Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUHAN
1.1 Latar Belakang
Kelainan refraksi merupakan salah satu penyebab terbanyak gangguan penglihatan di seluruh
dunia dan menjadi penyebab kedua kebutaan yang dapat diatasi (Dandona, 2001). Survei kesehatan
indera penglihatan dan pendengaran tahun 1993-1996, menunjukan angka kebutaan di indonesia 1,5
%. Kelainan refraksi sebanyak 0,14 % dari angka kebutaan tersebut (PERDAMI, 2006). Prevalensi
miopia disumatera mencapai 26,1%, untuk miopia derajat berat 0,8%. Prevalensi miopia paling tinggi
dijumpai pada usia 21-29 tahun ( Saw dkk, 2002).
Miopia merupakan salah satu kelainan refraksi yang sering dijumpai, disebabkan oleh
ketidakseimbangan kekuatan elemen optik mata dengan panjang sumbu bola mata, sehingga
diperlukan lensa koreksi atau terapi refraktif lainnya untuk membentuk bayangan yang jelas diretina.
Miopia dibedakan menjadi miopia fisiologis (simple,scool myopia) yang terjadi karena pertumbuhan
normal komponen mata dan miopia patologis (progresive, malignant, degenerative myopia) yang
disebabkan pertumbuhan berlebihan sumbu bola mata walaupun komponen lainnya tumbuh normal
(American of Ophthalmology, 2004-2005).
Penyebab miopia belum diketahui pasti, namun diduga berhubungan dengan faktor genetik
dan lingklungan. Beberapa faktor resiko yang berperan dalam terjadinya miopia diantaranya adalah
aktifitas melihat dekat (nearwork activities) seperti membaca, menulis, atau pekerjaan lain yang
memerlukan penglihatan dekat. Tingkat pendidikan dan sosio ekonomi berpengaruh pada insiden
miopia dimana aktivitas melihat dekat sering mereka kerjakan (Saw dkk, 2002).
Pupil merupakan faktor yang penting dlam optik dari istem penglihatan. Ketika terjadinya
perubahan ukuran diameter pupil, tujuannya bukan hanya mengontrol jumlah cahaya saja, tapi yang
paling penting sebagai sistem optik. Ukuran diameter dan lokasi dari pupil sangat penting dalam
pembedahan refraksi (Yang dkk, 2002).
Dalam evaluasi ukuran pupil untuk pembeedahan refraksi, dijumpai rata-rata ukuran diameter
pupil untuk pembedahan refraksi, dijumpai rata-rata ukuran diameter pupil pada mata miopia lebih
besar dari pada mata hiperopia, perbedaan ini secara signifiikan terjadi pada keadaaan adaptasi gelap
(mesopic) ( Camellin dkk, 2005).
Ukuran pupil normal bergantung dari intensitas iluminasi retina, dekatnya rangsangan, dan
keadaan emosional dari seseorang. Diameter pupil bervariasi antara 8 mm pada keadaan adaptasi
gelap (mesopic) hingga 2 mm pada keadaan adaptasi terang (scotopic) (Pop, 2002). Pupil normal yang
lebih miosis dijumpai pada orang tua, tetapi pengaruh pada pupil tersebut belum tentu diteliti. Dengan
bertambahnya diameter ukuran pupil, maka aberasi kromatis dan sferis juga bertambah. Berkurangnya
diameter ukuran pupil, difraksi cahaya pada pupil menjadi faktor signifikan dalam mengurangi
kualitas image (Elyse, 2006)

