Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

SEPSIS

Oleh:

Intan Permata Balqis

201820401011158

Pembimbing:

dr.Ahmad Riza Zainal, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK IPD

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

RSUD dr.H. SLAMET MARTODIRDJO PAMEKASAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan

hidayah-Nya, penulisan laporan kasus stase Ilmu Penyakit Dalam ini dapat

diselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada

Rasulullah SAW, keluarga, para sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.

Laporan kasus yang akan disampaikan dalam penulisan ini mengenai

“Sepsis”. Penulisan laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi tugas individu stase

Ilmu Penyakit Dalam.

Dengan terselesaikannya laporan kasus ini kami ucapkan terima kasih yang

sebesar besarnya kepada dr.Ahmad Riza Zainal Sp.PD, selaku pembimbing kami,

yang telah membimbing dan menuntun kami dalam pembuatan laporan kasus ini.

Kami menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu kami tetap membuka diri untuk kritik dan saran yang membangun. Akhirnya,

semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat.

Pamekasan, Mei 2019

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis adalah keadaan dimana terjadi disfungsi organ yang mengancam jiwa

disebabkan oleh disregulasi dari respon host terhadap infeksi. (Kasper et al.,2015),

sepsis merupakan sebuah kondisi kompleks dengan karakteristik aktivasi inflamasi

dan koagulasi yang terjadi secara simultan , keadaan ini termanifestasi sebagai

sindrom respon inflamasi sistemik melalui pelepasan sitokin proinflamatori,

prokoagulan, dan molekul adhesi dari sel imun atau endotelium yang rusak. (Polat

et al., 2017)

Mortalitas dari sepsis dalam jangka panjang berkisar pada angka 60-80%

meskipun dengan perkembangan yang substansial pada bidang imun dan

patofisiologi (Gaieski et al., 2013). Pada Intensive Care Unit (ICU) sepsis menjadi

salah satu masalah utama yang menyebabkan kematian pada pasien di Amerika

Serikat, insidensi terjadinya sepsis parah diestimasi mencapai 300 kasus per

100.000 populasi, seperempat dari pasien yang mengalami sepsis parah biasanya

meninggal pada saat perawatan di rumah sakit. (Mayr, Yende and Angus, 2013)

Faktor resiko yang mempengaruhi tingkat keparahan daripada sepsis yaitu

usia lanjut, komorbiditas, dan kerusakan organ yang persisten yang menyebabkan

disfungsi imun, supresi imun, katabolisme, dan inflamasi. Pasien dengan diabetes

tipe 2 merupakan populasi terbesar yang mengalami komplikasi post sepsis dan

mortalitas yang meningkat. Secara global diabetes tipe 2 bukan lagi penyakit di

negara dengan pendapatan yang tinggi, pada tahun 2014 diestimasi 422 juta

penderita, angka yang tinggi dibandingkan tahun 1980an dengan jumlah 108 juta

penderita. Prevalensi pertumbuhan angka diabetes tipe 2 yang paling besar terjadi

3
pada negara dengan pendapatan kecil atau menengah. (Chatterjee, Khunti and

Davies, 2017). Luka dan infeksi pada kaki penderita diabetes adalah komplikasi

yang umum terjadi pada penderita diabetes dengan prevalensi 25% dari penderita,

luka serta infeksi yang tidak ditangani dengan baik membuat luka menjadi port of

entry bagi patogen untuk masuk kedalam tubuh (Frydrych et al., 2017).

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Sepsis adalah keadaan dimana terjadi disfungsi organ yang mengancam jiwa

disebabkan oleh disregulasi dari respon host terhadap infeksi (Kasper et al.,2015).

Sepsis adalah sebuah kondisi kompleks yang ditandai aktivasi inflamasi dan

koagulasi secara simultan sebagai respon terhadap mikroba. keadaan ini

termanifestasi sebagai sindrom respon inflamasi sistemik melalui pelepasan sitokin

proinflamatori, prokoagulan, dan molekul adhesi dari sel imun atau endotelium

yang rusak. (Polat et al., 2017)

Epidemiologi

Angka kematian berdasarkan populasi disesuaikan dengan peningkatan umur,

semakin ekstrim usia semakin tinggi resiko untuk terkena sepsis. Pada Intensive

Care Unit (ICU) sepsis menjadi salah satu masalah utama yang menyebabkan

kematian pada pasien. di Amerika Serikat, insidensi terjadinya sepsis parah

diestimasi mencapai 300 kasus per 100.000 populasi, seperempat dari pasien yang

mengalami sepsis parah biasanya meninggal pada saat perawatan di rumah sakit.

(Gaieski et al., 2013).

Etiologi

Sepsis dapat berasal dari dua sumber yaitu community-acquired dan hospital-

acquired. Sepsis muncul akibat bakteri, virus, fungi, dan parasit, atau dapat

berkembang dari insiden intraabdominal yang noninfeksius seperti trauma yang

parah, pneumonia, pankreatitis, dan insiden yang lain seperti infeksi saluran kemih.

5
Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis di masyarakat adalah

Streptococcus pneumonia, dan Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri

gram positif, serta Escherichia coli, spesies Klebsiella, dan Pseudomonas

aeruginosa yang merupakan bakteri gram negatif (Polat et al., 2017; Kasper et

al.,2015)

Faktor resiko yang umum meningkatkan terjadinya resiko terkena infeksi

adalah penyakit kronis seperti Human Immunodeficiency Virus (HIV), Penyakit

Paru Obstruktif Kronis (PPOK), kanker, diabetes, serta penyakit imunosupresi. .

