Anda di halaman 1dari 18

EVALUASI PUPIL

I. PENDAHULUAN

Pupil merupakan lubang pada iris dan fisiologinya merupakan indikator (petunjuk)

mengenai status fungsional jaringan sekitarnya dan keadaan retina serta keadaan

struktur intrakranial. Pupil bisa melebar dan mengecil, dan mempunyai fungsi :

a) Mengatur jumlah cahaya yang mencapai retina

b) Mengurangi aberasi sferis dan aberasi kromatis

c) Meningkatkan keadalaman fokus.1

Ukuran pupil normal manusia bervariasi,. Diameter pupil normal pada adaptasi

gelap adalah 4,5 - 7 mm, sedangkan pada adaptasi terang adalah 2,5 – 6 mm. Pupil

yang kecil disebut miosis dengan diameter kurang dari 3 mm, dan pupil yang lebar

disebut midriasis dengan diameter 6 mm. Ukuran pupil ditentukan oleh beberapa faktor

yang meliputi umur, status emosi, tingkat kewaspadaan, tingkat iluminasi retina, jarak

melihat jauh atau dekat, dan besarnya usaha akomodasi. Pupil secara normal juga

berespon terhadap system pernafasan.1,2

Evaluasi respon pupil penting untuk menentukan lokasi lesi yang mengenai jaras

optik. Pemeriksa harus mengetahui seluk-beluk neuroanatomi jaras-jaras respon pupil

terhadap cahaya dan jaras-jaras untuk melihat dekat.2

1
II. ANATOMI DAN FISIOLOGI PUPIL

Pupil atau biasa di sebut anak mata merupakan lubang di tengah iris yang mengatur

banyak sedikitnya cahaya yang masuk kedalam mata. Pupil anak-anak berukuran kecil

karena belum berkembangnya saraf simpatis sedangkan pupil orang dewasa berukuran

sedang dan pada orang tua, pupil mengecil akibat rasa silau yang di sebabkan oleh

lensa yang menjadi sklerosis.1

Ukuran pupil normal manusia bervariasi,. Diameter pupil normal pada adaptasi gelap

adalah 4,5 - 7 mm, sedangkan pada adaptasi terang adalah 2,5 – 6 mm. Pupil yang

kecil disebut miosis dengan diameter kurang dari 3 mm, dan pupil yang lebar disebut

midriasis dengan diameter 6 mm. Perubahan diameter pupil dipengaruhi oleh aktifitas

jaras eferen serabut simpatis dan parasimpatis. Fungsi saraf simpatik adalah dilatasi

pupil sedangkan fungsi saraf parasimpatik untuk miosis pupil.1,2,3,4

(http://droualb.faculty.mjc.edu/Course20Materials/Physiology20101/Chapter20Notes/Fall202011/chapter_1020Fall202011.htm)5

Ukuran pupil ditentukan oleh beberapa faktor yang meliputi umur, status emosi,

tingkat kewaspadaan, tingkat iluminasi retina, jarak melihat jauh atau dekat, dan

2
besarnya usaha akomodasi. Pupil secara normal juga berespon terhadap system

pernafasan dan obat-obatan.1,2

Salah satu fungsi pupil adalah sebagai jalan pengatur keluar masuknya cahaya ke

dalam mata. Cahaya yang masuk kedalam mata melalui pupil di teruskan ke retina.

Cahaya yang diterima pupil disaring terlebih dahulu sebelum diteruskan ke retina. Bila

cahaya yang datang menyilaukan, pupil akan menyempit sehingga pupil terlihat

mengecil dari luar. Sebaliknya, bila cahaya yang masuk kemata terlalu sedikit, maka

pupil akan melebar/membesar untuk menyerap sinar yang sebesar-besarnya.3

Selain menyaring cahaya, pupil juga dapat memberitahukan kondisi psikologis

seseorang. Seseorang yang berbohong misalnya, maka pupil akan melebar/membesar.