Miopia menimbulkan masalah yang cukup banyak, bukan hanya karena prevalensinya, tetapi
miopia dapat menyebabkan ancaman tajam penglihatan akibat komplikasi seperti ablasi retina,
glaukoma dan lainnya (Weiss, 2003).
1.2.Rumusan masalah
Dari uraian di atas didapati masalah apakah benar bertambahnya ukuran diameter pupil
terhadap miopia derajat sedang dan berat dibandingkan ukuran diameter pupil emetropia.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum :
peneliti mencoba mencari besarnya hubungan ukuran diameter pupil terhadap miopia derajat
sedang dan berat.
1.3.2 Tujuan khusus :
1. untuk melihat secara rinci berapa besarnya hubungan ukuran diameter pupil terhadap miopia
derajat sedang dan berat.
2. untuk melihat perbedaan proporsi penderita miopia derajat sedang dan berat dan hubungan
diameter pupil
1.4 Manfaat penelitian
1. Dengan penelitian ini dapat memperlihatkan indikator perubahan ukuran diameter pupil terhadap
miopia derajat sedang dan berat.
2. Peneliti dapat menerapkan pengetahuan tentang community reseach program, sehingga dapat
menambah kemampuan peneliti untuk melakukan penelitian.
3. Menjadi sumber pustaka bagi peneliti lain yang ingin meneliti hal yang sama.
1.5 Hipotesis
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah
Ho : Tidak adanya dugaan ukuran diameter pupil pada derajat miopia sedang dan berat lebih besar
pupil emmetropia.
Ha : Adanya dugaan ukuran diameter pupil pada derajat miopia sedang dan berat lebih besar pupil
emmetropia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI PUPIL
Ukuran pupil normal berbeda-beda pada berbagai umur dan pada satu orang ke orang lain.
Diameter pupil normal kira-kira 3 4 mm, dan pada anak-anak cnederung makin besar dengan
bertambahnya umur, pupil makin menciut. Banyak orang normal yang ukuran pupil kanan dan kirinya
berbeda sedekit (anisokor fisiologis) (Vaughan, 2000). Kadang-kadang terdapat perbedaan ukuran
pupil kanan dan kiri yang nyata, walaupun pada mata normal. Fungsi pupil adalah untuk mengontrol
jumlah cahaya yang masuk ke dalam mata untuk mendapatkan fungsi visual terbaik pada berbagai
derajat intensitas cahaya (Kline, 2001).
2.1.1. NEUROANATOMI JALUR PUPIL
Pemeriksaan mengenai reaksi pupil adalah penting untuk menentukan lokasi kerusakan yang
mengenaijalur lintas optik. Pengetahuan mengenai neuroanatomi jalannya reaksi pupil terhadap
cahaya dan miosis yanga berkaitan dengan akomodasi adalah sangat penting ( Steidl, 2006).
A. Refleks cahaya : jalur yang dilalui chaya seluruhnya adalah subkortikal. Serabut-serabut
pupil aferen yang didalamnya termasuk saraf optik dan jalur lintas optik hanya sampai ditempat
meninggalkan traktus optik tepat sebelum sinapsis serabut-serabut visual didalam badan genikulatum
lateral. Kemudian berjalan kedaerah pretektal di mesenfalon dan bersinaps. Impuls-impuls kemudian
disampaikan oleh serabut-serabut yang menyilang melalui komisura posterior ke nukleus EdingerWestphal di sisi satunya. Sebagian serabut-serabut berjalan langsung disebelah ventral nukleus
Edinger-Westphal ipsilateral. Jalur lintas eferen melalui saraf III ke ganglion sisliar di dalam kerucut
otot ektra okular retrobulbar serabut-serabut pascaganglion berjalan melalui saraf siliar brevis untuk
mempersarafi otot sfingter iris ( Vaughan, 2000).
B. Refleks Melihat dekat : Pada waktu mata melihat ke obyek dekat, akan terjadi tiga reaksi
: akomodasi, konvergensi dan penciutan pupil, dan memberikan bayangan terfokus tajam pda titiktitik di retinayang bersangkutan. Ada petunjuk yang menyakitkan bahwa jalur lintas terakhir yang
biasa berjalan melalui saraf okulomotor dengan sinapsis pada ganglion siliar. Jalur lintas eferen ini
belum jelas kerjanya tapi kenyataannya ia masuk kedalam mesensefalon di sebelah ventral nukleus
Edinger-Westhpal dan mengirimkan serabut-serabutnya ke kedua sisi korteks (kline,2001).
Ukuran pupil dikontrol oleh iris, yang terdiri dari 2 kelompok otot polos yaitu
1. Otot konstriksi pupil : Berfungsi untuk konstriksi dan dipersarafi oleh sistem saraf paraimpatis
(N.III).
2. Otot dilatator pupil : Berfungsi untuk dilatasi dan dipersarafi oleh sistem saraf simpatis (Slamovits,
2004).

