Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

“PENYAKIT-PENYAKIT DENGAN KELAINAN PUPIL”

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Mengikuti Ujian Akhir Kepaniteraan Klinik
Madya SMF Mata Rumah Sakit Umum Daerah Abepura

Disusun oleh:
Aprilliyanti Beni Abdullah (20180811018019)
Bobby M.F. Kandami (20180811018027)
Sii Aissah (20180811018149)

Pembimbing:
dr. Dian Papente, Sp.M

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


SMF MATA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABEPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA – PAPUA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pupil merupakan lubang pada iris yang dapat melebar dan mengecil, serta
mempunyai fungsi mengatur jumlah cahaya yang mencapai retina, mengurangi aberasi
sferis dan aberasi kromatis dan meningkatkan keadalaman fokus penglihatan. Ukuran
pupil dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur, tingkat kesadaran, kuatnya
penyinaran, dan tingkat akomodasi. Perubahan diameter pupil dipengaruhi oleh jaras
eferen serabut simpatis dan parasimpatis. Diameter pupil normal adalah sekitar 3-4 mm.
Pupil memungkinkan cahaya memasuki mata, yang dalam kondisi cahaya redup pupil
akan melebar dan dalam kondisi cahaya terang pupil akan mengecil.1
Kelainan pada pupil dapat mempengaruhi 4 tempat yaitu mata, jaras aferen atau
optik, eferen atau parasimpatis dan jaras simpatik. Gangguan utama yang mempengaruhi
mata termasuk infeksi, peradangan dan trauma. Penyebab utama adalah inflamasi
(neuritis optik), gizi dan zat toksik. Namun, dalam banyak kasus yang penyebabnya tidak
diketahui. Gangguan yang mempengaruhi jalur eferen juga terjadi, jika terjadi kompresi
nervus III pada jalur dari batang otak untuk mata, maka kerusakan serabut parasimpatik
akan mengakibatkan pupil melebar. Gangguan yang mempengaruhi jalur simpatik dapat
terjadi di mana saja sepanjang jaras dari batang otak lateral untuk mata, salah satunya
Horner sindrom.2
Di dalam refarat ini akan dibahas mengenai anatomi, fisiologi pupil serta kelainan-
kelainan pada pupil dan tatalaksananya. Penegakkan diagnosis dengan cepat dan
pengawasan klinis yang tepat tentunya penting dalam tindakan dan tatalaksana efektif
gangguan penglihatan. Pentingnya fungsi indra penglihatan yang optimal menuntut kita
untuk mengetahui lebih lanjut serta menatalaksana dengan tepat gangguan pada
pengelihatan termasuk gangguan pengelihatan yang melibatkan organ pupil.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Pupil


Pupil merupakan lubang yang berbentuk bulat di bagian tengah iris yang berfungsi
mengatur jumlah cahaya yang mencapai retina, mengurangi aberasi sferis dan aberasi
kromatis, meningkatkan keadalaman focus. Ukuran pupil ditentukan oleh interaksi
sistem saraf simpatik dan parasimpatis yang dapat mengecilkan atau melebarkan iris.
Diameter pupil normal pada adaptasi gelap adalah 4,5-7mm, sedangkan pada adaptasi
terang adalah 2,5-6mm. Fungsi pupil adalah untuk mengontrol jumlah cahaya yang
masuk ke dalam mata untuk mendapatkan fungsi visual terbaik pada berbagai derajat
intensitas cahaya.3,4

Gambar 1. Anatomi Iris dan dan Otot-otot Pupil

2.2. Fisiologi Pupil


2.2.1. Reaksi Pupil
Dilatasi pupil akibat kontraksi otot polos yang dikendalikan oleh sistem
saraf simpatis. Sistem saraf simpatis bekerja secara langsung pada sel otot di
sekeliling dengan menghambat inti Edinger-Westphal. Reaksi psikosensor
ditransmisikan melalui sistem simpatis. Konstriksi pupil merupakan respons
terhadap cahaya atau akomodasi terjadi saat otot melingkar yang dikendalikan
oleh sistem saraf parasimpatis berkontraksi. Jalur konstriksi pupil untuk masing-

2
masing mata memiliki jalur aferen yang membawa informasi sensorik ke otak
tengah, dan kedua jalur eferen.5,6

Gambar 2. Anatomi Otot-otot Pembentuk Pupil dan Persarafannya


1. Jaras Simpatis
Jaras simpatis pertama atau preganglioner, dimulai dari hipotalamus
posterolateral ipsilateral dan melintasi batang otak sampai sinaps substansi
abu-abu bagian intermediolateral dari sumsum tulang belakang setinggi C8,
T1 dan T2 yang juga disebut ciliospinal centre of badge. Jaras simpatis kedua
berupa serabut-serabut preganglioner yang keluar dari medula spinalis dan
melintas dibawah arteri subklavia sebelum melewati apeks paru. Kemudian
melewati ganglion stellata tanpa membuat sinaps, menuju sinaps di ganglion
servikal superior terletak dekat dasar tengkorak. Jaras simpatis ketiga
merupakan serabut post ganglioner yang berasal dari ganglion servikal
superior mengikuti pleksus karotis interna, masuk ke sinus kavernosus,
bersama nervus kranial V melewati fissura orbital superior ke orbita menuju
ke m. dilator.7
2. Jaras Parasimpatis
Jaras parasimpatis mengatur ukuran pupil dalam berbagai tingkat
pencahayaan. Jaras eferen pupil keluar dari otak tengah bersama dengan
nervus III. Ketika nervus III berjalan ke depan melalui rongga subarakhnoid
dan masuk dinding lateral sinus kavernosus, jaras pupil kemudian berjalan ke
bawah sekeliling luar saraf diantara bagian anterior sinus kavernosus dan
posterior orbita kumpulan jaras terbagi dua dimana jaras pupilomotor akan
memasuki divisi inferior, lalu mengikuti cabang saraf untuk M obliqus inferior
dan akhirnya mencapai ganglion siliaris. Setelah bersinaps disini, serabut post
ganglioner (N siliaris brevis) kemudian menuju M sfingter pupillae.7
3
Gambar 3. Diagram oculosympathetic pathway