Bila seseorang dalam keadaan emosi, marah atau dalam keadaan senang pupl juga

akan membesar. Demikian pula untuk melihat seseorang sudah meninggal, maka dapat

dilihat dari ukuran pupil yang melebar/membesar. Kondisi pupil yang mengecil,

manandakan hati dalam keadaan sedang dan tenang (dalam keadaan normal). 3

III. JARAS PUPIL

Reaksi pupil terhadap cahaya, kemungkinan berasal dari jaras yang sama, dengan

jaras rangsang cahaya yang ditangkap oleh sel kerucut dan batang,yang

mengakibatkan sinyal visual ke korteks occipital. Jaras efferent pupilomotor di

transmisikan melalui nervus optikus dan melalui hemidekusatio di chiasma. Kemudian

jaras pupilomotor mengikuti jaras visuosensoris melalui traktus optikus dan keluar

sebelum mencapai korpus genikulatum lateral, kemudian masuk ke batang otak melalui

3
brachium dari colliculus superior. Jaras ( neuron ) afferent tersebut kemudian

membentuk sinaps dengan NC Pretekal yang kemudian membentuk sinaps dengan

NC. Pretektal yang kemudian menuju NC Edinger westphal melalui neuron inter kalasi

ipsilateral ( berjalan ke arah ventral di dalam substansia kelabu periakuaduktus ) dan

kontralateral ( di bagian dorsal akuaduktus di dalam komissura posterior ). Kemudian

jaras pupilomotor ( neuron efferent parasimtomimetik ) masing – masing keluar dari NC

Edinger wepsthal menuju ganglion slliaris ipsilateral dan bersinaps disini, kemudian

neuron post ganglioner ( N. Silliaris Brevis ) menuju sfingther papillae.4,6

( Froetscher M, Baehr M. Duus Topical Diagnosis in neurology. 4 th edition.Stuttgart : Thieme.2005 )7

4
 Jaras parasimpatetik

Jaras efferent pupil keluar dari otak tengah menuju nervus III. Jaras

efferent pupil di basis otak terletak pada permukaaan superior nervus III yang

dapat tertekan oleh aneurisma antara arteri komunikans posterior dan arteri

karotis interna atau pada kejadian hemiasi unkus. Ketika nervus III berjalan

kedepan melalui rongga subarachnoid dan masuk ke dinding lateral sinus

cavernous, jaras pupil kemudian berjalan kebawah sekeliling luar saraf diantara

bagian anterior sinus kavernous dan posterior orbita, kumpulan jaras terbagi 2,

dimana jaras pupilomotor akan memasuki divisi inferior, lalu memasuki cabang

saraf untuk muskulus oblikus inferior dan akhirnya mencapai ganglion silliaris.

Setelah bersinaps disini, serabut post ganglioner ( N. Silliaris Brevis ) menuju

sfinghter papillae.4,5

 Jaras simpatetik

Serabut ini memiliki beberapa neuron, diantaranya :

1. Preganglioner, berasal dari hypothalamus kemudian turun tanpa

menyilang dan bersinaps secara multiple di otak tengah dan pons,dan

berakhir di kolumna interomediolateral C8-T2 yang biasa di sebut

cilliospinal centre of badge .

2. Neuron kedua berupa serabut-serabut yang keluar dari medulla spinalis.

Sebagian besar jarak pupilomotor mengikuti radiks ventra T2-4. Jaras

tersebut memasuki rantai simpatetik servikal ( ganglion stelata ) untuk

5
kemudian bersinaps diganglion servikal superior yang terletak dekat dasar

tengkorak.