Pupil mempunyai 3 fungsi utama, yaitu :

Mengatur jumlah sinar yang masuk ke retina.


Mengurangi jumlah abersi sferik serta kromatis yang ditimbulkan oleh gangguan atau

kelainan sistem optik pada kornea dan lensa.


Menambah ketajaman fokus pada retina (Slamovits, 2004).

2.1.2 JARAS KONSTRIKSI PUPIL DAN REFLEX CAHAYA (PARASIMPATIS)


Stimulus berupa cahaya akan diteruskan oleh serabut aferen (n.II) ke nukleus pretektal.
Setelah bersinap di nukleus ini maka impuls akan diteruskan ke :

Nukleus Edinger Westphal sisi yang sama.


Nukleus pretektal kontralateral, dari nukleus ini impuls akan diteruskan ke nukleus Edinger
Westphal kontralateral dari sumber cahaya.

Dari masing-masing nukleus Edinger Westphal ini, impuls akan diteruskan ke ganglion siliaris. Dari
ganglion ini, impuls akan diteruskan ke otot konstriktor pupil melauli serabut eferen parasimpatis
(Vaughan, 2000).
2.1.3. JARAS DILATASI PUPIL (SIMPATIS)

Saraf simpatis untuk otot-otot dilator pupil berasl dari hipotalamus bagian posterolateral yang
berjalan ke arah inferior melalui segmen otak dan pons tanpa menyilang dan berakhir pada
kornu intermedio lateral medula spinal setinggi C 8 hingga T 2. Bagian ini disebut sistem ke I

dari neuron preganglionik.


Sistem ke II dari serabut simpatis pre-ganglionik adalah serabut simpatis yang keluar dari
medula spinal bersama-sama dengan radiks T 1 dan masuk ke rantai simpatis para vetebra
yang sangat berdekatan dengan serabut simpatis yang menuju pleura dan apeks paru. Serabut
simpatis ini berbalik keatas melalui ganglion servikalis inferior dan medius selanjutnya

bberakhir di ganglio servikalis superior yang terletak di dasar tengkorak.


Sistem ke III dari serabut simpatis adalah serabut post-ganglionik okulsimpatik yang berjalan
masuk ke dalam tengkorak bersama-sama dengan arteri karotis interna, sedangkan serabutserabut simpatis untuk kelenjar keringat mengikuti arteri karotis eksterna dan cabang-

cabangnya.
Serabut okulo smpatis post-ganglion memberikan serabut sarafnya ke otot-otot dilator pupil,
otot Muller pada kelopak atas dan bawah, kelenjar lakrimal serta serabut trofik untuk pigmen
uvea(Kline, 2001).

2.2. PEMERIKSAAN KLINIS


2.2.1. ANAMNESIS
Biasanya pasien mengeluh silau jika melihat cahaya, walaupun cahaya tersebut tidak terlalu
terang (Vaughan, 2000).

