflamasi ppada sendi lutut), hutchinsons teeth ( insisivus pada
bagian atas melebar dan bertekik).

C. Etiliologi
Penyebab infeksi sifilis yaitu Treponema Pallidum. Treponema
Pallidum merupakan salah satu bakteri spirochaeta. Bakteri ini berbentuk
spiral. Terdapat 4 subspesies yang sudah ditemukan, yaitu Treponema
Pallidum, Treponema pallidum npertenue, treponema pallidum
carateum,dan treponema pallidum endemicum.
Treponema Pallidum merupakan spirochaeta yang bersifat motile
yang umumnya menginfeksi melalui kontak seksual langsung, masuk
kedalam tubuh inang melalui celah diantara sel epitel. Organisme ini
dapat menyebabkan sifilis. Ditularkan kepada janin melalui transplasenta
selama masa akhir kehamilan.
Struktur tubhnya yang berupa heliks memungkinkan treponema
pallidum bergerak dengan pola gerakan yang khas untuk bergerak didalam
medium kental seperti lender (mucus). Dengan demikian, organism ini
dpaat mengakses sampai ke system peredaran darah dan getah bening
inang melalui jaringan dan membran mukosa .

Modul Keperawatan Maternitas II | 115


D. Patofisiologi
Penyebab infeksi sifilis yaitu Treponema Pallidum. Treponema
Pallidum merupakan salah satu bakteri spirochaeta. Bakteri ini berbentuk
spiral. Terdapat 4 subspesies yang sudah ditemukan, yaitu Treponema
Pallidum, Treponema pallidum npertenue, treponema pallidum
carateum,dan treponema pallidum endemicum.
Treponema Pallidum merupakan spirochaeta yang bersifat motile
yang umumnya menginfeksi melalui kontak seksual langsung, masuk
kedalam tubuh inang melalui celah diantara sel epitel. Organisme ini
dapat menyebabkan sifilis. Ditularkan kepada janin melalui transplasenta
selama masa akhir kehamilan.
Struktur tubhnya yang berupa heliks memungkinkan treponema
pallidum bergerak dengan pola gerakan yang khas untuk bergerak didalam
medium kental seperti lender (mucus). Dengan demikian, organism ini
dpaat mengakses sampai ke system peredaran darah dan getah bening
inang melalui jaringan dan membran mukosa .

Modul Keperawatan Maternitas II | 116


E. Pathway

Modul Keperawatan Maternitas II | 117


F. Penanganan
1. Suntikan Antibiotic Penisilin
a. Untuk mengatasi sifilis nyang masih tahap awal penyuntikan
penisilin cukup satu kali (dosis tunggal)
b. Untuk penderita sifilis tahap lanjut diperlukan dosis tambhaan
sesuai petunjuk dokter
c. Anibiotik penisilin juga diberikan pada ibu hamil yang menderita
penyakit sifilis dan bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita
penyakit sifilis.

Setelah disuntikan antibiotic penisilin, beberapa penderita


sifilis dapat merasakan reakksi yang menimbulkan gejala berupa
demam,sakit kepala,nyeri otot atau nyeri sendi dan biasanya
berlangsung selama satu hari.

2. Tes darah
Setelah pengobatan, penderita diminta untuk menjalani tes darah
secara berkala guna memastikan bahwa infeksi telah sembh total.

G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Di dalam identitas hal-hal yang perlu dikaji antara lain nama
pasien, alamat pasien, umur pasien biasanya kejadian ini mencakup
semua usia antara anak-anak sampa dewasa, tanggal masuk rumah
sakit penting untuk dikaji untuk melihat perkembangan dari
pengobatan, penanggung jawab pasien agar pengobatan dapat
dilakukan dengan persetujuan dari pihak pasien dan petugas
kesehatan.
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat utama

Modul Keperawatan Maternitas II | 118


(Keluhan yang dirasakan pasir saat dilakukan pengkajian).
Apakah ada gejala: keputihan tidak biasa jumlah banyak
atau terus keluar warna tidak biasa, rasa gatal, bau busuk
amis atau asam.
2) Riwayat penyakit sekarang
Apakah ada gejala: keputihan tidak biasa jumlah banyak
atau terus keluar warna tidak biasa, rasa gatal, bau busuk
amis atau asam. Apakah nyeri saat BAK, apakah ada
pembengkakan kelenjar lipat paha, nyeri perut bagian
bawah ( nyeri berkepanjangan, hanya haid, hanya saat
berhubungan seksual), apakah ada daging atau kutil pada
alat kelamin, gangguan menstruasi, kapan terjadi haid
terakhir ( sedang haid sekarang atau sedang hamil).
3) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang
pernah diderita oleh pasien. Apakah klien ada riwayat
terkena penyakit menular seksual, faktor resiko (pasien
sendiri bukan pasangannya) lebih dari satu pasangan
seksual dalam satu bulan terakhir, hubungan seksual
dengan pekerja seks dalam 1 bulan terakhir, pekerjaan
suami beresiko tinggi.
4) Riwayat penyakit keluarga
Adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota
keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain baik bersifat
genetis maupun tidak. Apakah ada anggota keluarha uang
juga pernah terkena penyakit tumor atau penyakit
degeneratif lainnya.
c. Pemeriksaan fisik
1) Sistem integument
- Kulit: biasanya terdapat lesi berupa papula, makula,
postula

Modul Keperawatan Maternitas II | 119


- Kepala: biasanya terdapat nyeri kepala
- Mata: pada sifilis kongenital terdapat kelainan pada
mata (keratitis inter stisial)
- Hidung: pada stadium III dapat merusak tulang
rawan pada hidung dan palatum
- Telinga: pada sifilis kongenital dapat menyebabkan
ketulian
- Mulut: pada sifilis kongenital, gigi hubungin
(incisivus I atas kanan dan kiri bentuknya seperti
obeng).
- Leher: pada stadium II biasanya terdapat nyeri leher
2) Sistem pernafasan: kelelahan terus menerus, kaku kuduk,
maliase. Tanda (kelemahan, perubahan TTV)
3) Sistem kardiovaskuler: kemungkinan adanya hipertemsi,
arterioskleorosis dan penyakit jantung reumatik
sebelumnya.
4) Sistem pencernaan: biasanya terjadi anorexia pada stadium
II
5) Sistem musculoskeletal: pada neurosifilis terjadi athaxia
6) Sistem neurologis: biasanya terjadi parathesia
7) Sistem perkemihan: penurunan berkemih, nyeri pada saat
kencing, kencing keluar nanah, misalnya kencing
bercampur nanah, nyeri pada saat kencing
8) Sistem reproduksi: biasanya terjadi impotensi
d. Pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi kesehatan manajemen kesehatan
a) Tanyakan pada klien bagaimana pandangannya
tentang penyakit yang dideritanya dan pentingnya
kesehatan bagi klien?
b) Kaji apakah klien merokok atau minum alkohol?

Modul Keperawatan Maternitas II | 120


c) Apakah klien mengetahui tanda dan gejala
penyakitnya?
2) Pola nutrisi metabolic
a) Tanyakan kepada klien bagaimana pola makannya
sebelum sakit dan pola makan setelah sakit?
b) Apakah ada perubahan pola makan klien?
c) Kaji apa makanan kesukaan klien?
d) Kaji riwayat alergi makanan maupun obat-obatan
tertentu
e) Biasanya klien mengalami gejala: anoreksia
3) Pola eliminasi
a) Tanyakan kepada klien pola mksi dan defekasi klien
apakah mengalami gangguan?
b) Kaji apakah klien menggunakan alat bantu untuk
eliminasinya?
c) Apakah klien merasakan nyeri saat BAK dan BAB?
d) Biasanya klien mengalami gejala: penurunan
berkemih, nyeri pada saat kencing, kencing keluar
nanah.
4) Pola aktivitas latihan
a) Kaji bagaimana klien melakukan aktivitasnya sehari-
hari sebelum menghadapi pembedahan, apakah klien
dapat melakukannya sendiri atau malah dibantu
keluarga?
b) Biasanya klien mengalami gejala: kelelahan terus-
menerus, kaku kuduk, malaise.
c) Tanda: kelemahan, perubahan TTV ( tekanan darah
kadang naik)
5) Pola istirahat tidur
a) Kaji perubahan pola tidur klien, berapa lama klien
tidur dalam sehari?

Modul Keperawatan Maternitas II | 121


b) Apakah klien mengalami gangguan dalam tidur
seperti nyeri?
6) Pila kognitif persepsi
a) Kaji tingkat kesadaran klien, apakah klien mengalami
gangguan pada panca indra?
b) Bagaimana kemampuan berkomunikasi, memahami
serta berinteraksi klien terhadap orang lain?
7) Pola reproduksi dan seksualitas
1) Apakah ada perubahan kepuasan pada seksualitas
klien
2) Kaji pasien, apakah ada saat berhubungan memakai
alat pelindung?
3) Biasanya pada pemeriksaan alat kelamin bagian luar
ditemukan:
o Ulkus genital: sakit bila disentuh, tepi luka
jelas atau tepi mengandung pembengakan
kelenjar inguinal: sakit bila disentuh, bekas
luka kelenjar lipat paha
Kutil genital: vulva vagina, anus
o Keputihan tidak biasa jumlah banyak atau
terus keluar warna tidak biasa, rasa gatal, bau
busuk amis atau asam, ada daging atau kutil
pada alat kelamin
e. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratarium: kimia, darah, ureum, kreatinin,
GDS, analisa urin, darah rutin
2) Pemeriksaan T palidium
3) Cara pemeriksaan adalah mengambil serum dari kesi kulit
dan dilihat bentuk dan pergerakkannya dengan microscope
lapangan gelap. Pemeriksaan dilakukan 3 hari berturut-
turut jika hasil pada hari 1 dan 2 negatif sementara lesi

Modul Keperawatan Maternitas II | 122


dikompres dengan larutan garam saat bila negatif bukan
berarti diagnosismya bukan sifilis mungkin kumannya
terlalu sedikit.
4) Pemeriksaan TTS
TTS atau serologic test for sifilis, TTS dibagi menjadi 2.
a) Test non treponemal: pada test ini digunakan
antigen tidak spesifik yaitu kardiolopin yang
dikombinasikan dengan lesitin dan kolesterol,
karena itu test ini dapat memberi reaksi biologi
semu (RBS) atau biologic fase positif (BFP)
b) Test treponemal
Test ini bersifat spesifik karena antigennya ialah
treponema atau ekstratnya dapat digolongkan
menjadi 4 kelompok:
 Test immobilisasi: TPI (Treponemal
paliidium immobization test)
 Test fiksasi komplement: RPCF ( Reiter
protein komplement fixation test)
 Test imunofluoresen: FTA-Abs (Fluoreent
treponemal anti body test?
 Test hemoglutisasi: TPHA (Treponemal
pallidium haemoglutinstion)
f. Pemeriksaan lain
Sinar rontgen dipakai untuk melihat kelainan khas pada
tulang yang terdapat pada sifilis kongenital juga pada sifilis
kardiovaskular misalnya untuk melihat aneorisma anorta, pada
neorosifilis test koloida mas sudah tidak dipakai lagi karena tidak
khas, pemeriksaan jumlah sel dan protein total pada likuor
serebossifinalis hanya menunjukkan adanya tanda inflamasi pada
susunan saraf pusat yang tidak selalu berarti terdapat neosifilis.

Modul Keperawatan Maternitas II | 123


Harga normal adalah 0-3 sel/mm3. Jika limfosit melebihi 5/mm3
berarti ada peradangan.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d kerusakan jaringan sekunder
b. Hipertermi b.d respon sistem ulkus mole
c. Gangguan integritas jaringan kulit b.d adanya ulkus pada
genetalia
d. Resiko tinggi infeksi b.d ulkus merah pada penis dan anus serta
demam subfebris
e. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan resiko penyebaran
infeksi dan infeksi berulang.

Modul Keperawatan Maternitas II | 124


Daftar Pustaka

Djuanda adhi,dkk.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi IV.jakarta :2005

Hartono Olivia R,2008.Treponema Pallidum. Forum Penelitian,1 (1) :2

Price,Sylvia.Anderson. 2005. Patofisiologi.jakarta:EGC

Patofisiologi sifilis.scribd.com

Modul Keperawatan Maternitas II | 125


BAB XI

GONORE

A. Pendahuluan
Gonore adalah salah satu penyakit menular seksual paling umum
yang disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae (Irianto, 2014).
Neisseria gonorrhoeae (N. Gonorrhoeae) merupakan bakteri diplokokkus
gram negatif dan manusia merupakan satu-satunya faktor host alamiah
untuk gonokokus, infeksi gonore hampir selalu ditularkan saat aktivitas
seksual (Sari et al., 2012). Menurut Irianto (2014) bahwa setiap tahunnya
kasus gonore lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria.
Kencing nanah atau gonore (bahasa Inggris: gonorrhea atau
gonorrhoea) adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh
Neisseria gonorrhoeae yang menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim,
rektum, tenggorokan, dan bagian putih mata (konjungtiva).
Gonore bisa menyebar melalui aliran darah ke bagian tubuh
lainnya, terutama kulit dan persendian. Pada wanita, gonore bisa menjalar
ke saluran kelamin dan menginfeksi selaput di dalam pinggul sehingga
timbul nyeri pinggul dan gangguan reproduksi (Wikipedia). Namun
penyakit gonore ini dapat juga ditularkan melalui ciuman atau kontak
badan yang dekat. Kuman patogen tertentu yang mudah menular dapat
ditularkan melalui makanan, transfusi darah, alat suntik yang digunakan
untuk obat bius.
Penyakit menular seksual juga disebut penyakit venereal
merupakan penyakit yang paling sering ditemukan di seluruh dunia.
Pengobatan penyakit ini efektif dan penyembuhan cepat sekali. Namun,
beberapa kuman yang lebih tua telah menjadi kebal terhadap obat-obatan
dan telah menyebar ke seluruh dunia dengan adanya banyak perjalanan
yang dilakukan orang-orang melalui transportasi udara.

Modul Keperawatan Maternitas II | 126


B. Definisi
Gonore adalah penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) yang
disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae. Bakteri tersebut
menginfeksi membran mukus dari saluran reproduksi, termasuk serviks,
uterus, serta tuba falopi pada wanita, dan uretra pada wanita dan pria.
Penyakit ini ditularkan dari orang keorang melalui kontak atau aktivitas
seksual yang melibatkan mukosa (vaginal,oral, dan anal).
Kencing nanah atau gonore ( bahasa Inggris : gonorrhoea ) adalah
penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae
yang menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim, rectum, tenggorokan,
dan bagian putih mata (konjungtiva). Gonore bisa menyebar melalui aliran
darah ke bagian tubuh lainnya, terutama kulit dan persendian. Pada wanita,
gonore bisa menjalar ke saluran kelamin dan menginfeksi selaput di dalam
pinggul sehingga timbul nyeri pinggul dan gangguan reproduksi
(Wikipedia, 2009).
WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 350 juta penderita baru
PMS (penyakit menular seksual) di negara berkembang seperti di Afrika,
Asia, Asia Tenggara, dan Amerika Latin. Di negara industri prevalensinya
sudah dapat diturunkan, namun di negara berkembang prevalensi gonore
menempati tempat teratas dari semua jenis PMS. Dalam kaitannya dengan
infeksi HIV/AIDS, United States Bureau of Census pada 1995
mengemukakan bahwa di daerah yang tinggi prevalensi PMS-nya, ternyata
tinggi pula prevalensi HIV/AIDS dan banyak ditemukan perilaku seksual
berisiko tinggi.

C. Etiologi
Menurut Mutaqqin (2011) organisme patogenik (Neisseria
Gonorhea) biasanya memasuki tubuh melalui vagina, menjalar melalui
kanalis servikalis dan masuk kedalam uterus. Di bawah berbagai kondisi,
organisme dapat memasuki salah satu atau ke dua tuba faloppi dan

Modul Keperawatan Maternitas II | 127


ovarium serta kedalam pelvis. Pada infeksi bakteri yang terjadi setelah
kelahiran atau aborsi, dan beberapa infeksi yang berhubungan dengan alat
intrauterin, patogen menyebar secara langsung melalui jaringan yang
menyangga uterus secara limfatic atau melalui pembuluh darah.
Peningkatan kebutuhan suplai darah yang dibutuhkan oleh plasenta
memungkinkan infeksi memiliki lebih banyak saluran untuk
memasukinya. Infeksi pasca persalinan dan pasca aborsi ini cenderung
untuk terjadi secara unilateral.
Pada infeksi gonorhea, gonokokus masuk melalui kanalis servikalis
dan ke dalam uterus, dimana lingkungan terutama sekali selama
menstruasi, memungkinkan mereka untuk memperbanyak diri dengan
cepat dan menyebar ke tuba faloppi dan ke dalam pelvis. Infeksi biasanya
bilateral. Pada kasus yang terjadi, beberapa penyakit (misal, Tuberculosis)
mendapat akses ke organ reproduktif melalui aliran darah.