(Kasper et al.,2015; Frydrych et al., 2017)

Faktor resiko perkembangan dari infeksi menjadi disfungsi organ masih

belum diketahui dengan pasti, namun, kemungkinan dapat dipengaruhi oleh status

kesehatan yang mendasarinya, gangguan fungsi organ yang telah ada sebelumnya,

dan waktu mulainya pengobatan. Umur, jenis kelamin, dan ras semuanya

mempengaruhi insidensi dari sepsis, yang mana insidensi paling tinggi terjadi pada

usia yang ekstrim, dan lebih sering mengenai pria dibandingkan wanita. (Kasper et

al.,2015)

Patogenesis

 Inisiasi terhadap inflamasi

Patogen mengaktivasi sel imun melalui interaksi dengan pattern recognition

receptor, yang memiliki 4 kelas utama yang menonjol yaitu Toll Like Receptors

(TLRs), RIG-I-Like receptors, C-type lectin receptors, dan NOD-like receptors.

Aktivitas dari grup terakhir terjadi sebagian pada kompleks protein yand disebut

sebagai Inflammasomes. Pengenalan terhadap terhadap struktur yang melingkupi

6
spesies mikroba yang dikenal sebagai pathogen associated molecular patterns

(PAMPs), oleh semua reseptor ini memunculkan regulasi dari transkripsi gen

inflamasi dan inisiasi dari imunitas bawaan. PAMP yang umum adalah

lipopolisakarida (LPS atau endotoksin), yang menempel pada LPS-binding protein

pada permukaan monosit, makrofag, dan neutrofil. LPS kemudian dihantarkan dan

ditandai TLR$ untuk memproduksi dan melepaskan sitokin seperti tumor necrosis

factor yang memberikan sinyal ke sel dan jaringan lainnya. Diwaktu yang

bersamaan, reseptor-reseptor ini juga merasakan molekul endogen yang dilepaskan

oleh sel yang rusak seperti protein B1,protein S100, ekstraselular RNA, DNA, dan

histone. (Kasper et al.,2015)

 Abnormalitas Koagulasi

Sepsis umumnya diasosiasikan dengan gangguan koagulasi yang sering

memunculkan koagulasi intravaskular yang menyebar, abnormalitas pada koagulasi

bertujuan untuk mengisolasi mikroorganisme yang menyerang tubuh atau

mencegah menyebarnya infeksi dan inflamasi ke jaringan dan organ lainnya,

endapan fibrin yang berlebihan didorong oleh koagulasi melalui faktor jaringan,

sebuah glikoprotein transmembran yang dikeluarkan oleh berbagai macam tipe sel

oleh mekanisme antikoagulan yang terganggu, yang didalamnya termasuk sistem

protein C dan antitrombin), serta gangguan pemindahan fibrin akibat depresi sistem

fibrinolitik. Koagulasi dan protease yang lainnya meningkatkan inflamasi lewat

protease-activated receptor.( Kasper et al.,2015)

 Disfungsi organ

Gangguan pada oksigenasi jaringan menjadi faktor utama dalam disfungsi

organ pada pasien sepsis, beberapa faktor berkontribusi terhadap penurunan

7
penghantaran oksigen pada pasien sepsis atau syok sepsis, seperti hipotensi,

menurunnya kemampuan deformibilitas sel darah merah, dan trombosis

mikrovaskular. Inflamasi dapat menyebabkan disfungsi pada endotel vaskular,

diikuti dengan kematian sel dan hilangnya integritas dari pembatas memunculkan

peningkatan pada edema subkutan dan rongga tubuh. Pelepasan nitrit oksida yang

berlebihan dan tidak terkontrol menyebabkan kolaps pada vasomotor,dengan

tambahan, kerusakan mitokondria disebabkan oleh stress oksidatif dan gangguan

oksigenasi yang lainnya. Lambatnya metabolisme oksidatif, sejalan dengan

gangguan penghantaran oksigen, berkurangnya pengambilan O2 selular, namun

energi masih diperlukan untuk mendukung fungsi basal, dan vital selular, yang

mana berasal dari glikolisis dan fermentasi yang menghasilkan H+ dan laktat.

Apabila gangguan terjadi lebih lanjut, Jumlah ATP akan berada jauh dibawah

ambang batas, kegagalan bioenergetik terjadi, reaktif oksigen spesies yang beracun

dilepaskan dan terjadi kematian sel irreversibel disertai gagal organ. (Kasper et

al.,2015)

 Mekanisme Antiinflamasi

Sistem imun melindungi mekanisme humoral, selular, dan neural yang dapat

memperparah efek berbahaya dari respons proinflamasi. Fagosit dapat berubah

menjadi sebuah fenotip antiinflamasi yang mendorong perbaikan jaringan, ketika

sel T dan sel Myeloid-derived supresor mengurangi inflamasi. Refleks

neuroinflamatori dapat berkontribusi dengan input sensorik dari afferen nervus

vagus ke batang otak , kemudian eferen nervus vagus mengaktifkan nervus

splenicus pada plexus celiaca, menyebabkan pelepasan norepinefrin pada limpa dan

sekresi asetilkolin oleh CD4 + sel T. Pelepasan asetilkolin menargetkan reseptor

8
ɑ7 kolinergik pada makrofag, mengurangi pelepasan sitokin proinflamasi.