2.2.2. PEMERIKSAAN
Prinsip pemeriksaan pupil :

Ruangan remang-remang
Tidak boleh terjadi reaksi akomodasi
Cahaya batere harus cukup kuat

Pada pemeriksaan pupil yang dinilai adalah :


Ukuran
Bentuk
Isokori
Reaksi terhadap cahaya langsung dan tidak langsung
Reaksi akomodasi dan konvergensi

Cara pemeriksaan :
Tentukan ukuran pupil kiri dan kanan. Dinyatakan dalam milimeter, normal : 2-5 mm
Lihat bentuk pupil kiri dan kanan. Bandingkan bentuk kiri dan kanan, apakah isokor atau

anisokor.
Dinilai reaksi pupil terhadap cahaya, dengan cara :
-Salah satu mata diberi sinar, kemudian dilihat reaksi pupil pada mata yang disinar dan mata
sisi kontralateral. Pemeriksaan ini menilai reflex cahaya langsung dan tidak langsung.
Interpretasi :
Normal : jika terjadi konstriksi pada mata yang diberi sinar dan mata kontralateral. Reflek
cahaya menurun jika respon konstriksi menurun.
Reflex cahaya (-) : jika tidak ada respon sama sekali.

Reflex akomodasi dan konvergensi :


- Pasien diminta melihat jauh, setelah itu diminta mengikuti jari pemeriksa yang digerakkan
kearah hidung penderita (American academy of Ophthalmology,2004-2005).

Interpretasi :
Normal : terjadi kontraksi m. Rektus medial dengan respon konstriksi pupil.
Reflex siliospinal : diberikan rangsangan berupa cubitan pada leher pasien dan dilihat
reaksi pupil yang terjadi.
Normal : pupil akan dilatasi (American academy of Ophthalmology,2004-2005).
2.3. KELAINAN-KELAINAN PUPIL YANG SERING DIJUMPAI

Tanda pupil Mercus Gunn : disebabkan lesi pada n.II parsial.

Cara pemeriksaan :
Mata pasien secara bergantian diberi sinar, pada sisi mata yang sakit pupil tidak mengecil
tapi menjadi besar. Kelainan ini menunjukan adanya lesi n.II pada sisi tersebut.
kegagalan satu atau kedua pupil konstriksi pada penyinaran yang cukup kuat, disebabkan

oleh karena lesi pada n III. Hal ini dapat terjadi pada penderita

koma,

setelah

cedera kranio-serebral, penigkatan tekanan intrakranial. Dilatasi pupil pada satu sisi
merupakan satu tanda-tanda herniasi transtentorial.
Pupil Argyl Robertson
Pupil tidak bereaksi terhadap stimulus cahaya tapi reaksi akomodasi baik (light near

dissociation). Sebagian besar kasus Argyl Roberstson bersifat bilateral dan bentuk pupil
biasanya irregular. Gambaran karakteristik sindroma Argyl Robertson adalah :
- Fungsi visual utuh
- Refleks cahaya menurun
- Miosis
- Bentuk pupil irregular
- Bilateral, asimetrik
- Atrofi iris
Penyebab paling sering adalah infeksi sifilis tapi dapat juga disebabkan oleh berbagai lesi
pada midbrain seperti : neoplasma, vaskuler, inflasmasi atau demielinisasi (Kline, 2001).

Pupil Adies / Sindroma Pupil Tonik


Sering terjadi pada wanita usia muda, unilateral pada 80 % kasus dan bersifat akut. Pada
mata yang terkena akatan terjadi :
- Dilatasi pupil
- tidak ada refleks cahaya langsung dan tidak langsung
- pada akomodasi, pupil akan konstriksi perlahan-lahan
- ketika akomodasi dihilangkan akan terjadi dilatasi pupil secara [erlahan-lahan
- pada pemberian pilokarpin 0,5-1 % akan terjadi konstriksi
- penyebab belum diketahui dengan pasti, diduga kelainan terjadi pada midbrain
atau ganglion siliaris.
Jika kelainan pada pupil ini desertai dengan berkurangnya atau hilangnya refleks fisiologis
pada tungkai disebut sindroma Holmes- Adie.

Sindroma Horner
Gejala klinis :
- Miosis
- Ptosis
- Gangguan sekresi keringat
- Enoftalmus
Penyebabnya adalah : lesi pada sistem simpatis (Kline, 2001).