D. Patofisiologi
Menurut mutaqqin (2011), Neisseria Gonorrhea adalah bakteri
gram-negatif yang di tularkan melalui hampir semua kontak seksual.
Bakteri secara langsung menginfeksi uretra, endoserviks, saluran anus,
konjungtiva dan faring. Infeksi dapat meluas dan melibatkan prostat,
vesikula seminalis, epididimis, serta testis pada pria; dan kelenjar skene,
bartholini, endometrium, tuba fallopi dan ovarium pada wanita.
Komplikasi lebih lanjut adalah dermatitis, atritis, endokarditis,
mioperikarditis, dan hepatitis.
Pada pria akan timbul gejala-gejala dan tanda-tanda uretritis dalam
waktu 2-5 hari sampai 1 bulan setelah inokulasi. Tanda pertama adalah
sekret uretra purulen berwarna kuning atau kuning kehijauan. Pada pria
yang tidak disirkumsisi dapat terjadi balanopostitis sehingga timbul sekret
dari bawah prepusium. Komplikasi balanopostitis adalah fimosis akibat
peradangan dan edema pada glans. Kurang dari 5% pria dengan uretritis
gonokok yang tidak berkomplikasi menjadi asimtomatik. Jika tidak

Modul Keperawatan Maternitas II | 128


diobati, dalam waktu 10-14 hari, infeksi akan naik dari uretra anterior ke
uretra posterior. Disuria menjadi bertambah berat dan menjadi malaise,
sakit kepala, serta limfadenopati regional. Infeksi yang terus berlanjut
menyebabkan prostatitis, epididimitis dan sistisis.
Masa inkubasi pada wanita berlangsung sedikitnya 2 minggu.
Tempat primer dari infeksi adalah endoserviks, dengan infeksi uretra pada
70-90% kasus. Uretritis primer tanpa melibatkan serfiks jarang terjadi
pada wanita, tetapi dapat terjadi pada mereka yang telah menjalani
histerektomi total. Lebih dari separuh wanita yang terinfeksi dengan
gonorhoe tidak mempunyai gejala kalaupun ada hanya gejala ringan yang
sering kali di abaikan, seperti sekret vagina, disuria, sering berkemih, sakit
punggung belakang, serta nyeri abdomen dan panggul. Pada pemeriksaan
serviks tampak rapuh dan bengkak, sering disertai sekret purulen atau
mukopurulen. Kelenjar batholini mungkin terkena sehingga dapat
terbentuk abses. Mukosa rektum dapat terinfeksi pada pria dan wanita
sebagai akibat otoinokulasi atau hubungan seksual melalui anus.

Modul Keperawatan Maternitas II | 129


E. Pathway

Modul Keperawatan Maternitas II | 130


F. Penanganan
Menurut Vietha (2009), pada pengobatan gonorea yang perlu
diperhatikan adalah efektivitas. Harga dan sesedikit mungkin efek
toksiknya, pemilihan resimen pengobatan sebaiknya mempertimbangkan
pula tempat infeksi, resistensi galur N. Gonorhoeae terhadap animicrobial
dan kemungkinan infeksi chlamydia trachomatic yang terjadi bersamaan.
Secara epidemiologi pengobatan yang dianjurkan adalah obat dengan dosis
tunggal.
Pengobatan gonore yang paling utama adalah pemberian
antibiotik. Lamanya pengobatan dengan antibiotik tergantung dari tingkat
keparahannya. Gonore yang parah dan sudah menyebar ke organ tubuh
lain membutuhkan pengobatan lebih lama.
1. Farmakologi
Beberapa jenis antibiotik yang umum digunakan untuk mengobati
gonore adalah :
a. Pilihan utama dan kedua adalah siprofloksasin 500 gram ofloksasin
400 mg. Berbagai rejimen yang dapat diberikan adalah :
1) Siprofloksasin 500 mr per oral, atau
2) Ofloksasin 400 mg per oral
3) Setriakson 250 mg I injeksi intra muscular
4) Spektimonisin 2 g injeksi intra muscular dikombinasikan
dengan
5) Dosisiklin 2 x 100 mg, selama 7 hari atau
6) Tetrasiklin 4 x 100 mg, selama 7 hari atau
7) Eritromisin 4 x 500 mg, selama 7 hari

b. Untuk daerah dengan insiden galur Neisseria gonorrhoe penghasil


penisilinase (NGPP) rendah, pilihan utamanya adalah penisilin
prokain akua 4,5 juta unit + 1 gram probenesid. Obat lain yang
dipakai, antara lain:
8) Ampisilin 3,5 gram + 1 gram probenesid, atau

Modul Keperawatan Maternitas II | 131


9) Ampisilin 3 gram + 1 gram probenesid
c. Pada kasus gonore dengan komplikasi dapat diberikan salah satu
obat dibawah ini :
10) Siprofloksasin 500/hari per oral, selama 5 hari
11) Ofloksasin 400 mg/hari, injeksi intra muscular, selama 3 hari
12) Setriakson 250 mg/hari, injeksi intra muscular, selama 3 hari
2. Non Farmakolohi
Memberikan pendidikan kepada pasien dengan menjelaskan
tentang :
13) Bahaya penyakit menular seksual dan komplikasinya
14) Pentingnya mematuhi pengobatan yang diberikan
15) Cara-cara menghindari infeksi PMS di masa datang
16) Pengobatan pada pasangan seksual tetapnya

Gejala gonore akan mereda dalam waktu beberapa hari setelah


pengobatan, tetapi rasa sakit di testis atau panggul membutuhan waktu
yang lama untuk hilang sepenuhnya. Sedangkan perdarahan berlebihan
saat menstruasi, akan membaik saat haid berikutnya. Pemeriksaan lanjutan
perlu dilakukan 2 minggu setelah pengobatan untuk melihat apakah infeksi
tersebut sudah hilang sepenuhnya atau masih ada.

Gonore yang telah berhasil diobati tidak membuat penderitanya


kebal terhadap penyakit gonore. Penderita yang sudah sembuh dapat
tertular kembali jika melakukan hubungan intim dengan penderita gonore.

G. Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b/d agen cidera biologi
b. Gangguan eliminasi urin b.d
c. Hipertermi b.d proses penyakit yang terjadi
d. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif

Modul Keperawatan Maternitas II | 132


2. Intervensi

No. Diagnosa NOC (Tujuan) NIC (Tindakan)


1. Nyeri Akut Setelah dilakukan 1. Lakukan pengkajian
nyeri secara
tindakan keperawatan
komprehensif termasuk
selama 1 x 24jam, lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas
diharapkan nyeri dapat
dan factor prestipasi.
terkontrol dengan kriteria
2. Observasi reaksi non
hasil :
verbal dari ketidak
- Mampu mengontrol nyamanan.
nyeri(tahu penyebab
3. Gunakan teknik
nyeri, mampu komunikasi taraupetik
untuk mengetahui
menggunakan teknik non
pengalaman nyeri pasien.
farmakologi untuk
4. Kontrol lingkungan
mengurangi nyeri,
yang dapat
mencari bantuan) mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
- Melaporkan bahwa
pencahayaan dan
nyeri berkurang dengan kebisingan.
menggunakan
5. Kaji latar belakang
manajemen nyeri. budaya pasien
- Mampu mengenali
6. Evaluasi tentang
nyeri(skal intesitas keefektifan dari tindaka
mengontrol nyeri yang
frekuensi dan nyeri)
telah di gunakan
- Menyatakan nyaman
7. Anjurkan pasien untuk
setelah nyeri berkurang.
memonitor nyeri sendiri
- Tanda vital dalam
8. Ajarkan teknik non
rentang normal.
farmakologi.

9. Berikan analgetik
untuk mengurangi nyeri

2. Gsnggusn eliminasi Setelah dilakukan 1. Lakukan penilaian

Modul Keperawatan Maternitas II | 133


urin b.d tindakan keperawatan kemih yang komprehensif
selama 1 x 24 jam
diharapkan klien : 2. Memantau penggunaan
- Tidak ada residu urin > obat dengan sifat
100-200 cc antikolinergik
- Intake cairan dalam
rentang normal 3. Memonitor efek dari
- Bebas dari ISK obat-obatan yang
- Tidak ada spasme diresepkan
bladder
- Balance cairan 4. Merangsang reflek
seimbang kandung kemih dengan
menerapkan dingin perut

5. Memantau asupan dan


keluaran

6. Menerapkan
kateterisasi intermitten.

3. Hipertermi Setelah di lakukan 1. Monitor suhu sesering


tindakan keperawatan 1x mungkin
24 jam di harapkan
pasien tidak demam lagi 2. Monitor IWL
dengan kriteria hasil :
3. Monitor warna dan
- Suhu tubuh dalam suhu kulit
rentang normal
- Nadi dan respirasi 4. Monitor TD, nadi, dan
dalam rentang normal. RR
- Tidak ada perubahan
warna kulit. 5. Monitor intake dan
output

6. Berikan antipiretik

7. Lakukan tapid sponge

8. Kombinasi pemberian
caira IV

9. Monitor suhu minimal


2 jam sekali

4. Kekurangan Setelah di lakukan 1. Monitor pengeluaran


Volume Cairan tindakan keperawatan urin termasuk frekuensi,

Modul Keperawatan Maternitas II | 134


selama 1 x 24jam di warna, volume dan
harapkan eliminasi dalam senyawa yang terkandung
rentang normal dengan di dalamnya
kriteria hasil :
2. Monitor tanda dan
- Frekuensi eliminasi urin gejala infeksi yang sudah
dalam rentang normal ada
- Tidak ada bengkak dan
memerah pada alat 3. Monitor kemampuan
kelamin klien untuk melakukan
- Tidak ada secret darah perawatan diri yang
keluar dari saluran mandiri
kencing
- Urin tidak mengandung 4. Monitor kebutuhan
protein glukosa ataupun klien alat-alat bantu untuk
keton kebersihan
diri,berpakaian,
berhias,toileting,dan
makan

5. Sediakan bantuan
sampai klien mampu
secara utuh untuk
melakukan selfcare

6. Ajarkan klien dan


keluarga untuk
mendorong kemandirian,
untuk memberikan
bantuan hanya jika pasien
tidak mampu untuk
melakukanya

7. Berikan aktivitas rutin


sehari-hari sesuai
kemampuan

Modul Keperawatan Maternitas II | 135


Daftar Pustaka
Askep Gonorhea. Dikutip 11 September 2019 dari Askep Gonorhea :
http://tentangperawat25.blogspot.com/2013/11/asuhan-keperawataan-pada-pasien-
dengan.html. Diakses 28 November 2018

Vietha.2019. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gonorhea. Dikutip 11


September 2019: http://viethanurse.wordpress.com/asuhan - keperawatan - klien -
dengan - Gonorhea.html. Diakses tanggal 27 September 2013

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan. Dikutip 11 September 2019 dari


Asuhan Keperawatan Pada Paien Gonorhea :
https://cumienurse.blogspot.com/2016/08/asuhan-keperawatan-pada-pasien-
gonorhea.html. Diakses tanggal 27 Agustus 2016

Ekalisa Larate 2019. Pengertian Gonore. Dikutip 11 September 2019 Penegertian


Gonore : https://www.academia.edu/28996095/Pengertian_Gonore

Melliya 2019. Asuhan Keperawatan Pada Gonorhea. Dikutip 11 Septtember 2019


dari Melliya Blog : https://myblogmelliya.blogspot.com/2016/12/asuhan-
keperawatan-pada-gonorhea.html

Safirah Nurita 2019. Gonorrhea. A.KonsepDefinisi. Dikutip 11 September 2019


dari Konsep Gonorrhea :
https://www.academia.edu/8377686/GONORRHEA_A._KonsepDefinisi

Modul Keperawatan Maternitas II | 136


BAB XII
HERPES GENETALIA
A. Pendahuluan
Kulit adalah organ yang sangat penting untuk mengetahui tingkat
kesehatan seseorang. Kecantikan seseorang secara fisik dapat dilihat dari
kesehatan kulitnya. Kulit yang sehat mencerminkan kebersihan, status
gizi, dan juga kepribadian seseorang.
Herpes genital termasuk penyakit menular seksual yang ditakuti
ole setiap orang. Torres melaporkan bahsa HSV-II telah menginfeksi lebih
dari 40% penduduk dunia, oleh karena itu dikatakan bahwa saat ini herpes
genital sudah merupakan endemik di banyak negara. Kelompok resiko
yang rentan terinfeksi tentunya adalah seseorang dengan perilaku yang
tidak sehat.

B. Definisi
Herpes merupakan infeksi kulit kelamin yang disebabkan oleh,
virus yang ditularkan melalui hubungan seks. Terkadang ditemukan juga
pada mulut penderita karena yang bersangkutan melakukan oral seks
dengan penderita herpes.
Herpes genitalis adalah suatu penyakit menular seksual di daerah
kelamin, kulit di sekelilingrektum atau daerah disekitarnya yang
disebabkan oleh virus herpes simpleks.
Herpes genitalis merupakan infeksi pada genital dengan gejala
khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritem bersifat
rekuren. Herpes genitalis terjadi pada alat genital dan sekitarnya (bokong,
daerah anal dan paha). Ada dua macam tipe HSV yaitu : HSV-1 dan HSV-
2 dan keduanya dapat menyebabkan herpes genital. Infeksi HSV-2 sering
ditularkan melalui hubungan seks dan dapat menyebabkan rekurensi dan
ulserasi genital yang nyeri. Tipe 1 biasanya mengenai mulut dan tipe 2
mengenai daerah genital.

Modul Keperawatan Maternitas II | 137


C. Etiologi
Virus herpes genital menyebar melalui kontak tubuh secara
langsung dan sebagian besar dengan kontak seksual. Dalam keadaan tanpa
adanya antibodi , kontak dengan partner seksual yang menderita lesi
herpes aktif, sebagian besar akan mengakibatkan penyakit yang bersifat
klinis.
Herpes genitalis disebabkan oleh HSV atau herpes virus hominis
(HVH), yang merupakan anggota dari famili herpesviridae. Adapun tipe-
tipe dari HSV :
1. Herpes simplex virus tipe I : pada umunya menyebabkan lesi atau luka
pada sekitar wajah, bibir, mukosa mulut, dan leher.
2. Herpes simplex virus tipe II : umumnya menyebabkan lesi pada
genital dan sekitarnya (bokong, daerah anal dan paha).

Herpes simplex virus tergolong dalam famili herpes virus, selain


HSV yang juga termasuk dalam golongan ini adalah Epstein Barr (mono)
dan varisela zoster yang menyebabkan herpes zoster dan varicella.
Sebagian besar kasus herpes genitalis disebabkan oleh HSV-2, namun
tidak menutup kemungkinan HSV-1 menyebabkan kelainan yang sama.

Pada umumnya disebabkan oleh HSV-2 yang penularannya secara


utama melalui vaginal atau anal seks. HSV-1 genital menyebar lewat oral
seks yang memiliki cold sore pada mulut atau bibir, tetapi beberapa kasus
dihasilkan dari vaginal atau anal seks.

D. Ptofisiologi
Gejala awalnya mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi.
gejala awal biasanya berupa gatal, kesemutann dan sakit. Lalu akan
muncul bercak kemerahan yang kecil, yang di ikuti oleh sekumpulan
lepuhan kecil yang terasa nyeri. Lepuhan ini pecah dan bergabung
membentuk luka yang melingkar. Luka yang terbentuk biasanya
menimbulkan nyeri dan membentuk keropeng. Penderita bisa mengalami

Modul Keperawatan Maternitas II | 138


kesulitan dalam berkemih dan ketika berjalan akan timbul nyeri, luka akan
membaik dalam waktu 10 hari tetapi bisa meninggalkan jaringan parut.

Kelenjar getah bening selangkangan biasanya agak membesar.


Gejala awal ini sifatnya lebih nyeri, lebih lama dan lebih meluas
dibandingkan gejala berikutnya dan mungkin disertai dengan demam dan
tidak enak badan. Pada pria, lepuhan dan luka bisa terbentuk di setiap
bagian penis, termasuk kulit depan pada penis yang tidak disunat. Pada
wanita, lepuhan dan luka bisa terbentuk di vulva dan leher rahim. Jika
penderita melakukan hubungan seksual melalui anus, maka lepuhan dan
luka bisa terbentuk disekitar anus atau di dalam rektum.

Pada penderita gangguan sistem kekebalan, misalnya penderita


infeksi HIV. Luka herpes bisa sangat berat, menyebar ke bagian tubuh
lainnya menetap selama beberapa minggu atau lebih dan resisten terhadap
pengobatan dengan asiklovir. Gejala-gejalanya cenderung kambuh
kembali di daerah yang sama atau di sekitarnya. Karena, virus menetap di
saraf panggul terdekat dan kembali aktif untuk kembali menginfeksi kulit.

HSV-2 mengalami pengaktivan kembali di dalam saraf panggul.


HSV-1 mengalami pengaktivan kembali di dalam saraf wajah dan
menyebabkan fever blister atau herpes labialis.

Modul Keperawatan Maternitas II | 139


E. Pathway

Modul Keperawatan Maternitas II | 140


F. Penanganan
Sampai sekarang belum ada obat yang memuaskan untuk terapi
herpes genitalis, namun pengobatan secara umum perlu diperhatikan,
seperti:
1. Menjaga kebersihan lokal.
2. Menghindari trauma atau faktor pencetus.
3. Penggunaan idoxuridine mengobati lesi herpes simpleks secara lokal
sebesar 5% sampai 40% dalam dimethyl sulphoxide sangat
bermanfaat. Namun, pengobatan ini memiliki beberapa efeksamping,
di antaranya pasien akan mengalami rasa nyeri hebat, maserasi kulit
dapat juga terjadi.

Obat-obatan untuk menangani herpes genital adalah:

1. Asiklovir (zovirus)
Pada inveksi HVS genitalis primer, asiklovir intravena (5 mg/kg
BB/8 jam selama 5 hari), asiklovir oral 200 mg (5 kali/hari saelama
10-14 hari) dan asiklovir topikal (5% dalam salf propilen glikol) dapat
mengurangi lamanya gejala dan ekskresi virus serta mempercepat
penyembuhan.
2. Famsiklovir
Jenis pensiklovir, suatu analog nukleosida yang efekti menghambat
replikasi HSV-1 dan HSV-2.
3. Valasiklovir
Suatu ester dari asiklovir yang secara cepat dan hampir lengkap
berubah menjadi asiklovir oleh enzim hepar dan meningkatkan
bioavaibilitas asiklovir sampai 54%. Oleh karena itu dosis oral 1000
mg valasiklovir menghasilkan kadar obat dalam darah yang sama
dengan asiklovir intravena. Valasiklovir 1000 mg telah dibandingkan
asiklovir 200 mg 5 kali sehari selama 10 hari untuk terapi herpes
genitalis episode awal.

