Anda di halaman 1dari 15

Definisi

Osteomielitis berasal dari kata osteon (tulang) dan muelinos (sumsum) yang

berarti infeksi sumsum tulang. Beberapa literatur menyebutkan bahwa

osteomyelitis merupakan proses inflamasi pada sumsum tulang (cavitas

medullaris) disebabkan oleh organisme piogenik yang kemudian dapat

menyebar sampai ke cortex dan periosteum. (Baltensperger, 2009, textbook

ortopedi john).

Epidemiologi

Insidensi osteomyelitis terjadi 0,1–1,8% dari populasi orang

dewasa. Prevalensinya pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun adalah 1

kasus per 1000 populasi sedangkan pada anak-anak yang lebih tua adalah 1 kasus

dari 5000 populasi. Prevalensi osteomyelitis kronik berkisar antara 5-25% dari

kasus osteomyelitis akut (Ciampolini, 2000).

Etiologi

Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang paling sering

menyebabkan osteomielitis (akut maupun kronis) dengan penyebaran

hematogen pada dewasa. Streptococcus β hemolithicus grup A dan

Streptococcus pneumonia merupakan bakteri patogen yang sering menyebabkan

osteomielitis pada anak, Streptococcus β hemolithicus grup A merupakan bakteri

penyebab tersering pada bayi baru lahir. Staphylococcus epidermidis,

Pseudomonas aeruginosa, dan Eschericgia coli juga bisa menyebabkan

osteomielitis namun dengan angka kejadiannya jarang. Jamur dan


mikobakterium biasanya dapat menyebabkan osteomielitis pada individu dengan

defisiensi sistem imun.

St. Staphylococcus aureus dapat diinternalisasi oleh osteoblas dan sel

endotel secara in vitro dan bertahan di dalam sel tersebut dari sistem imun tubuh

maupun antibiotik. Selain itu, Staphylococcus aureusmerupakan bakteri dengan

laju metabolism yang rendah sehingga mudah resisten terhadapt antibiotik.

Klasifikasi

menurut durasi dari timbulnya gejala : akut, subakut, dan kronik. Osteomielitis akut

diidentifikasi dengan adanya onset penyakit dalam 7-14 hari. Infeksi akut umumnya

berhubungan dengan proses hematogen pada anak. Namun, pada dewasa juga dapat

berkembang infeksi hematogen akut khususnya setelah pemasangan prosthesa dan

sebagainya.

Durasi dari osteomielitis subakut adalah antara 14 hari sampai 21

hari Sedangkan osteomielitis kronik merupakan infeksi tulang yang perjalanan

klinisnya terjadi lebih dari 21 hari. Kondisi ini berhubungan dengan adanya

nekrosis tulang pada daerah episentral yang disebut sekuester yang dibungkus

involukrum. Terdapat sub klasifikasi pada osteomyelitis kronis, yakni

osteomyelitis kronis primer dan sekunder. Osteomielitis kronik sekunder dapat

timbul sebagai penyakit osteomyelitis yang rekuren/timbul berulang dengan

durasi yang berbeda-beda setiap kali kambuh Terminologi osteomyelitis kronik

primer menunjukkan sebuah penyakit inflamasi yang jarang dan ditandai adanya

inflamasi kronik non-supuratif (ketiadaan pus, fistula maupun sejuester).


Keadaan ini menunjukkan bahwa pasien tidak pernah menunjukkan fase akut

dan belum mendapatkan terapi.

Kronifikasi dari osteomyelitis kronik sekunder menunjukkan

ketidakmampuan dari host untuk mengeradikasi bakteri patogen akibat dari

inadekuatnya terapi. Elevasi periosteum akibat proses inflamasi masih

mengandung sel-sel vital di dalamnya. Setelah melewati fase akut, sel-sel ini

membentuk sel-sel tulang yang baru (involukrum) yang menyelebungi

sekuester. Namun involukrum ini dapat dipenetrasi oleh sinus (cloacae),

sehingga membentuk fistula dapat dapat dimasuki oleh bakteri patogen ataupun

pus. Kejadian ini dapat terjadi berulang dan menyebabkan osteomyelistis kronis.

Sistem klasifikasi lainnya dikembangkan oleh Waldvogel yang

mengkategorisasikan infeksi muskuloskeletal berdasarkan etiologi dan

kronisitasnya : hematogen, penyebaran kontinyu (dengan atau tanpa penyakit

vaskular). Penyebaran infeksi hematogen dan kontinyu dapat bersifat akut

meskipun penyebaran kontinyu berhubungan dengan adanya trauma atau infeksi

lokal jaringan lunak yang sudah ada sebelumnya seperti ulkus diabetikum.
Patofisiologi

Osteomielitis memiliki tiga mekanisme penyebaran yaitu penyebaran hematogen

melalui darah, kontaminasi berdekatan, dan infeksi kontinyu yang disebabkan oleh

insufisiensi neurologis atau vaskular. Pada penyebaran hematogen secara primer

(melalui darah) infeksi mengenai metafisis dari pasien dengan tulang yang masih

imatur atau korpus vertebra pada semua usia meskipun kemungkinan infeksi pada

lokasi yang lain dapat terjadi. Pada kontaminasi langsung biasanya penyebaran

berasal dari area yang terkontaminasi dari luar, paling sering terjadi pada

kontaminasi langsung fraktur terbuka atau replacement sendi dengan implan.