3. Neuron ketiga merupakan serabut post ganglioner yang berjalan ke atas

bersama arteri karotis komunis memasuki rongga cranium. Serabut untuk

vasomotor orbita, kelenjar lakrimal, pupil dan otot mulleri mengikuti arteri

karotis interna, sedangkan serabut pseudomotor dan piloreksi mengikuti

arteri karotis interna dan cabang-cabangnya.Pada sinus cavernous jaras

pupilomotor tersebut meninggalkan arteri karotis interna dan bergabung

dengan jaras optic nervus trigeminal dan memasuki urbita melalui fissure

orbitalis superior, dan kemudian mencapai badan silliaris yang

mengakibatkan dilatasi iris melalui nervus nasosilliaris dan nervus silliaris

longus.Sedangkan serabut vasomotor orbita, m.mulleri dan kelenjar

lakrimalis mengikuti arteri oftalmika.4,5

IV. EVALUASI PUPIL

Evaluasi pupil memiliki dua tujuan. Pertama, untuk menemukan gangguan-

gangguan fungsi pupil itu sendiri, dan kedua, untuk mendeteksi gangguan-gangguan

system penglihatan afferent dan invervasi otonomik pada mata. Pendekatan yang

sistematis akan membantu secara signifikan dalam menginterpretasikan temuan-

temuan. Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara yang logis, karena sIstem pupil

merespon dengan cara yang logis juga. Tes yang tidak menghasilkan informasi yang

berguna hanya akan menimbulkan kerancuan.4,5,8

6
Pengujian pupil memerlukan dua cahaya yang terang (contoh ophthalmoscope tidak

langsung dan lampu senter yang terang), sebuah gauge saku untuk mengukur

diameter pupil, neutral density filters, sebuah slit lamp, larutan topical berisi 5% kokain,

kadang-kadang larutan 1% hydroxymphetamine (bila ada), pilocarpine 0,1% dan 1,0%,

dan obat tetes mata phenylphrine 2,5%.

Ada banyak informasi yang berguna dalam respon anatomi dan fisiologi sIstem pupil.

Tiga aspek peirlaku pupil adalah relevan dalam pemeriksaan klinis:

1. Ukuran dan kecepatan konstriksi pupil dalam merespon terhadap stimulus

cahaya dengan kekuatan sedang adalah sebanding dengan logaritma intensitas

kekuatan cahaya perangsang. Respon pupil bisa digunakan sebagai tes

kepekaan mata terhadap cahaya. Ini mejadi dasar untuk pembandingan

interocular yang dilakukan selama swinging flashlight test.

2. Reaksi pupil normal bisa sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak variable

(status akomodasi, emosi, kewaspadaan, dan efek obat). Perbedaan ini bisa

antar individu atau bahkan dalam-individu, yang menurunkan nilai pengambatan

individual dan mengharuskan pengulangan tes berkali-kali, sebelum bisa

dipastikan temuan patologisnya.

3. Pusat pupilomotor di pretectal midbrain menerima sinyal-sinyal neural yang

dibangkitkan oleh penerangan retina dan ditransmisikan melalui saluran optic.

pupillomotor afferents tidak dipisahkan oleh mata, tetapi oleh visual hemifields.

Masing-masing sisi pretectum pada gilirannya mengirimkan sinyal melalui

7
multisynaptic connection ke kedua sisi Edinger-Westphal nuclei. Neuron-neuron

dengan soma mereka dalam nuclei ini mengirimkan axon mereka melalui cranial

nerve ketiga ke ipsilateral ciliary ganglion yang darinya postganglionic

parasympathetic fibers meng-invervasi mata melalui short posterior ciilary

nerves, dan berhakhir di papillary sphintcter. Pembagian input saraf bilateral ini

memiliki konsekuensi yang penting yang merusak afferent visual pathways yang

mengakibatkan Edinger-Westphall nucleus tidak bisa menimbulkan anisokoria.