Gangguan pada sistem neural dapat menyebabkan syok endotoksin, sedangkan

stimulasi pada aferen nervus vagus atau reseptor ɑ7 kolinergik melemahkan

inflamasi sistemik. (Kasper et al.,2015)

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari sepsis yang spesifik bermacam-macam tergantung tempat

dari infeksi, patogen yang menyerang, pola disfungsi organ akut, kesehatan pasien

sebelumnya, dan waktu dimulainya pengobatan. (Setiawati,et al.,2015)

 Gagal kardiorespirasi

Dua dari sistem organ yang umumnya dipengaruhi oleh sepsis adalah sistem

respirasi dan kardiovaskular, gangguan sistem respirasi termanifestasi sebagai

acute respiratory distress syndrome (ARDS) didefinisikan sebagai hipoksemia.

ARDS dapat diklasifikasikan dengan kriteria Berlin sebagai ringan (PaO2 /FiO2 :

201 -300 mmHg), sedang (101 -200 mmHg), dan berat (≤ 100 mmHg). Gangguan

kardiovaskular biasanya muncul sebagai hipotensi, yang disebabkan oleh

hipovolemi, gangguan distribusi aliran darah, dan volume intravaskular karena

kebocoran kapiler yang difus, berkurangnya resistensi sistemik vaskuler, atau

penurunan fungsi miokardial. (Kasper et al.,2015)

 Kerusakan ginjal

Kerusakan ginjal akut terjadi pada ≥50% pasien sepsis. Kerusakan ginjal akut

memiliki manifestasi oliguria, azotemia, dan peningkatan kadar serum kreatinin.

Kasper et al.,2015)

9
 Komplikasi neurologis

Disfungsi sistem saraf pusat yang tipikal adalah koma dan delirium (Kasper

et al.,2015)

 Manifestasi tambahan

Ileus, peningkatan kadar aminotransferase, gangguan kontrol glikemik,

trombositopenia, dan disfungsi adrenal.( Kasper et al.,2015)

Diabetes Mellitus

Pada sebuah studi in vitro didapatkan hasil bahwa hiperglikemia seperti

yang terjadi pada diabetes melitus dapat merusak performa Polymorphonuclear

(PMN). Seperti diketahui bahwa PMN ini berperan besar dalam innate immune

system. Pada pasien diabetes melitus telah diteliti bahwa terjadi penurunan fungsi

sel PMN, aderens ke endotel, kemotaksis, dan fagositosis dan kemampuan

bakterisid. Hiperglikemia terbukti memperpanjang durasi respon sitokin. Hal ini

diperkirakan berhubungan diabetes tipe 2 yaitu ditemukan perpanjangan waktu

dalam produksi sitokin. (Frydrych et al., 2017)

Sebuah literatur mengemukakan tentang hasil penelitian preklinik dan

klinik mengenai terjadinya sepsis pada diabetes. Di antaranya, dikemukakakan

bahwa diabetes melitus berdampak langsung terhadap adaptive immune system.

Hasil penelitian Spatz et al menunjukkan terjadi penurunan proliferasi dan

gangguan fungsi sel T yang berpengaruh terhadap produksi antiinflamasi dan

proinflamasi serta defek pada Antigen Presenting Cell (APC). Mekanisme lain yang

diduga berkaitan dengan perkembangan sepsis pada pasien diabetes melitus adalah

10
bahwa diabetes melitus memicu disfungsi endotel dan procoagulant state.

Mekanisme yang sama merupakan bagian dari patofisiologi. (Frydrych et al., 2017)

Diagnosis Sepsis

a. Anamnesis
Anamnesis mengenai riwayat penyakit akan memberikan informasi
mengenai faktor resiko potensial terjadinya infeksi, berhubungan
dengan patogen spesifik pada area jaringan tertentu. Sehingga
membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari komunitas atau
nosokomial dan apakah pasien immunokompromais. Beberapa tanda
terjadinya sepsis meliputi: (Setiawati,et al.,2015)
1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau
instrumentasi
2. Hipotensi, oliguria atau anuria
3. Takipnea atau hiperpnea,hipotermia tanpa penyebab yang jelas
4. Perdarahan

11
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum pasien, tanda-tanda vital.
Gambaran klasik sepsis berat adalah pasien hipermetabolik dengan
temperatur tinggi, takikardia, takipnea, sirkulasi vasodilatasi
hiperdinamik, tekanan diastolik rendah. (Levy, Evans and Rhodes,
2018)

c. Pemeriksaan Penunjang
o Darah lengkap
Walaupun leukositosis dan peningkatan sel-sel batang lazim
dijumpai, leukopenia bisa saja terjadi. Seringkali laju endap darah
meningkat. Kadar laktat darah umumnya meningkat seperti halnya
kadar gula darah, namun hipoglisemia sering terjadi pada pasien
dengan disfungsi liver. Bukti gagal organ lain (ginjal, hepar, usus,
miokardium, dan koagulopati) dapat ditemukan. Tanda-tanda dan
gejala-gejala lain dapat berhubungan dengan sumber infeksi mula-
mula. Pengambilan level laktat harus dalam 1 jam. (Levy, Evans and
Rhodes, 2018)
o Kultur