Insufisiensi vaskular atau neurologi yang diasosiasikan dengan infeksi kontinyu

pada osteomyelitis merupakan akibat dari suplai darah yang buruk, luka diabetes,

dan gangguan pertahanan imun yang paling sering mengenai ekstremitas bawah.

Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi invasi bakteri ke cavitas medullaris dan

cortex tulang. Keempat faktor ini apabila berada dalam keadaan equilibrium

(seimbang) tidak akan menimbulkan infeksi. Apabila equilibrium ini terganggu

karena minimal 1 faktor, maka infeksi tulang yang dalam dapat terjadi. Keempat

faktor tersebut ialah :

a. Jumlah bakteri patogen

Semakin banyak jumlah bakteri yang sampai ke host, semakin besar pula

kemungkinan untuk lolos dari sistem imun dan menimbukan infeksi pada

tulang.

b. Virulensi bakteri patogen

Pada osteomyelitis, focus infeksi dibatasi oleh mebran piogenik atau

dinding abses yang membatasi penyebaran infeksi. Apabila agen patogen


memiliki jumlah dan virulensi yang tinggi, barier ini dapat rusak dan

menyebabkan invasi sampai ke tulang. Invasi ini kemudian mengaktivasi

respon inflamasi dan menyebabkan hiperemis, peningkatan permeabilitas

capiler, dan pengeluaran enzim proteolitik. Enzim proteolitik ini dapat

menyebabkan nekrosis jaringan tulang dan destruksi dari agen-agen patogen

sehingga membentuk pus. Destruksi tulang juga diperparah oleh proses

osteolisis yang disebabkan oleh aktivitas osteoklas akibat stimulasi dari

endotoksin bakteri, protein permukaan bakteri, dan beberapa sitokin

inflamasi (IL-1 dan TNF).

Akumulasi pus di dalam cavitas medullaris yang berisi jaringan

nekrosis, dan bakteri-bakteri mati di dalam sel darah putih menyebabkan

peningkatan tekanan intra medullaris. Keadaan ini menyebabkan kolaps

vascular, stasis vena, thrombosis, dan lokal iskemi. Pus mengalir melalui

kanalis sistem haver dan kanalis nutrisi yang kemudian terakumulasi di

ruang subperosteum dan menyebabkan elevasi periosteom, terpisah dari

cortex tulang. Elevasi ini lebih sering terjadi pada anak karena pelekatan

yang belum begitu kuat. Ketika akumulasi pus terus terjadi, dapat timbul

perforasi dan menyebabkan abses mukosa atau kutan.


Proses inflamasi dan perusakan jaringan tulang.
Gambar 8. Patomekanisme osteomyelitis.

a. Imunitas lokal dan sistemik host

Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi status imunitas

Faktor-faktor yang mempengaruhi status imunitas.

b. Perfusi lokal jaringan

Perfusi lokal jaringan mempengaruhi kemampuan sel imun dan oksigen

mencapai area infeksi, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan

penyebaran bakteri patogen terutama yang bersifat anaerob. Berikut ini

adalah kondisi-kondisi yang mengganggu perfusi lokal jaringan

Faktor-faktor yang mempengaruhi perfusi lokal jaringan.


Ilustrasi patogenesis osteomyelitis akut dan kronis.

Diagnosis

Diagnosis osteomyelitis akut dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,

Pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, didapatkan

adanya riwayat trauma, riwayat luka terbuka sampai tulang, maupun riwayat

infeksi di tempat lain yang tidak spesifik, serta adanya gejala infeksi sistemik

seperti demam dan malaise maupun gejala infeksi lokal seperti bengkak, rasa

panas, kemerahan, penurunan kemampuan gerak, kekakuan tulang, dan rasa

sakit pada lokasi infeksi. Pemeriksaan fisik pun meunjukkan hal-hal seperti yang
ada dalam anamnesis yakni berupa tanda-tanda infeksi sistemik dan infeksi

lokal. Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah pemeriksaan

laboratorium yang menunjukkan adanya leukositosis, pemeriksaan kultur

darah/tulang, serta pemeriksaan histopatologi tulang yang mengalami infeksi.

Pemeriksaan radiologi pada daerah yang diduga infeksi pun dapat dilakukan.

Kata akut pada ostemyelitis akut menunjukkan bahwa tanda dan gejala yang

muncul memiliki onset yang cepat, yakni kurang dari 4 minggu.