Gambar 4. Jaras simpatis dan parasimpatis pupil


3. Jaras Aferen
Jaras aferen terdiri dari retina, saraf optik dan nukleus pretektal di otak
tengah. Serat pupilomotor aferen ditransmisikan melalui saraf optik
persilangan dari chiasma. Serat ini mengikuti jalur sensoris visual melalui
traktus optikus, keluar tepat sebelum badan genikulata lateral memasuki
batang otak melalui brachium kolikulus superior. Serat pupilomotor membuat
sinaps pada nukelus pretekal. Nukleus pretekal kemudian diproyeksikan ke
4
ipsilateral dan kontralateral nukleus Edinger-Westphal pada nukleus
okulomotor kompleks di otak tengah.5,6,8
4. Jaras Eferen
Jaras eferen untuk kontriksi pupil berasal dari nukleus pretektal melalui
nukleus Edinger-Westphal (di otak tengah) ke otot sfingter siliaris iris. Setiap
nukleus pretektal memiliki dua pupil motor uotput, satu ke inti Edinger-
Westphal di kedua sisi mata. Dari masing-masing inti Edinger-Westphal,
serabut parasimpatis preganglionik keluar bersama nervus okulomotor.
Kemudian berjalan di bagian superfisial nervus okulomotor melalui sinus
kavernosus dan fisura orbital superior menuju sinaps di ganglia siliaris.
Cabang nervus siliaris kemudian menginervasi sfingter iris dan otot
akomodasi.5,6

Gambar 5. Jaras aferen dan eferen pupil


2.2.2. Dilatasi Pupil (>5 mm)
1. Fisiologik:
- perempuan > laki-laki
- mata biru > mata coklat
- inspirasi > ekspirasi

5
- kaget, takut, rangsangan, vestibular, anestesia stadium I, II dan IV, reflek
audotori, vestibular, dan vagotonik
- miopia > hipermetropia
- dewasa > anak dan orangtua
2. Obat dan toksin: obat simpatomimetik, antihistamin, anestesi topikal, steroid
topikal, parasimpatolitik, marijuana, antimalarial
3. Penyakit mata: atrofi iris, glaukoma, trauma paralitik iris, aniridia, mata
amblyopia
4. Lesi ganglion silier: herpes zoster, oftalmoplegia
5. Koma akibat alkohol, eklampsia, diabetes, uremia, apopleksi, meningitis
6. Rangsangan simpatis, idiopatik, lesi toraksik seperti pada iga
servikal,aneurisma pembuluh darah torak, tumor mediastinum, pleuritis,
trauma
7. Stimulasi psikis, neurosifilis
8. Pupil dengan tanda marcus gunn: neuritis optik, ablasi, atrofi papil saraf optik,
oklusi arteri retina sentral, lesi prekiasma yang menekan saraf optik
2.2.3. Kontraksi Pupil
1. Fisiologis:
- laki-laki < perempuan
- hipermetropia < miopia, lelah, anestesi stadium III, reflek orbikular
2. Obat: parasimpatomimetik, simpatolitik, morfin, keracunan alkohol akut
3. Penyakit mata: rangsangan kornea, iritis, hipotoni akut, retinitis, dan
pigmentosa
4. Miosis spastik: meningitis purulen, lesi pontin akut, tetanus fasial, hipoksia
berat, miotoni distrofi
5. Sindrom horner
6. Psikis: skizofrenia, dementia prekoks, hysteria
7. Pupil argyl robertson: sifilis, diabetes, sklerosis multiple, dan trauma orbita.9

2.3. Pemeriksaan Pupil


Perhatikan ukuran pupil bila terlihat anisokoria, berdirilah menjauhi pasien dan
gelapkan ruangan dan lihat melalui oftalmoskop. Lihat reflek merah dari fundus okuli
dan bandingkan ukuran pupil secara langsung pada glaukoma. Pada glaukoma akut

6
terlihat pupil lonjong, asimetri pada trauma tembus mata dan osilasi abnormal pada
sindrom Adie tonik pupil.
2.3.1. Refleks Pupil
a. Refleks cahaya
Untuk menilai integritas jalur refleks cahaya pupil.
- Dalam cahaya redup minta pasien untuk melihat sasaran yang jauh. Sinari
mata kanan dari sisi kanan dan mata kiri dari sisi kiri. Perhatikan apakah
ada respon pupil langsung (konstriksi pada pupil yang diberi cahaya) dan
respons konsensual (konstriksi pada pupil yang lain).
- Normalnya adalah terdapat respon yang cepat dan serentak dari kedua
pupil dalam merespon cahaya pada satu atau mata lainnya.5,6
b. Swinging flashlight test
Membandingkan konstriksi pupil langsung dan konsensual pada setiap
mata untuk mencari perbedaan konduksi aferen dan mendeteksi kelainan
asimetris di jalur aferen pada kedua mata, yang disebut Relative Afferent
Pupillary Defect (RAPD).
- Dalam cahaya redup periksa refleks cahaya di setiap mata, lalu gerakkan
sinar dengan cepat dan berirama dari mata ke mata, pastikan setiap mata
menerima pemaparan cahaya yang sama, dari sudut yang sama.
- Perhatikan kontriksi pupil pada kedua mata. Bila sinar diayun,
penyempitan pupil bilateral seharusnya tidak berubah dan kedua pupil
harus menahan tingkat kontriksinya.
- Jika RAPD positif saat cahaya diberikan pada pupil abnormal, kedua pupil
tampak melebar karena tingkat penyempitannya berkurang. Hal ini berarti
bahwa sinyal aferen dari mata tersebut lebih lemah sehingga
penyempitannya dan juga refleks konsensual berkurang. Respon abnormal
ini juga dikenal sebagai pupil Marcus Gunn.
- Jika gangguan terletak pada sinyal eferen ke pupil maka respon pupil
konsensual tidak akan terpengaruh. Mata yang terkena akan menunjukkan
konstruksi yang buruk selama swinging flashlight test, sedangkan mata
normal akan menyempit secara normal dan menunjukkan respons
konsensual yang normal.