Modul Keperawatan Maternitas II | 141


G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
meliputi nama, umur, jenis kelamin (biasanya pada anak
laki-laki dan wanita sebagai carier), agama, suku/bangsa,
alamat, tgl. MRS, dan penanggung jawab.
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Gejala yang sering menyebabkan klien datang adalah nyeri
pada lesi yang timbul.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Tanyakan keluhan pada klien dengan mengunakan pola
PQRST
3) Riwayat kesehatan dahulu
Tanyakan pada klien apakah pernah mengalami penyakit
seperti ini.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada klien ada anggota keluarga yang terinveksi
virus ini.
c. Pola fungsi kesehatan
1) Persepsi terhadap kesehatan: jika sakit klien langsung
pergi berobat.
2) Pola aktivitas bergantung pada berat ringannya
penyakit.
3) Pola istirahat atau tidur: klien mengatakan sering
mengalami ganguuan pola tidur karena merasa
panas,pedih,dan nyeri.
4) Pola nutrisi metabolik: klien mengalami penurunan
BAB dan BAK.
5) Pola eliminasi; klien mengatakan merasa perih dan
panas ketika BAB dan BAK.

Modul Keperawatan Maternitas II | 142


6) Pola kognitif perseptual: klien dalam keadaan sadar
penuh tapi hampir semua aktivitas tidak di lakukan
dengan sempurna sehingga butuh bantuan dan
pengawasan.
7) Pola konsep diri
 Identitas diri: klien dengan kesadaran penuh
dapat mengenali dirinya.
 Ideal diri: klien merasa rendah diri karena
mengalami gangguan pada alat kelaminnya.
 Gambaran diri: klien mengalami gangguan pada
gambaran diri karena di sebabkan
penampilannya yang kotor.
 Peran diri: klien sedih dan mengatakan ingin
cepat sembuh
 Harga diri: klien merasa kurang percaya diri
8) Seksual reproduksi : klien sangat bermasalah dan
terganggu dalam reproduksi karena mengalami penyakit
kelamin.
9) Pola nilai dan kepercayaan: selama sakit klien
melakukan semua ibadahnya.
10) Pola koping: klien selalu menceritakan kepada
keluarganya jika mengalami masalah dengan
penyakitnya.
d. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum: compos menthis
2) Pemeriksaan persistem:
a) Sistem kardiovaskular: N=124x/
menit,TD=130/90mmHg
b) Sistem respirasi:27x/menit
c) Sistem gastro intestinal: penderita tidak mengalami
gangguan pada sistem ini.

Modul Keperawatan Maternitas II | 143


d) Sistem muskuloskeletal: penderita tidak mengalami
gangguan pada sistem ini.
e) Sistem integumen: turgor kulit jelek,suhu 39ºC.
f) Sistem perkemihan: klien mengalami disuria dan
terdapat infeksi.

e. Data penunjang
 Pemeriksaan urin: -
 Pemeriksaan lab: -
f. Therapy: -
g. Analisa data
No Data Etiologi Masalah
1 DS: - Agen cedera biologi Nyeri akut
DO:Gatal di bagian
genital
2 DS: - Proses penyakit Hipertermi
DO:Suhu pasien 39

3 DS: - Penurunan imunologis Kerusakan


DO:Terdapat lesi pada integritas jaringan
kulit bagian genital

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen cedera biologi
b. Hipertermi b.d proses penyakit
c. Kerusakan integritas jaringan b.d penurunan imunologis

Modul Keperawatan Maternitas II | 144


3. Intervensi

No Diagnosa NOC NIC


1 Nyeri akut Setelah di lakukan -lakukan pengkajian
tindakan keperwatan nyeri secara
selama 1x24 jam di komperhensif .
harapkan nyeri dapat -obserpasi reaksi non
terkontrol dengan verbal dari ketidak
kriteria hasil: nyamanan
-mampu mengontrol -gunakan teknik
nyeri komunikasi terapetik
-melaporkan bahwa untuk mengetahui
nyeri berkurang pengalaman nyeri
dengan menggunakan pasien
manajemen nyeri -anjurkan pasien
-mampu mengenali untuk memonitor
nyeri nyeri sendiri
-menyatakan rasa -berikan ananlgetik
nyaman setelah nyeri untuk mengurangi
berkurang. nyeri
2 hipertermi Setelah di lakukan -monitor suhu
tindakan keperwatan sesering mungkin
selama 1x24 jam di -monitor warna dan
harapkan nyeri dapat suhu kulit
terkontrol dengan -monitir tekanan
kriteria hasil: darah,nadi dan RR
-suahu tubuh dalam -lakukan tepid sponge
rentang normal
-nadi dan RR dalam
rentang normal

Modul Keperawatan Maternitas II | 145


-tidak ada perubahan
warna kulit dan tidak
ada pusing
3 Kerusakan Setelah di lakukan -anjurkan pasien
integritas jaringan tindakan keperwatan menggunakan pakaian
selama 1x24 jam di yang longgar
harapkan nyeri dapat -jaga kebersihan kulit
terkontrol dengan -monitor kulit akan
kriteria hasil: adanya kemerahan
1.perfusi jaringan
normal
2.tidak ada tanda-
tanda infeksi
3.ketebalan dan
tekstur jaringan
normal

Modul Keperawatan Maternitas II | 146


Daftar Pustaka

https://www.academia.edu/12956704/MAKALAH_HERPES

https://www.scribd.com/document/353965257/Askep-Penyakit-Herpes-Genital

http://yoseph-dmc21.blogspot.com/2012/03/asuhan-keperawatan-pada-pasien-
dengan.html

https://dokumen.tips/documents/askep-herpes-genitalis.html

https://www.scribd.com/doc/241597312/Pathway-Herpes

Modul Keperawatan Maternitas II | 147


BAB XIII
TOKSOPLASMOSIS
A. Pendahuluan
Toxoplasmosis adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh
protozoa parasit Toxoplasma gondii (T.gondii), parasit tersebut dapat
menginfeksi semua mamalia dan spesies burung. Hampir semua hewan
berdarah panas dapat menjadi hewan yang menularkan T. Gondii
contohnya seperti kambing, sapi, kucing, babi dan jenis hewan lainnya.
Untuk tertular penyakit toxoplasmosis tidak hanya terjadi pada orang yang
memelihara kucing atau anjing tetapi juga bisa terjadi pada orang lainnya
yang suka memakan makanan dari daging setengah matang atau sayuran
lalapan yang terkontaminasi dengan agent penyebab penyakit
toxoplasmosis.

B. Definisi
Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yaitu penyakit pada
hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh
sporozoa yang dikenal dengan nama Toxoplasmosis gondii, yaitu suatu
parasit intraselluler yang banyak terinfeksi pada manusia dan hewan
peliaharaan. Penderita toxoplasmosis biasanya tidak memperlihatkan suatu
tanda gejala yang klinis sehingga untuk menentukan diagnosis penyakit ini
sering terabaikan dalam praktik dokter sehari-hari.
Apabila penyakit toxoplasmosis ini menyerang ibu hamil pada
trimester ketiga biasanya akan mengakibatkan hidrochephalus,
khorioretinitis, tuli atau epilepsi. Penyakit toksoplasmosis adalah infeksi
yang bisa mengancam pertumbuhan janin dan bisa menyebabkan
keguguran. Parasit penyebabnya adalah Toxoplasma gondii, yang
berkembang biak dalam saluran pencernaan kucing dan ikut keluar
bersama fesesnya, terutama hidup di bak pasir tempat BAB kucing dan di
tanah atau pupuk kebun.

Modul Keperawatan Maternitas II | 148


Penularan infeksi ini dapat terjadi apabila saat membersihkan
kotoran atau tanah yang terdapat feses kucing dan apabila mengkonsumsi
makanan seperti daging yang kurang matang. Kucing adalah tempat utama
parasit ini berkembang biak, tetapi masih banyak hewan yang bisa
terinfeksi parasit ini misalnya pada anjing, unggas dan hewan ternak
seperti babi, sapi, atau kambing.

C. Etiologi
Toxoplasmosis ditemukan oleh Nicelle dan Manceaux pada tahun
1909 yang menyerang hewan pengerat di Tunisia, Afrika Utara.
Selanjutnya setelah diselidiki maka penyakit yang disebabkan oleh
toxoplasmosis dianggap suatu genus termasuk famili babesiidae.
Infeksi Toxoplasmosis ini disebabkan oleh parasit bernama
Toxoplasma Gondii (T. Gondii). Parasit ini dapat ditemukan pada kucing
atau hewan liar dan menjadikan hewan tersebut sebagai sel inang nya.
Tetapi biasanya hewan tersebut tidak menunjukan gejala klinis akibat
terinfeksi virus tersebut. Parasit T. Gondii ini tidak dapat menular antar
manusia, meskipun bersentuhan, melalui asi dan menularkan pada
anaknya. Kecuali dalam beberapa kasus seperti melalui prosedur
transplantasi organ atau ibu hamil yang sedang terinfeksi fase akut dapat
menularkan janinnya.
Parasit ini mampu bertahan beberapa bulan di tanah atau di air, ada
beberapa cara parasit ini masuk kedalam tubuh manusia, yaitu :
1. Mengonsumsi sayuran atau buah-buahan yang tidak dicuci serta
minum air yang terkonaminasi kotoran kucing.
2. Mengonsumsi daging yang mentah atau kurang matang.
3. Menggunakan peralatan yang telah terkontaminasi kotoran kucing
seperti pisau, gunting, dan talenan bekas daging mentah terinfeksi.
4. Meminum susu kambing yang mentah atau produk yang terbuat
darinya.

Modul Keperawatan Maternitas II | 149


D. Klasifikasi
Toxoplasma gondii dalam klasifikasi termasuk kelas Sporozoasida,
karena berkembang biak secara seksual dan aseksual yang terjadi secara
bergantian. Selain itu Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu
bentuk trofozoit, kista, clan Ookista. Trofozoit berbentuk oval dengan
ukuran 3-7 um, dapat menginvasi semua sel mamalia yang memiliki inti
sel. Dapat ditemukan dalam jaringan selama masa akut dari infeksi. Bila
infeksi menjadi kronis, trofozoit dalam jaringan akan membelah secara
lambat dan disebut bradizoit.
Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan
jumlah ribuan berukuran 10-100 um. Kista penting untuk transmisi dan
paling banyak terdapat dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf
pusat. Bentuk yang ketiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12
um. Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan
bersamaan dengan feces kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung
siklus aseksual atau schizogoni dan siklus seksual atau gametogeni dan
sporogoni yang menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feces
kucing.

2.1 Habitat Toxoplasma Gondii

Habitat Toksoplasma gondii hidup didalam :


1. Sel endotil
2. Leukosit mononukler
3. Cairan tubuh
4. Sel jaringan hospes/tuan rumah
Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada monocyte dan sel-sel
endothelial pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya berbentuk
bulat atau oval, jarang ditemukan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan
dalam jumlah besar pada organ-organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa,
sumsum tulang, otak, ginjal, urat daging, jantung dan urat daging licin lainnya.

Modul Keperawatan Maternitas II | 150


Perkembangbiakan toxoplasma terjadi dengan membelah diri menjadi 2, 4 dan
seterusnya. Belum ada bukti yang jelas mengenai perkembangbiakan dengan
jalan schizogoni. Pada preparat ulas dan sentuh dapat dilihat di bawah
mikroskop bentuk yang oval agak panjang dengan kedua ujung lancip, hampir
menyerupai bentuk merozoit dari coccidium. Jika ditemukan di antara sel-sel
jaringan tubuh berbentuk bulat dengan ukuran 4 sampai 7 mikron. Inti selnya
terletak di bagian ujung yang berbentuk bulat. Pada preparat segar, sporozoa
ini bergerak, namun para peneliti belum ada yang berhasil memperlihatkan
flagellanya.

E. Habitat Toxoplasma Gondii


Habitat Toksoplasma gondii hidup didalam :
1. Sel endotil
2. Leukosit mononukler
3. Cairan tubuh
4. Sel jaringan hospes/tuan rumah
Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada monocyte dan sel-
sel endothelial pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya
berbentuk bulat atau oval, jarang ditemukan dalam darah perifer, tetapi
sering ditemukan dalam jumlah besar pada organ-organ tubuh seperti pada
jaringan hati, limpa, sumsum tulang, otak, ginjal, urat daging, jantung dan
urat daging licin lainnya.
Perkembangbiakan toxoplasma terjadi dengan membelah diri menjadi
2, 4 dan seterusnya. Belum ada bukti yang jelas mengenai
perkembangbiakan dengan jalan schizogoni. Pada preparat ulas dan sentuh
dapat dilihat di bawah mikroskop bentuk yang oval agak panjang dengan
kedua ujung lancip, hampir menyerupai bentuk merozoit dari coccidium.
Jika ditemukan di antara sel-sel jaringan tubuh berbentuk bulat dengan
ukuran 4 sampai 7 mikron. Inti selnya terletak di bagian ujung yang
berbentuk bulat. Pada preparat segar, sporozoa ini bergerak, namun para
peneliti belum ada yang berhasil memperlihatkan flagellanya.

Modul Keperawatan Maternitas II | 151


F. Daur Hidup Toxoplasma Gondii
Siklus hidup T. gondii memiliki dua fase. Bagian seksual dari
siklus hidup hanya terjadi pada kucing, baik domestik maupun liar
(keluarga Felidae), yang membuat kucing menjadi tuan rumah utama
parasit. Tahap kedua, bagian aseksual dari siklus hidup, dapat terjadi di
lain hewan berdarah panas, termasuk kucing, tikus, manusia, dan burung.
Host dimana reproduksi aseksual terjadi disebut hospes perantara.
Kucing dan hewan sejenisnya merupakan hospes definitif dari T.
gondii. Di dalam usus kecil kucing sporozoit menembus sel epitel dan
tumbuh menjadi trofozoit. Inti trofozoit membelah menjadi banyak
sehingga terbentuk skizon. Skizon matang pecah dan menghasilkan
banyak merozoit (skizogoni). Daur aseksual ini dilanjutkan dengan daur
seksual. Merozoit masuk ke dalam sel epitel danmembentuk
makrogametosit dan mikrogametosit yang menjadi makrogamet dan
mikrogamet (gametogoni). Setelah terjadi pembuahan terbentuk ookista,
yang akan dikeluarkan bersama kotoran kucing.

G. Manifestasi Klinik
1. Kulit bewarna kekuningan
2. Peradangan korion (chrorionitis) atau infeksi dibagian belakang bola
mata dan retina
3. Pembesaran organ hati dan limpa
4. Ruam kulit atau kulit mudah memar
5. Kejang
6. Penumpukan cairan di otak, sehingga kepala menjadi besar
(hidrocepallus)
7. Kepala tampak lebih kecil (mikrocepallus)
8. Gangguan intelektual atau retardasi mental
9. Kehilangan pendengaran
10. Anemia

Modul Keperawatan Maternitas II | 152


H. Patofisiologi
Patofisiologi toxoplasmosis pada populasi imunokompeten bersifat
asimtomatik akibat adanya proteksi dari sistem imun. Pada bayi dan pasien
imunokompromais, toxoplasmosis akan menyebabkan terjadinya abses
dan inflamasi dari jaringan lokal. Hal ini menyebabkan terjadinya
komplikasi dan gejala toxoplasmosis, baik toxoplasmosis kongenital,
toxoplasmosis okular, maupun toxoplasmosis serebral.
Toksoplasma masuk ke dalam tubuh manusia dalam bentuk
oosit (stadium infektif) dan di usus halus kemudian berubah menjadi
bentuk takizoid yang kemudian dapat menginvasi berbagai jaringan tubuh,
seperti otot, otak, hati, paru dan plasenta. T. gondii yang masuk ke dalam
sel epitel usus kemudian bereplikasi. Penyebaran kuman T. gondii dalam
tubuh manusia adalah melalui migrasi antar jaringan secara langsung
ataupun melalui darah, serta “menumpang” pada leukosit atau dikenal juga
dengan prinsip Kuda Trojan.

Modul Keperawatan Maternitas II | 153


I. Pathway

Toxoplasma Gondii

Masuk kedalam tubuh berupa oosit

Masuk di sel epitel usus berubah bentuk menjadi takizoid

Menginvasi jaringan tubuh, otot, otak, hati, paru dan plasenta

Menyebabkan inflamasi jaringan lokal

Peningkatan proses metabolisme Proses Infeksi

Kenaikan suhu tubuh Nyeri

Hipertermia

J. Pencegahan
Kucing merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
timbulnya toksoplasmosis, karena kucing mengeluarkan berjuta-juta
ookista dalam tinjanya, yang dapat bertahan sampai satu tahun di dalam
tanah yang teduh dan lembab. Untuk mencegah hal ini, maka terjadinya
infeksi pada kucing dapat dicegah, yaitu dengan memberi makanan yang
matang sehingga kucing tidak berburu tikus atau burung. Tetapi ini hanya
dapat digunakan untuk kucing peliharaan. Untuk mencegah terjadinya

Modul Keperawatan Maternitas II | 154


infeksi dengan ookista yang berada di dalam tanah, dapat diusahakan
mematikan ookista dengan bahan kimia seperti formalin, amonia dan iodin
dalam bentuk larutan serta air panas 70oC yang disiramkan pada tinja
kucing
Anak balita yang bermain di tanah atau ibu-ibu yang gemar
berkebun, juga petani sebaiknya mencuci tangan yang bersih dengan sabun
sebelum makan. Sayur mayur yang dimakan sebagai lalapan harus dicuci
bersih, karena ada kemungkinan ookista melekat pada sayuran. Makanan
yang matang harus ditutup rapat supaya tidak dihinggapi lalat atau kecoa
yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke makanan tersebut.

K. Penanganan
Obat - obat yang dipakai sampai saat ini hanya membunuh bentuk
takizoid T. Gondii dan tidak membasmi bentuk kistanya, sehingga obat -
obat ini dapat memberantas infeksi akut, tetapi tidak dapat menghilangkan
infeksi menahun, yang dapat menjadi aktif kembali.

L. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesis dan gejala klinis
1) Kulit bewarna kekuningan
2) Peradangan korion (chrorionitis) atau infeksi dibagian belakang
bola mata dan retina
3) Pembesaran organ hati dan limpa
4) Ruam kulit atau kulit mudah memar
5) Kejang
6) Penumpukan cairan di otak, sehingga kepala menjadi besar
(hidrocepallus)
7) Kepala tampak lebih kecil (mikrocepallus)
8) Gangguan intelektual atau retardasi mental
9) Kehilangan pendengaran

Modul Keperawatan Maternitas II | 155


10) Anemia

b. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
 Mata : Cekung, konjungtiva anemis
 Bibir : Terlihat pucat
 Leher : Terjadi limfadenopati (pembesaran getah bening )
 Integumen : Timbul ruam pada kulit, ikterus (kekuningan)
2) Palpasi
 Mata : Nyeri
 Leher : Sakit tenggorokan
 Abdomen : Nyeri
 Integumen : Suhu tubuh meningkat
 Muskuloskeletal : Nyeri saat digerakan, lemah
 Hepar : Hepatomegali (terdapat pembengkakan)

3) Perkusi
 Ekstremitas : reflek patella + / +
4) Auskultasi
 Bising usus
 Nadi
c. Pemeriksaan Fisik Umum
1) Suhu tubuh klien meningkat
2) Terjadi diare dan sakit tenggorokan
3) Mata cekung dan konjungtiva anemis
4) Pembesaran organ hati dan limpa
5) Kulit bewarna kekuningan

Modul Keperawatan Maternitas II | 156


d. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis toxoplasmosis dengan pemeriksaan penunjang dapat
ditegakkan melalui serangkaian tes seperti serologi, pemeriksaan
radiologi dan molekular.

1) Tes Serologi
Kombinasi tes serologi sering diperlukan untuk
menentukan infeksi akut atau kronis. IgG muncul dalam 1-2
minggu pertama infeksi dan dapat bertahan bertahun-tahun atau
seumur hidup. Tes aviditas IgG dapat digunakan untuk
membantu melihat infeksi akut atau kronis. Antibodi IgM
muncul segera setelah infeksi dan umumnya menghilang dalam
beberapa bulan. IgA dan IgE terdeteksi pada infeksi akut orang
dewasa dan infeksi kongenital. Pemeriksaan IgG dan IgM
dapat diulang saat jumlah CD4 mendekati 200 /mm3.
Pemeriksaan IgG direkomendasikan pada semua kasus HIV
karena hasil yang positif mengindikasikan pasien memiliki
risiko reaktivasi toxoplasmosis.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada
toxoplasmosis okular antara lain adalah immunoblotting atau
Western Blot (WB), Goldmann-Witmer Coefficient (GWC)
dan PCR.
Kriteria diagnostik untuk toksoplasma kongenital
berdasarkan American Academy of Pediatric antara lain IgG
antitoksoplasma yang persisten selama 12 bulan dari kelahiran
(baku emas), IgG dan IgM yang positif dengan atau tanpa IgA
antitoksoplasma positif, dan IgG positif tanpa IgM dan/atau
IgA antitoksoplasma dengan pemeriksaan serologi yang
mengarahkan pada infeksi akut Ibu saat kehamilan dan gejala
dari toxoplasmosis kongenital.

Modul Keperawatan Maternitas II | 157


2) Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Isolasi Parasit
PCR dapat mendeteksi T. gondii pada jaringan yang
terinfeksi, antara lain biopsi jaringan otak, cairan serebrospinal,
cairan vitreous dan aqueous, cairan ketuban (amniocentesis),
dan bronchoalveolar lavage (BAL). Isolasi parasit dari cairan
tubuh dan biopsi jaringan dapat dilakukan namun cara ini
membutuhkan kultur yang memakan waktu lama (kurang lebih
6 bulan).
3) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan neuroradiologi dilakukan untuk melihat
adanya toxoplasmosis ensefalitis. Pada pemeriksaan magnetic
resonance imaging (MRI) otak atau jika tidak
tersedia computed tomography (CT) scan kepala, dapat
ditemukan abnormalitas fokal atau multifokal. Hasil CT scan
dengan kontras menunjukkan adanya lesi multipel dengan
cincin atau penyengatan dengan keterlibatan ganglia basalis
dan kortikomedularis pada 70-80% pasien toxoplasmosis
ensefalitis. Pemeriksaan radiologi dapat digunakan untuk
menilai respon terapi dimana setelah pengobatan 3-6 bulan
dapat dilihat adanya resolusi pada lesi.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) antenatal
direkomendasikan untuk wanita hamil yang dicurigai atau
didiagnosis terinfeksi akut. Hingga dua pertiga kasus
toxoplasmosis kongenital tidak menunjukkan kelainan apapun
pada pemeriksaan USG. Temuan yang mengindikasikan
adanya infeksi T. gondii antara lain kalsifikasi intrakranial,
mikrosefali, pelebaran ventrikel, hepatosplenomegali, asites,
dan retardasi pertumbuhan intrauterin yang berat.

Modul Keperawatan Maternitas II | 158


2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
a. Nyeri b.d adanya proses infeksi / inflamasi
b. Hipertermi b.d peningkatan metabolisme, penyakit, ditandai
dengan suhu 390C, tubuh menggigil.

Modul Keperawatan Maternitas II | 159


Daftar Pustaka
Schiammarella, J. 2001. Toksoplasmosis. Medicine Journal, Volume 2(9), pp. 1–
10.

Ernawati. (2012). Toksoplasmosis, Terapi, dan Pencegahannya. Surabaya : UWK

Dubey, J. P., dan J. L. Jones. (2008). Toxoplasma Gondii Infection In Humans


and Animals In The United States. International Journal for Parasitology Vol
38[11]: 1257-1278. https://doi.org/10.1016/j.ijpara.2008.03.007

Modul Keperawatan Maternitas II | 160


BAB XIV
RUBELLA
A. Pendahuluan
Rubela adalah penyakit yang di sebabkan oleh virus dan menimbulkan
demam ringan dengan ruam pungtata dan ruam makulopapuler yang menyebar
dan kadang-kadang mirip dengan campak atau demam scarlet. Penyakit ini di
tularkan melalui cairan yang keluar dari hidung atau tenggorokan, penyakit ini
juga dapat di tularkan melalui aliran darah oleh seorang wanita yang sedang
hamil kepada janin yang di kandungnya. Karena penyakit ini tergolong penyakit
ringan pada anak-anak, bahaya medis yang utama dari penyakit ini adalah infeksi
pada wanita hamil yang dapat menyebabkan sindrom cacat bawaan pada janin
tersebut.
Anak-anak biasanya memberikan gejala konstitusional yang minimal,
tetapi orang dewasa akan mengalami gejala prodromal selama 1-5 hari berupa
demam ringan, sakit kepala, malaise, coryza ringan dan konjungtivitis.
Limfadenopati post aurikuler, oksipital dan servikal posterir muncul dan
merupakan ciri khas dari infeksi dari virus ini yang biasanya muncul 5-10 hari
sebelum timbulnya ruam. Hampir separuh infeksi virus ini tanpa ruam. Lekopeni
umum terjadi dan trombositopeni juga bisa terjadi tetapi manifestasi perdarahan
jarang. Arthalgia dan yang ensefalitis dan trombositopeni jarang terjadi pada
anak-anak, ensefalitis terjadi lebih sering pada orang dewasa.
Infeksi rubella berbahaya bila terjadi pada wanita hamil muda, karena
dapat menyebabkan kelainan pada bayinya. Jika infeksi terjadi pada bulan
pertama kehamilan maka resiko terjadinya kelainan adalah 50% sedangkan
infeksi terjadi trimester pertama maka resiko menjadi 25% (Menurut America
College of Obstatrician and Gynecologist, 1981).
Rubella menjadi penting karena penyakit ini dapat menimbulkan
kecacatan pada janin. Sindroma rubella congenital (Congenital Rubella
Syndrome, CRS) terjadi pada 90% bayi yang di lahirkan oleh wanita yang
terinfeksi rubella sela trimester pertama kehamilan, resiko kecacatan congenital

Modul Keperawatan Maternitas II | 161


ini menurun hingga kira-kira 10-20% pada minggu ke 16 dan lebih jarang terjadi
bila ibu terkena infeksi pada usia kehamilan 20 minggu.

B. Definisi
Rubella atau di kenal juga dengan nama Campak Jerman adalah penyakit
menular yang di sebabkan oleh Virus Rubella. Virus biasanya menginfeksi tubuh
melalui pernapasan seperti hidung dan tenggorokan. Anak-anak biasanya sembuh
lebih cepat di bandingkan orang dewasa.
Rubella virus adalah virus RNA dari keluarga togavirus ukuran c.60 nm,
struktur ikosahendral, memiliki amplop virus, sensitif terhadap eter pathogen
kausatif rubella. Transmisi: mungkin infeksi tetes. Kultur: pada kultur telur
(korioallantois), di lakukan pertama kali oleh Anderson (Melbourne, 1955).
Serologi: immunitas sepanjang hidup bebas dari cacar air dan gondok. Pada
eksperimen dengan binatang, biasa ditransmisikan ke kera.
Rubella adalah penyakit infeksi akut oleh virus yang di tandai dengan
demam ringan dan bintik dan berkas merah pada seluruh badan mirip dengan
campak. Congenital rubella syndrome terjadi pada kehamilan trimester ke tiga
yang dapat menyebabkan cataract, microphtalmia, microcephaly, mental
retardation. hepatomegaly, glaucoma, kelainan pada katup jantung dan tulang.
Perlu di lakukan diferesial diagnosis dengan measles dan erisepalas. Distribusi
penyakit dan prevalensi penyakit tersebar di seluruh dunia dan bersifat endemis.
Penyakit rubella atau seringkali di sebut campak jerman (campak 3 hari)
adalah infeksi virus akut yang menyebabkan gangguan kesehatan ringan pada
anak-anak, namun cenderung lebih berat pada orang dewasa. 10 – 15% wanita
dewasa rentan terhadap infeksi Rubella. Perjalanan penyakit tidak dipengaruhi
oleh kehamilan dan ibu hamil dapat atau tidak memperlihatkan adanya gejala
penyakit. Derajat penyakit terhadap ibu tidak berdampak terhadap resiko infeksi
janin. Infeksi yang terjadi pada trimester I memberikan dampak besar terhadap
janin. Infeksi Rubella berbahaya bila tejadi pada wanita hamil muda, karena
dapat menyebabkan kelainan pada bayinya. Jika infeksi terjadi pada bulan
pertama kehamilan maka risiko terjadinya kelainan adalah 50%, sedangkan jika

Modul Keperawatan Maternitas II | 162


infeksi tejadi trimester pertama maka risikonya menjadi 25% (menurut America
College of Obstatrician and Gynecologists, 1981).
Bila ibu hamil yang belum kebal terserang virus Rubella saat hamil kurang
dari 4 bulan, akan terjadi berbagai cacat berat pada janin. Sebagian besar bayi
akan mengalami katarak pada lensa mata, gangguan pendengaran, bocor jantung,
bahkan kerusakan otak.

C. Etiologi
Virus yang ditularkan melalui kontak udara maupun kontak badan. Virus
ini bisa menyerang usia anak dan dewasa muda. Pada ibu hamil bisa
mengakibatkan bayi lahir tuli. Penularan virus rubella adalah melalui udara
dengan tempat masuk awal melalui nasofaring dan orofaring. Setelah masuk
akan mengalami masa inkubasi antara 11 sampai 14 hari sampai timbulnya
gejala. Hampir 60 % pasien akan timbul ruam. Penyebaran virus rubella pada
hasil konsepsi terutama secara hematogen. Infeksi kongenital biasanya terdiri
dari 2 bagian : viremia maternal dan viremia fetal. Viremia maternal terjadi saat
replikasi virus dalam sel trofoblas. Kemudian tergantung kemampuan virus untuk
masuk dalam barier bayi-bayi lain, disamping bagi orang dewasa yang rentan dan
berhubungan dengan bayi tersebut.

D. Patofisiologi
Manusia adalah satu-satunya pejamu untuk togavirus RNA yang
menyebabkan rubella. Transmisi terutama melalui penyebaran nasofaring, udara
atau droplet. Pasien bersifat infeksius selama 5-7 hari sebelum dan sampai 2
minggu setelah onsert gejala. Bayi yang terinfeksi secara kongenital dapat tetap
infeksius selama beberapa bulan setelah lahir. Rubella biasanya merupakan
infeksi yang ringan pada anak dan seringkali bersifat subklinis pada orang
dewasa. masa inkubasi berkisar dari 1-21 hari.

Modul Keperawatan Maternitas II | 163


E. Pathway

F. Pencegahan
Rubella dapat dicegah dengan imunisasi MMR atau MR. Selain memberikan
perlindungan terhadap rubella, vaksin MMR juga dapat mencegah gondongan
dan campak. Sedangkan vaksin MR tidak melindungi dari gondongan. Lebih dari
90% penerima vaksin MMR akan kebal dari serangan rubella.
Imunisasi MMR dianjurkan untuk dilakukan dua kali, yaitu pada usia 15 bulan
dan 5 tahun. Pada orang yang belum pernah mendapat imunisasi MMR, vaksin ini
dapat diberikan kapan saja.

Modul Keperawatan Maternitas II | 164


Wanita yang sedang merencanakan kehamilan dianjurkan untuk menjalani tes
darah. Jika hasil tes menunjukkan tidak ada kekebalan terhadap rubella, vaksin
MMR akan diberikan, dan setidaknya satu bulan kemudian baru boleh hamil.
Vaksin ini tidak boleh diberikan saat sedang hamil.

Deteksi status kekebalan tubuh sebelum hamil. Sebelum hamil sebaiknya


memeriksa kekebalan tubuh terhadap Rubella, seperti juga terhadap infeksi
TORCH lainnya. Jika anti-Rubella IgG saja yang positif, berarti Anda pernah
terinfeksi atau sudah divaksinasi terhadap Rubella. Anda tidak mungkin terkena
Rubella lagi, dan janin 100% aman. Jika anti-Rubella IgM saja yang positif atau
anti-Rubella IgM dan anti-Rubella IgG positif, berarti anda baru terinfeksi
Rubella atau baru divaksinasi terhadap Rubella. Dokter akan menyarankan Anda
untuk menunda kehamilan sampai IgM menjadi negatif, yaitu selama 3-6 bulan.

Jika anti-Rubella IgG dan anti-Rubella IgM negatif berarti anda tidak
mempunyai kekebalan terhadap Rubella. Bila anda belum hamil, dokter akan
memberikan vaksin Rubella dan menunda kehamilan selama 3-6 bulan. Bila anda
tidak bisa mendapat vaksin, tidak mau menunda kehamilan atau sudah hamil,
yang dapat dikerjakan adalah mencegah anda terkena Rubella.

G. Penanganan

Beberapa pertimbangan dokter sebelum melaksanakan pengobatan rubella


dan dapat di lakukan di rumah dengan langkah sederhana , tujuanya adalah untuk
mengurangi gejala, namun bukan untuk mempercepat penyembuhan Rubella.

1. Memperbanyak waktu istirahat.


2. Perbanyak air putuh untuk mencegah dehidrasi.
3. Dapat mengkomsumsi paracetamol atau ibuprofen untuk menurunkan
demam dan meredakan nyeri pada sendi.
4. Hindari kontak dengan orang lain khususnya dengan ibu hamil hingga
gejala Rubella membaik.

Modul Keperawatan Maternitas II | 165


Cara paling efektif dalam mencegah penyebaran virus Rubella adalah dengan
imunisasi atau vaksinasi, terutama bagi wanitayang berencan hami. Pakara
kesehatan menyarankan pemberian vaksin MR diberikan sejak usia 9 bulan
hingga kurang dari 15 tahun.

Untuk yang tidak disarankan mendapatkan Vaksin MR, waspaada terjadi


komplikasi dari pemberian vaksin MR yang tidak di inginkan sebaiknya jangan
dulu suntik MR kelompok orang:

- Setelah melakukan transfusi darah.


- Kelainan fungsi ginjal berat.
- Leukimia
- Ibu hami
- Bagi pasien sedang batuk pilek
- Baagi orang dewasa dan anak yang sedang mengkomsumsi obat tertentu.

H. Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermia b.d proses infeksi virus rubella
b. Nyeri akut b.d keterbatasan agen injuri
c. Resiko gangguan hubungan ibu dan janin
d. Resiko infeksi b.d organism purulent
e. Gangguan integritas kulit b.d bercak kemerahan

Modul Keperawatan Maternitas II | 166


Daftar Pustaka
Forrest JM, Turnbull FM, Sholler GF, Hawker RE, Martin FJ, Doran TT, et al.
Gregg’s congenital rubella patients 60 years later. Med J Aust. 2002;177(11–
12):664–7.
Cong H, Jiang Y, Tien P. Identification of the myelin oligodendrocyte
glycoprotein as a cellular receptor for rubella virus. J Virol [Internet]. 2011
Nov;85(21):11038–47.

Best JM. Lesson of the week: Interpretation of rubella serology in pregnancy---


pitfalls and problems. BMJ [Internet]. 2002 Jul 20;325(7356):147–8. Available
from: http://www.bmj.com/cgi/doi/10.1136/bmj.325.7356.147

Best JM, Enders G. Chapter 3 Laboratory Diagnosis of Rubella and Congenital


Rubella. Perspect Med Virol. 2006;15(06):39–77.

Mongua-Rodriguez N, Díaz-Ortega JL, García-García L, Piña-Pozas M, Ferreira-


Guerrero E, Delgado-Sánchez G, et al. A systematic review of rubella vaccination
strategies implemented in the Americas: Impact on the incidence and
seroprevalence rates of rubella and congenital rubella syndrome. Vaccine.
2013;31(17):2145–51

Modul Keperawatan Maternitas II | 167


BAB XV
CYTOMEGALO VIRUS
A. Pendahuluan
Virus adalah makhluk hidup peralihan. Virus dapat dikatakan
hidup jika mampu berinvestasi dalam tubuh inang (manusia, hewan, dan
tumbuhan). Virus ada yang berbahaya dan ada pula yang tidak. Virus yang
berbahaya misalnya Cytomegalovirus (CMV), Rubella, dan Human
Papillomavirus (HPV). Virus-virus tersebut memiliki daerah tersendiri
untuk menginfeksi inangnya. Terutama inang yang diserang adalah
manusia.
Cytomegalovirus (CMV) biasanya menyerang ibu hamil dan bayi
yang dikandungnya. Virus ini CMV cepat menyebar biasanya melalui
berbagai macam cairan tubuh orang yang telah terinfeksi CMV, seperti
contohnya air seni, air liur, darah, air mata, mani, dan air susu ibu
(Candradinita, 2008).
Congenital Rubella Syndrome Rubella atau campak Jerman adalah
penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus rubella. Tujuh puluh persen
kasus infeksi rubella di orang dewasa menyebabkan terjadinya atralgi atau
artritis. Jika infeksi virus rubella terjadi pada kehamilan, khususnya
trimester pertama sering menyebabkan Congenital Rubella Syndrome
(CRS). CRS mengakibatkan terjadinya abortus, bayi lahir mati, prematur
dan cacat apabila bayi tetap hidup (Kadek, dan Darmadi, 2013).
HPV adalah jenis virus yang cukup lazim. Jenis yang berbeda
dapat menyebabkan kutil atau pertumbuhan sel yang tidak normal
(displasia) dalam atau di sekitar leher rahim atau dubur yang dapat
menyebabkan kanker leher rahim atau dubur (Thoma, 2008).