Sebaiknya dilakukan sebelum dilakukan terapi antimikrobial

dan proes pengambilan sebaikanya tidak menjadi penyebab

penundaan pemberian terapi antibiotik. Pengambilan kultur sebelum

antimikrobial berguna untuk konfirmasi infeksi dan mengetahui

patogen penyebab. Pengambilan kultur darah harus selesai dalam 3

jam. Untuk mengoptimalisasi identifikasi organisme penyebab,

direkomendasikan untuk mengambil sedikitnya 2 set kultur darah

(botol aerob dan anaerob), dengan satu diambil decara perkutaneus

dan satu diambil vascular access device, jika device <48 jam

digunakan. Darah ini dapat diambil bersamaan waktu jika diambil

12
dari tempat yang berbeda. Kultur dapat dari urin, cerebrospinal fluid,

luka, sekret pernafasan dan cairan tubuh lain yang mungkin menjadi

penyebab infeksi. (Levy, Evans and Rhodes, 2018)

o Gram stain
Terutama untuk spesimen pernafasan, untuk menentukan adanya sel
inflamatori(Setiawati,et al.,2015)
Biomarker
Level prokalsitonin dan C reactive protein meningkat untuk
menentukan patern akut inflamasi dari sepsis. (Setiawati,et al.,2015)
o Polymerase chain reaction, mass spectroscopy, microarray
diharapkan dapat menjadi cara identifikasi patogen yang lebih cepat.
(Setiawati,et al.,2015)

Tatalaksana Sepsis

Hour-1 bundle

Berdasarkan guideline The Surviving Sepsis Campaign Bundle 2018. Tatalaksana

awal pada pasien yang terdiagnosis sepsis dilakukan dalam rentang waktu 1 jam

sebagai berikut :

 Mengukur kadar laktat

Meskipun kadar laktat bukanlah pengukuran langsung dari perfusi jaringan,


namun dapat menjadi sebuah perantara, dikarenakan peningkatannya terjadi

13
apabila terjadi hypoxia jaringan sebagai hasil metabolisme anaerobik dari sel dan
jaringan ketika kadar oksigen menurun. Jika kadar laktat meningkat > 2 mmol/L,
harus diukur kembali 2-4 jam kemudian sebagai acuan resusitasi, jika kadar laktat
sudah mencapai normal berarti perfusi oksigen ke jaringan sudah membaik.
(Levy, Evans and Rhodes, 2018)

 Mengambil kultur darah sebelum administrasi antibiotik

Pengambilan kultur darah harus dilakukan sebelum administrasi antibiotik agar

identifikasi patogen dapat dilakukan dengan optimal. Untuk mengoptimalisasi

identifikasi organisme penyebab, direkomendasikan untuk mengambil

sedikitnya 2 set kultur darah (botol aerob dan anaerob), dengan satu diambil

decara perkutaneus dan satu diambil vascular access device, jika device <48

jam digunakan. Darah ini dapat diambil bersamaan waktu jika diambil dari

tempat yang berbeda. Kultur dapat dari urin, cerebrospinal fluid,luka, sekret

pernafasan dan cairan tubuh lain yang mungkin menjadi penyebab infeksi.

(Levy, Evans and Rhodes, 2018)

 Pemberian antibiotik spektrum luas

Terapi empirik antibiotik spektrum luas dengan satu atau lebih antimikrobial

untuk mengatasi kemungkinan patogen yang mungkin menyerang harus segera

dilakukan. Terapi antimikrobial empiris harus dipersempit ketika patogen telah

teridentifikasi, atau dihentikan ketika pasien terbukti tidak mengalami infeksi.

(Levy, Evans and Rhodes, 2018)

Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien, diyakini bahwa


antimikrobial tertentu menyebabkan lebih banyak pelepasan LPS sehingga
menimbulkan lebih banyak masalah bagi pasien. Antimikrobial yang tidak
menyebabkan pasien memburuk adalah : karbapenem, seftriakson, sefepim,

14
glikopeptida, aminoglikosida, dan quinolon. Obat yang digunakan tergantung
sumber sepsis. (Setiawati,et al.,2015)

1. Untuk pneumonia dapatan komunitas biasanya digunakan 2 regimen obat.

Biasanya sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat (sefepim)

diberikan dengan aminoglikosida (biasanya gentamisin).

2. Pneumonia nosokomial: Sefipim atau iminem-silastatin dan

aminoglikosida.

3. Infeksi abdomen: imipenem-silastatin dan aminoglikosida atau pipersilin-

tazobaktam dan amfoterisin B.

4. Infeksi abdomen nosokomial: imipenem-silastatin dan aminoglikosida atau

pipersilin-tazobaktam dan amfoterisin B.

5. Kulit/jaringan lunak: vankomisin dan imipenem-silastatin atau piperasilin-

tazobaktam.

6. Kulit/jaringan lunak nosokomial: vankomisin dan sefipim.

7. Infeksi traktus urinaris: siprofloksasin dan aminoglikosida.

8. Infeksi traktus urinaris nosokomial: vankomisin dan sefipim.

9. Infeksi CNS: vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau meropenem.

10. Infeksi CNS nosokomial: meropenem dan vankomisin.

Regimen obat tunggal biasanya hanya diindikasikan bila organisme penyebab

sepsis telah diidentifikasi dan uji sensitivitas antibiotik menunjukkan macam

antimikrobial yang terhadap organisme memiliki sensitivitas.