7
- Pada glaukoma RAPD mengindikasikan adanya kerusakan saraf optik
lebih banyak pada satu mata daripada di mata lainnya, bahkan jika
ketajaman penglihatan pada kedua mata sama.5,6

Gambar. Respon normal swinging flashlight test

Gambar 6. Defek aferen pupil pada mata kiri menggunakan swinging flashlight test

8
Gambar 7. 1. Inspeksi dengan cahaya gelap; 2. Inspeksi dalam cahaya terang; 3,4
RAPD negtaif; 5,6 RAPD mata kiri, 7-12 dilatasi pupil; 9,10 bukan RAPD; 11,12
RAPD mata kanan
c. Near Refleks Test
Untuk menilai komponen akomodasi pupil.
- Dalam ruangan dengan cahaya normal, mintalah pasien untuk melihat
sasaran yang jauh. Bawa benda (seperti jari) ke titik dekat dan amati
refleks pupil saat fiksasi mereka bergeser ke sasaran yang dekat.
- Tes normal menunjukkan konstriksi yang cepat.
- Pada disorientasi cahaya dekat, pasien memiliki refleks dekat yang lebih
baik daripada refleks cahaya.5,6

2.4. Kelainan pada Pupil


 Midriasis: terjadi akibat obat parasimpatolitik (atropin) atau simpatomimetik
(adrenalin dan kokain).
 Miosis: terjadi pada spastik miosis (meningitis, ensefalitis dan perdarahan ventrikel),
intoksikasi morfin dan antikolinesterase. Pada paralitik miosis atau simpatis parese
seperti pada Horner sindrom dengan miosis, ptosis dan anhidrosis.
9
 Anisokoris: ukurin pupil kedua mata tidak sama, terdapat pada uveitis glaukoma
monokular, dan defek pupil aferen.
 Hipus: ukuran pupil berubah-ubah nyata dengan irama dalam detik, terdapat pada
meningkatnya daya iritatif sistem saraf autonom. Pada pemeriksaan yang teliti
dengan perubahan sinar akan terlihat kontraksi dan kemudian berosilasi. Bila osilasi
ini terlihat jelas maka keadaan ini disebut sebagai hipus.
 Oklusi pupil: pupil tertutup oleh jaringan radang yang terletak di depan lensa.
 Seklusi pupil: seluruh lingkaran pupil melekat pada daratan depan lensa.
 Leukokoria: pupil yang berwarna atau memberikan refleks putih, terdapat pada
katarak, endoftaimitis, fibroplasti retrolental, badan kaca hiperplasti, miopa tinggi,
ablasi retina, dan tumor retina atau retinoblastoma.

2.5. Penyakit Akibat Kelainan Pupil


1. Anisokor
Anisokoria adalah ukuran pupil yang berbeda. Sinyal eferen yang tidak
simetris pada otot iris akan menghasilkan diameter iris yang berbeda, hal ini bisa
bersifat fisiologis ataupun bersifat patologis. Anisokoria bersifat fisiologis (dan tidak
berbahaya) pada sekitar 20% orang. Anisokoria onset baru dapat bersifat patologi
seperti sindrom Horner karena diseksi karotis, atau palsi nervus III karena aneurisma.
Bandingkan pupil dalam kondisi terang dan redup:
- Jika terdapat reaksi yang buruk terhadap cahaya (lambat, sebagian atau tidak ada)
di satu mata dan anisokoria lebih jelas terlihat di ruangan yang terang, berarti
kelainan pupil berat.
- Jika terdapat reaksi cahaya yang baik di kedua mata namun dilatasi buruk, lambat
atau tidak ada dalam kegelapan (anisokoria meningkat), berarti kelainan pupil
kecil.5,6,10

Gambar 8. Anisokor
Etiologi
 Pupil konstriksi abnormal
- Penggunaan agen miosis pada sebelah mata seperti pilocarpin
10
- Iritis: gejala berupa nyeri pada mata atau kemerahan
- Sindrom Horner: ptosis ipsilateral ringan
- Pupil Argyl Robertson: sifilis sekunder, biasanya bilateral dengan anisokoria
ringan
- Pupil Adies tonik: pada awalnya pupil dilatasi, namun akan berkonstriksi
secara perlahan
 Pupil dilatasi abnormal
- Trauma sfingter iris: pada pemeriksaan slitlamp akan terlihat defek
transluminasi pada batas pupil
- Pupil Adies tonik: dilatasi pada awal penyakit
- Penggunaan agen midriasis pada sebelah mata seperti atropin
- Kelumpuhan nervus III: terkait dengan kelumpuhan otot ekstraokular dan
ptosis ipsilateral.
 Anisokoria fisiologis: perbedaan ukuran kedua pupil tidak sampai 1mm. Pupil
bereaksi normal terhadap cahaya.5,6

2. Sindrom Horner
Sindrom Horner atau Oculosympathetic palsy adalah suatu kelainan yang
disebabkan adanya lesi yang mengenai jaras simpatis di sepanjang perjalanan ke mata
ditandai dengan trias okular yang terdiri dari: (1) penyempitan fisura palpebralis
(ptosis), (2) miosis, (3) enoftalmus. Anhidrosis dan vasodilatasi di separuh sisi wajah
ipsilateral juga dapat terjadi jika persarafan simpatis wajah juga terkena. Hilangnya
innervasi simpatik monokuler pada mata menyebabkan hilangnya fungsi pada semua
struktur okular yang dikendalikan secara simpatik. Pupil lebih kecil, tapi reaksi cahaya
tetap normal.5,11