2.4 AKOMODASI

Akomodasi adalah mekanisme dimana mata merubah kekuatan refraksinya dengan cara
merubah bentuk dari lensa sehingga obyek pada jarak yang dikehendaki dapat difokuskan di retina.
Dengan mata normal atau emmetropia, seseorang dapat melihat objek dari jarak yang berbeda dengan
jelas. Kekuatan refraksi dari kornea dan lensa di fokus pada obyek 6 meter atau 20 kaki dan tepat
jatuh di retina (Vaughan, 2000).
Akomodasi terjadi jika otot siliaris berkontraksi dan zonula fibers relaksasi sebagai respon
adanya rangsangan serabut saraf parasimpatis. Tegangan ke arah depan dari kapsul lensa berkurang
dan lensa menjadi lebih bulat. Lensa bergerak menjauhi sklera pada saat akomodasi dan bergerak
kearah sklera pada saat relaksasi (Kline, 2001).
2.5. VISUAL PATHWAY
Cahaya akan mencapai retina, setelah mengalami penetrasi pada lapisan saraf, sehingga
sampai pada rods dan cones. Absorbsi cahaya secukupnya disebabkan oleh perubahan kimia pada
pigmen penglihatan rods dan cones, yang berperan untuk membangkitkan potensi lokal dan eksitasi
serabut saraf (Slamovits, 2004).
Impuls saraf berjalan berlawanan arah, dari rods dan cones ke sel bipolar. Sel bipolar
bersinaps dengan sel ganglion yang aksonnya meninggalkan mata sebagai syaraf optik. Saraf optik
melewati dasar otak, dimana masuk dalam khiasma optikum. Disini serabut saraf retina bagian tengah
menyilang kebagian sebelah dan bergabung dengan serabut saraf dari bagian luar, yang tidak
menyilang. Masing-masing saraf optik meninggalkan khiasma optikum yang berisi serabut saraf
bagian tengah (medial) dari satu mata dan serabut saraf bagian luar (lateral) dari mata yang satu lagi
membentuk traktus optikus. Traktus ptikus kemudian diteruskan ke lateral genikulatum pada
thalamus, dimana serabut ini bersinaps dengan saraf yang merupakan akhir dari traktus yaitu opyik
radiasi, yang kemudian menyebar keluar dan berakhir pada korteks visual pada lobus occipitalis
(Slamovits, 2004).
Sensasi penglihatan diterima pada korteks visual atau sensori primer. Informasi ini disalurkan
ke area assosiasi visual yang digunakan dalam interpretasi dan pengenalan obyek. Serabut saraf dari
visual pathway juga melalui kolikulus superior pada midbrain, dimana kan bersinaps dengan serabut
yang berperan pada saraf cranial III, IV dan VI, yang mempersarafi otot-oto bola mata dan spinal cord
(basic Visual Pathway).
Sel dari kolikus auperior sangat sensitif untuk stimuli pergerakan. Hal ini penting untuk
koordinasi pergerakan terutama kepala, mata, dan tangan yang diperlukan untuk merespon rangsangan
visual. Pembentukan bayangan tajam pada retina manusia tergantung pada empat proses yaitu :
jaannya cahaya refraksi, akomodasi lensa, konstriksi pupil dan konvergensi kedua mata. Semua sinar
dari beberapa obyek difokuskan pada sistem optikal mata sehingga jatuh tepet pada retina. Bayangan
yang dibentuk adalah terbalik, tetapi otak menerimanya dalam keadaan normal (Central Visual
Pathway).