 Pemberian cairan intravena

Resusitasi cairan yang awal dan efektif sangat penting untuk stabilisasi

hipoperfusi yang disebabkan oleh sepsis atau syok septik resusitasi caran harus

15
segera dimulai ketika didapatkan pasien dengan sepsis dan hipotensi serta kadar

laktat yang meningkat, dan pemberian cairan harus selesai dalam waktu 3 jam.

Guidelines merekomendasikan minimum pemberian 30 mL/kg cairan kristaloid

intravena. (Levy, Evans and Rhodes, 2018))

 Pemberian vasopresor

Perbaikan cepat agar mencapai tekanan perfusi yang adekuat ke organ vital

adalah hal utama dari resusitasi , jika tekanan darah tidak membaik setelah

resusitasi cairan, vasopresor harus diberikan pada jam pertama untuk mencapai

Mean Arterial Pressure (MAP) ≥ 65 mmHg (Levy, Evans and Rhodes, 2018)

Terapi suportif

a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik
segera dilakukan. (Setiawati,et al.,2015)
b. Terapi Inotropik
Infus percobaan dari dobutamin hingga mencapai 30 mcg/kg/menit
diberikan atau ditambahkan pada vasopressor (jika digunakan) dalam
keadaan disfungsi miokardial sebagaimana disebabkan karena
peningkatan tekanan pengisian jantung dan curah jantung yang rendah
atau gejala hipoperfusi yang terus menerus, meskipun mencapai volume
intravascular secara adekuat dan MAP yang cukup. (Setiawati,et
al.,2015)
c. Kortikosteroid
Sebaiknya tidak menggunakan hidrokortison intravena untuk mengobati
pasien dewasa syok septik jika resusitasi cairan cukup dan terapi
vasopressor dapat menjaga kestabilan hemodinamik. Jika hal tersebut
tidak tercapai, direkomendasikan untuk memakai hidrokortison saja
dengan dosis 200mg per hari. Tidak diperbolehkan menggunakan tes

16
stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi orang dewasa dengan syok
septik yang seharusnya menerima hidrokortison. Pasien dalam terapi
hidrokortison diturunkan dosisnya jika vasopressor tidak lagi
digunakan. Kortikosteroid tidak diberikan dalam terapi sepsis tanpa
syok. (Setiawati,et al.,2015)
d. Pemberian produk darah
Setelah hipoperfusi jaringan telah diselesaikan dan jika tidak ada
keadaan khusus, seperti iskemia miokardial, hipoksemia yang berat,
perdarahan akut, atau penyakit jantung iskemik, direkomendasikan
bahwa transfusi sel darah merah hanya dilakukan ketika konsentrasi Hb
menurun hingga <7 g/dl dan untuk mencapai target Hb 7-9 g/dl pada
orang dewasa. Tidak dianjurkan untuk menggunakan eritropoietin
sebagai terapi spesifik dari anemia terkait sepsis. FFP tidak diberikan
untuk mengkoreksi abnormalitas pembekuan pada kondisi tidak
perdarahan atau prosedur invasif terencana. (Setiawati,et al.,2015)
e. Glukosa kontrol
Pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula darah terutama
pasien dengan diabetes melitus. Sebaiknya kadar gula darah
dipertahankan <150 mg/dL, dengan melakukan monitoring gula darah
setiap 1-2 jam dan dipertahankan minimal sampai 4 hari (Setiawati,et
al.,2015)

Setelah tatalaksana awal pada pasien dengan sepsis telah dilakukan dan keadaan

pasien telah stabil, dilakukan :

1. Kontrol Sumber

Diagnosis anatomis yang spesifik dari infeksi dibutuhkan sebagai

pertimbangan untuk mengendalikan kontrol sumber untuk didiagnosis atau

dieksklusi sesegera mungkin dan intervensi harus dilakukan pada kontrol sumber

dalam 12 jam pertama setelah diagnosis ditegakkan. Misalnya infeksi jaringan

lunak nekrotik, peritonitis, cholangitis). (Polat et al., 2017)

17
2. Pencegahan Infeksi (Setiawati,et al.,2015)
1. Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya
dihuni bakteri Gram-negatif
2. Gunakan trimetroprim-sulfometoksazol secara profilaktik pada
anak penderita leukemia.
3. Gunakan nitrat perak tipikal, sulfadiazin perak, atau sulfamilon
secara profilaktik pada pasien luka bakar.
4. Berikan semprotan (spray) polimiksin pada faring posterior
untuk mencegah pneumonia Gram-negatif nosokomial
5. Sterilisasi flora aerobik lambung dengan polimiksin dan
gentamisin dengan vankomisin dan nistatin efektif dalam
mengurangi sepsis Gram-negatif pada pasien neutropenia.
6. Lingkungan yang protektif bagi pasien beresiko kurang berhasil
karena sebagian besar infeksi berasal dari dalam (endogen)

Komplikasi (Setiawati,et al.,2015)

Sindroma distres pernapasan dewasa (ARDS)

 Koagulasi intravaskular diseminata (DIC)


 Gagal ginjal akut
 Perdarahan usus
 Gagal hati
 Disfungsi sistem
 Gagal jantung
 Kematian

18
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. H

Umur : 64 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Dsn Mungsapada,Kec.Pademawu, Kab. Pamekasan.