B. Definisi
CMV adalah virus yang diklasifikasikan dalam keluarga virus
herpes.(http://www.roche.com).

Modul Keperawatan Maternitas II | 168


CMV adalah infeksi oportunistik yang menyerang saat system
kekebalan tubuh lemah.(http://www.spiritia.or.id).
Cytomegalovirus adalah virus herpes DNA yang menginfeksi sebagian
besar orang. Virus ini merupakan penyebab infeksi perinatal tersering dan
infeksi pada janin ditemukan 0,5-2 % dari neonatus. (http://dasar-teori-
cytomegalovirus.html)
Infeksi Sitomegalovirus adalah suatu penyakit virus yang bisa
menyebabkan kerusakan otak dan kematian pada bayi baru lahir. Bisa di
dapat sebelum lahir atau setelah lahir.
(http://harnita-novia.blogspot.com/2011/05/cytomegalovirus.html)

C. Klasisfikasi
CMV dapat mengenai hampir semua organ dan menyebabkan hampir
semua jenis infeksi. Organ yang terkena adalah:
1. CMV nefritis (ginjal).
2. CMV hepatitis (hati).
3. CMV myocarditis (jantung).
4. CMV pneumonitis (paru-paru).
5. CMV retinitis (mata).
6. CMV gastritis (lambung).
7. CMV colitis (usus).
8. CMV encephalitis (otak).
(Nanda, 2008. Nursing Diagnosis: Definition & Classification.
Philadelphia: Nanda International)

D. Faktor Pencetus
Penyebab utama dari TORCH sebagian besar adalah hewan-hewan
yang ada di sekitar kita seperti kucing, ayam, burung, tikus, kambing, sapi,
anjing, babi, dan lainnya yang mengandung virus dan parasit TORCH di
dalam darahnya. Hewan-hewan tersebut bisa sebagai pembawa langsung
TORCH melalui interaksi dengan manusia, dan bisa juga sebagai perantara
(pembawa tak langsung) TORCH melaui kotorannya.

Modul Keperawatan Maternitas II | 169


Kotorannya yang mengandung TORCH bisa mencemari tanah,
sehingga juga bisa mencemari sayuran yang tumbuh di tanah. Kotoran
hewan yang terinfeksi TORCH bisa terbang terbawa bersama lalat,
serangga atau burung dan menempel pada makanan, kemudian makanan
tersebut masuk ke dalam mulut manusia dan hidup dalam darah manusia.
(Mulyana S. 2008)

E. Etiologi
Etiologi berdasarkan jenis CMV dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Kongenital: didapat didalam rahim melalui plasenta. Kira-kira 40%
bayi yang lahir dari wanita yang menderita CMV selama kehamilan
juga akan terinfeksi CMV. Bentuk paling berat dari infeksi ini adalah
penyakit inklusi sito megalik.
2. Akut: didapat selama atau setelah kelahiran sampai dewasa. Gejala
mirip dengan mononucleosis( malaise, demam, faringitis,
splenomegali, ruam petekia, gejala pernapasan). Infeksi bukan tanpa
sekuela, terutama pada anak-anak yang masih kecil, dan dapat terjadi
akibat tranfusi.
3. Penyakit sistemik umum: terjadi pada individu yang menderita
imunosupresi, terutama jika mereka telah menjalani transpantasi
organ. Gejala-gejalanya termasuk pneumonitis, hepatitis, dan
leucopenia, yang kadang-kadang fatal. Infeksi sebelumnya tidak
menghasilkan kekebalan dan dapat menyebabkan reaktivasi virus.
(Betz, Cecily L, 2012)

F. Patofisiologi
Sitomegalovirus (CMV) adalah penyebab utama infeksi virus
congenital di amerika utara. Terdapat sejumlah strain CMV yang
berhubungan, virus ini adalah anggota dari ember herpes. CMV agaknya
ditularkan dari orang ke orang melalui kontak langsung dengan cairan atau
jaringan tubuh, termasuk urin, darah, liur, secret servikal, semen dan ASI.

Modul Keperawatan Maternitas II | 170


Masa inkubasi tidak diketahui, berikut ini adalah perkiraan masa inkubasi:
setelah lahir 3 sampai 12 minggu, setelah tranfusi 3 sampai 12 minggu,
dan setelah transplantasi 4 minggu sampai 4 bulan. Urin sering
mengandung CMV dari beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah
infeksi. Virus tersebut dapat tetap tidak aktif dalam tubuh seseorang tetapi
masih dapat diaktifkan kembali. Hingga kini belum ada imunisasi untuk
mencegah penyakit ini. (Akhter, K. 2010)

G. Manifestasi Klinik
Pada periode bayi baru lahir, bayi yang terinfeksi sitomegalovirus
biasanya bersifat asimtomatik. Awitan infeksi yang didapat secara
congenital dapat terjadi segera setelah lahir atau sampai berusia 12
minggu.
Tidak ada indicator yang dapat diramalkan, tetapi sering dijumpai
gejala-gejala berikut ini:
1. Petekia dan ekimosis
2. Hepatosplenomegali
3. Ikterus neonatorum
4. Hiperbilirubinemia langsung
5. Mikrosefali dengan kalsifikasi periventrikular
6. Retardasi pertumbuhan intrauterine
7. Prematuritas
8. Ukuran kecil menurut usia kehamilan
Gejala lain dapat terjadi pada bayi baru lahir atau pada anak yang
lebih besar:
1. Purpura
2. Hilang pendengaran
3. Korioretinitis (buta)
4. Demam
5. Pneumonia
6. Takipnea dan dispnea

Modul Keperawatan Maternitas II | 171


7. Kerusakan otak
(Gordon et.all, 2012)

H. Pathway

I. Komplikasi
Komplkasi yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:
1. Kehilangan pendengaran yang bervariasi
2. IQ rendah
3. Gangguan penglihatan
4. Mikrosefali
5. Gangguan sensorineural
(http://mvzpry.blogspot.com/2009/05/laporan-pendahuluan-infeksi-
sitomegalo.html)

Modul Keperawatan Maternitas II | 172


J. Pemeriksaan Penunjang
1. Kultur virus dari urin, secret faring, dan leukosit perifer.
Pemeriksaan mikroskopik pada sediment urin, cairan tubuh, dan
jaringan untuk melihat vius dalam jumlah besar (pemeriksaan urin
untuk mengetahui adanya iklusi intra sel tidaklah bermanfaat;
verifikasi infeksi congenital harus dilakukan dalam 3 minggu pertama
dari kehidupan).
2. Skrining toksoplasmosis, rubella, sitomegalo virus, herpes dan lain-
lain (toxoplasmosis, other, rubella, cytomegalovirus, herpes [TORCH])
digunakan untuk mengkaji adanya virus lain.
3. Uji serologis
Titer antibody IgG dan IgM (IgM yang meningkat
mengindikasikan pajanan terhadap virus, IgG neonatal yang meningkat
mengindikasikan infeksi yang didapat pada masa prenatal, IgG
maternital negative dan IgG neonatal positif mengindikasikan
didapatnya infeksi pada saat pascanatal.
4. Uji factor rheumatoid positif (positif pada 35%-45% kasus)
5. Studi radiologist: foto tengkorak atau pemindaian CT kepala dengan
maksud mengungkapkan klasifikasi intra cranial.
(Suromo, L. B. 2007)

K. Penatalaksanaan
1. Sampai saat ini hanya terdapat penatalaksanaan mengatasi gejala
(misalnya: penatalaksanaan demam, tranfusi untuk anemia, dukungan
pernapasan).
2. Ada bukti bahwa globulin imun-CMV yang diberikan melalui IV
bersama obat gansiklovir dapat mengurangi beratnya infeksi pada
individu dengan system imun yang buruk (mekanisme imunologiknya
kurang/terganggu). Vaksin CMV hidup sedang diuji coba pada pasien
transplantasi ginjal.

Modul Keperawatan Maternitas II | 173


3. Kemoterapi ember sedikit harapan, tetapi toksisitas dan imunosupresi
akibat dari pengobatan ini meningkatkan kekhawatiran jika digunakan
pada bayi baru lahir. Dalam penatalaksanaannya tidak diperlukan
tindakan kewaspadaan khusus, tetapi perawat harus tetap memakai
sarung tangan, melakukan teknik mencuci tangan yang baik dan
menggunakan tidakan kewaspadaan umum, (Hermawan A. 2009).

L. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
b. Riwayat Kesehatan
Hal-hal yang perlu ditanyakan/yang bias ditemukan:
1) Adanya riwayat tranfusi
2) Adanya riwayat transplantasi organ
3) Ibu pasien penderita infeksi CMV
4) Suami/istri penderita CMV
c. Pemeriksaan Fisik
1) TTV: Suhu (demam), pernapasan (takipnea, dispnea),
tekanan darah, nadi
2) Kulit: Petekia dan ekimosis, lesi berwarna ungu disebabkan
oleh eritripoiesis kulit
3) Penurunan berat badan

2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan NANDA (2012), maka didapatkan diagnose
keperawatan CMV sebagai berikut:
a. Hipertermia b.d. penyakit/trauma
b. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan energi dalam bernapas
c. Resiko tinggi infeksi b.d. penurunan system imun, aspek kronis
penyakit

Modul Keperawatan Maternitas II | 174


d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d.
ketidakmampuan memasukkan zat-zat gizi berhubungan dengan
factor biologis: mual dan muntah
e. Kurang pengetahuan b.d. keterbatasan pengetahuan

3. Intervensi
Berdasarkan NANDA (2012), maka didapatkan intervensi
keperawatan CMV sebagai berikut:
Tujuan dan Kriteria
No. Diagnosa Keperawatan Intervensi
Hasil
1. Hipertermi b. d proses Tujuan: Setelah 1. Observaasi suhu
penyakit/trauma dilakukan tindakan tubuh secara rutin
keperawatan selama 2 x 2. Berikan kompres
24 jam demam turun/ hangat/dingin pada
tidak demam. aksila atau lipatan
paha
Kriteria Hasil: 3. Observasi nadi dan
 Suhu tubuh dalam RR
batas normal (36˚ 4. Anjurkan klien
– 37,5˚C) untuk meningkatkan
 Nadi dan RR intake cairan
dalam batas 5. Anjurkan klien
normal (60 – 100 menggunakan
x/m, 16 – 24 x/m) pakaian yang tipis
dan dapat menyerap
keringat
6. Kolaborasi dalam
pemberian
antipiretik

2. Pola nafas tidak efektif b. Tujuan: Setelah 1. Posisikan pasien

Modul Keperawatan Maternitas II | 175


d penurunan energi dilakukan tindakan untuk
dalam bernafas keperawatan selama 2 x memaksimalkan
24 jam pola nafas efektif ventilasi
2. Auskultasi suara
Kriteri Hasil: nafas, catat adanya
 RR dalam batas suara tabahan
normal (16 – 24 3. Monitoring respirasi
x/m) dan status oksigen
 Tidak ada retraksi 4. Atur intake cairan
dinding dada untuk
 Tidak ada mengoptimalkan
pernafasan cuping keseimbangan
hidung 5. Kolaborasi dalam
pemberian obat
broncodilator sesuai
indikasi

3. Resiko tinggi infeksi b.d. Tujuan: Setelah 1. Observasi adanya


penurunan system imun, dilakukan tindakan tanda-tanda infeksi
aspek kronis penyakit keperawatan selama 2 x 2. Observasi TTV
24 jam resiko infeksi sesering mungkin
tidak menjadi aktual 3. Pertahankan teknik
isolasi
Kriteria Hasil: 4. Batasi pengunjung
 Terbebas dari bila perlu
tanda-tanda 5. Lakukan tindakan
infeksi keperawatan dengan
 TTV dalam batas tehnik aseptik
normal: 6. Anjurkan klien
Nadi = 60 – 100 untuk meningkatkan
intake nutrisi

Modul Keperawatan Maternitas II | 176


x/m 7. Kolaborasi dalam
RR = 16 – 24 x/m pemberian antibiotik
Suhu = 36˚ - sesuai indikasi
37,5˚ C

4. Implementasi
Implementasi adalah suatu perencanaan dimasukkan dalam
tindakan, selama fase implementasi ini merupakan fase kerja aktual
dari proses keperawatan. Rangkaian rencana yang telah disusun harus
diwujudkan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan. Pelaksanaan
dapat dilakukan oleh perawat yang bertugas merawat klien tersebut
atau perawat lain dengan cara didelegasikan pada saat pelaksanaan
kegiatan maka perawat harus menyesuaikan rencana yang telah dibuat
sesuai dengan kondisi klien maka validasi kembali tentang keadaan
klien perlu dilakukan sebelumnya. (Basford, 2006)

5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan untuk
mengukur keberhasilan dari rencana perawatan dalam memenuhi
kebutuhan klien. Bila masalah tidak dipecahkan atau timbul masalah
baru, maka perawat harus berusaha untuk mengurangi atau mengatasi
beban masalah dengan meninjau kembali rencana perawatan dengan
menyesuaikan kembali terhadap keadaan masalah yang ada. (Basford,
2006 hal. 24)

Modul Keperawatan Maternitas II | 177


Daftar Pustaka
Akhter, K., 2010. Cytomegalovirus. E medicine from Web MD

Betz, Cecily L.2012. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC

Basford. 2006. Konsep Asuhan Keperawatan


Gordon Et All. 2012. NANDA Nursing Diagnoses Definition and Classification
(NIC), Second Edition. USA: Mosby

Hermawan, A.,2009. Cytomegalovirus, Virus Bandel yang Harus Diwaspadai.


Klinik online

Mulyana, S., 2008. TORCH ( Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes


) . http://ms32.multiply.com/journal/item/22

Nanda, 2007-2008. Nursing Diagnosis: Definition & Classification. Philadelphia:


Nanda International

Suromo,L.B.,2007. Kewaspadaan Terhadap Infeksi Cytomegalovirus Serta


Kegunaan Deteksi Secara Laboratorik. Semarang: Fakultas Kedokteran

Modul Keperawatan Maternitas II | 178


BAB XVI
HERPES
A. Pendahuluan
Herpes simpleks virus telah terdapat di mana-mana, agen virus
patogen yang teradaptasi menyebabkan berbagai kondisi penyakit.
Terdapat 2 jenis virus herpes simplex, yaitu : virus herpes simpleks tipe 1
(HSV-1) dan tipe 2 (HSV-2). Keduanya erat terkait tetapi berbeda dalam
epidemiologi. HSV-1 secara tradisional dikaitkan dengan penyakit
orofasial, sedangkan HSV-2 secara tradisional dikaitkan dengan penyakit
kelamin. Namun, lokasi lesi tidak selalu menunjukkan jenis virus.
Sekitar 80% dari herpes simpleks infeksi tidak menunjukkan
gejala. Infeksi simtomatik dapat ditandai dengan morbiditas yang
signifikan dan kekambuhan. Dalam immunocompromised host, infeksi
dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa.
Prevalensi infeksi HSV di seluruh dunia telah meningkat selama
beberapa dekade terakhir, membuatnya menjadi masalah kesehatan
masyarakat utama. Pengakuan Prompt infeksi herpes simpleks dan inisiasi
awal terapi yang sangat penting dalam pengelolaan penyakit.

B. Definisi
Herpes simplex adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus
herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai
oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan
eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat
berlangsung baik primer maupun rekurens. Herpes simpleks disebut juga
fever blaster, cold score, herpes febrilis, herpes labialis, herpes
progenitalis (genitalis).
Dalam herpes simplek dibedakan menjadi dua tipe berdasarkan
perbedaan imunologis dan klinisnya yaitu
1. Virus herpes simpleks tipe I

Modul Keperawatan Maternitas II | 179


Merupakan infeksi yang paling benyak ditemukan pada masa
kanak-kanak. Biasanya ditransmisi melalui kontak sekresi oral dan
menyebabkan cold sores dan fever blisters.
2. Virus herpes simpleks tipe 2
Biasanya terjadi setelah puber seiring aktivitas sexual meningkat.
Dan di transmisikan terutama melalui kontak dengan sekresi genetalia.

C. Etiologi
Penyebab Berdasarkan struktur antigeniknya dikenal 2 tipe virus
herpes simpleks:
1. Virus Herpes Simpleks Tipe I (HSV I)
Penyakit kulit/selaput lendir yang ditimbulkan biasanya disebut
herpes simpleks saja, atau dengan nama lain herpes labialis,
herpesfebrilis. Biasanya penderita terinfeksi virus ini pada usia kanak-
kanak melalui udara dan sebagian kecil melalui kontak langsung
seperti ciuman, sentuhan atau memakai baju/handuk mandi bersama.
Lesi umumnya dijumpai pada tubuh bagian atas termasuk mata dengan
rongga mulut, hidung dan pipi; selain itu, dapat juga dijumpai di
daerah genitalia, yang penularannya lewat koitusoro genital (oral sex).
2. Virus Herpes Simpleks Tipe II (HSV II)
Penyakit ditularkan melalui hubungan seksual, tetapi dapat juga
terjadi tanpa koitus, misalnya dapat terjadi pada dokter gigi dan tenaga
medik. Lokalisasi lesi umumnya adalah bagian tubuh di bawah pusar,
terutama daerah genitalia lesi ekstra-genital dapat pula terjadi akibat
hubungan seksualorogenital.