Maka, anisokoria tidak pernah merupakan suatu tanda adanya gangguan affrent,

tetapi tanda gangguan efferent pupilary. Ini dalah landasan fisiologis untuk

dilakukannya tes.4,5,6,8

Evaluasi pupil secara sistematis :

 Langkah Pertama:

Pastikan bahwa pupil merespon terhadap cahaya. Hanya di ruangan gelap saja

pupil benar-benar menunjukkan seberapa baik bereaksi, sehingga pastikan

bahwa cahaya ruangan seredup mungkin. Pasien harus diminta untuk melihat ke

kejauhan. Dengan menggunakan sumber cahaya yang kuat (seperti

ophthalmoscope tidak langsung) atau penlight rangsanglah kedua mata secara

bersamaan. Bila kedua pupil mengecil secara simetris , lanjutkan ke langkah

kedua.

8
Bila salah satu pupil tidak tampak bereaksi maka telah ditemukan keadaan

patologis yang memerlukan pemeriksaan lebih lajut (lanjutkan ke langkah ketiga).

 Langkah kedua:

bandingkan diameter pupil satu sama lain. Pemeriksaan dan perbandingan

interocular diameter pupil menentukan apakah autonomic (efferent)

innervations pada mata masih utuh (intact). Bila ada anisocoria, ulangi pengujian

respon kedua pupil terhadap stimulus cahaya binocular yang kuat.

 Langkah ketiga: Lakukan uji goyang lampu senter (Swinging Flashlight Test).

Langkah ini membandingkan respon pupil aferen satu mata dengan yang

lainnya.

Ketika pupil sangat tidak reaktif atau tidak bereaksi terhadap stimulus cahaya, uji

lampu senter goyang tidak bisa dilakukan dengan cara seperti biasanya karena uji itu

mensyaratkan kedua pupil bereaksi secara sama terhadap cahaya. Selain itu, bila ada

anisokoria, persyaratan dilakukannya tes ini agak berbeda. Pengalaman telah

menunjukkan bahwa ketika ada perbedaan sebesar 0,5 mm atau lebih pada diameter

pupil, uji ini paling tepat dilakukan dengan menilai gerakan pupil yang memiliki reaksi

cahaya yang lebih baik, membandingkan respon langsung dan konsensualnya.

Tes ini dilakukan dengan cara memberikan cahaya pada mata pada ruangan

yang agak gelap, menggunakan penlight terang dengan cahaya yang terfokus. Pada

saat tes, pasien diharuskan memfiksasi pengelihatan pada satu target untuk

menghindari akomodasi. Cahaya yang diberikan harus langsung sesuai pada axis mata

9
untuk mengiluminasi pupil yang satu dengan yang lainnya. Tes ayun cahaya didiamkan

selama 3 – 5 detik tiap mata dan harus dilakukan bergantian.

Anisocoria 0,3 mm ata kurang tidak selalu terlihat. Bila respon normal telah ditemukan

hingga titik ini, uji diakhiri. Perlu dicatat sebagai: “ukuran pupil dan respon cahaya

sama; tidak ada relative afferent pupilary defect.

 Hasil Tes Ayun Cahaya Pada Mata Normal :

(Crick, R.P., Khaw, P.T. A Textbook of Clinical Ophtalmology. Neurology. 3 rd Edition. World Scientific Publishing Co. London.
2003)19

 Hasil Tes Ayun Cahaya pada RAPD :

(Crick, R.P., Khaw, P.T. A Textbook of Clinical Ophtalmology. Neurology. 3 rd Edition. World Scientific Publishing Co. London.
2003)19

10
 Langkah keempat:

pemeriksaan temuan-temuan patologis. Setelah selesai tiga langkah pertama,

kemunginan ditemkan keadaan-keadaan patologis berikut:

1. Sebuah relative afferent papillary defect (RAPD)

2. Sebuah anisokoria dengan respon normal terhadap cahaya pada kedua mata

3. Sebuah defisit monocular atau bilateral pada respon cahaya.4,5,6,8

Uji Lebih Lanjut Ketika Dijumpai Tanda-Tanda Pupil Abnormal, seperti :