Jawa Timur

Pekerjaan : Wiraswasta

Pendidikan : SD

Agama : Islam

Tanggal MRS : 14 Mei 2019 pukul 12.00 WIB

ANAMNESIS

 Keluhan Utama : Sesak napas

 Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr.H

Slamet Martodirdjo (RSUD SMART) pada hari Selasa tanggal 14 Mei

2019 pukul 12.00 WIB. Pasien datang dengan keluhan Sesak napas

muncul tiba-tiba jam 11.00, disertai dengan perasaan gelisah, dada

berdebar-debar, keringat dingin,menggigil dan nyeri di sekujur tubuh.

Pasien berobat ke Puskesmas dan kemudian dirujuk ke RSUD SMART.

Sebelum mengalami keluhan tersebut pasien mengatakan memiliki luka

di kaki kiri yang bertambah parah dalam 4 hari terakhir awalnya hanya

luka kecil di mata kaki kemudian membesar hingga hampir seluruh betis

19
bagian samping, luka terasa nyeri dan menjalar hingga ke pinggang.

Selain itu pasien juga mengeluhkan mual, tidak nafsu makan,bersendawa

terus dan nyeri ulu hati selama 3 hari terakhir.

 Riwayat penyakit dahulu :

Riwayat keluhan yang sama disangkal. Pasien memiliki riwayat DM

kurang lebih 5 – 6 tahun, tidak terkontrol. Pasien hanya mengkonsumsi

obat-obatan saat badannya merasa tidak enak. Pasien juga memiliki

riwayat hipertensi lebih dari 5 tahun yang juga tidak terkontrol. Riwayat

alergi makanan dan obat (-)

 Riwayat Penyakit Keluaga :

Penyakit hipertensi, diabetes melitus dan penyakit jantung di keluarga

disangkal.

 Riwayat Sosial dan Ekonomi :

Pasien memiliki pola makan yang tidak terkontrol (pasien tidak diet

untuk DM dan Hipertensinya)

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum : Lemas

Kesadaran : Compos mentis

GCS : 456

20
Vital Sign

IGD:

 Tekanan darah : 181/91 mmHg

 Nadi : 170 x/ menit

 Frekuensi nafas : 35 x / menit

 Temperatur : 37,5ºC

Pemeriksaan Ruangan:

 Tekanan darah : 120/80

 Nadi : 100 x/menit

 Frekuensi nafas : 28x /menit

 Temperatur : 36,7 0C

Pemeriksaan Kepala Dan Leher


Bentuk : Normochepali

Mata : Sklera Ikterik (-/-), Konjungtiva Anemis (-/-)

THT : Tidak ada keluhan

Mulut : dalam batas normal

Leher : JPV (-), pembesaran KGB (-)

Pemeriksaan Jantung

Inspeksi :Ictus cordis tidak tampak

Palpasi :Ictus cordis tidak teraba, tidak kuat angkat, Thrill (-)

Perkusi :Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, reguler, Gallop (-) Murmur (-)

21
Pemeriksaan Pulmo

Inspeksi : Simetris kanan-kiri, tidak ada retraksi,tidak ada sikatrik

Palpasi : krepitasi (-), nyeri tekan (-)

Perkusi : Sonor dikedua lapangan paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler (N) dikedua lapangan paru

Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Tampak flat

Auskultasi : Peristaltik (+) normal, meteorismus (-)

Palpasi : Perut tegang, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan di regio

epigastrium

Perkusi : Timpani

KGB : tidak terdapat pembesaran pembuluh limfe

Ekstremitas

 Superior : Akral dingin, kering, pucat, CRT < 2 detik, icterus (-), edema

(-)

 Inferior : Akral dingin, kering, pucat, CRT < 2 detik, icterus (-), edema

(+) pada pedis dan cruris sinistra, nanah (+).ulcer dalam hingga

ke dermis regio cruris sinistra , nanah +

22
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan laboratorium :

14 Mei 2019 Hasil Nilai normal Satuan


Darah lengkap
P 13.0-18.0 L 14.0-
Hb 16,2 g/dL
18.0
Ht 43,30 L 40-54 P 35-47 %
Trombosit 351.000 150.000-450.000 uL
Lekosit 45.620 4.0-11.0 10^3/uL
Eritrosit 4.830 3.80-5.30 10^6/uL
Profil lemak
Kholestrol
181 <200 mg/dL
Total
Trigliserida 214 <150 mg/dL
Faal hati
SGOT 16 <31 uL
SGPT 27 <31 uL
Albumin 2.9 3,5 – 5,3 gr/dL
GDA : 283 mg/dL
Faal ginjal
Urea 10-50
Ureum/BUN 26/13 mg/dL
BUN 8-20
Kreatinin
0.54 < 1,1 mg/dL
serum
Asam urat 9,6 <5,0 mg/dL
Elektrolit
Natrium 126,6 135-155 mmol/L
Kalium 3,37 3.5 -5.5 mmol/L
Klorida 106,7 98 - 107 mmol/L

15 Mei 2019
Hasil Nilai normal Satuan
Pukul 07.55
GDA 199 < 160 mg/dL
15 Mei 2019 Hasil Nilai normal Satuan

23
Pukul 22.48
GDA 84 < 160 mg/dL

16 Mei 2019
Hasil Nilai normal Satuan
Pukul 06.07
GDA 81 < 160 mg/dL
16 Mei 2019
Hasil Nilai normal Satuan
Pukul 10.17
GDA 196 < 160 mg/dL
17 Mei 2019
Hasil Nilai normal Satuan
Pukul 08.18
GDA 126 < 160 mg/dL
17 Mei 2019
Hasil Nilai normal Satuan
Pukul 16.55
Elektrolit
Natrium 137,7 135-155 mmol/L
Kalium 2,08 3.5 -5.5 mmol/L
Klorida 103,7 98 - 107 mmol/L