Gambar 9. A. Mata kanan ptosis dan miosis pada cahaya terang, B. Anisokoria bertambah
jelas saat cahaya redup
Etiologi
Sindroma Horner bisa bersifat kongenital, didapat, atau murni herediter
(dominan autosomal). Gangguan serabut simpatis bisa terjadi di sentral (yaitu, antara

11
hipotalamus dan titik ujung serabut keluar dari sumsum tulang belakang [C8 ke T2])
atau perifer (yaitu pada rantai simpatis servikal, pada ganglion servikal superior, atau
sepanjang arteri karotid). Penyebab sindrom Horner adalah lesi pada neuron primer,
brainstem stroke atau tumor atau syrinx neuron preganglionik, trauma pada pleksus
brakialis, tumor (misalnya, Pancoast) atau infeksi pada puncak paru-paru, lesi neuron
postganglionik, iskemia arteri karotis, migrain, dan neoplasma fosa kranium tengah.5
Patofisiologi
Sindrom Horner dapat berkembang dari lesi pada setiap titik di sepanjang jalur
simpatik. Kelainan yang ditemukan pada semua pasien, terlepas dari tingkat
gangguan, adalah sebagai berikut; penyempitan fisura palpebralis akibat hilangnya
fungsi m.tarsalis superior (ptosis), miosis akibat hilangnya fungsi m.dilator pupilae,
sehingga menyebabkan efek konstriksi m.sfingter pupilar menjadi lebih dominan,
enoftalmus karena hilangnya fungsi m.orbitalis. Anhidrosis dan vasodilatasi di
separuh sisi wajah ipsilateral terjadi jika persarafan simpatis wajah juga terkena, baik
di pusat siliospinalis atau di serabut eferen yang keluar dari pusat ini.5,11
Pemeriksaan
Agen farmakologis topikal seperti kokain atau phenylephrine dapat digunakan
untuk mengkonfirmasi diagnosis Horner Syndrome. Kokain menghambat reuptake
norepinephrine di persimpangan neuromuskular otot dilator iris, menyebabkan pupil
pada mata normal membesar, sementara dilatasi yang abnormal terlihat pada Horner
Syndrome. Kokain topikal 2-10% menyebabkan midriasis pada pupil normal,
berperan dalam menghambat serapan noradrenalin (NA) pada ujung saraf simpatis
postganglionik. Noradrenalin terakumulasi pada celah sinap dan merangsang otot
dilator pupil. Jika inervasi simpatis terganggu dimana saja sepanjang jalurnya, maka
tidak ada noradrenalin yang disekresi dan kokain karena itu tidak akan menyebabkan
midriasis, mengkonfirmasikan diagnosis sindrom Horner. Ketika Sindrom Horner
disebabkan oleh kompresi jalur oculosympathetic, seperti yang terjadi pada tumor dan
aneurisma, penyebab kompresi harus diobati.15,16,17

12
Gambar 10. Uji Kokain dan Hydroxyamphetamine
Tatalaksana
Secara umum, penatalaksanaan yang tepat terhadap sindrom Horner tergantung
pada penyebab yang mendasari. Tujuan pengobatan adalah untuk melawan proses
penyakit yang mendasari. Pada banyak kasus, tatalaksana yang efektif tidak diketahui.
Rujukan untuk spesialis yang tepat sangat penting. Intervensi pembedahan
diindikasikan dan dilakukan terkait aneurisma, dan juga bedah vaskular untuk
penyebab seperti diseksi arteri karotis atau aneurisma. Untuk pengelolaan yang
optimal dari penyebab yang mendasari, konsultasi spesialis berikut mungkin
diperlukan:
- Pulmonologi
- Penyakit dalam
- Neurologi atau neuro-ophthalmology
- Intervensi radiologi (pada kasus suspek diseksi arteri karotis)
- Pembedahan atau onkologi
- Neurosurgery (pada kasus suspek aneurisma).3,8

3. Tonic Pupil Syndrome


Sindrom pupil tonik adalah hilangnya innervasi parasimpatis monokuler pada
mata. Kerusakan terletak pada ganglion siliaris atau pada cabang nervus siliaris
posterior. Paling sering terjadi pada wanita usia antara 30-40 tahun. Namun, bisa juga
terjadi pada semua usia.5

13
Gambar 10. Tonik pupil sindrome
Etiologi
Terdapat beberapa penyebab yang mungkin terjadi seperti pasca trauma orbital,
fotokoagulasi panretinal ekstensif, wabah varicella zoster, iskemia orbital dengan
giant cell arteritis aktif, dan jarang dikaitkan dengan keganasan dan suspek sindrom
paraneoplastic. Secara umum, pupil tonik tidak berbahaya. Pada kebanyakan kasus
bersifat idiopatik. Hal ini sering dikaitkan dengan hilangnya refleks tendon profunda
(sindrom Adie-Holmes), atau lebih jarang terjadi pada gangguan sudomotor (sindrom
Ross) atau dengan penyakit vaskular. Tidak ada satu pun dari jenis pupil tonik
idiopatik ini yang sangat parah sehingga menyebabkan hilangnya fungsi visual pasien
secara signifikan.5
Patofisiologi
Pada sebagian besar pasien dengan Adie’s syndrom, pupil yang terganggu
dilatasi sepanjang waktu dan tidak terlalu banyak kontriksi atau tidak sama sekali
dalam merespon cahaya langsung. Pupil akan kontriksi perlahan saat berakomodasi
pada benda-benda yang dekat. Pupil yang awalnya lebih besar dari pupil yang tidak
terganggu akan menjadi lebih kecil. Bila tidak lagi memusatkan perhatian pada objek
yang dekat, maka pupil tersebut mungkin tetap lebih kecil dari normal atau berdilatasi
kembali pada tingkat yang tidak normal, kadang-kadang memakan waktu selama
beberapa menit untuk kembali ke ukuran aslinya. Beberapa individu mungkin tidak
memiliki gejala yang berhubungan dengan pupil yang terganggu. Terkadang
penglihatan kabur atau silau terhadap cahaya terang (photophobia) bisa terjadi.12
Manifestasi Klinis
Sakit kepala, nyeri pada wajah, atau fluktuasi emosi dapat terjadi pada beberapa
pasien. Kelainan ini biasanya tidak menyebabkan cacat berat. Sindroma adie biasanya