D. Patofisiologi
Virus herpes simpleks disebarkan melalui kontak langsung antara
virus dengan mukosa atau setiap kerusakan di kulit. Virus herpes simpleks
tidak dapat hidup di luar lingkungan yang lembab dan penyebaran infeksi
melalui cara selain kontak langsung kecil kemungkinannya terjadi. Virus

Modul Keperawatan Maternitas II | 180


herpes simpleks memiliki kemampuan untuk menginvasi beragam sel
melalui fusi langsung dengan membran sel. Pada infeksi aktif primer, virus
menginvasi sel pejamu dan cepat berkembang dengan biak,
menghancurkan sel pejamu dan melepaskan lebih banyak virion untuk
menginfeksi sel-sel disekitarnya. Pada infeksi aktif primer, virus menyebar
melalui saluran limfe ke kelenjar limfe regional dan menyebabkan
limfadenopati.
Tubuh melakukan respon imun seluler dan humoral yang menahan
infeksi tetapi tidak dapat mencegah kekambuhan infeksi aktif. Setelah
infeksi awal timbul fase laten. Selama masa ini virus masuk ke dalam sel-
sel sensorik yang mempersarafi daerah yang terinfeksi dan bermigrasi
disepanjang akson untuk bersembunyi di dalam ganglion radiksdorsalis
tempat virus berdiam tanpa menimbulkan sitotoksisitas atau gejala pada
manusia.

Modul Keperawatan Maternitas II | 181


E. Pathway

Herpes Simplek Virus (HSV) Kontak langsung ke dalam


membran mukosa

HSV-1 (kontak dengan air HSV-2 (penularan secara seksual


liur)

Infeksi Primer (2-20 hari)

Lesi berbentuk macula/papula

Hipertemi Putula Rasa gatal & terbakar

Demam Pecah menjadi ulkus Kerusakan integritas kulit

Respon sistemik tubuh Genital Mata terinfeksi


(konjungtivitis)
Nyeri
Opatitis kecil pada kornea
membentuk gambaran
dendrit
Pria : glans penis, batang Wanita (vulva, klitoris,
penis, dll serviks dan anus) Ulserasi

Gangguan pada pola Jaringan parut dan


seks kebutaan yang nyata

Anoreksia Resiko mata kering

Wanita hamil Struktur kulit berubah


ulkus mole
Jalan lahir bayi
Gangguan citra
tubuh
Resiko infeksi

Modul Keperawatan Maternitas II | 182


F. Manifestasi Klninik
Secara umum gejala klinik infeksi virus herpes simpleks dapat
dibagi dalam 2 bentuk yaitu :
1. Infeksi primer , yang biasanya disertai gejala ( simtomatik ) meskipun
dapat pula tanpa gejala ( asimtomatik ). Keadaan tanpa gejala
kemungkinan karena adanya imunitas tertentu dari antibodi yang
bereaksi silang dan diperoleh setelah menderita infeksi tipe 1 saat
anak-anak. Masa inkubasi yang khas selama 3 – 6 hari ( masa inkubasi
terpendek yang pernah ditemukan 48 jam ) yang diikuti dengan erupsi
papuler dengan rasa gatal, atau pegal-pegal yang kemudian menjadi
nyeri dan pembentukan vesikel dengan lesi vulva dan perineum yang
multipel dan dapat menyatu. Adenopati inguinalis yang bisa menjadi
sangat parah. Gejala sistemik mirip influenza yang bersifat sepintas
sering ditemukan dan mungkin disebabkan oleh viremia. Vesikel yang
terbentuk pada perineum dan vulva mudah terkena trauma dan dapat
terjadi ulserasi serta terjangkit infeksi sekunder. Lesi pada vulva
cenderung menimbulkan nyeri yang hebat dan dapat mengakibatkan
disabilitas yang berat. Retensi urin dapat terjadi karena rasa nyeri yang
ditimbulkan ketika buang air kecil atau terkenanya nervus sakralis.
Dalam waktu 2 – 4 minggu, semua keluhan dan gejala infeksi akan
menghilang tetapi dapat kambuh lagi karena terjadinya reaktivasi virus
dari ganglion saraf. Kelainan pada serviks sering ditemukan pada
infeksi primer dan dapat memperlihatkan inflamasi serta ulserasi atau
tidak menimbulkan gejala klinis.
2. Infeksi rekuren, Setelah infeksi mukokutaneus yang primer, pertikel-
partikel virus akan menyerang sejumlah ganglion saraf yang
berhubungan dan menimbulkan infeksi laten yang berlangsung lama.
Infeksi laten dimana partikel-partikel virus terdapat dalam ganglion
saraf secara berkala akan terputus oleh reaktivasi virus yang disebut
infeksi rekuren yang mengakibatkan infeksi yang asimtomatik secara
klinis ( pelepasan virus ) dengan atau tanpa lesi yang simtomatik. Lesi

Modul Keperawatan Maternitas II | 183


ini umumnya tidak banyak, tidak begitu nyeri serta melepaskan virus
untuk periode waktu yang lebih singkat (2 – 5 hari) dibandingkan
dengan yang terjadi pada infeksi primer, dan secara khas akan timbul
lagi pada lokasi yang sama. Walaupun sering terlihat pada infeksi
primer, infeksi serviks tidak begitu sering terjadi pada infeksi yang
rekuren.
3. Infeksi primer pada ibu dapat menular pada janin, meskipun jarang,
melalui plasenta atau lewat korioamnion yang utuh dan dapat
menyebabkan abortus spontan, prematuritas, ataupun kelainan
kongenital dengan gejala mirip infeksi pada sitomegalovirus seperti
mikrosefali, korioretinitis, IUGR. Janin hampir selalu terinfeksi oleh
virus yang dilepaskan dari serviks atau traktus genitalis bawah setelah
ketuban pecah atau saat bayi dilahirkan. Infeksi herpes pada bayi baru
lahir mempunyai salah satu dari ketiga bentuk berikut ini :
a. Disseminata ( 70 % ), menyerang berbagai organ penting seperti
otak, paru. Hepar, adrenal, dan lain-lain dengan kematian lebih dari
50 % yang disebabkan DIC atau pneumonitis, dan yang berhasil
hidup sering menderita kerusakan otak. Sebagian besar bayi yang
terserang bayi prematur.
b. Lokalisata ( 15 % ) dengan gejala pada mata, kulit dan otak dengan
kematian lebih rendah dibanding bentuk disseminata, tetapi bila
tidak diobati 75 % akan menyebar dan menjadi bentuk disseminata
yang fatal. Bentuk ini sering berakhir dengan kebutaan dan 30 %
disertai kelainan neurologis.
c. Asimtomatik hanya terjadi pada sebagian kecil penderita herpes
neonatal.

G. Pemeriksaan Diagnoastik
1. Pemeriksaan serologi (STS) dan pemeriksaan dengan mikroskop
lapang gelap untuk menyampingkan sifilis.
2. Pemeriksaan Laboratorium lain:

Modul Keperawatan Maternitas II | 184


a. Menemukan badan inklusi pada sediaan apus cairan vesikel yang
dicat dengan giemsa (Tzank Test). Atau dilakukan pemeriksaan
sitologi sesudah fiksasi dengan alcohol dan pengecetan
Papanicolaou digunakan sebagai cara yang cepat untuk
mendiagnosis eksaserbasi klinis, dan sediaan apus yang diambil
memperlihatkan lesi dengan sel-sel multinucleus yang besar dan
badan inklusi virus yang eosinofilik. Metode ini dibatasi oleh
spesifisitas dan sensitivitasnya. Namun, teknik pengecatan
imunoperoksidase dan pemeriksaan ELISA (enzyme-linked
immudosorbent assay) pernah dievaluasi bahwa pembuatan
diagnosis lebih cepat dari sediaan apus, tetapi teknik ini tidak
banyak dipakai selama kehamilan.
b. Elektromikroskop: untuk melihat morfologi virus
c. Serologi: menentukan jenis antibibodi spesifik
d. Pemeriksaan immunofluoresen: menentukan antigen virus dan
jenis imunoglobulinnya dengan hasil Ig G maupun komplemen c3
mengendap disepanjang zona membran basalis
e. Pemeriksaan histopatologi
f. Biakan virus pada membran chorio alantois ( CAM ) atau tissue
culture. Metode ini merupakan cara yang paling optimal untuk
memastikan infeksi yang terlihat secara klinis dan eksaserbasi yang
asimtomatik. Dan pada eksaserbasi yang simtomatik lebih dari
separuh pemeriksaan kultur akan memberikan hasil yang positif
setelah 48 jam, namun pada eksaserbasi yang asimtomatik,
diperlukan waktu yang lebih lama lagi sebelum terlihat efek
sitopatik mengingat titer virus yang lebih rendah.

H. Penatalaksaan Medis
1. Mencegah infeksi:
a. Penyuluhan

Modul Keperawatan Maternitas II | 185


b. Meningkatkan kebersihan perawatan bayi terutama untuk infeksi
herpes orolabial dan mata.
c. Untuk infeksi genital tidak melakukan hubungan seksual dengan
pasangan yang beresiko tinggi.
d. Untuk wanita lain, pada ibu dengan infeksi primer dianjurkan
untuk tidak hamil pada 1 sampai 2 bulan pertama.
e. Pemeriksaan sitologi teratur pada wanita hamil dengan infeksi
herpes simpleks terutama menjelang persalinan.
f. Dilakukan operasi SC bila ditemukan lesi aktif maupun pelepasan
virus.
g. Imunisasi
1) Secara aktif non spesifik
Diberikan vaksinasi dengan vaksin small pox, polio sabin dan
BCG. Tidak dianjurkan karena tidak terjadi imunitas silang.
2) Secara aktif spesifik
Vaksin mengandung antigen herpes simpleks yang telah di
inaktifkan dengan pemanasan 58 derajat celcius yang diperoleh
dari CMA. Ada 2 macam vaksin:
i. Lupidon H: untuk herpes labialis (HSV tipe 1)
ii. Lupidon G: untuk herpes genetalis (HSV tipe 2)

Vaksin ini tidak boleh diberikan pada wanita hamil dan


penderita yang alergi dengan Lupidon G, dapat diberikan
kimbinasi Lupidon H dan lupidon G.

3) Imunisasi secara pasif


Pemberian gamma-globulin dan interferon
4) Stimulator imunologi:levamisol
Bersifat antiviral pada kulur jaringan dan hewan stimulasi CMI
bisa memberikan efek toksis
2. Mencegah kekambuhan

Modul Keperawatan Maternitas II | 186


Menghilangkan atau mengurangi faktor pencetus dengan
memberikan pengarahan serta mengobati infeksi. Meningkatkan daya
tahan tubuh penderita dengan perbaikan kondisi tubuh maupun obat-
obat anti virus seperti valaciclovir dan acyclovir. Bila terdapat infeksi
sekunder sebaiknya diberikan obat-obat yang tidak memberikan
masking effect terhadap sifilis, misalnya cotrimoksasol dan
streptomisin.
3. Pengobatan
Secara topikal Obat-obat yang sering dipakai:
a. Povidon-iodin
1) Antiseptik
2) Hati-hati pada wanita hamil karena bisa menimbulkan goiter
(gondok) pada bayi.
b. Idoksuridin ( IDU )
1) Bersifat menekan sintesis DNA virus dan herpes, jadi
menghambat replikasi virus
2) IDU 10-40% dalam DMSO (dimetil sulfoksida) lebih baik, tapi
jangan lebih dari empat hari karena DMSO dapat menimbulkan
maserasi.
3) Tidak dapat diberikan secara sistemik karena bersifat toksis
4) HERPID adalah 5% IDU dalam100% DMSO
c. Sitosin arabinosida/cytarabine
Menekan sintesis DNA virus dan hospes
d. Adenin arabinosida/vidarabine
Menekankan sintesis DNA hospes dan polimerasi DNA virus
e. Bahan-bahan pelarut organis
1) Alkohol 70%: bersifat mengeringkan, untuk stadium vesikel
a) Eter: Melarutkan lipid envelope sehingga partikel virus
didapatkan ekstra sel
b) Bersifat krustasi lokal
c) Sebelum vesikel dipecahkan dan kemudian dioleskan

Modul Keperawatan Maternitas II | 187


d) Kurang menyebabkan iritasi dan bersifat anestesi lokal
2) Timol 4% dalam kloroform
a) mempercepat krustasi
b) bersifat anestesi lokal dan mencegah infeksi sekunder
c) virusidal terhadap virus yang envelope nya mengandung
lipid
f. Kortikosteroid (prednison 40-60 mg/hari
1) Anti inflamasi lokal tidak spesifik
2) Mempercepat redanya peradangan
3) Dapat diberikan pada staduim dini dengan edema yang hebat
dalam bentuk lotio hydrocortison 1%
g. Inaktifasi fotodinamik dan larutan zat warna seperti methylen blue,
neutral red atau flavine
1) Zat warna mengikat virus DNA dan dengan penyinaran akan
merusak dan menginaktivasi virus
2) Secara sistemik: Pemberian obat antiviral
a) vidarabine/ara A: pemberian secara I.V terutama untuk
penyembuhan komlikasi seperti herpetic enchepalitis
b) acycloguanosine: spesifik untuk kelompok virus herpes,
tinggi efektifitasnya untuk corneal ulcus
h. Lignocain 1-2% dalam bentuk gel untuk menghilangkan rasa nyeri
pada daerah lesi

J. Pencegahan
Karena kemungkinan tertular penyakit ini meningkat dengan
jumlah pasangan seksual seseorang, membatasi jumlah pasangan adalah
langkah pertama menuju pencegahan. Untuk menjaga dari penyebaran
herpes, kontak intim harus dihindari ketika luka pada tubuh. Gatal,
terbakar atau kesemutan mungkin terjadi sebelum luka berkembang.
Hubungan seksual harus dihindari selama waktu ini. Herpes bahkan dapat
menyebar ketika tidak ada luka atau gejala. Untuk meminimalkan risiko

Modul Keperawatan Maternitas II | 188


penyebaran herpes, kondom lateks harus digunakan selama semua kontak
seksual. Busa spermisida dan jeli mungkin menawarkan perlindungan
tambahan meskipun bukti mengenai hal ini kontroversial. Virus herpes
juga dapat menyebar dengan menyentuh luka dan kemudian menyentuh
bagian lain dari tubuh. Jika Anda menyentuh luka, cuci tangan Anda
dengan sabun dan air sesegera mungkin. Juga, tidak berbagi handuk atau
pakaian dengan siapa pun.

K. Komplikasi
Komplikasi yang paling signifikan dari HSV adalah ensefalitis,
meupakan kasus fatal sekitar 60-80%. HSV dapat muncul sebagai penyakit
menular seperti pneumonia, colitis, atau esofagitis pada pasien AIDS.
Infeksi primer atau rekuren selama hamil dapat menimbulkan infeksi
congenital janin dan bayi baru lahir. Komplikasi dapat berupa infeksi lokal
sampai dengan kelainan dan kadang meninggal.
Komplikasi herpes simpleks genitalis dapat berupa perluasan lesi
lokal dan penyebaran virus ke lokasi ekstragenital, susunan saraf pusat dan
bahkan bisa juga terjadi superinfeksi jamur. Pada pria dapat terjadi
impotensia. Infeksi menyeluruh bisa terjadi pada toraks dan ekstremitas,
penyebaran mukokutan pada pasien dengan dermatitis atopik atau
kehamilan

L. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata
Dapat terjadi pada semua orang di semua umur; sering terjadi
pada remaja dandewasa muda, jenis kelamin; dapat terjadi pada
pria dan wanita, pekerjaan: beresiko tinggi pada penjajak seks
komersial

Modul Keperawatan Maternitas II | 189


b. Keluhan utama
Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ke tempat
pelayanankesehatan adalah nyeri pada lesi yang timbul.
c. Riwayat penyakit sekarang
1) Kembangkan pola PQRST pada setiap keluhan klien.
2) Pada beberapa kasus,timbul lesi/vesikel perkelompok pada
penderita yang mengalami demam ataupenyakit yang disertai
peningkatan suhu tubuh atau pada penderita yangmengalami
trauma fisik maupun psikis.
3) Penderita merasakan nyeri yang hebat, terutama pada aera kulit
yang mengalami peradangan berat dan vesikulasi hebat.
d. Riwayat penyakit dahulu
Sering diderita kembali oleh klien yang pernah mengalami
penyakit herpes simplek atau memiliki riwayat penyakit seperti ini.
e. Riwayat penyakit keluarga
Ada anggota keluarga atau teman dekat yang terinfeksi
virus ini.
f. Kebutuhan psikososial
Klien dengan penyakit kulit, terutama yang lesinya berada pada
bagian mukaatau yang dapat dilihat oleh orang, biasanya
mengalami gangguan konsep diri. Hal itu meliputi perubahan citra
tubuh, ideal diri tubuh, ideal diri, harga diri,penampilan peran, atau
identitas diri.
Reaksi yang mungkin timbul adalah:
1) Menolak untuk menyentuh atau melihat salah satu bagian
tubuh.
2) Menarik diri dari kontak sosial.
3) Kemampuan untuk mengurus diri berkurang.
g. Kebiasaan sehari-hari
Dengan adanya nyeri, kebiasaan sehari-hari klien juga dapat
mengalami gangguan, terutama untuk istirahat/tidur dan aktivitas.