Relative Afferent Pupilary Defect

Ketika ditemukan RAPD, penyebabnya harus diidentifikasi. Bila penyebabnya

tidak bisa ditemukan, pemeriksaan perimetri pada kedua mata diperlukan.10

Anisocoria dengan Reaksi Pupil terhadap Cahaya Bilateral Normal

Uji dilasi menggunaka perbandingan kecepatan dilasi pupil kedua mata setelah

dipadamkan rangsang cahaya yang terang. Uji ini menentukan apakah ada bukti

masalah dengan sympathetic innervations pada pupil. Permasalahannya adalah bahwa

uji ini dilakukan di ruang gelap. Idealnya, kita harusmenggunakan sebuah system video

inframerah untuk memeriksa greakan pupil di tempat gelap, yaitu setelah mematikan

stimulus cahaya. Alternative yang praktis adalah menggunakan sebuah smber cahaya

terpisah yang lemah untuk menerangi kedua mata pada sudut tangential dari bawah,

sehingga kedua pupil terlihat dan sedikit saja wilayah retina yang diterangi di tiap mata.

Paling baik tidak melihat mata dengan rangsang yang lebih terang, karena ini

11
menyebabkan adaptasi cahaya pada mata si pemeriksa, yang menyulitkannya melihat

pupil yang mendapat penerangan redup.

Ketika pupil membesar dengan baik dan tanpa perbedaan kecepatan diantera

keduanya, anisocoria sepertinya fisiologis. Anisocoria fisiologis lebih dari 1 mm sangat

tidak umum, sehingga ketika perbedaannya elbih dari 1 mm, gunakan uji cocaine.

Juga, ketika pupil yang lebih kecil membesar lebih kecil, uji kokain juga dianjurkan.

Pengamatan pupil di ruang gepap denga cahaya inframerah lebih sederhana dan

lebih efektif dibandingkan pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan dengan kondisi

penerangan redup. Perekaman video inframerah saat ini mudah dilaksanakan. Video

vcordres pada umumnya memiliki seting ‘malam’ atau ‘zero lux’, yang merupakan salah

satu bentuk perekaman video inframerah. Filter penghambat pada kamera bisa

dihilangkan, dan sumber cahaya inframerah dihidupkan. Prangkat seperti itu tidak

mahal, dan menarik untuk digunakan.4,5,6,8

V. UJI KOKAIN DAN HYDROXYAMPETHAMINE

UJi kokain dianjurkan dalam tiga kondisi:

1. Untuk anisocoria lebih dari 1 mm dan reaksi cahaya pupil normal

2. Untuk pembesaran pupil kecil yang lebih lambat

3. Untuk ptosis ipsilateral ke pupil kecil (dicurigai Horner’s syndrome).

12
Kokain menghambat reuptake dan inaktivasi noradrenalin dalam synaptic cleft. Maka,

ini merupakan sympthomimetic tidak langsung. Ketika sympathetic innervations utuh,

ada tingkat pelepasan noradrenalin yang konstan kedalam synapse, dan kokain

menghambat reuptake nya yang menyebabkan akumulasi neurotransmitter, dan

mengakibatkan pembesaran pupil. Ibla anisocoria nya bersifat fisiologis, pupil kecil

membesar lebih daripada pupil besar, sehingga mengurangi anisocoria.

Tetas kokain 5% pada kedua mata (semua uji farmakologi pupil harus dilakukan

secara simetris, membandingkan satu mata dengan lainnya). Langkah ini biasanya bisa

didapatkan di apotik rumah sakit. Bila muncul ketidakpastian tentang kelengkapan

penggunaan pada mata, tetes mata harus segera diulang. Ketika menguji bayi dan

anak-anak kecil, penggunaan larutan kokain 2,5% dianjurkan. Diameter kedua pupil

diukur sebelumnya dan 1 jam setelah instilasi tetes, dengan menggunakan tingkat

penerangan yang sama. Biasanya memadai bila kita mengukur diameter pupil dengan

pocket card yang memiliki semicircles dengan berbagai diameter. Bila menghendaki

presisi lebih besar, pengukuran harus dilakukan dengan fotografi.