14
mempengaruhi pupil satu mata, meski pada akhirnya mata lainnya juga akan
terpengaruh.12
Tatalaksana
Diagnosis dapat dicapai dengan menggunakan pilocarpin encer dalam bentuk
obat tetes mata, untuk menguji reaksi pupil terhadap cahaya. Pupil pada Adie
Sindrome, yang tidak menyempit dalam menanggapi cahaya, akan menyempit dalam
menanggapi pilokarpin encer. Karena hipersensitivitas denervasi sfingter iris, pupil
tonik akan menyempit dengan konsentrasi lemah 0,1,25% pilokarpin, sedangkan
konsentrasi ini tidak efektif pada pupil normal.
Secara umum, pengobatan tidak diperlukan. Kacamata mungkin dapat
digunakan untuk mengoreksi penglihatan kabur; Kacamata hitam dapat membantu
pada individu dengan fotofopbia. Terapi dengan menggunakan pilocarpine dapat
memperbaiki persepsi kedalaman yang buruk dan mengurangi silau pada beberapa
pasien. Hilangnya refleks tendon dalam adalah permanen. Konseling genetik dapat
bermanfaat bagi orang tua dan anggota keluarga. Pengobatan lainnya bersifat
simtomatik dan suportif.12

4. Lesi pada Dorsal Midbrain: Parinaud's Syndrome


Kerusakan pada daerah pretectal otak tengah dorsal yang menghasilkan defisit
reaksi cahaya pupil, miosis akomodatif yang ditahan, dan hilangnya koneksi ke inti
Edinger-Westphal dan jalur akhir yang terakhir dari fungsi saraf ketiga. Presentasi
klinis dari sindrom ini meliputi hilangnya gerakan saccadic ke atas, dan penarikan
konvergensi nistagmus. Seluruh tanda disebut sindrom Parinaud.5
Manifestasi klinis
- Kelumpuhan upgaze: tidak bisa melihat ke atas.
- Pupil Pseudo-Argyll Robertson: Paresis akomodatif, dan pupil menjadi melebar
dan disosiasi cahaya dekat.
- Konvergensi-Retraksi nystagmus: upaya melihat ke atas sering menghasilkan
fenomena mata menarik dan bola menggelinding.
- Retraksi kelopak mata (tanda Collier)
- Konjugasi pandangan ke bawah pada posisi primer: "tanda matahari terbenam".5
Tatalaksana
Pengobatan tergantung pada etiologi sindrom midbrain dorsal.13

15
5. Argyll Robertson Pupil (ARP)
Pupil Argyll Robertson (ARP), mengacu pada pupil kecil bilateral yang
kontriksi saat seseorang mencoba memusatkan perhatian pada benda yang dekat tapi
tidak konstriksi saat mata terpapar dengan cahaya terang. Pupil bereaksi terhadap
akomodasi namun tidak menunjukkan respon terhadap cahaya.14
Etiologi
Sifilis adalah penyebab paling umum. Bisa juga disebabkan oleh alkoholisme
dan diabetes.14
Manifestasi klinis
Tidak adanya refleks cahaya, pupil kecil dan tidak beraturan, refleks akomodasi
yang cepat, kemungkinan ukuran pupil tidak sama, dan dilatasi perlahan pupil dengan
obat-obatan.14
Tatalaksana
Sifilis adalah penyebab utama ARP dan karenanya harus segera diobati.
Penisilin intravena adalah metode terbaik untuk menyembuhkan hampir semua tahap
sifilis. Tetracsycline atau doksisiklin selama 2-4 minggu dapat digunakan sebagai obat
alternatif.14