(Diambil dari basic Visual Pathway, http://thalamus.wustl.edu/course/basvis.html)


2.6. CELAH PUPIL DALAM SISTEM OPTIK
Dalam sistem optik celah pupil mempunyai 2 fungsi. Fungsi yang paling diketahui adalah
mengatur jumlah cahaya, tetapi tidak begitu penting. Fungsi yang tidak begitu diketahui dan sangat
penting adalah mengatur aberasi. Sistem optik mengumpulkan fraksi cahaya yang kecil dari sebuah
obyek. Celah pupil membatasi jumlah cahaya yang dibawanya dan juga megatur kejelasan gambar
( Thall, 2004).
Ukuran dari celah pupil tidak berubah atau pada suatu perubahan dari ukuran gambar. Pada
percobaan menutupi setengah dari lensa dengan sebuah kertas (membuat pupil menjadi setengah
lingkaran). Tidak ada bagian dari gambar yang terhalangi. Seluruh gambar terlihat ada. Tetapi
keseluruhan gambar menjadi berkurang cahayanya. Perubahan ukuran celah pupil mengatur
keseluruhan kejelasan gambar (disebut juga irradiance). Pada percobaan tersebut, menutup setengah
lensa berarti mengurangi 50 % cahaya pada gambar. Kejelasan gambar merupakan persepsi yang
bergantung pada jumlaah cahaya pada retina, dan pada sistem saraf yang bertanggung jawab pada
cahaya di retina ( Paquin dkk, 2002).
Jumlah dari kekuatan cahaya per unit area dari sebuah gambar disebut irradiance. Irradiance
berhubungan langsung dengan area celah pupil. Yang berarti berkurangnya 50 % pada area celah pupil
menghasilkan berkurangnya 50 % irradiance, jadi irradiance berhubungan dengan area celah pupil

bukan pada diameter pupil. Pada klinis, ukuran pupil spesifik dengan ukuran diameter. Jika ukuran
diameter pupil berubah dari 2 mm ke 3 mm (50 % berubah dalam diameter), area celah pupil
meningkat menjadi 125 %, lebih dua kali pada irridiance di retina (Paquin dkk, 2002).
2.7. MIOPIA
Miopia adalah suatu kondisi dimana obyek jauh tidak tepat bayangannya jatuh pada retina
yang dilakukan dari sistem optik pada mata, disebabkan sinar jatuh sebelum mengenai retina
( Schmid, 2007).
A. Etiologi
Miopia terjadi karena bola mata tumbuh terlalu panjang saat bayi. Dikatakan pula,semakin
dini mata seseorang terkena sinar terang secara langsung, makacsemakin besar kemungkinan
mengalami miopia. Ini karena organ mata sedang berkembang dengan cepat pada tahun-tahun awal
kehidupan (curtin, 2002).
Pada miopia,panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan pembiasan media
refraksi terlalu kuat. Dikenal berberapa jenis miopi seperti :
1. Miopia refraksi, miopia yang terjadi akibat bertambahnya indeks bias media penglihatan,
seperti terjadi pada katarkak instrumen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga
pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia yang refraktif ini, miopia penglihatan kornea dan
lensa terlalu kuat.
2. Miopia aksial, miopia

yang

terjadi

akibat

memanjangnya

sumber

bola

mata,

dibandingkandengan kelengkunagn kornea dan lensa yang normal (Mansjoer,2002).


B. Klasifikasi
Menurut perjalanan penyakitnya, miopia dibagi menjadi :
a. Miopia stasioner, yaitu miopia yang menetap setelah dewasa.
b. Miopia pregresif, yaitu miopia yang bertambah terus pada usia dewa akibat bertambah
panjangnya bola mata.
c. Miopia maligna, yaitu miopia yang berjalan progresif, dan dapat juga mengakibatkan ablasi
retina serta kebutaan. Miopia ini dapat juga di sebut miopia pernisiosa atau miopia maligna
atau miopia degenerative. Disebut miopia degeneratif atau miopia maligna, bila miopia lebih
dari 6 dioptri disertai kelainan pada fundus okuli dan panjang bola mata sehingga terbentuk
stafiloma poostikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi
karioretina. Atrofi retina berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi sklera dan kadangkadang terjadi ruptur membran Bruch yang dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya
neovaskularisasi subretina. Pada miopia dapat terjadi bercak Fuch berupa hiperplasia pigmen
epitel dan perdarahan, atropi lapis sensoris retina luar, dan degenerasi papil saraf optik
(Sidarta, 2005).
Boris dan Duke Elder membagi klasifikasi miopia berdasarkan :