Maka, uji kokain jelas membedakan antara anisocoria fisiologis dengan sindroma

Horner. Bila hasilnya meragukan, uji harus diulang.. Efek pemberian larutan 5% kokain

secara topical ke mata bisa dideteksi dalam sampel urin untuk beberapa hari.

Agen-agen adrenergic tidak langsung lain, seperti hydroxyamphetamine 1% atau

tyramine 2,5% berefek dengan merangsang pelepasan noradrenalin kedalam synaptic

cleft pada terminus end neuron rantai sympathetic. Obat-obat ini memiliki efek

adrenergic hanya bila end neuron utuh dan berfungsi. Bila terminal neuron telah mati,

13
produksi transmiternya turut pergi. Prosedurnya sama dengan uji kokain, kecuali bahwa

pupil diukur 45 menit setelah pemberian tetes mata. Efek mydriatic cocok dengan efek

yang ditemukan dengan uji kokain. Bila pupil yang tidak terpengaruh membesar dan

pupil yang terpengaruh membesar 2,5 mm atau kurang, kehilangan fungsi adrenergic

pada pupil yang terpengaruh bisa dikaitkan dengan kerusakan neuron ketiga (terminal)

pada sympathetic pathway, yaitu pada atau diatas ganglion cervical superius pada

rantai sympathetic.

Konsentrasi rendah phenylephrine (sekitar 2%) cocok untuk deteksi farmakologi

pelemahan pupillary dilators. Pada bayi, kita seringkali menemukan adanya anisocoria

dengan reaksi cahaya pupil normal dan tidak da ptosis yang berlanjut setelah instilasi

topical cocaine. Bila anisocoria tetap ada setelah instilasi larutan 2,5% phenylephrine,

bisa disimpulkan bahwa dilator pupil kecil kemungkinan hypophastik. Ini adalah

gangguan jinak yang tidak berhubungan dengan abnormalitas lain pada perkembangan

segmen anterior , dan pada umumnya akan normal sendiri dengan berlalunya

waktu.4,5,6,8

VI. MENGUJI REAKSI DEKAT

Reaksi dekat harus diujiketika ada abnormalitas unilateral atau bilateral pada reaksi

cahaya pupil. Tidak ada laporan yang terdokumentasikan tentang kehilangan reaksi

dekat pupil secara terisolasi. Perkecualiannya adalah gangguan-gangguan pu pil yang

diduga berhubungan dengan botulisme atau diphtheria, dimana akomodasi dan respon

dekat pupil terpengaruh secara signifikan daripada reaksi cahaya. Namun, respon

cahaya pupil tidak normal dalam seting ini.

14
Ketika menguji reaksi dekat pupil, tingkat penerangan harus cukup terang sehingga

pupil bisa mudah terlihat, dan sebuah obyek dengan detil permukaan halus (untuk

meningkatkan akomodasi) secara perlahan didekatkan ke mata. 4,5,6,8

VII. PENGUJIAN OKULOMOTOR

Cacat monocular dalam respon cahaya pupil memunculkan pertanyaan tentang

paresis syaraf ketiga, sedangkan bilateral deficit bisa berhubungan dengan vertical

gaze palsies, seperti dalam Parinaud syndrome.4,5,6,8

VIII. PEMERIKSAAN DENGAN SLIT LAMP

Slit lamp memungkinkan dilakukanya pemeriksaan anatomi pupil dan iris dari

jarak dekat, khususnya dlaam mencari bukti sphincter atrophy atau gangguan

traumatic. Pemeriksa harus melihat apakah sphincter menunjukkan gerakan spontan

atau tidak, apakah rangsang cahaya yang kuat mengakibatkan respon kontraksi yang

besar, apakah sejumlah bagian sphincter bergerak lebih kuat dibandingkan yang

lainnya, dan apakah gerakan vermiform yang patologis dan spontan dijumpai atau tidak.