6. Neuritis Optik
Manifestasi neuritis optik pertama adalah adanya rasa sakit pada gerakan mata,
diikuti oleh penurunan penglihatan. Hanya 0,4% pasien yang mengalami gejala pada
kedua mata secara simultan. Pasien mengeluhkan melihat sesuatu secara gelap, tidak
jelas, dan kontras yang buruk; Warna terlihat kotor dan pucat. Setelah onset subakut,
ketajaman penglihatan pasien terus memburuk; Dalam perjalanan penyakit yang tidak
diobati, umumnya satu sampai dua minggu dan kemudian membaik lagi.18
Pemeriksaan
Pada neuritis optik unilateral, reaksi cahaya pupil langsung dan reaksi
konsensual yang menyertainya dari pupil yang berlawanan lebih lemah pada
penerangan mata yang terkena daripada pada penerangan mata yang tidak
terpengaruh. Temuan ini, yang dikenal sebagai defek pupil aferen relatif (RAPD),
paling baik dilihat dengan bantuan uji senter ayun.18
Terapi jangka pendek
The Optic Neuritis Treatment Trial (ONTT) telah meneliti secara komprehensif
tentang penatalaksanaan neuritis optikus dengan menggunakan steroid. Dalam
16
penelitiannya ONTT melibatkan sebanyak 457 pasien, usia 18-46 tahun dengan
neuritis optikus akut unilateral. Data follow up didapatkan dari kohort ONTT
(Longitudinal Optic Neuritis Study (LONS)) menghasilkan informasi penting tentang
gejala klinis, penglihatan jangka panjang, penglihatan yang berkaitan dengan kualitas
hidup dan peranan MRI otak dalam memutuskan resiko berkembang menjadi
Clinically Definite Multiple Sclerosis (CDMS).
Pasien yang terlibat pada penelitian ini diacak menjadi 3 kelompok perlakuan
terapi, yaitu:
- Mendapatkan terapi prednison oral (1 mg/ kgBB/ hari) selama 14 hari dengan 4
hari tappering off (20 mg hari l, 10 mg hari ke 2 dan 4) (kelompok terapi oral).
- Mendapatkan terapi dengan metilprednisolon sodium suksinat IV 250 mg tiap 6
jam selama 3 hari, diikuti dengan prednison oral (1 mg/kg BB/ hari) selama 11
hari dengan 4 hari tappering off (kelompok terapi dengan metilprednisolon IV).
- Mendapatkan terapi dengan placebo selama 14 hari.
Dalam penelitian ini yang dinilai terutama tajam penglihatan dan sensitifitas
terhadap kontras sedangkan berkembangnya menjadi CDMS adalah hal kedua yang
dinilai. MRI otak dan orbita dengan menggunakan gadolinium telah dilakukan untuk
semua pasien. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah:
- Terapi dengan menggunakan metilprednisolon IV mempercepat pulihnya
penglihatan tetapi tidak untuk jangka panjang setelah 6 bulan sampai dengan 5
tahun bila dibandingkan dengan terapi menggunakan placebo atau prednison oral.
Keuntungan terapi dengan menggunakan metilprednisolon IV ini baik dalam 15
hari pertama saja.
- Pasien yang mendapatkan terapi dengan menggunakan prednison oral saja
didapatkan terjadi resiko rekurensi neuritis optiknya (30% setelah 2 tahun
dibandingkan dengan kelompok placebo 16% dan kelompok yang mendapatkan
steroid IV 13%) sampai dengan follow up 5 tahun.
- Pasien dengan monosymptomatik yang mendapatkan terapi dengan
menggunakan metilprednisolon intra vena didapatkan penurunan tingkat
perkembangan ke arah CDMS selama 2 tahun pertama follow up, tetapi tidak
bermanfaat setelah 2 tahun karena persentase perkembangan menjadi CDMS
hampir sama dengan kelompok prednison oral dan placebo.18

17
Terapi jangka panjang
Di antara pasien dengan resiko tinggi berkembang menjadi CDMS yang
ditetapkan dengan kriteria MRI oleh ONTT (dua atau lebih lesi white matter), telah
dilakukan penelitian 383 pasien oleh (The Controlled High-Risk Avonex MS
Prevention Study (CHAMPS)) menunjukkan terapi dengan interferon β 1a pada pasien
acute monosymptomatic demyelinating optic neuritis berkurang secara signifikan
dalam 3 tahun dibandingkan dengan kelompok placebo, juga terdapat pengurangan
tingkat lesi baru pada MRI otak. Hasil yang sama juga didapatkan pada pasien dengan
neuritis optikus. Semua pasien kelompok terapi dengan interferon β-1a dan kelompok
placebo juga mendapatkan terapi dengan metilprednisolon IV selama 3 hari diikuti
dengan prednison oral selama 11 hari sesuai dengan protokol ONTT. Meskipun terapi
dengan interferon β-1a pada pasien neuritis optikus dan pada pasien yang beresiko
menurut pemeriksaan MRI manfaat jangka panjangnya tidak diketahui, tetapi hasil
dari CHAMPS memberikan suatu terapi awal yang rasional. Ini didukung oleh hasil
penelitian dari Early Treatment of Multiple Sclerosis Study, (ETOMS)) yang
menghasilkan selama 2 tahun follow up terjadi penurunan yang signifikan jumlah
pasien yang berkembang menjadi CDMS dengan terapi awal interferon 13-1a (34%)
bila dibandingkan dengan kelompok placebo (45%).
Pada model eksperimen sklerosis multipel, dengan menggunakan terapi
immunoglobulin intravena telah menunjukan terjadinya remielinisasi pada sistem
syaraf sentral. Penelitian lain (1992) menyarankan bahwa terapi dengan
immunoglobulin bermanfaat pada pasien neuritis optikus dengan penurunan
penglihatan yang bermakna. Akan tetapi dalam penelitian terbaru tentang
immunoglobulin intravena dengan placebo pada 55 pasien sklerosis multipel dengan
kehilangan penglihatan tetap (20/40 atau lebih rendah) yang disertai neuritis optikus
tidak menunjukkan pemulihan yang signifikan terhadap tajam penglihatan.
Jika pada pemeriksaan dengan MRI ditemukan lesi white matter dua atau lebih
(diameter 3 atau lebih) diterapi berdasarkan rekomendasi dari ONTT, CHAMPS, dan
ETOMS, yaitu:
- Metilprednisolon IV (1 g per hari, dosis tunggal atau dosis terbagi selama 3 hari)
diikuti dengan prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari selama 11 hari kemudian 4 hari
tappering off).
- Interferon β-1a intramuskular satu kali seminggu.