Kriteria diagnosis ostemyelitis kronik pun meliputi manifestasi klinis (yang

didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik), pemeriksaan laboratoium dan

pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan laboratorium memang tidak spesifik untuk

osteomyelitis, tetapi kadar C reactive protein (CRP) yang normal dapat

menyingkirkan diagnosis osteomyelitis kronis. Pemeriksaan paling meyakinkan

untuk mendiagnosis osteomyelitis kronis adalah kultur tulang dan pemeriksaan

histopatologi. Kultur terhadap jaringan superfisial luka tidak dapat mendeteksi

bakteri penyebab osteomyelitis secara akurat karena biasanya osteomyelitis

disebabkan oleh polimikrobial. Selain itu, anamnesis yang mendalam menyenai

manifestasi sistemik (letargi, malaise, nyeri pada tulang, demam) dan faktor

predisposisi (diabetes mellitus, penyakit pembuluh darah perifer, dan riwayat

trauma) juga penting dalam menunjang proses penegakkan diagnosis.


Kriteria diagnosis osteomyelitis kronik.

Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan adalah foto rontgen maupun

MRI. Foto rontgen baru menunjukkan adanya abnormalitas setelah 2 minggu

pasca infeksi karena 50% mineral tulang telah hilang. Sedangkan MRI dapat

mendeteksi osteomyelitis setelah 3-5 hari pasca infeksi dengan sensitivitas dan

spesifisitas sekitar 90%. CT scan jarang digunakan karena kurangnya

kemampuan CT scan untuk mendeteksi nekrosis. Modalitas radiologi lain dapat

digunakan untuk menegakkan diagnosis osteomyelitis (seperti leukocyte or bone

scintigraphy, positron emission tomography) yang memiliki sensitivitas dan

spesifisitas lebih dari 90%, namun modalitas-modalitas tersebut tidak rutin

digunakan di Indonesia karena harga yang mahal dan ketersediaan alat.


Reaksi periosteal dan osteolisis pada distal metatarsal 4 dan distal phalanges 3 dan

4 menunjukkan adanya osteomyelitis.

Gambaran rontgen femur dari seorang wanita 39 tahun dengan riwayat

osteomyelitis berulang selama 20 tahun. Terjadi deformitas dan sklerosis

sumsum tulang.
MRI femur menunjukkan deformitas dari bagian distal os. Femur dan gambaran

inhomogenisitas tulang.

Gambaran disrupsi kortikal inferior dan edema menunjukkan adanya osteomyelitis

pada os. Calcaneus.

Terapi

Terapi pada osteomyelitis akut melalui penyebaran hematogen dapat dilakukan

dengan pemberian antibiotik parenteral selama 4 hari dan dilanjutkan dengan

antibiotik oral sampai 4 minggu tebukti mencegah rekurensi. Pada pasien-pasien


immunocompromised, transisi menuju antibiotik oral ditunda dan lama terapi

ditambah menjadi 6 minggu.

Terapi osteomyelitis kronis terdiri dari terapi antibiotik dan pembedahan.

antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur, jika tidak ada informasi hasil kultur,

antibiotik spektrum luas dapat diberikan. Antibiotik ini diberikan parenteral

selama 2 – 6 minggu yang kemudian dilanjutkan dengan antibiotik oral sampai

total waktu terapi 4-8 minggu Adapun indikasi dilakukannya terapi pembedahan

ialah terapi antibiotik tidak menunjukkan perbaikan, terdapat peralatan yang

terpasang pada tulang dan mengalami infeksi, serta osteomyelitis kronis dengan

nekrosis tulang dan jaringan lunak.


Chairuddin, M. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Osteomielitis akut dan
kronik. CV.Wiyasana. Makasar.
Baltensperger, M., G. K. Eyrich. 2009. Osteomyelitis of the Jaws. ISBN: 978-3-
540-28764-3 (Baltensperger, 2009)
Walter, G., M. Kemmere, C., Kappler, R. Hoffmann. 2012. Treatment Algorithms
for Chronic Osteomyelitis. Deutsches Arzteblatt International; 109(14):
257-64 (Walter et al., 2012)
Roy, M., J. S. Somerson, K. G. Kerr, J. L. Konroy. 2012. Pathophysiology and

Pathogenesis of Osteomyelitis. ISBN 978-953-51-0399-8 (Roy et al., 2012)

Juutilainen, V.. 2011. Posttraumatic Osteomyelitis. Suomen Ortopedia ja


Traumatologi; 34(38): 38-41
Hofmann, S. R., A. R. Wolff, G. Hahn, C. M. Hedrich. 2012. Update: Cytokine
Dysregulation in Chronic Nonbacterial Osteomyelitis (CNO).
International Journal of Rheumatology; 2012(10): 1-7 (Hofmann et al.,
2012)
Covington, D. S.. 2011. Wound Healing Perspective. National Healing
Corporation; 8(2): 1-8 (Covington, 2011)

Anda mungkin juga menyukai