Bila pupil tidak tempak merespon terhadap rangsang cahaya, respon dekatnya bisa

diuji pada slit lamp. Selain itu, segmental parese (yang menyeabkan pupil berbentuk

aneh) dan gerakan vermiform (tonic pupil) mudah terlihatmelalui isntrumen slit lamp.

15
Pembesaran kembali pupil yang mengecil yang terlihat pada slit lamp juga membantu

menegaskan perilaku tonic pada Adie’s pupil.4,5,6,8

IX. PENGUJIAN DENGAN PILOCARPINE 1% DAN 0,1%

Menguji dengan pilocarpine lemah (0,1%) breguna ketika dicurigai ada diagnosis

tonic pupil tetapi tidak bisa dikonfirmasi dengan slit lamp. Tonic pupil memiliki

hipersensitivitas denrvasi terhadap cjp;omergoc stimulus yang mungkin berhubungan

dengan Adie’s syndrome atau paresis syaraf okulomotor. Penggunaan konsentrasi

rendah pilocarpine harus selalu dilakukan terlebih duli bila tampak ada absolute

papillary paralysis (tidak merespon terhadap stimulasi ringan atau usaha akomodasi

yang terlalu lama). Pupil yang bundar dan tidak bergerak pada posisi mid-dilation

sering dijumpai pada tahap awal Adie’s tonic papillary syndrome.

Menguji dengan pilocarpine rendah bisa dipengaruhi oleh keadaan permeabilitas (bisa

ditembusnya) permukaan korea . semua pengujian yang bisa diharapkan untuk

mengubah permeabilitas (contoh, tonometry) harus dilakukan setelah uji pilocarpine

rendah.4,5,6,8

16
KESIMPULAN

1. Pupil merupakan lubang pada iris dan fisiologinya merupakan indikator

(petunjuk) mengenai status fungsional jaringan sekitarnya dan keadaan

retina serta keadaan struktur intracranial.11

2. Lintasan pupil terdiri dari bagian aferen dan bagian eferen. Bermula dari

sel-sel di retina dan berakhir di daerah pretektum, sedangkan bagian

eferen dibagi menjadi lintasan parasimpatis dan lintasan simpatis. Pusat

pengaturan supranuklear adalah dari lobus frontalis (kewaspadaan) dan

lobus oksipitalis (akomodasi).11

3. Evaluasi pupil memiliki dua tujuan. Pertama, untuk menemukan

gangguan-gangguan fungsi pupil itu sendiri, dan kedua, untuk mendeteksi

gangguan-gangguan system penglihatan afferent dan invervasi otonomik

pada mata.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan, Daniel G, dkk. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: Penerbit Widya

Medika. 2010.

2. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. FKUI. Jakarta. 2007.

3. http://www.psychologymania.com/2012/04/fungsi-pupil-mata.html

4. American Academy of Ophthalmology, neuro ophthalmology, basic and clinical

science course, 1994-1995, 5:130-144

5. http://droualb.faculty.mjc.edu/Course20Materials/Physiology20101/Chapter20Not

es/Fall202011/chapter_1020Fall202011.htm

6. London : Little Brown, 1990: 144 Burde, RM. Et al. Aniscocoria and abnormal

pupilary light reactions, in clinicaldecisions in neuroophthalmology, Mosby, 1985:

221-245

7. Froetscher M, Baehr M. Duus Topical Diagnosis in neurology. 4th

edition.Stuttgart : Thieme.2005

8. http://pintarbahasa.com/artikel-kedokteran/optalmologi/diagnosis-gangguan-

pupil/

9. Crick, R.P., Khaw, P.T. A Textbook of Clinical Ophtalmology. Neurology. 3 rd

Edition. World Scientific Publishing Co. London. 2003.

10. Hartono. Sari Neurooftalmologi. Yogyakarta: Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas

Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 2006.

11. Gerhard K. Lang, M. D. A Short Textbook of Ophtalmology. Thieme Stuttgart.

New York. 2000.

18

Anda mungkin juga menyukai