18
Pada pasien monosymptomatik dengan lesi white matter pada MRI kurang dari
2, dan yang telah didiagnosis CDMS, diberikan terapi metilprednisolon (diikuti
prednison oral) dapat dipertimbangkan untuk memulihkan penglihatan, tetapi ini tidak
memperbaiki untuk jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian dari ONTT,
penggunaan prednison oral saja (sebelumnya tidak diterapi dengan metilprednisolon
IV) dapat meningkatkan resiko rekurensi.18

7. Traumatic Optik Neuropati


Neuropati optik traumatis (TON) mengacu pada kerusakan terhadap saraf optik
yang sekunder akibat trauma. Hal ini dapat diklasifikasikan tergantung pada lokasi
cedera (kepala saraf optik, intraorbital, intracanalicular, atau intrakranial) atau sesuai
dengan tipe cedera (langsung atau tidak langsung). Dalam TON langsung, ada
gangguan anatomis yang signifikan terhadap saraf optic. TON tidak langsung
disebabkan oleh transmisi kekuatan ke saraf optik dari tempat yang jauh, tanpa
kerusakan yang mencolok pada struktur jaringan di sekitarnya.19
Riwayat penderita TON yang tidak diterapi sedikit sekali publikasinya.
Pemilihan penatalaksanaan utama untuk TON dewasa ini adalah:
 Terapi steroid dengan pemberian, cara, lama dan dosis beragam
 Bedah dekompresi kanalis optikus
 Kombinasi steroid dan bedah
 Observasi (manajemen konservatif)19
Steroid
Alasan farmakologis untuk menggunakan steroid pada TON pertama kali
muncul dari manfaat yang dirasakan ketika diterapkan pada berbagai model hewan
dengan cedera sistem saraf pusat. Efek neuroprotektif yang diamati dianggap berasal
dari sifat antioksidan steroid dan penghambatan radikal bebas- Induced lipid
peroxidation. Hipotesis ini diperkuat lagi setelah pengenalan steroid terhadap
pengobatan cedera tulang belakang traumatis. Steroid telah digunakan dan
dikombinasikan dengan dekompresi saraf bedah optik baik pra-, intra, atau pasca
operasi. Berdasarkan dosis awal metilprednisolon yang digunakan, rejimen steroid
dapat diklasifikasikan sebagai: dosis rendah (<100 mg), dosis sedang (100-499 mg),
dosis tinggi (500-1999 mg), dosis sangat tinggi (2000-5399 mg), atau megadosisa (>

19
5400 mg). Protokol steroid yang paling umum digunakan di TON adalah
methylprednisolone intravena dalam dosis sangat tinggi sampai megadosis.19
Penyembuhan visus spontan dapat terjadi pada 40-60% kasus TON indirek
dengan observasi. Namun perbaikan visus lebih terlihat bermakna pada penderita
TON yang diterapi dibandingkan yang tidak diterapi. Tidak ada perbedaan perbaikan
visus yang bermakna pada penderita TON yang hanya diterapi steroid saja, bedah
dekompresi saja atau kombinasi keduanya.
Protokol penatalaksanaan TON
- Lakukan Kantotomi atau kantolisis bila orbit keras. Lakukan drainase bila ada
hematom subperiosteal.
- Mulai terapi kortikosteroid intravena (metilprednisolon 30 mg/kg IV bolus
kemudian diteruskan dengan 5,4 mg/kg/jsm IV selam 48 jam atau 15 mg/kg setiap
6 jam meskipun visus sudah NLP
- Lakukan dekompresi saraf optikus bila ada fragmen tulang menekan saraf dari
hasil CT-Scan
- Bila perbaikan visus dalam 48 jam, lakukan tapering steroid
- Bila tak ada perbaikan visus setelah 48 jam atau mengalami perburukan lakukan
bedah dekompresi.
Pengobatan TON dengan steroid dapat juga dilakukan berdasarkan ONTT (The
Optic Neuritis Treatment Trial) dengan menggunakan metilprednisalon 250 mg
intravena setiap 6 jam selama 3 hari lalu diikuti dengan prednisolon oral 1 mg/kgbb
selama 11 hari.
Bedah dekompresi bertujuan untuk membantu mengurangi tekanan saraf
optikus yang terjadi akibat trauma indirek. Pendekatan bedah yang dilakukan
beragam meliputi intrakranial, ekstrakranial, orbital, transetmoid, endonasal dan
5
sublabial. Pendekatan ini biasanya berdasarkan pengalaman dan kemampuan
pembedah. Calon kandidat intervensi bedah terbaik biasanya penderita TON dengan
hilangnya visus dan tampak fragmen tulang pada segmen saraf optik
intrakanalikular.19

8. Neuropati Optik Toksik Karena Alkohol


Neuropati optik toksik adalah penyakit multi faktor yang kompleks yang
berpotensi mempengaruhi individu dari semua umur dan ras di seluruh dunia. Secara
etiologis, ini mencakup faktor nutrisi seperti defisiensi vitamin B kompleks dan faktor
20
toksik, terutama terkait dengan penyalahgunaan alkohol dan penggunaan tembakau.
Kondisi ini menyebabkan metabolisme, efek neurologis, dan bahkan kematian yang
tidak sehat. Metanol adalah pelarut organik, penyusun umum di banyak pelarut
industri yang tersedia secara komersial. Menjadi murah dan mudah didapat sering
digunakan dalam minuman beralkohol yang telah dipalsukan. Pasien datang dengan
hilangnya ketajaman penglihatan progresif secara bilateral. Deteksi dini dan
manajemen yang cepat dapat mengurangi gangguan penglihatan.20
Terapi neuropati optik toksik tergantung pada agen toksik yang menyebabkan
neuropati optik toksik tersebut. Langkah pertama dalam terapi neuropati optik toksik
karena alkohol adalah menghentikan penggunaan alkohol. Selain itu, terapi dapat
dilakukan dengan hemodialisis dan metilprednisolon 1000 mg/hari selama 3
hari berturut-turut dan dilanjutkan dengan prednison 1 mg/kgbb/hari selama
11 hari dan selanjutnya dosis diturunkan sesuai kondisi klinis. Tujuan
hemodialisis adalah menghilangkan kadar metanol dari tubuh penderita dan
untuk mengeliminasi asam format. Hemodialisis dilakukan bila kadar metanol
dalam darah lebih dari 50mg/dL atau bila pH darah kurang dari 7,35.
Pemberian metilprednisolon dan prednison bertujuan untuk mengurangi
edema papil saraf optik yang terjadi pada fase akut sehingga diharapkan
mencegah terjadinya kebutaan. Terapi medis termasuk suplemen multivitamin
yang dibutuhkan pada neuropati toksik khususnya dengan ambliopia akibat alkohol-
tembakau.20
Penderita dengan neuropati optik toksik harus diobservasi setiap 4-6 minggu,
dan selanjutnya tergantung pada proses penyembuhannya, umumnya setiap 6-12
bulan. Tajam penglihatan, pupil, nervus optik, penglihatan warna, dan lapangan
pandang harus dinilai pada setiap kunjungan. Penglihatan akan membaik secara
bertahap lebih dari beberapa minggu, pemulihan penuh membutuhkan waktu beberapa
bulan dan selalu ada risiko defisit penglihatan yang permanen. Tajam penglihatan
biasanya membaik mendahului penglihatan warna, berkebalikan dengan onset proses
penyakit, dimana penglihatan warna biasanya lebih dahulu memburuk dibanding
tajam penglihatan.