Modul Keperawatan Maternitas II | 190


Terjadi gangguan BAB dan BAK pada herpes simpleks genitalis.
Penyakit ini sering diderita olehklien yang mempunyai kebiasaan
menggunakan alat-alat pribadi secara bersama-sama atau klien
yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan seksual dengan
berganti ganti pasangan.
h. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien bergantung pada luas, lokasi timbulnya
lesi, dandaya tahan tubuh klien. Pada kondisi awal/saat proses
peradangan,dapat terjadi peningkatan suhu tubuh atau demam dan
perubahan tanda-tanda vital yang lain.
Pada pengkajian kulit,ditemukan adanya vesikel-vesikel
berkelompok yang nyeri,edema di sekitar lesi,dan dapat pula
timbul ulkus pada infeksisekunder.
Perhatikan mukosa mulut, hidung, dan penglihatan klien. Pada
pemeriksaan genitalia pria, daerah yang perlu diperhatikan adalah
bagian glans penis, batang penis, uretra, dan daerah anus.
Sedangkan pada wanita,daerah yang perlu diperhatikan adalah
labia mayora dan minora, klitoris, introitus vagina, dan serviks.
Jika timbul lesi, catat jenis, bentuk, ukuran / luas,warna, dan
keadaan lesi. Palpasi kelenjar limfe regional, periksa
adanyapembesaran; pada beberapa kasus dapat terjadi pembesaran
kelenjar limferegional.
Untuk mengetahui adanya nyeri, kita dapat mengkaji respon
individuterhadap nyeri akut secara fisiologis atau melalui respon
perilaku.
Secara fisiologis,terjadi diaphoresis, peningkatan denyut
jantung, peningkatan pernapasan, dan peningkatan tekanan darah;
pada perilaku, dapat juga dijumpai menangis, merintih, atau marah.
Lakukan pengukuran nyeri dengan menggunakan skala nyeri 0-10
untuk orang dewasa.

Modul Keperawatan Maternitas II | 191


Untuk anak-anak, pilih skala yang sesuai dengan usia
perkembangannya kita bisa menggunakan skala wajah untuk
mengkaji nyeri sesuai usia; libatkan anak dalam pemilihan.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermia berhubungan dengan penyakit (infeksi herpes
simpleks genitalis) ditandai dengan suhu tubuh > 37,50C, kulit
kemerahan, kulit teraba hangat
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
imunologis ditandai dengan adanya ulkus superfisial di area
genital.
c. Nyeri akut berhubungan dengan perubahan agen cedera biologis
(herpes simpleks)
d. Risiko infeksi (sekunder) berhubungan dengan pertahanan tubuh
primer tidak adekuat (integritas kulit tidak utuh)
e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik
(gatal dan nyeri pada lesi herpes simpleks) ditandai dengan
mengantuk disiang hari, malaise, lesu, iritabilitas
f. Gangguan body image berhubungan dengan penyakit (krusta
akibat lesi herpes simpleks) ditandai dengan pandangan negatif
tentang tubuh, perubahan actual pada struktur
g. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan ditandai
dengan gelisah, khawatir
h. Defisiensi pengetahuan mengenai proses penyakit, pengobatan, dan
pencegahan kekambuhan infeksi Herpes Simpleks Genitalia
berhubungan dengan kurangnya pajanan informasi ditandai dengan
pengungkapan masalah mengenai ketidaktahuan tentang penyakit,
ketidakakuratan mengikuti perintah pengobatan dan pencegahan
(sering terjadi rekurensi infeksi).

Modul Keperawatan Maternitas II | 192


Daftar Pustaka
Arief, M, Suprohaita, Wahyu I.W. Wiwiek S. 2000. Kapita Selekta Kedokteran,
ED : 3 jilid : 2. Jakarta : Media Aesculapius FKUI.

Djuanda, Adhi dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta

Dochterman, Joanne McCloskey. 2004. Nursing Interventions Classification


(NIC) Fourth Edition. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier

Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition.


St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier

NANDA Internasional. 2010. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi


2009-2011. Jakarta: EGC

Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit


vol 2. Edisi 6. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah Brunner &
Suddarth.Volume 2. Edisi 8. Jakarta : EGC

Modul Keperawatan Maternitas II | 193


BAB XVII
RADANG PANGGUL ATAS
A. Pendahuluan
Radang panggul atau pelvic inflammatory disease (PID) adalah
suatu infeksi yang menjangkiti serviks (leher rahim), uterus (rahim), tuba
falopi (saluran indung telur), dan ovarium (indung telur). Kasus radang
panggul sebagian besar ditemukan pada perempuan berusia 15-24 tahun
yang aktif secara seksual. Selain infertilitaspenyakit radang panggul tidak
segera ditangani dapat menyebabkan nyeri panggul kronis ,dan ektopik.

B. Definisi
Radang panggul atau pelvic inflammatory disease (PID) adalah
suatu infeksi yang menjangkiti serviks (leher rahim), uterus (rahim), tuba
falopi (saluran indung telur), dan ovarium (indung telur). Kasus radang
panggul sebagian besar ditemukan pada perempuan berusia 15-24 tahun
yang aktif secara seksual. Selain infertilitaspenyakit radang panggul tidak
segera ditangani dapat menyebabkan nyeri panggul kronis ,dan ektopik.

C. Etiologi
Infeksi menular seksual adalah salah satu penyebab radang
panggul. Bakteri pada infeksi menular seksual,seperti claymidia dan
gonore, adalah contoh bakteri yang biasanya menyebabkan infeksi pada
leher rahim. Bakteri ini dapat menyebar dari vagina hingga ke organ
reproduksi bagian atas. Selain itu, beberapa bakteri yang biasanya hidup
pada vagina juga dapat mengakibatkan radang panggul. Bakteri ini akan
melewati vagina dan menginfeksi organ tubuh lainnya.
Faktor risiko radang panggul berkaitan dengan keguguran,
tindakan aborsi, sering berganti pasangan seksual, berhubungan seksual
tanpa kondom, memiliki riwayat radang panggul dan infeksi menular
seksual sebelumnya, penggunaan alat kontrasepsi IUD (spiral).

Modul Keperawatan Maternitas II | 194


D. Patofisiologi
Patofisiologi PID (pelvic inflammatory disease) atau penyakit
radang panggul dimulai dari infeksi di vagina atau serviks yang didapatkan
dari infeksi menular seksual (IMS), biasanya disebabkan oleh C.
trachomatis atau N. gonorrhoeae. Selanjutnya, bakteri tersebut naik ke
saluran genitalia yang lebih atas. Mekanisme penyebab kenaikan ini
diduga bersifat multifactorial.
Lendir serviks merupakan salah satu penghalang naiknya
mikroorganisme patogen ke saluran genitalia yang lebih atas. Namun,
pada kondisi infeksi yang menyebabkan inflamasi pada vagina atau
serviks, efektvitas perlindungan lendir serviks ini menjadi berkurang.
Begitu juga pada saat ovulasi dan menstruasi, efektivitas perlindungan
serviks menjadi berkurang diakibatkan perubahan hormonal. Selain itu,
aliran darah menstruasi merupakan medium biakan yang baik untuk
bakteri.
Faktor lain yang mungkin berperan adalah senggama. Diperkirakan
saat orgasme, kontraksi uterus yang ritmik turut memfasilitasi naiknya
bakteri ke saluran genitalia atas. Bakteri juga dapat terbawa oleh sperma
ke dalam uterus dan tuba falopii. Infeksi pada tuba falopii ini awalnya
hanya mengenai mukosa, tetapi selanjutnya inflamasi dapat cepat
menyebar ke transmural. Inflamasi ini dapat terus berlanjut ke struktur
parametrial termasuk usus. Melalui tumpahan cairan purulen dari tuba
falopii atau penyebaran limfatik, infeksi dapat berlanjut sampai melewati
pelvis yang menyebabkan peritonitis akut dan perihepatitis akut (Sindrom
Fitz-Hugh–Curtis).
Faktor lain yang diduga turut terlibat dalam mekanisme terjadinya
PID adalah faktor genetik. Polimorfisme pada gen Toll-Like Receptor
(TLR) yang merupakan komponen penting pada sistem kekebalan tubuh
bawaan diketahui meningkatkan risiko dari infeksi saluran genitalia atas.
Varian gen ini juga berhubungan dengan progresivitas
infeksi C.trachomatis pada PID.

Modul Keperawatan Maternitas II | 195


E. Pathway

F. Penanganan
Menurut Vietha (2009), pada pengobatan gonorea yang perlu
diperhatikan adalah efektivitas. Harga dan sesedikit mungkin efek
toksiknya, pemilihan resimen pengobatan sebaiknya mempertimbangkan
pula tempat infeksi, resistensi galur N. Gonorhoeae terhadap animicrobial
dan kemungkinan infeksi chlamydia trachomatic yang terjadi bersamaan.
Secara epidemiologi pengobatan yang dianjurkan adalah obat dengan dosis
tunggal.
Pengobatan gonore yang paling utama adalah pemberian
antibiotik. Lamanya pengobatan dengan antibiotik tergantung dari tingkat

Modul Keperawatan Maternitas II | 196


keparahannya. Gonore yang parah dan sudah menyebar ke organ tubuh
lain membutuhkan pengobatan lebih lama.
1. Farmakologi
Beberapa jenis antibiotik yang umum digunakan untuk mengobati
gonore adalah :
d. Pilihan utama dan kedua adalah siprofloksasin 500 gram ofloksasin 400
mg. Berbagai rejimen yang dapat diberikan adalah :
1) Siprofloksasin * 500 mr per oral, atau
2) Ofloksasin * 400 mg per oral
3) Setriakson * 250 mg I injeksi intra muscular
4) Spektimonisin 2 g injeksi intra muscular dikombinasikan dengan
5) Dosisiklin 2 x 100 mg, selama 7 hari atau
6) Tetrasiklin 4 x 100 mg, selama 7 hari atau
7) Eritromisin 4 x 500 mg, selama 7 hari

e. Untuk daerah dengan insiden galur Neisseria gonorrhoe penghasil


penisilinase (NGPP) rendah, pilihan utamanya adalah penisilin prokain
akua 4,5 juta unit + 1 gram probenesid. Obat lain yang dipakai, antara lain:
1) Ampisilin 3,5 gram + 1 gram probenesid, atau
2) Ampisilin 3 gram + 1 gram probenesid
f. Pada kasus gonore dengan komplikasi dapat diberikan salah satu obat
dibawah ini :
1) Siprofloksasin * 500/hari per oral, selama 5 hari
2) Ofloksasin * 400 mg/hari, injeksi intra muscular, selama 3 hari
3) Setriakson 250 mg/hari, injeksi intra muscular, selama 3 hari

2. Non Farmakolohi
Memberikan pendidikan kepada pasien dengan menjelaskan
tentang :
a. Bahaya penyakit menular seksual dan komplikasinya
b. Pentingnya mematuhi pengobatan yang diberikan

Modul Keperawatan Maternitas II | 197


c. Cara-cara menghindari infeksi PMS di masa datang

Pengobatan pada pasangan seksual tetapnya

Gejala gonore akan mereda dalam waktu beberapa hari setelah


pengobatan, tetapi rasa sakit di testis atau panggul membutuhan waktu
yang lama untuk hilang sepenuhnya. Sedangkan perdarahan berlebihan
saat menstruasi, akan membaik saat haid berikutnya. Pemeriksaan lanjutan
perlu dilakukan 2 minggu setelah pengobatan untuk melihat apakah infeksi
tersebut sudah hilang sepenuhnya atau masih ada.

Gonore yang telah berhasil diobati tidak membuat penderitanya


kebal terhadap penyakit gonore. Penderita yang sudah sembuh dapat
tertular kembali jika melakukan hubungan intim dengan penderita gonore.

G. Asuhan Keperwatan
1. Pengkajian

a. Biodata
Nama, Umur, Jenis kelamin, agama, suku, bangsa, pekerjaan,
pendidikan, status perkawinan, alamat, tanggal masuk Rumah Sakit.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama : panas seperti terbakar
2) Riwayat kesehatan sekarang : rasa tidak enak, panas, pedih, nyeri
dll
3) Riwayat kesehatan dahulu : klien pernah mengalami gonore
4) Riwayat kesehatan keluarga : pada keluarga tidak ada riwayat
penyakit gonore
5) Riwayat kesehatan lingkungan : klien tinggal dilingkungan
endemic.

Modul Keperawatan Maternitas II | 198


c. Pola Fungsi Kesehatan
1) Persepsi terhadap kesehatan : jika sakit klien langsung berobat ke
dokter
2) Pola aktivitas bergantung pada berat ringannya penyakit
3) Pola istirahat / tidur : klien mengatakan sering mengalami
gangguan pola tidur karena merasa panas, pedih dan nyeri.
4) Pola nutrisi metabolic : klien mengalami penurunan intake BAK
dan BAB yang menimbulkan sakit pada bagian kelamin.
5) Pola eliminasi : klien mengatakan merasa perih dan panas ketika
BAB dan BAK
6) Pola kognitif perseptual : klien dalam keadaan sadar penuh tapi
hampir semua aktivitas tidak dilakukan dengan sempurna sehingga
butuh bantuan dan pengawasan.
7) Pola konsep diri
- Identitas diri : klien dengan kesadaran penuh dapat mengenali
dirinya.
- Ideal diri : klien merasa rendah diri karena mengalami
gangguan pada kelaminnya.
- Gambaran diri : klien mengalami gangguan pada gambaran diri
karena disebabkan penampilan yang kotor.
- Peran diri : klien sedih dan mengatakan ingin cepat sembuh.
- Harga diri : klien merasa membebani orang
8) Seksual reproduksi : klien sangat bermasalah dan terganggu dalam
reproduksi karena mengalami penyakit kelamin.
9) Pola nilai dan kepercayaan : selama sakit, klien melakukan semua
ibadahnya dengan berbaring.
10) Pola koping : klien selalu menceritakan kepada istrinya jika
mengalami masalah dengan penyakit.
11) Pola toleransi menejemen stress : klien mengatasi stress dengan
cara curhat pada teman akrab.

Modul Keperawatan Maternitas II | 199


d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : compos menthis, panas pada daerah kelamin.
2) Pemeriksaan per sistem :
a) Sistem kardiovaskular : Nadi klien 124x/menit. TD nya
hipotesis yaitu 90/70 mm Hg, klien tampak pucat dan cemas.
b) Sistem respirasi : klien mengalami takipneu dengan frekuensi
27x/menit.
c) Sistem gastro intestinal : penderita tidak mengalami gangguan
pada sistem ini.
d) Sistem musculoskeletal : untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari dalam beraktivitas terlalu sering dibantu dengan alat.
e) Sistem integument : turgor kulit jelek, suhu 38°C
f) Sistem perkemihan : klien mengalami disuria dan terdapat
infeksi.
e. Data Penunjang
1) Pemeriksaan urin : -
2) Pemeriksaan lab : USG panggul

f. Analisa Data

No. Data Etiologi Masalah


1. DS : Klien mengatakan nyeri Agen cidera biologi Nyeri akut
dan gatal di bagian
kemaluannya
DO : Gatal dan nyeri di
bagian distal uretra

2. DS : - Kelemahan Defisit perawatan


DO : diri
- Penampilan kotor

Modul Keperawatan Maternitas II | 200


- Wajah lesu

3. DS : - Proses penyakit Hipertermi


DO :
- Takikardi
- Hipermi 38°C

4. DS : Klien mengatakan ingin Kehilangan cairan Kekurangan


BAK, namun yang keluar aktif volume cairan
sedikit-sedikit
DO :
- Selalu ingin BAK
- BAK sedikit-sedikit
- Kemaluan berwarna
kemerahan

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut b/d agen cidera biologi
b. Intoleransi aktivitas b.d kelamahan ektermitas bagian bawah dan
gerakan yang terbatas
c. Hipertermi b.d proses penyakit yang terjadi
d. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif

3. Intervensi

Modul Keperawatan Maternitas II | 201


No. Diagnosa NOC (Tujuan) NIC (Tindakan)

1. Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan - Lakukan pengkajian


keperawatan selama 1 x nyeri secara
24jam, diharapkan nyeri komprehensif termasuk
dapat terkontrol dengan lokasi, karakteristik,
kriteria hasil : durasi, frekuensi,
- Mampu mengontrol kualitas dan factor
nyeri(tahu penyebab nyeri, prestipasi.
mampu menggunakan
teknik non farmakologi - Observasi reaksi non
untuk mengurangi nyeri, verbal dari ketidak
mencari bantuan) nyamanan.
- Melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan - Gunakan teknik
menggunakan manajemen komunikasi taraupetik
nyeri. untuk mengetahui
- Mampu mengenali pengalaman nyeri
nyeri(skal intesitas pasien.
frekuensi dan nyeri)
- Menyatakan nyaman -Kontrol lingkungan
setelah nyeri berkurang. yang dapat
- Tanda vital dalam rentang mempengaruhi nyeri
normal. seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan.

- Kaji latar belakang


budaya pasien

- Evaluasi tentang

Modul Keperawatan Maternitas II | 202


keefektifan dari tindaka
mengontrol nyeri yang
telah di gunakan

- Anjurkan pasien untuk


memonitor nyeri sendiri

- Ajarkan teknik non


farmakologi.

- Berikan analgetik
untuk mengurangi nyeri

2. Intoleransi Setelah dilakukan tindakan - Bantu klien untuk


aktivitas keperawatan selama 1 x 24 mengidentifikasi
jam diharapkan klien aktifitas yang mampu
mampu melakukan aktifitas dilakukan
seperti biasanya dengan
kriteria hasil : - Bantu klien untuk
- Dapat melakukan memilih aktifitas yang
kebiasaan rutin sesuai dengan
- Dapat beraktifitas kemampuan
- Nampak istirahat fisik,psikologis,dan
- Dapat berkonsentrasi social
- Makan dengan cepat
- Tidak mudah lelah - Monitor respon
fisik,emosi,social dan
spiritual

- Kaji adanya factor yang


menyebabkan kelelahan

Modul Keperawatan Maternitas II | 203


- Kolaborasi dengan
memberikan terapi fisik
untuk membantu
peningkatan level
aktivitas dan kekuatan

- Monitor intake nutrisi


untuk memastikan
kecukupan sumber
energi

- Pastikan perubahan
posisi klien secara
perlahan dan intoleransi
aktivitas

3. Hipertermi Setelah di lakukan tindakan


keperawatan 1x 24 jam di
harapkan pasien tidak
demam lagi dengan kriteria
hasil :

Thermoregulation(0601)
- Suhu tubuh dalam rentang
normal
- Nadi dan respirasi dalam
rentang normal.
- Tidak ada perubahan
warna kulit.