1. Axial myopia, yang berhubungan dengan penambahan panjang sumbu bola mata.
2. Refraktive myopia, yang berhubungan dengan kondisi media refraksi pada mata.
Lebih jauh Boris membagi Refraktive myopia menjadi :
1. Curvatura miopi, yang berhubungan dengan penambahan piningkatan permukaan
kornea
2. Index miopia, yang berhubungan dengan variasi index refraksi pada satu atau lebih
media refraksi.
Derahat miopia diukur oleh kekuatan korektif lensa sehingga bayangan dapat jatuh di retina,
yang dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Miopia ringan, < Sferis 3,00 D
2. Miopia sedang, Sferis -3,00 s/d -6,00 D
3. Miopia berat, > Sferis -6,00 D
Menjadi miopia berarti tidak dapat melihat benda jarak jauh dengan jelas tanpa lat bantu optik
seperti kacamata atau lensa kontak. Tanpa alat bantu tersebut penglihatan menjadi kabur.
Miopia dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa Sferis negatif atau lensa cekung ( concave
lense) sehingga cahaya yang datang akan disebarkan (divergen) oleh lensa koreksi sebelum
masuk ke dalam mata, sehingga cahaya yang masuk dapat jatuh ke titik fokus lebih posterior
atau tepat pada retina ( Schmid, 2007)

(Diambil dari http://www.bupa.co.uk/individuals/health-information/directory/s/myopia)

C. Manifestasi Klinis
Pasien miopi akan melihat jelas bila dalam jarak pandang dekat dan melihat kabur jika
pandangan jauh. Penderita miopia akan mengeluh sakit kepala, sering disertai dengan juling dan celah
kelopak yang sempi. Selain itu, penderita miopia mempunyai kebiasaan mengernyitkan matanya
untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil). Pasien miopia

mempunyai pungtum remotum (titik terjauh yang masih dilihat jelas) yang dekat sehingga mata selalu
dlam keadaan konvergensi. Hal ini yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila
kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling kedalam atau esoptropia (Sidarta,
2005).
D. Penatalaksanaa
Orang yang mengalami miopia diberi kaca mata lensa sferis untuk membantu penglihatannya.
E. Pencegahan
Sejauh ini, hal yang dilakukan adlah mencegah kelahiran anak atau mencegah jangan sampai
menjadi parah. Biasanya dokter akan melakukan beberapa tindakan seperti pengobatan lase, obat tetes
tertentu untuk membantu penglihatan, operasu, penggunaan lensa kontak dan penggunaan kacamata.
Pencegahan lain adalah dengan melakukan visual hygiene berikut ini :
a. Mencegah terjadinya kebiasaan buruk.
1) Hal yang perlu diperhatikan adalah anak dibiasakan duduk dengan posisi tegah sejak
2)
3)
4)
5)
6)

kecil.
Memegang alat tulis dengan benar.
Lakukan istirahat tiap 30 menit setelah melakukan kegiiatan membaca atau melihat TV.
Batasi jam membaca.
Aturlah jarak baca yang tepat (30 centimeter), dan gunakanlah penerangan yang cukup.
Kalau memungkinkan untuk anak-anak diberikan kursi yang bias diatur tingginya

sehingga jarak bacanya selalu 30 cm.