21
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
 Pupil merupakan lubang pada iris dan fisiologinya merupakan indikator (petunjuk)
mengenai status fungsional jaringan sekitarnya dan keadaan retina serta keadaan
struktur intrakranial.
 Lintasan pupil terdiri dari bagian aferen dan bagian eferen. Bermula dari sel-sel di
retina dan berakhir di daerah pretektum, sedangkan bagian eferen dibagi menjadi
lintasan parasimpatis dan lintasan simpatis. Pusat pengaturan supranuklear adalah
dari lobus frontalis (kewaspadaan) dan lobus oksipitalis (akomodasi).
 Patologi pupil sangat luas dan meliputi keadaan patologi mata, di intrakranial, dan
daerah dada dan leher. Pada adanya kelainan pupil demikian perlu dicari adanya
kelainan lain pada mata serta ada tidaknya tanda dan gejala neurologis yang
menyertai.
 Beberapa kelainan pupil yaitu isokoria, midriasis, miosis, anisokoris, hipus, oklusi
pupil, seklusi pupil, dan leukokoria.
 Beberapa penyakita akibat kelainan pupil yaitu Anisokor, Sindrom Horner, Tonic
Pupil Syndrome, Lesi pada Dorsal Midbrain: Parinaud's Syndrome, Argyll
Robertson Pupil (ARP), Neuritis Optik, Traumatic Optik Neuropati, dan Neuropati
Optik Toksik Karena Alkohol

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Mescher, Anthony L. 2012. Histologi Dasar Junqueira: Teks & Atlas Edisi 12. Jakarta:
EGC.

2. American Academy of Opthalmology, neuro ophthalmology, basic and clinical science


course, 2007, 5 : 130-131

3. American Academy of Opthalmology, neuro ophthalmology, basic and clinical science


course, 2007, 5 : 130-131

4. Stephen B. 2015. Pupil and Neuro Ophthalmologi. Faculty of Medical And Health Sciences
The University of Auckland.

5. Wilhelm H, B. Wilhelm. 2011. Disorders of the Pupil. Handbook Clinical Neurology.

6. McDougal DH, Gamlin PD. 2015. Autonomic Control of the Eye. Comparison Physiology.

7. Departemen Kesehatan RI. 2014. Situasi dan Analisis Glaukoma. Jakarta: Pusat data dan
Informasi Kementrian kesehatan RI.

8. Bournias, Thomas E. 2004. Neuro-Ophtalmology. In: Blueprints Ophtalmology. Blackwell


Publishing. Chapter: 6.

9. Riordan-Eva Paul. 2007. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed. 17. Jakarta. EGC.

10. Willhelm, Helmut. 2011. Handbook of Clinically Naurology. Elsevie Vol.103

11. Bardorf CM., 2016. Horner Syndrome. From: http://emedicine.medscape.com/ (diakses


pada 10 Agustus 2017)

12. National Organitation for Rare Disorders. 2017. Adie Syndrome. From:
https://rarediseases.org/rare-diseases/adie-syndrome/ diakses 10 Agustus 2017

13. Rahul B., RV. Keech, Richard JO. 2005. Dorsal Midbrain Syndrome (Parinaud’s
Syndrome) with Bilateral Superior Oblique Palsy. The University of Lowa Carver College
of Medicine.

14. Anirudh. 2017. Argyll Robertson Pupil. From: https://www.patienthelp.org/diseases-


conditions/argyll-robertson-pupil.html. Diakses 10 Agustus 2017.

15. Agrwal M., P. Mehta, A. Rohatgi. 2012. Idiopatic Horner’s Syndrome: An Enigma. Indian
Journal of Clinical Practice, Vol. 23; 1.

16. Sayan M., A. Celik. 2014. The Development of Horner Syndrome following a Stabbing.
Hindawi Publishing Corporation. Vol 2014;2.

23
17. Smitt, Derrick P. Pharmacological testing in Horner’s syndrome – a new paradigm. Journal
of Stellenbosch. November 2010; Vol. 100 No.11 Hal. 738-740

18. Wilhem H., M. Schabet. 2015. The Diagnosis and Treatment of Optic Neuritis. Deutsches
Arzteblatt Journal. 112(37); 616-626.

19. Patrick YWM. 2015. Traumatic Optic Neuropathy-Clinical Features and Management
Issues. Taiwan Journal of Ophtalmology. 2015; 3-8.

20. Suhrio SA., S. Memon, M. Memon, NB Nizamani, KI Talpur. 2013. Alcohol Rekated
Toxic Optic Neuropathy Case Series. Pakistan Journal Ophthalmology. Vol 29: 3.

24

Anda mungkin juga menyukai