Modul Keperawatan Maternitas II | 204


4. Kekurangan Setelah di lakukan tindakan - Monitor pengeluaran
Volume Cairan keperawatan selama 1 x urin termasuk frekuensi,
24jam di harapkan warna, volume dan
eliminasi dalam rentang senyawa yang
normal dengan kriteria terkandung di dalamnya
hasil : Monitor tanda dan gejala
infeksi yang sudah ada
- Frekuensi eliminasi urin
dalam rentang normal - Monitor kemampuan
- Tidak ada bengkak dan klien untuk melakukan
memerah pada alat kelamin perawatan diri yang
- Tidak ada secret darah mandiri
keluar dari saluran kencing
- Urin tidak mengandung - Monitor kebutuhan
protein glukosa ataupun klien alat-alat bantu
keton untuk kebersihan
diri,berpakaian
,berhias,toileting,dan
makan

- Sediakan bantuan
sampai klien mampu
secara utuh untuk
melakukan selfcare

- Ajarkan klien dan


keluarga untuk
mendorong kemandirian
,untuk memberikan
bantuan hanya jika
pasien tidak mampu

Modul Keperawatan Maternitas II | 205


untuk melakukanya

- Berikan aktivitas rutin


sehari-hari sesuai
kemampuan

Modul Keperawatan Maternitas II | 206


Daftar Pustaka

http://tentangperawat25.blogspot.com/2013/11/asuhan-keperawataan-pada-pasien-
dengan.html

https://cumienurse.blogspot.com/2016/08/asuhan-keperawatan-pada-pasien-
gonorhea.html

https://www.academia.edu/28996095/Pengertian_Gonore

http://eprints.undip.ac.id/56239/3/Tiffanny_Nur_Shabrina_22010113130138_Lap.
KTI_Bab2.pdf

https://myblogmelliya.blogspot.com/2016/12/asuhan-keperawatan-pada-
gonorhea.html

https://www.academia.edu/8377686/GONORRHEA_A._KonsepDefinisi

Modul Keperawatan Maternitas II | 207


BAB XVIII

RADANG PANGGUL BAWAH

A. Pendahuluan
Penyakit radang panggul (PID) adalah infeksi rahim ,saluran tuba
dan organ reproduksi lainnya yang menyebabkan gejala seperti nyeri perut
bawah. Ini merupakan komplikasi serius dari beberapa penyakit menular
seksual (PMS), terutama klamidia dan gonore. PID dapat merusak tuba
dan jaringan di dekat uterus dan ovarium. PIDdapat menyebabkan
kemandulan, kehamilan ektopik, pembentukan abses dan nyeri panggul
kronis.
Penyakit Inflamasi Pelvis atau Pelvic Inflammatory Disease (PID)
salah satu penyakit yang terjadi pada alat reproduksi wanita seperti rahim,
tuba fallopi (salpingitis) dan ovarium (ooforitis). Dan tertinggi pada wanita
muda yang aktif secara seksual, biasanya disebabkan oleh bakteri tetapi
disebabkan oleh virus, jamur, atau parasit. Organisme klamidia dan
gonorea adalah penyebab yang paling mungkin dan kondisi ini dapat
menyebabkan kehamilan ektopik, infertilitas, nyeri pelvis kambuhan.
Kurang lebih 150 wanita meninggal per tahun sehingga cukup
beralasan untuk memperhatikan gangguan medis ini secara lebih serius.
Namun, ada pula kekhawatiran lainnya. Serangan infeksi ini diketahui
sangat meningkatkan resiko seorang wanita untuk menjadi mandul.
PID akan menutupi pembuluh darah, sehingga menyebabkan
sukarnya sperma yang sedang bergerak melakukan kontak dengan sel telur
yang turun. Akibatnya adalah perkiraan yang mengkhawatirkan berikut ini
: setelah satu episode infeksi ini, resiko seorang wanita untuk menjadi
mandul adalah 10%. Setelah infeksi kedua resikonya menjadi dua kali
lipat yaitu 20%. Jika wanita ini mendapatkan infeksi untuk ketiga kalinya,
resikonya akan melambung menjadi 55%. Secara keseluruhan, demikian
Dr. Benrubi memperkirakan, penyakit radang pelvis menyebabkan kurang
lebih antara 125.000 hingga 500.000 kasus baru setiap tahun.

Modul Keperawatan Maternitas II | 208


B. Definisi
Penyakit Radang Panggul/PID (Pelvic Inflammatory Disease)
adalah infeksi pada alat genital atas. Proses penyakitnya dapat meliputi
endometrium, tubafalopi, ovarium, miometrium, parametria, dan
peritonium panggul. PID adalah infeksi yang paling peting dan merupakan
komplikasi infeksi menular seksual yang paling biasa.(Sarwono,2011;
h.227
Pelvic Inflammatory Disease (PID) adalah suatu kumpulan radang
pada saluran genital bagian atas oleh berbagai organisme, yang dapat
menyerang endometrium, tuba falopi, ovarium maupun miometrium
secara perkontinuitatum maupun secara hematogen ataupun sebagai akibat
hubungan seksual. (widyastuti, rahmawati, & purnamaningrum, 2009)
Infeksi pelvis merupakan suatu istilah umum yang biasanya
digunakan untuk menggambarkan keadaan atau kondisi dimana organ-
organ pelvis (uters, tuba fallopi atau ovarium) diserang oleh
mikroorganisme pathogen. Organism-organisme ini biasanya
bakteri,mereka melakukan multiplikasi dan menghasilkan suatu reaksi
peradangan. (Ben-zion Taber, 1994).
Berdasarkan pengertian diatas radang panggul atau PID adalah
infeksi saluran reproduksi bagian atas. Penyakit tersebut dapat
mempengaruhi endometrium (selaput dalam rahim), saluran tuba, indung
telur, miometrum (otot rahim), parametrium dan rongga panggul. Penyakit
radang panggul merupakan komplikasi umum dari penyakit menular
seksual (PMS). Saat ini hampir 1 juta wanita mengalami penyakit radang
panggul yang merupakan infeksi serius pada wanita berusia 16-25 tahun.
Penyakit radang pelvis adalah suatu istilah umum bagi infeksi genital yang
telah menyebar kedalam bagian-bagian yang lebih dalam dari alat
reproduksi wanita, seperti rahim, tuba fallopi dan/atau ovarium.

Modul Keperawatan Maternitas II | 209


C. Etiologi
Penyakit radang panggul terjadi apabila terdapat infeksi pada
saluran genital bagian bawah, yang menyebar ke atas melalui leher rahim.
Butuh waktu dalam hitungan hari atau minggu untuk seorang wanita
menderita penyakit radang panggul. Bakteri penyebab tersering adalah N.
Gonorrhoeae dan Chlamydia Trachomatis yang menyebabkan peradangan
dan kerusakan jaringan sehingga menyebabkan berbagai bakteri dari leher
rahim maupun vagina menginfeksi daerah tersebut. Kedua bakteri ini
adalah kuman penyebab PMS. Proses menstruasi dapat memudahkan
terjadinya infeksi karena hilangnya lapisan endometrium yang
menyebabkan berkurangnya pertahanan dari rahim, serta menyediakan
medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri (darah menstruasi)
Mekanisme infeksi menjalar saat menstruasi, persalinan dan abortus,
operasi ginekologi, disebabkan oleh bakteri :
1. GO (Gonorhoe)
2. Kuman-kuman lain streptococcus, aerob, maupun yang anaerob
stapylococus.
3. Chlamydia, mycoplasma, ureaplasma, virus, jamur dan parasit.
(widyastuti, rahmawati, & purnamaningrum, 2009)

D. Patofisiologi
PID di sebabkan oleh penyebaran mikroorganisme secara asenden
ke traktus genital atas dari vagiana dan serviks. Mekanisme pasti yang
bertanggung jawab atas penyebaran tersebut tidak diketahui, namun
aktifitas seksual mekanis dan pembukaan serviks selama menstruasi
mungkin berpengaruh. Banyak kasus PID timbul dengan 2 tahap :
Tahap Pertama : melibatkan akuisisi dari vagina atau infeksi servikal.
Penyakit menular seksual yang menyebabkan mungkin asimptomatik
Tahap Kedua : Timbul oleh penyebaran asenden langsung mikroorganisme
dari vagina dan serviks

Modul Keperawatan Maternitas II | 210


Terjadinya radang panggul dipengaruhi beberapa faktor yang
memegang peranan, yaitu :
1. Tergangunya barier fisiologik.

Secara fisiologik penyebaran kuman ke atas ke dalam genetalia


interna, akan mengalami hambatan :

a. Di ostium uteri eksternum.


b. Di kornu tuba.
c. Pada waktu haid, akibat adanya deskuamasi endometrium maka
kuman-kuman pada endometrium turut terbuang. Pada ostium uteri
eksternum, penyebaran asenden kuman-kuman dihambat secara :
mekanik, biokemik dan imunologik. Pada keadaan tertentu barier
fisiologik ini dapat terganggu, misalnya pada saat persalinan,
abortus, instrumentasi pada kanalis servikalis dan insersi alat
kontrasepsi dalam.
2. Adanya organisme yang berperan sebagai vektor.
Trikomonas vaginalis dapat menembus barier fisiologik dan
bergerak sampai tuba falopii. Kuman-kuman sebagai penyebab infeksi
dapat melekat pada trikomonas vaginalis yang berfungsi sebagai
vektor dan terbawa sampai tuba Falopii dan menimbulkan peradangan
ditempat tersebut. Sepermatozoa juga terbukti berperan sebagai vector
untuk kuman-kuman N.gonore, Ureaplasma ureoltik, C.trakomatis dan
banyak kuman-kuman aerobik dan anaerobik lainnya.
3. Aktivitas seksual
Pada waktu koitus, bila wanita orgasme, maka akan terjadi
kontraksi uterus yang dapat menarik spermatozoa dan kuman-kuman
memasuki kanilis servikalis.
4. Peristiwa haid
Radang panggul akibat N. gonore mempunyai hubungan dengan
siklus haid. Peristiwa haid yang siklik, berperan penting dalam
terjadinya radang panggul gonore. Periode yang paling rawan

Modul Keperawatan Maternitas II | 211


terjadinya radang panggul adalah pada minggu pertama setelah haid.
Cairan haid dan jaringan nekrotik merupakan media yang sangat baik
untuk tumbuhannya kuman-kuman N. gonore. Pada saat itu penderita
akan mengalami gejala-gejala salpingitis akut disertai panas badan.
Oleh karena itu gejala ini sering juga disebut sebagai “ Febrile Mense”.

E. Pathway

Modul Keperawatan Maternitas II | 212


F. Penanganan
Penatalaksanaan PID (pelvic inflammatory disease) atau penyakit
radang panggul yang berat adalah rawat inap karena memungkinkan
pemberian antibiotik dalam pengawasan, selain itu pasien juga dapat
melakukan tirah baring. Namun, pada kasus PID yang ringan atau sedang,
terapi dapat dilakukan secara rawat jalan. Berikut ini adalah beberapa
kriteria rawat inap pada pasien PID:
1. Kedaruratan bedah tidak dapat dikesampingkan
2. Pasien sedang hamil
3. Pasien tidak memberi respon klinis antibiotik oral
4. Pasien tidak mampu mengikuti atau menaati pengobatan rawat jalan
5. Pasien menderita sakit berat, mual, dan muntah atau demam tinggi
6. Pasien imunodefisiensi (mis.pada pasien yang juga menderita HIV
dengan CD4 yang rendah atau sedang dalam terapi imunosupresi)
7. Terdapat abses tubo-ovarial (TOA)
Terapi PID utamanya ditujukan untuk mencegah kerusakan tuba
yang dapat menyebabkan infertilitas dan kehamilan ektopik, serta
pencegahan infeksi kronik. Pemilihan antibiotika pada kasus PID tidak
hanya ditujukan pada organisme etiologi utama
(N.gonorrhoeae dan C.trachomatis), tetapi juga harus mengarah pada sifat
polimikrobial PID. Oleh karena itu, pendekatan terapi antibiotik dengan
menggunakan antibiotik spektrum luas dibutuhkan untuk mengobati PID.
Untuk pasien dengan PID ringan atau sedang, terapi antibiotik oral dan
parenteral mempunyai efektivitas yang sama. Sebagian besar klinisi
menganjurkan terapi parenteral paling tidak selama 48 jam kemudian
dilanjutkan dengan terapi oral 24 jam setelah ada perbaikan klinis.

Modul Keperawatan Maternitas II | 213


G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata
Nama, Umur, Jenis kelamin, agama, suku, bangsa, pekerjaan,
pendidikan, status perkawinan, alamat, tanggal masuk Rumah Sakit.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama : Demam, mual muntah, perdarahan menstruasi
yang tidak teratur, kram karena menstruasi, nyeri BAK, nyeri saat
hubungan, sakit pada perut bagian bawah, lelah, nyeri punggung
bagian bawah, nafsu makan berkurang.
2) Riwayat penyakit sekarang : Metroragia, Menoragia.Menderita
penyakit kelamin, keputihan, menggunakan alat kontrasepsi spiral.
3) Riwayat penyakit dahulu : KET, Abortus Septikus,
Endometriosis.Pernah menderita penyakit kelamin, abortus,
pernah kuret, aktivitas seksual pada masa remaja, berganti-ganti
pasangan seksual, pernah mengunakan AKDR.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
5) Riwayat menstruasi: Perdarahan menstruasi yang tidak teratur,
Disminore, Fluor albus.

c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : tampak sakit sedang
2) Kesadaran : compos mentis
3) Pemeriksaan per sistem :
a) Sistem kardiovaskular : Nadi klien 78x/menit. TD nya hipotesis
yaitu 110/70 mmHg.
b) Sistem respirasi : klien mengalami takipneu dengan frekuensi
18/menit.
c) Sistem gastro intestinal : penderita tidak mengalami gangguan
pada sistem ini.

Modul Keperawatan Maternitas II | 214


d) Sistem musculoskeletal : untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari dalam beraktivitas terlalu sering dibantu dengan alat.
e) Sistem integument : turgor kulit jelek, suhu 38,7°C
f) Sistem perkemihan : ada cairan flour albus yang berbau, dan
berwarna kehijauan, nyeri pada servik, uterus, terdapat masa
iflamatoris daerah pelvis.
d. Pemeriksaan penunjang
1) Periksa darah lengkap :
2) Urinalisis :
3) Tes kehamilan :
4) USG panggul :

e. Analisa Data

No. Data Etiologi Masalah


1. DS : - Proses penyakit Hipertermi
DO : Suhu klien mencapai
38,7°C

2. DS : Klien mengatakan Agen cedera biologi Nyeri akut


nyeri pada daerah panggil
dan organ vitalnya
DO : Klien terlihat
memegang panggul sambil
meringis

3. DS : Klien mengatakan Proses penyakit Disfungsi seksual


tidak berhubungan badan
saat mengalami radang
panggul
DO : -

Modul Keperawatan Maternitas II | 215


2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermia b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada
hipotalamus, perubahan pada reagulasi temperature
b. Nyeri akut b/d proses infeksi
c. Disfungsi seksual b/d perubahan kesehatan seksual

3. Intervemsi

No. Diagnosa NOC NIC


Hipertermi b/d Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor suhu
efek langsung keperawatan selama 1x24 sesering mungkin
sirkulasi jam diharapkan suhu 2. Monitor warna dan
pasien akan turun, dengan suhu kulit
kriteria : 3. Monitor TD, nadi,
- Suhu tubuh dalam dan RR
rentang normal 4. Monitor intake dan
- Nadi dan RR dalam output
rentang norma 5. Berikan antipiretik
- Tidak ada perubahan
warna kulit

Nyeri akut b/d Setelah dilakukan tindakan 1.Lakukan pengkajian


proses infeksi keperawatan selama 1x24 nyeri secara
jam diharapkan pasien komprehensif
dapat mengontrol nyeri, 2. Observasi reaksi
dengan kriteria : nonverbal dari
- Mampu mengontrol nyeri ketidaknyamanan
- Melaporkan bahwa nyeri 3. Ajarkan teknik
berkurang dengan mengontrol nyeri
menggunakan manajemen (distraksi, relaksasi)
nyeri 4. Berikan analgetik
- Mampu mengenali nyeri untuk mengontrol
(skala, intensitas, nyeri
frekuensi, dan tanda nyeri)
- Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang

Disfungsi seksual Setelah dilakukan tindakan 1.Membangun


b/d perubahan keperawatan selama 1x24 hubungan terapeutik
kesehatan seksual jam diharapkan pasien : berdasarkan
- Pengenalan dan kepercayaan dan rasa
penerimaan identitas hormat

Modul Keperawatan Maternitas II | 216


seksual pribadi 2. Menyediakan
- Mengetahui masalah privasi dan menjamin
reproduksi kerahasiaan
- Kontrol resiko penyakit 3. Memberikan
menular seksual informasi tentang
- Mampu mengontrol fungsi seksual
kecemasan 4. Diskusikan efek
- Penggunaan kontrasepsi dari situasi penyakit
yang efektif pada seksualitas
5. Dorong pasien
untuk verbalisasi
ketakutan dan
mengajukan
pertanyaan

Modul Keperawatan Maternitas II | 217


Daftar Pustaka

https://www.academia.edu/35281859/Makalah_radang_panggul

http://etikdwiunipdu.blogspot.com/2017/04/makalahsistem-reproduksi.html

https://www.alomedika.com/penyakit/obstetrik-dan-ginekologi/penyakit-radang-
panggul/patofisiologi

https://www.alomedika.com/penyakit/obstetrik-dan-ginekologi/penyakit-radang-
panggul

Widyastuti, y., & Rahmawati, a. (2009). Kesehatan Reproduksi. yogyakarta:


Fitramaya.

Doengoes, Marilyn. E. 2001. Rencana Keperawatan. Jakarta. EGC.

Gloria, M. B., Howard, K. B., Joanne, M. D., & Cheryl, M. W. (2013). Nursing
Interventions Classification (NIC). United States of America: ISBN:978-0-323-
10011-3.

Moorhead, S., Johnson, M., Meridean, L. M., & Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classification (NOC). United States of America: ISBN:978-0-323-
10010-6.

Modul Keperawatan Maternitas II | 218

Anda mungkin juga menyukai