18 Mei 2019
Hasil Nilai normal Satuan
Pukul 08.14
GDA 131 < 160 mg/dL

19 Mei 2019
Hasil Nilai normal Satuan
Pukul 08.32
GDA 182 < 160 mg/dL
Elektrolit
Natrium 131,3 135-155 mmol/L
Kalium 1,99 3.5 -5.5 mmol/L
Klorida 101,7 98 - 107 mmol/L
20 Mei 2019
Hasil Nilai normal Satuan
Pukul 08.14
GDA 242 < 160 mg/dL

24
Dari data anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium

penunjang, maka dapat ditegakkan diagnosis Sepsis e.c diabetic foot. Pasien di

anjurkan masuk ke ICU, namun ICU penih sehingga pasien dirawat di Zal.C. pasien

diberikan terapi RL 1000 cc 28 tpm, ceftriaxone 2 x 400 mg IV, metronidazole 3 x

500 mg, Novorapid 3 x 6 IU, omeprazole 2 x 40 mg IV, Antrain 3 x 500 mg IV,

sukralfat 3 x 2 sdm. Dan diperiksa DL serta Serum Elektrolit.

Prognosis tergantung dari derajat beratnya penyakit. Edukasi diberikan

kepada pasien dan keluarga tentang penyakit dan perjalanannya, etiologi, tujuan

pengobatan yang dilakukam, serta komplikasi dari penyakit.

Tanggal 15 Mei 2019, pasien mengeluh masih sesak napas,sakit kepala,

dada berdebar-debar, badan terasa lemas dan gelisah pada pemeriksaan didapatkan

tekanan darah pasien 130/80 mmHg, suhu 36,6º C, RR 24x/menit, nadi 102x/menit

regular kuat, direncanakan pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan GDA serta

Rawat luka. Diberikan NaCl 3% 7 tpm

Tanggal 16 Mei 2019, pasien mengeluh masih agak sesak namun lebih

mendingan dibandingkan kemarin,dada masih berdebar namun sudah lebih

berkurang dibandingkan kemarin, tidak nafsu makan, badan masih terasa lemas,

sudah tidak merasa gelisah pada pemeriksaan didapatkan tekanan darah pasien

100/60 mmHg, suhu 36,4º C, RR 28x/menit, nadi 104 x/menit regular kuat. Cek

GDA terapi dilanjutkan.

Tanggal 17 Mei 2019, sakit kepala muncul kembali, masih agak sesak,dada

masih berdebar tetapi sudah mendingan, nafsu makan sudah membaik, sulit tidur.

25
Tekanan darah 120/80, suhu 36,0º C, RR 24x/menit, nadi 100x/menit regular kuat,

dicek serum elektrolit

Tanggal 18 Mei 2019, sakit kepala masih ada, masih agak sesak,dada masih

berdebar tetapi sudah mendingan, nafsu makan sudah membaik, sulit tidur. Tekanan

darah 130/80, suhu 36,5º C, RR 22x/menit, nadi 100x/menit regular kuat, diberi

KSR 3 x 600 mg tablet p.o

Tanggal 19 Mei 2019, sesak napas masih ada, dada sudah tidak berdebar,

nafsu makan sudah membaik, Tekanan darah 120/70, suhu 36,3º C, RR 22x/menit,

nadi 105x/menit regular kuat. Kultur pus sama serum elektrolit

26
BAB IV

PEMBAHASAN

Dari keluhan pasien didapatkan pasien mengalami takipneu, dan takikardi,

serta pasien luka di kaki kiri pasien yang terbuka dan bertambah parah dalam 4 hari

terakhir yang berpotensi menjadi port of entry dari patogen. Serta pemeriksaan

penunjang, kadar leukosit pasien sebesar 45.620 uL menunjukkan bahwa pasien

mengalami leukositosis. Mengarahkan pasien terhadap diagnosa sepsis sesuai

dengan kriteria SIRS. Dimana dalam kriteria SIRS memiliki variabel : takikardi (

Nadi > 90x/min), takipnea (RR >20x/min), temperatur (<36 atau >38 C), serta

kadar leukosit (<4000 /uL atau > 12.000 /uL). Keluhan dan temuan dari

pemeriksaan fisik serta penunjang pasien memenuhi beberapa variabel dari SIRS

ditambah lagi pasien memiliki sumber infeksi yang jelas.( Kasper et al.,2015 )

Munculnya keluhan takipneu dan takikardi dikarenakan sistem organ yang

umumnya dipengaruhi oleh sepsis adalah sistem respirasi dan kardiovaskular.