7) Membaca dengan posisi tidur atau tengkurap bukanlah kebiasaan yang baik.
b. Beberapa penelitian melaporkan bahwa usaha untuk melatih jauh atau melihat jauh dan dekat
secara bergantian dapat mencegah miopia.
c. Jika ada kelainan pada mata, kenali dan perbaiki sejak awal. Jangan menunggu sampai ada
gangguan pada mata. Jika tidak di perbaiki sejak awal, maka kelainan yang ada bisa menjadi
permanen, misalnya bayi prematur harus terus dipantau selama 4-6 minggu pertama di ruang
inkubator untuk melihat apakah ada tanda-tanda retinopati.
d. Untuk anak dengan dokter sesialis mata anak supaya tidak terjadi juling. Patuhi setiap
perintah dokter dalam program rehabilitasi tersebut.
e. Walaupun sekarang ini sudah jarang terjadi defesiensi vitamin A, ibu hamil tetap perlu
f.

memperhatiakan nutrisi, termasuk pasokan vitamin A selama hamil.


Periksalah mata anak sedini mungkin jika dlam keluarga ada yang memakai kacamata. Untuk

itu, pahami perkembangan kemampuan melihat bayi.


g. Dengan mengenali keanehan, misalnya kemampuan melihat yang kurang, segeralah
melakukan pemeriksaaan.
h. Di sekolah, sebaiknya dilakkukan skrining pada anak-anak (Curtin,2002).

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL
3.1.Kerangka konsep
Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan dan mengarahkan asumsi
mengenai elemen-elemen yang diteliti. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan dalam
latar belakang, tinjauan kepustakaan yang ada, maka kerangka konsep digambarkan sebagai berikut :
KERANGKA KONSEP

Karakteristik :
-

Umur 14 thn
Miopia derajat sedang dan berat (
tidak disertai kelainan refraksi
lain dan dapat dikoreksi)
Media refraksi baik
Segmen anterior dan posterior
normal

Pemeriksaan
Pupilometer

Ukuran Diameter
Pupil

3.2 Defenisi Operasional


a. Miopia. Dalam penelitian ini miopia di deskripsikan sebagai gangguan untuk melihat jauh dengan
visus di bawah 6/6.

b. diameter pupil diukur dengan penggaris pupilometer.

BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Metode Penelitian
Penelitian ini adalah suatu penelitian diagnostik yang bersifat deskriptif analitik dengan
rancangan penelitian potonh lintang untuk mencari hubungan pengukuran diametern pupil dengan
derajat miopia.
4.2 Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran UNSYIAH pada bulan agustus 2011
november 2012.
Pengumpulan data dilakukan pada september-oktober 2011.
4.3 Populasi dan sampel
a. Populasi penelitian
Semua Mahasiswa FK UNSYIAH tahun ajaran 2008, 2009, 2010 yang menderita miopia
derajat sedang dan berat yang sesuai dengan kriteria penelitian.
b.Besar Sampel
jumlah sampel yang diperlukan adalah berdasarkan hasil perhitungan dengan porsi yang ada.
Menurut catatan medik dijumpai rata-rata diameter pupil pada miopia sedang dan berat didapat 6 mm.
Untuk hal ini maka peneliti berasumsi bahwa rata-rata diameter pupil untuk penelitian ini 6 mm, maka
standar deviasinya 1,155.
Penghitungan jumlah sampel menggunakan rumus:

n = {Z d. }2
-n = Besar sampel
-Z = Tingkat kemaknaan.
Tingkat kemaknaan yang dipergunakan pada penelitian ini adalah 0.05 dengan interval
kepercayaan 95%, maka nilai baku normal dari tabel z(z) = 1.96
- = Standard deviasi rata-rata diameter pupil pada miopia sedang dan berat. Pada rata-rata 6
mm dijumpai standard deviasi 1,155

-d = tingkat ketepatan yang di tentukan oleh peneliti = 0,4

Nama : SHALLI HAFIZHA


NIM : 0807101050021
JUDUL : Hubungan ukuran Pupil dengan Miopia Derajat Ringan dan Berat pada Mahasiswa
FK UNSYIAH

Anda mungkin juga menyukai