Sepsis dapat menyebabkan menurunnya kemampuan deformibilitas sel darah

merah, serta terjadinya trombosis mikrovaskular, selain itu respon inflamasi yang

mucul sebagai reaksi dari masuknya patogen kedalam tubuh dapat menyebabkan

disfungsi pada endotel vaskular, diikuti dengan kematian sel dan hilangnya

integritas dari pembatas memunculkan peningkatan pada edema subkutan dan

rongga tubuh. Pelepasan nitrit oksida yang berlebihan dan tidak terkontrol

menyebabkan kolaps pada vasomotor,dengan tambahan, kerusakan mitokondria

disebabkan oleh stress oksidatif dan gangguan oksigenasi yang lainnya. Lambatnya

metabolisme oksidatif, sejalan dengan gangguan penghantaran oksigen, dan

berkurangnya pengambilan O2 selular. Sehingga takipneu dan takikardi muncul

27
sebagi kompensasi tubuh untuk memenuhi perfusi ke jaringan yang berkurang

akibat sepsis. (.Kasper et al.,2015, ,Polat et al., 2017)

Berdasarkan anamnesis terhadap pasien, pasien mengidap diabetes melitus

selama 5-6 tahun terakhir, pada 4 hari terakhir sebelum keluhan yang membawa

pasien ke RS, pasien mengalami luka kecil di mata kaki yang tidak sembuh dan

justru bertambah parah hingga ke hampir ke seluruh cruris, keadaan luka yang tidak

sembuh berhubungan dengan diabetes yang diderita oleh pasien dimana pada

penderita diabetes hiperglikemia menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan

pada pembuluh darah. Neuropati, baik sensorik maupun motorik dan autonomik

akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian

menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan

selanjutnya akan mempermudah terjadinya luka atau ulkus, faktor gangguan aliran

darah ke perifer juga menghambat terjadinya regenerasi sel. (Setiawati,et al.,2015)

Untuk terapinya, pasien diberikan RL 1000 cc 28 tpm, ceftriaxone 2 x 400

mg IV, metronidazole 3 x 500 mg, Novorapid 3 x 6 IU, omeprazole 2 x 40 mg IV,

Antrain 3 x 500 mg IV, sukralfat 3 x 2 sdm. Dan diperiksa DL serta Serum

Elektrolit.

Terapi pemberian cairan sesuai dengan guideline The Surviving Sepsis

Campaign Bundle 2018, penting untuk stabilisasi hipoperfusi yang disebabkan oleh

sepsis atau syok septik resusitasi caran harus segera dimulai ketika didapatkan

pasien dengan sepsis dan hipotensi serta kadar laktat yang meningkat, dan

pemberian cairan harus selesai dalam waktu 3 jam. Guidelines merekomendasikan

minimum pemberian 30 mL/kg cairan kristaloid intravena. Ketika stabilisasi

tercapai diharapkan gejala takikardi dan takipneu dapat menghilang.

28
Pemberian antibiotik ceftriaxone 2 x 400 mg IV, metronidazole 3 x 500 mg juga

sesuai dengan guideline The Surviving Sepsis Campaign Bundle 2018, yang mana

Terapi empirik antibiotik spektrum luas dengan satu atau lebih diberikan kepada

pasien untuk mengatasi kemungkinan patogen yang mungkin menyerang harus

segera dilakukan. Terapi antimikrobial empiris harus dipersempit ketika patogen

telah teridentifikasi, atau dihentikan ketika pasien terbukti tidak mengalami infeksi.

Pemberian Novorapid 3 x 6 IU bertujuan sebagai pengontrol kadar gula darah

dikarenakan pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula darah terutama

pasien dengan diabetes melitus. Sebaiknya kadar gula darah dipertahankan <150

mg/dL, kadar gula darah yang tinggi memperlama penyembuhan dari luka. (.Kasper

et al.,2015)

Pemberian, Antrain 3 x 500 mg IV, sukralfat 3 x 2 sdm, dan omeprazole 2

x 40 mg IV bertujuan untuk mengatasi keluhan pasien yang lain yaitu sakit kepala,

nyeri ulu hati, mual, serta sering bersendawa.

29
DAFTAR PUSTAKA

Chatterjee, S., Khunti, K. and Davies, M. (2017). Type 2 diabetes. The Lancet,

389(10085), pp.2239-2251.

Frydrych, L., Fattahi, F., He, K., Ward, P. and Delano, M. (2017). Diabetes and

Sepsis: Risk, Recurrence, and Ruination. Frontiers in Endocrinology, 8.

Gaieski, D., Edwards, J., Kallan, M. and Carr, B. (2013). Benchmarking the

Incidence and Mortality of Severe Sepsis in the United States*. Critical Care

Medicine, 41(5), pp.1167-1174.

Kasper, D. L., Fauci, A. S., Hauser, S. L., Longo, D. L. 1., Jameson, J. L., &

Loscalzo, J. (2015). Harrison's principles of internal medicine (19th edition.). New

York: McGraw Hill Education

Levy, M., Evans, L. and Rhodes, A. (2018). The Surviving Sepsis Campaign

Bundle. Critical Care Medicine, 46(6), pp.997-1000.

Mayr, F., Yende, S. and Angus, D. (2013). Epidemiology of severe

sepsis. Virulence, 5(1), pp.4-11.Worldwide trends in diabetes since 1980: a pooled

analysis of 751 population-based studies with 4.4 million participants.

Polat, G., Ugan, R., Cadirci, E. and Halici, Z. (2017). Sepsis and Septic Shock:

Current Treatment Strategies and New Approaches. The Eurasian Journal of

Medicine, 49(1), pp.53-58.

Setiawati, siti, et al.,2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta : Pusat

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.

30

Anda mungkin juga menyukai